Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

CHAPTER 2


AWAL KISAH PART 2

ANGGA POV


Suasana rumah begitu senyap padahal aku sudah menyalakan televisi di depanku. Pandanganku memang tertuju pada layar televisi, tetapi pikiranku melanglang buana, berkutat pada pembicaraanku dengan ayah mertua. Sebenarnya aku agak tidak enak hati karena menolak permintaannya. Aku tidak bisa menerima kalau Dewi bekerja. Mungkin benar apa yang dikatakan ayah mertua kalau aku paranoid dengan pandangan tradisionalku, tapi sangat sulit untuk merubah cara pandangku. Aku jadi teringat saat masa remaja, bagaimana ibu berselingkuh dengan rekan kerjanya dan kemudian rumah tangga orangtuaku hancur lebur berantakan. Aku juga teringat pesan almarhum ayah yang menyatakan aku harus mempunyai istri yang murni sebagai ibu rumah tangga. Jika istriku bekerja, kemungkinan besar apa yang dialami ayah akan menimpa diriku. Entah kenapa aku tidak bisa menghilangkan bayangan kelam itu, seakan terus melekat kuat dalam sanubari.

Tiba-tiba, smartphoneku berdering, tanda ada telepon yang masuk. Aku mengambilnya dan langsung menekan tombol hijau tanpa melihat siapa yang memanggil. Aku menyapa sang penelepon ternyata kakakku yang bernama Faiz. Aku sangat mengenal suaranya. Dia langsung menanyakan kabarku dengan keluargaku karena memang kami berdua sudah berbulan-bulan tidak bertemu. Aku jawab kami semua dalam keadaan baik. Kakakku itu bekerja sebagai staf kedutaan besar di Portugal. Kami pun saling menceritakan pekerjaan masing-masing.

Ngga … Ibu akan menikah lagi.” Kata Faiz yang sukses membuatku sangat terkejut.

“Dia mau menikah lagi?” Kataku bernada tak percaya.

"Iya … Ibu akan menikah lagi dengan pengusaha kaya raya berkebangsaan Portugal yang bernama Miguel Santos. Pernikahan mereka akan dilaksanakan dua minggu lagi." Ujar Faiz.

Aku terdiam sejenak. Aku tidak menyangka ibu akan menikah lagi. Ini adalah pernikahan ketiganya. Aku harus mengakui kalau aku kurang respect pada ibuku sendiri. Beberapa sifat dan tabiatnya terkadang membuatku merasa kurang nyaman, terutama dalam hal etika. Perbedaan pandangan tentang etika membuatku merasa jarak antara kami sangat melebar. Ditambah lagi, sampai sekarang aku masih menyalahkan ibu atas kematian ayah.

"Aku berharap kamu bisa menghadiri pernikahan ibu," kata Faiz.

"Aku tidak bisa," jawabku tegas. "Aku tidak ada uang untuk pergi ke Portugal,” jelas aku enggan menghadirinya.

"Tidak apa-apa, aku akan menanggung biaya perjalananmu," kata Faiz.

"Aku juga tidak bisa karena jadwal pekerjaanku sangat padat akhir-akhir ini," aku terus berkelit.

"Tapi aku harap kamu bisa datang. Ibumu sangat berharap kamu bisa hadir di pernikahannya," suara Faiz terdengar memelas.

“Maaf Iz … Aku benar-benar tidak bisa. Pekerjaanku menuntut aku harus selalu ada di tempat kerja. Atasanku pasti tidak akan memberikan izin untuk cuti.” Aku terus bertahan.

Aku tahu kalau kamu masih belum bisa memaafkan ibu. Tapi mau sampai kapan begitu. Bagaimana pun dia adalah ibumu, orang yang melahirkanmu. Ngga, ibu sangat menyayangimu. Percayalah padaku.” Kata Faiz yang telah kudengar ratusan kali.

“Aku tidak membencinya, tapi aku belum bisa memaafkannya,” jelasku berulang kali.

"Baiklah. Aku akan menghubungimu lagi untuk membahas ini lebih lanjut." Kata Faiz dan langsung terputus sambungan teleponku.

Aku tidak menyangka nenek-nenek peot itu masih laku saja. Oh, koreksi! Ibuku memang nenek-nenek tapi tidak peot. Penampilannya tetap terjaga dengan baik dan terlihat begitu muda dan cantik. Banyak yang salah menduga usianya, mengira bahwa dia baru berusia 30 tahunan, padahal yang sebenarnya, usia ibuku sudah mencapai 50 tahun. Bahkan, banyak anak muda yang memandangnya dengan kagum dan terpesona. Ibuku memang pandai merawat diri.

Baru saja aku akan meletakkan smartphone di atas meja, alat komunikasiku itu bergetar tanda ada pesan Whatsapp yang masuk. Aku buka aplikasi itu dan melihat deretan angka tanpa nama yang baru saja mengirim pesan berupa file foto. Dengan rasa penasaran yang membuncah, aku buka pesan tersebut. Sontak mataku terbelalak hebat saat melihat gambar foto di layar smartphoneku. Di sana seorang pemuda tampan sedang mencium mesra tangan istriku. Kontan darahku membeku, dan rasa sakit menusuk hati membuat detak jantungku terasa seperti terhenti sejenak. Kepercayaanku hancur seketika, dan aku tersapu oleh gelombang emosi yang tak terkendali.

Amarah yang meluap-luap merebak dalam diriku seperti api yang berkobar-kobar. Hatiku terasa tertusuk-tusuk oleh pahitnya pengkhianatan. Wajah istriku yang dulu kukenal sebagai tempat ketenangan, kini menjadi bayangan yang menyakitkan. Tubuh ini gemetar oleh gejolak amarah, dan rasa kecewa yang mendalam merayap dalam setiap serat jiwaku. Sesak rasanya napasku, dan semua warna di dunia ini tampak redup, terlalu pahit untuk dipikul.

Dengan tangan gemetar, aku mengirimkan foto itu kepada istriku untuk melihat reaksinya. Mataku tak berkedip saat menanti balasan dari wanita yang dulu kucintai. Setelah mengirim, aku meletakkan smartphone dengan berat di atas meja, menanti setiap detik yang berlalu. Sudah beberapa menit menunggu, tak ada respon darinya. Sekarang pikiranku berkecamuk antara bertahan atau membuang bangunan rumah tangga ini. Namun yang jelas kesetiaan dan cinta yang telah kuberikan hancur bersamaan dengan gambar itu, menggoreskan luka yang dalam dan tak terobati.


#####



DEWI POV

Ada rasa yang berbeda ketika aku bangun dari tidur nyenyakku di pagi ini. Rasa nyaman dan damai yang sudah lama aku tak rasakan sekarang seperti sebuah angin segar yang membelai wajahku dengan lembut. Aku membulatkan mata, mencoba mencerna perasaan itu, dan menyadari bahwa hari ini adalah hari yang berbeda. Langit pagi terbentang biru cerah di balik jendela kamarku, sementara sinar matahari memancarkan kehangatan yang menyentuh seluruh tubuhku. Rasanya seakan alam semesta memberikan sinyal positif, mengajakku untuk memulai sesuatu yang baru.

Aku beranjak dari tempat tidur dengan hati yang ringan, merasakan karpet empuk di bawah kaki telanjangku. Kamar tidur ini terasa penuh dengan energi positif, dan aku memutuskan untuk memulai kehidupanku dengan melakukan sesuatu yang selama ini terabaikan. Aku membuka jendela, membiarkan udara segar memenuhi ruangan, dan meresapi aroma bunga-bunga di luar. Dengan semangat yang baru, aku memutuskan untuk mengubah takdirku. Ini adalah waktunya mengejar tujuan hidup yang selama ini hanya tinggal sebagai impian di benakku.

Aku sudah membulatkan tekad untuk mengakhiri semuanya. Sudah dua bulan terakhir ini, rumah tanggaku dengan Angga terasa seperti gulita yang tak kunjung berakhir. Pertengkaran semakin merajalela, meninggalkan bekas luka hati yang makin menyakitkan. Aku tahu bahwa hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam ketidakbahagiaan. Aku ingin meraih kembali kemerdekaan dan kontrol atas hidupku yang selama ini terkekang oleh ketidaksetujuan dan dominasi Angga.

Dengan perlahan, aku mengambil nafas dalam-dalam dan menggenggam erat tekadku. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupku, sebuah langkah menuju kebahagiaan yang selama ini terlupakan. Sambil menatap matahari yang mulai menampakkan sinarnya di balik awan, aku merasakan bahwa keputusan ini adalah langkah yang tepat untuk membangun hidup yang lebih baik. Sejak detik ini, aku menganggap rumah tanggaku sudah berakhir walau ayah memintaku menunggu dalam waktu satu bulan. Tidak! Aku tidak akan menunggu satu bulan, saat ini juga aku tidak akan menganggap Angga sebagai suamiku lagi.

Aku sudah terlalu membencinya, tetapi lebih dari itu, aku mulai membenci diriku sendiri karena membiarkan diriku terjebak dalam hubungan yang merusak ini. Aku ingin menjadi Dewi yang kuat, yang mampu menghadapi ketakutan dan mengambil kendali atas kehidupanku sendiri. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin lagi terjebak dalam belenggu keputusasaan dan penderitaan. Aku ingin merangkul masa depan yang baru, yang mungkin penuh dengan rintangan, tetapi juga penuh dengan peluang untuk tumbuh dan berkembang.

Aku dikejutkan oleh suara Aska yang terbangun dari tidurnya. Segera saja aku ambil anakku dan menggendongnya, kemudian kubawa dia keluar kamar untuk memberinya sarapan. Sungguh, aku terperanjat saat melihat Angga berada di rumah ini. Hatiku berdegup lebih cepat, dan perasaan tak menentu kembali mendera diriku. Angga duduk di sofa bersama kedua orangtuaku dengan ekspresi wajah yang membara oleh kemarahan. Aku sadar, kehadirannya di sini tidak membawa kabar baik.

“Kita perlu bicara,” ujar Angga dengan suara bergetar.

“Ini bukan tempat yang tepat untuk bertengkar," ucapku dengan suara yang berusaha tetap tenang. "Ini rumah orangtuaku, tak seharusnya kita bertengkar di sini."

Angga hanya menggelengkan kepala dengan nada geram. "Aku tidak peduli. Kita harus menyelesaikan ini sekarang juga!"

“Oh, begitu … Baiklah …” Sambutku dengan tersenyum sinis.

Aku berjalan santai tanpa beban kemudian duduk sambil menggendong Aska di salah satu sofa. Sambil membalas tatapan tajamnya aku berpikir keputusan untuk mengakhiri rumah tanggaku dengan Angga semakin dekat dan tak terelakkan. Pertikaian ini membuatku semakin yakin bahwa melangkah pergi adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali hidupku yang tenang dan damai.

“Bisa kau jelaskan, apa ini?” kata Angga.

Tiba-tiba Angga menggelosorkan smartphone miliknya di atas meja. Smartphone itu berhenti tepat di depanku. Dengan tenang aku mengambil alat komunikasinya itu. Seolah waktu berhenti sejenak, mataku membulat sempurna saat melihat foto saat Dimas mencium tanganku di rumah sakit malam kemarin. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut, yang membuatku terkejut adalah siapa yang memfoto dan apa maksud orang itu memberikan foto itu pada Angga.

“Apakah kau mempunyai penjelasannya?” tanya Angga lagi dengan nada meneror.

“Ya …” Jawabku dibuat setenang mungkin.

“Katakan! Aku ingin mendengarkannya.” Sahut Angga.

"Dengar, Angga … Pria yang kau lihat dalam foto itu adalah seseorang yang mengantarku pulang ke rumah tadi sore. Aku tidak perlu menceritakan lagi bagaimana aku bisa bertemu dengannya karena aku sudah menceritakannya padamu. Dia menelepon setelah maghrib dan memintaku menemui neneknya yang sakit. Dia bilang neneknya ingin bertemu calon istri cucunya. Dia memintaku untuk bersandiwara di depan neneknya agar mengaku kalau aku adalah calon istrinya. Aku mencoba menolak, tapi dia memaksa dan aku merasa kasihan, jadi aku setuju. Ketika aku berada di rumah sakit, semuanya berjalan seperti biasa. Ya, aku menemui neneknya dan mengaku sebagai calon istri cucunya. Aku tidak menyangka bahwa kejadian seperti dalam foto itu akan terjadi. Saat akan pulang, aku sudah berusaha menjaga jarak, tapi tiba-tiba dia mencium tanganku. Sialnya, aku tidak bisa mencegahnya, dan jujur saja kejadian itu membuatku sangat tidak nyaman. Aku ingin kau tahu, kalau aku tidak ada niatan untuk berselingkuh. Ini semua terjadi begitu saja, tanpa rencana atau keinginanku. Itulah penjelasanku. Sekarang aku tidak peduli, kau mau percaya atau tidak." Jelasku panjang lebar.

Aku yang tidak ingin bertengkar di hadapan orangtuaku secepatnya berdiri dan membawa Aska ke dapur. Di sana aku memberikan sarapan buat Aska. Ajaibnya, hatiku seperti lepas dari beban berat yang selama ini menekanku. Rasanya aku telah menemukan kembali diriku yang hilang. Sambil menyuapi dan memandang wajah Aska yang berseri-seri, aku merasa yakin bahwa ini adalah awal dari perjalanan hidupku menuju hidup yang lebih baik.

Aku mendengar suara ayah yang sedang memberikan masukan pada Angga agar Angga tidak dengan mudah memutuskan sesuatu yang akan merugikan kami semua, terutama Aska. Dalam percakapan itu, ayah mencoba membuka mata Angga terhadap realitas hidup, memperingatkannya agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Meskipun ayah berbicara dengan kata-kata bijak dan tenang, sikap keras kepala Angga tidak juga goyah. Aku mencoba mengendurkan otot-otot wajah yang tegang, berusaha menahan kemarahan terlebih saat Angga menuduhku berselingkuh dengan pria dalam foto itu.

Suara perdebatan di ruang tengah masih bergema di telingaku, dan hatiku semakin teriris-iris. Angga terus menghujatku dengan tuduhan tak berdasar. Aku terjebak dalam keadaan di mana setiap kataku dianggap dusta. Dia yakin aku berselingkuh, suatu kebohongan besar yang telah menghancurkan segala rasa yang kumiliki terhadapnya. Aku merasa terhina oleh tuduhan yang terus diulang-ulang oleh Angga. "Jangan salahkan aku kalau aku benar-benar berselingkuh," pikirku dalam hati.

Untuk beberapa menit masih terdengar perdebatan antara ayah dengan Angga. Tak lama berselang, aku mendengar suara Angga yang berpamitan pada ayah dan ibu. Tiba-tiba, ibu datang menghampiriku, langkahnya lambat dan wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Saat ia duduk di kursi sebelahku, aku melihat bagaimana mata ibu tampak lelah dan berat. Gumpalan air mata terlihat di pinggir matanya, seolah-olah ia telah menahan kesedihan terlalu lama. Tanpa berkata apa-apa, aku meraih tangan ibu yang terletak di atas meja dan menggenggamnya erat.

"Dewi," kata ibu sangat sendu. "Siapa laki-laki itu?"

Aku menghela napas, "Namanya Dimas," kataku. "Aku baru saja berkenalan dengannya kemarin sore."

Ibu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, "Ibu tahu kamu tidak akan membohongi ibu. Tapi, ibu khawatir. Rumah tanggamu sedang dalam keadaan yang tidak baik. Jika kamu terus dekat dengan laki-laki itu, ibu takut Angga akan semakin marah."

Aku tahu ibu benar. Jika aku terus dekat dengan Dimas, Angga pasti akan semakin marah. Dan, aku tersenyum dalam hati. Sungguh, aku sudah tidak peduli lagi sama Angga.

"Ibu … Aku akan menuruti permintaan ibu. Aku akan menjauhi Dimas," kataku yang bertolak belakang dengan suara hati. Tentu saja aku tak akan menjauhi Dimas, bahkan aku yang akan mendekatinya.

Ibu tersenyum tipis, "Terima kasih, nak … Ibu sangat menyayangimu."

Aku tersenyum, "Aku juga menyayangi ibu," balasku.

Tidak ada yang salah jika aku menikmati hidupku sendiri. Dengan keyakinan yang kuat, aku bersiap-siap untuk meraih kemerdekaan pribadiku. Tak akan ada lagi batasan atau hambatan yang mampu meredam keinginanku. Aku yakin bahwa setiap individu berhak mengejar kebahagiaan dan meraih makna dalam hidupnya masing-masing. Bagiku, kemerdekaan tak sekadar tentang pembebasan fisik, melainkan juga kebebasan mental dan emosional.


#####


ANGGA POV

Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terlalu cepat karena aku sedang memikirkan masalahku dengan Dewi. Aku melihat pemandangan di luar jendela mobil. Jalan tampak sepi dan hanya ada beberapa mobil yang melintas. Pohon-pohon pinus tampak berdiri tegak di pinggir jalan. Dalam hening perjalanan ini, pikiranku terus melayang pada pertengkaranku dengan Dewi dua bulan terakhir. Aku berharap Dewi bisa memahami keinginanku, tapi seolah-olah dia tuli terhadap suara hatiku.

Perjalanan ini menjadi sepenggal waktu untuk merenung. Tak terasa, aku sampai di tempat yang memang aku tuju. Aku menghentikan mobil, mematikan mesin, dan duduk sejenak di dalam mobil. Kini aku berada di depan rumah sahabat lamaku bernama Toni. Aku berharap Toni bisa memberikan masukan yang membuat hatiku tenang. Menurutku, Toni adalah sosok yang sangat cerdas dalam membaca situasi. Toni memiliki pengamatan yang tajam, seperti mampu menangkap nuansa dan detail yang sering luput dari perhatian orang. Ketika ada masalah, Toni tidak hanya melihat dari satu sisi, tapi memikirkan dari berbagai sudut pandang sehingga mendapatkan solusi yang masuk akal.

Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah Toni. Langkahku terasa berat, dan langit kelabu seolah menggambarkan kekacauan hatiku. Sesampainya di pintu, aku mengetuk dengan rasa cemas. Pintu terbuka, dan Toni muncul dengan senyuman ramah. Tanpa basa-basi, dia mengajakku masuk ke dalam.

“Bagaimana kabarmu, kawan? Em, sorry. Basa-basi. Aku yakin kau masih belum bisa menyelesaikan masalahmu dengan Dewi.” Ungkap Toni yang memang mengetahui permasalahan yang sedang kuhadapi.

“Dia malah selingkuh.” Desahku pilu.

“He he he … Sudah kuduga. Kau terlalu egois dan mengekang. Sekarang dia memberontak atas keegoisanmu. Aku sudah mengatakan berkali-kali, biarkan dia senang dengan pekerjaannya, dukung dia. Jika saja kau tidak terlalu paranoid, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.” Katanya.

“Tapi baru mungkin kan? Mungkin juga dia berselingkuh di tempat kerjanya.” Aku coba menyangkal.

“Kemungkinan selalu ada, tapi lihat level kemungkinannya. Sikap egoismu itu membuat level kemungkinan menjadi 80% ke atas. Tapi jika kau membiarkan dia bahagia dengan pekerjaannya, level kemungkinan hanya akan ada di bawah 50%.” Jelas Toni sambil tersenyum.

“Dia seharusnya senang karena tidak dibebani oleh pekerjaan untuk mencari uang.” Kataku sambil menyandarkan punggung di sandaran sofa. Toni hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Apa yang harus aku lakukan?” Tanyaku kemudian.

“Kau selalu menayakan hal yang sama, tapi kau tidak pernah mau mendengarkanku.” Katanya.

“Katakan saja. Masukanmu kadang bisa aku terima.” Aku menegakkan tubuh lagi.

“Apakah benar istrimu selingkuh?” Tanyanya dengan santai.

“Positif … Aku punya buktinya.” Aku segera mengambil smartphone dari saku jaket, kemudian membuka pesan Whatsapp yang berisikan foto Dewi yang dicium tangannya oleh laki-laki itu. Aku berikan foto tersebut pada Toni.

Toni tampak memperhatikan dengan seksama foto yang kuberikan. Tak lama dia tersenyum dan berkata, “Aku tak yakin kalau istrimu selingkuh. Menurutku dia baru akan terjerumus, maksudnya dia baru coba-coba belum benar-benar selingkuh,”

“Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?” Ada sedikit rasa lega saat mendengar penjelasan Toni.

“Kau lihat wajah istrimu. Dia kelihatan terkejut ketika dicium oleh laki-laki itu. Aku sangat yakin ini hanya kejadian tak terduga, dan dia belum benar-benar terlibat dalam hubungan yang serius," Toni menyimpulkan.

“Kalau begitu aku salah telah menuduhnya selingkuh.” Suaraku pelan sarat penyesalan.

“Tapi masalah utamamu bukan itu, Ngga … Masalah utamamu adalah cara pandangmu terhadap istri yang bekerja. Itu yang harus kau ubah.” Katanya yang kuakui sangat benar.

“Aku sulit mengubahnya, Ton … Aku sudah berusaha tapi bayangan pengkhianatan ibuku tidak bisa aku hilangkan.” Kataku yang telah kuutarakan pada Toni puluhan kali.

“Ibumu yang berpenghasilan lebih besar dari ayahmu membuat ibumu dominan terhadap ayahmu. Ayahmu tak berdaya saat mengetahui ibumu selingkuh dan akhirnya bunuh diri.” Toni melanjutkan ceritaku. “Ngga … Sudah saatnya kau move on. Aku menyarankan kau temui ibumu dan meminta maaf padanya karena selalu menyimpan memori itu. Jika kau sudah memaafkan kesalahan ibumu, ada kemungkinan kau akan berubah.” Katanya kemudian.

Kata-kata Toni membentang di pikiranku seperti jalan keluar dari labirin kelam masa laluku. Aku sadar betul kalau pandanganku selama ini terhadap istri yang bekerja hanya akan memperpanjang rentetan kepedihan keluargaku. Aku mulai memahami bahwa memaafkan kesalahan ibu mungkin adalah kunci untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu yang selalu menyiksa pikiran dan hatiku.

“Kamu benar, Ton … Sudah saatnya aku memaafkan masa lalu.” Kataku.

“Bagus …!” Toni tampak senang dengan mengacungkan jempolnya.

“Sekarang … Bagaimana dengan istriku?” Tanyaku ingin pendapatnya lagi.

“Banyak yang harus kau lakukan. Pertama, kau harus meminta maaf padanya atas semua kesalahanmu. Akui semua kesalahanmu dan meminta maaf padanya. Kedua, berikan dia kebebasan untuk bekerja, kau harus rela kalau dia bekerja. Ketiga, kau harus cepat memperbaiki hubunganmu dengan istrimu secara emosional. Kau telah terlalu banyak menyakiti hatinya, dan ini sebenarnya yang akan menyebabkan dia selingkuh.” Jelasnya.

“Baiklah … Terima kasih atas masukannya. Sebaiknya aku harus segera menemui istriku.” Kataku sambil berdiri.

“Semoga berhasil, Kawan … Ah, maaf aku lupa memberimu minum.” Sahut Toni sambil tersenyum.

“Tak apa-apa Ton … Terima kasih kamu sudah menyadarkanku.” Responku.

Dengan hati yang lumayan ringan, aku keluar dari rumah Toni dan langsung berlari ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Di perjalanan, lamunanku menghampiri, membayangkan wajah istriku yang tersenyum menyambut kedatanganku, serta pelukannya yang hangat dan ciuman bibirnya yang membara. Tanpa peringatan, tetesan air mulai jatuh di kaca mobil, menarik perhatianku ke langit yang mulai gelap karena gerimis yang turun. Meski gerimis mengguyur, keinginanku untuk segera sampai di rumah orangtua Dewi dan bertemu istriku tetap menggebu. Dengan kecepatan tinggi, mobilku melaju, menghiraukan rintik gerimis yang menambah dramatis perjalananku.

Tetesan-tetesan air hujan menari di kaca depan, mengaburkan pandanganku. Roda mobil berputar di aspal basah, menimbulkan suara gemeretak yang memecah keheningan sepanjang perjalanan. Aku terus melaju, berusaha menavigasi jalanan yang semakin licin. Walaupun pandangan terbatas oleh kaca yang berembun, aku tetap fokus mengemudikan mobil. Suasana di dalam kendaraan diisi oleh suara pelan dari radio yang memainkan lagu kenangan. Sejenak, aku merenung, membiarkan pikiranku melayang jauh seiring dengan tetesan-tetesan hujan yang terus turun.

Tiba-tiba, ketenanganku dirusak oleh deru mesin mobil yang menjadi semakin ganas. Tubuhku menegang, dan aku segera mengeratkan kemudi, mencoba mengendalikan kekuatan mobil yang tiba-tiba memberontak. Namun, kepanikan memuncak ketika aku menyadari kalau rem mobil tidak berfungsi. Mataku terbuka lebar, mencari jalur penyelamatan di tengah kekacauan. Tetapi, takdir sepertinya telah menentukan jalannya sendiri.

Mobil terus melaju tanpa ampun, melintasi jalanan yang basah dan licin. Usahaku untuk mencari jalur aman terasa sia-sia, seperti mencoba menangkap angin di telapak tangan. Detik demi detik, setiap getaran mobil menyiratkan nasib yang semakin tak terhindarkan. Dalam sekejap, kesadaran akan takdir mengerikan itu mencapai puncaknya. Aku sadar bahwa kecelakaan tak bisa dielakkan. Suara dentuman keras menyertai perasaanku yang terombang-ambing di antara ketakutan dan keputusasaan. Dan pada detik itu, aku merasakan diriku terlepas dari kendali, terhempas ke dalam kegelapan tanpa batas.


#####



DEWI POV

Duduk sendiri di sofa kulit yang kasar, aku merenung dalam hening ruang keluarga. Wajah Angga melayang di benakku. Dia yang seharusnya menjadi pendamping dan penyejuk, malah menjadi sumber konflik dan pertentangan. Aku berusaha mencari pemahaman, mencari jawaban dari keputusannya yang egois. Dia menentang keras keinginanku untuk bekerja. Alasan yang ia kemukakan terasa absurd di telinga.

Wajah Angga, yang dulu kusayangi, kini menjadi target sasaran rasa marahku. Setiap pandangannya, setiap kata yang keluar dari mulutnya, membuat api dalam diriku semakin membara. Aku ingin memberontak, menunjukkan bahwa aku bukanlah marionet yang bisa dipimpin sesuka hatinya. Kekecewaan dan kemarahan ini menjadi bahan bakar untuk perlawanan yang akan kuhadapi. Aku tak lagi melihatnya sebagai figur yang patut dihormati, melainkan sebagai penghalang yang harus kuhancurkan.

Lamunanku tiba-tiba terputus oleh getaran smartphone yang berdering di tanganku. Dengan tatapan kosong, aku melihat layar yang menampilkan deretan angka unik. Tanpa menggantung panggilan, aku segera menerima panggilan telepon tersebut.

“Halo …” Kataku.

“Selamat siang … Saya Komisaris Miftah dari Polres Jakarta Selatan. Maaf mengganggu, tapi apakah Anda adalah istri dari Bapak Angga?” Aku terkejut karena yang meneleponku seorang polisi.

“Ya, saya istrinya. Ada apa, Komisaris?” Tanyaku masih dalam keadaan terkejut.

“Saya mohon maaf, namun saya perlu memberitahu Anda bahwa suami Anda, Bapak Angga, mengalami kecelakaan. Saat ini beliau di rawat di Rumah Sakit Persada dalam keadaan koma.” Katanya. Aku terhenyak namun tak lama. Tiba-tiba aku merasakan kesejukan di hati.

“Kecelakaan? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi?” Tanyaku pura-pura panik.

“Kami masih dalam tahap penyelidikan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Namun, saat ini yang terpenting adalah keadaan Bapak Angga. Beliau sedang mendapatkan perawatan di ruang perawatan intensif.” Katanya.

“Iya, pak. Terima kasih atas informasinya.” Ucapku dengan senyum tipis di bibir.

“Sebaiknya ibu bisa datang segera ke Rumah Sakit Persada. Ada petugas yang siap membantu ibu di sana dan memberikan informasi yang ibu butuhkan. Apakah ibu bisa segera menuju rumah sakit?” Pinta sang Komisaris.

“Tentu, saya akan segera datang. Sekali lagi terima kasih atas informasinya, Komisaris.” Aku berusaha menjaga kestabilan suara senduku meski hatiku bersorak riang.

“Sama-sama, ibu Dewi. Semoga Bapak Angga segera pulih. Jika ada informasi lebih lanjut, kami akan segera memberitahu.” Jelasnya.

“Terima kasih, Komisaris.” Kataku dengan perasaan suka cita.

Sambungan telepon terputus. Aku pun meletakan smartphone di dada sambil tersenyum-senyum sendiri. Angga, suamiku yang selama ini menjadi batu sandungan dalam hidupku, dikabarkan mengalami kecelakaan dan di rumah sakit. Pikiranku tidak langsung tertuju pada kekhawatiran atau prihatin. Sebaliknya, rasa senang seolah menyapu hatiku. Tidak ada ruang bagi simpati atau empati dalam hatiku. Hanya tersisa sedikit perasaan itu dalam diriku, dan yang terbesar adalah kepuasan melihat karma berkunjung pada orang yang begitu tak menghargai keberadaanku. Aku berjalan ke dapur dengan langkah yang sangat ringan, tanpa merasa terbebani oleh berita tersebut. Aku tersenyum kecil, menikmati keadilan yang akhirnya menang.

“Bu …” Aku langsung memasang wajah sedih. Tentu saja akting.

“Ada apa sayang?” Tanya ibu yang sedang memberi makan Aska.

“Angga bu … Angga kecelakaan …” Kataku.

“Apa??!” Ibu sangat terperanjat.

“Sekarang Angga di rumah sakit Persada. Angga dirawat di sana.” Suaraku dibuat semakin sendu.

“Kita harus cepat ke sana.” Ucap ibu yang langsung berdiri dan berjalan tergesa-gesa keluar dari dapur.

Aku jadi ingin tertawa terbahak-bahak melihat kepanikan ibu. Sambil tersenyum dalam hati, aku ambil Aska di lantai lalu membawanya ke kamar untuk menggantikan pakaiannya. Sekitar sepuluh menit berselang aku, ibu dan Aska sudah bersiap menuju rumah sakit. Ibu sempat menelepon ayah mengabarkan peristiwa ini dan ayah akan segera menyusul dari tempat kerjanya. Aku dan ibu naik taksi untuk mencapai rumah sakit. Tak ada percakapan di dalam taksi, kami terdiam dengan perasaan hati masing-masing. Dalam benakku muncul pemikiran yang sangat tak patut untuk diucapkan. "Mungkin lebih baik Angga mati saja," desisku dalam hati.

Tiba di Rumah Sakit Persada, langkahku dan ibu terhenti sejenak di pintu masuk. Kami kemudian bergegas menuju bagian informasi untuk mencari tahu ruang perawatan di mana Angga dirawat. Setelah menanyakan ke petugas informasi, kami diarahkan menuju ruang perawatan intensif. Aroma antiseptik menyergap begitu kami memasuki koridor yang tenang namun sarat dengan aktivitas medis. Akhirnya, kami tiba di pintu ruangan yang dituju.

Saat pintu ruangan terbuka, aku dan ibu disambut oleh suasana kamar rawat yang tenang. Angga terbaring di tempat tidur putih, damai dalam tidurnya. Mesin-mesin alat medis berdering pelan di sekelilingnya. Angga terlihat damai di bawah sinar lampu kamar rawat. Wajahnya yang biasanya tegar, kini tampak tenang tanpa kesadaran. Sejumput senyum tipis tak sengaja melintas di bibirku saat melihatnya begitu tak berdaya. Pemandangan ini memberi kelegaan yang sulit dijelaskan.

Ibu perlahan duduk di kursi di samping tempat tidur Angga. Ekspresinya penuh kekhawatiran, dan aku dapat merasakan bahwa ibu sangat ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada suamiku. Seorang perawat yang bertugas di ruangan itu mendekati kami dengan sikap ramah. Ia mulai menjelaskan secara rinci kronologis kecelakaan yang menimpa Angga hingga ia berada di rumah sakit ini. Aku duduk di sudut ruangan, pura-pura ikut mendengarkan penjelasan perawat, meskipun sebenarnya pikiranku melayang-layang jauh dari situ. Hatiku masih terhanyut dalam kelegaan melihat Angga yang tak berdaya di tempat tidur. Aku tak sepenuhnya fokus pada penjelasan perawat, karena aku sedang meresapi kepuasan yang terselip dalam hati.

“Kapan anakku akan sadar suster?” Tanya ibu kepada sang perawat.

"Proses pemulihan Bapak Angga memang masih membutuhkan waktu, Bu. Saat ini, kami fokus untuk memastikan kondisi beliau stabil sebelum mencoba untuk membangunkannya dari keadaan koma. Setelah itu, kita akan melihat perkembangannya secara bertahap." Jawab sang perawat.

"Oh, begitu ya. Apa penyebab kecelakaannya, suster? Saya benar-benar tidak tahu apa-apa." Ibu terdengar mendesah.

"Dari informasi yang kami dapatkan, kecelakaan ini disebabkan oleh insiden di jalan raya. Mobil yang ditumpangi Bapak Angga menabrak trotoar dan pohon. Kami masih berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk mendapatkan detail lebih lanjut." Jelas sang perawat dengan penuh perhatian.

"Oh, Tuhan. Semoga Angga segera pulih. Apa yang harus kami lakukan selanjutnya, suster?" Tanya ibu dengan nada yang penuh keputusasaan.

"Yang terbaik adalah memberikan dukungan moril dan doa untuk Bapak Angga. Selain itu, tetap mengikuti petunjuk dari tim medis dalam proses pemulihan. Kami akan memberikan informasi lebih lanjut mengenai perkembangan kondisi beliau. Jangan ragu untuk bertanya jika ada yang perlu dijelaskan." Kata sang perawat dengan penuh empati.

Aku terus menyimak percakapan itu tanpa mengungkapkan banyak reaksi. Meskipun terdapat sedikit rasa kasihan pada Angga, aku berusaha mempertahankan kedalaman rasa puas yang bersarang dalam hatiku. Setelah menjelaskan lebih lanjut, sang perawat menganggukkan kepala dengan ramah sebelum meninggalkan ruangan. Ibu duduk di kursi sambil menatap Angga yang masih tak sadarkan diri, ekspresinya mencerminkan kesedihan yang mendalam. Tak lama kemudian, ibu menatapku dengan tatapan aneh, seolah-olah mengetahui bahwa di balik wajahku yang tenang ini, terselip kelegaan melihat Angga yang tak berdaya. Dalam sekejap, aku merasa seakan-akan rahasiaku terbuka di depannya.

“Apakah kamu sudah tidak mencintai suamimu lagi?” Tanya ibu cukup mengejutkan.

“Ya …” Jawabku sejujur-jujurnya.

“Jadi kamu senang?” Tanya ibuku lagi dengan nada kecewa.

“Ya …” Jawabku lagi tanpa berusaha menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya.

“Kamu tidak boleh seperti itu. Ingat! Dia adalah suamimu, bapak dari anakmu.” Suara ibu cukup tegas.

Aku enggan membalas ucapan ibu. Aku lantas berdiri dan keluar ruang rawat sambil menggendong Aska. Langkahku mantap, tidak terpengaruh oleh seruan ibu yang masih terdengar di belakangku. Meskipun ibu mencoba menegurku, hatiku tetap terkunci rapat, dan perasaan lega atas keadaan Angga semakin membuncah. Aku merasakan bahwa keputusan untuk membuang rasa cintaku pada Angga adalah langkah yang tepat. Meski ibu mencoba memperingati kesalahanku, namun aku tak merasa bersalah. Angga sendiri yang menciptakan jurang di antara kami dengan sikapnya yang egois.

Aku terus melangkah meninggalkan ruang perawatan Angga. Aku pikir lebih baik aku menjenguk neneknya Dimas yang juga sedang dirawat di rumah sakit ini. Langkahku melewati lorong yang tenang, sesekali terdengar suara langkah para perawat yang sibuk melintasi koridor. Saat sampai di lantai empat, aku menyusuri lorong hingga menemukan kamar nenek Dimas. Aku pun mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Nenek Dimas terbaring di tempat tidur dengan wajah yang penuh ketenangan. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat melihatku namun pada saat yang sama mata tuanya agak terbuka sambil melihat Aska yang berada di gendonganku.

“Ini anakku, nek …” Aku langsung berkata sambil memperhatikan ekspresi terkejutnya.

“Oh … Kamu sudah punya anak?” Aku mendengar nada kekagetannya.

“Ya nek … Sudah seharusnya nenek tahu status saya. Saya tidak ingin menyembunyikannya dari siapa pun.” Kataku sambil tersenyum.

“Apakah Dimas sudah tahu?” Tanya nenek Dimas.

“Sudah nek … Tapi rasanya Dimas masih ragu menerima anak saya.” Kataku yang tentu saja karangan indah.

“Dimas tidak boleh begitu. Kalau dia mencintai ibunya, dia juga harus mencintai anaknya.” Suara nenek Dimas begitu lembut dengan senyum manis di bibirnya.

Aku merasa nyaman di dekat nenek Dimas. Dalam perbincangan ringan, aku merasakan kebaikan hatinya yang melekat pada sosok nenek ini. Kini aku tahu nama nenek yaitu Nadia dan senang dipanggil Nenek Nadia. Sambil menggendong Aska di pangkuannya, Nenek Nadia tampak sangat bahagia berbincang-bincang denganku. Keakraban itu terasa alami, dan dalam hatiku, tumbuh rasa kagum kepada nenek yang baik dan bijaksana ini. Dalam wajahnya, tergambar ketulusan yang membuatku merasa seperti menemukan dunia baru yang penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan.

“Nek … Kemana Dimas?” Tanyaku yang tiba-tiba teringat pria tampan itu.

“Dia sedang mengurusi pekerjaannya. Siang ini, dia akan menjemput nenek. Hari ini nenek keluar rumah sakit.” Jawabnya membuatku sangat senang.

“Oh, syukurlah … Semoga nenek terus sehat.” Kataku sambil tersenyum lebar.

Kami terus berbincang-bincang dengan penuh tawa dan canda hingga tak terasa waktu sudah melebihi pertengahan hari. Dimas pun muncul dengan senyum bahagianya. Segera setelah itu, nenek dibawa oleh Dimas keluar dari rumah sakit menuju mobil mewahnya. Mungkin aku benar-benar telah melupakan Angga, ketika Dimas dan neneknya mengajakku untuk ke rumah Dimas, aku tanpa berpikir panjang menerima ajakan mereka. Kami pun akhirnya meninggalkan area rumah sakit bersama-sama.

"Nenek, gimana rasanya sekarang? Udah enakan?" Tanya Dimas yang sedang mengemudi kepada neneknya yang duduk di jok belakang bersamaku.

“Sudah enakan, tapi masih sedikit lemas." Jawab Nenek Nadia.

“Nenek harus banyak makan supaya cepet kuat.” Kataku sambil memperbaiki posisi Aska yang tidak pernah ingin diam dipangkuanku.

“Benar, nek … Nenek harus doyan makan.” Sambut Dimas.

“Iya … Nanti nenek akan makan yang banyak.” Ujar nenek sambil mengambil Aska dari pangkuanku.

Singkat cerita, kami sampai juga di rumah Dimas. Rumahnya, sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di antara pepohonan, membuatku terkesima. Aku melihat sekeliling dengan mata terbuka lebar, tak percaya kalau Dimas memiliki tempat tinggal sehebat ini. Langit cerah di atas kepala kami menjadi latar yang sempurna bagi rumah itu. Dinding-dindingnya yang kokoh dan elegan memberikan kesan yang begitu menawan. Pintu masuknya yang besar, dihiasi dengan detail-detail artistik seolah-olah aku masuk ke dalam istana modern. Ketika pintu rumah terbuka, suasana interior pun mempesonaku. Furnitur yang mewah dan gaya desain yang terasa begitu eksklusif menciptakan suasana kemewahan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Setiap sudut ruangan menunjukkan keanggunan dan keindahan yang luar biasa.

Dimas dengan sopan mempersilahkan kami masuk. Aku terus menatap sekeliling, takjub oleh kemewahan yang mengelilingiku. Lukisan-lukisan indah di dinding, perabotan-perabotan yang begitu elegan, semuanya memunculkan kesan kehidupan yang penuh keberhasilan dan kepuasan. Aku merasa seperti berada di dunia lain, rumah ini sungguh luar biasa. Dimas kemudian memandu kami melalui lorong-lorong yang dipenuhi dengan keindahan dan keanggunan. Setiap ruangan yang kami lewati menyiratkan cerita kehidupan yang gemilang. Aku tak bisa menahan rasa kagumku terhadap Dimas yang begitu sederhana namun memiliki segalanya.

Ketika kami sampai di taman belakang, aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku lagi. Kolam renang yang luas, taman bunga yang penuh warna, semuanya seperti lukisan hidup yang begitu sempurna. Aku melihat Dimas dengan mata yang penuh kagum, tak hanya terhadap rumahnya, tetapi juga terhadap pribadinya yang ramah dan rendah hati. Aku berpikir, rumah Dimas bukan hanya tempat tinggal yang mewah, melainkan juga cerminan dari jiwa dan karakter Dimas yang luar biasa.

Saat ini, aku dan Nenek Nadia menikmati suasana damai di tengah taman yang memukau, terletak dengan apik di bagian belakang rumah Dimas. Kami berdua duduk di sebuah gazebo yang cantik. Keindahan taman ini semakin terpancar dengan adanya kolam renang yang indah di sebelahnya. Suara riak air dan kehijauan pepohonan di sekitar memberikan kesan tenang dan nyaman pada setiap sudut halaman ini. Senang melihat Dimas dan Aska bermain di kolam renang. Kebahagiaan dalam hatiku langsung terasa.

“Taman ini begitu indah ya nek. Saya sangat senang bisa berada di sini." Kataku sambil mengagumi keadaan sekitar.

Nenek Nadia tersenyum penuh kasih. "Benar, Dewi. Rumah ini adalah hasil jerih payah Dimas. Cucuku itu memang pekerja keras sampai melupakan dirinya sendiri yang harus segera mempunyai pasangan hidup.” Ucapnya sambil mengalihkan pandangan ke arah Dimas yang sedang bermain-main dengan Aska di kolam renang. Dengan nada serius, nenek berkata, "Dewi, aku ingin kalian menikah segera."

Aku tersenyum malu, "Nenek, hubungan kami masih terlalu muda. Kami masih harus saling mengenal satu sama lain sebelum memikirkan pernikahan."

“Kalian bisa saling mengenal dalam masa pernikahan. Nenek yakin, kalian bisa melakukannya dengan baik.” Ujar nenek setengah memaksa.

"Nenek, saya menghargai keinginan nenek. Tapi kami butuh waktu untuk membangun pondasi yang kokoh.” Kataku coba bertahan.

Nenek menggenggam tanganku dengan lembut. "Dewi, nenek tahu kalian berdua saling mencintai. Dan nenek yakin, kamu bisa melewati semua rintangan bersama. Keluarga adalah hal yang paling berharga. Kamu dan Dimas memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan warisan ini."

Aku menarik napas dalam-dalam, "Nenek, saya berjanji kami akan memikirkannya. Kami tidak akan membiarkan harapan nenek sirna. Tetapi tolong beri kami waktu untuk tumbuh bersama dan mempersiapkan segala sesuatunya."

Nenek tersenyum, "Itu dia, Dewi. Nenek tahu kamu bisa mengerti. Keluarga adalah segalanya, dan nenek yakin kamu dan Dimas akan membuat keluarga yang luar biasa.”

Aku seperti terbawa arus pembicaraan ini. Diam-diam aku menginginkan kalau hal ini bukanlah sekedar sandiwara. Meski awalnya hubunganku dengan Dimas hanyalah permainan peran, aku mulai merasa tertarik melihat kebaikan hati dan kesejahteraan yang dimiliki pria tampan itu. Ketika melihat Dimas dengan penuh kasih sayang mengelap tubuh Aska yang basah setelah bermain di kolam renang, hatiku semakin terpesona. Matanya penuh perhatian saat menyeka tetesan air di wajah kecil Aska, dan senyum kebahagiaan Aska membuat perasaanku berkembang menjadi sesuatu yang sulit dijelaskan. Aku merasa sebuah keinginan yang tulus untuk menjadi bagian dari keseharian Dimas.

Akhirnya, aku harus kembali ke rumah sakit karena hari telah sore. Aku menolak tawaran Dimas untuk mengantarkan aku ke rumah sakit, menjelaskan bahwa nenek lebih membutuhkannya daripada aku. Dimas dengan pengertian mengizinkan dan memerintahkan supirnya untuk mengantarkan aku ke rumah sakit. Sekitar satu setengah jam kemudian, aku tiba di rumah sakit dan segera menuju ruang perawatan Angga. Di sana, aku disambut oleh ayah dan ibu dengan tatapan kecewa. Ayah kemudian mengambil Aska dari gendonganku kemudian memberikan anakku itu pada ibu. Kemudian, ayah mengajakku keluar ruangan dan tanpa membantah aku mengikuti ayah keluar ruangan.

“Angga memerlukan dukunganmu agar cepat sadar. Tapi kamu malah pergi. Walaupun kamu sudah tidak mencintainya lagi, tapi tolong bantu Angga sembuh dulu. Setelah itu, kamu bebas untuk pergi meninggalkan Angga.” Ujar ayah yang terdengar sangat kecewa.

“Angga tidak membutuhkan dukunganku. Aku pikir, dia bahkan menolak kehadiranku di sini. Dia sangat membenciku, ayah.” Jawabku.

“Tidak! Itu salah. Dia mencintaimu.” Tegas ayah.

“Omong kosong. Dia membenciku. Lagi pula, aku sudah tidak peduli lagi, apakah dia mau selamat atau tidak, itu bukan urusanku lagi. Aku sudah menganggapnya orang lain, bukan suamiku lagi. Sebaiknya aku pergi, aku tidak ingin ada perdebatan lagi tentang masalah ini.” Kataku sembari meninggalkan ayah begitu saja.

Langkahku mantap keluar dari rumah sakit, menuju taksi yang menanti. Dalam perjalanan pulang, pikiranku melayang pada nasib rumah tanggaku. Tidak ada lagi yang harus aku pertahankan, dan perpisahan adalah langkah yang harus diambil. Pernikahan yang telah terjalani selama ini, bukan lagi sumber kebahagiaan. Aku tak ingin mempertahankan sesuatu yang sudah rapuh, tanpa arah. Saat taksi membelok masuk ke halaman rumah, aku melihat rumahku sebagai saksi dari perubahan ini. Keputusanku sudah final, tanpa keraguan, untuk menyelesaikan hubunganku dengan Angga. Aku membawa perasaan lega, karena kini aku mengarah pada kebahagiaan yang baru, tanpa ingin lagi memandang mundur pada ruang dan waktu yang telah terlewati bersama Angga.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd