Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA KEMBANG KOMPLEKS (collab with @killertomato)

Mohon maaf hu mau nanya?
Judulnya kan kembang kompleks , tapi kok masih kental dengan karakter kampus
 
Nice story, soft and smooth...
Rapi penulisannya, detail pemaparannya, bagus cerita dan panjang dalam 1 episode, (ribuan karakter)..

Segera tancap gas sampai lunas tuntas dan title tamat ya para suhu yg colabs.. 🙏🙏👍👍
 
Selalu menjadi Masterpiece kalau kedua suhu udah kolaborasi
 
Lebar banget ya range nya dari pemulung sampe calon gubernur.. Malah sampai oppa oppaa

Setandarnya master killer emang ngerii
Nyimak cerita barunya suhuuu
 
Bimabet
PART 2: RUMAH HANTU

Rima Nur Agustin membasuh keringat di dahinya. Wanita jelita yang bertubuh mungil itu mendongak menatap langit, bertanya-tanya kenapa pagi ini panasnya jauh lebih menyengat dari hari-hari biasa.

Kok bisa ajaib begini ya? Jam masih belum beranjak masuk ke siang tapi panas sudah seperti membakar. Rima sungguh tidak habis pikir, padahal ini masih sangat pagi lho, kok sudah panas seperti ini?

Jangan-jangan memang benar apa yang dikatakan orang-orang mengenai pemanasan global, efek rumah kaca di bumi mulai membuat hawa dan cuaca menjadi tidak menentu dan tidak bisa diperkirakan. Atau memang hawa di rumah barunya di Cluster Kembang Cempaka ini saja yang memang selalu panas.

Si cantik itu pun menggoyangkan sedikit ujung atas kerudung hijab yang ia kenakan – seakan-akan itu akan memberikan efek sepoi sesaat yang sanggup menjadi pengobat sejuk di hari yang gerah. Berhasilkah? Hahaha, ya jelas tidak.

MEIF4GV_t.png


Rima tertawa kecil. Wajah jelitanya memamerkan deretan gigi rapi nan apik menghiasi senyumnya yang selalu merekah, seakan-akan si pemilik wajah nan ayu itu selalu memancarkan keceriaan. Si cantik yang seakan-akan tidak pernah sedih itu lantas melanjutkan pekerjaannya pagi itu.

Tidak pernah sedih? Hmm, justru yang selalu tersenyum biasanya menyimpan banyak hal yang tak terungkapkan.

Meski cuaca panas dan matahari bersinar kelewat cerah, tapi itu tidak menghapus senyum merekah di bibir sang wanita mungil yang senyumnya membiaskan pesona nan mampu meruntuhkan kekukuhan pria mana saja. Si cantik itu dengan bahagia merapikan tanaman-tanaman yang sangat ia sayangi di halaman depan rumah mungil yang baru ia tempati beberapa hari tersebut. Ia juga tidak merasa risih dengan pakaian tertutup dan sopan yang menangkup tubuh indahnya. Pakaian itu ia kenakan dengan bahagia meski panas terik mentari pagi menyapa.

Memangnya apa yang dikenakan Rima?

Rima mengenakan baju ganda – pakaian olahraga santai didobel dengan kaus gedombrangan yang adem. Salah satu alasan mengapa ia mengenakan pakaian itu adalah untuk melindungi bagian membusung di depan dan belakang tubuh indahnya, agar ia tetap merasa nyaman dan memberikan kesan sopan. Sementara itu, celana olahraga warna hitam yang tidak terlalu ketat dan masih terlihat sopan pun melindungi kakinya yang jenjang dari pandangan orang-orang yang akhlaknya dipertanyakan.

Apa sih yang sedang dilakukan Rima di halaman depan rumahnya dengan kostum semacam itu?

Si cantik itu sedang memindahkan tanaman sayur kebanggaannya dengan menggunakan pot. Setelah sebelumnya melakukan proses pembibitan, Rima memilih hasil dari pembibitan yang sudah ia lakukan sejak di rumah lamanya, untuk dipindahkan ke dalam pot yang berbeda supaya bisa tumbuh lebih baik lagi. Ia memilih bibit-bibit yang paling sehat dan segar untuk dipindahkan ke dalam media tanam yang sudah disiapkan. Pemindahan dilakukan secara hati-hati supaya tidak ada bibit yang rusak.

Upaya pembibitan dilakukan di wadah yang berbeda sebelum dipindahkan ke dalam pot. Biasanya Rima akan menggunakan wadah plastik dan menuang media tanam ke dalamnya. Tentu saja tidak semua tanaman diperlakukan sama. Hanya benih-benih tertentu saja yang bisa melalui proses pembibitan, khususnya benih berukuran mini, seperti tomat dan cabe. Kenapa harus dilakukan proses pembibitan? Untuk mengurangi kemungkinan benih gagal berkembang.

Setelah menyiapkan wadah pembibitan, Rima membuat lubang-lubang kecil dengan kedalaman sekitar satu sentimeter sebagai lokasi penempatan benih. Benih yang sudah dimasukkan ke dalam lubang lantas ditutup dengan pupuk kompos dengan ketebalan yang sesuai. Setelah itu tentu saja benih harus disiram secara berkala dengan merata. Sudah ditanam masa tidak disirami?

Rima seringkali harus melakukan perawatan ekstra agar tidak ada serangan semut atau serangga lain yang akan merusak benih pada media tanam. Semoga saja taman kecil di rumah barunya ini cukup bersih dari hama-hama seperti itu. Setelah penanaman benih, bibit-bibit itu baru akan dipindahkan ke dalam pot setelah muncul daun yang menyeruak mungil menandakan si benih sudah mulai tumbuh dan berkembang.

Itulah yang ibu muda jelita itu lakukan hari ini.

Bagi Rima, munculnya daun ibarat munculnya harapan, akan ada yang baru dan terlahir di setiap harinya. Akan ada positif di setiap negatif yang hadir, di setiap harinya. Akan selalu muncul matahari terbit setelah malam bertandang, di setiap harinya.

Rima tersenyum.

Mudah-mudahan seperti itu.

Di setiap harinya.

“Senyum-senyum sendiri, Ma? Istriku belum gila kan?”

“Haish, apaan sih.” Rima tertawa, ia kembali menghapus keringat di dahinya yang menetes segede-gede jagung.

Suami Rima berdiri di teras rumah, tak jauh dari posisi sang istri mengerjakan hobi tanam menanam. Ia sedang bersiap-siap untuk jalan ke kantor pagi ini.

“Duh Mama sampai keringetan begini.” Ryan Setyawan jongkok untuk mendekatkan dirinya pada sang istri. Posisi teras memang setingkat lebih tinggi dari halaman tempat Rima sedang duduk.

Suami Rima yang berwajah tampan itu mengambil handuk kecil berwarna putih yang diletakkan di tempat duduk di teras dan menggunakannya untuk menghapus keringat di wajah sang istri. Ryan melakukannya dengan perasaan sayang dan hati-hati sekali, seakan-akan Rima adalah porselin mahal yang mudah pecah.

“Rima Nur Agustin... tahukah kamu kalau aku sayang banget sama kamu? Jangan terlalu lelah bekerja ya, terutama kalau aku sedang hendak bepergian keluar kota.”

Rima tersenyum cerah sembari mengangguk. “Mas Ryan, suamiku, Papa-nya buah hati tercintaku. Aku juga sayang banget sama kamu. Tapi kenapa pagi-pagi begini sudah ngegombal? Apa pengen minta dimasakin sesuatu jadi segombal ini? Apa Papa diam-diam mau beli action figure yang mahal lagi tanpa persetujuan Mama? Pasti ada udang di balik batu.”

Ryan bangkit dari jongkoknya dan tertawa, “Hahaha, Mama ah. Masa mau mesra sedikit tidak boleh? Bukannya bersayang-sayangan malah dicurigai. Kan Papa sudah bilang nanti malam bakal berangkat ke luar pulau untuk dinas kantor. Itu sebabnya di hari Jum’at yang cerah ini Papa mau berterima kasih kepada Mama tercinta karena semalam telah diberikan secercah surga di dunia sehingga rasanya rindu kalau sedetik saja tak berjumpa.”

Wajah Rima langsung memerah saat mendengar kata semalam. Ibu muda nan cantik itu segera melepaskan sarung tangan plastik yang ia kenakan saat memperhatikan cara berpakaian suaminya yang menurut Ryan sudah rapi jali. “Haish. Papa gombalnya aneh. Malu tahu kalau sampai kedengeran sama tetangga.”

Ryan menengok ke kanan dan kiri. “Tetangga yang mana? Kan jauh. Lagipula kita kan orang baru di sini, belum ada yang kenal juga.”

Rima berdiri dan menghampiri suaminya, lalu membenahi posisi dasi yang dikenakan Ryan. “Kalau mau berangkat kerja, pastikan rapi dan wangi. Wanginya sih sudah, tapi rapi-nya belum. Baju sudah bagus, celana, dan gesper semua lengkap... eh lha tapi dasi yang Papa pakai ini kok selalu kemana-mana posisinya. Kalau ga miring ke kiri, ke kanan, atau malah kependekan. Ga boleh ya. Harus yang rapi ya jadi suami Mama Rima. Hihihi.”

“Masa sih belum rapi? Padahal tadi sudah bolak-balik ngaca.” Ryan mencibirkan bibirnya tanda kesal. “Untungnya ada Mama. Makasih ya, Ma.”

Rima menepuk dada sang suami usai membenahi dasi yang miring kemana-mana tadinya. “Tuh udah.”

Ryan tersenyum dan memeluk sang istri, matanya terpejam dan bibirnya monyong ke depan hendak mencium bibir ranum milik wanita jelita yang bertubuh indah di hadapannya. Rima pun langsung melotot!

“Eh! Papa apaan sih!” Rima segera mendorong suaminya, “keliatan sama tetangga, tau!”

“Hihhihi, becanda, Ma,” Ryan tetap melanjutkan niatnya, tapi hanya untuk mengecup dahi sang istri.

Ryan memang tidak serius barusan. Demi apa dia akan mempertaruhkan kehormatan istrinya yang mengenakan kerudung di depan publik seperti ini, meski jalan di depan rumah mereka masih sepi sekalipun dia tidak akan melakukannya dengan ataupun tidak disengaja.

Dia sangat menghargai sang istri. Lebih dari apapun.

Rima mencibir dan memukul pundak sang suami dengan main-main. “Sudah sana, berangkat. Sudah jam berapa ini?”

Rima mengangguk sembari tersenyum dan membalas salam sang suami. “Nanti pulang dulu sebelum berangkat kan?”

“Mudah-mudahan sih gitu, tapi tidak tahu nanti kalau ada perubahan acara dari kantor. Bisa-bisa langsung cus ke bandara. Biasa kan Pak Bos kadang suka mendadak, udah kayak tahu bulet. Kalau bisa repot kenapa harus mudah?” ujar Ryan cengengesan sembari masuk ke dalam mobilnya.

Mobil itu pun melaju lembut menyusur jalan komplek untuk menuju ke kantor Ryan di tengah kota. Jalan di depan rumah mereka memang cukup lebar, sehingga muat dilewati dua mobil apabila berpapasan. Pengembang cluster membuatnya dari konblok yang memudahkan tanah untuk menyerap air, tapi tetap dibuat rata sehingga tidak mengganggu laju kendaraan yang lewat.

Saat sang suami telah meninggalkan dia, Rima jadi mengingat sesuatu. Lebih tepatnya seseorang yang sempat mengisi relung hatinya.

Rama.

Hati Rima sedikit tercekat ketika teringat Rama.

Ibu muda jelita itu tiba-tiba saja berubah sedikit murung. Untuk pertama kalinya hari ini, wajah penuh senyum Rima berubah menjadi wajah yang murung dan gelap. Tangan sang ibu muda jelita itu pun mendesak dan memukul pelan dadanya, berharap jantungnya akan berdetak dengan lebih tenang saat ia teringat Rama. Ia pun mengusap keningnya sendiri, demi meredakan sakit kepala yang tiba-tiba menyerang.

Tapi tidak bisa. Ia tidak bisa lupa, tidak bisa tidak ingat, tidak bisa tidak sedih, tidak bisa. Selamanya ia dan Ryan akan merasa bersalah jika ingat Rama. Betapa mereka dulu menangis-nangis di rumah sakit, memohon-mohon pada dokter untuk …

Ah sudah... sudah...

Kalau hidup terus berjalan dan tidak menunggu, kenapa malah berhenti dan kembali ke masa yang tak akan terulang lagi? Radja sudah hadir. Bukan sebagai pengganti, tapi sebagai pengisi hati yang baru. Rima mendongak dan kembali menatap langit yang hangat.

Doakan kami ya, Rama. Doakan kami bisa melalui semua ini dengan baik-baik saja.

Rima menunduk.

Ternyata bahkan seorang bidadari yang tersenyum ceria pun punya suatu hal yang akan selalu membuatnya murung dan terpekur dalam ketidakberdayaan.

Semilir angin sepoi menyapa dan mengelus pipi halus mulusnya. Lembut menyentuh dan menyadarkannya dari lamunan gelap dan tak berbatas. Bibir merah tanpa lipstick berlebihan itu pun kembali terurai ceria dan mempesona.

Ah, kembali ke urusan tanaman. Rima menekuk jari jemari tangannya dan mengambil sarung tangan plastiknya. Yosh, kembali bekerja! Mumpung adek belum bangun, dia bisa mengerjakan tanam menanam ini dengan bebas.

Masih ada beberapa benih yang belum ia pindahkan ke dalam pot. Ayo mengejar waktu. Sebentar lagi adek bangun, lalu ia masih harus memasak untuk makan siang dan malam nanti. Rima tersenyum saat menuruni tangga teras untuk sampai di halaman depan rumah.

Eh iya, hampir lupa.

Rima buru-buru meletakkan kembali sarung tangan plastik dan mengambil ponsel yang ia letakkan tak jauh dari pot-pot di pinggiran teras. Ia mengambil smartphone berharga jutaan itu lalu mengangkatnya dan mengambil foto selfie dengan latar belakang kebun dan tanaman-tanaman yang sedang ia rawat.

Rima kemudian merapikan sedikit gambar dengan aplikasi editing yang sudah di-set supaya tidak terlalu merepotkan saat mengatur pencahayaan dan tone gambarnya. Perempuan berparas jelita yang mengenakan kerudung itu kemudian mem-posting gambar yang baru saja ia rapikan ke Instagram sembari memberi caption singkat.

Halo, selamat pagi! Ini pagi yang cerah, ayo berkebun!

Usai mengirimkan post di Instagram, Rima lantas meletakkan ponselnya di atas teras kembali. Saatnya kembali ke pot dan tanaman sayur yang sudah menunggu. Si cantik itu menatap ke langit dan menutup mata supaya tidak terlalu silau. Dalam hati ia berucap... Selamat pagi, matahari. Boleh bersinar cerah tapi jangan terlalu terik ya. Hihihi.

Rima mengenakan kembali sarung tangan plastiknya dan fokus pada tanaman-tanaman.

Untung saja ibu muda jelita itu mematikan mode suara ponselnya. Karena saat itu muncul ratusan notifikasi like yang masuk ke akun instagram-nya hanya dalam waktu singkat saja. Dia memang cukup populer di Instagram dan lumayan sering mendapatkan pesanan endorse baju, barang ataupun makanan – meski tidak secara serius menekuni bidang tersebut. Lumayanlah hasilnya buat bantu-bantu Ryan mengisi cadangan beras di rumah.

Sembari memindahkan benih ke dalam pot Rima bersenandung kecil.

Ia menyanyikan sebuah lagu riang.


***​


“Permisi, Bu Rima? Ada di rumah? Bu Rimaaaaaaa?”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah luar rumah.

Rima yang sedang menyusui Radja pun langsung meletakkan bayi tersebut di atas pembaringan dan merapikan pakaiannya, sebelum berjalan tergopoh-gopoh ke arah pintu depan.

“Adaaaaa Pak... Tunggu sebentar.”

Terdengar kunci pintu rumah diputar dan Rima pun tersenyum lebar saat berhadapan dengan dua orang pria yang sudah berdiri di depan terasnya. Seluruh rumah di Cluster Kembang Cempaka memang tidak boleh dipasangi pagar yang membatasi teras dengan jalan di depannya, sehingga kedua pria tersebut pun bisa langsung masuk. Sang pengembang menetapkan aturan tersebut dengan alasan estetika.

Lalu bagaimana dengan aspek keamanan? Cluster tersebut dibuat hanya mempunyai satu pintu masuk dan keluar yang dijaga oleh petugas keamanan selama 24 jam. Setiap orang yang akan masuk, seperti tamu, pedagang keliling, hingga asisten rumah tangga yang bertugas melayani penghuni kompleks tersebut, harus melewati pemeriksaan yang ketat saat melewati pos penjagaan.

Di berbagai sudut kompleks pun dipasangi CCTV untuk mengawasi setiap pergerakan di dalamnya. Para penghuni yang masih merasa khawatir pun diperkenankan untuk memasang CCTV tambahan dan menghubungkannya dengan sistem keamanan terpusat di kompleks tersebut, atau membuat kunci gembok tambahan di pintu rumah mereka.

Namun tentu saja, seluruh layanan tersebut tidak gratis. Para penghuni kompleks diwajibkan untuk membayar iuran bulanan untuk membiayai aktivitas operasional tersebut.

Dua pria yang berada di depan teras Rima tentu bukanlah tamu sembarangan. Mereka adalah Pak Mulyadi sang ketua RT dan satpam kompleks yang bernama Ucup. Seperti para pria lain, keduanya langsung terhipnotis oleh pesona senyum manis Rima yang memang selalu memabukkan para pejantan.

Pak Mulyadi yang tidak terlalu tinggi, memiliki wajah berbentuk kotak dan mata yang sayu. Kumisnya yang tipis-tipis dan berbentuk kotak berada tepat di antara bibir dan hidung, mengingatkan semua orang pada seorang Fuhrer, komedian film bisu, atau pelawak Jojon. Sedangkan Ucup merupakan sosok pria berperawakan kurus, tinggi, dan langsing dengan kulit yang gelap. Namun ototnya sudah sedikit mengendur karena termakan usia yang tidak lagi muda.

“Pa-Pagi Bu Rima.” Pak Mul mengambil peci yang ia kenakan dan diletakkan di dada. Kumisnya bergerak-gerak karena meski banyak yang ingin diutarakan tapi ia tak sanggup berkata-kata melihat kesempurnaan wanita jelita di hadapannya. Bidadari kayangan kalau turun ke bumi mungkin wujudnya seperti ini ya? Cantiknya ga ada obat.

“Pagi...” Ucup nyengir lebar. Sang satpam seperti mempertontonkan deretan gigi tak rapi miliknya di hadapan Rima.

“Selamat pagi juga. Ada perlu apa ya, Bapak-bapak?”

Pak RT dan Ucup masih tersenyum, mendengarkan suara Rima memang ibarat mendengarkan musik yang merdu. Suaranya yang lembut itu lho, empuk banget. Seempuk bantal hotel. Apa rasanya ya kalau menginap di hotel bersama dia. Eh?!

“Pak RT? Halo…” Ujar Rima kembali menyapa.

“Eh, I-iya.” Pak RT gelagapan. “Duh, jadi grogi neh saya bertemu Bu Rima. Cantiknya bagai dewi turun dari langit, mirip artis sinetron siapa itu ya… Sirene Sungkur.”

“Shireen Sungkar, Pak RT.” Ucup membenahi.

“Apanya yang sukar?” Pak RT berkacak pinggang pada Ucup. “Kamu diajak muter keliling begini aja kok sudah mengeluh sukar segala sih, Cup?”

“Eh alah, nama artisnya, Pak. Shireen Sungkar.”

“Nah itu baru bener. Bu Rima mirip lho cantiknya sama artis sinetron.”

“Waduh, Pak RT bisa saja ngibulnya,” jawab ibu muda tersebut sambil tersipu.

“Suer, Bu. Saya kan kayak bulan di lagunya Doel Sumbang.”

“Maksudnya?”

“Kalau bulan bisa ngomong, dia pasti tak akan bodong, hee.”

“Bohong, Pak RT,” potong Ucup.

“Kamu ini ya, Cup. Tadi di rumah Bu Gina kamu salah-salahin saya. Sekarang kamu bilang saya bohong. Mau kamu itu apa sih?”

“Bukan begitu, maksud saya …”

“Sudah... Sudah... Tidak usah ribut di sini Pak RT dan Bang Ucup. Nggak enak dilihat orang, nanti dikira kalian berantem gara-gara saya.”

Pak RT dan Ucup pun terdiam Dalam hati, kedua pria tersebut sebenarnya rela apabila mereka harus berkelahi untuk mencicipi tubuh ibu muda yang aduhai itu. Namun tentu saja mereka tidak berani untuk mengatakan itu secara langsung.

“Jadi, ada keperluan apa bapak-bapak datang ke sini?”

“Jadi begini, Bu Rima. Saya ingin melanjutkan soal pendataan administrasi yang kemarin masih kurang. Ada beberapa formulir yang harus Bu Rima isi. Lalu kalau bisa, saya sekalian ingin menarik uang kebersihan dan keamanan untuk bulan ini.”

“Oh, baik Pak. Mungkin agar lebih mudah nanti saya minta Mas Ryan untuk bayar sekalian satu tahun saja ya, agar Pak RT tidak perlu repot-repot tiap bulan ke sini. Boleh kan?”

“Boleh, Bu. Tapi sebaiknya dibayar per bulan saja. Membayar pertahun nggak masalah, tapi sudah menjadi tugas saya sebagai RT untuk berkeliling menemui warga saya kapan pun dibutuhkan. Hitung-hitung silaturahmi,” ujar Pak RT. Ia tentu tidak akan mau melewatkan kesempatan untuk bisa bertemu dengan istri Ryan yang begitu cantik tersebut. Bila dibutuhkan, setiap hari datang ke kediaman nomor 14 tersebut pun dia siap.

“Sebentar ya, Pak. Saya ambilkan dulu uangnya. Pak RT dan Bang Ucup duduk saja dulu,” ujar Rima sambil menarik kursi yang berada di atas teras untuk kedua tamunya tersebut.

“Siap.”

Rima pun buru-buru masuk dan mengambil uang untuk membayar iuran bulanan. Setelah menggenggam uang dengan nominal yang sesuai, ia pun segera kembali ke teras dan menyerahkannya ke Pak RT. Uang tersebut pun langsung masuk ke dompet Pak RT, yang kemudian mencatatnya di dalam sebuah kertas di map yang ia bawa.

“Siap, sudah dicatat ya Bu Rima,” ujar Pak RT. “Nah, ini dia formulir yang Bu Rima harus isi juga sebagai penghuni baru.

Formulir yang dimaksud Pak RT ternyata merupakan permintaan data pribadi seperti nama, tanggal lahir, dan nomor telepon, baik suami maupun istri penghuni rumah tersebut. Rima pun langsung mengisinya dengan cekatan, karena telah menghapal semua informasi tersebut di luar kepala. Setelah selesai, ia pun menyerahkan formulir tersebut kembali ke Pak RT.

“Ini formulirnya sudah selesai, Pak,” ujar Rima.

“Terima kasih, Bu Rima. Nah kalau ini ada daftar kontak aparat kompleks yang bisa dihubungi dalam kondisi darurat, mulai dari nomor telepon saya, Ucup, serta pos polisi, pemadam kebakaran, rumah bersalin, sampai orang pintar yang bisa diminta bantuan untuk menemukan belahan hati yang hilang juga ada.”

“Hihihi… Pak RT ini bisa saja bercandanya, lucu deh. Suka banget kalau lihat Pak RT selain mampu mengayomi warganya, juga menghibur dengan sifat yang baik dan lucu begini.”

“Walah, mimpi apa ya saya semalam, sampai bidadari seperti Bu Rima menganggap saya lucu dan baik.”

Rima hanya tersenyum melihat tingkah konyol pemimpin lingkungan di Cluster tersebut, membuat ia merasa nyaman dan betah untuk tinggal di kediaman barunya itu.

“Terima kasih banyak untuk ini, ya Pak RT. Saya akan sangat membutuhkannya. Sebagai penghuni baru, saya juga minta diingatkan apabila nanti ada kesalahan dari kami yang mungkin mengganggu Pak RT, Bang Ucup, atau penghuni lain di kompleks ini.”

“Ah. Tidak masalah kok. Sekian dulu ya, Bu Rima. Maaf mengganggu nih pagi-pagi. Saya mau lanjut ke rumah Bu Rizka dan Pak Raka di sebelah. Ibu sudah sempat kenalan dengan mereka?”

“Oh, sudah Pak. Kemarin kami bertemu pas masukin barang ke dalam rumah. Kebetulan langsung nyambung juga ngobrolnya saya dan Bu Rizka.”

“Nah, itu baru tetangga idaman. Semoga bikin Ibu-Ibu cantik ini betah deh di kompleks ini.”

“Amiin, Pak.”

“Baik kalau begitu. Mari, Bu...”

“Mari...”

Pak RT pun berjalan meninggalkan teras rumah Ryan dan Rima untuk menuju ke rumah nomor 16, yang berada tepat di sebelah. Tapi ia merasa aneh dan canggung, seperti ada sesuatu yang ketinggalan. Tapi apa ya? Saat melirik ke samping barulah ia sadar. Orang yang seharusnya berada di sebelahnya tidak ada.

“Ya ampooooon, Cup! Ngapain masih duduk di teras Bu Rima? Ini saya aja udah nyampe sini. Jan wes wong siji iki jan. Maaf ya Bu Rima, Pak Ucup ini emang kadang suka malu-maluin.”

Pak Ucup yang tadinya terbengong-bengong karena terlalu mengagumi Rima akhirnya sadar dan cengengesan. “Euh iya. Saya pamit juga ya, Bu. Kalo Bu Rima butuh apa-apa tinggal panggil saja Ucup di pos satpam. Atau kalau butuh sesuatu bisa tinggal WhatsApp saja di nomor yang ada di kertas itu. Ucup selalu siap sedia menjalin persatuan dan kesatuan.”

Rima hanya mengangguk dan tersenyum, menahan tawa.

“Cup. Ucup,” Pak RT kembali memanggil.

“Heueuh, Pak RT ini...” ujar Ucup menggerutu.

Rima melirik ke rumah nomor 13 yang berada tepat di depan rumahnya. Ada perasaan tak nyaman seperti sedang diawasi dari arah rumah tersebut.

“Eh, Bapak-bapak. Mohon maaf sebelumnya. Apa boleh saya bertanya sesuatu?”

Ucup buru-buru maju memasang dada. “Pertanyaan apa pun dari Teh Rima, pagi siang sore malam, Ucup selalu siap menanggapi. Mau tanya apa, Teh Rima. Sok atuh, tanyakan saja?”

Pak RT geleng-geleng kepala dan mendorong Ucup sang satpam kompleks ke samping. Pak RT tersebut pun kembali bertanya, “Tentu saja boleh, Bu Rima. Mau minta tolong apa?”

“Rumah yang di depan itu, yang nomor 13, ada penghuninya nggak yah Pak? Kok dari kemarin sepertinya kosong, tapi kalau malam lampu depannya menyala.”

Sejak datang ke Cluster Kembang Cempaka ini, Rima memang sudah heran dengan rumah yang berseberangan dengan kediaman barunya ini. Rumah itu seperti rumah kosong yang tak terawat, halaman depannya berantakan dengan tanaman yang tumbuh acak-acakan. Rumput dan ilalang tinggi tidak dipangkas dengan rapi, sedangkan pohon yang menjulang di depan rumah bagaikan penutup alami nan syahdu dan sendu, yang mengaburkan keberadaan rumah tersebut dengan bayangan gelap sepanjang hari. Warna cat dinding yang coklat gelap sama sekali tidak membantu suasana menjadi ceria. Yang ada justru terkesan sedang bermuram durja.

“Oh, itu rumahnya Pak Rebo,” jawab Pak RT.

“Rebo siapa, Pak?” Tanya Rima lagi.

“Rebo Wahono? Rebo Wahyono? Rebo... Siapa ya? Kamu tahu nggak, Cup?” Pak RT tampak bingung sendiri, dan malah memukul pundak satpam kompleks yang tengah bersamanya.

“Lah, mana saya tahu. Yang Pak RT kan situ.”

“Ahh, iya juga ya. Maaf Bu Rima, saya cuma ingat nama depannya saja.”

“Dia tinggal sama siapa, Pak? Masih muda ya? Apa sudah tua?”

“Wah, sudah tua Bu. Lebih tua dari saya. Ia sekarang tinggal sendiri setelah istrinya wafat, dan memang selama ini tidak pernah bersosialisasi. Ia tertutup banget. Sampai sekarang saja saya tidak tahu apa pekerjaannya, dan dari mana dia mendapat uang. Undangan RT nggak pernah datang, tujuh belasan tidak keluar rumah, bahkan ketika acara halal bihalal pun selalu minta maaf ada keperluan sehingga tidak bisa hadir. Pokoknya, acara apa pun di lingkungan sini, dia nggak pernah nongol.”

“Owh, begitu …”

“Bahkan anak-anak kecil kalau lewat rumah di depan itu, mereka sudah punya nyanyian khusus. Bagaimana Cup?”

“Pak Rebo, eh eh Pak Rebo. Pak Rebo lahire dino kemis. Yen setu dodolan neng Pasar Senen, Seloso jumat mulih neng Pasar Minggu.”

“Nah, iya seperti itu Bu Rima. Anak-anak sini suka bercanda kalau Pak Rebo itu punya piaraan genderuwo, piaraan kuntilanak, dan sebenarnya perwujudan kolor ijo, tapi bisa berubah juga jadi babi ngepet, dan piaraan tuyulnya sering keliling kalau malam. Pokoknya serem deh.”

“Duh, kok saya jadi merinding ya …”

“Tapi Bu Rima tenang saja. Selama tinggal di sini, Pak Rebo sebenarnya nggak pernah membuat masalah yang berarti kok. Dan misalnya ada apa-apa, Bu Rima kan bisa langsung telepon saya,” ujar Pak RT sambil menaikkan jempol dan jari kelingking di tangan kanannya, lalu mendekatkannya ke telinga.

“Telepon saya juga boleh kok, Bu Rima. Hee …” Ucup pun tidak mau ketinggalan.

“Terima kasih banyak Pak RT dan Bang Ucup. Karena jujur, saya sedikit khawatir karena suami saya sedang mau perjalanan dinas ke luar kota. Katanya sih bisa sampai seminggu.”

“Siap, Bu Rima. Kapan pun ibu butuh, kami pasti siap membantu,” ujar Pak RT. “Ya sudah kalau begitu, kami permisi dulu, Bu Rima.”

“Mari, Bu.”

“Mari...”

Rima pun kembali masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu. Sebelum pintu tertutup dengan sempurna, ia sempat melirik ke arah rumah Pak Rebo. Entah kenapa, ia merasa ada orang yang saat ini tengah memperhatikannya dari kejauhan. Apakah dari seberang sana?

Takut ih.

Cepat-cepat Rima menutup tirai jendela.


***​


Hari sudah menjelang sore, dan Ryan masih belum pulang juga ke rumah. Rima jadi khawatir terjadi sesuatu kepada suaminya tersebut, karena pria itu belum memberikan kepastian akan pulang dulu ke rumah atau langsung berangkat dari kantor untuk dinas ke luar kota.

Karena itu, Rima pun berinisiatif untuk menghubungi nomor telepon sang suami. Untungnya, telepon itu langsung tersambung.

“Sore, Pa.”

“Sore, Mama Sayang. Ada apa kamu nelpon?”

“Hari ini jadi pulang dulu? Atau langsung berangkat?”

“Ya ampun. Mohon maaf banget istriku tercinta, aku lupa ngabarin ya. Aku jadinya langsung berangkat dari kantor, untung saja tadi pagi sudah langsung bawa koper. Hari ini rada ribet di kantor, jadi aku lupa kasih tahu.”

“Oh, iya nggak apa-apa, Pa. Mobilnya juga ditinggal di kantor?”

“Iya. Toh cuma seminggu doang, setelah itu aku balik dan langsung ambil mobilnya lagi. Tapi kalau kamu tiba-tiba butuh, bilang aja. Nanti aku minta orang kantor untuk antar mobilnya.”

“Baik, Pa. Jam berapa memang nanti penerbangannya?”

“Jam sepuluh malam. Makanya takut nggak keburu kalau pulang dulu ke rumah. Please jangan marah ya, Ma.”

“Iya, Papa. Mama nggak marah kok, cuma khawatir aja karena Papa seharian nggak kasih kabar sama sekali.”

“Papa minta maaf banget, tadi beneran lagi sibuk soalnya. Papa janji ketika di sana akan kasih kabar terus ke Mama, biar Mama nggak khawatir. Oke?”

“Oke …” ujar Rima lirih. Ia tidak bisa berbohong bahwa ia merasa sedih karena harus ditinggal sang suami untuk dinas ke luar kota, walau hanya untuk seminggu. Mas Ryan bahkan tidak bisa menyempatkan diri untuk berpamitan dengan dirinya dan anak bayi semata wayang mereka terlebih dahulu. “Hati-hati di jalan ya, Pa.”

“Siap, Ma.”

Sambungan telepon pun terputus. Demi menghilangkan perasaan sedih, Rima pun mengalihkan konsentrasinya ke bayinya, Radja. Perempuan cantik tersebut kini tengah duduk di atas sofa yang berada di depan televisi. Perlahan, ia mengeluarkan payudaranya yang berukuran cukup besar dari balik pakaian menyusui yang ia kenakan. Pakaian tersebut mempunyai celah di bagian samping kanan dan kiri, yang memudahkan pemiliknya untuk mengeluarkan payudara apabila sang buah hati ingin menetek.

Secara reflek, Radja yang masih berusia enam bulan langsung mendekati puting buah dada ibunya, dan menyedot-nyedot isinya dengan lahap. Rima merasakan sensasi geli saat putingnya digesek-gesek oleh lidah sang bayi.

“Duhh... Jadi seminggu ini tetekku cuma dihisap oleh Radja doang ya. Hmmpphhhh …”


***​


“Sengaja aku datang ke kotamu. Lama nian tidak bertemu.
Ingin diriku mengulang kembali. Berjalan-jalan bagai tahun lalu.
Sepanjang jalan kenangan, kita selalu bergandeng tangan.
Sepanjang jalan kenangan, kau peluk diriku mesra.
Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu, menambah nikmatnya malam syahdu...”


Suara Rima yang berdendang merdu membuat suasana sore yang sendu seakan menjadi lebih syahdu, seakan sebagai penahbis pernyataan rindu yang datang dari dia yang selama ini berada di balik sembilu. Perasaan riang yang menjadi pengabar dan pemandu, pemberi pernyataan bahwa hari ini akan lebih baik dari hari-hari yang telah berlalu.

Menyanyikan lagu lama dengan petikan akustik yang diputar dari video karaoke Youtube, Rima sampai beberapa kali memejamkan mata untuk menikmati senandungnya. Dia masuk ke dalam nyanyian seolah baru pertama kali mengenal nada yang mengalun.

Selain bercocok tanam, ibu muda yang jelita itu memang punya hobi menyanyi. Sudah cantik, bertubuh indah, berkulit bersih, berwatak manis, suaranya bagus pula. Suaminya memang sangat beruntung ketika menikah dengannya. Karena Rima bener-bener paket komplit, beli satu dapet semua.

“Walau diriku kini tlah berdua. Dirimu pun tiada berbeda.
Namun kenangan sepanjang jalan itu... tak mungkin lepas dari ingatanku...”


Sembari bernyanyi Rima tersenyum karena tugasnya memindahkan bibit ke pot sudah hampir usai. Yak, sore ini pun memang sangat syahdu, tapi juga cerah dan ceria. Semua berjalan sesuai rencana. Sekarang tinggal memandikan Radja, memasak, mencuci, setrika baju, lalu usai sudah kerjanya. Beginilah kalau jadi ibu rumah tangga, pekerjaan sehari-hari selalu menunggu tanpa berhenti sampai letih lelah tak berasa, tahu-tahu malam pun telah tiba.

Sekali lagi Rima menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangan. Bibirnya kembali terbuka dan suara merdunya kembali terdengar.

“Sepanjang jalan kenangan, kita selalu bergandeng tangaaaaan...”

Ah, senangnya hari ini. Sayang ia masih belum sempat mengunjungi makam sang...

Eh?

MEIF4GV_t.png


Belum sampai Rima di pintu pagar, ibu muda jelita itu merasa aneh. Seperti ada sesuatu yang membuatnya merinding. Ia seperti... sedang diawasi...

Rima melirik ke rumah yang tepat berada di depan rumah mungilnya dan ia terkejut bukan kepalang.

Lirikan itu datang dari rumah nomor 13, rumah yang senyap dan seperti tak terawat. Rumah yang menurut Pak RT dan Bang Ucup terkenal angker. Di sana sekarang, di depan rumah itu, berdiri seorang pria lanjut usia yang menatapnya dengan sangat tajam. Pandangannya terasa begitu menusuk hingga ke sanubari Rima.

Orang yang berdiri tegap tanpa melakukan apa-apa. Hanya memperhatikannya saja, seakan tanpa berkedip.

Perasaan aneh yang sejak kemarin memayunginya... perasaan diawasi... perasaan tak nyaman, rupanya berasal dari rumah di depannya. Dari rumah No 13 yang konon katanya angker itu. Tapi perasaan aneh yang membuat Rima merinding bukanlah karena hantu, melainkan karena kehadiran Pak Rebo. Pria yang saat ini sedang berdiri di depan teras rumahnya dan memandang tajam ke arah Rima.

Seketika itu juga bulu kuduk Rima berdiri, ia merinding.

Ah apaan sih Rima? Kenapa malah berpikiran yang tidak-tidak kayak bocah? Pak Rebo itu hanya laki-laki normal dan biasa saja. Lihat saja sekarang, terlihat lemah dan tak berdaya dimakan usia. Dengan positive thinking, ibu muda jelita itu pun mengangguk ke arah pria tersebut sembari tersenyum manis.

Pak Rebo terdiam saja tanpa ekspresi.

Rima jadi serba salah. Dia terpaku di depan teras rumahnya – menatap Pak Rebo dari kejauhan.

Wajah Pak Rebo terlihat seperti orang tua yang kuyu dan pemarah, wajahnya grumpy dengan lekukan-lekukan keriput yang makin menebal. Rambutnya masih cukup banyak dan tebal, tidak menampakkan tanda kebotakan, meskipun baik rambut, kumis, dan alisnya sudah mulai beruban dan menjadi semu keperakan. Tubuhnya yang dulu mungkin gagah, kini sedikit membungkuk meski masih cukup langsing. Hebatnya di usia yang sekarang, ia masih dapat berdiri dengan gagah tanpa perlu bantuan tongkat.

Rima meneguk ludah. Diajak bicara ga ya? Tidak ada salahnya kan? Namanya juga tetangga.

“Selamat pagi, Pak.” Rima berjalan ke depan untuk mendekat sembari berpura-pura menyapu halaman. Ia memberanikan diri menyapa terlebih dahulu, toh dia yang lebih muda.

Dari semua tetangga di kompleks ini, Pak Rebo satu-satunya yang belum pernah bercakap-cakap lama dengan sang mamah muda yang ramah itu. Itu pula sebabnya Rima tidak berharap Pak Rebo akan membalas salamnya.

Sedetik, dua detik, tiga detik.

Nah benar kan, tidak dibalas. Rima tetap sopan dengan kembali menganggukkan kepala dan bersiap-siap untuk masuk ke rumahnya sendiri.

Saat itulah Pak Rebo membalas anggukan kepalanya.

Rima jelas terkejut bukan kepalang!

Eh demi apa!?

Pak Rebo membalas anggukan kepalanya!? Saking terkejutnya Rima sampai kelupaan hendak balik ke rumahnya dan malah terpaku menatap sang tetangga depan rumah. Ia bahkan lebih kaget lagi ketika tiba-tiba saja orang itu kemudian berjalan ke depan dan menuju ke arahnya.

Eh?

Ehhhhhh!?

Ehhhhhhhhhhh!??

Mau ngapain Pak Rebo? Rima jelas jadi salah tingkah.

“Selamat sore,” ucap Pak Rebo dengan suara yang berat dan ternyata amat sopan, meskipun terkesan dingin dan datar tanpa ekspresi.

Gleg. Rima meneguk ludahnya. Pak Rebo menyapanya? Pak Rebo yang dijuluki papanya gerandong suaminya kujang itu menyapanya!? Apakah ini tanda-tanda akhir zaman?

“Se-selamat sore, Pak.”

“Maaf mengganggu.”

Pak Rebo memasuki pekarangan rumah Rima, dengan tatapan yang tajam ke arah perempuan tersebut. Postur tubuhnya yang meski sudah sepuh tapi tetap gagah dan besar mengintimidasi sang ibu muda mungil yang ketakutan.

Rima hanya bisa memandang dengan mulut menganga. Ia sama sekali tak bisa bergerak, sama sekali tak bisa melakukan apa-apa. Mau apa ya Pak Rebo? Pak Rebo yang lahirnya hari kamis. Eh apaan sih Rima!? Fokus!

“Bi-bisa saya bantu, Pak?”

Sekali lagi... Rima hanya berusaha sopan, meski sebenarnya ia cukup deg-degan dengan tubuh bergetar. Rima tidak takut karena Pak Rebo menyeramkan, Rima hanya merasa jengah karena orang yang ia hadapi sikapnya kaku dan terkesan galak, membuat si cantik itu juga merasa awkward.

Pak Rebo membawa kotak berwarna coklat. Kotak yang panjang dan lebarnya sekitar satu jengkal. Tidak saja Pak Rebo tiba-tiba mengajak Rima bicara, ia juga tersenyum – meski senyumnya tipis sekali. Setipis irisan tomat di tukang nasgor. Ih, bisa juga dia tersenyum ya?

“Selamat sore, Bu Rima.”

Walahiyungbuset! Dia kenal loh sama Rima! Tau loh nama Rima!

“Pagi, Pak.”

“Ini ada kue bolu sekedarnya dari saya. Beberapa hari ini saya sedang mencoba-coba resep peninggalan mendiang istri saya, saya ingin bagi ke Ibu seandainya berkenan. Kalau memang enak boleh pesan, kalau ada kurang mungkin bisa disampaikan supaya bisa saya perbaiki kekurangannya. Rencananya saya mau berjualan kue online untuk menyambung hidup. Maklum sudah saatnya saya pensiun. ”

Kerja apa aja ga ngerti, kok tau-tau pensiun.

“O-oh begitu, Pak.” Rima mengangguk dan menerima kotak yang diberikan Pak Rebo. “Te-terima kasih ya, Pak. Wah dari baunya saja sudah sedap ini.”

Pak Rebo tersenyum, “mudah-mudahan rasanya juga enak. Di kardusnya ada nomor telepon saya kalau mau pesan. Yang ini gratis sebagai tester. Saya sebenarnya malu menawarkan roti yang ala kadarnya ini ke Bu Rima yang sepertinya jago masak.”

Tau dari mana emang Rima jago masak?

“Eh, saya ga jago kok, Pak.”

“Baiklah. Terima kasih, Bu Rima, Selamat menikmati – mudah-mudahan suami Bu Rima juga suka.”

“Ba-baik, Pak. Terima kasih juga.”

Pak Rebo buru-buru kembali ke rumahnya tanpa sekalipun menengok ke belakang.

Meninggalkan Rima yang terbengong-bengong memegang kotak berisi kue bolu di pinggir jalan. Suara tangisan si bungsu membangunkan Rima dari kejutan yang diberikan oleh Pak Rebo.

Luar biasa.

Mimpi apa dia dapat paket dari Pak Rebo?


***​


Ting… Tong…

Bunyi bel yang nyaring menggema di dalam rumah Rima. Sang perempuan muda yang sedang membereskan pakaian bayi yang baru saja disetrika itu pun menghentikan aktivitasnya. Ia melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.

“Duh, siapa sih yang malam-malam begini bertamu ke rumah?”

Rima pun langsung menggerutu. Ia melihat ke arah tempat tidur, di mana sang bayi sudah tertidur lelap. Setelah memastikan bahwa Radja berada di posisi yang aman, ia pun beranjak ke pintu depan. Rima menarik kerudung instan yang sudah dia siapkan untuk berjaga-jaga seandainya ada situasi yang mendadak membutuhkan ia keluar rumah. Situasi itu terjadi sekarang.

“Yaaa?”

Pintu dibuka… dan kosong.

Tidak ada seorang pun di sana. Lho kok aneh?

Rima mencoba menoleh ke sisi kiri dan kanan rumah, situasi kompleks terlihat sangat sepi dan tenang tanpa ada siapapun terlihat. Lah? Terus siapa yang baru saja menekan bel rumahnya barusan? Siapa yang…

Perhatian ibu muda itu kemudian tertuju ke sebuah kotak yang terbuat dari kardus coklat yang tergeletak di atas terasnya.

Kok ada paket?

Ibu muda itu pun mulai mendekati paket tersebut dengan hati-hati. Kita tidak boleh terlalu percaya dengan paket yang tak dikenal bukan? Iya kalau paketnya aman, kalau tidak?

Siapa yang meletakkan paket ini di sini? Apa jangan-jangan ada kurir yang salah kirim? Sepertinya aku tidak sedang memesan apa pun dari platform e-commerce?

Rima mulai kebingungan.

Rima kemudian berjongkok guna melihat paket tersebut lebih dekat. Di bagian atasnya, jelas tertulis “Untuk: RIMA”. Karena itu, kotak itu memang ditujukan untuk dirinya. Perempuan tersebut coba memeriksa bagian lain dari kotak itu untuk mencari nama pengirimnya, tetapi tidak ketemu. Saat diangkat, kotak itu pun terasa begitu ringan, seperti tidak ada apa pun di dalamnya.

Coba aku periksa di dalam dulu deh, ujar Rima dalam hati sembari sekali lagi melirik ke kanan dan kiri.

Perempuan tersebut pun kembali masuk ke dalam rumah, sebelum menutup dan mengunci pintu. Ia kembali ke kamar tidur, tempat anak bayinya berada. Di sana, ia pun meletakkan kotak yang dibawanya secara hati-hati di atas ranjang. Hanya ada secarik lakban berwarna coklat muda yang menjadi seal kotak kardus itu, sehingga Rima pun bisa membukanya dengan mudah.

Di dalamnya pun, ternyata hanya ditemukan secarik kertas. Tidak ada nama pengirim, tidak ada nama alamat, tidak ada keterangan apapun. Aneh? Sudah pasti. Membuat penasaran? Banget. Rima pun langsung membaca isi kertas tersebut.

“Dear Rima Nur Agustin,

Selamat datang di permainan yang akan mengubah hidupmu.

Hadiah utama permainan ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah terbayangkan olehmu hingga saat ini dan akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagimu.

Kamu adalah satu-satunya orang yang terpilih untuk mengikuti permainan ini. Karena itu, jangan beritahukan pada siapapun tentang permainan ini apabila kamu ingin mendapatkan hadiah utamanya. Jika informasi ini dibocorkan kepada siapapun, maka permainan ini berakhir. Jika kamu melanggar aturan yang telah ditentukan, permainan berakhir. JIka secara tidak sengaja surat ini dibaca oleh orang lain, permainan berakhir.”


Rima mengerutkan kening. Sungguh awalan yang aneh untuk sebuah surat. Tidak ada penjelasan tentang nama permainan yang dimaksud, dan mengapa ia yang dipilih untuk mengikuti permainan tersebut. Semuanya masih terasa tidak jelas. Karena itu, Rima pun melanjutkan membaca.

“Permainan ini akan berlangsung secara bertahap dari level 1 hingga level-level selanjutnya. Kamu hanya perlu mengikuti arahan yang telah diberikan secara bertahap pada setiap levelnya. Apabila kamu berhasil melewati seluruh tantangan tersebut dengan baik, maka hadiah utama yang kamu impikan akan segera kamu dapatkan. Hadiah akan hangus dan permainan akan berakhir jika ada aturan yang tidak dijalankan.”

Maksudnya apa sih? Memangnya pengirim pesan ini tahu apa impian besar yang diinginkan Rima? Lalu bagaimana si pengirim ini yakin kalau Rima akan benar-benar mengikuti arahan yang dia berikan? Bagaimana kalau Rima berbohong selama proses permainan ini?

“Tindakan curang dalam bentuk apapun akan diketahui. Jadi jangan pernah mengira kamu akan bebas melakukan hal-hal yang tidak diijinkan dalam permainan ini. Apakah kamu bertanya-tanya bagaimana kami memastikan tidak adanya kecurangan dalam permainan ini?”

Ahh, ternyata jawabannya ada di kalimat berikutnya. Rima pun bertekad untuk membaca surat tersebut sampai selesai terlebih dahulu.

“Saya mempunyai mata di seluruh Cluster Kembang Cempaka, karena itu saya akan tahu semua aktivitas kamu, apa yang kamu lakukan dan apa yang tidak kamu lakukan. Sekali saja kamu berusaha untuk curang atau tidak mematuhi perintah, maka permainan akan berakhir, dan hadiah utama yang dijanjikan hanya akan tetap menjadi mimpi di kepala kamu.”

Hanya itu saja hukumannya kalau aku tidak mengikuti permainan ini? Kok mudah sekali? Pikir Rima. It’s nothing to lose, then.

“Untuk Level 1, inilah yang harus kamu lakukan. Kamu hanya punya waktu 24 jam untuk melakukannya, dimulai dari saat kamu menerima surat ini.”

Rima merasa kaget melihat tugas yang tertulis di surat tersebut, karena itu adalah bukan sesuatu yang biasa ia lakukan. Namun, permainan ini tampak menarik. Ia hanya perlu melakukan tantangan-tantangan tersebut, dan mendapatkan hadiah. Bila ia tidak mau, Rima bisa mengabaikan saja pesan tersebut, dan semuanya pun selesai.

“Oke kalau begitu. Besok aku akan melakukan tantangan pertama yang diberikan,” gumam Rima. Ia pun mengatur rencana untuk menyelesaikan tugas tersebut sambil tersenyum-senyum sendiri.

Ada satu hal lagi yang mengganggu pikirannya.

Siapa pengirim surat ini?

Rima sesungguhnya tengah berusaha menerka-nerka, siapa yang mengirimkan paket rahasia tersebut. Di kepalanya saat ini hanya ada satu nama yang terpikir, suaminya sendiri yang memang suka iseng secara tiba-tiba.

“Pasti dia, hihihi…” ujar Rima sembari tersenyum manis, “ada-ada saja mas Ryan.”

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd