Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KASIH TAK SAMPAI (Cinta Rumit STW, mahmud, binor, abegeh, beda kasta, beda usia, beda dunia)

***
Sebelum pulang ke rumah, aku mampir ke ATM untuk mengambil uang karena persediaan di dompet sudah menipis. Saat tiba di rumah, Rani sedang menyapu teras dan mbak Harni muncul dari arah gang.
“Baru pulang mas Jarwo.” Tanyanya. Aku mengangguk lemas. Rani menyapu teras sambil menunduk.
“Tadi ada temennya mas Jarwo ke sini, apa bener perusahaan konveksinya bangkrut?” tanya mbak Harni lagi. Aku mengangguk lagi dengan lemas. Lalu pergi ke kamar.

Aku ngantuk dan letih. Aku perlu tidur yang lama dan nyenyak.

***

Aku bangun sekitar pukul setengah sepuluh malam oleh getar HP di saku bajuku. Ternyata dari Mang Dudung.
“Pak, besok mau ke kantor enggak?”
“Mungkin siangan.” Jawabku.
“Apa benar pak kita semua diPHK?”
“Bener.”

Terdengar keluhan pilu yang menyayat di sebrang telpon.

“Apa bapak bisa memperjuangkan agar kami terus bekerja? Kami semua pasti berterimakasih.”
“Saya sedang mencoba, Mang. Saya juga kan sama jadi pengangguran.”
“Besok pagi temen-temen mau ngadain kumpulan…”
“Saya ga bisa hadir, ada urusan.”
“Urusan apa sih Pak?”
“Pokoknya saya ada urusan, saya ke kantor siangan, mungkin jam 11 atau jam 12.”
“Ya udah, pokoknya besok bapak ngantor ya.”
“I ya, oke.” Kataku, “sudah ya mang, saya sakit perut mau ke belakang.”

Klik, telpon kututup. Aku meloncat dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Setelah BAB, aku kembali ke kasur dan tidur lagi.

***

Aku terbangun oleh suara gedubrakan yang bersumber dari ruang tengah sekitar pukul setengah tiga pagi. Aku heran. Dengan terhuyung-huyung karena masih ngantuk, aku ke luar kamar dan melihat apa yang terjadi. Kulihat di ruang tengah Rani tidur di sofa panjang berselimut sarung, sedangkan dua temannya Popon dan Elis tidur di kursi sofa yang pendek, masing-masing masih mengenakan jaket. Elis mungkin tidur mengigau atau tidurnya gelisah, yang jelas dia terjatuh dan kepalanya menabrak meja. Saat aku melihatnya, dia sedang mengusap kepalanya yang benjol.

“Kenapa?”
“Jatoh Om.”
“Kamu tidur di kursi itu?”
Dia mengangguk.
“Udah pindah sana ke kamar. Tidur di kasur.”
“Terus Om tidur di mana? Masa seranjang?”
“Aku udah kebanyakan tidur.”
“Om enggak akan tidur lagi di kasur kan?”
“Kalau akan tidur lagi gimana?”
“Jangan Om, entar ‘itu’nya kejepit terus muntah…”
“Masa sih?” kataku tanpa mempedulikan apa yang diucapkan abg itu, aku balik lagi ke kamar dan mengambil gulungan sleeping bag, lalu menghamparkannya di ruang tengah.
“Kalau gitu kamu tidur di sini aja.” Kataku. Elis menyeringai. Dia membuka jaketnya dan masuk ke dalam sleeping bag. Aku sedikit tercengang waktu dia membuka jaket. Dia ternyata memakai tanktop dan celana pendek yang sangat minim. Aku lalu memperhatikan Popon yang tidur meringkuk terbungkus jaket. Waktu kusingkap jaketnya, eh, gila. Dia memakai rok mini dan kaos ketat yang membuat sepasang toketnya tampak mumbul. Tapi mendadak Popon terbangun.
“Om apaan sih? Ngintip ya?” Popon berkata dengan suara serak
“Dikit.” Kataku, “pindah tidurnya di kasur!” Kudengar dari balik sleeping bag Elis terkikik. “Ngapain kamu cekikikan?” aku berkata sebal kepada Elis.
“Engga kok.” Kata Elis.

Aku lalu membopong Rani dan memindahkannya ke kamar. Popon mengikuti dengan langkah limbung. Mereka akhirnya tidur berdua di kasur. Sementara aku sendiri melanjutkan tidur di kursi sofa.

***

Aku terbangun oleh suara Rani yang tengah ngobrol di dapur. Para abg itu sudah lagi sibuk di dapur memasak sesuatu. Setelah mandi dan ganti baju, aku mendapat sarapan nasi putih hangat, kerupuk dan sambel kecap. Demikian juga dengan ketiga abg itu.
“Om enggak keberatan kita tinggal dulu di sini sebentar.” Kata Elis.
“Rani, kamu keberatan enggak?” tanyaku.
“Enggak.” Jawab Popon.
“Koq kamu yang jawab.” Kata Elis, agak sengit. “Aku nanya sama Om, bukan sama kamu. Dan Om juga nanya sama Rani…”
“Sudah, sudah.” Kataku. “Pagi-pagi jangan berisik.”
“Enggak Om, Rani enggak keberatan. Mereka sahabat Rani koq.” Kata Rani.
“Ya sudah kalau begitu.” Kataku sambil merogoh dompet, “ini 150 buat kamu, ini 150 lagi buat belanja. Jangan lupa beliin kopi.”
“I ya, Om.”
“Elis enggak dikasih Om?” tanya Elis.
“Boleh. Kamu minta berapa?” tanyaku.
“Sejuta aja.”
“Boleh.” Kataku. Kulihat Rani memberengut. “Tapi kamu harus ketawa dulu yang keras ha ha ha… gitu. Tapi jangan kelihatan giginya.” Kataku sambil nyengir.

Elis mencoba beberapa kali. Tapi Rani dan Popon justru yang menilai bahwa usaha Elis gatot alias gagal total. Pagi itu, aku berangkat dengan perasaan ringan.

***

Aku takkan menyebut nama gedung atau jalan di mana gedung itu berada. Tapi yang jelas, gedung itu terdiri dari 7 lantai, terletak tidak jauh dari pusat kota. Setibanya di sana, aku langsung ke lobby kantor yang terletak di sayap sebelah kiri, sementara lobby bank yang mulai dipenuhi para nasabah, ada di sayap kanan.

Di lobby itu aku menemui satpam penjaga. Kukatakan maksudku untuk menemui Ibu Theresia.

“Sudah ada janji belum, dek?” tanya si Satpam.
“Belum.” Jawabku polos.
“Adek harusnya punya janji dulu, soalnya Bu Tere sangat sibuk. Lagian sekarang dia ada di Singapura.”
“Ah, masa sih Pak.” Kataku. “Bukannya beliau lagi ngadain rekruitmen pengadaan pegawai?”
“Berarti adek ke sini nyari lowongan pekerjaan? Di sini sudah penuh, dek, enggak ada lowongan.”

Ah, sial!

Kalau seorang satpam sudah bersikap seperti ini, jelas susah dilawan. Setelah ngotot sedikit, aku terus mengalah dan balik kanan hendak meninggalkan lobby menuju tempat parkir. Persis pada saat itu sebuah Alphard putih yang sangat istimewa berhenti di depan lobby, disusul kemudian sepasang betis halus mulus yang sangat indah ke luar dari pintu belakang yang terbuka. Sepasang dengkulnya saja terlihat sangat cantik, apalagi dalemannya yang lain. Ketika keseluruhan orangnya muncul, aku menjubleg seperti patung. Terkesima oleh kecantikannya yang mirip artis Korea Bae Joohyun bahkan lebih cantik lagi menurutku. Soalnya, gadis yang baru turun dari mobil ini tidak memakai banyak riasan apa pun. Matanya pun lebih besar. Bibirnya tidak memakai lipstik, mungkin dia hanya memoleskan sedikit pelembab. Rambutnya lurus sedikit agak bergelombang, dipotong pendek sederhana untuk memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. Disisir belah pinggir dan diberi jepit merah dekat dengan telinganya. Dia mengenakan stelan blazer warna abu pastel dengan rok warna senada yang panjangnya tidak terlalu pendek tapi tepat 20 mm di atas lututnya.

Ah, bagaimana mungkin ada gadis asli Indonesia yang begini jelita dan mempesona. Atau jangan-jangan dia adalah seorang artis yang tengah berkunjung ke kantor Pan Asia Bank ini karena memiliki keperluan tertentu.

Begitu melihat gadis itu, si satpam yang arogan langsung membungkuk hormat, lalu tegak sempurna dan memberi hormat ala militer dengan telapak tangan rapat diletakkan di dahi dan siku membentuk segitiga.
“Pagi, Bu.” Sapa si Satpam. Gadis itu hanya mengangguk tak acuh.

Kukatakan dia gadis bukan karena dia cantik, tapi karena dia terlihat seperti wanita lajang yang belum menikah walau kuperkirakan usianya di atas kepala 3. Mungkin sekitar 34 atau 35. Mungkin juga 36, siapa yang tahu?

Aku berdiri di ambang pintu lobby seperti orang tolol. Kakiku terpaku ke lantai keramik oleh sihir kecantikannya. Hingga kudengar suara bentakan si satpam agar aku minggir.

Aku cepat tersadar dan cepat menggeser kakiku ke belakang. Namun lututku mendadak gemetar saat dia secara sengaja menoleh ke arahku, menatapku dengan tatapan tajam yang sangat aneh. Kukatakan aneh karena tatapan itu seperti tatapan terkejut. Atau mungkin marah. Aku tak tahu persis. Namun bukan itu yang membuat lututku gemetar tapi senyumnya.

Dia menoleh kepadaku dan tersenyum! Anjayyyyyy… sejujurnya saja kukatakan bahwa senyumnya itu membuat aku blingsatan tidak karuan. Seandainya di situ ada lapangan rumput yang luas, aku bisa berguling-guling selama 10 jam untuk menahan baper (terbawa perasaan) yang menggelontori jiwa kelelakianku.

Aku sangat kikuk dan gugup. Aku tak tahu apakah aku menyeringai jelek ataukah tersenyum jahat kepadanya untuk membalas senyumnya yang manis mempesona itu. Sumpah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, saat langkahku mundur, kakiku terantuk pot bunga kecil di belakangku. Membuat aku kehilangan keseimbangan dan akan terjengkang ke belakang.

Aku secara refleks melemparkan map yang berisi CV hingga isinya tumpah berhamburan. Daripada belakang kepalaku menyundul keramik yang berpotensi gegar otak, lebih baik kulemparkan map dan kedua tangan dan sikutku bergerak bebas untuk menahan tubuhku agar tidak cedera.

Aku memang jatuh terjengkang, tapi aku selamat dari cedera. Tapi harus kuakui, aku tidak selamat dari rasa malu.

Gadis itu tertawa kecil. Dia menatap berkas CV yang bergeletakan di lantai.
“O, kamu ke sini mau ngelamar pekerjaan ya?” katanya tiba-tiba. Suaranya demikian halus dan merdu. Aku cepat bangkit dan memunguti berkas-berkas itu.
“I… I… ya, Kak.” Kataku setengah gugup.
“Darimana kamu tahu perusahaan ini sedang membuka lowongan kerja? Kami tidak mengiklan koq.”
“Dari Cici… katanya Bu Theresia sedang mengadakan rekruitmen pegawai baru, saya disuruh menghadap beliau.”
“Cici kamu siapa namanya?”
“Leonie, kak.”
“Oh Cici Oni… berarti kamu yang jadi manajer di perusahaan konveksi itu ya… kamu Jarwo kan?”
“I ya betul, Kak.” Kataku dengan terheran-heran karena gadis itu tahu namaku.
“Saya Theresia, CEO perusahaan ini.” Katanya.
Aku bengong. Mulutku ngangap, tak tahu apa yang harus aku lakukan atau aku ucapkan.

***

Tak ada yang lebih baik atau buruk. Kesialan dan keberuntungan datang sekaligus. Setelah diwawancara langsung selama 1 jam secara intensif oleh Direktur HRGA (Human Resourches and General Affairs) aku kemudian melaksanakan psychotest (test psikologi) selama hampir 3 jam. Setelah selesai, aku disuruh pulang. Soal apakah aku diterima atau tidak, tunggu pemberitahuan selanjutnya. Paling lambat seminggu. Begitulah kata direktur itu.

***

Pada sekitar pukul setengah satu siang, aku tiba di halaman parkir perusahaan konveksi. Anak-anak sedang berkerumun di dekat taman bunga kecil di belakang gedung sambil memasak nasi liwet. Mang Dudung mendekatiku tanpa mengenakan seragam Satpam. Dia membawaku ke halaman belakang dan disambut anak-anak dengan riuh. Ada sekitar 9 orang anak di sana. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Aku merogoh kocek dan mengeluarkan uang 25 ribu rupiah untuk membeli tambahan amunisi lauk teman nasi liwet. Kebetulan aku juga belum makan siang.

Sambil makan Mang Dudung menceritakan bahwa dia tidak diterima kembali oleh Pak Alex di perusahaan securitinya karena dianggap sudah terlalu tua. Sekarang dia bingung hendak mencari kerja ke mana. Tapi ada temannya yang mengajak menjadi penjaga gudang beras walau gajinya kecil. Sementara anak-anak yang lain merasakan kebingungan yang sama. Apabila mereka tak juga mendapat pekerjaan dengan modal ijazah SMP dan pengalaman kerja yang tak begitu banyak, mereka berencana kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Aku juga merasakan kebingungan yang sama. Soalnya aku merasa pesimis diterima di Bank Pan Asia. Melihat bagaimana perlakuan para pejabat di Bank swasta itu kepadaku bila dibandingkan dengan peserta lain yang datang belakangan, aku benar-benar tidak banyak berharap. Sebelum datang ke perusahaan konveksi ini, aku telah menelpon Cici beberapa kali. Tapi tidak diangkat. Chatku juga tidak dibalas padahal tanda centang biru menunjukkan chatku sudah dibaca.

Untungnya pesangon dan tunggakan gaji sudah ditransfer sama Pak Alex, jadi kami semua tidak begitu merasa sumpek.

***

Pulang ke rumah aku merenung di halaman belakang. Berteman kopi dan berbatang-batang nikotin. Saat terlena dengan pikiranku sendiri, mendadak Rani dan mBak Harni menyelonong masuk lewat pintu belakang dan agak mengejutkanku. Tak lama Pak RT menyusul sambil menating gelas kopinya sendiri.
“Ikut nongkrong ah.” Katanya. Lalu duduk di sampingku. “Katanya nak Jarwo di-PHK ya?”
“Begitulah, Pak RT.”
“Terus Rani gimana? Apa ikut ter-PHK juga?”
“Saya belum tahu Pak RT.”
“Kalau nak Jarwo belum bisa menggaji Rani gak apa. Asal dia bisa ikut makan dan numpang tidur, itu pun sudah cukuplah. Nak Jarwo enggak keberatan kan?”
“Tidak Pak RT.” Jawabku. Saat itu mBak Harni yang tadi masuk ke dalam rumah bersama Rani, ke luar lagi melalui pintu depan. Kulihat dia berjalan menyisir gang di pinggir rumah dan masuk lagi ke dalam rumahnya sendiri. Sementara itu kudengar Rani sedang memasak sesuatu di dapur.

Pak RT menghabiskan kopinya dengan cepat dan minta permisi. Kucium dari arah dapur harum pisang goreng. Tak lama kemudian Rani datang membawa sepiring pisang goreng. Dia duduk di sisiku.
“Om, apa bener omongan tetangga kalau Om sama Bude Harni ada main?”
“Masa tetangga ngomong gitu sih?”
“I ya, katanya ada yang pernah lihat Bude malam-malam ke luar rumah Om lewat pintu belakang. Apa bener?”
“Mana Om tahu. Orang pulang kerja cape langsung tidur koq.”

Rani terdiam. Lalu tiba-tiba dia bertanya lagi, “kenapa Om belum nikah?”
Aku tertawa dan berkata, “Om kerja belum bener koq udah berani-berani nikah. Mau dikasih makan apa entar itu anak orang...”
“Tapi Rani liat di buku rekening, Om punya tabungan 200 juta lebih. Itu uang yang banyak Om.”
“Heh, kamu lancang ya!”
“Maaf. Soalnya Rani ga sengaja liat waktu beresin buku-buku Om di kamar.”
Aku menarik nafas, “itu buat modal nanti kalau Om punya usaha sendiri.”
“Om mau buka usaha apa?”
“Sekarang belum kepikiran.”
“Om sudah punya pacar belum?” tanya Rani.
“Nanya apaan tuh.” Kataku.
“Elis sama Popon bilang Om ganteng banget. Nita sama Ria juga bilang begitu… mereka pada naksir.”
“Biarin aja. Eh, sebetulnya kamu sama Pak RT ada hubungan keluarga apa sih?”
“Bude Harni itu kakaknya ibu saya, Om. Mereka memiliki ayah yang sama tapi beda ibu.”
“Oh, jadi mertuanya Pak RT itu bukan nenek kamu ya?”
“Bukan Om.”
“Pantesan… Kamu sendiri sebenarnya tinggal di mana sih?”
“Di kampung baru Om, tapi sekarang tidak lagi.”
“Kenapa?”
“Ibu pulang ke Solo… ke rumah kakek.”
“Lalu bapak kamu?”

Rani terdiam. Menunduk. Kutatap dia dengan penuh selidik, sepasang matanya menyembunyikan air mata. Aku mencomot pisang goreng dan memakannya, “hm, ini enak banget.” Kataku mengalihkan pembicaraan.
“Om suka?”
“Ya, suka. Ini sangat enak.”

Kami ngobrol sampai lewat maghrib sambil menikmati pisang goreng. Setelah itu aku mandi air panas dan pergi tidur. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri mengapa aku tidak pernah menganggap Rani sebagai pembantu? Mungkinkah aku menyukainya? Entahlah.

***
(BERSAMBUNG)

BACA LANJUTANNYA>>>
<<<SEBELUMNYA
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd