Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kemurnian Keluarga

Bimabet
Kemurnian Keluarga
Part 02 | Awal Keberuntungan



Keesokan paginya, aku terbangun karena terganggu oleh bias sinar matahari yang terpantul dari lonceng jam wekerku. Membuat kamar tidurku seketika terang benderang. Kurentangkan tubuhku sejenak. Sekedar melemaskan otot-otot tubuhku yang kaku. Setelah itu, aku bangkit, dan duduk menatap langit yang begitu cerah melalui jendela kamarku.

“08.30…” Ucapku dalam hati ketika mengetahui jam berapa aku membuka mata pagi itu. “Sial… Aku bangun kesiangan banget…” Sambungku yang kemudian, bangkit dan beranjak keluar kamar.

Namun, ketika aku baru melangkah beberapa saat, aku mendapati Sebuah rasa ngilu dari bawah tubuhku. Begitu mengganggu sehingga membuatku agak kesulitan berjalan. Walhasil, aku kembali duduk di tepi tempat tidur, dan mencari tahu sumber rasa kurang nyaman tersebut.

Begitu kulihat kebawah, aku benar-benar terkejut. Aku mendapati jika batang penisku terasa begitu pedih. Ukurannya besar, namun menggelantung bebas. Mirip seperti pentungan hansip yang bergelayut, karena tak terisi oleh darah nafsu sama sekali.

“Ssshhh…. Uuuuhhh… “ Rintihku sedikit menahan sakit, ketika aku coba menyentuh kemaluanku yang terasa tebal itu. “Aku ga ngaceng kok. Batangnya empuk..” Karena penasaran, akhirnya kupelorot celana boxerku. Dan mencoba memeriksa lebih seksama, didepan cermin.

ANJAII…
Benar saja. Setelah aku periksa, ternyata batang penisku bengkak.

Dengan sangat hati-hati, kucoba membolak-balik batang kemaluan yang masih menempel erat di depan selangkanganku itu. Kupijat-pijat pelan, sambil terus mengamati setiap keanehan pada batangku. Dan setelah beberapa saat, aku pun menyadari, jika batang penisku yang masih tertidur tenang di pagi itu, tak berbentuk normal seperti layaknya bentuk penis pada umumnya.

Kepalanya begitu merah, mirip buah apel. Mengkerut imut, karena kulit tipisnya masih belum terisi oleh darah nafsuku. Kulit kulupnya pun masih setia, menutup sebagian besar kepala penisku. Urat di batang kemaluanku, juga masih nyantai, tak menjendol besar seperti cacing tanah.

“Kalo sedang dalam posisi tidur… Rasanya normal sih…” Ucapku terus memijat pelan batang kemaluan kesayanganku itu. Kutarik kulit kulupku, sedikit memeriksa apakah ada luka yang bisa mengkhawatirkan dibaliknya. Dan ternyata aman. Satu-satunya hal janggal yang bisa kudapati pagi itu, hanyalah leher penisku yang menggembung, namun lunak.

“Pasti ini gara-gara kebanyakan coli tadi malam….” Ucapku memberi sedikit kesimpulan. “Sepertinya coli semalam menyebabkan adanya jaringan tissue dikulit batang penisku yang robek, sehingga menyisakan rasa ngilu yang cukup mengganggu. “Mungkin aku terlalu keras menyiksa nih kontol..” Sambungku sambil melirik kearah lantai. Mencoba memunguti sisa-sisa tissue yang kugunakan sebagai wadah untuk membuang sperma-spermaku.

“Ehhh…? Kok…?”

Jantungku mendadak berhenti ketika aku mendapati lantai kamar tidurku benar-benar bersih. Tak ada lagi baju ataupun celana yang berserakan. Begitu pula dengan semua gumpalan tissue yang kugunakan untuk membuang spermaku, hilang tak berbekas, tak tahu rimbanya..

“Semalam. Aku coli 3x keluar… Jadi harusnya, tissue-tissue itu ada dilantai…” Ucapku bingung sambil berusaha mengingat-ingat, apakah yang terjadi semalam. Lagi-lagi, aku mencoba celingukan ke seluruh penjuru kamar, namun tetap saja, nihil. “Aduh, siapa yang beresin semua tissue-tissue itu….?”

“Apa jangan-jangan, tissue bekas pejuh itu, diberesin Ibu…?” Tebakku dalam hati, mengingat Ibu adalah orang yang superbersih, “Tapi kapan ya? Kira-kira Ibu masuk ke kamar…?”
“Atau bisa juga, yang membereskan semua bekas masturbasiku, adalah Ayah…?” Tebakku lagi mencoba berspekulasi. “Eh… Tapi ya masa Iya, Ayah mau mungutin sisa-sisa tissue yang berisikan pejuh dilantai…?”

Sebenarnya, aku sedikit lega jika seandainya memang Ibu yang membersihkan tissue-tissue tersebut. Karena rahasiaku bisa sedikit aman bersamanya. Bahkan, ketika aku membayangkan Ibu mengambil gumpalan tissue berisi pejuh dilantai, aku sedikit terangsang.

“Apa ya..? Yang kira-kira yang Ibu pikirin ketika melihat pejuhku yang begitu banyak berserakan dilantai…?” Pikirku sembari menyentuh batang penisku yang perlahan menggembung.
“Tapi….?” Tiba-tiba pikiranku juga mencoba membayangkan hal lain, “Gimana seandainya, jika ternyata Ayah yang membereskan sisa-sisa kemesumanku semalam…?”

AAHH KAMPREEETT.
Buru-buru, aku mengetuk-ketuk dinding kamarku. Berharap supaya pemikiran keduaku, tak terwujud sama sekali.

Tak mau berlarut-larut mencari tahu siapa orang yang membersihkan lantai kamarku, segera saja aku mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Dari sudut mata, aku bisa melihat Ibu yang masih sibuk di dapur sambil mendendangkan lagu.

Melihat Ibu bergoyang karena dendang nyanyiannya, kuhentikan sejenak langkahku. Kutatap tubuh molek wanita yang mengandungku selama 9 bulan itu lekat-lekat. Meskipun penampakannya hanya terlihat dari belakang, aku bisa membayangkan betapa cantiknya Ibu.

Rambut hitam panjangnya digelung keatas, memamerkan leher jenjangnya yang ditumbuhi anak-anak rambut. Membuatku ingin mengecupnya tipis-tipis sambil menyebutkan kata-kata romantis di telinganya. Pundak dan bahunya yang mungil, mengkilap saking putih kulitnya. Membuatku ingin memeluknya erat dari belakang. “Oohh Ibuuu…” Darah birahiku perlahan berdesir saat membayangkan semua hal itu.

Lengannya yang lencir, mulus dengan bulu tipis. Pinggangnya yang benar-benar ramping, tak menciri-kan wanita berusia 35 tahun sama sekali. Pantat membulat, naik menonggeng. Membuatku ingin meremas dan menyelipkan batang penisku dibelahan pantatnya. “Riani… Betapa seksinya dirimu Buuu…” Lenguhku yang mulai mengusap penisku dari luar boxer.

“Ehh.. Anak Ibuuu…?” Kaget Ibu ketika mendapatiku berdiri menatapnya dari ujung pintu dapur sambil mengelus-elus selangkanganku, “Udah bangun, Sayang….?”

Buru-buru, kupindahkan tanganku. Berpura-pura menggaruk rambut. “I.. Iya…Buu…”

“Hayo abis ngapain kamu tadi…?” Goda Ibu
“Ehhh… Enggak kok Bu… Ini kepalaku gatal…”
“Kepala yang mana…?” Lanjut Ibu terus menggodaku sambil lagi-lagi melirik kearah selangkanganku.

“Ehhh…?” Aku tak pernah menyangka, jika Ibu bisa berlaku nakal seperti ini. Karena dimataku, Ibu adalah wanita yang sopan. Yang tak pernah ingin bercanda jorok seperti ini.

“Gatal kepala atas…? Atau bawah…?”
“Ingin rasanya, kujawab ‘gatal kepala bawahku, Bu’

Aku tak berani membalas pertanyaan Ibu. Melihat tingkahku yang canggung, Ibu hanya tersenyum. Ia lalu berjalan mendekat dan mengecup keningku lembut, “Yuk… Sarapan dulu…” Bisiknya sembari melirik kearah tonjolan penisku yang menyembul dari balik boxer

“Nggg… Rama mandi dulu deh, Buu..” Balasku malu dengan tatap dan senyum Ibu
“Owwhh… Iya gih…” Sahut Ibu, “Biar badanmu.. Ga bau kaporit campur pandan ya, Sayang… Hihihi…”

ASEM
Mukaku terasa panas karena kalimat sindiran Ibu barusan. Juga bersyukur, karena bukan Ayah yang membereskan tissue dikamarku.

- - - - - - -
JBUUR JBUURR JBUUURR
Kubasuh tubuh layu-ku dengan guyuran air dingin. Sekedar melarutkan pikiran kalutku akibat godaan Ibu barusan. Kulirik lagi, batang penisku yang bentuknya masih belum kembali ke model terakhirnya.

“Bisa-bisanya Ibu menggodaku seperti tadi…” Kesalku karena merasa kembali tanggung karena senyum dan lirikan Ibu barusan ketika menatap kearah selangkanganku. “Coba aja kondisi. Batangku ini masih fit… Udah habis-habisan lagi kukocok sampai tetes pejuh terakhirku…”

“Ssshhh… Ibu… Kadang kamu bisa jadi nakal ya, Buu….” Lenguhku sedikit merasa, ada rasa ngilu ketika kucoba mengocok batang penisku yang masih bengkak ini. Bentuknya masih membengkak dan agak kurang lazim jika dilihat. Kuperiksa dengan seksama, kenapa kulitnya menebal seperti itu.

Sebenarnya, bengkak penisku, tidak terlalu terasa menyakitkan. Hanya saja bagian yang menggembung itu, kulitnya berasa kebas. Mirip seperti ketika gusi kita mendapat suntikan mati rasa, sewaktu hendak cabut gigi. Disentil nggak sakit, dicubit juga tak terasa nyelekit.

“Ohhh. Ibu… Gara-gara dirimu, perasaanku jadi merasa aneh seperti ini…” Ku hela nafas panjang, lalu kutatap kearah langit-langit kamar mandi. Membayangkan kejadian yang kemarin baru saja kualami.

Lekuk tubuh Ibu, kembali meracuni pikiranku. Payudara besar Ibu beserta putting yang berwarna coklat cerahnya, perlahan muncul, menyemarakkan gejolak pikiran mesumku tentangnya. Kulitnya yang mulus ketika tersentuh olehku. Kancutnya yang tak mampu menyembunyikan gundukan tebal vaginanya. Serta segala macam keseksian tubuhnya, membuat batang penisku semakin cenut-cenut.

Perlahan, batang penisku kembali menggelembung. Terisi darah birahi yang entah kenapa tak kunjung sirna. Baru saja semalam aku muncrat sebanyak 4x, masa pagi hari gini, sudah kepingin coli lagi.

Kuguyur kepalaku dengan air sebanyak mungkin. Berharap pikiran mesum itu ikut hilang, tersiram oleh deburan air yang membasahi tubuhku.

BYAR BYUR BYAR BYUR.

“TOK TOK TOK TOK…”
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar mandi

“Rama…?” Panggil seorang wanita dari balik pintu, “Sayang…?”.
“Iii.. Iya Buuu…” Sahutku menghentikan guyuran gayungku.

“Mandinya jangan kenceng-kenceng….” Ucapnya sedikit berseru, “Air mandimu meluber keluar pintu kamar mandi…”
“Ehh.. I.. Iyaaa…” Jawabku buru-buru, “Maap…”

“Yaudah, abis selesai beresin luberan air kamar mandi… Langsung sarapan yaa…” Sambung Ibu, “Makanannya udah Ibu siapin di meja makan…”
“Baik…”
“Ibu mau petik anggur dulu di taman belakang…”

- - - - - - -​

Pagi itu, aku makan begitu lahap. Seperti baru puasa makan 3 hari. Semua lauk yang Ibu siapkan untuk sarapan, kulahap habis. Bahkan sayur yang biasanya aku cuekin, ikut masuk kedalam mulutku. Mungkin karena semalam protein tubuhku terbuang sia-sia digumpalan tissue, membuat tubuhku meminta pelampiasan timbal balik dengan cara meminta asupan makanan.

Begitupun saat aku meminum teh manis yang sudah tak hangat lagi disampingku. Bisa kuhabiskan dalam beberapa kali tenggak, tanpa jeda sama sekali. Bahkan, aku mengisi lagi teh manis itu hingga penuh, sebelum akhirnya kuhabiskan lagi untuk kedua kalinya.

“Ramaaa… Ramaaaa…”

Ditengah keseriusanku sarapan, tiba-tiba terdengar jeritan suara panik Ibu dari arah teras belakang rumah. “Ramaaaa… Tolong Ibu, Naaaakkk… Ramaaaa….”
“Kenapa Buuu…?” Sahutku yang dengan sigap, buru-buru loncat dari kursi makan. Menghambur secepat kilat, kearah panggilan Ibu tadi.

Sambil sedikit berlari, aku mencoba mencari tahu, apa yang sedang Ibu hadapi.

PLAK PLAK PLAK
Di pintu teras belakang, aku bisa melihat Ibu sedang memukul-mukulkan tangannya secara membabi buta kearah tubuhnya sendiri. Aku tak tahu, apa yang sedang Ibu hadapi. Yang jelas, Ibu terlihat begitu kewalahan melawan musuh yang tak kasat mata.

PLAK PLAK PLAKPLAK
“Kenapa Bu…?” Tanyaku ketika sudah berada disamping Ibu yang masih saja sibuk memukul kearah leher, tangan, paha , dan betisnya. “Ibu lagi ngapain sih…?”
“Ini Sayang… Tolongin Ibu…” Seru Ibu tanpa memberitahu, apa yang harus kulakukan.

PLAK PLAK PLAK
“Iya… Ini Rama juga mau nolongin Ibu…” Jelasku, “Emang apa yang mau ditolongin Bu…?”

PLAK PLAKPLAK PLAK
“Dasar semut nakal…” Ucap Ibu makin kesal sambil menepuk-nepuk leher, perut, area pantat serta selangkangannya.
“Semut…?” Tanyaku heran.

Buru-buru, kupicingkan mataku. Berusaha menangkap maksud dan keluhan Ibu dibawah teriknya sinar matahari yang semakin tinggi.

Rupanya, sedari tadi, Ibu berusaha menghalau ratusan semut yang sedang menggigiti sekujur tubuhnya, dengan cara menepuk-nepuk hingga mati. Sepertinya, tadi ketika sedang memetik anggur di kebun, Ibu tak sengaja menginjak sarang semut. Walhasil, sekujur tubuh ibu, langsung dikerubutin semut yang murka.

“Dasar semut tak tahu diri… Udah numpang tinggal gratis di kebun Ibu… Masih aja nyakitin yang punya kebun… ” Kesal Ibu sambil terus menepuk-nepuk tubuhnya.

PLAK PLAK PLAK PLAK
“Rama.. Jangan diem aja atuuuhhh… Sini, buruan bantuin usir semut-semut dari badan Ibu…” Pinta Ibu makin kesal karena melihatku yang mematung dihadapannya.
“A.. Aku.. Nggg… Aku… Aku ambilin obat nyamuk semprot aja ya Bu…?” Tanyaku mencoba memberi saran yang cukup bodoh.
“Terus…? Kamu semprot badan Ibu pake obat nyamuk, gitu…?” Sahut Ibu kurang setuju.

“I.. Iya…?
“Duh.. Engga ahhh… Pasti bakalan iritasi nih kulit Ibu kalo kamu seprot pake obat gituan…”

PLAK PLAK PLAK PLAK
Pasti rasanya bakalan pedes dikulit..”

Karena tak tahan merasakan gigitan semut di tubuhnya, Ibu segera memegang bawahan dressnya. Manaikkan keatas, melewati perut, leher dan kepalanya. Setelah itu, ia membuangnya kesamping, kearah tumpukan keranjang anggur yang ada disudut teras.

PRANG…
Suara gelas terbanting nyaring dilantai akibat terpeleset dari tanganku. Pecah berkeping-keping dilantai, hingga tak berbentuk sama sekali.

Aku tak sadar, jika sedari meja makan tadi, aku membawa gelas minum ditanganku. Dan ketika dress Ibu terlepas seluruhnya, aku bisa melihat setengah tubuh telanjang wanita yang melahirkanku 18 tahun lalu.

Ibu yang terpampang jelas di depan kedua mataku,
Ibu yang masih sibuk menepuki semut ditubuhnya, mau-tak mau melihat kearahku.

“Udah biarin aja gelasnya, Ntar Ibu yang beresin.. Sekarang sini… Bantuin Ibu… “ Panggil Ibu sembari melambai-lambaikan tangannya kearahku.
“.….. “ Aku yang belum sadar dengan apa yang terjadi, hanya bisa menatap kaku ke arah ibu. Melongo melihat penampilan payudara besar Ibu yang terlihat jelas dimataku.
“Rama… Heeehh… Malah ngelamin…” Panggil Ibu, “Ayo sini… Buruan bantu ibu…”

“I… Ii… Iiiyaa.. B… Buu…” Gagapku seperti orang zombie idiot.
“Sini nak.. Bantu tepukin semut di badanIbu…”

ANNJIIMMM
Mimpi apa aku semalam. Bisa melihat sososk yang begitu menggiurkan ini didepan mataku.Aku juga baru menyadari jika ternyata, aku adalah putra paling beruntung yang ada dimuka bumi. Karena aku bisa mendapati suatu yang benar-benar merubah pandanganku terhadap Ibu.

PLAK PLAK PLAK
Dengan muka merah padam, aku membantu ibu menepuk-tepuk semut yang ada di tubuhnya.

Awalnya, aku masih konsen ketika mencoba menepuk-nepuk semut di rambut, punggung, pundak dan lengan Ibu. Akan tetapi ketika Ibu memutar tubuhnya dan menghadapkan kedua payudaranya yang super besar itu kearahku. Detik itu juga aku seolah menjadi patung.

Aku tak mampu bergerak
Aku juga tak mampu berucap.
Bahkan untuk nafas dan mengedipkan mata aja aku susah.

“Rama… Ihhhss… Jangan diliatin aja atuuuhh… Tolong ini… Singkirin semut-semutnya dari tetek Ibu…” Ucap Ibu menyentil dahiku. Menyadarkanku seketika dari segala lamunan dan pikiran mesumku.

puk puk puk…
Pelan sekali tepukan tanganku ketika mendarat di payudara Ibu. Beda sekali ketika aku menepuk semut di area lain. Bahkan, saking lembutnya, tepukan itu berasa seperti remasan pada payudara besar Ibu

“Ihhhsss… Ramaaaa.. Yang kenceng atuh nepuknya…” Pinta ibu yang kali ini, menaikkan kedua bulatan payudaranya hingga dagu. Membuat kulit bagian bawah payudaranya terekspos jelas di mataku, “Bawah tetek Ibu, Sayang… Masih berasa gatel banget…”

puk puk puk puk…
Lagi-lagi, aku ta tega untuk menepuki payudara lembut Ibu itu. Aku hanya bisa terus mengusap sembari sedikit merasakan halusnya kulit dan empuknya buah dada Ibuku.

Tiba-tiba, aku merasa ada sebuah rasa iri menyeruak didalam hatiku. Dan rasa iri itu, kutujukan kepada Ayah. Betapa tidak, Ayah bisa setiap saat merasakan hal yang menyenangkan seperti ini. Ayah, bisa kapan saja, mengusap, meremas, dan mempermainkan bulatan super empuk Ibu itu sepuas-puasnya. Bahkan, ketika Ayah ingin menghisap puting coklat cerah Ibu, ia bisa memintanya setiap saat. Tanpa harus merasa malu sama sekali.

Sedangkan aku, hanya disaat-saat khusus saja, baru bisa mendapat kesempatan menyenangkan bersama payudara Ibu seperti ini. “Ohhh.. Tetek Ibu…” Keluhku, “Kapan ya kira-kira aku bisa seperti Ayah…? Bisa menikmati tubuh Ibu semau aku…?”

“Rama.. Hallo…? Rama…?” Ucap Ibu yang sekali lagi, menyadarkanku dari lamunan. “Apa ada yang salah dengan tetek Ibu…?”
“Eeehh…? Ennggaak…” Jawabku tanpa melepas sedetik pun, pandangan mataku pada dua daging berurat samar kehijauan itu.
“Tapi kok kamu seperti orang yang kebingungan gitu…?”

“Please deh Bu, gara-gara keseksian tubuhmu-lah, aku jadi seperti ini… Putramu ini, bingung untuk dapat melampiaskan birahinya yang semakin memuncak…” Batinku yang secara spontan, memerintah tangan kananku untuk membetulkan posisi penisku yang makin membesar.

“EHHH…?” Kaget Ibu yang ketika tak sengaja, bola matanya mengikuti gerakan tanganku, “ASTAGA… RAMA…” Sambungnya dengan mata yang tiba-tiba melotot lebar.
“Iya, maafin Rama ya Bu, kalo Rama jadi sange karena melihat ketelajangan tubuhmu…” Jawabku lagi dalam hati.

“KAKI KAMU BERDARAH NAK…” Jerit Ibu memberi tahu.

“Hah…? Berdarah…?” Kagetku, “Apanya…?” Sambungku kebingungan.
“Itu Rama… Itu… Kaki kamu berdarah…” ucap ibu yang kembali panik karena melihat ceceran darah di sekitaran telapak kaki kiriku.

“Eeh…?” Aku semakin bingung, karena masih tak sadar jika telah membuat lantai disekitarku becek karena darah yang merembes dari tumitku, “A… Aku nggak kenapa-napa kok, Bu…”
“Heeeehh…” Sergah Ibu menahanku supaya tak banyak bergerak, “Udah-udah… Duduk di kursi sana…” perintah Ibu memaksaku duduk.

Dengan sigap, ibu kemudian menghambur masuk kedalam rumah. Kemudian keluar lagi sambil membawa handuk kecil, baskom air hangat, pembersih luka, perban serta plester. Setelah itu, ia jongkok, tepat di depan tempatku duduk. Dan memulai perawatan luka pada kakiku.

Aku tak mengira, jika pedihnya luka, bisa terabaikan ketika kita fokus akan sesuatu. Terlebih jika pada titik fokus itu, ditambahkan sedikit nafsu, maka rasa pedih itu akan sama sekali tak terasa.

Wajah Ibu terlihat begitu panik. Ia terus membersihkan lukaku. Sama sekali tak mempedulikan ketelanjangan dirinya. Tetek Ibu terlihat begitu putih. Bergoyang-goyang seiring gerakan tubuhnya. Dan dibawah siraman sinar matahari, aku bisa dengan mudah mengamati kulit, puting,dan urat-urat hijau, yang semburat samar di kedua payudara Ibu.

Namun, yang membuatku makin kaget adalah, aku bisa melihat ceplakan memek tembem Ibu, tercetak dengan jelas, dibalik celana dalam hijaunya yang ketat. Menyebul lucu, terjepit oleh semoknya paha putih Ibu ketika jongkok.

“Tahan ya, Sayang… Sebentar lagi selesai…” Ucap Ibu terus membungkus lukaku.

AAAAARRRGGGHHHH…
Jeritku dalam hati. Bukan karena sakit pada tumitku, melainkan karena susahnya mengontrol birahi pada diriku. Saking sangenya, aku merasa jika penisku serasa mau meledak .

“Gemoy sekali memekmu sih, Buuuu…” Seruku dengan mata yang tak berkedip sama sekali, “Pengen deh rasanya kuremas daging selangkangan beserta celah mungilmu itu…”
“Setelah itu, kujilat-jilat dengan lidahku, sebelum akhirnya, aku tusuk dalam-dalam liang rahimmu, dengan kontolku ini…”

“Rama…?” Panggil Ibu yang tiba-tiba melihat kearahku.
“Ehh…?” Tanyaku heran, “Ke.. Kenapa Bu…?”
“Kamu…?”
“Ya…? Aku kenapa Bu…?”

“Kenapa tanganmu merogoh-rogoh ke dalam celana boxermu…?” Tembak Ibu ketika melihat tangan kananku bergerak-gerak didalam celana.
“Eeeehh… Ini…” Kagetku tak mampu menjelaskan. Namun, aku juga tak mampu menghentikan gerakan tanganku. “Anu Bu… Ini.. Rama.. Anu…” Lanjutku gagap, sambil terus sibuk mempermainkan batang yang sudah mengeras di dalam celanaku.

Kontol kamu ngaceng…?” Tanya Ibu berusaha memperjelas kalimatnya, sambil melihat kearah gerakan tanganku yang tak kunjung berhenti.

Mendengar Ibu mengucap kata ‘kontol’, menjadikanku hilang akal. Spontan, nafsu birahiku semakin meledak-ledak. Bahkan, saking terangsang-nya, aku nggak peduli lagi dengan tatapan mata Ibu, yang mengamati gerakan tanganku naik turun, mengocok batang penisku dengan cepat.

“Rama…? Kontol kamu ngaceng ngelihat Ibu…?” Tanya Ibu lagi penasaran sambil sedikit menarik karet ban pinggang boxerku, untuk mengintip apa yang sedang tanganku lakukan didalam sana.

Seperti orang bisu-tuli, aku seolah kehilangan indra pendengaranku. Aku sama sekali tak mampu merespon kalimat pertanyaan Ibu. Aku bisa mendengar, namun aku tak mampu menjawab. Yang bisa kulakukan hanyalah, terus mengurut batang kemaluanku secepat dan sekuat mungkin.

“Iiiihhhsss.. Kok malah diem aja sih…?” Tanya Ibu gemes sambil menarik ban pinggang boxerku lebih kuat lagi. Mengintip kearah batangku yang tak dapat lagi kusembunyikan darinya.

BODO AMAT
Pikirku kalut. Tak mampu menahan lagi gejolak birahi yang sudah membuncah ini.

Tanpa berpikir panjang, kubiarkan saja jemari Ibu menarik ban pinggangku. Mengintip aktifitas tanganku yang sedang sibuk mengocok batang penisku. Karena nafsu, tak ada lagi rasa sungkan atau malu.

Alih-alih menghentikan kocokan tanganku, aku malah terang-terangan, memamerkan batang kemaluanku, tepat didepan wajah Ibuku. Kukeluarkan batang kebanggaanku, sambil terus mengocoknya kencang.

TEK TEK TEK TEK TEK
“ASTAGAA.. RAMAAA..” Kaget Ibu dengan mata melotot. Buru-buru Ibu mendekap mulutnya.

Melihat wajah kaget Ibu, entah kenapa dalam sepersekian detik kemudian, aku merasakan sebuah sensasi aneh, yang muncul dari dalam diriku. Rasa bangga, rasa penasaran, tertantang, sekaligus malu, takut, dan menyesal muncul secara bersamaan. Berkumpul didalam hati, dan melebur bersama dengan birahi yang semakin tak terkontrol lagi.

“Ohhhh… Ibu…” Lenguhku pelan karena tak mampu lagi menahan desakan nafsuku. Dengan kaki yang masih sakit karena bekas terkena pecahan gelas, aku langsung pergi keluar ruangan. Berlari pincang sambil terus menarik-narik batang pusakaku.

SUMPAH
Aku benar-benar tak tahan lagi.

Dan begitu sampai di kamar mandi, dengan satu gerakan tangan, kuturunkan celana boxerku hingga mata kaki. Kutekan dispenser sabun yang menempel di dinding, kemudian kuberi sedikit air. Setelah agak berbusa, kulumurin batang penisku hingga merata. Sebelum akhirnya, kubetot-betot lagi, kulit tongkat kemaluanku sekuat mungkin. Tanpa mempedulikan rasa pedih yang masih terasa menusuk kulit sensitif penisku.

TEK TEK TEK TEK TEK
“Ooooohhh Riannniiii…. “
“Sssshhh… Ibuku yang seksi….”
“Aku tak tahan lagi, Buuuu…”

TEK TEK TEK TEK TEK
“Ohhh.. Ibu….”
“Sssshhh.. Aku mau keluar Buu…”
“Anak kandungmu ini… Sssshhhh… Mau keluaaarrrr… Buuuuu…..”



CROOOT CRROOOT CROOOCOOOT CROOOT CROOOTTT






Bersambung,
by Tolrat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd