Chapter 7 - Getaran Kenikmatan
Hari ini, aku sengaja tidak praktek. Aku mengantar Malvin ke bandara untuk perjalanan bisnisnya. Sedikit sekali rasa rindu ketika mengetahui bahwa aku tidak akan bertemu tunanganku selama lebih dari dua minggu. Aku menemaninya makan siang dan menunggu di bagian luar bandar udara. Kami berciuman kecil sebelum Malvin masuk ke gate untuk segera boarding. “Sampai jumpa ya Rene, telpon saja kalau kangen”, kata Malvin, yang kujawab dengan anggukan kecil yang tanpa arti.
Setelah memastikan bahwa Malvin telah berangkat, aku mengambil ponselku dan memanggil seseorang. Tidak lama kemudian, sebuah mobil hitam yang tidak asing mendekat. Memang, tadi pada saat aku dan Malvin berangkat, kami memang tidak menggunakan mobil pribadi. Aku tidak tahan menyetir terlalu lama, sehingga kami menggunakan jasa taksi online.
Ketika mobil itu berhenti di depanku, pengendaranya sengaja keluar. Tubuh tingginya itu sengaja membungkuk, dengan tangan yang sedikit kekar kecoklatan itu memegang gagang pintu mobil dan membukakan pintu untukku. Wajah coklatnya tersenyum, senang sekali melihatku. Akupun masuk dan segera duduk di kursi depan, sementara pria tadi, yang tidak lain adalah Chris, segera menjalankan mobilnya.
Kami mengobrol santai sembari Chris menyetir. Pembicaraan dari biasa-biasa saja, pekerjaan, berita, sampai ke arah yang sedikit nakal. Aku sudah nyaman dengan kehadirannya, yang (aku tidak mau mengakui bahwa) mengisi lagi hatiku dengan rasa cinta. Kami sempat mencuri-curi ciuman ketika mengantre di gerbang tol, layaknya remaja yang baru dimabuk cinta. Meski, aku tahu ini tidak boleh.
Karena aku sudah makan siang, kami memutuskan untuk langsung saja ke apartemen Chris. Dalam perjalanan, entah bagaimana pembicaraan kami, tiba-tiba kami membahas manfaat going commando, alias tidak mengenakan pakaian dalam.
“Itu memang lebih sehat sih, penis dan payudara jadi nggak tertekan. Dan mitos bahwa nanti payudara mengendur memang masih belum dibuktikan sih. Tapi untuk yang ukurannya besar, pasti jadi berat dan susah bergerak”, jelasku, masuk dalam mode dokter.
“Kalau Ling, tidur nggak pakai dalaman dong?”, tanya Chris, tanpa maksud apa-apa.
“Masih kok, cuma cari yang enak dipakai saja. Rasanya agak malu kalau nggak pakai bra sama celana dalam”, jawabku sedikit malu, yang disambut dengan kekeh Chris. Tawanya juga akhirnya membuatku nyengir saja.
“Ling kan dokter, masa enggak nurut nasehat sendiri?”, kata Chris menggodaku. Namun tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi nakal, yang aku kenal betul karena itulah ekspresinya ketika memberikanku kostum atau lingerie sebelum kami bercinta. Aku merinding, takut sekaligus bergairah menunggu apa yang akan kami lakukan.
“Kalau sekarang Ling lepas daleman aja gimana?”, tanyanya setengah bercanda. Tapi aku bisa merasakan harapan dari nada bicaranya.
“Chris, enggak ah, aku kan bukan eksib”, jawabku dengan cepat menolak.
“Ayolah, katanya lebih sehat. Lagian ini bukan eksib kok, kan Ling masih pakai baju”, mintanya lagi.
“Enggak deh Chris, malu”, kataku lagi. Aku bisa merasakan bahwa mukaku memerah. Aku tidak bisa membayangkan tidak memakai pakaian dalam, lambang pertahanan terakhirku sebagai seorang wanita. Apalagi di luar rumahku.
“Kenapa harus malu? Kan kita enggak di tempat rame. Enggak ada yang tahu kok”, bujuk Chris. Jika soal negosiasi atau berargumen menggunakan logika, Chris jauh lebih baik, sehingga sering dia bisa mendapatkan apa yang dia mau. Meski yang kusuka, dia tahu kapan untuk tidak melakukan hal itu. Dan waktu ini bukanlah salah satunya.
Karena bujukan Chris, aku pun luluh juga. Dia berjanji tidak akan melakukan yang aneh-aneh sampai kami tiba di apartemennya.
Saat itu, aku sedang memakai pakaian formal dengan atasan berwarna putih, dengan rok berupa span berwarna hitam selutut. Perlahan, kulepas tiga kancing depan kemejaku, menunjukkan bra putihku yang tipis. Setelah kedua tali bahu, kuputar bra ku itu dan kulepaskan kaitnya, sebelum kusimpan langsung ke tas kecil yang kubawa. Aku segera mengancingkan kemejakku lagi, entah kenapa ada rasa takut bercampur gairah meskipun aku yakin bahwa tidak ada yang bisa melihat adegan ini selain Chris yang sedang fokus menyetir.
“Sudah, Chris”, kataku malu, sambil kedua tanganku bersilang di dadaku. Seolah aku tidak memakai atasan apapun, dan dadaku bebas dilihat semua orang di dunia. Memekku juga rasanya senang, kurasakan bagian kewanitaanku itu mulai melembap, mengetahui apa yang akan terjadi nanti di apartemen Chris.
Chris hanya berkata santai, “Celana dalamnya juga dong”. Membuatku terbelalak. Tanganku bergetar, sebelum kunaikkan kedua kakiku sedikit, merapat. Kedua tanganku masuk ke dalam rokku, membuatnya tersingkat hingga menampilkan bagian atas pahaku. Merasa kesulitan, aku kemudian melepas ritsleting rokku, dan mengangkat pinggangku sedikit untuk melepas celana dalamku. Kain putih halus itu turun dibimbing kedua tanganku hingga mata kaki. Aku bisa melihat adanya cairan khas wanita, sedikit, tapi aku tentu malu. Segera kusimpan celana dalam itu, takut bahwa Chris sadar bahwa aku basah. Setelah aku bersikeras bahwa aku bukanlah eksibisionis.
Chris bersikap biasa. Namun aku bertambah malu, dan sensitif. Aku bahkan bisa merasakan putingku yang tersembunyi itu, menyembul, membuat jiplakan kecil di kemejaku. Memekku juga sudah mulai basah, aku entah kenapa membayangkan akan dientot di luar ruangan oleh Chris, tidak tahu siapa yang melihat. Sifat Chris yang biasa saja juga membuatku semakin malu. Aku mencoba untuk tidak mengindahkan rasa malu dan gairah ini, dan berkonsentrasi berbicara dengan Chris.
Tidak butuh waktu lama untuk tiba di apartemen Chris. Dari berjalan ke parkiran, aku berjalan dekat sekali dengan Chris. Aku menggandeng lengannya dengan satu tangan, mencoba menyembunyikan diriku. Takut bahwa ada orang lain yang tahu bahwa aku tidak memakai apapun lagi di balik dua helai kain yang kukenakan. Aku menarik rok ku kebawah, takut tersingkap meskipun rokku itu bentuknya span.
Chris hanya tersenyum melihatku, aku bisa merasakan keisengan di matanya. Namun dia tidak melakukan apapun, tidak sesuai sangkaanku. Dia mengantarku dengan hati-hati sampai ke tempat tinggalnya, membuatku lega. Tidak perlu takut lagi dengan aksi “eksib” ini.
Meskipun begitu, Chris tetap tidak memperbolehkan aku mengenakan kembali bra dan celana dalamku. Aku entah kenapa merasa tidak seaneh tadi, apa karena sudah terbiasa? Apapun itu, aku mengikuti sarannya. Kami kembali mengobrol hal-hal yang ringan, dan terkadang menjurus. Terutama karena aku yang tidak memakai dalaman. Aku bisa melihat tonjolan di celananya Chris.
Melihat arah mataku, Chris tersenyum. Dia berdiri, lalu membuka baju dan celananya. Melepas semua kain yang melekat di tubuhnya, menampakkan kontolnya yang tegang mengeras. Aku merasa semakin bergairah, rasa hangat dan cair mengalir di dalam memekku. Aku juga mulai membuka semua pakaianku, sehingga kami berdua telanjang di sofa.
Chris tidak langsung menyerangku. Dia duduk kembali, memberikan isyarat bagiku untuk duduk di sebelahnya. Menyenderkan kepalaku ke bahunya, dan mengelus-elus rambutku. Akan terasa sangat romantis, jika kami tidak bugil, dan baik kontol Chris maupun memekku tidak dalam keadaan siap bercinta.
Perlahan, aku mendekat. Bibirku menyentuh bibirnya pelan, yang tidak lama segera berubah menjadi cumbuan liar. Bibir kami saling mencoba mendominasi percintaan ini. Tangan kami juga ikut merangsang pasangan masing-masing. Kurasakan kontol Chris sudah basah dengan cairan pelumasnya, sementara aku menikmati permainan jari Chris di klitorisku dan memekku.
Kami berpindah ke kamarnya. Aku berbaring di ranjang, menunggu kehangatan dari Chris. Tapi dirinya malah berjalan ke lemari, mengambil sesuatu. Aku terkesiap, tidak mampu berkata-kata dengan apa yang dipegang oleh Chris.
Benda itu berbentuk lonjong, berwarna pink. Ukurannya sedang, lebih ke arah kecil. Ya, sebuah alat pemuas gairah sex wanita, vibrator. Remote tanpa kabel juga terlihat. Aku merinding, teringat bagaimana aku pernah melakukan masturbasi menggunakan getaran ponselku sendiri.
Chris mendekat. Perlahan, kami bercumbu lagi, sementara benda itu kudengar bergetar. Aku melenguh tertahan, melepas ciuman kami ketika getaran itu terasa di bibir memekku. Chris membiarkanku terbiasa sejenak, sebelum kembali memburu bibirku dan mengajak lidahku menari. Kubalas dengan gairah yang luar biasa, dengan sebuah sensasi baru namun tak asing menyerang bagian sensitifku. Chris juga terkadang membuat vibrator itu “menyentuh” klitorisku, membuatku mengejang. Tangan kirinya yang menyangga tubuhnya, turut memainkan kecepatan vibratornya, membuatku kelabakan.
“Sayang, masukkin”, rayuku, tidak sabar ingin dipuaskan. Aku sudah tidak tahan, tidak malu lagi menunjukkan sisi binalku di depan Chris. Aku mengangkang, melebarkan pahaku dan memamerkan memekku yang sudah basah dan siap menampung kontol Chris.
Chris menindihku, kembali berciuman. Namun tidak mengindahkanku, kembali dimainkannya memek dan klitorisku dengan vibrator. Aku melenguh makin keras, hingga tiba-tiba kurasakan getaran itu masuk ke dalam memekku. Aku mendesah, menjerit keras atas sensasi baru ini.
Meski tidak bisa membuat memekku terasa penuh, tapi getarannya menimbulkan perasaan yang aneh namun nikmat. Terasa memekku berdenyut, seolah memijat vibrator itu untuk keluar. Tapi Chris menahannya, dan terkadang menekannya untuk masuk lagi lebih dalam jika vibrator itu hampir jatuh keluar. Aku sedikit tersiksa dalam kenikmatan, nafsuku naik dengan cepat, namun orgasme tidak kunjung datang. Bahkan lebih jauh dibandingkan dengan seks bersama Malvin, karena kenikmatan yang kurasakan lebih nikmat.
Aku mengejang, vibrator itu terlepas dari memekku yang sudah sangat basah. Aku memejamkan mata dan menarik nafas terengah-engah, masih meresapi kenikmatan yang kudapatkan. Namun, kurasakan Chris menindihku, dan sebuah batang keras yang tidak asing masuk, menggantikan vibrator.
“AAAHHHHHH”, teriakku keras, menyambut orgasme yang tumpah ruah seiring tekanan yang diberikan kontol Chris kepada rahimku. Jalaran kenikmatan dapat kurasakan tidak hanya melalui memekku, tetapi merambat ke seluruh tubuhku. Aku lemas, Chris juga sepertinya paham karena dia tidak menggerakkan batang kenikmatan miliknya. Membiarkan aku beristirahat sebentar.
“Chris, lagi”, kataku manja, masih sambil terengah-engah. Yang langsung disambut dengan genjotan kontol Chris secara perlahan. Aku mendesah, menandakan bahwa rahimku siap digempur lebih keras. Chris juga mulai menggoyang dengan cepat. Kami saling beradu, berlomba untuk bisa mencapai kepuasan masing-masing dan pasangan kami dalam percintaan yang kasar namun penuh cinta ini.
“CHRIS, AKU NYAMPE LAGI”, desahku keras, menyambut orgasme keduaku kali ini. “TAHAN, LING, AKU JUGA BENTAR LAGI MAU SAMPE”, balas Chris, dengan genjotan kontol yang sangat cepat. Menabrak-nabrak rahim dan menggesek titik paling sensitifku. Ciuman kontolnya di mulut rahimku membuatku mencapai orgasme dengan cepat, dan teriakan kencang menjadi penanda merdu untuk Chris. Dia pun juga menusuk dalam-dalam memekku dan menumpahkan cairan spermanya ke dalam rahimku, yang terasa penuh dan hangat.
Kami berdua terengah-engah. Terutama aku, yang sudah dua kali mencapai puncak kenikmatan. Tapi dapat kurasakan bahwa kontol milik Chris (dan memekku) masih ingin merasakan kenikmatan. Kembali kami bercumbu lembut, mencoba mendinginkan gairah kami yang panas sebelum masuk ronde ketiga.
***
Kami berbaring kelelahan. Aku sudah keluar empat kali, dan merasakan hangatnya cairan sperma milik Chris dua kali. Tidak hanya itu, berbagai gaya kembali kami coba hari ini. Aku yang sedang berbaring di lengan Chris mulai bangun, mencium Chris sekali lagi, lalu mulai berjalan menuju kamar mandi milik Chris. Membersihkan diri dengan rapi. Chris bahkan sudah menyiapkan sabun, conditioner, dan lotion yang biasa kupakai. Selama aku mengeringkan tubuh dan memakai lotion, gantian Chris yang mandi sekarang.
Kami berdua sekarang sudah memakai pakaian masing-masing. Tapi ada sedikit kenakalan dari Chris.
Ketika aku ingin memakai pakaian dalam, Chris memberiku pilihan, untuk kembali going commando, atau boleh memakai celana dalam, dengan satu syarat.
Aku berjalan dengan canggung, mencoba mengikut Chris yang berjalan di depanku. Di dalam lift, sambil menunggu kami sampai di lantai basement tempat Chris parkir, tiba-tiba kurasakan getaran yang sedikit menyengat di memekku. Aku langsung berlutut, tidak tahan dengan serangan yang menggelikan dan memberi kenikmatan.
Chris hanya menyengir. Di tangannya terdapat sebuah remote yang tidak asing, karena baru saja aku lihat tadi. Ya, saat ini Chris sedang mengendalikan vibrator yang berada di dalam celana dalamku. Memberikan getaran kenikmatan langsung ke bibir memekku ini. Aku sendiri yakin bahwa ketika pulang nanti, celana dalamku akan sangat basah.
Pintu lift terbuka. Aku langsung berdiri, mencoba untuk tidak menghiraukan getaran yang menggaruk memekku yang gatal. Dengan pelan, kugaet lengan Chris agar dia tidak berjalan terlalu cepat, membuat cara berjalan kami tampak aneh. Kami berjalan perlahan, melewati seorang janitor yang tengah membersihkan parkiran basement.
Jantungku berdegup dengan kencang. Lagi-lagi ada sebuah perasaan aneh yang menjalar ke tubuhku, seperti tadi ketika dalam perjalanan dari bandara. Takut orang lain mengetahui kenakalan yang sedang kulakukan, namun bercampur dengan gairah luar biasa. Aku seolah melihat, bahwa mata janitor itu melihatku dengan tatapan yang menelanjangi. Yang akan menyerang tubuhku jika aku lengah. Kupeluk dengan lebih erat lengan Chris.
Menyadari hal itu, Chris langsung mengelus kepalaku. Lengannya yang kugaet itu sedikit melepaskan diri, lalu melingkar memeluk pinggangku. Membuatku sedikit merasa aman. Sampai akhirnya kami sampai ke mobil Chris.
Aku sedang membuka pintu, mencoba masuk ketika tiba-tiba getaran vibrator itu menjadi semakin kencang. Kembali aku berlutut, tidak tahan dengan rasa geli bercampur nikmat itu. Aku menatap Chris dengan pandangan kesal, sekaligus malu, yang diikuti dengan matinya getaran kenikmatan itu di memekku.
Ketika kami sudah berada di dalam mobil, aku segera menarik kerah Chris untuk kearahku, dan kucium liar bibirnya, yang langsung dibalas liar oleh Chris. Kami saling berpagut dan kembali bercumbu. Dirabanya payudaraku dengan halus dari luar kemeja yang kukenakan, membuatku baru ingat bahwa aku sama sekali tidak memakai apapun dibalik kemejaku itu. Rangsangan dari vibrator itu sampai membuatku tidak peduli dengan keadaan tubuh bagian atasku.
Kembali Chris menyalakan vibrator itu, sembari tangannya ikut menari mengarahkan mainan seks itu ke arah klitorisku. Aku kembali bernafsu, tanganku kuarahkan ke selangkangan Chris yang kurasakan kembali mengeras. Kubuka ritsleting celananya dan kubebaskan kontol gagah itu dari sarangnya, dan segera kuberikan servis menggunakan bibir, lidah, dan mulutku.
Tanganku satu lagi kini memainkan memekku sendiri, dibantu dengan vibrator berwarna pink itu. Membuatku menjadi semakin liar dalam menghisap batang kekar Chris, dan tidak butuh waktu yang lama sampai kontol itu mengeluarkan cairannya di dalam mulut dan tenggorokanku. Aku menelan cairan kelaki-lakian milik Chris itu, dan membersihkan sisa-sisa sperma di pinggiran bibirku.
Jari Chris kembali menari mengarahkan kenikmatan di dalam memekku, sembari aku menekan vibrator ke klitorisku. Aku mengerang tertahan, mencoba untuk tidak membuat keributan di tempat yang bukan ruang pribadi ini. Akhirnya kembali kunikmati orgasme kecil, dan segera kulepas vibrator itu dari memekku.
Kepalaku terasa sedikit ringan, kelelahan dibanjiri oleh hormon kenikmatan berkali-kali dari tadi siang. Chris menunggu aku siap kembali, baru menstarter mobilnya. Tidak banyak percakapan yang kami lakukan, karena aku sendiri kelelahan. Sesampainya di rumahku, Chris menahanku yang ingin membuka pintu mobil.
“Ling, kalau besok kita coba tinggal bareng, bagaimana?”.