Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karena Hasrat Harus Dibayar Tuntas

Status
Please reply by conversation.
Sambungan....

Part 13 : Duel Dua Naga


“Apa, Wira menghilang?”

“Iya, tuan, sudah sejak kemarin dia tidak pulang ke rumah.”

Tetiba sebuah kabar menyeruak, menghentak sanubari Pras. Wira menghilang. Tentu ini bukan kabar bohong, karena yang menyampaikan adalah Ratri, ibunya sendiri.

“Wira, anakku, darah dagingku….kemana dirimu nak….maafkan ibu nak sudah menyia-nyiakan engkau. Ibu menyesal….” Ratri menangis sesenggukan. Wajah langsatnya yang ayu terhiasi dengan untaian air mata. Sebuah pemandangan syahdu yang menggetarkan setiap yang melihat, termasuk Pras.

“Apakah orang-orang Lurah Qadir yang menangkap mereka? Tuan tolong, cari anakku tuan. Hamba mohon….”

“Tenanglah, budak. Padepokan Kakek Nogo sangat tersembunyi, bahkan dedemitpun tak ada yang mampu menembusnya Apalagi cuma cecunguk PPK.”

“Tapi tuan, anakku tuan…..Wiraaaaa……..ampuni ibu nak…..pulanglah nak.”

Malamnya, Pras tidak membuang waktu. Ia sebarkan ajian sirep munyuk mendhem ciu, lalu kemudian berangkat dengan tergesa ke padepokan Kakek Nogo. Sebenarnya sama seperti Ratri, hatinya galau. Ada rasa yang hilang, rasa gulana yang terbit, seiring ia tahu Wira menghilang. Bocah lelaki lemah dan tak berguna yang kini telah menguasai ajian Nogo Gombyok berkat pijatan dan elusannya itu, kini menjadi satu-satunya inti pemikirannya.

“Wira….kemana anak bangsat itu sebenarnya”

Ya, ada sebuah peraturan tertulis, sebuah hukum alam, yang sebenarnya juga diketahui Pras. Ajian Nogo Gombyok bukan sembarang ajian. Untuk mendapatkannya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan pewarisan, bukan latihan. Dan Pras, dengan menyamar sebagai Ratri, telah mewariskannya kepada Wira. Akibatnya selain menjadi pendekar penakluk birahi pemuas nafsu, Wira juga telah menjadi bagian dari Pras sendiri, menjadi ayangan atau bayangan yang selalu muncul di pikirannya.

“Bibi, dimana Wira?”

Kirana hanya tersenyum simpul. Ia menggeleng dengan anggunnya.

“Tidak tahu, Pras.”, sambil melepas kembemnya, lalu berganti dengan daster bermotif bunga, ia duduk di kursi kayu. Tangannya membuka kotak tembakau. Dengan anggun ia ambil secarik kitir putih, menjilat sisi-sisinya lalu menaburkan campuran tembakau Borobudur, cengkeh merah, sejumput irisan daun dan bunga kecubung juga remukan biji jelasih dan kinara. Setelah itu ia aduk dengan kayu manis. Terakhir, ia tambahkan bubuk pala, sebelum menggulungnya. Sigaret itu jadilah. Sebuah resep rahasia yang dulu dimiliki perusahan sigaret Wilis Madu Tobako, sebelum pabrik rokok itu dibeli Morris dan berganti membuat rokok banci, sebuah rokok berbatang halus yang isinya kertas dan tembakau wangi kering lalu salah satu ujungnya disumbat gabus.

“Mungkin Kakek marah….” Kirana memulai percakapan. Ia sembur asap sigaretnya. Ia lupa, harusnya ia tambahkan menyan Trawas. Asap itu lumayan tebal, menguap dan menyeruak ke langit-langit.

“Apa karena aku mengajarkannya jurus yang membuat ia menjadi lelaki sejati?”

“Bukan begitu sayang” Kirana mendekat, lalu membelai dada Pras, mencoba menurunkan amarahnya, “Kakek Nogo ingin Wira menguasai sepenuhnya jurus Tri Mulya”

“Persetan. Apa gunannya? Yang penting bagi lelaki itu kanuragan dan sesirepan. Ajian filsafat omong kosong sudah bukan jamannya lagi dipelajari.”

Pras tetap marah. Ia lalu menjauh dari Kirana. Ia buka baju dan celananya, lalu duduk di dipan. Pras bukan pendekar sembarangan. Ia, selain ahli kanuragan, juga sangat jago dalam ilmu sesirepan. Bahkan akunya, ia telah menguasai sembilan puluh lebih ilmu sesirepan, mulai dari sirep Suromenggalan, Wetanan, Wiwitan, India, sampai sirep yang ia ciptakan sendiri.

Tetapi tak ada sarapan gratis. Walau secara fisik ia kuat, sanubarinya kosong. Ilmu sirep telah mengambil jatidirinya, mengambil kasajatian uripnya. Maka, tak heran ia menjadi pribadi yang labil, pemarah, beringas, kurang terkendali dan brangasan. Seperti sekarang, pikiranya mendidih. Ia menyadarinya, maka dari itu, iapun wewudal, wudo. Melepas baju dan celananya.

Kirana juga mengerti derita ponakannya. Ia segera hampiri Pras. Sambil tetap menyedot sigaretnya, ia kocok naga kecil milik ponakanya itu. Lambat laun sang naga membesar, berubah jadi ular kobra raksasa. Kirana tersenyum. Seiring dengan sedotan terakhir, ia buang sisa sigaretnya, kemudian ia lucuti kembali dasternya. Ia naiki pemuda paruh baya itu. Pras tidak tinggal diam. Ia rengkuh bongkahan payudara Kirana.

“Mau berapa ronde?”

“Sampai suntukku hilang.”

Kirana tersenyum kembali. Gua garbanya sudah basah, sudah ingin dicucuk Nogo Gombyok. Jadilah, mereka bersenggama saat itu. Jurus pertama, Pras tidur melintang di dipan, kakinya masih menjulur di tanah. Di atasnya, Kirana menggoyang ngebor. Setengah jam kurang, mereka ganti jurus. Jurus favorit semua pria, jurus kirik kawin. Kirana njengking, Pras mengentotnya dari belakang. Bergantian, kadang memek, kadang anus. Kirana menangis bahagia. Beban pikiran Pras sedikit banyak luruh.

Sementara itu di sebuah goa yang terletak di dekat sebuah sendang bernama sendang Gondanglegi, dua insan beda usia terlibat percakapan serius.

“Ampuni murid, guru. Murid bersalah…”

“Jadi kau tahu kesalahanmu…”

“Mohon piwulangnya , maha guru, murid terlalu dungu.”

“Kau sudah mengecewakan aku, paham! Kau sudah menodai ilmu mulia yang sedang kuberikan. Kau tak layak jadi muridku lagi.”

“Ampun guru, murid kelewatan. Murid hanya mengejar nafsu sesaat, murid sudah mengecewakan guru…. Mohon sudilah murid untuk dihukum. Mohon sudilah guru menghukum murid.”

“Pergi, kau tak layak jadi pendekar. Bergabunglah dengan Pras, pelajari ilmu birahinya. Bukankah kau ingin mengentot ibumu yang binal itu? Sana pergilah kepadanya!”

“Ampun guru……..” Wira menangis sejadi-jadinya. Udara di tempat itu sangat dingin, tetapi Wira bertelanjang dada. Ia koyak bajunya, lalu ia taburi kepalanya dengan abu sisa pembakaran hio pamujan.

“Ampun guru….demi bapak, demi kakek Durno, demi Mas Tomo…..ampuni murid……ampun guru….”Wira menangis semalaman. Sedang Kakek Nogo meneruskan meditasinya.

“Hanya guru yang bisa jadi penyelamat Wira. Hukumlah murid guru, ampun guru…..”, Wira makin menjadi-jadi. Ia tak mampu lagi mengeluarkan air mata. Tak disangka, perkentotannya dengan Kirana telah membuat gurunya murka.

“Baiklah, sekarang aku tanya, apa benar kau ingin menjadi pendekar?”

“Iya guru….”

“Sudah kau penuhi sumur itu?”

“Hampir guru….” Jawab Wira mantab.

“Lancang! Tugas belum selesai kau malah asyik dengan Pras! Murid macam apa kau ini….”

Serasa di tampar, Wira kembali sesenggukan…. Ia sudah kehilangan kata-kata.

“Baiklah….” Kakek Nogo kemudian berdiri.

“Aku ampuni kau, asal kau bisa membunuh nafsu iblismu sendiri!”

“Maaf guru, murid tidak mengerti”

Kakek Nogo tersenyum. Pria tua yang selalu berpura-pura buta ini kemudian terpejam. Lalu secara ghaib, muncullah lingkaran api. Diameternya sekitar enam meter.

“Meludahlah!”

“Apa kakek!”

“Cepat meludah!”

Wira meludah. Kakek Nogo mengambil tanah dan ludahan Wira. Ia lempar itu ke tengah lingkaran api. Kakek merapal mantra, lalu muncullah sosok bocah lelaki. Kulitnya hitam legam. Ia memakai pakaian aneh dari kulit harimau. Rambutnya gimbal dan panjang. Taringnya mengerikan, sorot matanya nyalang. Wira tentu kaget, tapi ia kemudian tertegun. Wajah bocah bajang iblis itu tak lain adalah wajah dirinya.

“Kanuragannya dua kali lipat lebih hebat dari engkau. Bunuh dia dan kau kumaafkan.”

Dengan ragu-ragu, Wira masuk ke lingkaran itu. Inilah duel dua naga, naga putih dan naga hitam. Wira melawan sisi gelapnya.

Baru Wira menginjakkan kaki di tengah arena, bocah bajang itu langsung menerjang Wira. Labrakan Simo Gendheng, jurus andalan Wira itu kini menjadi sangat berbahaya di tangannya. Wira terpelanting. Darah mengucur di ujung bibirnya. Kini ia tahu, bocah itu memang berniat membunuhnya.

Wira berdiri. Ia pasang kuda-kuda. Tahanan Kaki Naga ia pilih untuk melawan bocah legam itu. Ia menerjang lagi. Kaki kanannya menendang kepala Wira, tetapi di saat yang tepat, Wira berhasil menunduk. Lalu kemudian, ia tendang dada bocah itu. Bocah iblis itu mundur dan terjerembab. Tetapi ia bangkit lagi. Ia maju, meninju muka Wira, Wira menangkis dengan tangan kiri, lalu memberikan lima tendangan kombinasi ke dada dan muka bocah itu. Bocah itu kembali tersungkur. Wira meloncat tinggi, kemudian ia gunakan jurus dari kitab yang diberikan Pras, jurus Tusbolan Naga. Caranya, ia acungkan jari tengan dan jari telunjuk, lalu ia alirkan Shakti ke dua jari itu. Hawa panas membuas jari itu menjadi sangat berbahaya. Loncatan Wira tepat mendarat ke tubuh bocah itu. Tusbolannya juga nyaris mencapai leher lawannya, sayang lawannya sigap. Ia menghindar. Lalu bangkit. Lalu tersenyum.

“Hati-hati Wira, dia mulai serius.”

“Apa????”

Labrakan Simo Gendheng kembali datang. Kombinasi serangan kaki kanan dan kiri untuk menyerang kepala dan dada Wira. Awalnya Wira berhasil menangkisnya, tapi kemudian ia kewalahan. Kecepatan dan kekuatan dari lawannya membuat ia berkali-kali terkena tendangan. “Tidakkkk” Wira tersungkur. Sebuah tendangan telah menghantam dadanya. Ia serasa mau mati. Ia tergeletak tak berdaya di tanah. Si Bocah menghampiri. Bersiap menggunakan jurus pamungkas, injakan Buto Galak. Ia angkat kaki kanannya, lalu ia injak leher Wira.

“Uh………..ah……..yesss…………….”
 
Terakhir diubah:
waduh lagi seru2nya mlh di potong suhu.
kentang goreng suhu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd