Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT KEMBANG KAMPUS (collab with @killertomato)

Siapa tokoh perempuan favorit kalian d cerita ini?

  • Safira

  • Yasmin

  • Indira

  • Laras

  • Amira

  • Naura


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Cerita Safira sih min, penasaran bgt sama apa yang pak Dar lakuin dan Safira rasain. Karena dia harus serasa jadi pacarnya pak dar
 
Up, agar tidak tenggelam di laut dalam. Biar tenggelam di belahan Yasmin aja
 
ibunya safira boleh tuh di jadiin next slave nya pak Dar.. hehehe. demi kebahagian anak kesayangan dan demi nama baik keluarga.. pak Dar bisa kali menjerat ibunya Safira buat ikut serta menghangatkan meja makan parSafira
Saya setuju dengan ini. Dan lebih bagus lagi klo ibunya jg menikmati.
 
Moga2 lancar RLnya, biar sist @fathimah dan suhu @killertomato bs cepet2 update.. hehehe..

Aminn, terima kasih doanya hu ...

Berharap yg ceweknya nanti ada cerita sendiri

Cewek yang mana Mas? kan ada banyak

Up, agar tidak tenggelam di laut dalam. Biar tenggelam di belahan Yasmin aja

Hahaa, itu sih maunya kamu yaa

Saya setuju dengan ini. Dan lebih bagus lagi klo ibunya jg menikmati.

Sepertinya banyak yang tertarik dengan ini ya. Hmm, bisa dipertimbangkan
 
Mantap cerita nya dari suhu @fathimah & @killertomato 👏👏👏
Untuk season 2 layak dinanti 💪💪💪
Untuk cerita terserah suhu2 yang ok mantap untuk disajikan, hamba mah ikut menikmati saja 🙏🏼🙏🏼🙏🏼
Untuk tokoh ane demen banget indira bisa di explore dengan pak agustinus
Saffira juga bisa diexplore dengan pak dar 😍😍😍
Soal yasmin ini bisa jadi kordinator nih menarik mahasiswi pengantar kehangatan ke para dosen2 mesum 😂😍🕺
Itu aja dah komentarnya untuk penokohan bisa banyak lagi ditimbulkan di season 2 supaya cerita makin banyak konflik nya 👍🙏🏼🙏🏼
Terima kasih suhu atas suguhan cerita yang epic 💪🫡👍🙏🏼👏
 
Part 20: Pilihan Sulit

“Oke, sekian dulu materi untuk hari ini. Apakah ada pertanyaan?” Tanya seorang perempuan berparas cantik yang sedang berdiri membelakangi papan tulis di dalam sebuah ruang kelas.

Seperti biasa, para mahasiswa yang berada di hadapannya memang cenderung pasif apabila ia menanyakan hal tersebut. Mereka hanya diam seribu bahasa, seperti ingin cepat-cepat keluar dari dalam kelas. Beberapa di antara mereka bahkan menoleh ke kiri dan kanan, seolah memantau apabila ada seseorang yang mengangkat tangan, sehingga mereka bisa mengingat nama mahasiswa tersebut dan menjulukinya sebagai sosok penjilat dosen.

Melihat tidak ada respon apa-apa dari para mahasiswa, perempuan yang berdiri di depan tersebut pun memutuskan untuk menutup sesi kelas hari ini. “Baik, kalau tidak ada pertanyaan. Tugas-tugas seperti yang tadi sudah Ibu sampaikan, silakan dikumpulkan melalui e-learning. Ditunggu sampai akhir pekan, yang tidak mengerjakan tidak akan mendapatkan nilai. Sampai jumpa lagi minggu depan.”

Begitu dosen perempuan tersebut menyelesaikan kata-katanya, barulah muncul senyuman di wajah para mahasiswa, yang langsung berlomba menuju pintu keluar seperti para peserta lomba 17 Agustus. Sang dosen hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mahasiswa yang sudah hampir satu tahun ajaran penuh ia bimbing. Secara usia mereka memang sudah dewasa, tetapi secara kelakuan masih tampak seperti anak kecil.

Hanya ada seorang mahasiswa saja yang tertinggal, Ia mendekati meja di depan. Sepertinya Ia memang menunggu sampai semua teman-temannya meninggalkan ruangan, sebelum mulai menyapa sang dosen.

MEHN2HU_t.png


“Siang, Bu.”

“Andrew…” Ujar sang perempuan sambil memeriksa berkas ajar yang ada di atas mejanya. Ia tampak hanya melirik sebentar ke arah sang mahasiswa, sebelum kembali fokus ke berkas-berkas di hadapannya.

“Saya mau tanya soal permintaan saya yang kemarin. Itu lho, sewaktu kita bimbingan. Apa Ibu sudah bisa memberikan jawaban?” Tanya mahasiswa yang bernama lengkap Andrew Santoso tersebut.

Perempuan yang hari ini mengenakan jilbab berwarna merah muda tersebut pun langsung menghentikan aktivitasnya, dan menatap sang mahasiswa tersebut dengan tajam. Meski berusaha untuk tampil tegas, namun ia tetap tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang manis dan anggun dengan secarik kerudung yang menutup kepalanya.

“Pe-permintaan yang mana ya?”

“Hahaa...” Andrew terkekeh. “Bu Indira jangan pura-pura lupa. Ibu pasti tahu permintaan mana yang saya maksud.”

Indira jelas tahu permintaan mana yang sedang dibicarakan oleh mahasiswanya tersebut. Namun ia tidak menyangka bahwa pria muda itu akan berani menanyakannya di lingkungan kampus, bahkan di dalam ruang kelas saat proses belajar mengajar baru saja selesai. Apakah ini adalah cara sang mahasiswa untuk merendahkan kedudukannya sebagai dosen?

“Apakah kita harus membicarakan ini sekarang? Di dalam kelas?”

“Lebih cepat saya tahu jawabannya, lebih baik kan Bu?” Ujar Andrew masih dengan senyum yang seperti meremehkan posisi Indira.

“Secepatnya akan Ibu beri jawabannya. Yang pasti, bukan di sini tempatnya.”

“Baiklah, saya tunggu jawaban Ibu. Yang penting jangan sampai lupa ya. Bye, Bu Indira.”

Dosen muda tersebut pun mendengus kesal saat melihat sang mahasiswa meninggalkan kelas. Apa yang dibicarakan Andrew memang telah mengisi pikirannya sejak beberapa hari lalu, dan membuatnya pusing setengah mati. Namun hari ini adalah hari spesial, dan Indira tidak mau merusaknya dengan masalah lain.


***​


Setelah menyelesaikan seluruh tugasnya di kelas, Indira langsung bergegas menuju ruang dosen dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Perempuan berparas cantik tersebut sempat beberapa kali melirik ke arah jam tangannya, seperti sedang menanti-nantikan sesuatu.

Namun di tengah perjalanan, langkahnya terhenti. Seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun yang tidak biasanya berada di gedung tersebut terlihat menghampiri Indira.

“Selamat siang, Bu Indira,” sapa perempuan yang mempunyai rambut indah dengan panjang sebahu tersebut. Meski sudah berkepala empat, harus diakui kalau wanita ini masih tetap terlihat seperti gadis dua puluh tahun dengan paras jelita dan tubuh indahnya.

“Eh, selamat siang Bu Gina,” jawab Indira.

Selama ini, Indira hanya mengenal Bu Gina sebagai salah satu dosen senior di Fakultas Sosial Politik. Karena itu, ia pun banyak mendengar cerita tentang sang pengajar berparas menarik itu dari sahabatnya, Yasmin, yang juga merupakan dosen di fakultas yang sama. Selain itu, Bu Gina dan keluarganya juga sempat dikenal sebagai influencer yang rutin mengunggah video keseharian mereka di YouTube, meski akhir-akhir ini sudah sering vakum entah karena alasan apa.

“Sedang buru-buru ya, Bu Indira? Kok jalannya cepat sekali?”

Indira melirik sebentar ke arah jam tangannya, dan merasa masih ada sedikit waktu untuk menanggapi dosen senior tersebut. Ia pun memutuskan meladeni Bu Gina yang mungkin hanya ingin berbasa-basi saja.

“Hmm, nggak juga kok Bu Gina. Ada yang bisa dibantu? Kok tumben jauh-jauh datang ke Gedung 1?”

“Sebenarnya, saya ke sini salah satu tujuannya untuk bertemu dengan Bu Indira.”

“Lho, memangnya ada urusan apa ya, Bu?” Tanya Indira penasaran.

Dosen muda tersebut merasa selama ini tidak pernah terlibat dalam satu pun proyek kampus bersama dengan Bu Gina. Mereka memang pernah bertemu beberapa kali di acara kampus, tetapi tidak pernah berbincang tentang urusan pekerjaan sama sekali. Karena itu, ia pun penasaran mengapa tiba-tiba perempuan tersebut ingin bertemu dengan dirinya.

“Jadi begini, saya sedang ada proyek Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di Jawa. Nah, rencananya KKN tersebut akan diisi oleh mahasiswa dan dosen lintas fakultas. Dari Fakultas Ekonomi Bisnis, saya sudah mendapat persetujuan dari Bu Tuti. Nah, tinggal dari Fakultas Ilmu Komputer saja, saya ingin mengajak Bu Indira sebagai salah satu dosen pembimbing.”

“Oh, begitu. Kalau boleh tahu, kenapa saya Bu? Kan masih banyak dosen lain di sini.”

“Menurut informasi yang saya dengar dari beberapa rekan, Bu Indira adalah salah satu dosen terbaik di Fakultas Ilmu Komputer ini. Saya pun sempat ngobrol dengan Bu Yasmin, dan ternyata kalian sahabat baik sejak kuliah ya? Beliau juga menyebutkan beberapa hal positif tentang Bu Indira.”

“Hahaha, Bu Gina ini bisa saja. Saya masih dosen baru, Bu. Jadi masih harus banyak belajar.”

“Hahaha, sama dong, Bu. Saya yang umur segini saja masih merasa ingin terus belajar. Jadi, apa Bu Indira setuju dengan tawaran saya?”

Indira memang sempat mendengar desas-desus bahwa Bu Gina bukan dosen biasa di Universitas Jaya Abadi ini. Ia disebut-sebut tengah mengincar jabatan sebagai wakil rektor untuk menggantikan pejabat sebelumnya yang sebentar lagi akan pensiun. Karena itu, dosen senior tersebut pun tengah begitu aktif membuat berbagai macam proyek yang bisa mendukung pencalonan dirinya.

Kalau aku mendukung dia di proyek kali ini, apakah itu artinya Bu Gina akan mengingat aku saat ia sudah menjabat nanti? Artinya, jalanku untuk naik jabatan pun mungkin akan lebih mulus lagi, batin Indira.

“Kalau boleh tahu, KKN-nya nanti di desa apa ya?” Tanya Indira.

“Ada beberapa lokasi sebenarnya, tapi untuk Bu Indira saya mengusulkan Desa Sumberharjo. Semua hal teknis sudah saya siapkan, bahkan saya sudah berkomunikasi dengan tokoh masyarakat di sana, dan mereka sudah setuju. Jadi bagaimana Bu Indira? Tertarik?”

Bu Gina ini geraknya rapi dan cepat, semua plot sudah diletakkan di tempatnya. Satu-satunya yang belum didapatkan sepertinya adalah persetujuan Indira. Dosen muda jelita itu pun mengangguk. “Boleh, Bu. Kalau bisa minta tolong saya dikirimkan informasi yang lebih lengkap tentang proyek KKN tersebut, agar saya bisa pelajari?”

“Kalau untuk itu Bu Indira tidak perlu khawatir. Saya akan siapkan semua, dan mengirimkannya ke email Bu Indira. Terima kasih sekali lagi ya untuk persetujuannya.”

“Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya minta izin dahulu untuk ke ruang dosen.”

“Oh, iya. Silakan Bu Indira.”

Indira pun memasang senyum sopan saat pergi meninggalkan dosen senior tersebut. Meski sedikit bersemangat, ia sebenarnya bertanya-tanya apa maksud sebenarnya Bu Gina membuat proyek seperti itu. Tapi ia pun tidak mau terlalu memusingkan hal tersebut, karena yang namanya KKN pasti tidak akan jauh berbeda dengan apa yang sudah dirancang sebelumnya oleh kampus. Dan konsentrasi Indira saat ini pun telah berada di hal lain yang akan berlangsung sebentar lagi.


***​


Indira baru saja memasuki ruang dosen tempatnya biasa beristirahat dari aktivitas mengajar setiap hari, saat layar televisi di dalam ruangan mulai menampilkan tayangan breaking news dari sebuah gedung partai. Perempuan yang tengah mengenakan jilbab berwarna merah muda tersebut pun langsung menuju meja kerjanya dan duduk di atas kursi. Namun matanya tampak tidak lepas dari layar televisi yang sepertinya masih menampilkan acara pembukaan, yang nantinya akan disusul oleh acara inti yang telah ditunggu-tunggu. Tidak hanya oleh dirinya, tetapi juga oleh ribuan hingga jutaan orang lain di luar sana.

Beberapa menit kemudian, acara pembukaan sepertinya sudah berakhir, dan seorang pria yang telah ia kenal dengan sangat baik tampak naik ke atas panggung. Pria tersebut memposisikan dirinya di depan microphone, dan bersiap untuk membacakan naskah yang telah ia persiapkan selama ini. Indira bahkan turut memberikan masukan untuk manuskrip yang sebenarnya tidak terlalu panjang itu.

“Selamat siang, para tamu undangan yang saya hormati, dan warga ibu kota yang saya cintai, di mana pun anda berada.”

Indira memang telah mengetahui bahwa saat ini akan segera tiba. Namun perempuan tersebut tidak bisa memungkiri bahwa dirinya tetap merasa cukup tegang, khawatir akan ada kesalahan kecil yang akan merusak seluruh rangkaian acara. Jantungnya berdebar kencang, membayangkan momen ini akan terganggu oleh pengaruh internal dari dalam diri sang pria yang sedang berpidato, maupun pengaruh luar yang luput dari persiapan panitia penyelenggara. Namun sejauh ini, semuanya tampak berjalan dengan lancar.

“Dengan ini, saya Agustinus Wibowo, selaku kader dari Partai Rakyat, menerima mandat dari partai tempat saya bernaung dan para partai koalisi lain yang turut memberikan dukungan, untuk maju menjadi calon gubernur ibu kota di masa pemilihan yang akan berlangsung dalam waktu dekat.”

Indira tampak menggenggam tangannya sendiri dengan kuat, berharap pidato yang dilakukan pria tersebut bisa cepat selesai, dan ia tidak perlu menahan ketegangan di depan layar televisi seperti sekarang.

Sang tokoh yang menjadi sorotan utama dalam momen penting hari ini tersebut memang sempat mengajak Indira untuk datang ke lokasi pencalonan dirinya secara langsung. Namun Indira sadar bahwa ia pasti merasa tidak bisa menahan diri apabila berada di sana, dan ada risiko bahwa kedekatan mereka akan menjadi pembicaraan banyak orang. Hal tersebut jelas bukan sesuatu yang mereka berdua harapkan, apalagi setelah pencalonan ini terjadi, dan sang calon gubernur praktis langsung menjadi sorotan banyak pihak.

“Saya mohon doa restu dari Bapak Ibu sekalian, serta dukungannya bagi saya, untuk bisa mewujudkan niat baik sebagai salah satu warga ibu kota. Semoga apa yang kita niatkan bisa mendapat keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyatukan kita di hari yang berbahagia ini. Salam Merdeka,” tutup pria berusia 55 tahun tersebut, yang langsung disambut dengan tepuk tangan meriah dari para hadirin.

Indira pun bisa membayangkan bahwa di luar sana akan ada orang-orang seperti dirinya yang ikut bahagia, meski tidak bisa menunjukkannya secara langsung. Tanpa sadar, perempuan cantik itu menitikkan air mata haru, seperti masih tidak percaya bahwa sosok yang telah begitu dekat dengannya selama beberapa waktu terakhir itu kini telah naik ke tingkat yang lebih tinggi.

Apapun yang terjadi nanti, aku akan terus menemani Bapak, batin Indira.


***​


Beberapa jam setelah acara deklarasi berakhir, Pak Agustinus duduk di bangku belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang memang menjadi kendaraan utamanya untuk pergi ke mana-mana. Ia tampak sibuk memainkan ponsel miliknya yang begitu penuh akan ucapan selamat yang terus mengalir, serta pesan berupa doa semoga pencalonan dirinya tersebut meraih hasil yang diharapkan.

“Waaah. Selamat ya, Pak. Sekarang sudah jadi calon gubernur, hehehe,” ujar Jono sang supir dari kursi pengemudi, sambil sedikit melirik ke arah sang majikan di belakang.

“Masih calon, Jon. Belum tentu terpilih juga nanti,” jawab Pak Agustinus tanpa ekspresi. Dia tetap fokus pada ponselnya.

“Ya kalau orang baik seperti Bapak sih sepertinya akan mudah untuk menarik hati masyarakat. Apalagi kalau ada itunya… Pak, hehehe…”

“Itu apa maksudnya Jon?”

“Itu lho, Pak. Yang biasanya warna merah muda, dimasukkan ke dalam amplop. Fulus, Pak… Fulus.”

“Hahaa, bisa saja kamu Jon.”

“Berarti sekarang Bapak masih jadi anggota dewan atau bagaimana sih?”

“Salah satu syarat untuk menjadi calon gubernur adalah saya harus mundur dari jabatan saya yang sekarang, Jon. Karena itu, dalam waktu dekat ya saya harus mengundurkan diri.”

“Oh, jadi nggak ngantor di gedung yang biasa itu, Pak?”

“Nggak Jon. Setelah ini mungkin saya akan fokus bekerja di kantor partai yang tadi. Kecuali kalau memang ada jadwal untuk kampanye di berbagai tempat.”

“Begitu tho. Lalu tim Bapak yang biasa, mereka jadi nggak ada kerjaan dong?”

“Hahaa, kamu pasti kepikiran sama salah satu anak magang yang kamu genjot kemarin ya? Kamu apain sih dia sampai besoknya langsung nggak masuk begitu?”

“Hihihi… Biasa deh, Pak. Kalau udah ketemu sama cewek muda yang montok dan kulitnya putih mulus begitu, saya suka nggak tahan diri.”

“Hati-hati, Jon. Jangan terlalu sering olahraganya, nanti kebablasan kamu. Kalau dianya tiba-tiba hamidun, panjang urusan ke belakangnya.”

“Tenang, Pak. Bisa diatur kalau itu,” jawab Jono sambil nyengir. Ia pun jadi teringat akan satu lagi pertanyaan yang telah mengisi hatinya sejak beberapa hari lalu, ketika ia tahu sang majikan hendak mencalonkan diri sebagai gubernur. “Oh iya, saya mau tanya satu hal lagi, Pak.”

“Apa itu, Jon?”

“Kalau Bapak jadi gubernur, apa saya masih bisa bekerja sebagai supir Bapak?”

“Hahaa, kenapa kamu tanya begitu?”

“Ya, setahu saya kan kalau yang namanya gubernur atau presiden itu langsung punya staf yang khusus, termasuk supir dan petugas pengamanan pribadi. Bener nggak sih, Pak?”

“Kita lihat saja nanti akan seperti apa pengaturannya. Tapi saya bisa pastikan bahwa kamu masih akan terus bekerja dengan saya, Jon.”

“Yang bener, Pak?” Wajah Jono langsung sumringah.

“Mana pernah saya bohong sama kamu? Sejauh ini, kamu adalah salah satu orang yang bisa saya percaya, karena itu saya akan terus mempertahankanmu. Kalaupun tidak bisa bekerja langsung untuk saya, mungkin akan saya alihkan kamu untuk menjadi supir Andrew atau yang lain,” ujar Pak Agustinus meyakinkan sang supir. “Hanya ada satu syaratnya.”

“Apa itu Pak?”

“Kamu harus tetap menjaga semua rahasia saya. Salah sedikit, kamu akan tahu sendiri akibatnya. Jelas, Jon?”

“Hahaa, kalau urusan itu Bapak nggak perlu khawatir. Serahkan semua pada saya, Jono Sableng… Muridnya Sinto Gendeng.”

Pak Agustinus hanya tertawa saja melihat guyonan supirnya yang makin hari semakin tidak jelas saja juntrungannya.

“Ngomong-ngomong, kita pulang ke mana ini, Pak? Ke rumah atau...”

“Ke apartemen saja, Jon,” potong Pak Agustinus.

“Ciee… Mau ketemu mbak-mbak berjilbab yang…”

“Sssstttt… Ingat apa yang saya bilang tadi nggak? Apa kamu bisa tutup mulut?”

“I-Iya Pak. Mulai sekarang, saya tidak akan bicara apa-apa lagi,” ujar Jono sambil menempelkan jempol dan jari telunjuknya, lalu menggerakkannya dari ujung bibir sebelah kiri hingga kanan. Penanda bahwa mulutnya telah terkunci mulai sekarang.

“Bagus kalau begitu,” jawab Pak Agustinus.

Pria tua tersebut pun kembali larut melihat berbagai macam pesan yang terus mengalir ke ponselnya. Ia pun tidak lupa memeriksa aplikasi Telehot, tempat grup mesumnya dengan para petinggi Universitas Jaya Abadi berada. Dan seperti yang ia duga, grup tersebut pun telah ramai oleh para pemimpin yayasan, rektor, hingga dekan kampus yang turut berbahagia akan pencalonan diri Pak Agustinus.

“Wah, ada yang siap-siap jadi gubernur neh. Semoga nggak lupa sama kita-kita ya,” tulis Pak Dar.

“Setelah jadi Gubernur, bakal tetap bisa bantu-bantu kita nggak neh? Hee…” ketik Pak Banu.

“Tenang saja Bapak-Bapak. Selama saya ada waktu, pasti akan selalu saya bantu,” jawab Pak Agustinus.

“Nah, itu baru namanya teman. Selalu membantu di saat senang dan susah,” kali ini giliran Pak Sam yang menyahut.

Namun di saat mereka sedang asyik membicarakan prospek menarik apabila Pak Agustinus nantinya menjadi gubernur, seorang anggota grup malah sibuk membicarakan hal lain.

“Woy, Sunaryo. Lo nggak bakal percaya apa yang gue temuin barusan. Anak buah lo emang parah banget neh,” tiba-tiba Pak Bas sang pimpinan yayasan kampus memanggil anak buahnya di grup tersebut.

“Tunggu… Tunggu… Ada masalah apa ya ini Pak Bas? Masih dalam cakupan grup kita atau urusan pekerjaan di kampus?” Pak Yo yang memang kebetulan juga sedang online langsung membalas.

“Ya kalau gue share di sini, pasti bukan urusan kerjaan lah.”

“Jadi masalah apa sih ini, kok jadi kayak marah-marah sama gue?”


Pak Agustinus pun membaca situasi yang tidak baik dari percakapan tersebut. Karena itu, ia langsung memotong pembicaraan.

“Pak Bas… Pak Yo… Kalau ada urusan seperti ini, sebaiknya dibicarakan berdua saja ya. Bukannya saya mau ikut campur, tapi ini demi keamanan grup ini dan kita semua juga,” ujar sang calon gubernur dengan bijak.

“Iya, Pak Bas. Lebih baik kita japrian saja.”

“Oke, oke… Maaf ya semua.”


Setelah itu, tidak ada lagi obrolan di grup dari mereka berdua. Pak Agustinus hanya bisa berharap bahwa urusan keduanya tidak terlalu pelik, sehingga tidak perlu membutuhkan bantuannya untuk menyelesaikan hal tersebut.


***​


Di saat yang sama, seorang perempuan yang masih mengenakan jilbab berwarna merah muda yang ia kenakan sejak pagi, tampak baru saja memasuki sebuah apartemen mewah yang berada di kawasan yang cukup elit. Begitu masuk, ia bisa langsung melihat ruang tamu dengan sofa empuk yang menghadap ke arah televisi, serta pintu menuju kamar tidur yang terletak di ujung ruangan.

Beberapa perabot di dalam apartemen tersebut terbuat dari marmer, yang menambah kesan elegan di dalamnya. Ditambah lagi kaca jendela model floor to ceiling memperlihatkan pemandangan kota yang indah, di hari yang sudah menjelang malam. Apartemen itu jelas membuat siapa pun yang menjadi penghuninya merasa nyaman, termasuk perempuan bernama Indira Nur Aisyah itu.

“Mimpi apa ya aku bisa menempati apartemen mewah seperti ini,” batin Indira.

MEHN2HU_t.png


Sejak beberapa minggu lalu, sang dosen muda itu memang telah tinggal di apartemen tersebut. Kepada kedua orang tuanya, Indira mengatakan bahwa ia memilih menyewa kamar kos, agar bisa dekat dengan kampus. Ia merasa tidak berbohong, karena lokasi apartemen tersebut memang lebih dekat dengan tempatnya mengajar, bila dibanding rumah orang tuanya. Ia hanya tidak menjelaskan bahwa kamar kos yang dimaksud adalah apartemen mewah yang tentu tidak akan sanggup disewa dengan gaji dosen yang tidak seberapa.

Apartemen tersebut adalah salah satu hadiah yang diberikan Pak Agustinus kepadanya. Indira jelas menolak pada awalnya, karena ia tidak ingin dicap sebagai perempuan yang hanya mengincar harta dari pria yang berhubungan dekat dengannya. Namun begitu sang anggota dewan menjelaskan bahwa apartemen itu juga berfungsi sebagai tempat di mana mereka bisa berduaan secara privat, Indira pun setuju untuk menempatinya. Agar tidak dicurigai oleh kedua orang tuanya, Indira pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya setidaknya seminggu sekali.

Hubungan antara Indira dan Pak Agustinus memang sudah begitu dekat, tepatnya setelah sang anggota dewan mendapatkan keperawanan perempuan tersebut di rumahnya. Indira yang memang sudah larut akan rayuan sang pria pun merasakan kepuasan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya saat bersama dengan pria tua tersebut. Ia seperti sudah tidak terlalu peduli dengan perbedaan kepercayaan mereka berdua, apalagi bentuk penis sang pria yang tidak disunat. Yang terpenting baginya adalah keduanya bisa sama-sama merasa bahagia.

Namun tentu Indira belum berani untuk mengatakan secara terang-terangan kepada kedua orang tuanya. Sang Ibu sepertinya sudah bisa menebak bahwa telah ada seseorang yang mengisi relung hati anak perempuannya. Hal ini terlihat dari raut wajah Indira yang senantiasa berada dalam kondisi bahagia, terutama saat ia pulang ke rumah.

“Jadi, belum mau dikenalin sama Ibu nih?” tanya sang ibu suatu hari saat mereka tengah makan malam bersama di rumah.

“Siapa yang dikenalin, Bu?” balas Indira sambil terus menyantap makanan di hadapannya. Pura-pura cuek.

“Yah… Siapa pun yang bisa membuat putri kesayangan Ibu senyum-senyum terus setiap melihat ponsel.”

“Cuma video kucing kok, Bu,” ujar Indira beralasan.

“Video kucing biasa atau kucing garong?” Ledek sang ibu. Indira hanya tertawa mendengarnya. “Buat Ibu, yang penting kamu bahagia. Soal waktu, biar kamu yang menentukan kapan kamu mau cerita.”

“Iya, Bu.”

“Jadi hubungan kamu dengan Ahmad sudah benar-benar putus?”

“Sudah.” paras Indira langsung berubah masam ketika nama Ahmad disebutkan.

“Kamu sudah ketemu secara langsung dengan dia dan Ummi?”

“Sudah juga.”

“Lalu apa tanggapan mereka?”

“Ummi sih sempat meminta aku untuk mempertimbangkan lagi, tetapi rasanya keputusanku sudah bulat. Mas Ahmad juga tidak ada keinginan untuk mempertahankan aku lagi, semuanya benar-benar sudah berakhir.” jawab Indira.

“Baik, kalau begitu. Sepertinya ini adalah jalan terbaik bagi kamu, dan bagi mereka juga.”

“Sepertinya begitu, Bu.”

Beginilah kondisi Indira sekarang di usianya yang akan menginjak kepala tiga dalam waktu dua tahun ke depan. Fokus mengejar karir di kampus sembari mencari beasiswa untuk melanjutkan studi S3, serta mendampingi Pak Agustinus secara diam-diam, karena hubungan mereka tentu akan menimbulkan prasangka yang tidak-tidak di mata orang banyak. Untungnya, sejauh ini Indira masih merasa nyaman dengan hal tersebut.

Hari ini, Indira tampak benar-benar anggun dengan terusan panjang berwarna hitam yang menutup tubuhnya mulai dari bagian leher hingga ke ujung kaki. Sementara jilbabnya yang berwarna pink terlihat disampirkan begitu saja ke pundaknya. Begitu masuk ke dalam apartemen, perempuan tersebut langsung melepas sepatu dan mengganti dengan sebuah sandal rumah yang memang ia siapkan di dekat pintu.

Karena merasa haus, perempuan cantik itu langsung menuju kulkas satu pintu yang terletak di area dapur, dan mengambil sebuah botol berisi air putih di dalamnya. Ia sempat berniat untuk memasak, tetapi urung karena merasa masih belum lapar. Bahan makanan yang berada di kulkas tersebut pun kian menipis.

“Masa iya setiap hari aku cuma makan nasi goreng dan mie rebus terus di apartemen ini,” gumam Indira.

Baru saja Indira menutup kulkas, ia tiba-tiba mendengar suara pintu apartemen dibuka dari luar. Perempuan cantik tersebut pun langsung bergerak menuju pintu masuk, dan melihat sosok seorang pria yang baru saja masuk ke dalam. Ia pun langsung menghambur ke arah pria tersebut dan memeluk tubuhnya erat.

“Duh duh duh… Baru juga datang, sudah langsung dipeluk saja,” ujar sang pria sambil meletakkan tas kerjanya di lantai dan balas memeluk tubuh Indira.

“Biarin, aku kangen…” ujar Indira.

Pria tersebut pun menarik sedikit tubuhnya guna melepaskan diri dari pelukan sang perempuan. Ia menatap wajah cantik perempuan muda di hadapannya yang benar-benar menawan, dengan hidung yang mancung, bibir yang sensual, dan pipi yang menggemaskan. Sebuah kombinasi yang tentunya akan menarik pria manapun yang melihatnya. Sang pria pun menjadi semakin merasa beruntung bisa mendapatkan perempuan tersebut hingga jatuh ke pelukannya.

Cuuupppp…

Sang pria mengecup lembut bibir Indira, sambil kembali menarik tubuh perempuan tersebut. Tangannya mengelus-elus punggung indah sang dosen muda yang masih berbalut baju terusan panjang berwarna hitam, dari bagian atas hingga ke bawah. Saat tangan tersebut sampai di bagian pantat Indira, pria berusia 55 tahun itu tak lupa untuk meremas bagian termontok dari tubuh Indira tersebut secara perlahan, tetapi cukup untuk memancing gairah sang perempuan.

“Ihhh… nakal banget sih tangannya.”

“Siapa yang bisa tahan sama pantat kamu yang seksi ini, sayang?”

“Dosen lain dan mahasiswaku di kampus semuanya pada tahan, hayoo… mereka tidak ada yang komentar apapun.”

“Hahaha, itu kelihatannya saja mereka tahan. Tapi kalau kamu bisa membaca pikiran mereka, berani taruhan pasti mereka mikir yang aneh-aneh juga.”

“Ihh, Bapak apaan sih,” ujar Indira sambil memukul pundak Pak Agustinus dengan manja. “Bapak nggak pegal berdiri begini? Duduk dulu yuk.”

“Kamu tahu aja kalau usia aku nggak bisa bohong, hee.”

Mereka berdua pun berjalan ke arah sofa sambil terus bergandengan tangan. Begitu duduk, sang pria pun langsung merangkul tubuh Indira hingga rebah di pundaknya. Ia baru akan mengambil remote televisi, sebelum perempuan yang ada di sebelahnya tersebut menahan tangannya.

“Stop. Nggak usah di nyalakan televisinya,” ujar Indira.

“Loh, kenapa?”

“Aku cuma mau malam ini untuk kita berdua, nggak terganggu dengan berita-berita di televisi yang pasti penuh dengan pencalonan Bapak sebagai gubernur. Boleh?”

Pak Agustinus pun tersenyum. Ia yang sudah lama tidak menjalin hubungan dengan perempuan tampak cukup geli dengan sikap dosen muda tersebut yang begitu manja. “Boleh, sayang.”

Kini giliran Indira yang mengambil inisiatif dan kembali mengecup-ngecup bibir sang pria yang berusia jauh di atas dirinya tersebut. Namun hal itu tentu bukan masalah, karena Pak Agustinus memang selalu bisa memberikan kehangatan yang unik baginya.

“Jadi bagaimana perasaan Bapak setelah resmi mencalonkan diri sebagai gubernur?” Tanya perempuan tersebut di sela-sela kecupannya.

“Kamu serius mau nanya ini sekarang?” Jawab Pak Agustinus yang masih asyik merasakan kehangatan lidah Indira, yang tengah menyapu sepasang bibirnya. “Katanya tadi tidak mau bahas pencalonan?”

Perempuan tersebut hanya mengangguk, sambil mengalungkan tangannya ke leher Pak Agustinus, lalu kembali mencumbu pria tersebut. Sesekali ia tampak mengelus rambut sang pria yang berwarna hitam dan sedikit ikal.

“Perasaan Bapak, bukan pencalonannya.”

“Yang jelas lebih merasa lega, karena beban yang selama ini ada seperti terangkat dari pundak. Soal apakah akan benar-benar jadi gubernur atau tidak, semuanya kuserahkan pada proses yang nanti akan berlangsung,” jawab Pak Agustinus.

Sang pria tampak tidak tahan dan langsung menarik ujung baju terusan yang dikenakan Indira ke atas, membuat pahanya yang mulus jadi tersingkap bebas. Tanpa menunggu persetujuan dari pemiliknya, ia pun langsung mengelus-elus lembut bongkahan paha yang montok nan segar tersebut.

“Apakah setelah ini Bapak akan sangat sibuk? Kita jadi jarang bisa ketemu?”

Indira kini sudah naik ke atas pangkuan Pak Agustinus, membuat selangkangannya yang hanya tertutup celana dalam seperti berhadapan dengan pinggul milik sang pria. Perempuan tersebut tampak enggan untuk melepas kecupannya, yang bertubi-tubi menyasar leher sang pria.

“Bisa jadi seperti itu, Indira. Tapi kamu tidak masalah kan?” Tanya Pak Agustinus dengan tangan kanannya mengusap kepala Indira yang masih berbalut jilbab, sedangkan tangan kirinya asyik menjelajah paha mulus milik perempuan tersebut.

“Aku tahu kalau aku nggak bisa protes, Pak. Karena itu aku tidak akan mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting…”

“Yang penting apa, Sayang?”

“Yang penting Bapak tidak melirik perempuan lain,” jawab Indira malu-malu, sambil merebahkan kepalanya di pundak sang pria.

“Mengapa kamu masih mengkhawatirkan hal itu, Sayang?”

“Bapak tahu sendiri kalau aku sudah menyerahkan segalanya untuk Bapak. Kalau Bapak meninggalkan saya, tentu saya tidak akan bisa berkata apa-apa.”

“Hanya orang bodoh yang mau meninggalkan wanita seindah kamu, Indira,” ujar Pak Agustinus sambil tersenyum.

Indira pun membalasnya dengan senyuman yang tidak kalah manis. Perempuan tersebut kemudian coba melepas kancing kemeja Pak Agustinus satu per satu dari atas hingga bawah. Seperti biasa, pria tersebut sudah tidak mengenakan kaos dalam lagi di baliknya, sehingga dadanya yang bidang dan berbulu pun langsung terbuka.

“Aku kangen sama dada Bapak,” ujar Indira dengan pipi yang bersemu merah.

“Kalau kangen, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan, hehehe.”

Indira mengangguk. Perempuan tersebut pun mulai mengecup-ngecup dada sang pria, dari bagian atas hingga turun ke area di mana kedua putingnya berada. Dengan penuh gairah, sang dosen cantik itu pun tak malu-malu untuk menjilat-jilat kedua puting tersebut, bahkan mengulum dan menghisapnya.

Diperlakukan seperti itu, Pak Agustinus hanya bisa menahan birahinya sendiri agar tidak cepat meledak. Malam masih panjang, dan ia tahu bahwa ia harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya agar bisa mengisinya semaksimal mungkin demi kepuasan mereka berdua. Ia pun memejamkan mata berusaha memikirkan hal lain yang mungkin bisa menahan birahinya agar tidak lekas mendesak untuk keluar.

Ia akui hal tersebut memang begitu sulit, karena begitu nikmatnya rangsangan yang diberikan perempuan berjilbab di pangkuannya. Rangsangan tersebut memang terasa begitu liar, karena Indira memang belum mempunyai banyak pengalaman. Namun hal tersebut justru yang membuat jilatan dan hisapan lidah sang dosen terasa begitu menggemaskan bagi pria tua tersebut.

“Turun ke bawah dong, Indira,” ujar Pak Agustinus seperti mengajarkan perempuan muda yang memang tidak punya banyak pengalaman seksual tersebut, tentang bagaimana cara memuaskan pria sepertinya.

Meski masih merasa canggung, namun Indira paham apa yang diinginkan oleh pria tua di hadapannya itu. Perempuan cantik itu turun dari pangkuan Pak Agustinus, dan duduk di lantai apartemen yang sedikit dingin. Ia tampak berlutut sambil menghadap ke arah selangkangan sang pria.Tangannya yang lentik perlahan melepas ikat pinggang dan kaitan celana kain yang dikenakan Pak Agustinus, lalu menariknya ke bawah. Paha sang pria yang juga dipenuhi bulu pun tak luput dari elusan tangan Indira.

“Ngghh, geli banget, Sayang,” desah Pak Agustinus.

Indira hanya tersenyum, dan langsung menarik celana dalam berwarna putih yang melekat di selangkangan pria tua itu. Akhirnya, batang kemaluan yang telah begitu tegang, langsung melesak keluar, berdiri tegak seperti tiang bendera di lapangan upacara. Ujungnya yang berbeda dengan kebanyakan pria lain, praktis membuat Indira gemas, dan langsung mengelus-elusnya dengan lembut.

“Duhh... Lembut banget sih jemari kamu, enak banget kontol saya dielus-elus begitu, Indira.”

Setelah beberapa lama menikmati batang penisnya diusap-usap oleh sang perempuan, Pak Agustinus pun merasa tidak tahan. Ia kemudian menarik kepala Indira yang masih berbalut jilbab agar mendekat ke arah organ vitalnya tersebut. Gairah itu kembali menanjak ketika ujung penisnya menyentuh bibir sensual Indira, yang perlahan mulai terbuka membiarkan batang berwarna hitam yang sudah begitu kencang tersebut melesak masuk ke dalam rongga mulutnya.

“Sllllrrrrppphhhhh...”

Ruangan apartemen tersebut kini hanya diisi oleh suara decak yang timbul akibat gesekan batang penis Pak Agustinus dengan rongga mulut dan air liur Indira yang hangat. Sang pria pun tak lupa mengajarkan Indira untuk memaju-mundurkan kepalanya secara perlahan, demi memberikan kepuasan tambahan bagi dirinya. Bau khas yang menyeruak dari selangkangan tersebut seperti tidak membuat jijik. Dosen muda itu tampak tidak bermasalah, karena ia juga punya gairah yang sudah ditahan olehnya sejak beberapa hari lalu, dan butuh untuk segera dilampiaskan. Apalagi ia sudah pernah merasakan kenikmatan tersebut beberapa minggu sebelumnya di rumah Pak Agustinus.

“Kamu udah makin pintar emutin kontol saya, Indira. Saya suka,” ujar Pak Agustinus sambil mengelus-elus kepala perempuan muda di hadapannya.

Pria tersebut merasa beruntung bisa mempunyai karir politik yang cemerlang, sehingga bisa dicalonkan oleh partainya sebagai gubernur ibu kota. Dan setelah pencalonan pun, seorang perempuan berparas cantik yang berusia jauh di bawahnya tersebut pun bisa memuaskannya dengan kenikmatan yang tidak kalah dengan pelacur-pelacur yang biasa ia urus di bisnis prostitusi. Pak Agustinus pun merasa sangat bahagia dengan kehidupannya, dan tidak mau melepas semua tersebut untuk alasan apa pun.

“Sekarang, kamu lepas seluruh pakaian kamu di hadapan aku, Bu dosen,” ucap Pak Agustinus, sambil menarik kepala Indira hingga kulumannya terhadap penis sang pria tua jadi terlepas.

“Di-Di sini Pak?”

“Iya, memangnya di mana lagi?”

“Tapi aku malu,” jawab Indira dengan pipi yang tampak memerah.

“Kan cuma ada aku di sini, kenapa kamu harus malu. Ayo lahh...”

Indira akhirnya menurut. Ia pun bangkit dari posisi berlutut di lantai, dan berdiri tepat di hadapan sang pria tua yang masih duduk santai di atas sofa, dengan tubuh yang sudah tanpa busana. Pemandangan tersebut memang terlihat aneh di mata perempuan tersebut, tetapi di sisi lain juga menggelitik birahinya. Apalagi ketika ia melirik ke arah batang penis tidak disunat milik sang pria yang berdiri tegak.

Perempuan tersebut kemudian mengikuti arahan Pak Agustinus untuk menanggalkan baju terusan berwarna hitam yang ia kenakan, hingga jatuh ke lantai. Tubuhnya yang indah pun kini hanya tertutup oleh bra dan celana dalam berwarna merah muda, yang serupa dengan jilbab yang masih ia kenakan. Indira tampak malu-malu saat tubuh setengah telanjangnya dilihat langsung oleh sang pria tua yang juga sudah tanpa busana. Meski mereka sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya, tetapi perempuan tersebut tidak bisa menutupi bahwa ia masih merasa canggung.

“Kenapa malu-malu begitu, Indira. Ayo lepas bra, celana dalam, dan jilbab kamu juga,” perintah Pak Agustinus sambil tersenyum.

Indira pun memberanikan diri untuk mematuhi perintah tersebut. Ia mulai melepaskan kaitan bra di punggungnya hingga terlepas, dan payudaranya yang berukuran sedang terpampang indah di hadapan sang pria tua. Kemudian, ia pun menurunkan celana dalamnya, hingga menampilkan selangkangannya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis, yang selalu dirawat perempuan tersebut. Terakhir, sang dosen pun melepaskan jilbab yang ia kenakan, hingga rambutnya yang memanjang hingga ke punggung tergerai indah.

“Cantik sekali kamu, Indira. Bagaikan bidadari yang turun ke bumi,” gumam Pak Agustinus.

Indira merasa sangat malu mendengar kata-kata tersebut. Apalagi ketika sang pria tua kemudian menarik tangannya, memintanya untuk kembali naik ke pangkuan. Perempuan tersebut pun bisa merasakan batang penis milik Pak Agustinus yang mulai menggesek-gesek bibir kemaluannya.

“Gede banget sih, Pak. Anunya...” desah Indira.

“Kamu suka kan?”

Indira mengangguk. Perempuan tersebut kini telah mengalungkan tangannya ke leher sang pria tua, dan membiarkan bibirnya dilumat dengan liar oleh anggota dewan dengan tubuh lumayan tegap tersebut. Ia tampak begitu terangsang saat payudaranya yang menggantung bebas digenggam dan dimainkan putingnya oleh Pak Agustinus.

“Nggggghhhhh...”

Sang pria yang sudah begitu bernafsu tampak mulai menjilati leher dan bagian belakang telingan Indira dengan lidahnya yang hangat. Jemarinya pun sudah begitu aktif mengusap, memilin, dan berputar-putar di sekeliling puting payudara Indira, membuat pemiliknya tak tahan untuk mengeluarkan desisan penuh nafsu.

“Masukin sekarang Paaaaakkk, pleeeaasseeeee...” erang Indira.

Pak Agustinus hanya tersenyum mendengar kata-kata binal tersebut, yang diiringi dengan raut wajah sang perempuan yang makin tidak karuan. “Kamu sudah benar-benar nggak tahan ya?”

Indira mengangguk dengan raut wajah yang sayu. Ia pun memeluk tubuh Pak Agustinus dengan erat, hingga payudaranya yang berukuran sedang menempel tepat di dada sang pria yang dipenuhi bulu. Punggungnya yang sudah sedikit berkeringat pun mulai diusap-usap oleh pria tersebut.

“Buka yang lebih lebar dong, Indira. Biar lebih gampang masuknya,” ujar Pak Agustinus, yang langsung diiringi oleh gerakan cepat sang perempuan memposisikan selangkangannya agar tepat berada di atas kemaluan pria tersebut.

Sesaat kemudian, ujung penis sang pria yang seperti tertutup kulup tersebut mulai menyelusup masuk ke dalam liang senggama Indira, menggesek dinding lubang sempit tersebut senti demi senti, memberikan kehangatan yang tidak pernah dirasakan sang perempuan sebelumnya. Sementara itu, bibirnya pun seperti tak bisa lepas dari mulut sensual Indira, yang terus menerus ia kecup penuh nafsu.

Ketika penis Pak Agustinus telah bersarang di dalam vaginanya, Indira mulai menggerakkan tubuhnya ke atas dan ke bawah, seperti ingin batang kemaluan yang berada di dalamnya mengembang semakin besar hingga membuat liang senggamanya penuh. Dengan begitu, ia bisa merasakan kembali gelombang birahi yang kini hanya bisa ia nikmati bersama sang pria tua itu saja.

Tangan sang pria kini telah menempel di pinggul Indira, dan seperti ikut membantu sang perempuan untuk mempercepat gerakan tubuhnya. Sepasang kekasih yang berbeda usia sangat jauh tersebut pun mulai menaikkan tempo persetubuhan mereka.

“Nggghhhh... Nikmat sekali memek sempit kamu, Indira. Aahhhhhh...”

“Punya Bapak juga besar banget, tusuk-tusuk vagina aku. Nggghhh...”

“Apa yang ada di pikiran kamu sampai kamu mau jadi temen bobo aku, Bu Dosen? Aaahhh...”

“Serius harus diomongin sekarang Pak? Gggghhhhh...”

Pak Agustinus mengangguk. Pria tua itu memang merasa begitu terangsang hanya dengan membayangkan sang dosen muda nan cantik itu mau memenuhi permintaan untuk memuaskan nafsu seksualnya. Dan begitu impian itu menjadi kenyataan, ia pun merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Mendengar langsung pengakuan Indira seperti menambah bahan bakar untuk libidonya agar segera mencapai puncak.

“Aku suka Bapak karena perhatian yang Bapak berikan jauh lebih besar dari pria-pria lain yang selama ini dekat denganku. Nggghhh...”

“Yakin cuma itu? Ahhh... Ahhh... Ahhh...” Tanya Pak Agustinus sambil terus menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama tubuh Indira yang terus naik turun di atas batang penis miliknya.

“Aku juga suka... Ngggghhh .. Enak banget Paaaaaaakkkk.”

“Suka apa sih Indira sayang, kok ngomongnya keputus-putus begitu? Ahhhhh...”

“Aku juga suka tubuh Bapak yang kekar, dan bulu-bulu halus di tubuh Bapak. Bikin fantasiku melayang kemana-mana... Nggggggghhhhh.”

“Keindahan tubuh dosen cantik kayak kamu juga bikin fantasiku berterbangan kemana-mana, Indira... Aaaaahhhh.”

Kedua insan tersebut pun makin terangsang mendengar pengakuan cinta pasangannya masing-masing. Mereka pun siap untuk melepaskan birahinya, tepat di hadapan pasangan mereka.

Indira tampak menjadi yang pertama meraih orgasme.

Crrrrrrttttt.... Crrrrrttttt.... Crrrrrttttt...

Pak Agustinus menyusulnya tak lama kemudian.

Crrroooootttt... Crrrrooooottttt... Crrrrrrroootttttt....

Keduanya pun saling berpelukan, demi menikmati gelombang birahi yang baru saja menyerang mereka dengan kekuatan besar. Kepala Indira tampak bersandar di bahu Pak Agustinus, sambil memandang ke arah jendela apartemen tempat mereka berada.

“Bagaimana rasanya, Indira?”

“Nikmat, Pak,” jawab perempuan muda tersebut.

“Kamu malam ini pulang? Atau mau menginap di sini saja?”

“Bapak kan tahu kalau aku belum bisa menginap, orang tuaku pasti akan mencari,” jawab Indira. Terdengar kesan kecewa dari kata-kata tersebut.

“Kamu belum bisa bilang soal kita kepada mereka ya?”

“Masih belum tepat saatnya, Pak.”

Indira merasakan kekecewaan yang juga melanda pasangannya yang berusia hampir mirip dengan ayahnya sendiri itu. Untuk meredakannya, sang perempuan pun mengecup bibir pria tersebut dengan mesra.

“Saya mengerti. Semuanya saya serahkan saja kepada kamu, karena kamu yang paling tahu mereka.”

“Terima kasih, Pak,” jawab Indira sambil tersenyum. Ia bisa merasakan telapak tangan Pak Agustinus yang sedikit kasar mulai mengusap-usap punggungnya, dan membelai rambutnya yang tergerai bebas.

“Saya juga belum tahu kapan saya bisa bilang pada Andrew soal kita,” ujar Pak Agustinus. “Saya khawatir kalau dia tidak akan menanggapi berita tentang hubungan kita ini dengan baik.”

Indira hanya menatap penuh arti, tepat ke arah kornea mata pasangannya, saat mendengar kata Andrew disebut. Meski itu adalah hal biasa, karena sebagai orang tua Pak Agustinus pasti merasa punya kewajiban untuk menjelaskan hubungan mereka kepada anaknya. Namun ingatan Indira tentang apa yang terjadi beberapa hari lalu saat sedang bimbingan skripsi, membuat perempuan tersebut merasa tegang.

Pikirannya terbang ke suatu pertemuan, suatu perjumpaan. Ia masih ingat bagaimana tiba-tiba Andrew menggenggam tangannya saat mereka hanya tinggal berdua di ruang dosen.

“Heh! Apa-apaan! Andrew!” ujar Indira protes dengan langsung menarik tangannya.

Sang mahasiswa hanya tersenyum. Ia mendekat ke arah sang dosen dengan pandangan mata tajam dan wajah nakal, “Ck ck ck… sudahlah. Ibu tidak usah munafik. Saya sudah tahu siapa ibu sebenarnya. Selama ini saya menganggap tinggi martabat Ibu, tapi ternyata sama saja dengan cewek-cewek lain.”

“A-Apa maksud kamu?”

“Saya melihat semuanya.”

Indira meneguk ludah.

”Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri betapa binalnya Ibu saat mengendarai kemaluan ayah saya di rumah.”

Tangan Indira melayang hendak menampar Andrew. Tapi pemuda itu bisa menangkap pergelangan tangannya dengan mudah.

“Ja-jangan kurang ajar kamu!” Indira kembali menarik tangannya.

Andrew menyeringai, “Mau saya telpon Ayah saya sekarang juga untuk meminta semua penjelasan? Boleh. Atau mau saya telpon teman-teman Ibu? Atau keluarga Ibu? Saya ingin bertanya kenapa dosen yang sangat saya hormati tega-teganya menggoda Ayah saya yang duda. Apakah karena beliau punya jabatan?”

Indira bagai tersambar petir saat mendengar kata-kata tersebut. “BUKAN SEPERTI ITU!”

Indira makin takut saat wajah Andrew semakin dekat ke arahnya. Mereka benar-benar bertatapan dengan jarak hanya beberapa sentimeter saja. Wangi parfum yang dikenakan Indira tercium sangat kentara oleh sang pemuda.

“I-Ibu bisa jelaskan semuanya, Andrew… Ibu tidak pernah dan tidak bermaksud untuk…”

“DIAM!”

Indira terkejut sampai hampir melonjak karena dibentak sedemikian dekat. Ia semakin khawatir, ia merasa bersalah.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Bu,” jawab Andrew ketus. “Sampai kapan pun, saya nggak akan rela kalau ibu jadi pasangan ayah saya.”

“Andrew… Ibu bukan… ma-maksud Ibu, Ibu tidak akan…”

“Kecuali…”

“Kecuali…?”

“Kecuali Ibu juga mengizinkan saya untuk menikmati tubuh indah Ibu,” Andrew menarikan jemarinya di kerudung yang dikenakan oleh Indira, “kalau Ibu khawatir, ayah saya tidak perlu tahu soal hal ini. Bagaimana? Win win solution bukan?”

Indira menatap ngeri seringai di wajah Andrew.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd