Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA KEMBANG KOMPLEKS (collab with @killertomato)

PART 3: TAWARAN MENARIK

Di rumah nomor 16, yang tepat berada di sebelah rumah Rima dan Ryan, tinggal seorang perempuan yang tak kalah cantik dari Gina ataupun Rima.

Ia sedang menyapu teras rumahnya sembari mengamati satu per satu postingan yang masuk ke dalam feed instagram-nya. Satu tangan pegang sapu, tangan lain pegang smartphone. Multifungsi. Ciri khas ibu muda jaman now.

MEIF4GZ_t.png


Rizka Aulia yang sedang menyapu sembari menikmati berbagai postingan Instagram tersenyum saat melihat gambar yang baru saja di-post oleh Rima. Ia pun langsung memencet like dengan menekan lambang bertanda hati.

Meski baru saja berkenalan dengan istri dari Ryan tersebut, namun Rizka sudah bisa merasakan kecocokan dengan Rima. Mungkin karena keduanya sama-sama mengenakan kerudung dan berpakaian sopan, meski di baliknya mempunyai paras jelita dan tubuh yang indah. Tidak akan ada satu pun pria normal yang tidak akan naksir melihat mereka berdua.

Rizka langsung menuliskan komentar di bawah caption Rima yang kini juga perlahan-lahan dibanjiri komentar lain yang masuk.

Cantik melulu ih, kapan ga cantiknya? Berkebun aja kayak bidadari. Benar-benar istri idaman.

Komen Rizka itu pun dikirimkan.

Rizka geleng-geleng kepala melihat post dari Rima barusan, “Mahmud alias mamah muda yang satu ini emang bener-bener, cakepnya bikin ga kuat. Aku aja yang cewek kesengsem setiap lihat postingan dia, gimana cowok-cowok yang lain ya? Hihihi. Mbak Rima... Mbak Rima... udah manis, baik, cantiknya selangit. Beruntung banget Mas Ryan bisa dapetin kamu.”

“Apa sih, sayang? Kok ngomong sendiri? Jangan bikin aku takut deh,” ujar Raka Satria, suami Rizka, sambil duduk di kursi di dekat sang istri sembari mengenakan kaus kakinya. Ia sedang bersiap berangkat kerja.

“Ini lho, Kang. Mbak Rima yang tetangga sebelah posting gambar di instagram. Hanya gambar berkebun biasa sebenarnya, selfie pakai ponsel pula. Tapi entah kenapa hasilnya bisa bagus banget. Dasar orangnya memang cantik ya? Putih, bersih, anggun. Bikin iri aja. Kalau sudah cantik seperti Mbak Rima, mau pose bagaimanapun atau mau pakai pakaian kayak apapun sepertinya bakal tetap kelihatan cantik.”

Raka tersenyum. Ia sempat melirik sejenak ke arah foto yang ditunjukkan Rizka, dan harus diakui ibu muda yang tinggal di sebelah rumahnya itu tampak begitu seksi meski sedang berkebun. Namun ia tentu tidak bisa mengatakan itu di hadapan sang istri.

Pria tersebut kemudian memeluk sang istri yang tubuhnya teramat indah dari belakang. “Kamu juga cantik dan seksi. Kenapa harus iri? Nikah sama kamu itu hari patah nasional buat penggemar-penggemar kamu, tahu?”

“Heleh.” Rizka mencibir. “Jangan asal, Kang. Penggemar yang mana? Yang hobinya nongkrong di pengkolan? Itu mah bukan penggemar. Itu tukang ojek.”

“Eh jangan salah. Tukang ojek juga penggemar kamu lho. Inget nggak waktu kita masih di rumah lama, banyak kan tukang ojek yang berebut boncengin kalau kamu mau berangkat ke pasar.”

“Ish. Ya emang itu cara mereka cari duit kan? Bukan faktor aku-nya. Tapi faktor uang-nya.”

“Hahaha, ya udah deh.” Raka pun mengambil kunci motor dan helm dari meja. “Uang belanja aku tinggal di atas kulkas ya, terserah kamu mau beli apa, sayang.”

“Gucci boleh? Balenciaga? Prada? Hihihi.”

“Yeee.” Raka mencibir, “Boleh sih boleh. Tapi ga bakal cukup duitnya, paling banter tas belanjaan Indomaret. Gimana? Hahaha. Berangkat dulu ya, sayang. Doain pulang-pulang bawa duit segepok jadi bisa beliin kamu tas Gucci atau Balenciaga.”

“Hahaha, oke. Hati-hati ya, Kang.”

Raka mengangguk. Motornya melesat meninggalkan halaman rumah.

Rizka tersenyum sembari terus mengamati motor sang suami sampai benar-benar hilang dari pandangan.

Untuk beberapa lamanya ia menunduk dan mengelus perutnya. Ada raut wajah kesepian dan sedih di wajah cantik Rizka. Berapa lama lagi? Untuk berapa lama lagi mereka berdua harus terus mencoba mendapatkan momongan? Semua berita dan desakan dari orang tua, saudara, dan tetangga membuat beban bertambah berat bagi Rizka.

Ia tidak mandul. Itu sudah dibuktikan saat mereka periksa ke dokter.

Raka juga baik-baik saja.

Mereka memang belum beruntung – dan belum beruntungnya itu bertahun-tahun. Setiap tahunnya di acara pertemuan keluarga, pertemuan kampung, atau bahkan pertemuan kantor – selalu ada pertanyaan. Kapan nih ada momongan?

Apakah mereka tahu kalau Rizka dan Raka juga sudah berusaha keras? Bahwa mereka sudah mencoba segala cara yang mungkin mereka jalani? Berbagai macam obat dan herbal, yang katanya ini dan katanya itu, semua sudah dicoba. Pandangan menghakimi dari masyarakat membuat Rizka kian terkurung dalam sangkarnya. Ia tidak ingin keluar jika pertanyaan itu yang pertama kali akan diajukan kepadanya.

Kalau seandainya memang sampai akhir nanti mereka tidak akan mendapatkan momongan, mau bilang apa? Apa ya marah-marah? Kan bukan mereka yang menginginkan hal ini terjadi. Mereka mau saja punya anak dan memberikan cucu bagi orangtua dan mertua. Tapi tidak semudah itu ternyata kenyataan yang mereka jalani. Tahun demi tahun dilalui tanpa ada secercah harapan meski harapan tetap selalu ada dan mereka pun tak putus asa untuk terus mencoba.

Rizka menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. Semua orang punya masalahnya sendiri-sendiri, dan yang bisa ia lakukan dengan masalahnya dan suami tercintanya lakukan adalah terus berdoa dan berusaha. Itu saja.

Huff.

Eh tapi omong-omong, kenapa pagi ini panas banget ya? Jadi haus melulu seharian ini. Kayaknya asyik juga kalau bikin es kelapa muda. Abang sayurnya lewat ga ya hari ini? Rizka pun buru-buru menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Mbak Rima sedang apa ya? Aku pengen main ke rumahnya ah.


***​


“Bengong mulu, Mbak. Entar kesamber apaan tau.”

Rima tersadar dari lamunannya ketika suara Rizka terdengar. Ibu muda jelita itu langsung tertawa melihat tetangga barunya nyengir di depan rumah. Rizka berjalan memasuki pekarangan rumah RIma. Dengan terburu-buru Rima pun berdiri untuk menyambut tetangganya tersebut.

“Hahaha, makasih ya, Ri. Sudah disadarkan dari kesurupan. Hahahaha. Ga tau dah, kenapa hari ini rasanya aneh banget – jadi sering banget ngelamun. Kenapa ya?” Senyum manis khas Rima ditebarkan, bahkan Rizka pun sampai terpesona. Yang cewek pengen menjadi dia, yang cowok ingin memilikinya. Begitulah.

Rizka yang berdasar kesepakatan di pertemuan pertama mereka dipanggil Riri oleh Rima pun mengerutkan kening mendengar keluhan sang tetangga. “Ngelamun sih biasa, Mbak. Aku juga sering gitu kalau tanggal tua. Hihihi. Emang kenapa kok aneh, Mbak?”

“Ya berasa aneh aja, Ri. Semacam ada perasaan tidak enak. Jantungnya berdebar tidak jelas, perasaan hati kosong dan gelisah. Semacam seperti itu lah.”

“Sudah minum tolak angin?”

“Hahahaha, bukan masuk angin ini sih.”

Sejak berkenalan, Rima dan Rizka seperti mempunyai tradisi untuk duduk-duduk di teras rumah. Kalau tidak di rumah Rima, ya di rumah Rizka, berganti-gantian saja. Mereka biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk berbincang-bincang ngalor ngidul, atau sekadar menunggu tukang sayur lewat. Terkadang, Rizka akan membawa makanan untuk sarapan mereka berdua, atau sebaliknya.

MEIF4GV_t.png


“Mungkin Mbak Rima lagi kangen berat sama Mas Ryan? Tadi kan Mbak Rima bilang di WA kalau Mas Ryan kemarin pergi keluar kota untuk keperluan dinas.”

“Hmm, masa iya kangen sampai begini amat? Kan aku sudah biasa dia tinggal dinas keluar kota. Ini bukan pertama kalinya lah, Ri. Kalau yang seperti itu aku sebenarnya sudah biasa. Di rumah lama juga begitu. Tapi ga tau hari ini kok berasanya aneh aja. Berasa kosong banget, kesepian, sunyi, sendiri, sepi. Pengen rasanya nabuh kentongan, hahaha, tapi nanti dikira ada yang kemalingan. Emang bener sih yang kamu bilang tadi. Kalau begini terus lama-lama aku bisa kesurupan. Hahaha.”

Rizka tertawa dan menjulurkan lidah dengan imutnya. “Nah kan? Makanya pikirannya jangan sampai kosong, Mbak. Isilah dengan kegiatan yang positif, nonton drama korea misalnya. Bikinin aku ayam rica-rica misalnya. Hihihi. Ngomong-ngomong, Radja lagi di dalam sendirian, Mbak? Rewel nggak dia ditinggal ayahnya?”

“Iya, Radja lagi tidur di dalam. Dia nggak rewel kok kalau ditinggal, karena dari lahir sampai sekarang kan memang sukanya sama aku terus. Kalau nangis ya tinggal dikasih netek aja, hihihi.”

Karena obrolan tersebut, pandangan Rizka jadi beralih ke bagian dada Rima yang membusung, khas perempuan yang baru melahirkan dan masih menyusui. Dalam hati, Rizka benar-benar mengagumi payudara Rima. Bukan hanya karena bentuknya yang indah hingga membuat semua lelaki terpana, tetapi juga karena dia iri ingin mempunyai anak dan menyusuinya juga seperti Rima.

“Atau...” Rizka meneguk ludah.

“Atau… Apa?” Rima kembali bertanya-tanya.

“Atau... maaf nih, Mbak. Atau... mungkin karena Mbak Rima mungkin sedang kangen sama Rama? Berhubung tidak ingin memikirkan yang sedih-sedih, maka Mbak Rima memilih tidak memikirkan apa-apa. Semacam menghapus kenangan dan jadinya justru pikirannya blank? Mungkin semacam itu? Atau gangguan PTSD gitu? Post Traumatic Stress Disorder?”

Rima tercenung sesaat, memikirkan semua pernyataan Rizka yang mungkin ada benarnya. Ia memang sempat menceritakan kepada tetangganya tersebut, tentang tragedi yang merenggut anak pertamanya, sebelum ia kemudian melahirkan Radja.

Apakah benar ia sakit seperti apa yang dikatakan sang sahabat? Sakit mental? Sakit karena masih terbayang akan Rama...? Akan peristiwa yang seumur hidup akan selalu menghantuinya? Rima menundukkan kepala.

Tragedi itu...

Wanita yang biasanya ceria itu kembali menunjukkan kesedihannya.

“Eh, aduh. Kok malah jadi sedih gitu, Mbak? Aduh, aku salah ngomong ya? Maaf ya, Mbak. Aduh... apa ya... Pokoknya aku ingin Mbak Rima jangan pernah merasa bersalah. Semua yang terbaik sudah dilakukan. Rama sudah berada di tempat yang lebih baik. Kita hanya bisa berusaha, tapi kita tidak bisa menentukan...” Rizka jadi merasa bersalah, ia mengelus punggung tangan Rima. Meskipun canggung, tapi Rizka tidak ingin Rima berlarut-larut dalam kesedihan. Dia tahu Rima sudah melalui masa-masa kesedihan yang bertahap-tahap dan ini saatnya bangkit kembali. Rizka kadang-kadang suka menyesal karena terlalu blakblakan dan tidak banyak berpikir saat berbicara. “Maaf karena aku terlalu ceplas-ceplos ya, Mbak. Jadinya Mbak Rima keingetan deh.”

Rima tersenyum sangat manis dan menggeleng, ia tak menjawab apa-apa. Peristiwa semacam itu tak akan mudah untuk dilupakan begitu saja dan pasti akan selalu teringat sampai tiba akhir masa – sampai sudah saatnya mereka bertemu kembali dalam keabadian. Rima tahu Rizka hanya berniat baik, meskipun kebaikannya itu membenturkan Rima pada sebuah kenyataan yang inginnya selalu ia benamkan dalam-dalam di sanubari.

Tidak boleh berlama-lama bersedih ya?

“Eh, tapi ada lho yang kemarin bikin aku bengong banget.” Rima mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk, ia menengadah seakan-akan sedang membayangkan sesuatu. “Bener-bener mengejutkan, surprise, tak disangka-sangka, di luar dugaan, netizen terperangah. Alasan kelima membuat ibu-ibu menangis. Hihihi.”

Rizka pun tertawa, “Apa tuh, Mbak?”

“Kamu tau Pak Rebo nggak?”

“Pak Rebo yang tetangga depan situ?” Rizka menunjuk rumah di depan teras Rima. “Kayaknya kemarin Pak Mul yang ketua RT sama Bang Ucup satpam sempat sebut-sebut nama dia. Yang lahire dino kemis kan?”

“He’em.”

“Dari cerita Pak RT kemarin sih, sepertinya Pak Rebo ini agak eksentrik kan ya? Eksentrik, kalau ga mau disebut aneh. Hihihi. Legend kalau di cluster ini sepertinya. Memangnya kenapa dia Mbak Rima?” Rizka mulai penasaran.

Baru kali ini memang Rizka mendengar ada penghuni kompleks yang berkelakuan seperti Pak Rebo. Di rumah lamanya, semua penghuni terkesan normal, sehingga gosip tetangga pun bisa dihitung jari. Karena itu, istri Raka tersebut pun jadi begitu tertarik. Namun mengapa tiba-tiba Mbak Rima jadi punya berita tentang Pak Rebo?

“Kemarin... dia datang ke sini. Menyapa aku.”

“HAH!?” Rizka terbelalak tak percaya. “Pak Rebo yang depan rumah? Datang ke sini?”

“Ya ga kesini sih, cuma di depan pekarangan situ aja.”

“Ngapain dia, Mbak? Wih hebat ini. Jarang-jarang kan dia ngajak ngomong orang lain. Biasanya diem bae. Diajak senyum aja melengos.”

“Orangnya ramah gitu kok ternyata, heran kan? Dia ngasih aku kue. Katanya dia sedang mencoba usaha kue rumahan gitu. Terus aku disuruh nyobain.”

“HAAAAH!?” Rizka semakin tak dapat mempercayai pendengarannya. Pertama, Pak Rebo menyapa Mbak Rima, kedua... ini yang jauh lebih gila lagi... Pak Rebo nawarin kue! Kue! Pak Rebo lho ini! Nawarin kue! Bisa-bisanya! Kalau saja ini orang yang sudah terbiasa nitipin kue ke warung, maka mereka tidak akan heran. Lah ini Pak Rebo! Jangankan kue, bikin kopi aja mereka tidak pernah lihat! “Te-terus?”

“Ya udah, gitu aja. Itu kuenya ada di meja makan. Semacam bolu kukus tapi dibikin cetakan besar. Enak kok, aku sudah nyobain habis beberapa potong.” Rima tertawa, “mungkin kita nanti jadi langganan kue bolu-nya Pak Rebo. Hahaha.”

“Nyobain ah... jadi penasaran aku.”

“Hahaha. Gih.”

Rizka pun melepas sendalnya dan masuk ke dalam rumah Rima. Ia mencuci tangan di wastafel dan mencomot sepotong kue bolu buatan Pak Rebo. Benar kata Mbak Rima, teksturnya mirip seperti bolu kukus. Warnanya putih dengan aroma vanila yang memiliki warna-warni pelangi sebagai penghias. Lumayan rapi dan apik, sudah jelas ini bukan kerjaan seorang pemula. Sembari menggigit kue itu, Rizka berjalan ke teras kembali untuk menemui Rima.

“Eh iya lho, Mbak. Beneran enak ini. Kagum aku sungguh. Ga nyangka kalau Pak Rebo ternyata berbakat jadi masterchef. Asem, ngaku kalah deh aku. Begini-begini aku malah ga bisa bikin kue bolu seenak ini.”

“Hahaha, ah kamu ini, Ri.”

“Ya habisnya ga nyangka aja, Mbak.” Rizka mengangguk-angguk, “approved lah ini. Besok kalau Mbak Rima pesan kue ke Pak Rebo, aku nitip ya. Hihihi.”

“Hahaha, siap. Nanti aku kabarin, Ri.”

“Ngomong-ngomong, Mbak Rima hari ini mau pergi?”

“Hmm, kenapa kamu nanya gitu?”

Rizka memang melihat ada sesuatu yang berbeda dengan busana Rima hari ini. Ibu muda yang biasanya selalu mengenakan daster panjang atau baju menyusui yang longgar, kali ini justru mengenakan kaos ketat yang makin menampakkan buah dadanya yang membuncah. Ia pun memakai legging ketat yang membungkus bagian paha serta betisnya yang aduhai. Wajar saja kalau Rizka menganggap tetangganya tersebut berniat akan pergi ke suatu tempat.

“Habis Mbak Rima kayak pakai baju pergi, hee.”

“Aku nggak mau kemana-mana kok,” ujar Rima sambil tersenyum. “Eh, itu ada tukang sayur. Kita ke sana yuk, Rizka.”

“Mb-Mbak yakin mau ke tukang sayur keliling pakai busana seperti ini? Memangnya nggak apa-apa?”

“Ya nggak masalah. Memangnya kenapa?”

“Nggak takut digigit sama Mang Ujang tukang sayur? Hee.”

“Biarin aja, kalau dia gigit nanti aku gigit balik.”

“Dihh, Mbak Rima porno …” ujar Rizka sambil mengejar ibu muda tersebut menuju tukang sayur yang berhenti di depan rumah mereka.

Dan seperti yang sudah diduga oleh Rizka, Mang Ujang sang tukang sayur pun langsung terpana melihat busana yang dikenakan Rima. Seingatnya, ibu muda yang merupakan penghuni baru Cluster Kembang Cempaka itu kemarin masih mengenakan baju kurung yang begitu longgar. Mengapa tiba-tiba berubah jadi seksi banget begini? Tukang sayur tersebut pun jadi teringat dengan Laras, seorang ibu muda juga di kompleks sebelah, yang sempat menggodanya namun tiba-tiba ngacir begitu saja ketika mulai didekati.

“M-Mau beli sayur apa, Bu Rima?”

“Mau bayam sama jagung manisnya, ada Mang?”

Dalam hati, Rima tertawa melihat tingkah tukang sayur tersebut yang seperti tidak nyaman saat berhadapan dengan dirinya. Perempuan tersebut sempat melirik ke arah Rizka, yang juga seperti kaget akan kenekatan tetangganya yang memakai pakaian seksi seperti itu ke luar rumah, meski masih mengenakan jilbab.

“A-Ada, Neng. Mau berapa?”

“Satu aja, Mang. Suami saya lagi nggak di rumah soalnya.”

“O-Oh... Gitu ya?”

Rizka mendadak langsung menarik lengan Rima hingga mereka berdua sedikit menjauh dari gerobak sayur Mang Ujang. Mereka pun berbincang sambil berbisik-bisik.

“Ssstt, Mbak Rima kok ngomong begitu?” Ujar Rizka.

“Kan memang benar suamiku nggak di rumah, jadi aku masaknya sedikit saja.”

“Iya, aku tahu. Tapi jangan ngomong gitu juga di depan pria asing seperti Mang Ujang.”

“Memangnya kenapa Rizka? Ingat, menurut agama bohong itu dosa lho.”

“Iya, aku tahu. Aku tidak menyuruh Mbak Rima berbohong, cuma kalau bisa tidak perlu berbagi terlalu banyak informasi kepada orang asing.”

“Tapi mengapa harus seperti itu?”

“Nghhh... Nanti Mang Ujang bisa menganggapnya sebagai undangan?”

“Undangan apa sih? Kamu kalau ngomong yang jelas dong, Rizka. Undangan pernikahan, undangan sunatan, undangan wayangan, atau apa?”

“Undangan untuk datang dan berduaan sama Mbak Rima di rumah.”

“Ihh, nggak mungkin kali Mang Ujang punya pikiran kayak gitu?”

“Mbak nggak tahu sih kalau semua cowok itu otaknya pasti mesum. Kalau Mbak berpakaian seperti kemarin sih mungkin dia akan segan. Tapi hari ini kan Mbak Rima berpakaian... beda.”

“Hmm, gitu ya.”

“Iya. Makanya harus hati-hati, Mbak. Lebih baik mencegah daripada mengobati kan?” Jelas Rizka yang masih heran mengapa tetangganya itu memilih mengenakan pakaian seksi seperti itu di luar rumah, sambil belanja sayur pula.

“Baiklah. Mungkin kamu benar. Aku akan ikuti kata-kata kamu. Terima kasih banyak ya,” ujar Rima.

“Sama-sama, Mbak. Sudah seharusnya kita sebagai sesama perempuan untuk saling menolong.”

“Betul itu.”

Setelah pembicaraan empat mata tersebut, Rima jadi tidak banyak bicara. Melihat itu, Mang Ujang pun jadi tidak terlalu aktif lagi mengajak ngobrol, meski sesekali ia masih melirik ke arah perempuan berjilbab nan cantik tersebut, mengagumi bentuk tubuhnya yang aduhai.

Ponsel Rizka tiba-tiba saja menyalak.

“Siapa tuh, Ri?”

Rizka melirik ke arah ponselnya dan teringat, “Oh alah. Ini, Mbak. Ada pesanan paket datang. Aku kemarin beli skincare di toko online. Ternyata sudah datang. Aku pulang dulu deh, Mbak. Makasih, ya.”

“Sama-sama, Ri. Ati-ati.”

Rizka pun pulang dengan langkah gembira menyambut skincare yang dibelikan oleh Raka. Rima geleng-geleng melihat kepergian sang sahabat yang teramat ceria. Rima bersyukur akan hadirnya Rizka. Untung saja ada dia yang selalu bisa ia ajak bicara dan berkeluh-kesah di hari-harinya yang sepi sebagai ibu rumah tangga, bahkan hanya curhat soal Pak Rebo saja bisa membuatnya bahagia dan merasa lega.

“Ini aja ya, Mang. Jadi semua berapa?”

“20 ribu, Neng.”

Rima pun langsung menyerahkan dua lembar uang pecahan sepuluh ribu, lalu beranjak kembali ke rumahnya. Ia tidak menyadari bahwa dari belakang mata Mang Ujang seperti melekat erat ke arah bokongnya yang sintal. Bongkahan pantat yang bergerak naik turun bergantian tersebut membuat nafsu pedagang sayur itu jadi menggebu-gebu. Ia pun jadi berusaha memikirkan cara untuk memuaskan birahinya tersebut.


***​


“Permisi, Pak. Mohon maaf mau bertanya.”

Satu wajah manis muncul dari balik kaca mobil yang tengah melewati gerbang Cluster Kembang Cempaka. Seperti biasa, mereka tentu harus melewati pemeriksaan terlebih dahulu di sana. Selain wajah manis berkerudung itu, ada dua orang lain yang juga berada di dalam mobil.

“Iya. Ada yang bisa saya bantu? Bade kamana?

Pak Mulyadi sang ketua RT dan Ucup si satpam kompleks yang kebetulan sedang berada di pos pemeriksaan langsung menoleh ke arah perempuan manis yang sedang duduk di kursi penumpang depan tersebut. Seperti biasa, kalau ada yang manis-manis begini, Ucup always selalu kudu menjadi Yamaha – semakin di depan. Dengan cengengesan Ucup pun mendekat ke mobil Alphard warna hitam tersebut. Pak RT sendiri hanya berdiri saja di dekat pos.

Sebagai seorang petugas keamanan, Ucup seperti langsung menyelidiki wajah para tamu tersebut. Siapa ya mereka ini? Apa yang mereka lakukan di sini? Apa yang mereka kehendaki? Nggak mungkin perempuan cantik seperti ini mau maling kan?

“Kalau rumahnya Ibu Rizka di sebelah mana ya?” si wajah manis bertanya.

“Ibu Rizka? Ibu Rizka yang mana ya, Teh? Ada banyak Bu Rizka di perumahan ini. Ada Rizka yang jualan lontong sayur, ada Rizka yang jualan pulsa. Banyak atuh Rizka-nya. Coba lebih spesipik, Teh,” Ucup memajang senyum andalan yang selebar jembatan Suramadu. “Kebetulan Aa Kepala Satpam di sini. Nah, kalau bapak ini, Kepala RT. Kami berdua hapal warga-warga sekitar.”

“Oh iya, Pak. Sebentar kami cek dulu. Rizka... Rizka siapa nama lengkapnya ya?” tanya si wajah manis itu pada orang di sampingnya, “Aku ga hapal deh, coba kamu lihat...”

“Bentar-bentar... Rizka... Rizka... aduh mana sih daftar namanya...” seorang laki-laki yang mengenakan kacamata hitam, berpakaian rapi jali ala direktur di sinetron Indosiar, dan memiliki kumis nan aduhai mulai memeriksa sebuah berkas di dalam ponsel miliknya. “Rizka... Aulia. Rizka Aulia.”

“Rizka Aulia?” Ucup menengok ke arah Pak RT yang ada di belakangnya, “Pak. Rizka Aulia teh saha?”

“Oalah. Rizka Aulia ya bojone Mas Raka. Bu Raka, Cup.” Kata Pak RT dengan logat medok-nya. Ia akhirnya ikut mendekat ke mobil sembari menunjuk ke sebuah arah. “Rumahnya yang Nomor 16, Neng. Apa perlu kami antar?”

“Oh, tidak usah, Pak. Terima kasih banyak. Berarti tinggal lurus ke sana saja ya?”

“Iya. Betul. Jalanan di kompleks ini yang memang cuma satu, tidak ada belokan sama sekali. Karena itu, semua penghuni di sini sepertinya akan masuk surga, karena setiap hari selalu mengikuti jalan yang lurus, hee.”

“Bapak bisa saja. Baik kalau begitu, terima kasih bantuannya. Hatur nuhun.” Si wajah manis tersenyum dan pria berkumis yang berada di kursi pengemudi lantas menganggukkan kepala tanda hormat. “Mari...”

Pak RT dan Ucup ikut menganggukkan kepala. Mobil itu pun berjalan pelan meninggalkan mereka berdua dan langsung melaju melewati deretan rumah bertingkat dua yang berada di sisi kiri dan kanan jalan.

Pak RT menabok kepala Ucup yang tidak segera kembali ke pos penjagaan. “Ayo, iki malah meneng ae neng ndalan. Cepet balik ke pos, nanti kalau ada mobil lain yang mau masuk atau keluar kamu malah kena tabrak.”

“Iya ih. Gurung gusuh si Bapak RT ini. Ini juga lagi mau balik.”

Pak RT hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah petugas keamanan tersebut. “Kalau jalan ya yang awas, kenapa matanya lihat ke sana melulu. Udah ga usah ngurusin mobil yang barusan.”

“Ini namanya tindakan prepentip, Pak. Berusaha mengawasi tamu yang datang demi keselamatan warga. Itu ada di standar operan... operen... operepen... opresyen prosedur saya sebagai satpam.” Ucup mencoba menjelaskan pada Pak RT yang malah mencibir, tak lama kemudian ia ketawa ketiwi. “ya... sekalian melirik yang geulis atuh, Pak.”

“Haish, wes ket mau ketahuan lagakmu, Cup. Lihat jidat jenong sedikit aja langsung belingsatan. Ga di rumah Bu Rima kemarin, ga di sini. Pantesan bojomu njaluk pegat ae.”

“Duh lieur euy, dimarahin terus. Tapi Pak RT juga mengakui kan kalau mbak berjilbab yang tadi masuk itu geulis pisan.”

“Ya, kalau dikasih yang modelan kayak gitu sih saya juga nggak nolak, Cup.”

“Nah... Makanya jangan salahin saya dong kalau kayak kesirep sama mbak-mbak itu.”

“Tapi dibanding yang tadi, kayaknya lebih cantik Bu Rima deh, hee.”

“Kalau saya sih lebih ngebetnya sama Bu Gina, istrinya Pak Jay, hihii. Tapi kalau dua-duanya mau sih boleh juga tuh,”

“Cupp... Cup. Tampang kayak gitu mau deketin dosen kayak Bu Gina. Istrimu masih mau dikenthu aja harusnya kamu bersyukur. Sudah dikasih hati malah minta terasi.”

“Salah, Pak.”

“Oh, iya. Itu maksud saya. Sudah dikasih hati malah minta salak.”

“Haiissshhhh …” Ucup tampak mulai kesal dengan tingkah kepala RT-nya tersebut. “Perasaan pinteran gue, tapi kenapa yang jadi RT malah dia sih?”

“Apa Cup, lo ngomong apa?”

Ucup pun menggeleng, takut diomeli oleh atasannya tersebut. “Nggak apa-apa, Pak. Cuma ada kecoak lewat tadi, tapi udah pergi.”


***​


Mobil Alphard berwarna hitam yang tadi baru saja memasuki wilayah Cluster Kembang Cempaka, kini sudah sampai di depan rumah Nomor 16. Ada tiga orang yang turun dari mobil, si mbak wajah manis yang berpakaian rapi ala marketing perumahan, si mas berkumis yang necis, dan satu orang lagi adalah seorang muda – pakaiannya santai, rambutnya dipotong model terkini, ada anting bulat di telinga kiri, kalung dengan rantai emas menjuntai, mulut komat-kamit sembari makan permen karet, dan kacamata hitam menghias wajah paspasan.

“Permisi... permisi.” Si Mbak wajah manis mengetuk pintu saat mereka bertiga sudah sampai di teras rumah.

Rizka yang tadinya berada di dalam rumah buru-buru mengenakan kerudung seadanya dan membuka pintu. “Ya? Siapa ya?”

“Permisi, selamat sore. Apa benar dengan Mbak Rizka?”

“Mmh sore, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya?”

Rizka menatap curiga dengan ketiga orang di depan rumahnya. Jangan-jangan mau nawarin asuransi? Model-model begini kalau ga nawarin asuransi ya biasanya MLM model piramida dan sebangsanya. Atau jangan-jangan mau ngajak dia ikutan main kripto. Entah darimana mereka bertiga tahu namanya. Apakah mereka dari satuan intelijen? Tapi kok penampilannya tidak sesuai.

“Saya Ratih dan ini Roger. Kami berdua dari Robekrobek Entertainment, Mbak. Kami berdua penggemar instagram Mbak Rizka.” Si wajah manis memperkenalkan dirinya dan si kumis necis sembari tersenyum sopan. “Kami ada penawaran kerjasama untuk Mbak Rizka. Apa boleh kami masuk dan menjelaskan maksud kedatangan kami?”

“Mmh...” Rizka berpikir keras. Diperbolehkan masuk atau tidak?

Jujur dia tertarik. Penawaran kerjasama? Kerjasama apa ya kira-kira? endorse kan maksudnya? Wah boleh juga nih, kayaknya penawarannya serius. Biasanya kalau endorse mereka bakal kontak via WhatsApp dan mengirimkan barang yang mau di-endorse, tidak menyempatkan diri untuk datang begini. Sepertinya oke. Kalau memang penawarannya bagus, dia bisa membantu Mas Raka menutup kebutuhan finansial yang sedang banyak-banyaknya beberapa bulan terakhir ini. Terutama sekali menutup hutang-hutang cicilan yang semakin bertumpuk. Mereka tidak perlu lagi menjual mobil dan tanah warisan. Itu kalau beneran penawarannya oke.

“Boleh, silakan.” Rizka mempersilakan tamu-tamunya untuk masuk ke dalam rumah.

“Terima kasih, Mbak.” Ketiga tamu Rizka itu pun berjalan melalui Rizka.

Mbak Ratih bau wangi parfum mahal, Mas Roger bau wangi parfum jantan, sementara si jamet yang paling belakang bau wangi minyak kutus-kutus.

MEIF4GZ_t.png


Rizka duduk di sofa ruang tamu rumahnya menghadap ketiga tamunya tersebut. Perempuan cantik itu memandang ke arah mereka dengan malu-malu. “Kalau boleh tahu... penawaran kerjasama apa ya yang tadi Mbak bicarakan?”

“Jadi begini, Mbak. Sebelumnya perkenalkan dulu kami dari Robekrobek Entertainment memiliki talent yang sangat populer di Youtube dan memiliki channel yang cukup ramai dikunjungi khalayak netizen. Talent kami adalah Mas ini... Mas Rhoma Wedhus.”

“Eh?! We... Wedhus?” Rizka terbelalak sembari mengangguk-angguk. Wedhus bukannya kambing ya? Kok julukannya agak... unik ya? Apa jangan-jangan bau badannya juga seperti Wedhus?

“Hahaha. Iya, Mbak. Itu nama julukan dari teman-teman saya.” kata Rhoma yang akhirnya bersuara juga. Logatnya agak medhok, mirip Pak RT. “Nama asli saya Mastun. Tapi supaya ngehits begitu di Youtube, saya pake nama yang agak keci, begitu.”

“Keci?”

“Catchy maksudnya, Mbak.” Roger membenahi sembari berdehem. Malu-maluin aja nih.

“Oh.” Rizka mengangguk-angguk, mencoba memahami.

“Nah, kami melakukan scouting Mbak Rizka setelah melakukan search secara berkesinambungan dan menyeluruh di instagram mengenai talent-talent yang kemungkinan bisa kami sewa untuk jangka waktu yang cukup panjang sebagai salah satu pemeran tetap di channel Youtube-nya Mas Rhoma ini.”

Rizka gamang, “Err... tapi follower saya belum banyak lho, kalau kalian memang mau yang sudah populer, ada Mbak Rima yang kebetulan tetang...” Rizka mencoba berdiri dan menunjuk rumah sang sahabat.

Tapi Ratih buru-buru menggeleng dan meminta Rizka duduk kembali, “memang kami sengaja mencari talent yang follower-nya masih... kurang, Mbak. Supaya tidak terlalu dikenal oleh netizen saat muncul sebagai pemeran di channel Youtube kami.”

Rizka duduk kembali, wajahnya memerah saat Ratih menyebutkan kata kurang. “Oh, begitu.”

“Jadi kami jelaskan duu ya, Mbak.” Roger membuka iPad dan meletakkannya di meja supaya dilihat oleh Rizka. “Di sini kami menunjukkan beberapa channel content creator kami yang jumlah subscriber dan view-nya cukup tinggi, Mbak. Sebagaimana Mbak Rizka ketahui, subscriber dan view jika dikonversi melalui Google Adsense dapat menghasilkan pendapatan lumayan jika dimonetisasi, itu tujuan utama kami - jujur saja. Nah, kami memang memiliki beberapa talent Youtuber yang kami kelola, mereka semua memiliki konten yang hampir mirip; yaitu prank, romantis, kehidupan sehari-hari, review makanan, review tempat wisata, hotel, review pakaian, dan sebagainya. Sederhana sebenarnya, tapi lumayan digilai netizen kita.”

Rizka hanya mengangguk-angguk mendengar informasi tersebut. Karena tidak ada pertanyaan, perempuan berjilbab yang memperkenalkan diri sebagai Ratih tadi melanjutkan penjelasannya.

“Nah, khusus untuk Mas Rhoma ini, kami mendesain konten Youtube-nya seperti buku harian digital, yang berisi kisah hidup dia sehari-hari, termasuk kisah percintaan beliau.”

“Oke... lalu apa peran saya?”

“Nah, kami membutuhkan Mbak Rizka untuk berperan sebagai pacar Mas Rhoma ini.”

“HAAAAH!?” Rizka melotot. “Pa-pacar? Tapi saya sudah menikah! Tidak mungkin saya...”

Ratih tersenyum dan mencoba menenangkan Rizka. “Benar sekali, Mbak. Kami memang membutuhkan talent untuk berperan sebagai pacar Mas Rhoma Wedhus. Ingat Mbak, hanya peran. Bukan sungguhan. Saat Mas Rhoma melakukan shooting, kami akan menemani kalian sepanjang perjalanan, kami yang akan mengedit videonya, dan kami juga akan mempersiapkan semua akomodasi untuk kallian berdua. Ingat ini cuma bohongan, Mbak. Dalam bahasa Youtube... ini semua settingan.”

“Oooh, settingan.”

“Iya. Ibarat aktris berperan dalam film, atau talent di acara reality show settingan seperti Rumah Kura, Katakan Cinta, Katakan Putus, Mengejar Janda, dan lain-lain.” Ratih tersenyum mencoba meyakinkan Rizka, “kalaupun nanti Mbak Rizka dan suami tidak setuju, kami juga tidak akan memaksa. Jadi silakan diputuskan berdua.”

Rizka mengangguk. Ia menilik ke layar iPad. Si Wedhus sedang beraksi membuka vlog-nya. Ini sepertinya salah satu teknik pengambilan gambar andalan, metode wawancara di mobil.

“Halo semuanya! Apa kabar gengs?! Ketemu lagi dengan saya Rhoma Wedhus Kapurbarus, yang punya wajah heavy metal tapi hati karet sendal. Hahahah. Sembari diiringi lagu Cuek-nya Rizky Februari, kita jalan-jalan di pinggir pantai yang rumantis ini. Hahhahaa, eaaaa, aseeekk. Hahaha. Nah, hari ini saya mau mencoba nge-vlog ini ya. Nge-vlog yang... apa sih ya kuwe jenenge... nge-vlog yang isine wawancanda, wawancara sambil bercanda dengan tamu kita hari ini, mbak Ririn Dwi Areola. Eh... lha kok malah areola si. Hahaha... salah nyonge, hahaha. Maapin becanda, Mbak Ririn. Selamat datang di vlog saya...”

Seorang wanita kemudian muncul di sebelah sang youtuber yang baru saja membuka intro di layar iPad yang tengah dipegang oleh Rizka, ia memperhatikan gerak-gerik sang youtuber yang lumayan populer secara lokal dengan sebutan Rhoma Wedhus itu sembari mengecilkan volume channel yang tengah ia tonton.

“Bagaimana, Mbak? Apakah berminat?”

“Kenapa saya?”

“Gimana, Mbak?”

“Kenapa kalian memilih saya?”

Ratih dan Roger saling berpandangan dan tersenyum, Ratih mendekat ke Rizka. “Karena Mbak ini meskipun sudah berkeluarga tapi awet muda seperti anak kuliahan yang imut, cantik, dan menarik. Mbak juga punya suara yang merdu kalau kami lihat saat cover lagu di Instagram. Sangat potensial sekali. Wajah cantik menarik berkerudung, berkulit putih, dan tubuhnya sangat sesuai seandainya kami ada endorse baju dan pakaian yang masuk.”

Rizka masih menimbang-nimbang, “Sebentar... sebentar... coba saya ulang lagi supaya saya jadi lebih paham. Jadi ini saya hendak dikontrak untuk berperan sebagai pacar settingan si Mas Youtuber ini, begitu?”

“Iya, Mbak.” Ratih tersenyum, “Mbak kan tahu kalau sekarang ini banyak Youtuber-Youtuber yang populer gara-gara konten prank, vlog keseharian, komedi receh, dan lain-lain. Nah salah satu potensi untuk menarik minat subscriber itu adalah dengan menggabungkan sosok Youtuber yang... ehem... biasa-biasa saja dengan sosok pacar yang cantik yang bakal kena prank melulu. Kontennya nanti sebenarnya kebanyakan memang prank dan ngerjain orang tapi itu tidak benar-benar kejadian kok, Mbak. Tidak ada yang benar-benar prank, semuanya sudah kita setting, bahkan Mbak Rizka pun akan kami briefing prank-nya seperti apa. Tinggal nanti Mbak Rizka berakting kaget, sedih, marah, dan sebagainya tergantung naskah. Nah, sukses tidaknya pengambilan video tentu akan tergantung pada akting dan chemistry sang youtuber dan talent pemeran pacarnya.”

“Oalah, jadi selama ini yang punya akun-akun prank itu ternyata hubungan pacarannya abal-abal ya? Settingan? Konten prank kadang-kadang emang agak gimana gitu sih ya, agak aneh gitu. Masa iya ada cewek yang di-prank tiap hari ga sadar-sadar.” Rizka mengangguk-angguk sembari mengamati beberapa pasangan couple di Youtube yang dijadikan contoh dan muncul di layar iPad, “pantesan ceweknya mau dipacarin youtuber kelas receh yang jamet kuproy gitu. Hihihi.”

“Uhug.” Si Rhoma Wedhus agak tersinggung dan terbatuk dengan sengaja saat mendengar istilah ejekan yang baru saja dilontarkan Rizka – meskipun si cantik itu tidak benar-benar sengaja menghina.

Ratih pun membenahi, “Hahaha, ya tidak semua, Mbak. Ada yang beneran pacaran, bahkan akhirnya menikah. Youtuber itu istilah simpelnya ya, Mbak. Istilah profesionalnya: content creator. Kalau boleh jujur nih, justru konten-konten receh begini malah yang nonton buanyaaaak banget, Mbak. Ladang pendapatan di masa yang tidak karuan.”

“Hahaha, oke deh. Jadi kalau buat aku kontraknya gimana nih? Harus jelas juga kan?”

Ratih kemudian membuka map dan meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja ruang tamu Rizka. “Nah gini, Mbak. Kami dari Robekrobek Entertainment mengajukan penawaran buat Mbak Rizka supaya mau dikontrak menjadi pacar online dari Mas Rhoma Wedhus ini selama setengah tahun dengan jumlah vlog minimal seminggu satu hingga dua kali tergantung konten dan minat netizen. Gaji pokok perbulan dan besaran royalti sudah tertera sesuai di kontrak yang Mbak pegang, semakin ramai channel mas Rhoma Wedhus, semakin banyak Mbak Rizka mendapatkan royalti sesuai kuantitas penampilan Mbak di vlog tersebut. Kami berhak memutus kontrak seandainya jumlah viewer menurun, terjadi force majeur, ataupun ada masalah di akun Youtube Mas Rhoma.”

Rizka mengangguk, jumlah subscriber-nya lumayan juga, si Rhoma Wedhus ini. Jumlah angka di kontrak pun menggiurkan. Kalau beneran oke, bisa membantu si Akang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka sekaligus mengembangkan usaha. Ini kan menarik sekali. Kira-kira suaminya mengijinkan tidak ya?

“Apa saja SOP-nya?”

“Baik, pertama Mbak Rizka boleh ganti pakai nama samaran apa pun supaya kehidupan pribadinya tidak ke-publish di publik, paling tidak sampai nanti kami mendapatkan ganti atau ada perjanjian kontrak lebih lanjut. Kita semua sama-sama cari aman. Silakan membuat akun instagram baru seandainya dibutuhkan, private akun instagram yang sekarang supaya tidak terlihat oleh orang lain.”

“Oke... lalu?”

“Yang kedua – selama kontrak kami meminta Mbak Rizka menunda kehamilan supaya tidak membuat kru kami menjadi kerepotan untuk menutupi kehamilan Mbak Rizka ke depannya. Baik untuk pengambilan gambar, pencarian konten dan plot cerita, semua akan jadi kacau kalau Mbak Rizka dan suami kebobolan.”

Rizka tentu saja lemas mendengarnya. Dia sedang menjalankan program untuk memiliki keturunan. Tapi kalau hanya sementara sepertinya tidak apa-apa. “Bagaimana kalau saya ingin memutuskan kontrak?”

“Setelah selesai setengah tahun baru Mbak Rizka bisa memutus kontrak. Kurang dari waktu itu tentu saja akan terkena penalti. Silakan dipertimbangkan.”

“Oke, syarat berikutnya?”

“Yang ketiga – selama setengah tahun ke depan, Mbak Rizka harus merahasiakan hubungan dengan suami di media sosial yang baru. Agar yang tidak kenal dengan Mbak Rizka tahunya Mbak masih single. Seandainya hubungan dengan suami terbongkar, kami dapat langsung memutus kontrak ataupun melanjutkan vlog dengan catatan tertentu nantinya.”

Rizka mengangguk-angguk, rasanya semua syarat dan ketentuan wajar adanya.

“Ada lagi yang mau ditanyakan?” Roger menyodorkan kontrak untuk ditandatangani oleh Rizka.
Rizka menghela napas panjang.

Keputusan besar.

Setengah tahun lho.

“Boleh saya bicara dengan suami saya terlebih dulu?”

“Silakan. Kami akan menunggu keputusan dari Mbak Rizka sampai akhir pekan ini. Tentu saja ya dan tidaknya lebih cepat lebih baik karena kami akan segera melakukan restrukturisasi vlog-nya Mas Rhoma Wedhus untuk mengakomodir framework dan template baru kita nantinya,” ujar Roger sembari tersenyum dan menyodorkan kartu nama. “Silakan hubungi kami di nomor ini, bisa ke nomor saya atau ke nomor Ratih.”

Rizka mengangguk. Dalam hati, ia sebenarnya cenderung untuk menerima tawaran ini. Namun apakah sang suami akan mengizinkan?

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd