Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

CHAPTER 7


TERSESAT PART 3

ANGGA POV


Satu tahun terasa seperti satu bulan, satu bulan seperti seminggu, satu minggu seperti satu hari, dan satu hari seperti satu jam. Karena aku begitu sibuk sampai tak menyadari bahwa bulan akan berganti. Pergantian momen dari bulan ke bulan tampaknya tak terlalu terasa bagiku, sehingga suasana menjelang pergantian tahun pun tak terasa sedemikian nyatanya untuk cukup disadari. Ya, waktu memberikan ritme bagi kehidupanku yang membuatku merasakan hidup itu bergerak maju ke masa depan. Terlebih lagi saat ini aku merasakan kehidupanku semakin membaik dari hari ke hari.

Salah satu kebaikan yang terasa dalam hidupku sekarang ini adalah optimisme akan masa depan. Meskipun setiap hari selalu ada tantangan dan rintangan, keyakinan bahwa hari esok dapat menjadi lebih baik memberi aku kekuatan dan semangat untuk terus melangkah maju. Dengan memiliki pandangan positif terhadap hidup, aku dapat melihat peluang di setiap kesulitan. Dengan menjaga optimisme dalam hidup, aku merasakan dampak positif pada kesehatan mental dan emosional. Aku menjadi lebih tahan terhadap stres dan mampu menghadapi tantangan dengan kepala dingin. Ini membantuku menjalani hidup dengan lebih tenang dan bahagia.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, rasa optimis itu hadir setelah aku mengenal sosok Lia. Aku diam-diam belajar banyak dari kehidupannya yang serba kekurangan. Lia adalah wanita yang penuh tekad dan keberanian. Meski menghadapi berbagai keterbatasan ekonomi, Lia tidak pernah menunjukkan kelemahan atau keputusasaan. Sebaliknya, ia memancarkan semangat dan kebahagiaan yang menular. Aku sangat terinspirasi oleh keteguhannya dalam menghadapi segala kesulitan hidup. Kisah hidup Lia menjadi cermin bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu terkait dengan kekayaan materi. Ia mengajarkanku bahwa kekuatan sejati berasal dari sikap positif terhadap hidup.

Saat itu, hari hampir berakhir, dan aku bersama Lia menghabiskan waktu di tepi kolam renang. Aku duduk di pinggir kolam, mataku terpaku pada Lia yang masih menyusuri kolam dengan lincah. Sambil menyeruput jus tomat tanpa gula, aku memandangi gerakan berenang Lia yang begitu memukau. Lima menit kemudian, Lia menghentikan kegiatannya dan mendekat ke arahku. Lia lantas keluar dari kolam renang kemudian duduk di sisiku.

“Ini hari terakhir aku berada di sini. Sebulan penuh rasanya seperti baru kemarin.” Ujar Lia sembari menibas-ngibaskan air yang masih menempel di tubuhnya.

“Aku tak ingin kamu menganggap ini yang terakhir. Kamu masih bisa berkunjung ke sini atau kalau perlu kamu tinggal saja di sini bersamaku.” Ujarku sembari merangkul bahunya.

“Terima kasih atas tawarannya, tapi tentu saja aku menolak tawaranmu itu karena aku punya kehidupan dan kamu pun punya kehidupan.” Jawab Lia sambil melingkarkan tangannya ke pinggangku.

“Aku juga mau berterima kasih … Kamu sudah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Kamu bukan saja membuatku merasa menjadi pria sejati, tapi lebih dari itu, kamu sudah mengajariku banyak hal tentang hidup.” Jujurku lalu mencium pipinya lembut.

“Hi hi hi … Kamu pandai sekali merayu …” Katanya tertawa geli.

“Aih … Aku tidak sedang merayu. Itu jujur dari hati paling dalam.” Ujarku sembari mengeratkan pelukan.

“Ya, aku tahu. Dan sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas kepercayaan dan kebaikanmu.” Sambut Lia penuh kasih sayang.

“Aku yang seharusnya berterima kasih.” Kucium lagi pipinya.

Aku sangat berterima kasih karena Lia benar-benar menempati janjinya. Setelah satu bulan aku diterapi, ternyata performa seksualku bertambah sangat signifikan. Sekarang aku bisa bersenggama dalam durasi waktu tidak kurang dari setengah jam. Selain itu, jurniorku pun bertambah besar dan panjang. Aku pernah mengukur panjang kepemilikanku yang paling pribadi itu dan panjangnya mencapai 18 centimeter.

“Sudah waktunya aku pulang.” Tiba-tiba Lia mengurai pelukan kami.

“Tinggalah semalam lagi di sini. Kamu pulang besok saja.” Aku coba menahannya.

“Tidak, Ngga … Aku malam ini akan kedatangan orangtuaku dari kampung. Aku harus ada di rumah.” Jawabnya.

“Em, baiklah …” Tentu aku tidak bisa menahannya.

Kami pun beranjak dari sisi kolam dan berjalan ke dapur dengan keadaan telanjang. Memang aku dan Lia selalu berenang tanpa menggunakan kain penutup, kami selalu telanjang bulat. Setelah membilas tubuh di kamar mandi yang ada di dapur, kami berpakaian dan merapikan diri. Kali ini Lia aku antar ke rumahnya dengan menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan kami saling berbincang tentang berbagai hal. Perjalanan pun terasa menyenangkan dengan canda tawa di dalam mobil. Suasana sore yang tenang membuat percakapan kami semakin intim.

“Aku akan transfer uang sebagai bonus untukmu.” Ucapku sambil tetap fokus ke jalanan.

“Asyik … Aku dapet bonus. Kapan?” Lia memekik senang.

“Nanti setelah kita sampai.” Jawabku.

Tak sampai setengah jam berikutnya, aku dan Lia tiba di sebuah minimarket. Tempat ini menjadi titik biasa bagi aku untuk mengantarkan Lia karena rumahnya terletak di dalam gang. Segera aku mentransfer uang sebesar 20 juta ke rekening Lia. Wanita itu menyambut transferanku dengan senyuman ramah, diikuti oleh pelukan dan ciuman hangat. Akhirnya, saat itulah kami berpisah, sekaligus menandakan berakhirnya kerjasama kami. Mungkin, suatu saat nanti, aku akan memerlukan bantuannya lagi.

Mobilku meninggalkan minimarket untuk kembali ke rumah. Untuk meredam perasaan sepi, aku pun menyalakan radio dan memilih saluran lagu-lagu yang sedang hit. Aku merasa sedikit lebih baik. Tak terasa, aku mulai ikut bernyanyi bersama lagu-lagu yang diputar. Rasanya seolah-olah mobilku berubah menjadi panggung pribadi tempat aku bisa mengeluarkan semua perasaanku.

Ketika aku melaju di jalanan yang cukup sepi, di kejauhan, aku melihat sebuah mobil berhenti dengan kap terbuka. Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres. Aku merasa simpati dan penasaran, yakin bahwa pemilik mobil tersebut pasti sedang menghadapi masalah. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk memberikan bantuan. Dengan hati-hati, aku mengurangi kecepatan mobilku dan berhenti di depan mobil yang mogok itu. Pemilik mobil tampak sangat kewalahan dan khawatir, tetapi ekspresinya berubah menjadi lega saat aku keluar dari mobil dengan senyum ramah.

“Kenapa Mbak?” Tanyaku pada seorang wanita cantik paruh baya yang aku perkirakan dia adalah si pemilik mobil.

“Nggak tahu, Mas … Tiba-tiba mesinnya mati.” Jawabnya sambil tersenyum kecil.

“Boleh saya periksa?” Aku coba memberikan bantuan.

“Oh, silahkan.” Dengan antusias dia mempersilahkan aku memeriksa mobilnya.

Dengan seksama, aku memeriksa mesin mobil yang bermasalah ini. Aku berusaha mencari tahu apa yang menjadi penyebabnya. Setelah memeriksa dalam beberapa menit, mataku fokus pada kabel dinamo stater mobil yang tampak rusak.

“Kabel dinamo staternya rusak.” Kataku sambil memandang wajah wanita itu.

“Duh … Gimana ya? Apa harus diderek ke bengkel?” Suaranya terdegar khawatir.

“Gak perlu. Untuk sementara saya bisa memperbaikinya, tapi Mbak harus langsung ke bengkel untuk mengganti kabelnya karena perbaikan saya ini tidak akan tahan lama. Ini hanya keadaan darurat saja.” Kataku.

“Oh ya Mas … Tolong saya ya.” Ujarnya sangat berharap.

Aku pun tersenyum sambil kembali ke mobilku. Aku membuka kap belakang lalu mengambil gunting dan isolasi. Aku pun kembali ke mobil si wanita itu lalu merekatkan retakan kecil yang ada di kabel dinamo stater tersebut. Aku pastikan kabel tersebut terisolasi dengan baik agar tidak terjadi kontak yang tidak diinginkan.

“Coba Mbak … Nyalakan mobilnya.” Pintaku.

Si wanita langsung naik ke dalam mobil dan langsung saja mesin mobilnya hidup. Wajahnya berubah dari khawatir menjadi penuh kelegaan. Aku melihat senyumnya yang manis saat mesin mobilnya kembali berfungsi. Meskipun perbaikan sementara yang aku lakukan tidaklah sempurna, itu sudah cukup untuk membuatnya bisa melanjutkan perjalanan.

“Terima kasih banyak, Mas! Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan tanpa bantuan Mas,” ujarnya sambil memberikan senyuman hangat.

“Tidak masalah, Mbak. Yang penting sekarang mobilnya bisa jalan lagi. Tapi, saya sarankan segera ke bengkel untuk mengganti kabel dinamo stater yang baru. Ini hanya solusi sementara,” jawabku sambil memberikan nasihat.

“Saya akan segera melakukannya. Terima kasih sekali lagi, Mas!” ucapnya sambil berjabat tangan dengan penuh rasa terima kasih.

Setelah memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, aku kembali ke mobilku dan menutup kap belakangnya. Aku melihat wanita itu melaju pergi dengan mobilnya yang kembali berjalan normal. Aku melanjutkan perjalanan menuju tujuanku sambil merenung. Terkadang, kebaikan sederhana yang diberikan kepada orang lain dapat menciptakan kepuasan yang tidak tergantikan. Sambil melaju di jalanan yang kian sunyi, pikiranku melayang pada kepuasan yang muncul dari tindakan membantu tadi. Aku merenung tentang betapa mudahnya terhubung dengan orang lain melalui tindakan kebaikan. Meskipun hanya sementara, perbaikan yang aku lakukan pada mobil wanita itu telah menciptakan ikatan singkat yang menyenangkan.

Aku kembali melajukan mobilku, dan tak lama aku masuk ke jalan utama yang ramai. Tiba-tiba aroma kopi merayapi indra penciumanku, dan langsung terbersit dalam pikiranku keinginan untuk menikmati secangkir kopi. Keinginan tersebut membuat mataku memperhatikan sekitar, mencari kafe untuk berhenti sejenak. Tepat di sisi jalan, sebuah kafe yang lumayan besar dan indah menarik perhatianku. Aku membuat keputusan spontan untuk mampir dan menikmati kopi di kafe tersebut. Aku memutar kemudi dan memasukkan mobilku ke tempat parkir yang tersedia. Setelah mengamankan mobil, aku melangkahkan kaki menuju pintu kafe yang terbuka lebar.

Begitu memasuki kafe, aku melihat Dewi dengan beberapa temannya. Sungguh, aku tak menyangka bisa bertemu dengannya di tempat ini. Dewi pun segera melihat kedatanganku dan langsung saja dia berdiri dengan ekspresi kaget namun tak lama ekspresinya berubah menjadi senyuman. Aku dengan percaya diri menghampiri Dewi untuk sekedar menyapanya.

"Hai …" Sapaanku disambut senyum hangatnya.

“Hai … Kamu sendirian?” Tanya Dewi.

“Iya …” Ucapanku terputus karena ada yang menyapaku tiba-tiba.

“Eh, Mas … Ternyata kita ketumu lagi di sini.” Katanya dan tentu saja aku terkejut saat melihat wanita yang tadi aku bantu memperbaiki mobilnya yang mogok.

“Oh iya. Dunia ini kecil sekali ya.” Candaku padanya setelah reda keterkejutanku.

“Hei … Kalian saling kenal?” Dewi menatapku curiga.

“Mas ini tadi memperbaiki mobilku yang mogok.” Sahut si wanita sambil menyodorkan tangannya, “Tuti …” Katanya saat aku menyambut tangannya.

“Angga …” Jawabku.

Wanita yang satu lagi berdiri dan memperkenalkan diri padaku, “Elis …”

“Angga …” Jawabku lagi sambil menjabat tangannya.

“Hi hi hi … Kamu duduk di sini …” Ucap Dewi sambil menggeser kursi di sebelahnya. Aku pun duduk di kursi yang Dewi persiapkan untukku.

“Jadi … Kalian saling mengenal?” Tanya Tuti dengan memandangku dan Dewi bergantian.

“Dia ini mantan suamiku, Tuti …” Jawab Dewi tanpa ragu.

Tuti menatap kami berdua dengan heran, "Ini benar-benar luar biasa. Aku kira kisah mantan suami-istri yang bisa berteman seperti kalian ini hanya ada di film atau cerita fiksi."

Dewi mengangguk sambil tersenyum, "Kami mungkin tidak lagi bersama sebagai pasangan hidup, tetapi kami berdua memutuskan untuk tetap menjaga hubungan yang baik.”

Elis menambahkan, "Ya ini sungguh luar biasa. Kalian orang-orang berjiwa besar."

Aku hanya tersenyum mendengar ‘pujian’ mereka. Kami pun mulai berbincang-bincang membangun keakraban. Awalnya Tuti dan Elis banyak bertanya tentang rumah tanggaku dan Dewi yang harus terhenti. Aku dan Dewi menjawab secara bergantian dengan jawaban yang umum-umum saja dan yang pasti kami menyembunyikan alasan prinsip yang membuat rumah tangga kami tidak bisa bertahan. Selanjutnya obrolan mengarah pada hal-hal yang umum diperbincangkan.

Dewi sedang bercerita tentang pengalaman lucunya di kantor, Tuti tertawa terbahak-bahak, sementara Elis duduk di seberang meja dengan senyuman manisnya. Sejenak, tatapannya menangkap mataku, dan aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sorot mata wanita itu. Aku mencoba tidak memperhatikannya, fokus pada obrolan kami, tetapi setiap kali mataku kembali bertemu dengan Elis, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya sarat dengan kekaguman, dan itu membuatku penasaran.

Pada suatu ketika, Elis dan aku saling menatap. Tersirat rahasia di balik tatapannya yang intens. Aku memberanikan diri untuk bermain-main dengan situasi ini. Seiring dengan senyuman, aku membalas tatapannya dengan penuh ketertarikan, memberinya sinyal kalau aku juga merasakan hal yang sama. Sementara itu, Tuti dan Dewi melanjutkan obrolan mereka tanpa menyadari pertukaran tatapan yang terjadi di antara Elis dan aku. Elis tersenyum tipis, dan aku bisa merasakan adrenalinku semakin bergejolak. Kami saling menantang, menciptakan suasana yang penuh gairah.

“Oh … Maaf … Aku harus meninggalkan kalian. Ada yang harus aku kerjakan.” Akhirnya aku undur diri dalam obrolan ini karena merasa cukup dan memang aku sudah merasa bosan berada di antara ketiga wanita ini.

“Eh, masih sore …” Dewi coba menahanku.

“Iya … Aku masih ingin ngobrol denganmu.” Ucap Elis dengan nada kecewa.

“Maaf … Beribu maaf. Aku harus pulang sekarang.” Kataku sambil tersenyum pada Elis.

“Ya …” Desah Elis terlihat kecewa.

“Biarin aja kalau Angga mau pulang. Kok kamu seperti yang keberatan?” Goda Tuti sambil menyenggolkan sikutnya pelan pada Elis.

“Hi hi hi … Kamu kok tahu sih?” Elis tertawa genit sambil mencubit lengan Tuti.

“Hi hi hi … Aku ini punya indera keenam. Aku tahu kamu suka sama Angga.” Ucapan Tuti membuatku terkejut. Dia bicara frontal seakan mengetahui semua yang terjadi antara aku dan Elis.

“Sialan ah! Bikin malu aku aja.” Elis mengerlingkan mata kepadaku dengan senyum dikulum.

“Gimana Mas Ganteng? Apakah kamu menerima lamaran Elis?” Kembali jantungku seperti berhenti sejenak saat mendengar ucapan Tuti.

“Em …” Jujur aku tidak bisa berkata-kata. Aku merasa tidak enak oleh Dewi.

“Ayolah, Ngga … Kamu sudah lama kan gak punya teman wanita?” Ucap Dewi yang semakin membuat perasaanku tak karuan.

Aku coba menegarkan diri sambil berkata, “Iya sih, tapi …”

“Gak ada tapi-tapi … Elis tahu apa yang harus dilakukan. Udah! Jangan mikir-mikir lagi! Bawa Elis ke rumah!” Aku tak percaya Dewi berkata seperti itu.

Otakku berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. Alih-alih menjawab, aku malah heran dengan sikap Dewi yang menurutku sudah keluar dari pakemnya. Dewi yang sangat menaati norma sekarang seperti tiba-tiba berubah menjadi sosok yang lebih berani dan terbuka. Sikapnya itu menunjukkan tanda-tanda kebebasan dari batasan-batasan yang selama ini dipegangnya teguh.

“Hei … Kok malam ngelamun.” Ucap Dewi sambil memegang tanganku.

“Oh ya … Em, aku akan pulang bersama Elis kalau Elis menghendakinya.” Kataku agak kaku.

“Hi hi hi … Selamat bersenang-senang.” Ujar Tuti menggodaku dan Elis.

“Hi hi hi … Aku tahu kalian iri … Yuk ah Ngga …” Ajak Elis sambil bangkit dari duduknya.

Aku pun berdiri lalu berjalan meninggalkan meja. Saat aku berdampingan dengan Elis, wanita itu dengan genit merangkul lenganku dan meletakkan lenganku di dadanya yang empuk. Terdengar tawa cekikikan Dewi dan Tuti mengantar kepergianku dan Elis. Sejujurnya aku masih memikirkan perubahan Dewi yang menurutku sangat diluar perkiraan. Apakah dia benar-benar menemukan sisi baru dalam dirinya yang selama ini terpendam? Apakah ini semua terkait dengan perubahan lingkungan atau pengalaman hidupnya? Apakah ada pengaruh dari seseorang yang memotivasinya untuk keluar dari batasannya? Ataukah ini hanya upaya pribadi Dewi untuk menemukan kebahagiaan dan kebebasan yang selama ini mungkin terkekang? Mungkin suatu saat nanti, aku bisa berbicara dengannya secara terbuka tentang perubahan ini dan apa yang mendorongnya untuk menjadi versi dirinya yang baru.

Tidak lama setelah itu mobilku keluar dari parkiran dan mulai menyusuri jalanan Jakarta. Lampu-lampu kota mulai berganti menjadi pemandangan malam yang indah. Elis dan aku terus berbincang, menciptakan ikatan yang semakin erat di antara kami. Sesekali, kami tertawa lepas mengenang anekdot-anekdot lucu atau menyuarakan pandangan kami tentang dunia.

“Lis … Boleh aku bertanya sesuatu?” Tanyaku mulai serius.

“Silahkan. Apa yang mau kamu tanyakan?” Dia menjawab dengan pertanyaan.

“Apakah kamu punya suami?” Tanyaku tanpa ragu.

“Nggak … Aku tidak punya suami. Aku janda anak satu.” Jawabnya.

“Sudah berapa lama?”

“Hampir tiga tahun.”

“Kenapa? Kenapa kamu bercerai?”

“Hi hi hi … Mantan suamiku kurang bertenaga, dia lemah …”

“Karena dia lemah, kamu bercerai? Apakah itu sangat perlu untukmu?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Penting sekali … Aku harap kamu tangguh. Wajah ganteng dan jago diranjang adalah dambaan setiap wanita.” Jawabnya genit.

Aku pun tertawa ringan mendengar ucapan Elis. Dalam hati aku berkata, aku akan membuatnya tak akan melupakan persenggamaannya denganku nanti, aku akan membuatnya ketagihan dan mengemis-ngemis memintanya lagi. Wanita genit ini akan merasakan siksaan kenikmatan yang aku berikan.

Saat sudah dekat dengan rumahku, kami mampir ke tukang sate di depan kompleks perumahanku. Kami berdua makan malam dengan menikmati sate kambing yang katanya bisa meningkatkan gairah seksual. Setelah lahapnya kami menyantap sate, kami pun segera beranjak meneruskan perjalanan. Tak lebih dari 10 menit, aku dan Elis sudah berada di rumah. Aku mengajak Elis berkeliling rumah dulu, dan nampak sekali dia menyukai tempat tinggalku, terutama saat kami sampai di area kolam renang. Sinar bulan menciptakan kilauan indah di permukaan air kolam, menciptakan suasana yang tenang dan romantis. Elis tak bisa menyembunyikan kekagumannya ketika melihat kolam renang tersebut.

"Tempat ini luar biasa indah," ucap Elis dengan mata berbinar, "Kolam renangnya sungguh menakjubkan, apalagi dengan pemandangan bulan seperti ini. Tempat yang sempurna untuk bersantai dan menikmati malam."

“Apakah kamu ingin berenang?” Tawarku sambil memeluk tubuhnya dari belakang.

“Ah, aku gak bisa berenang.” Elis mendesah saat bibirku menciumi lehernya.

“Aku ajari berenang, asal telanjang.” Godaku sembari meremas dadanya yang besar.

“Telanjang di ranjang aja.” Suara Elis semakin mendesah.

Lia mengajari aku agar aku lebih ‘buas’ saat menghadapi wanita yang sudah pasrah untuk dinikmati. Oleh karena itulah, aku langsung memangu tubuh Elis dan membawanya ke kamar. Elis cekikikan sambil melingkari tangannya ke leherku. Sungguh, aku merasa perubahan dalam diriku setelah mendapat terapi dari Lia. Aku semakin tak bisa menahan gejolak birahiku. Sekali terpicu, birahiku akan terus meledak-ledak. Lia mengatakan hal itu adalah efek jamu yang aku konsumsi setiap hari.

Setelah masuk ke dalam kamar, aku meletakkan tubuh Elis di atas kasur dan memintanya untuk menanggalkan seluruh pakaiannya. Elis langsung menuruti keinginanku, maka seluruh pakaiannya dibuka hingga dia telanjang bulat. Pada saat yang bersamaan aku juga melucuti seluruh pakaian yang aku kenakan. Saat aku hendak naik ke atas ranjang, mata Elis tertuju pada kejantananku yang sudah tegang. Bola matanya melebar seperti ada sesuatu yang mengejutkannya. Ketika aku sudah berada di atas ranjang, tiba-tiba tangannya meraih kejantananku.

“Wow … Besar banget …” Katanya bernada takjub. Aku melihat tangan mungilnya tidak bisa melingkari ketebalan kejantananku.

“Kamu suka?” Godaku.

“Suka banget … Oh, ini gila …” Lagi-lagi dia berkata takjub.

Aku mendorong Elis pelan hingga genggamannya terlepas dan ia terlentang di atas kasur. Elis membuka kedua kakinya lebar-lebar dan aku berlutut di antara kedua pahanya. Kugunakan tangan kananku untuk memegang batang penisku lalu mulai kuusap-usapkan kepala penisku di belahan vagina Elis. Kepala penisku sekarang kumasukkan sedikit di belahan vaginanya dan kuusapkan ke atas dan ke bawah beberapa kali sepanjang belahan vagina Elis yang mulai melembab. Dengan sabar aku lakukan stimulasi itu berulang kali hingga terasa vaginanya basah.

“Ayo Ngga … Masukin …” Pinta Elis tak sabar.

Aku tersenyum sambil membenamkan penisku ke lorong cintanya. Elis mendesah dengan mata membulat saat perlahan penisku memasuki gerbang kenikmatan miliknya dan bersarang di sana. Perlahan-lahan aku mulai menggerakan penisku keluar-masuk di lubang senggama Elis. Aku lihat penisku timbul tenggelam dibekap lubang vaginanya yang hangat. Bibir vaginanya keluar-masuk merekah belah oleh batang penisku yang basah mengkilap. Elis pun merem melek sambil mendesah-desah. Wanita itu semakin terangsang dan vaginanya semakin basah, hingga semakin mudah penisku bergerak keluar masuk di liang nikmatnya.

“Ooohh ennaakk sekaliii … Lebih cepat Ngga …” Racau Elis mendamba.

Aku turuti permintaan wanita itu. Kupercepat gerakan penisku menggesek dinding vaginanya sampai menimbulkan bunyi yang begitu khas. Dan bunyi khas itu benar-benar ikut menyemangatiku untuk terus menancap dan menarik penisku di dalam lubang nikmatnya. Entah sudah berapa lama, tiba-tiba tubuh Elis mulai terasa bergetar-getar sebagai tanda api gairahnya membakar semakin kuat. Desahan berganti menjadi erangan dan jeritan keluar dari mulutnya. Tak lama, tubuhnya semakin menegang batang penisku terjepit cukup ketat di antara dinding vaginanya yang berdenyut-denyut sehingga terasa seperti dipijat.

"Uuuhh… Aaahh..." Desahku.

“Aaaaacchhh … Keelluuuaaarrr …” Jerit Elis dan tiba-tiba aku merasa ada cairan hangat mulai menjalar ke batang kemaluanku.

Rupanya Elis orgasme. Liang vaginanya semakin licin saja karena cairan kelamin Elis meluber membasahi dinding vaginanya. Saat itu aku teringat ‘ilmu’ yang diajarkan Lia padaku. Saat seorang wanita orgasme, pijat urat di pinggulnya dengan maksud memperlama rasa nikmat yang sedang dirasakannya sampai si wanita siap kembali bersenggama tanpa reda gairah seksualnya. Aku yang telah mempraktekan ‘ilmu’ itu beberapa kali dengan Lia segera memegang pinggul Elis dan memijit urat-urat pinggul wanita itu. Aku masih terus menggenjot penisku dengan memperlambat tempo. Pada waktu yang bersamaan, aku mulai menemukan urat yang aku cari kemudian memijitnya lembut.

“Ooohh … Angga ennaak sekali sayang … Aaahh …” Elis terus mendesah-desah.

Apa yang kulakukan membuat Elis seperti kerasukan. Aku tahu kalau wanita ini tidak merasakan jeda kenikmatan. Dia terus mengerang-erang dengan wajah berlarian ke kiri dan ke kanan. Aku berusaha membawa wanita ini ke puncak kenikmatannya yang kedua, dengan kecepatan tinggi bergerak naik, naik dan naik menuju ke puncak kenikmatan persetubuhan. Akhirnya Elis berhasil menggapainya lagi, badan Elis kejang dengan begitu dasyatnya. Jeritan nikmat dia terdengar seperti menangis.

“Aaaaacchhh … Kelluuaar lagiii …” Pekiknya cukup keras dengan tubuh berkelenjotan hebat.

Secara bertahap aku memperlambat tempo dengan masih memijit urat seks di pinggulnya. Aku tersenyum bangga bisa membuat wanita itu ‘tepar’ oleh kenikmatan. Dan tentu saja aku tidak akan melepas rasa nikmat yang ia rasakan sampai dia menyerah. Aku terus menggerakan pinggulku. Penisku semakin mudah memasuki tubuhnya karena vagina Elis sudah sangat licin oleh cairan kewanitaannya. Dengan gagah, aku terus ‘menghajar’ vagina Elis. Wanita itu tampak berusaha memperlama waktu orgasmenya, namun ia tak kuasa membendungnya, cairan hangat itu terasa menyiram penisku dan lenguhan panjangnya menandakan ia telah sampai lagi.

Masih dalam posisi yang sama, kuayun pinggulku. Kali ini kami bercinta dengan liar. Aku memutuskan untuk menyudahi permainan cinta ini. Kelihatan sekali Elis sudah mulai kewalahan. Dengan gerakan cepat aku mengaduk-aduk isi vaginanya sangat ganas. Pantat wanita ini terus bergoyang mengikuti gerakan penisku yang menghujam-hujam liang kemaluannya. Tak lama, Elis melepaskan lagi orgasmenya sementara itu aku masih terus menggapai klimaks-ku. Elis merasakan aku hampir mencapai klimaks, kemudian ia berkata dengan tatapan mendamba, “Keluarin …” dan dengan beberapa dorongan keras akhirnya pertahananku mulai runtuh. Kucabut penisku dari vaginanya, sambil mengigit bibir kurasakan spermaku keluar dari tempatnya membasahi perut Elis. “Aaahhkkk ….!!” Erangku.

Elis pun tersenyum melihat roman wajahku, sambil mengusapnya dia berkata, ”Kamu luar biasa. Bisa buat aku keluar empat kali.” Nafasku masih ngos-ngosan, kuberbaring di sampingnya, Elis merangkak naik di atas tubuhku, hidungnya ditempelkan pada hidungku. “Sepertinya aku jatuh cinta padamu.”

Aku peluk tubuhnya sambil berkata, “Aku belum bisa jatuh cinta pada wanita.”

“Kenapa?” Tanya Elis sambil tersenyum.

“Aku masih takut. Perceraianku dengan Dewi masih berbekas.” Kataku yang tentu saja kebohongan besar. Aku mengatakan demikian untuk menolak secara halus perasaan Elis padaku.

“Memang perceraian itu menyakitkan. Tapi gak baik terus menyimpan ketakutan itu. Kamu harus move on.” Katanya.

“Ya … Aku sedang berusaha.” Jawabku.

Malam ini menjadi malam yang panjang untuk dinikmati. Aku dan Elis menghabiskan malam dengan terus bergulat panas di atas ranjang. Melakukan penyatuan tubuh dengan berbagai gaya ditemani dengan desahan dan erangan nikmat. Aku memberikan pengalaman yang tak akan Elis lupakan. Wanita itu terus merasakan kenikmatan yang tak putus kecuali saat aku sudah tak bisa menahan lagi klimaks-ku. Elis sampai memujiku kalau aku adalah pria yang paling gagah di antara pria-pria yang pernah bersamanya. Aku adalah pria yang melampaui imajinasinya. Ya, aku tahu karena aku memang sudah merencanakan hal itu. Aku ingin Elis menceritakan pengalaman berkesan ini pada seseorang.


#####



DEWI POV

Aku kini sudah terbiasa memerankan sandiwara rumah tangga ini. Di dalam dinding-dinding rumah, aku menjadi sosok istri yang patuh dan penuh perhatian. Namun, begitu aku melangkah keluar dari pintu rumah, aku melepaskan topeng itu dan menjadi diriku sendiri. Di luar sana, aku mengejar kebebasan dan kesenangan yang sulit kudapat di balik pintu rumah tangga. Dan peran ganda itu aku lakukan dengan sebaik-baiknya.

Dimas semakin terbenam dalam kesibukannya, baik itu dengan pekerjaannya maupun keterlibatannya dengan wanita lain. Aku memilih untuk tidak campur tangan dan tidak menyuarakan keberatanku. Aku bersikap pura-pura senang dan bahagia terhadap kesibukan Dimas. Bahkan, aku mengambil inisiatif untuk meminta peningkatan jatah bulananku dengan alasan bahwa semakin sibuknya suamiku berarti bertambah penghasilannya. Aku menjalani hari-hari dengan menikmati hasil kerja Dimas semaksimal mungkin, mengambil sebanyak mungkin manfaat yang dapat aku peroleh. Ya sedang memanfaatkannya, kepolosan Dimas selalu membuatnya memberikan apa yang aku minta. Jelas, rekening tabunganku melonjak tajam, memberi aku keleluasaan untuk menikmati hidup sesuai keinginan.

Hari ini, aku kembali duduk di meja kerjaku, siap melayani berbagai kebutuhan nasabah yang datang ke bank. Tersebar di sekitarku adalah antrian orang-orang yang menunggu giliran mereka untuk berbicara denganku. Wajah-wajah yang datang penuh dengan berbagai ekspresi; ada yang datang dengan senyum ramah, ada yang datang dengan ekspresi serius menandakan kekhawatiran, dan ada juga yang terlihat terburu-buru. Setiap kali panggilan berikutnya datang, aku mencoba menyambut mereka dengan senyum hangat. Ada nasabah yang butuh bantuan untuk membuka rekening baru, sementara yang lain membutuhkan informasi tentang produk pinjaman. Setiap pertanyaan dan permintaan mereka aku tanggapi dengan penuh perhatian, berusaha memberikan solusi terbaik yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Ketika waktu istirahat tiba, aku merasa lega dapat sedikit melepaskan diri dari meja kerjaku yang dipenuhi dengan berkas dan formulir. Aroma kopi dari mesin otomatis di sudut ruangan menarik perhatianku, menggoda indera penciumanku untuk sejenak meninggalkan tugas rutin. Aku bergegas ke pantry, memasukkan kertas kerja dan pena ke dalam tas. Langkahku melambat, dan aku merasakan kelelahan di pundakku, tetapi senyum yang masih tersisa di wajahku mengisyaratkan semangat yang masih berkobar. Sesampainya di pantry, suasana lebih santai. Para rekan kerja duduk di meja makan, berbagi cerita atau tertawa lepas. Aku menyusuri rak makanan ringan, memilih cemilan favoritku sambil mengobrol ringan dengan beberapa teman seperjuangan.

Saat sedang menikmati waktu istirahat di pantry, tiba-tiba menjadi berisik ketika Lina dan Lusi mendekat dan duduk mengapitku. Kedua teman sekerjaku itu yang terkenal dengan gaya genitnya langsung menginterupsi ketenanganku.

“Wi … Tadi Angga ke sini.” Ucap Lusi sambil menyenggolkan bahunya.

“Oh ya? Mau apa dia ke sini?” Tanyaku jadi penasaran.

“Dia mendepositokan uangnya.” Jawab Lusi imut dan kemayu.

“Deposito? Kamu serius?” Aku semakin penasaran mendengarnya.

“Wi … Aku juga gak percaya. Dia mendepositokan uangnya 15 milyar.” Sambung Lina dan langsung saja aku menengok ke sebelah kiriku dan menatap Lina lekat-lekat.

“Kamu bercanda ya?!” Terasa sekali dadaku berdetak lebih kencang.

“Aku sendiri yang mengurusnya.” Kata Lina sambil mengeluarkan ponsel pintar miliknya. Dengan cepat, dia membuka aplikasi perbankan dan menunjukkan layar ponselnya kepadaku. Terlihat jelas bukti deposito senilai 15 milyar dari Angga, membuatku terperangah. “Ini beneran, Wi. Aku gak bohong,” ujarnya sambil tersenyum khas Lina yang penuh teka-teki.

Sementara aku masih mencerna informasi yang baru saja kudengar, Lusi tertawa kecil di sebelahku, menambah kekacauan suasana hatiku. Terlebih saat Lusi berkata, “Udah ganteng, kaya lagi … Ah, dambaan para wanita.”

“Kalian sedang menggodaku ya …” Aku coba menepis segala pikiran tentang Angga yang tiba-tiba merasuk dan membuat kekacauan otakku.

“Gak sama sekali.” Ujar Lina sambil meletakkan ponsel miliknya di meja. “Aku dan Lisa minta izinmu untuk mendekati Angga. Gimana pun juga dia adalah mantanmu. Aku dan Lusi gak enak sama kamu kalau nanti tiba-tiba salah satu diantara kami jadian dengan Angga.”

“Oh … Itu bukan urusanku … Aku gak peduli …” Jawabku agak ketus.

“Serius ya Wi … Kalau begitu aku sama Lina mau mendekatinya. Kamu jangan marah ya …” Goda Lusi.

“Ya. Silahkan saja!” Kataku seraya berdiri dan meninggalkan mereka.

Entah kenapa, kabar yang dibawa Lina dan Lusi membuatku menjadi tak enak hati. Tiba-tiba muncul perasaan aneh yang cukup bisa menggelitik hatiku. Dan langsung saja pertanyaan besar menggelayuti pikiranku, ‘dari mana Angga mendapatkan uang sebanyak itu? Bagaimana Angga bisa meraih kesuksesan secepat itu?’ Rasanya sangat mustahil dalam waktu singkat dia memperoleh penghasilan sebesar itu dari hasil kerjanya. Diam-diam, pikiran dan hatiku saling bertanya-tanya, menyusun teka-teki tentang perubahan kehidupan Angga yang begitu drastis dan memukau. Sesekali, bayangan deposito senilai 15 milyar itu melayang di benakku seperti impian yang sulit dipercaya.

Mau tidak mau, rasa kagum mulai merasuki jiwaku. Aku mencoba memahami bagaimana Angga bisa mencapai level keberhasilan yang begitu mengagumkan. Pikiran ini terus bergelut di benakku, merajut rasa kagum yang semakin mendalam. Kebingungan tentang perjalanan hidupnya yang luar biasa itu semakin menggoda imajinasiku. Hatiku bergetar menghadapi kenyataan bahwa hidup Angga telah berubah begitu tajam.

Sesampainya di meja kerjaku, aku masih terhanyut dalam lamunan mengenai perubahan drastis dalam hidup Angga. Aku menggoyangkan kepala, mencoba membuang jauh bayang-bayang pertanyaan yang terus menghantui. Lebih baik aku fokus kembali pada pekerjaan. Saat sedang asyik berkutat dengan pekerjaanku, tiba-tiba selembar surat dari departemen SDM muncul di meja kerjaku. Rasa penasaran dan keingintahuan langsung menyergap, membuatku segera membuka amplop tersebut. Setelah membaca dengan seksama, ternyata isinya menginformasikan bahwa aku diwajibkan untuk menggunakan cuti tahunan yang tersisa selama empat hari. Kejutan dan kegembiraan menyelinap ke dalam diriku. Dengan senang hati, aku langsung memutuskan untuk mengurus cuti tahunanku. Pikiranku sudah mulai merencanakan bagaimana cara terbaik untuk memanfaatkannya.

Saat waktunya pulang tiba, aku dengan cepat menutup laptop dan menyusun barang-barang pribadi ke dalam tas. Kantor yang tadinya ramai kini mulai terasa sunyi karena hampir semua orang telah meninggalkannya. Dengan langkah cepat, aku keluar dan menghirup udara segar di luar. Aku melangkah menuju tempat parkir, dan mobil kesayanganku menanti di sana. Kunci mobil berdenting saat aku membukanya, dan dengan gesit aku memasuki kabin. Mesin mobil memulai gerakannya dengan halus, membawa aku keluar dari kompleks perkantoran.

Aku memutuskan untuk meluangkan waktu malam ini dengan teman-temanku di kafe favorit kami. Dengan nyaman, mobil meluncur di jalanan kota yang mulai terang benderang oleh lampu-lampu malam. Pikiranku sudah bergeser dari pekerjaan, dan antisipasi menyenangkan berkumpul dengan teman-teman membuat perjalanan terasa lebih cepat. Tiba di kafe, suasana yang hangat dan lampu lembut menyambut kedatanganku. Aku memarkir mobil dan masuk ke dalam, di mana teman-temanku sudah menunggu. Senyum riang mereka menyambutku, dan kami pun siap untuk menghabiskan malam dengan obrolan, tawa, dan kenangan bersama.

“Hai …” Sapaku pada Tuti, Maya, dan Elis.

“Ibu yang satu ini masih aja ingin bekerja, padahal uangnya sudah tidak berseri.” Ujar Tuti menyambutku.

“Aku gak bisa diam di rumah saja. Aku orangnya ingin punya aktivitas biar gak jenuh.” Ucapku yang telah kulontarkan berkali-kali pada mereka.

“Kenapa kamu gak pilih kegiatan yang menyenangkan saja? Seperti wisata, olahraga, dan apalah kegiatan yang menyenangkan.” Kata Maya sambil tersenyum.

“Gak seperti bekerja, neng … Kegiatan seperti akan menjenuhkan juga, beda dengan bekerja, walau pasti ada kejenuhan tapi biasanya gak lama. Di tempat kerja ada saja yang membuatku bersemangat.” Jawabku.

“Benar juga kata Dewi.” Tuti menimpali. “Bekerja beda dengan main. Ada kepuasan tersendiri kalau kita bekerja. Apalagi saat gajihan, meskipun sedikit tapi puas.” Lanjutnya.

“Nah itu …” Sambarku sambil melambai tanganku pada pelayan kafe.

“Wi … Kamu pernah bilang padaku tempo hari kalau mantan suami gak istimewa di ranjang.” Ucap Tuti setengah berbisik.

“Ya … Emangnya kenapa?” Tanyaku dengan wajah menatap Elis. Aku merasa Elis mempunyai cerita untukku atas pengalamannya bersama Angga beberapa hari yang lalu.

“Mantamu itu luar biasa, Wi … Aku belum pernah seperti itu selama ini.” Elis yang menjawab pertanyaanku.

“Maksudmu?” Tanyaku jadi sangat penasaran.

“Aku dibuat mabuk kepayang, Wi … Ah, sulit untuk aku ceritakan saking luar biasanya.” Jawab Elis lagi sembari tersenyum simpul.

“Hhhmm … Aku kok gak percaya …” Lirihku merasa aneh dengan kata-kata Elis. Sepengetahuanku, Angga biasa-biasa saja, bahkan terkadang kurang memuaskan untuk masalah ranjang.

“Wi … Dia membuatku terus merasa orgasme. Mainnya juga lama sekali. Makanya aku bilang aku dibuat mabuk kepayang olehnya.” Bisik Elis genit.

Dengan pandangan yang terpaku, aku menatap Elis, dengan ekspresi tak percaya. Matanya terlihat penuh dengan cerita, dan meskipun pikiranku sempat ragu, namun cara dia bercerita mengisyaratkan bahwa yang diucapkannya adalah kenyataan. Lidahnya berbicara dengan penuh keyakinan, dan bahasa tubuhnya memberikan petunjuk bahwa ini bukanlah sekadar khayalan. Meskipun Elis bicara dengan keyakinan, di dalam hati kecilku, aku berharap apa yang ia ceritakan Elis hanyalah kata-kata yang dibesar-besarkan saja. Aku berharap itu hanyalah rekayasa, sesuatu yang tak nyata.

“Kok bisa begitu ya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa yang Elis katakan adalah suatu kebenaran yang sangat sulit untuk aku terima.

“Dia sudah berubah kali …” Ujar Maya masuk akal.

“Mungkin juga.” Responku cepat.

“Jujur aja, aku jadi ingin mencobanya.” Kata Tuti yang membuatku terkejut. Aku seperti tidak senang dengan kata-kata Tuti barusan.

“Kamu?” Gumamku kaget.

“Dari cerita Elis, mantanmu itu membuat Elis tak pernah berhenti merasa orgasme. Itu yang membuatku penasaran.” Jawab Tuti pelan sambil tersenyum.

Dalam batin yang berkecamuk hebat, gelombang perasaan bertabrakan di dalam diriku. Elis baru saja menceritakan sesuatu tentang Angga, dan jika apa yang diungkapkannya benar, maka aku merasa seperti seorang wanita yang merugi karena telah meninggalkannya. Perasaan itu sangat beralasan, bukan hanya karena cerita Elis tetapi juga informasi yang kudapat dari Lina dan Lusi. Angga, dengan perubahan drastis dalam hidupnya, benar-benar berhasil menjadi sosok yang memikat dan diidamkan oleh banyak wanita. Transformasinya bukan hanya dari segi finansial, tetapi juga dari segi penampilan dan performa seks-nya.

Melihat perubahan ini, rasa penyesalan menyelinap ke dalam hatiku. Melihat Angga menjadi sosok yang mengundang perhatian banyak wanita, aku tak bisa menahan perasaan sesal. Keputusan untuk meninggalkannya tampak seperti kesalahan besar yang membawa konsekuensi panjang. Meskipun merasa terpukul oleh realitas bahwa Angga telah berubah menjadi versi diri yang diidamkan banyak wanita, aku menyadari bahwa kehidupan terus berjalan. Sambil menghadapi perasaan sesal, aku berusaha memahami bahwa setiap pilihan yang diambil membawa konsekuensi, dan saatnya aku untuk menerima konsekuensi itu.

BERSAMBUNG
 
Hidup adalah pilihan, setiap pilihan adalah solusi yg terbaik tapi di setiap pilihan akan slalu ada konsekuensi. Bijaklah dalam memilih karna pilihanmu akan menentukan jalan hidupmu.

Puas banget rasanya ngeliat Dewi menyesal, balas dendam terbaik memang paling enak kalo disajikan di saat mentah 😁😁
Suwun updatenya suhu.
 
Bener dah kaga salah lagi ni dua chapter 5 & 6, cocok pisan judulnya tersesat.
Yang satu disuruh jadi tukang gali sumur, satunya lagi ngobral apem pem pem yeu.
Eh, nampaknya Toni dan Tuti bisa jadi pasangan yg klop. Kenapa? Karena keduanya diawali dengan huruf T dan kalau direndengin jadi TT = Tersesat Tersesat. Nah kalo tersesat sampe 2 x ada jalan untuk kembali gak yaaa. Nuhun episode TERSESAT nya mang.
Mangga dikanjut eh punten dilanjut Mang Nice dongengna.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd