Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kemurnian Keluarga

Kemurnian Keluarga
Part 03 | Sebuah Rasa Curiga


Sejak kejadian tepuk semut dan kecelakaan gelas pecah beberapa waktu lalu, entah kenapa muncul berbagai macam rasa aneh dari dalam diriku. Aku menjadi susah sekali menahan rasa ingin tahu, penasaran, dan bergelora jika melihat Ibu. Sekarang, aku mulai tak lagi merasakan, adanya rasa hormat terhadap Ibu. Karena perlahan, rasa simpati itu menghilang.

Sirna termakan oleh nafsu dan birahi yang seringkali tak tertahankan.

Sebenarnya, tak ada yang berubah dengan perlakuan Ibu kepadaku. Semua masih sama seperti sebelumnya. Perhatiannya, kasih sayangnya, perlakuannya, masih tetap sama. Hanya saja, mungkin karena hormon remajaku yang menggebu-gebu, membuatku seolah merasakan hal yang berbeda pada diri Ibu.

“Mas berangkat dulu ya, Dek…” Ucap Ayah mengecup bibir Ibu.
“Nanti kira-kira pulang jam berapa…?” Jawab Ibu melepas kecupan Ayah
“Ntar aku kabarin ya…”
“Nginep di kandang lagi…?” Tanya Ibu lagi dengan nada seperti menyindir.
“Hehehe… Aku sayang kamu, Dek Riani-ku…”

Melihat kemesraan Ayah bersama Ibu, hatiku memanas. Aku segera melengoskan muka supaya tak menyimpan adegan suami istri itu diotakku.

“Hhhh… Lagi-lagi ga bisa ngasih kepastian kabar…” Celetuk Ibu sebal ketika mendengar jawaban ngambang Ayah. Membereskan piring-piring kotor diatas meja makan dengan wajah cemberut

Melihat Ibu kesal, sebenernya aku pengen tertawa. Karena itu adalah waktu terbaikku untuk dapat masuk kedalam hatinya. Dan lagi, jika aku bisa mengambil hati Ibu, mungkin itu bisa membuat hasrat bersamanya menjadi tersalurkan.

Selain itu, jika bersama Ibu, paling tidak kebosananku selama menjalani masa skorsing bisa berkurang. Aku jadi malas keluar rumah. Malas maen bersama teman. Dan enggan untuk jauh-jauh dari Ibu. Dari pagi hingga malam, aku hanya ingin melihat Ibu. Hanya ingin melakukan aktifitas bareng Ibu.

Terlebih, aku selalu semangat, jika ada didekat wanita cantik ini.

Hanya ingin di dekat Ibu.

Kebanyakan pakaian rumahan yang Ibu kenakan, adalah daster. Pakaian kegemaran wanita yang begitu praktis, begitu nyaman, dan begitu mengundang pikiran kotor buat laki-laki sepertiku. Terlebih, dengan kebiasaan Ibu yang tak suka mengenakan beha, semakin membuat hari-hari skorsingku, lebih membahagiakan dan berwarna.

“Makan sarapannya….” Ucap Ibu yang untuk kesekian kalinya, mendapatiku ketika sedang memperhatikan dirinya. “Nanti copot aja tuh mata…” Sindirnya lagi tatkala mendapati mataku yang tengah merekam gerakan payudara besarnya.
“Uhuk uhukk… “ Batukku spontan.

“Emang… Apa yang beda ya…?” Heran Ibu melihat kearah mataku yang tak henti-hentinya menatap kearahnya, “Sepertinya kemarin-kemarin kamu ga suka ada dirumah deh. Selalu ninggalin Ibu sendiri sampe malem… Bahkan ga jarang juga kamu nginep, dan membiarkan Ibu kesepian semaleman…”

“Aku khan sedang di-skorsing, Bu…”
“Iya Ibu tahu.. Tapi sepertinya bukan gara-gara itu aja deh…”
“Lalu…? gara-gara apa dong Bu…?”
“Gatau juga, Sayang… Sepertinya kamu kok keliatan kaya sedang mata-matain Ibu…” Ucap Ibu menarik kesimpulan, “Ngeliaaaatiiiinnnn Ibuuuuu terus… Memangnya ada apa ya…?”

“Hmmm… Ga ada apa-apa kok, Bu….” Sahutku, “Rama memang suka ngelihat kecantikan Ibu…”
“Kalo suka ngelihat kecantikan Ibu, matanya keatas sini, Nak…” Tunjuk Ibu ke arah wajahnya, “Bukan ngelihat ke tetek Ibu mulu…”
“Eehhh… “ Wajahku memerah, karena malu ketangkap basah oleh Ibu ketika melihat ke payudaranya.

Jujur, sangat sulit untuk bisa membuat mataku berpidah dari dua tonjolan daging yang menggelantung indah di dada Ibu. Apalagi ketika aku sesekali mendapati bulatan aerola dan puting coklat cerahnya yang terlihat begitu menggiurkan. Ingin rasanya aku memeluk payudara itu, dan menenggelamkan wajahku diataranya.

“Heeeeehh… Masih aja ngeliatin…” Celetuk Ibu, melempar potekan krupuk kearah wajahku.

Saat Ibu kesal pun, aku masih terpesona dibuatnya. Senyum malu-malu, selalu menghiasi wajah cantiknya. Bahkan, aku hampir tak pernah mendapati Ibu ketika marah atau emosi. Karena semarah-marahnya Ibu, aku masih bisa menangkap semburat kecantikan di wajahnya.

Bukan karena aku sedang birahi, akan tetapi, Ibu memang cantik. Kecantikan Ibu dapat kubilang, setara jika kusandingkan dengan artis/bintang iklan terkenal.

Bahkan, ketika Ibu sedang berkeringat, aku masih saja bisa mendapati kecantikan naturalnya yang begitu alami. Daya tarik parasnya ketika basah karena peluh, auranya ketika capek, bahkan hingga semerbak aroma tubuhnya, begitu menggoda. Benar-benar membuatku jatuh cinta kepada wanita yang telah melahirkanku itu.

Ketika Ibu bicara pun, hanya bibirnya yang kuperhatikan. Deretan gigi putihnya serta gerakan bibir komat-kamitnya, sering membuatku kehilangan konsentrasi. Walhasil, aku jarang nyambung ketika sedang diajak berbicara dengan Ibu. Karena kesensualan bibir Ibu, sering kubayangkan dibenak mesumku.

Pengen rasanya melumat bibir tipis Ibu. Bermain-main pelan dan menggigit tipis-tipis. Menelusuri deretan giginya yang rapi dengan ujung lidahku, sebelum akhirnya kuajak lidah lembutnya bergulat. Kuhisap ludah manisnya, dan menelannya bulat-bulat.

Uhhh. Ludahi aku Buuu…” Liar otakku berimajinasi, “Ludahi mulut putra kandungmu…”
Membayangkan hal tabu seperti itu, membuat batang penisku langsung mengeras.

“Aku udah dulu ya Bu…” Ucapku sambil buru-buru beranjak.
“Mau kemana…?”
“Biasa.. Ngegame dulu…”
“Ga bantu Ibu cuci piring dulu…?”

“Khawatir ga konsen Bu…” Jawabku yang alih-alih mencuci peralatan makan, hanya meletakkannya di wastafel. Tepat disamping Ibu.
“Ga konsen kenapa…?”
“Ngggg…” Bingungku. Ragu untuk mengutarakan kalimat.
“Bingung antara bantuin nyuci piring…? Atau ngelihatin tetek Ibu terus ya..…?” Tebak Ibu sambil mencolek hidungku dengan tangannya yang penuh busa sabun.

“Hehehe.. Iyaaa…” Ucapku yang buru-buru meninggalkan Ibu lalu keluar dapur.
“Loh..? Rama…? Kamu mau kemana…?”
“Memancing, Buuu…” Sahutku sambil berlari.

Iya, aku mau memancing. Namun, bukan memancing dalam artian sesungguhnya. Melainkan. “MEMpermainkan Alat keNCING. Alias, bermasturbasi lagi. Karena alih-alih menuju kamar tidurku, aku malah berbelok kearah kamar mandi.

Dan, betapa beruntungnya aku ketika hendak masuk ke ruangan sakral untuk buang pejuh, mataku malah mendapati sebuah harta karun yang teronggok manis di tumpukan baju kotor. Apalagi kalo bukan, celana dalam Ibu. Iya, kain penutup vagina Ibuku, yang seketika itu, makin membuat darah birahiku makin mendesir.

“Ohhh. Kancut Ibu…” Girangku yang seketika itu, menjulurkan tanganku, kemudian mengambil kain kumal yang nampak begitu indah di mataku. Kuperhatikan dengan seksama, tepi celana dalam yang nampak keruh karena gesekan kulit, keringat, serta daki tubuh Ibu. Setelah itu, kuperiksa bagian tengah yang menempel tepat vagina Ibu. Kutatap bagian yang berwarna kuning pekat, yang kemungkinan adalah sisa air kencing bercampur keringat Ibu.

“Ssshhh… Rianiii…” Desahku dengan gejolak birahi yang makin berdesir.

Melihat kancut lusuh Ibu yang ada ditanganku, membuat pikiranku menggila. Rasa penasaran, meminta supaya hidungku mencari tahu, bagaimana aroma celana dalam Ibu. Bagaimana bau kemaluan orang secantik Ibu.

Dengan jantung yang berdegup kencang, aku mencoba mendekatkan celana dalam Ibu itu ke hidungku. Mencoba menangkap aroma yang tertinggal di kain kecil itu.

“ANJAAAYYYY… Aroma Pesingnya… Benar-benar memabukkan…” Desahku yang merasa tiba-tiba melayang karena aroma pesing kencing yangbercampur dengan asamnya keringat selangkangan Ibu. Membuatku serasa terbang dalam imajinasi mesum yang berkepanjangan.

Tak menunggu lama, kuturunkan celana dalamku. Mulai mengambil sabun cair yang ada di sudut ruangan. Setelah itu, aku membalurkan cairan licin itu kebatang penisku dan mulai mengucutnya pelan.

“Ooohhh. Ibuu…” Lenguhku langsung membayangkan kemolekan tubuh Ibu kandungku.

TEK TEK TEK TEK
Suara kulit kemaluanku, mulai terdengar seiring hentakan tanganku.

“Enak sekali aroma pesing memekmu, Buuuu…” Lenguhku makin mabuk karena tak pernah sekalipun, mendapati aroma pesing wangi yang senikmat ini.
“Ahh.. Ngentot… “ Raungku meledak-ledak. Aku emosi karena birahi. Aku marah karena frustasi tak dapat mewujudkan imajinasiku.

TEK TEK TEK TEKTEK TEK TEK
“Ooohhh… Riannniiii…” Erangku menjadi-jadi karena tak sanggup mengontrol terjangan hasrat birahi yang meledak-ledak di dalam dada. Aku harus menuntaskan hasrat ini. Aku harus segera memuaskan birahi ini.

Dan dari situlah, aku mulai berimajinasi lebih jauh lagi. Mengenai Ibu, dan segala aurat tubuhnya.

“Aku ingin menjilati lubang memekmu, Buuu...
Membuatmu bisa orgasme karena gelitikan lidah anak kandungmu…”

Imajinasiku membumbung tinggi. Semakin liar, semakin nanar. Aku begitu berharap jika Ibu, akan bisa memaklumi nafsu birahiku yang tak mampu kukendalikan. Dalam pikiranku, Ibu telah menantikan jilatan serta kecupan bibirku pada vaginanya. Membuka lebar-lebar kedua paha mulusnya, supaya bibir dan lidahku bisa lebih leluasa menjelajahi lubang kemaluannya.

“Aku ingin membenamkan wajahku di celah senggamamu, Bu.
Mengais lendir cinta yang tak henti-hentinya keluar dari lubang senggamamu. Menyesap lezat, seluruh cairan kenikmatanmu hingga kamu lemas tak berdaya….”

Kubekapkan celana dalam kucel Ibu itu, lalu kurentangkan lebar-lebar sebelum akhirnya kukenakan di kepalaku.

SEEENG
Aroma pesing vagina Ibu, lagi-lagi membuat imajinasiku semakin menjadi-jadi. Aku tak peduli lagi dengan segala kekotoran celana dalam itu. Bagiku, kancut kotor Ibu itu adalah candu nikmat, yang membuatku tanpa berpikir, langsung memasukkannya kedalam mulut.

Aku melumatnya.
Aku mengecapnya.
Aku ingin merasakan sisa rasa kencingnya.
Aku ingin menyicipi keringat memeknya

“Aku ingin, menyetubuhimu, Bu…
Menikmati setiap jepitan liang peranakanmu, dengan kontol besarku ini…
Ngentotin lubang memekku, dan membuahi rahimmu dengan benih cintaku...”

Kubalut batang penisku dengan kancut Ibu, setelah itu, kukocok kencang-kencang kemaluanku itu, sambil mengimajinasikan menyetubuhi Ibu tanpa ampun.

TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK

CROT CROT CROT CROT CROOOCOOOT
“Eeeehh…? Kok….?” Kagetku yang tak pernah menyangka, jika penisku dapat keluar secepat itu.

CRROOOTT CRROOOTTTT
Tujuh semburan air maniku, muncrat tanpa bisa kutahan-tahan lagi, ke celana kumal Ibu yang ada ditanganku. Membasahi celana dalam istri Ayahku itu dengan jutaan benih spermaku.

TOK TOK TOK TOK
“Rama…?” Panggil Ibu sambil mengetok-ketok pintu dari luar kamar mandi
“Eeehh…?”
“Ayo gantian, Nak… Mama kebelet pipis…”

“Pipis…?” Tanyaku sambil melihat celana dalam pesing Ibu yang bergelimangan sperma ditanganku.

- - - - - - -​



“Jaga rumah ya, Le… Ayah tinggal sebentar… “ Ucap Ayah disuatu pagi, ketika masuk keruangan dapur.
“Mau kemana, Yah…?”
“Ada lomba…” Jawab Ayah sambil menyeruput teh manis yang sudah tersaji di sudut meja makan
“Kok dadakan, Mas…?” Tanya Ibu memotong pembicaraan.
“Iya Dek, tadi Pak Surya, kawan Ayah, ngasih tahu, ada 2 lomba balap kuda dikotanya…” Ucap Ayah yang kemudian dengan yakinnya, memperlihatkan 2 poster pengumuman lomba kepada Ibu.

“Berapa lama, Yah..?” Tanyaku sedikit menyelidik.
“Kali ini, kira-kira 2 mingguan…”
“Tumben lama...?” Sahut Ibu sambil meletakkan sarapan dihadapan Ayah.
“Iya, seminggu di kota A.. Lalu lanjud lagi seminggu di kota B…” Jawab Ayah yang langsung sIbuk menyantap hidangan didepanya, tanpa menatap wajah Ibu

“Deket banget ya jadwal-jadwalnya..?” Tanya Ibu lagi, “Itu jadwal lomba semua..?”
“Maklum, yang satu turnament nasional… Yang satu lagi piala Presiden…” Jelas Ayah, lagi-lagi berucap tanpa melihat kearah Ibu, “Terus setelah jadwal lomba, ada temen Ayah yang minta kudanya dikawinin dengan kuda kita… Jadi sepertinya bakalan lebih lama lagi disananya…”
“Owh…” Sahut Ibu singkat.

Mendengar kalimat Ibu, Ayah menghentikan suapan makanannya. Ia buru-buru menatap kearah Ibu dengan pandangan was-was.

“Kenapa..?” Tanya Ayah yang kali ini buru-buru menatap kearah Ibu, seolah menangkap rasa curiga dari kalimat singkat Ibu. “Kamu ga percaya..?” Sambung Ayah dengan nada sedikit naik.
“Percaya kok…” Jawab Ibu datar
“Kamu mau ikut…?” Ucap Ayah berusaha merendahkan nada suara bicaranya.
“Ga…” Sahut Ibu singkat lagi

“Kok jawabnya seperti itu…?”
“Emang kenapa…?” Tanya Ibu balik

Wanita memang susah ditebak.

Sekilas, aku seolah menangkap ada sebuah kejanggalan dari percakapan Ayah dan Ibu pagi itu. Seperti ada sebuah hal yang sedang disembunyikan oleh mereka berdua.

“Kalo kamu mau beneran ikut… Ya ga apa-apa… Biar aku minta Asep ama Ujo nyiapin satu mobil lagi buat bawa barang-barangmu… Aku malah seneng kok kalo kamu memang mau ikut jalan bareng aku…” Cerocos Ayah tanpa henti. “Nanti disana, ketika aku sedang lomba, kamu bisa jalan-jalan… Yah, kali aja mau refreshing.. Biar nanti kamu ditemenin ama disupirin anak-anak… Gimana…? Bebas kok…”
“Gausah..”
“Atau nanti, Mas tinggalin kamu uang jajan aja ya…? Biar kamu bisa refreshing dan jalan-jalan…? Atau belanja-belanja sendiri…”
“Ga perlu..”

Dan lelaki dengan segala kebodohannya.

Ketika mereka terendus rahasianya, selalu menjanjikan wanita dengan berbagai macam hal. Sepandai-pandainya lelaki menyimpan rahasia, wanita juga pandai untuk menemukan celah menuju rahasia itu.

“Bener nih…?” Tanya Ayah memastikan.
“Iya…” Jawab Ibu lagi,
“Yakin gamau ikut…?”
“Aku dirumah aja…”

“Oke deh kali gitu…” Ucap Ayah buru-buru menenggak habis teh hangat yang ada disampingnya, kemudian merogoh tas kerjanya.

BLUG BLUG BLUG
Lima gempokan uang berwarna merah yang masih tersegel kertas pengaman, berdebam diatas meja makan. Ditumpuk rapi oleh Ayah disamping tudung saji. Lalu Ayah merogoh isi tasnya lagi, kemudian mengambil lima gepokan lagi. Dan lima gepokan lagi.

“Rama.. Ini uang saku buat semua kebutuhan selama Ayah tinggal nanti… Tolong bantu Ayah buat menuhi segala kebutuhan Ibumu ya…” Ucap Ayah dengan senyum yang sedikit ia paksakan.
“Segala kebutuhan…?” Tanyaku kaget.
“Iya.. Kamu bantu Ayah penuhin segala kebutuhan Ibumu ya…”

“Segala kebutuhan Ibu…” Ulangku lagi dengan pikiran mulai melanglang buana.

- - - - - - -​

Setelah pembicaraan waktu sarapan kemarin, selama seharian penuh Ibu sama sekali tak berkata-kata. Ia juga tak membalas sapaan, senyuman, ataupun peduli dengan siapapun. Termasuk dengan diriku.
Satu-satunya hal yang Ibu lakukan kemarin hanyalah, membaca majalah dan nonton TV seharian.

Begitupun dengan keesokan harinya. Ibu hanya terus memandang rombongan team lomba Ayah dari jendela besar disamping ruang tamu. Masih dalam diam, Ibu menatap ke arah Ayah dengan wajahnya kesal. Mungkin Ibu masih sebal karena jadwal dadakan yang Ayah baru saja utarakan.

Melihat Ibu yang gundah gulana, akupun mendekat. Dan entah mendapat keberanian darimana, kuraih tangan Ibu. Setelah itu, kudekati telinga Ibu lalu kubisikkan kalimat penenang. Yang kuharap dapat sedikit menenangkan dirinya.

“Bilang ya Bu, kalo Ibu butuh apa-apa…” Jawabku sedikit berbisik di telinga kanan Ibu, “Ada Rama disini kok… Yang bakal ngejagain Ibu…”
“Ehhh..?” Kaget Ibu karena sentuhan tanganku, “Makasih, Nak…” Lanjut Ibu yang secara tiba-tiba, mengoper tanganku melalui belakang tubuhnya. Setelah itu, Ibu memegang pergelangan tanganku dan melingkarkan di pinggang rampingnya.

“Jangan tinggalin Ibu ya, Nak…” Ucap Ibu makin mempererat dekapan tanganku pada pinggangnya. Membuat pelukan tanganku, makin melingkar erat ditubuhnya.
“Nggak bakalan-lah Bu… Rama kan sayang banget sama Ibu…” Ucapku yang secara spontan makin mempererat pelukanku pada pinggang wanita cantik didepanku itu.
“Janji yaaa…” Balas Ibu yang membalas pelukanku dengan cara menyandarkan tubuhnya kebelakang.

Ketika Ibu memundurkan tubuhnya, otomatis aku bisa merasakan lekukan pantat bulatnya dari balik daster tipisnya. Membuat aurat kelelakianku seketika menggeliat. Membesar dengan pesat, tanpa dapat kutahan sama sekali. Dan karena takut tonjolan di selangkanganku disadari oleh Ibu, aku buru-buru memundurkan tubuh.

“Disini dulu aja, Rama…” Pinta Ibu yang seolah tahu akan niatanku ketika hendak menjauh. “Jangan kemana-mana dulu…” Sambungnya sambil menahan tanganku supaya tak semakin bergerak mundur.

Alih-alih memberi ruang pada kedekatan tubuh kami berdua, Ibu malah semakin mengencangkan pelukan lenganku.

“Aduh, gimana nih…?” Bingungku dalam hati. Panik karena aku makin tak dapat menyembunyikan tonjolan penisku yang semakin mengembang.
“Kamu kenapa, Rama..?” Tanya Ibu yang sepertinya mulai sadar akan kegelisahanku.
“Anu....?”
“Anu apa, Nak…?” Heran Ibu mencoba mencari tahu, “Kenapa sih…? Kok sepertinya kamu bingung banget…?”

“Nggg…. Nggak kenapa-napa Bu..” Ucapku sedikit berbohong.
“Kamu udah gak mau ya…? Deket-deket Ibu gini…?”
“Eehh.. Ma.. Mau kok…” Jawabku gugup karena terpaksa memajukan tubuhku lagi.
“Naahh.. gitu dong… Peluk Ibu sebentar lagi ya, Sayang..” Ucap Ibu sembari meminta lenganku melingkar ke pinggangnya lebih erat.

“I.. Iya…” Jawabku makin gugup karena gundukan batang kemaluanku yang menonjol, menyundul pantat bulat Ibu…
“Peluk Ibu kenceng-kenceng Sayang… “ Pinta Ibu yang sepertinya tak peduli dengan sundulan benda tumpul di belahan pantatnya, “Gini loh Rama… Tangan kiri kamu, melingkar kedepan… Terus, tangan kanan kamu, memegang pergelangan tangan kirimu… “ Ucap Ibu seperti mengajari anak kecil yang tak tahu apa-apa.

“Aku tahu Bu, aku tahu… Aku tak sebodoh yang Ibu kira. Aku tahu benar kok, cara memeluk pinggang wanita…” Ucapku dalam hati. “Apalagi pinggang ramping seperti milikmu ini…”

Meskipun aku sudah sering banget menatap keseksian Ibu, mengimajinasikan hal mesum mengenai Ibu, atau memanfaatkan segala kesempatan bersama Ibu, akan tetapi aku masih tak berani untuk melangkah lebih jauh. Aku Dilema. Bingung harus bersikap apa.

Satu sisi, aku masih mencoba menghormati Ibu dengan tak menyenggolkan tonjolan penisku pada tubuhnya. Namun, satu sisi lain, aku ingin banget memberitahukan ke wanita semok didepanku ini, jika sekarang, putra kandungnya ini sudah tergila-gila dengannya. Putra kandungnya ini, selalu terangsang karenanya.

“Naaaahh.. Gitu dong…” Seru Ibu ketika pada akhirnya, aku memutuskan untuk menuruti permintaan Ibu. “Peluk Ibu ya Sayang… Ibu pengen kamu peluk…”
“Iya, Bu…” Ucapku mengiyakan sambil makin memajukan tubuhku, beserta tonjolan penisku, kebelahan pantat Ibu

“AHHssssss…. BODO AMAT…” Raungku yang sudah begitu gelap mata. Dengan keberanian tingkat tinggi, kutempelkan batang penisku ke pantat Ibu. Tak disitu saja, perlahan, aku juga menggerakkan tonjolan kemaluanku itu maju mundur, sembari sesekali menekan belahan pantat Ibu yang membulat di balik daster tipisnya.

“Ehh…? Rama…?” Kaget Ibu ketika merasakan ada benda keras yang mengganjal diantara belahan pipi pantatnya.”Ini apa…?”

Merasa ada sedikit keterkejutan dari Ibu, nyaliku tiba-tiba menyusut. Bayangan Ibu yang marah karena ulah mesumku, tiba-tiba menyeruak dipikiranku. Walhasil, aku buru-buru memundurkan tubuhku. “Maap…”

Namun, ketika aku memundurkan pantatku, tiba-tiba Ibu melepas satu genggaman di tanganku, dan meraba kebelakang tubuhnya. Disentuhnya tonjolan keras yang menyenggol belahan pantatnya. Dan kemudian menengok kearahku.

“Kamu…?” Kaget Ibu ketika mendapati kepala batang penisku yang sudah begitu keras, menonjol keluar dari celana boxerku. “Kamu ngaceng, Sayang..?”
“Maap… Bu… “ Ulangku dengan nafsu yang semakin meredup. Layu. Dan ketakutan.

Merasa aku sedikit menjauh, Ibu langsung menahan gerakan tubuhku. Dilepaskan genggaman tangannya pada penisku, lalu menyentuh pelan paha kiriku.

“Jangan lepas dulu pelukanmu, ya Sayang… “ Ucap Ibu yang kemudian melengoskan wajah dari hadapanku. Ia kembali menatap lurus kedepan. Menatap Ayah dan team balap kudanya yang masih sibuk mempersiapkan keberangkatannya.

“Peluk lebih kenceng lagi, Sayang… “ Pinta Ibu sambil memiringkan kepalanya kekiri, sebelum akhirnya bersandar di pundakku. “Ibu sudah lama tak mendapat pelukan seperti ini dari Ayah..”
“Masa Bu…?”

Tak menjawab, Ibu hanya menengok kearahku, lalu menganggukkan kepala. Setelah itu, ia mengusel-usel pundak kiriku dengan belakang kepalanya. Benar-benar seperti wanita yang sedang dimabuk asmara.

“Jangan seperti Ayah ya, Nak…” Ucap Ibu pelan, sambil mengecup pelan lengan kiriku, dengan bibirnya yang lembut.
“Maksudnya…?” Bingungku.
“Ntar juga kamu bakalan tahu sendiri…” Jelas Ibu kembali mengecup lenganku. Namun kali ini, lebih lama daripada kecupan sebelumnya.

ANJIMMM.
Mendapat sentuhan bibir Ibu, detak jantungku semakin keras berdenyut. Tumben-tumbennya, Ibu memperlakukan aku seperti itu. Meskipun aku hanya bisa merasakan kecupan itu beberapa detik saja, namun kelembutan bibir Ibu, bisa kuabadikan sepanjang masa.

Empuk, lembut, dan penuh mesra.
KAMPRET. Ini baru bibirnya.
Belum anggota tubuh Ibu yang lainnya.

“Jadilah lelaki yang setia pada pasanganmu, Sayang… Tak peduli secantik apapun godaan wanita lain diluar sana…” Bisik Ibu dengan nada yang begitu lirih.
“I… Iya Bu…”

“HAH…? SETIA…?”
Tiba-tiba aku berpikir mengenai kalimat yang Ibu ucapkan barusan. Kenapa ia berkata mengenai kesetiaan? Apakah Ayah selingkuh?

Entah kenapa, tiba-tiba aku memeluk tubuh ramping Ibuku kuat-kuat. Dan juga, kali ini, kuberanikan diri untuk membalas kecupan Ibu. Dengan mengecup batang leher Ibu yang begitu jenjang.

“Ohhh. Wangi sekali aroma keringat Ibu…” Batinku sambil menghirup aroma tubuh Ibu. Tanpa mempedulikan kepala penisku yang makin ter-ekspos keluar dari ban pinggang celana boxerku. Terus saja kugesekkan ujung kemaluanku yang sudah memerah itu ke pantat Ibu, tanpa mempedulikan rasa malu sama sekali.

“Peluk Ibu kenceng Sayang… Lebih erat lagi…”

Seolah mendapat ijin dari Ibu, tanpa ragu-ragu lagi, makin kutempelkan batang kemaluanku yang sudah berdenyut begitu keras ini ke pantat Ibu. Kutempelkan batang penisku sedekat-dekatnya dengan belahan pantat Ibu. Bahkan kali ini, aku sengaja menggerakkan naik turun batang penisku, supaya Ibu mengerti dengan nafsu birahiku yang begitu menggebu terhadap dirinya.

Seperti tahu dengan ke-inginanku, Ibu lalu melepas genggaman tangannya. Ia memajukan tubuh atasnya lalu bersandar di bibir jendela. Entah sengaja atau tidak, posisi berdiri Ibu sekarang agak condong kedepan. Dan karena menumpu pada kedua sikutnya, tubuh Ibu jadi sedikit menungging. Seolah menyodorkan belahan pantat bulatnya kepadaku.

“Peluk Ibu lagi, Sayang…” Pinta Ibu dengan tepukan lembut ke tanganku yang masih melingkar di perutnya.

Mendengar permintaan Ibu, aku seperti kerbau ternak yang dicocok hidungnya. Menuruti perkataan Ibu tanpa membantah sedikitpun. Kudekap tubuh Ibu dari belakang dengan erat. Tanpa mempedulikan batang kemaluanku yang hampir keluar seluruhnya dari ban pinggang boxerku.


“Lebih kenceng, Sayang…” Ucap Ibu yang kali ini, menepuk pahaku. Seolah memintaku, supaya terus menggesek-gesekkan batang penisnya ke belahan pantat bulatnya. Hingga entah sejak kapan, aku menyadari jika perlahan-lahan, pinggul Ibu ikut bergoyang. Seiring gerakan batang penisku yang menggesek-gesek pantat semoknya.

“Lohhh.. Ehhh…? Kok Ibu ikutan goyang…?”
“Apa Ibu menyambut kemesumanku…?”
“Apa Ibu suka…?”
“Apa Ibu pengen aku cabulin lebih jauh lagi…?”

“Emangnya… Kamu mau ngentotin Ibumu..?”
Mendadak, kalimat sialan itu, tiba-tiba berseliweran lagi di kepalaku.

“Kamu mau ngentotin Ibumu..?”
Ulang suara Ayah, yang menggema di benakku.

“Mau ngentotin Ibumu..?”

“Ngentotin memek Ibu”


ANJIM…
“Aku tak tahan lagi…” Seruku yang tanpa ijin dari Ibu, langsung mengendorkan pelukan tanganku di pinggangnya. Lalu menaikkan satu tanganku kearah payudara besarnya. Aku ingin, sembari menggesekkan batang penisku ke belahan pantat Ibu, aku juga bisa merasakan kelembutan tetek besarnya. Paling tidak, aku pengen meremasnya pelan.

“Dek… Rianiku, Sayang…” Tanpa kusadari sama sekali, tiba-tiba aku mendengar suara Ayah yang begitu dekat.
“Eehh… Ayah…” Ucapku panik. Buru-buru, kulepas pelukan tanganku dari tubuh Ibu. Gelegar suara Ayah, seketika itu membuat birahiku sirna. Tertutup oleh rasa takut yang begitu mencekam.

“Iya Mas…?” Sahut Ibu begitu santai. Sama sekali tak terkejut dengan kehadiran Ayah didekatnya. Bahkan, saking santainya, Ibu sengaja menggenggam pergelangan tanganku sudah terlepas dari tubuhnya, dan mengembalikan ke pinggangnya. “Ada apa…?”

“Mas jalan dulu ya…?” Sambung Ayah yang dengan sorot mata tajamnya, menatap lekat-lekat kearah Ibu dan diriku. “Anak-anak sudah siap…”
“Iya Mas… “ Sahut Ibu yang masih terus mendekap kedua lenganku. Seolah memintaku untuk terus memeluknya, tanpa mempedulikan denyut penis putra kandungnya, yang begitu terasa pada belahan pantat bulatnya.

“Rama…!” Hardik Ayah ketika melihatku yang masih berada di belakang tubuh Ibu.
“Iiya, Yah…?” Kagetku
“Kamu ngapain sih…? Peluk-peluk Ibumu seperti itu…” Sentak Ayah yang lagi-lagi mengagetkanku.

“Emang kenapa…?” Celetuk Ibu memotong kalimat Ayah, “Ga boleh…?” Sambung Ibu yang tiba-tiba memasang wajah ketus.
“Ya… Nggg… Ngga kenapa-napa sih…” Ucap Ayah melunak.
“Masa peluk Ibu sendiri, kamu larang-larang, Mas…?” Sindir Ibu yang seolah ingin memamerkan kemesraan bersamaku, langsung memundurkan tubuhnya. Lalu mengusel-uselkan lagi kepalanya di pundakku.

“Nnggg….” Jawab Ayah serba salah.
“Apa kamu pengen…? Istrimu ini dipeluk-peluk lelaki lain…?” Sindir Ibu makin absurd.
“Kamu ngomong apaan sih, Dek…? Kok jadi ga jelas gini…?” Sahut Ayah makin kikuk

“Apa salahnya, kalo seorang Ibu pengen dipeluk putra kandungnya…?” Sindir Ibu lagi sambil menepuk lenganku pelan, “Kencengin lagi pelukanmu, Sayang…” Pinta Ibu sembari memundurkan pinggulnya. Kembali menempelkan bulatan pantatnya ke batang penisku yang sudah berdenyut hebat.

“Tunjukin ke Ayah, Sayang… Meskipun ga ada Ayah didekat Ibu… Masih ada kamu yang akan menyayangi Ibu…” Ucap Ibu ketus sembari menggoyang-goyangkan pantatnya dalam pelukanku.

GILA. IBU BENAR-BENAR GILA.
Entah apa yang ada dipikiran Ibu, Yang jelas, dihadapan Ayah, Ibu berani menggodaku sejauh ini. Tanpa malu sama sekali, Ibu menyodorkan pantat bulatnya kepadaku. Seolah-olah, memperbolehkanku untuk menjadikan pantatnya sebaga alat pemuas nafsu birahiku.

“Mungkin karena tertutup jendela besar ini, Ibu berani berbuat seperti ini…” Batinku mencoba mengamati.
“Mungkin juga.. Karena Ibu kesal terhadap Ayah… Ia ingin membuat Ayah cemburu melalui-ku…”
“Atau mungkin… Ibu sudah jatuh ke pelukanku… Dan merelakan tubuhnya untuk memuaskanku..”

ANJIIIMMM
BODO AMAATT…

“Kalo Ibu berani berbuat mesum seperti itu didepan Ayah… Maka… Aku pun berani melakukan hal yang serupa..” Ucapku dengan hati yang sudah tertutup oleh birahi. Makin menggesekkan batang penisku secara nyata ke belahan pantat Ibu. Membenamkan batang berdenyutku sambil sesekali menyodok tubuh Ibu dengan terang-terangan di hadapan Ayah.

“Ohhh Ibuuu…”

CRET CREETT CREEETCREETT CRETTT
Tanpa bisa kutahan-tahan lagi, spermaku tiba-tiba meledak. Menyembur dahsyat keatas, dan mendarat di punggung daster Ibu dan kaos bagian dadaku.Meskipun tak banyak, akan sensasi akibat lompatan cairan kenikmatanku itu, terasa begitu enak. Benar-benar ENAAAKK.

“Yaudah kalo kamu mau berangkat sekarang Mas… ” Ucap Ibu dengan nada yang masih ketus, “Biar nanti Rama aja yang menjagaku…” Sambung Ibu sambil tersenyum kearahku, “Ya nggak, Sayang…?”

“Hhh.. Hhh.. Iya Bu…” Ucapku menahan deru desahan nafas lega, akibat ejakulasiku barusan. “Tenang aja, Yah… Ibu bakalan Rama jagain…Dengan nyawa Rama sebagai taruhannya…”
“Tuhh.. Denger sendiri khan…?”

“Hhhh… Yoweslah…” Ucap Ayah pasrah. Ia paham betul dengan mimik istrinya itu. Meskipun Ayah diperbolehkan berangkat untuk lomba, akan tetapi ia tak mendapat restu dari istrinya.
“Yowes gih… Berangkat… Nanti yang disana bakalan kelamaan loh nungguinnya…”

“Ehhh…?” Kagetku dalam hati, “Yang disana…?”
“Aaahhh… Yaudahlah… Terserah kamu aja kalo gitu…” Ucap Ayah yang kemudian membalikkan badan. Lalu berjalan gontai ke rombongan lombanya. Dan tanpa pamit lagi, Ayah segera naik ke mobil, dan meninggalkan kami berdua disini.


Bersambung,
By Tolrat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd