Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Bimabet
CHAPTER 14


GEJOLAK HATI

AUTHOR POV


Dalam suasana kamar yang tenang, Johan dan Farah duduk berhadapan, dalam suasana penuh ketegangan. Malam belum begitu larut, percakapan serius mereka kali ini tidak bisa dihindari dari topik keinginan Dewi untuk kembali bersama Angga. Diskusi mereka tentang keinginan Dewi untuk kembali bersama Angga berlangsung cukup lama. Meskipun mereka telah mencapai kesepakatan untuk membantu Dewi menggapai keinginannya bersatu kembali dengan Angga, namun perbincangan mereka tentang siapa yang akan berbicara dan merayu Angga masih menyisakan ketidakpastian. Pikiran dan pendapat mereka saling berbenturan, menciptakan ruang diskusi dan terkadang terdengar getaran ketidaksetujuan.

"Bu … Ayah merasa Angga selalu menentang jika itu Ayah yang berbicara tentang Dewi. Mungkin perlu ada pendekatan yang lebih halus, dan Ayah tahu Ibu bisa melakukannya dengan baik. Ibu memiliki kelebihan yang bisa membuat Angga mendengarkan. Ayah yakin Ibu bisa membuka pintu hatinya dan menerima kembali Dewi.” Johan meraih tangan istrinya, memberikan sentuhan lembut sebagai tanda semangat.

"Ayah," ucapnya perlahan, "Ibu takut kejadian dulu akan terulang lagi. Ibu tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi, Ibu tidak bisa menahan hati ibu bila berdekatan dengan Angga. Ibu tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk menyukai atau bahkan memiliki perasaan khusus terhadap Angga. Tapi, setiap kali Ibu berdekatan dengannya, ada perasaan aneh yang muncul. Itulah sebabnya Ibu menolak untuk mendekati Angga, apalagi harus berbicara dengannya.” Farah menatap suaminya dengan ekspresi takut dan gelisah.

“Bagaimana kalau kita menghadap Angga bersama-sama, tapi ibu yang bicara.” Kata Johan memberikan solusi.

"Meskipun kita berdua menghadapi Angga, aku merasa takut." Katanya dengan suara serak.

Johan mencoba memberikan senyuman yang menguatkan, "Kita akan menghadapi ini bersama, sayang. Kita tidak akan biarkan ketakutan itu menghentikan kita."

Farah merasa tidak akan ada penyelesaian yang memuaskan atas masalah ini. Dengan perlahan, dia memutuskan untuk keluar dari kamar, mencari udara segar dan ketenangan. Saat melangkah keluar, dia melihat Dewi yang sedang asyik bermain dengan smartphone di sofa ruang tengah. Langkah Farah terhenti sejenak, dan dengan ragu, dia mendekati Dewi yang tengah terfokus pada layar smartphone-nya. Setelah memberanikan diri, Farah akhirnya duduk di sebelah Dewi, menciptakan jarak yang dekat di antara mereka.

“Aska sudah tidur?” Tanya Farah kepada Dewi.

“Sudah, Bu …” Jawab Dewi tanpa memalingkan wajahnya.

“Apa yang sedang kamu lihat?” Tanya Farah penasaran karena dari sudut matanya Farah melihat Dewi sedang melihat foto-foto.

“Foto Angga, Bu … Foto Angga di Eropa.” Jawab Dewi sambil tersenyum kecut.

“Oh … Angga di Eropa?” Farah kaget mendengar Angga sedang berada di Eropa.

“Iya, Bu … Ini dia sedang di Paris.” Ujar Dewi sembari memperlihatkan foto Angga yang berlatar belakang Menara Eifel.

“Hhhmm …” Gumam Farah sambil memperhatikan Foto yang disodorkan Dewi.

Dewi menunjukkan foto-foto Angga di layar smartphone, dan saat mata Farah bertemu dengan gambar itu, tiba-tiba saja sebuah perasaan aneh menyusup dalam dirinya. Hati Farah terasa begitu senang dan rindu. Hanya beberapa detik berselang, kesadaran akan kelainannya segera menyadarkan Farah. Ia langsung menjauhkan wajahnya dari layar smartphone, bingung dengan reaksi tidak terduga yang muncul. Farah merasa heran atas dirinya sendiri yang selalu tergugah setiap kali melihat Angga, padahal pikirannya secara tegas menolak kehadiran Angga di relung hatinya.

“Loh … Ibu kenapa?” Tanya Dewi yang tahu gelagat.

“Tidak apa-apa.” Jawab Farah sambil tersenyum yang dipaksakan.

“Tapi muka ibu pucat?” Tanya Dewi yang merasa heran dengan perubahan ibunya.

“Oh ya? Benarkah?” Farah coba berkilah dengan memegangi mukanya sendiri.

“Iya, Bu … Ibu kok tiba-tiba pucat?” Dewi memegangi lengan Farah dengan rasa khawatir.

“Sungguh … Ibu tidak apa-apa …” Sanggah Farah lagi sambil bangkit dan berjalan ke dapur.

Dewi melihat perubahan yang aneh pada ibunya, yang tiba-tiba terlihat pucat dan gemetar saat mereka tengah asyik membicarakan Angga di sofa ruang tengah. Ia memandang ibunya dengan ekspresi bingung ketika Farah berjalan gontai menuju dapur, hingga akhirnya ibunya hilang dari pandangan saat melewati pintu dapur. Dewi tak dapat menahan gelengan kepala, bingung dengan sikap yang terlihat aneh dari ibunya.

“Mana ibumu?” Dewi dikejutkan oleh suara ayahnya dari arah belakang.

“Ke belakang …” Jawab Dewi sambil menoleh. “Yah … Sini!” Dewi melambaikan tangan pada ayahnya.

“Ada apa?” Tanya Johan kemudian duduk di sebelah Dewi.

“Ibu … Ibu kok tiba-tiba pucat pasi waktu aku tunjukkan foto Angga?” Tanya Dewi yang membuat Johan terhenyak. Lagi-lagi Dewi melihat keanehan yang sama. “Nah! Ayah juga sama dengan ibu. Sebenarnya ada apa?” Tanya Dewi semakin penasaran.

“Oh … Tidak apa-apa. Ayah hanya kaget saja. Apakah benar ibu begitu.” Johan berusaha berkilah. Namun rupanya Dewi lebih cerdik dalam membaca situasi.

“Ada apa Yah?” Tanya Dewi sambil menatap tajam mata ayahnya dan memegangi tangannya.

“Em … Ti..tidak ada apa-apa …” Suara Johan yang kaku membuat Dewi semakin yakin kalau orangtuanya menyembunyikan sesuatu.

“Aku tahu, ayah tidak pandai berdusta. Katakan Ayah! Sebenarnya ada apa?” Dewi benar-benar memaksa.

Johan duduk tegang di ujung sofa, mata terfokus pada lantai. Desiran angin seakan menciptakan ketegangan. Dewi, duduk di sebelahnya, terlihat tak sabar dan penuh pertanyaan. Setelah beberapa saat berlalu, Johan akhirnya menghela nafas dalam-dalam. Dengan ekspresi wajah yang agak ragu, ia memandang Dewi.

"Ibumu itu memang sangat aneh," ucap Johan dengan suara pelan. Dewi mengangguk, memberi tahu Johan bahwa ia benar-benar harus menceritakan lebih lanjut. Dengan hati-hati, Johan melanjutkan, "Dia terganggu hatinya kalau mendengar atau melihat Angga." Suara Johan penuh dengan rasa khawatir.

Dewi hanya menatap ayahnya, seakan mencoba memahami lebih dalam makna dari kata-kata yang baru saja diucapkannya. “Maksud ayah?”

“Ibumu itu seperti merasakan jatuh cinta bila mendengar atau melihat Angga. Padahal, pikirannya menolak tetapi hatinya bertentangan dengan pikirannya. Ayah kasihan, kalau ibumu terus-terusan begini, dia akan sakit.” Jelas Ayah.

“Kok bisa begitu?” Tanyaku lagi.

“Ayah juga gak ngerti.” Jawab Johan sambil menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, jangan libatkan ibu dalam urusan dengan Angga.” Ucap Dewi merasa prihatin.

“Lalu siapa yang akan merayu Angga? Hanya ibumulah yang bisa melakukannya.” Kata Johan yang tentu saja Dewi merenung keras.

“Kok Ayah bicara seperti itu? Bukannya Ayah yang dekat sama Angga?” Tanya Dewi hati-hati.

Saat Johan tiba-tiba sadar atas kesalahannya, pria paruh baya itu langsung panik. Tanpa sepatah kata pun, ia bergerak cepat meninggalkan Dewi yang duduk di sofa. Langkahnya yang tergesa membawanya ke dapur, tempat di mana Farah sedang sibuk membuat minuman hangat. Sementara itu, di ruang tengah, rasa penasaran Dewi menggelayuti dirinya. Suasana yang tadinya tenang menjadi tegang, dan wanita itu merasa bahwa sesuatu yang tidak ia duga telah terjadi di rumah ini.


#####



ANGGA POV

Aku melangkah keluar dari pesawat pribadi Ayah tiriku di Bandara Internasional Lisbon. Hari ini, perjalanan kami telah membawa aku dan Lina melintasi Barcelona dan Madrid. Meskipun perjalanan di Eropa ini memberikan pengalaman yang luar biasa, tetapi kami merasa kurang puas. Besok pagi, kami dijadwalkan untuk kembali ke Indonesia. Sebelum meninggalkan benua ini, Ayah meminta agar aku dan Lina menginap di istananya. Jadi, sekarang, aku dan Lina bersiap-siap untuk menghabiskan malam di istana yang megah itu, menikmati momen sebelum kembali ke Indonesia.

Waktu setengah jam seperti setengah menit karena aku begitu menikmati perjalanan ini, akhirnya aku sampai di istana ibuku. Saat masuk ke dalam, aku lumayan terkejut karena di halaman belakang banyak sekali orang. Aku tersenyum karena mereka semua berpakaian sangat minim. Para lelaki hanya menggunakan celana kolor, sementara semua wanita berbikini ria. Ternyata mereka adalah seluruh keluarga besar kami. Ayah tiriku mempunyai enam orang anak, termasuk aku dan Faiz, yang kesemuanya sudah berumah tangga. Kini semua keluargaku itu berkumpul di taman belakang yang diperindah oleh kolam renang yang luas dan menawan.

Semua orang terlihat begitu bahagia, tertawa, dan menikmati kebersamaan di bawah sinar matahari senja. Suasana ceria dan akrab memenuhi area. Aku dan Lina pun bergabung dengan mereka dengan mengganti pakaian kami di ruang ganti. Aku dan Lina tertawa kecil melihat kostum-kostum minim yang kami pakai. Setelah mengenakan pakaian yang sangat terbuka ini, kami melangkah keluar dari ruang ganti dan bergabung dengan orang-orang di taman yang dipenuhi tawa serta keceriaan. Aku memandang sekeliling, melihat wajah-wajah tersenyum dan penuh canda tawa, menyadari betapa beruntungnya aku menjadi bagian dari keluarga ini.

Aku melihat Mama melambaikan tangannya padaku. Mama sedang bersama ayah tiriku duduk di sebuah gazebo sambil menikmati minuman dan makanan ringan di sana. Senyum hangat terukir di wajah mereka ketika aku mendekat.

“Bagaimana perjalananmu, Nak?” Tanya Mama yang benar-benar berpakaian minim sehingga tubuhnya yang seksi terpampang jelas di mataku. Perlu aku akui, Mama masih memiliki tubuh yang aduhai walau usianya sudah mencapai 50 tahun.

“Sangat mengesankan, Ma …” Aku membalas sapaan Mama dengan pelukan hangat. Ayah tiriku memberi senyuman ramah sambil mengangguk kepala.

“Tinggalah di sini beberapa hari lagi.” Ucap ayah tiriku dengan lancar, menunjukkan keahlian berbahasa Indonesia yang diperolehnya selama lebih dari dua tahun belajar dari ibu dan Faiz selama masa pernikahannya.

“Aku ingin sekali, Dad … Tapi, aku punya banyak urusan di Indonesia.” Kataku sembari duduk di salah satu kursi.

“Lina sepertinya senang berada di sini.” Kata Mama sambil melihat ke arah Lina yang sedang berbaur dengan keluargaku di kolam renang.

“Ya … Dia juga ingin tinggal lebih lama lagi di sini.” Aku tersenyum saat melihat Lina bercanda dengan kakak tertuaku di kolam renang. Mereka terlibat dalam obrolan ringan, tertawa, dan sesekali mengejutkan satu sama lain dengan percikan air ke muka.

“Hhhmm … Daddy-mu menginginkan Lina untuk tinggal lama di sini. Daddy-mu menyukai teman wanitamu itu.” Ucap Mama yang membuatku sontak mengalihkan pandangan pada ayah tiriku.

“Benar … Aku sangat menyukainya. Kalau boleh, biarkan dia tinggal di sini untuk beberapa waktu.” Sambung ayah tiriku santai lalu menyesap minumannya.

“Daddy tinggal bicara saja padanya.” Kataku dengan rasa penasaran.

“Apakah kamu mengijinkan teman wanitamu itu bersamaku?” Tanya ayah tiriku sembari memandang wajahku.

“Aku sama sekali tidak keberatan.” Jawabku mantap tapi juga penasara.

“Baiklah … Aku akan bicara dengannya sekarang.” Ujar ayah tiriku sembari bangkit dan meninggalkan gazebo.

Aku langsung menoleh kepada Mama, dan dia langsung tersenyum tanpa sedikit pun rasa kecewa, apalagi marah. Air mukanya begitu damai, seakan-akan apa yang baru saja terjadi adalah hal biasa baginya, seolah-olah Mama ingin memberikan pesan bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.

“Daddy menyukai Lina … Tapi Mama …” Ucapku langsung disambar Mama.

“Itu biasa di sini. Kamu jangan kaget.” Ucap Mama yang semakin membuatku penasaran bertumpuk.

“Maksud Mama?” Tanyaku dengan nada agak meninggi.

Mama melihatku dengan kelembutan dan senyuman yang hangat, dia berkata, “Angga, pernikahan Mama dengan ayahmu adalah pernikahan terbuka. Ayahmu dan Mama sangat menghargai kebebasan untuk mencari pasangan seksual masing-masing.”

“Oh ya? Kenapa Mama memilih pernikahan terbuka?” Tanyaku.

“Karena kami percaya bahwa setiap individu memiliki hak untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Pernikahan terbuka memberikan kebebasan itu tanpa mengekang satu sama lain. Dalam pernikahan terbuka, kami belajar untuk berbicara terus terang tentang keinginan dan ekspektasi kami. Dengan memberikan ruang untuk pengalaman dan hubungan di luar pernikahan, kami dapat saling mendukung dalam perjalanan pribadi masing-masing.” Jelas Mama panjang lebar.

“Apakah Mama merasa bahagia?” Tanyaku lebih dalam.

Mama menatapku dengan penuh kasih, senyum hangat terus terukir di wajahnya. "Iya, sayang, Mama merasa sangat bahagia. Bahagia karena memiliki keluarga yang saling mendukung dan mencintai satu sama lain. Bahagia karena kami dapat menjalani hidup dengan kejujuran dan terbuka, tanpa beban rahasia.”

Aku kini mengerti alasan Mama memilih pernikahan terbuka, karena aku yakin Mama tidak ingin mengalami kegagalan pernikahan sekali lagi. Dalam pernikahan terbuka, Mama tidak perlu merasa takut lagi jika dirinya menyukai pria lain. Kebebasan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lain memberikan keamanan emosional bagi Mama, tanpa beban atau rahasia yang menghantui. Aku bisa melihat bagaimana pernikahan terbuka memberikan kedamaian pikiran pada Mama, membebaskannya dari rasa cemas atau ketakutan yang timbul dalam pernikahan konvensional.

“Oh ya … Daddy-mu berencana membangun perusahaan di Indonesia. Dia ingin kamu yang memegang proyek pembangunan perusahaannya. Dia sudah membuat rencana kerja yang harus kamu pelajari. Setelah kamu siap, pembangunan akan dijalankan. Daddy-mu juga bilang, kamu harus keluar dari pekerjaanmu dan fokus pada pembangunan perusahaannya.” Ungkap Mama yang membuatku terkejut tetapi juga senang.

“Apakah aku akan bisa melaksanakannya?” Tanyaku kurang yakin.

“Itu pertanyaan untuk dirimu sendiri. Apakah kamu yakin bisa?” Mama malah membalikan pertanyaanku.

“Em … Entahlah … Tapi patut dicoba.” Kataku.

“Kamu jangan khawatir. Kamu tidak sendirian. Nanti ada orang kepercayaan Daddy-mu yang akan membantumu.” Kata Mama memberiku semangat.

“Baiklah … Aku terima tantangan ini.” Jawabku dengan penuh semangat.

Tiba-tiba Mama menunjuk ke suatu arah sebagai tanda agar aku melihat ke arah yang ditunjuknya. Di seberang kolam renang yang posisinya agak di pojok, aku melihat Lina dan ayah tiriku duduk di sebuah chaise lounge (kursi panjang dan besar dengan bantalan atau tempat tidur, red). Mereka begitu asyik ngobrol dan tertawa, di mana ayah tiriku dengan mesra memeluk tubuh Lina dengan tangan melingkar di belakang pinggang Lina. Sorot mata mereka penuh kebahagiaan dengan tawa mereka yang terpampang di wajah keduanya.

Mama tersenyum padaku, memberikan isyarat diam agar aku dapat merasakan kebahagiaan mereka dari kejauhan. Saat itu, aku merenung, melihat Lina dan ayah tiriku, aku merasa terinspirasi oleh keberanian mereka dalam mengukir kisah hidup mereka sendiri, sebuah kisah yang diwarnai oleh kejujuran, kebebasan, dan tentu saja, kebahagiaan. Aku semakin merenung tentang makna dari kebahagiaan sejati dalam sebuah hubungan. Aku mulai berpikir, kebahagiaan itu datang dari kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan memahami berbagai bentuk kasih sayang. Aku pun memutuskan untuk lebih terbuka terhadap ide pernikahan terbuka. Mungkin perjalanan menuju penerimaan penuh terhadap konsep ini akan membutuhkan waktu, namun melihat Lina dan ayah tiriku, aku menyadari bahwa kasih sayang dan kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam keberagaman dan kebebasan.

Aku kembali berbincang-bincang dengan Mama, namun tak lama berselang, kakak tiriku datang bersama suaminya bergabung bersamaku dan Mama. Kakak tiriku bernama Isabela Santos, anak kedua ayah tiriku, dan suaminya bernama Ricardo Silva. Tetapi, aku langsung dikejutkan tatkala Ricardo tanpa sungkan memeluk ibu dari belakang lalu mereka terlibat dalam ciuman yang panas. Rasa terkejutku tidak sampai di situ, Isabela dengan santainya duduk di pangkuanku dengan tangan melingkari leherku. Suasana yang tadinya penuh keceriaan tiba-tiba berubah menjadi momen yang penuh keintiman. Aku mencoba memproses situasi yang baru saja terjadi, berusaha untuk tetap nyaman di tengah suasana yang begitu tiba-tiba ini.

"It's time to have fun." Kata Isabela lalu mendekatkan bibirnya ke bibirku.

Aku tak punya waktu untuk memproses peristiwa ini yang begitu cepat. Tiba-tiba, bibir kami bersentuhan. Tanpa waktu untuk berpikir, Isabela langsung menyerangku. Mau tidak mau, aku membalas serangan ciumannya. Kejadian yang diluar dugaan ini ternyata membuatku bergairah. Ciumanku dengan Isabela semakin panas dan menuntut. Tanganku pun akhirnya meraba-rabai permukaan kulit Isabela yang halus dan lembut. Tak lama, gairahku memuncak. Sejenak, dunia di sekitarku seolah-olah memudar, dan yang tersisa hanyalah momen intim di antara kami. Meskipun terkejut dengan perubahan drastis ini, sensasi kegairahanku terasa sulit untuk ditolak.

Aku dan Isabela saling melilitkan lidah, sementara tanganku sudah bersandar di payudaranya yang besar dan kenyal. Aku remas benda lunak itu yang masih tertutup bra mini. Sesekali Isabela mendesah merasakan remasanku. Tak seberapa lama, Isabela melepas ciumannya kemudian bangkit dari pangkuanku. Saat wanita itu berjongkok di hadapanku, aku segera tahu apa yang akan ia lakukan. Isabela menarik celana renangku hingga lolos dari tubuhku dan langsung saja ‘sang junior’ muncul dengan ketegangan tingkat tinggi. Kulihat mata Isabela agak terbelalak ketika mengetahui ukuran juniorku. Aku pun tersenyum sambil membuka paha memberika jalan untuk Isabela untuk mendekat.

“It’s mine!” Kata Isabela tegas. Ia pun beringsut maju ke depan dan langsung saja memasukan penisku ke dalam mulutnya.

Mendapat perlakuan seperti itu, aku hanya meringis menahan nikmat. Isabela buas sekali melahap penisku. Awalnya ia memasukkan penisku seluruhnya ke dalam mulut, lalu ia menjilati batangnya dengan pelan, menghisap kepala penisku, lalu menjilati zakarku. Penisku semakin tegang, kali ini tegang dengan kekuatan penuh.

“Eeemm… Uugghhhh…” Desisku sambil memegangi kepala dan rambutnya agar tidak menghalangi pemandangan indah yang sedang aku saksikan.

Aku melirik ke arah Mama yang sedang asik memberikan sepongan pada penis Ricardo. Mama masih duduk di kursinya agak sedikit membungkuk sementara Ricardo mendesah dengan sesekali menengadahkan wajahnya. Aku kemudian melihat situasi sekitar, dan ternyata semua orang sedang melakukan hal yang sama dengan pasangan mereka masing-masing. Terakhir aku melihat Lina dan ayah tiriku, di sana Lina sedang menunggangi penis ayah tiriku dengan gerakan sangat liar. Suara desahan dan erangan mewarnai suasana yang menggairahkan ini, sepertinya setiap pasangan saling menikmati momen-momen ini.

Birahiku benar-benar terbakar menyaksikan pemandangan yang baru pertama kali aku lihat secara live. Aku pun menarik tubuh Isabela agar kembali berdiri. Langsung saja aku bugili wanita itu dengan sangat mudah. Kemudian aku tarik tubuhnya hingga jatuh di pangkuanku lagi. Dua alat kelamin kami saling menempel mesra, saling berkenalan satu sama lain. Aku lumat bibirnya, lidah kami saling berpagutan, sesekali ia menggigit bibirku dengan gemas, dan menghisap lidahku dengan kuat. Aku semakin terbawa dalam aliran birahi yang meledak-ledak, bibir Isabela yang terasuki nafsu birahinya mulai ganas melahap bibirku.

Tiba-tiba aku mendengar erangan Mama dan ternyata Mama sudah memulai ritual birahinya dengan Ricardo. Mama duduk mengangkangi Ricardo yang kini pria itu menggantikan posisi Mama di kursi. Mama mulai mengayunkan tubuhnya naik turun. Payudara Mama yang besar dan agak kendor tampak bergoyang-goyang mengikuti irama ayunannya. Melihat Mama seperti itu, aku semakin tak bisa menahan hasratku sendiri.

Aku harus fokus pada Isabela yang mulai memegang batang penisku lalu mengarahkan di lubang surgawinya. Terasa perlahan-lahan batang kejantananku terselimuti oleh daging halus dan hangat. Hingga akhirnya rasa hangat bercampur nikmat itu menyelubungi seluruh permukaan penisku. Rasanya senjataku seperti dipijat-pijat dan ditarik oleh vaginanya. Kami berdua mendesah pelan menahan kenikmatan yang baru akan dimulai.

“Achh… Ohh… So gooodd…” Suaranya semakin membangkitkan birahiku.

Pantat Isabela mulai bergerak lagi naik turun perlahan kemudian bergerak semakin cepat, tanganku meremas pantatnya sendiri sambil membantu wanita yang kutaksir seumuranku itu bergerak agar lebih cepat.

Pentil susunya terus kulumat dan kuhisap masuk di mulutku. Isabela terus bergerak naik turun, terasa kepalaku sakit karena dia terlalu kuat menjambak rambutku dan menarik kepalaku ke buah dadanya. Ekspresi wajahnya yang sedang menikmati tusukan penisku dalam vaginanya benar-benar seksi. Kedua payudaranya yang bergoyang-goyang di depan wajahku terus kuhisap sekaligus kuhirup aroma tubuhnya yang berkeringat bercampur wangi parfumnya, membuat gairahku bertambah. Wajah Isabela menengadah ke atas sambil terus mendesah, leher jenjangnya basah dengan keringat. Gerakan pinggulnya semakin tak beraturan, kadang berputar kadang naik-turun. Penisku pun makin basah oleh cairan yang keluar dari liang kemaluannya. Sambil terus bergerak naik-turun, ia meremasi rambutku dan menekan wajahku ke payudaranya.

"Holy shit! That is amazing!" Isabela berteriak kenikmatan.

Aku pun mengenyot payudaranya semakin liar, tanganku juga terus menggerangi bagian tubuh lainnya. Tak lama kemudian Isabela merintih, "Ooohh... I'm almost... Uuuhhhhh..." Isabela seakan memberikan tanda bagiku untuk segera mengalihkan kedua tanganku ke pinggulnya. Aku mencari urat seksnya dan bersiap-siap untuk memberikan wanita itu orgasme yang panjang. Dan tak berselang lama, Isabela mengerang kuat, "Arrggghhh....I’m commmiinnggg…!!" Isabela pun melepaskan suatu beban dalam dirinya. Dengan refleks kedua jariku menekan urat seks Isabela dan menunggu hasilnya.

Terasa tubuh Isabela bergetar dan pahanya terasa menjepit erat kedua pahakuku, gerakannya sedikit tertahan tetapi dia terus bergerak naik turun, matanya terpejam sambil bibirnya makin mendesah keras. Aku tahu, Isabela ingin menuntaskan rasa nikmatnya namun dia tidak sadar jika akhir rasa nikmat itu tidak akan datang sekarang. Dia harus menunggu beberapa waktu sampai rasa nikmatnya berakhir.

Pinggulnya terus bergerak naik turun secara teratur, sementara aku mengimbangi dengan memutar-mutar pinggulku ke kiri dan ke kanan sehingga menimbulkan bunyi-bunyi menggairahkan. Letupan-letupan kecil terasa di penisku yang timbul tenggelam di vaginanya. Sambil mengerang-ngerang, Isabela menatap mataku dengan tatapan tak percaya. Aku pun hanya tersenyum sembari membantu gerakannya yang semakin melemah.

Akhirnya, aku angkat tubuh Isabela tanpa melepaskan penyatuan tubuh kami. Aku letakan pantatnya di atas meja. Isabela mengerti lalu mengangkangkan pahanya lebar-lebar. Giliran aku yang aktif bekerja. Dengan posisi kuda-kuda yang sangat mantap kakiku terasa menapak bumi dengan kokoh dan menggerakkan pinggulku maju mundur sehingga pusat tekanannya dapat kupusatkan kepada batang kemaluanku yang terus menggenjot atau menggelosor keluar masuk belahan liang kemaluannya.

“Aaaacchh … Again … Commiinngg again …!” Jerit Isabela menyambut puncak kenikmatannya yang entah sudah ke berapa kali.

“What the fuck!” Pekik Ricardo dengan mata terbelalak.

Aku melirik pada Mama dan Ricardo yang sedang melongo melihat aksiku. Mereka rupanya telah selesai duluan dan kini mereka sedang menyaksikan aku yang sedang ‘menyiksa’ Isabela. Aku kembali pada Isabela yang tiada henti mengerang dan menjerit nikmat. Tangannya mencengkram bahuku dengan kuat, matanya memejam, kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan serta vaginanya basah kuyup.

Dan saatnya aku melepaskan beban, aku juga hampir mencapai klimaks. Aku semakin mempercepat gerakanku menjebol lubang vagina yang semakin panas dan licin. Akhirnya penisku memuncratkan spermaku ke dalam vaginanya, Isabela ikut bergerak lagi membantuku mencapai puncak kenikmatan. Di sinilah aku menghabiskan empat semprotan terakhir. Lima gelombang ejakulasi yang panjang, membuat tubuhku melayang. Rasanya pahaku basah kuyup terkena cairan orgasme kami berdua.

Setelah tenang, aku memperhatikan Isabela tampak sekali kelelahan. Tangan wanita itu kini melingkari leherku sambil memejamkan mata. Aku pangku lagi tubuhnya dengan masih alat kelamin kami bersatu padu. Aku pun duduk di kursi sambil memangku Isabela yang tergolek lemas di atas tubuhku.

“Kamu apakan dia?” Tanya Mama terheran-heran.

“Dia baik-baik saja. Sebentar lagi juga sadar.” Jawabku santai sambil tersenyum.

“Angga … How did you do that?” Tanya Ricardo masih bengong melihat aksiku.

“Nothing special.” Jawabku sembari memberikan senyuman padanya.

“No … No … Angga … She kept having orgasms. How did you do that?” Tanya Ricardo masih tak pecaya.

“I don't know.” Jawabku sambil menggelengkan kepala.

Isabela tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan nafas masih terengah-engah, tetapi matanya bersinar penuh kagum saat pandangannya bertemu dengan mataku. Tanpa sepatah kata pun, Isabela mendekat, memandangku dengan intensitas yang membuatku tak bisa mengalihkan pandangan. Dalam momen yang tak terduga, dia mengecup bibirku dengan lembut.


"That was amazing. I've never felt like that before." Ucap Isabela sembari membelai wajahku.

"I want to make you never forget it." Jawabku dengan senyum merekah.

"I will always miss you." Kata Isabela sembari bangkit dari pangkuanku.

Isabela mencubit hidungku lalu mengajak suaminya meninggalkan gazebo. Aku tersenyum melihat cara jalan Isabela agak goyah. Lututnya kurang sempurna menopang berat tubuhnya. Tiba-tiba aku terkejut saat tangan Mama mengusap-usap pahaku.

“Mama gak menyangka, kamu ternyata luar biasa.” Ucap Mama seperti sedang menggoda.

“Ah … Biasa saja Ma.” Kataku dengan perasaan tegang.

Dengan cepat, aku mengambil celana renangku dan segera memakainya. Aku memandang Mama, tatapannya sangat mengkhawatirkanku. Kami saling menatap, ada kilatan makna yang tak kusangka di matanya. Cepat-cepat, aku memutuskan untuk meninggalkan gazebo dan langsung menceburkan diri ke dalam kolam renang. Aku berenang beberapa kali putaran, merasakan kebebasan di dalam air yang menyegarkan. Setelah itu, aku memutuskan untuk keluar dari kolam renang. Tanpa diduga, tiba-tiba ada yang menyodorkan handuk ke arahku. Saat aku menengadah, ternyata Lina yang memberiku handuk dengan senyum ramahnya. Aku menerima handuk itu sambil berterima kasih.

“Angga … Aku gak ikut pulang.” Ucap Lina tidak mengejutkan bagiku.

“Kamu yakin?” Tanyaku sambil mengelap tubuh.

“Ya … Aku akan tinggal di sini.” Jawab Lina sambil menatapku.

“Selamanya?” Tanyaku lagi.

“Bisa ya … Bisa tidak … Tergantung nasib. Tapi, aku akan bekerja di perusahaan ayahmu.” Jawab Lina lagi.

Aku tersenyum, “Semoga kamu kerasan di sini.”

“Mudah-mudahan. Tapi, aku yakin bakal betah di sini karena hidup di sini, aku banget.” Senyum tipisnya membuat dia semakin manis.

Aku pun memeluk bahu Lina sambil berjalan masuk ke dalam ruang ganti. Dengan cepat, kami berdua berganti pakaian, dan setelah itu, masuk ke dalam rumah utama. Ternyata, sebagian anggota keluarga sudah menunggu di ruang makan. Kami berdua ikut bergabung, berbagi cerita dan tawa dengan mereka. Suasana hangat dan kebersamaan terasa begitu kental, membuat waktu terasa berjalan dengan begitu cepat. Akhirnya, saat semua anggota keluarga berkumpul, kami pun duduk bersama untuk menikmati makan malam bersama.

“Ngga … Tinggalah di sini bersama kami.” Ucap Faiz yang duduk di sebelahku.

“Aku mencintai negeriku.” Kataku sedikit bercanda.

“Paling tidak, beberapa hari lagi. Aku masih kangen.” Ungkap Faiz.

“Aku harus pulang, Iz … Aku punya kehidupan di sana.” Aku tetap menolak.

“Ok … Tapi, sering-seringlah main ke sini.” Pinta Faiz sungguh-sungguh.

“Sepertinya aku akan sering ke sini.” Aku pun tersenyum sambil memegang bahu kakakku.

Malam ini sungguh ceria, menjadi salah satu malam paling indah yang pernah aku rasakan. Ternyata, memiliki keluarga besar sangat menyenangkan. Selama ini, aku mungkin terlalu banyak meremehkan kehangatan yang bisa dihasilkan oleh kebersamaan dengan orang-orang terkasih. Berkumpul dengan keluarga tidak selalu menyebalkan seperti yang selama ini kubayangkan. Malam pun semakin larut, dan akhirnya, setelah berbagi tawa dan cerita, kami semua memutuskan untuk beristirahat di kamar masing-masing.


*****


Pesawatku mendarat dengan mulus di landasan setelah mengudara selama 18 jam. Rasanya lega saat roda pesawat menyentuh landasan, dan aku merasakan getaran mesin mereda. Keheningan di dalam kabin pesawat seketika tergantikan oleh suara penumpang yang bersiap-siap untuk turun. Begitu aku keluar dari pesawat, aku disambut oleh hembusan angin hangat tropis yang begitu khas. Setelah melewati proses imigrasi dan pengambilan bagasi, aku pun naik taksi menuju pulang. Kota ini menyambutku dengan lampu-lampu gemerlapan di sepanjang jalan, dan aroma khas ibu kota negaraku yang begitu akrab.

Aku pulang ke Indonesia tanpa Lina, yang memutuskan untuk hidup dan bekerja di Portugal. Meski hatiku merasa agak sepi tanpanya, kebahagiaan muncul ketika aku memikirkan pilihannya itu. Aku sangat senang dan mendukung keputusannya sepenuh hati. Melihat Lina ingin mengejar impian dan membuka babak baru dalam hidupnya membuatku yakin bahwa ini adalah langkah yang tepat. Aku berharap Lina mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan bahagia di sana.

Aku sampai di rumah sekitar pukul 15.15 sore. Di pintu, Lia menyambutku dengan senyuman manisnya. Aku telah mempercayakan padanya tugas menjaga rumah selama aku pergi ke Eropa, dan aku lihat segalanya tetap teratur. Lia dengan cekatan membuatkan aku secangkir kopi. Kami duduk di kursi meja makan di dapur, menghirup kopi, sambil aku berbagi cerita tentang perjalananku selama di Eropa.

“Oh, jadi Lina tinggal di sana?” Tanya Lia.

“Ya, dia betah di sana. Kayaknya bakal terus tinggal di sana.” Jawabku.

“Apakah dia akan tinggal di rumah ibumu?” Tanya Lia lagi.

“Tidak … Dia akan tinggal di apartemen yang dibeliin Mama.” Jawabku lagi.

“Enak sekali dia ya … Seandainya aku bisa bahasa asing, aku juga pengen.” Ujar Lia sambil tersenyum.

“He he he … Mau belajar sama aku?” Candaku.

“Ah … Sejak dulu belajar bahasa Inggris, gak bisa-bisa.” Lia menggelengkan kepalanya.

“Kalau di sini gimana? Ada yang menarik untuk dibicarakan?” Aku menatap Lia lekat.

“Em … Oh ya, tadi pagi ibunya Dewi datang ke sini sama Aska. Katanya sih Aska kangen papanya.” Jawab Lia.

“Aska dengan ibunya Dewi? Kok bisa? Bukannya Aska di rumah Nenek Nadia?” Aku heran mendengar Aska bersama ibunya Dewi.

“Em … Sebaiknya kamu tanyakan sendiri.” Lia terlihat ragu.

Aku segera mengambil smartphone dari saku celana. Tanpa ragu, jari-jariku menari di atas layar ponsel. Aku menemukan nama Dewi di sana. Tapi entah kenapa, aku menggeser lagi ke bawah sampai menemukan nama Farah. Segera saja, aku memutuskan untuk menghubunginya. Suara panggilan terdengar beberapa kali hingga panggilanku dijawabnya.

"Halo." Sapa Farah di ujung sana, suaranya yang akrab memberiku kelegaan.

“Bu … Apakah Aska dengan ibu sekarang?” Tanyaku dengan hati berdebar-debar.

“Iya … Aska ingin ketemu kamu.” Ucapnya begitu lembut.

“Kalau begitu, saya akan ke sana menjemput Aska.” Balasku.

“Oh, kamu sudah pulang? Biar ibu saja yang mengantar Aska.” Katanya dengan bersemangat.

“Gak usah, Bu … Biar aku saja yang menjemput Aska.” Aku coba bertahan.

“Tidak, Nak … Ibu yang akan ke sana.” Kedengaran sekali dia memaksa.

“Baiklah kalau begitu. Maaf merepotkan.” Kataku tak enak hati.

“Gak apa-apa. Ibu berangkat sekarang ya?” Katanya.

“Ya, bu …” Sahutku lalu sambungan telepon terputus.

Aku meletakkan smartphone di atas meja dan kembali berbincang-bincang dengan Lia. Matahari senja menciptakan suasana hangat di dapur kami yang nyaman. Aku meneruskan ceritaku tentang pengalaman di luar negeri kepada Lia, merincikan momen-momen yang berkesan. Wajah Lia penuh perhatian, matanya terpancar ketertarikan, dan kadang-kadang ia tertawa mengiringi ceritaku. Namun, pengalaman keluar dari negeri sendiri ternyata mengajarkan banyak hal. Aku merasakan langsung makna dari pepatah, ”Hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang.” Seenak-enaknya di negeri orang, masih tetap lebih enak di negeri sendiri.


#####



FARAH POV

Ada banyak jalan untuk bisa menyatukan dua hati yang terpisah. Sekeras apapun usaha dua insan untuk bersatu, jika Yang Maha Kuasa berkata tidak, maka mereka akan berpisah. Pun juga sebaliknya. sejauh apapun sepasang manusia menghindar, bahkan hingga ke ujung dunia, jika mereka ditakdirkan berjodoh, Yang Maha Kuasa akan mempertemukan mereka dengan seribu satu cara.

Hubungan dua insan tidak luput dari apa yang disebut perasaan. Seperti benang yang menganyam, perasaan membentuk pola rumit di antara dua hati yang saling terkait. Perasaan adalah catatan indah dalam lembaran hubungan, sebuah bahasa yang tak terucapkan namun terasa begitu dalam. Ia menuntun langkah, memberikan warna pada setiap momen, dan menjadi penanda dalam kisah bersama. Dalam setiap perasaan, terukir cerita yang menjadi bagian tak terpisahkan. Ia adalah energi yang menghidupkan setiap momen, menyusun cerita yang unik dan tak terlupakan.

Perasaan tertarikku pada Angga sebenarnya terjadi empat tahun silam, saat Angga masih berpacaran dengan Dewi. Aku tidak akan pernah lupa akan cerita hidupku itu yang hanya aku dan Angga yang mengetahuinya. Perasaan itu tumbuh tanpa aku sadari, menyelinap di antara perjalanan hidupku, dan selalu menjadi rahasia yang terpendam. Sementara Angga dan Dewi bersama, aku memendam perasaan ini dalam hati, mengharapkan waktu akan menyembuhkan dan menggiringnya pergi.


*****


Flashback

Aku segera menyelesaikan mandiku, melilitkan handuk di sekitar tubuhku sebelum keluar dari kamar mandi. Saat membuka pintu, aku terkejut melihat Angga berdiri di depannya, sepertinya ia ingin menggunakan kamar mandi. Menyadari kalau tubuhku hanya dilindungi oleh selembar handuk, aku tersenyum malu, dan Angga pun merona di pipinya. Dengan sedikit bergeser, aku memberi Angga jalan masuk ke dalam kamar mandi. Dia cepat melangkah, tapi tiba-tiba goyah dan terpeleset di atas lantai yang basah. Tanpa terduga, tangannya refleks meraih handukku, yang akhirnya terlepas tanpa bisa dihindari. Angga berhasil mengembalikan keseimbangannya, tetapi ketika ia berdiri dengan kaku, matanya tak sengaja melihat tubuhku yang terbuka. Sialnya, aku yang masih terkejut, lupa untuk menutupi tubuhku.

Keadaan itu membuat kami berdua terdiam sejenak, dihadapkan pada situasi yang tak terduga. Raut wajah Angga memperlihatkan campuran antara keterkejutan dan malu, sementara aku berusaha menutupi kebingungan dengan sebuah senyuman canggung sambil meraih handuk lalu melilitkannya kembali. Tanpa ada kata sedikit pun, aku berjalan cepat menuju kamarku.

Di dalam kamar, jantungku masih terasa berdebar kencang. Namun, entah kenapa, saat aku mengingat tatapan kagum Angga tadi, hatiku seakan meledak karena terlalu bahagia. Aku merasa cantik, aku merasa dikagumi, aku merasa anggun, aku merasa seperti segalanya. Tatapan mata Angga seakan menjadi senyuman yang menghiasi hatiku, merangkulku dalam kehangatan perasaan yang begitu indah.

Aku keluar kamar setelah berpakaian dan berdandan rapi. Langkahku membawaku ke dapur, melewati Dewi dan Angga yang sedang asyik menonton televisi. Aku memulai langkah pertama menuju pembuatan makan malam, terlebih malam ini menjadi spesial karena Angga, calon suami anakku, hadir bersama kami. Namun, tanpa diduga, Angga tahu-tahu berdiri di sampingku. Tatapan mata kami bertemu, dan aku merasa ada getaran aneh yang mengisi ruang hatiku.

“Tante … Maafkan kelancangan saya tadi. Saya benar-benar malu dan merasa bersalah.” Ujarnya penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa Angga. Lebih baik lupakan saja.” Kataku sambil tersenyum lalu kembali dengan aktivitasku.

“Biar saya bantu, Tante …” Tiba-tiba Angga menawarkan diri untuk membantu.

“Oh … Tidak perlu! Kamu di depan saja dengan Dewi.” Kataku menolak lembut.

“Dewi pergi keluar sebentar, Tante. Dia tadi dengan temannya mau ke kampusnya mengambil ijazah.” Respon Angga yang kini tak bisa lagi aku tolak.

Dapur penuh dengan aroma harum masakan yang sedang kami persiapkan. Saat aku hendak mengambil bahan makanan, tanpa sengaja tanganku menyentuh keras sebilah pisau di dekatku, dan seketika itu juga, pisau itu meluncur ke udara. Aku sangat terkejut saat pisau itu berputar di udara, refleks aku memeluk dan mendorong Angga yang posisinya berada tepat dimana pisau akan jatuh. Dalam gerakan yang cepat, kami berakhir berada dalam sebuah pelukan yang tak terduga. Mata kami saling terkunci, dan terasa getaran emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Tubuh kami bersentuhan tanpa jarak, dan suasana yang tadinya riuh rendah kini berubah menjadi ketegangan yang manis. Seperti ada kekuatan yang luar biasa, yang bermain dalam kejadian ini, tiba-tiba kami bersepakat dalam diam untuk mempertemukan bibir kami. Kami berciuman sangat lama, dan kami sama-sama menginginkannya. Aku mendorong dadaku agar payudaraku terasa olehnya. Angga membalas gerakanku itu dengan gerakan-gerakan kecil jarinya menyentuh dadaku. Rasa nikmat yang aku rasakan membuatku melenguh dan memperdalam ciuman.

"Mmf..."

"Ngh, ngh, ng..."

Ciuman itu terus berlanjut. Kami sama-sama ingin kenyamanan. Aku terus mendorong dadaku sendiri, memperdalam permainan dadaku pada tubuhnya, sedangkan dia mulai menyentuh lebih banyak payudaraku. Tangannya meremas lembut payudaraku yang membuat organ intimku mulai basah. Di dalam alam batin yang tersembunyi, hasratku tumbuh seperti api yang berkobar dengan gairah yang tak terbendung. Detak jantungku berbicara dalam irama yang sama, mengiringi langkah-langkah tak pasti menuju tujuan yang menggoda.

Tiba-tiba, terdengar teriakan Dewi dari ruang depan, yang tentu saja mengharuskan kami untuk menghentikan perbuatan kami. Aku mundur, kemudian kembali ke tempat semula, memulai kembali aktivitas memasak yang sempat tertunda. Kejadian yang mengesankan tadi menciptakan sebuah kisah kecil yang akan selalu aku kenang seiring berjalannya waktu. Mungkin, peristiwa ini merupakan cara tak terduga yang menempatkan Angga di salah satu ruang hatiku selamanya.

Flashback End


*****


Lamunanku buyar saat mendengar suara dering smartphone-ku yang berdenting di atas meja makan. Aku segera meraihnya, dan di layar terpampang dengan jelas nama 'Angga'. Senyum ceria terukir di wajahku begitu nama "Angga" muncul di tengah layar. Hatiku berdebar-debar seiring dengan kegembiraan yang menyelusup dalam diriku. Aku perlahan menggeser tombol hijau pada layar, lalu meletakan ponsel di telinga kiri.

"Halo." Sapaku.

“Bu … Apakah Aska dengan ibu sekarang?” Tanya Angga dengan suaranya yang selalu membuat hatiku senang.

“Iya … Aska ingin ketemu kamu.” Ucapku dengan lembut.

“Kalau begitu, saya akan ke sana menjemput Aska.” Kata Angga.

“Oh, kamu sudah pulang? Biar ibu saja yang mengantar Aska.” Kataku dengan segera.

“Gak usah, Bu … Biar aku saja yang menjemput Aska.” Angga coba memaksa.

“Tidak, Nak … Ibu yang akan ke sana.” Kataku tegas.

“Baiklah kalau begitu. Maaf merepotkan.” Respon Angga.

“Gak apa-apa. Ibu berangkat sekarang ya?” Kataku.

“Ya, bu …” Sahutnya lalu sambungan telepon terputus.

Dengan cepat, aku bangkit dari kursi dan mendekati Aska, yang sedang mengganggu Johan saat memberi makan burung kicau kesayangannya. Aku memberitahu Johan bahwa Angga sudah berada di rumahnya dan aku akan mengantarkan Aska ke sana. Johan hanya merespon dengan senyum dan kembali fokus pada kesibukannya. Segera, aku menggendong Aska, kemudian kumadikan dan membawanya ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Setelah semua siap, aku menghampiri Johan lagi sambil menggendong Aska.

“Ayah … Apakah ayah bisa mengantarkan ibu ke rumah Angga?” Tanyaku.

Johan menatapku beberapa saat. Tatapannya terlihat sedang memikirkan sesuatu. “Ibu berani gak pergi sendiri?” Tanyanya bernada ragu.

“Ibu berani …” Jawabku pelan.

“Yakin?” Tanya Johan seolah tak percaya.

“Yakin ayah …” Jawabku sambil tersenyum tipis.

“Kalau begitu, ibu pergi saja sendiri ya … Ayah juga agak malas keluar. Lagi pula mendingan naik taksi daripada motor. Tuh, lihat mendung, mau hujan.” Kata Johan.

“Ya, sudah … Ibu pergi ya …” Kataku yang dijawab oleh anggukan kepalanya.

Aku melangkah ke depan rumah dan melanjutkan langkahku menuju pinggir jalan di depan rumahku. Tak berapa lama, seorang tukang ojek pengkolan menghampiriku dan membawaku ke gerbang kompleks. Dari sana, aku beralih menggunakan taksi yang selalu mangkal di sekitar itu. Kemudian, taksi itu membawaku menuju rumah Angga. Dalam perjalanan ini, sebenarnya hatiku sangat pilu karena harus seperti ini. Aku sebenarnya tidak ingin ini terjadi. Akal sehatku masih bekerja sangat normal, namun gejolak hatiku mengalahkan segalanya. Di balik waktu yang berlalu dan kisah yang mengalir, perasaanku pada Angga tetap setia, seperti bayangan yang tak pernah pudar. Meski berusaha menghilangkannya, ia tetap melekat erat dalam relung hatiku, bagaikan coretan abadi yang tak bisa terhapuskan.

Dan ya, kini aku melangkah ke sana, mengikuti getaran hati yang semakin kuat, dan bersiap menghadapi segala konsekuensi yang mungkin menanti di ujung perjalanan ini. Mungkin nanti akan ada banyak pertanyaan dan keraguan, tetapi setidaknya untuk saat ini, aku memilih untuk mendengarkan hatiku yang mengatakan bahwa saatnya untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginan dan impianku sendiri.

Tak terasa, aku sampai di rumah Angga. Aku melangkah dengan hati yang berdebar, menggendong Aska dalam pelukan hangatku. Sebelum kaki ini menginjak teras rumah, pintu terbuka, menyambut kedatangan kami. Senyum bahagia terlukis di wajah Angga saat dia menyambut kami berdua. Aska, yang tak sabar, meronta-ronta dan aku pun melepaskan pelukan, menurunkan anak itu ke tanah. Dengan riang, Aska berlari menghampiri ayahnya. Sorot mataku tak bisa menyembunyikan kebahagiaan saat melihat Angga menangkap Aska, lalu menggendongnya dengan penuh kasih dan kebahagiaan.

“Bu …” Sapa Angga setelah aku berhadapan dengannya. Hatiku semakin tak berbentuk saat dia mencium tanganku.

“Bagaimana perjalanannya?” Tanyaku dengan agak kaku.

“Menyenangkan Bu … Lumayan untuk menghilangkan stess.” Jawabnya.

Aku dipersilahkan masuk oleh Angga. Saat di dekatnya, ombak di dalam hatiku semakin menggunung dan bergelung, mendesak dadaku. Rasa bahagia meluap-luap seperti embun pagi yang menyentuh kelopak bunga. Hatiku seakan penuh oleh cahaya kasih, dan setiap detik bersamanya menambah kejernihan warna dalam hidupku. Aku sadar, hal ini membawa ketidakpastian, tapi setidaknya, ketidakpastian ini membawa kebahagiaan, dan aku tidak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Bu …” Wanita yang mengaku pembantu rumah tangga Angga menyapaku sangat ramah.

“Hai Lia …” Balas sapaku pada wanita yang baru kukenal tadi pagi.

“Kalian sudah saling kenal?” Tanya Angga sambil tersenyum.

“Kami lama ngobrol tadi pagi.” Lia yang menjawab pertanyaan Angga.

“Oh …” Gumam Angga sambil terus berjalan ke ruang tengah rumahnya.

Aku duduk di sofa sebelah Angga yang masih bercanda dengan Aska. Kami ngobrol tentang perjalanan Angga sepanjang di Eropa. Obrolan kami terinterupsi saat Lia meletakkan minuman untuk kami berdua di atas meja. Tak lama, Lia kembali ke belakang sambil menggandeng Aska yang minta makan. Kini aku tinggal berdua dengan Angga dengan hati yang berdebar-debar. Pandangan kami bertemu, dan tentu saja, hatiku semakin bergemuruh. Setiap detik bersamanya terasa sangat istimewa, dan aku tidak sabar untuk menyusuri waktu yang akan membawa kami pada keintiman.

BERSAMBUNG
 
Angga yg memikirkan konsep pernikahan terbuka mungkin bisa membuat dia dan Dewi rujuk terlebih ada kesempatan untuk lebih dekat dengan Farah + Bonus dapet Tuti.
Tapi itu juga kalo Angga memaafkan Dewi, bagaimanapun juga trauma atas pesrselingkuhan belom sembuh. Walau memang sudah memaafkan mamanya tapi mungkin sulit untuk memaafkan Dewi.

Dengan sabar kunantikan update selanjutnya suhu.
 
Waduh prinsip Angga mulai terkikis (atau malah sudah hancur?) dan menerima paham kebebasan. Tanpa mengurangi hormat Saya kepada Suhu, Saya agak kecewa. Mungkin karena Saya yg terlalu suka dengan konflik Angga dalam menghadapi masalah kesetiaan, yang saya rasa akan berkurang karena telah menerima paham kebebasan.

Namun seperti yang dikatakan suhu @Alvin552 ini akan menambah kemungkinan hubungan Angga dengan wanita lainnya. Atau bahkan Mama?

Semakin penasaran dengan update selanjutnya. Terimakasih Suhu @Nice4
 
Wah, kalo Angga rujuk dgn dewi & mereka sepakat menjalankan open marriage sih sama aja boong, dewi lsg dpt combo double kill. Angga di dapat, sambil msh bisa lanjut hubungan dgn bekas pacar pertama, brondong2 simpenan nya, direksi2 tempat dia kerja....
Beeeugh... ini sih bukan balas dendam kalo kejadiannya spt itu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd