Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT In Too Deep (NO SARA)

Apakah perlu ditambah bumbu-bumbu incest di cerita ini atau tidak?


  • Total voters
    537
  • Poll closed .
-Frenemy-

Hani



Sofi



Bella



Kak Liya



Mamah


======

Seperti yang sudah direncanakan olehku dan Ummi, aku akan membawa Hani pergi ke psikiater. Rencanaku dengan Ummi ini sudah direncanakan matang-matang, karena Hani tidak bisa tahu kalau aku akan membawanya ke psikiater.

Hani juga awalnya sangat ketakutan ketika aku mengajak dia keluar lagi dengan iming-iming "membawanya ke tempat yang bisa melepaskan kegundahannya" meski setelah diyakinkan dengan Ummi juga akhirnya Hani mau, dan ketika Arya kami jelaskan dengan kejadian ini, Arya malah menganggap kalau ini adalah rencana yang bodoh karena ujung-ujungnya kami hanya menghamburkan uang, dan Hani juga menurutnya hanya terkena panic attack kecil, namun Arya langsung dimarahi Ummi karena Hani pun juga sudah jelas kondisinya masih sangat parah dan masih jauh dari kata sembuh.

Menurut cerita yang diberikan oleh Ummi, Hani masih sangat paranoid sehingga hanya sekedar teguran sapa di dalam rumah pun Hani masih sangat terkejut kaget.

Bahkan menurut Ummi, ini sangat jauh dari gejala-gejala sebelumnya karena setidaknya sebelum aku pulang, Hani selalu merasa tenang ketika berada di luar kamarnya, oleh karena itu sepertinya Hani memang perlu bantuan dari yang ahli.

Aku bahkan tidak tertarik untuk mencari tahu dan menghajar reporter sialan itu. Semua itu telah terjadi, dan apapun yang akan kulakukan ke dia, tidak akan mengubah hasil dari kejadian itu. Lagipula biarlah, memang dasarnya cara bermain media seperti itu.

------

Tepat jam 10 siang, aku sampai dirumah Hani, dan setelah menitipkan mobilku ke mang Ucup, aku langsung berjalan menuju ke depan pintu dan mengetuk pintu rumahnya.

*Tokk... Tokk... Tokk...*

Tak lama kemudian, pintu terbuka dari dalam dan aku langsung melihat Ummi yang masih mengenakan robe tidurnya yang kecil membuat kedua payudara terlihat besar menantang. Namun aku tidak merasakan ada hasrat sama sekali, karena saat ini fokusku lebih tertuju ke kondisi Hani.

"Akhirnya dateng juga, kok tumben lama, Bay?" Tanya Ummi sembari aku menyalimi tangannya.

"Kesiangan aku, Mi, mana macet juga" Jawabku, dan setelah itu Ummi mengajakku duduk di ruang tamu.

"Hani nya masih belom rapih, Mi?" Tanyaku setelah kami berdua duduk di sofa.

"Udah lagi beres-beres kok, tunggu aja sebentar lagi" Jawabnya, dan setelah itu kami berdua mengobrol singkat.

Sembari kami mengobrol pun, Arya yang juga sudah rapi berjalan melewati kami berdua, tanpa menyapa ataupun memberi salam, dan tentu saja Ummi terpancing amarahnya.

"Arya, kamu mau kemana? Nggak salam, nggak apa, ini lagi ada Bayu loh" Ucap Ummi, namun Arya menjawabnya dengan ketus.

"Kemana kek, udah urusin kak Hani sama Bayu aja sana" Jawabnya ketus.

"Hih, Arya, kamu tuh makin kesini makin ngelunjak ya?!" Balas Ummi mulai emosi dan berjalan menghampiri Arya.

"Ya yaudah, Arya juga punya urusan, Arya udah gede, Ummi nggak perlu ikut campur sama urusan Arya" Kembali jawabnya, dan akhirnya aku yang juga emosi pun langsung berjalan menghampiri Arya yang membelakangiku, dan aku langsung memutar badannya hingga kami berhadapan.

"Heh, bangsat, gua nggak peduli lu mau nggak suka sama gua, tapi at least unjukkin rasa hormat lu sama ibu lu sendiri!" Ucapku yang juga ikut memancing emosi Arya.

"Heh, lu siapa gua emang?! Cuma karena lu pacar kakak gua, bukan berarti lu bisa ngatur hidup gua!!" Teriaknya emosi, dan dia langsung mendorong dadaku dan setelah itu dia beranjak pergi.

"Yaampun, tuh anak kenapa, sih?" Ucap Ummi sembari melihat kearahku.

"Lah mana aku tau, kan Ummi yang jadi ibunya" Jawabku asal, dan setelah itu kami mendengar suara pijakan menuruni tangga, menandakan kalau Hani sudah siap.

"Noh, calon istri kamu udah siap" Bisik Ummi meledekku.

"Amin, Mi, Amin, hahahah" Balasku bercanda, dan kini Hani sudah berada di depan kami berdua.

"Aduh, ini malaikat nyasar apa gimana? Kok ada malaikat di depan aku?" Candaku memuji kecantikan Hani yang mengenakan gamis.

"Ih apasih kamu, aneh-aneh aja" Jawabnya ketus.

"Yaudah, kita mau jalan sekarang aja?" Lanjutnya.

"Yaudah kamu masuk mobil duluan aja, ya, Ummi mau ngomong sama Bayu sebentar" Jawab Ummi, dan setelah itu Hani menurut dan berjalan keluar.

"Kenapa, Mi?" Tanyaku bingung setelah memastikan Hani sudah memasuki mobilku.

"Bay kamu harus hati-hati loh" Jawabnya.

"Iya, Mi, buset dah, masa iya Hani aku lepas gitu aja?" Balasku sewot.

"Ih, bukan gitu, kamu lupa Hani cerita kalo 'orangnya' udah ngancem dia buat nggak ketemu kamu?" Kembali balas Ummi.

Oh iya, aku lupa terkait ancaman itu.

"Apalagi kamu sama dia udah ketangkep media, pasti 'dia' tau kalo Hani abis pergi sama kamu, kan?" Kembali tanyanya.

"Tapi on the bright side nya, kalo dia emang tau, kejadian ini bisa narik 'dia' lebih deket ke kita, kan?" Jelasku.

"Nah inii yang ingin Ummi sampein ke kamu, kamu harus hati-hati kalo kamu ngeliat ada orang yang ngintilin kamu, dan kalo bisa, tarik orangnya biar kita bisa tau apa dia pelakunya atau bukan" Jawab Ummi menjelaskan.

"nih pake mobil Ummi aja, takutnya ada orang media yang ngikutin mobil kamu" Lanjut Ummi sembari memberiku kunci mobilnya.

"Yaudah kalo gitu, aku pamit ya, Mi" Pamitku.

"Inget, Bay, kamu harus hati-hati" Balasnya, dan setelah itu aku langsung menghampiri Hani dan mengajaknya pindah mobil.

-----

Di jalan, entah kenapa, Hani merasa sangat tenang, beda dengan yang diceritakan oleh Ummi. Dia terlihat bisa menikmati pemandangan sembari menggambar di bindernya, dan aku juga melihat dia tersenyum.

"Heh, ngapain senyum-senyum sendiri" Ucapku sengaja mengagetkan Hani karena aku ingin mengetes paranoia nya.

"Eh, kaget aku" Reaksinya, tak menandakan adanya gejala paranoia lagi.

Apa dia sudah pulih?

"Kamu kayaknya daritadi senyum-senyum aja, kenapa?" Tanyaku, namun Hani malah kembali senyum-senyum, tak menjawab pertanyaanku sama sekali.

Yah yasudah lah, setidaknya kini aku tahu Hani sudah mulai tenang.

Ketika kami sudah mau sampai ke tujuan, Hani tiba-tiba membuka jepitan bindernya dan dia mengeluarkan kertas yang baru saja dia gambar tadi.

"Nah, selesai deh" Ucapnya bahagia.

"Gambar apa sih daritadi?" Tanyaku kepo, dan Hani langsung memberikan kertas itu.

"Nih liat, bagus nggak?" Tanyanya.

Di kertas itu, terlihat ada sesosok anak kecil berlinang air mata meski terlihat dia sedang tersenyum. Selain itu, dia memeluk seorang lelaki berotot dan bersayap yang melindunginya dari serangan panah dengan sayapnya, dan selain itu dia juga menuliskan "My Guardian Angel" Trpat di sisi kiri bawah kertas.

"Ini makna gambarnya apa?" Tanyaku.

"Gambar ini buat kamu, kamu 'Guardian Angel' aku" Jawabnya tersenyum yang ikut membuatku tersenyum juga.

"Entah kenapa, kalo nggak ada kamu, aku nggak bisa tenang sedikitpun, dirumah aja aku kadang masih suka gelisah," Jelasnya.

"Tapi pas ada kamu, aku bisa lebih tenang, aku bisa lebih ngerasa nyaman, meski yang harusnya berbahaya apalagi 'mereka' ngancem aku buat nggak ketemu kamu, tapi aku bisa ngelupain itu semua kalo aku lagi sama kamu" Lanjutnya mengakhiri penjelasannya.

Tidak mungkin aku tidak meleleh melihat perlakuan Hani seperti ini. Ditambah dengan keimutannya juga, semua laki-laki pasti akan sangat baper dengan Hani jika diperlakukan seperti ini olehnya.

"Jangan jauh-jauh dari aku ya kalo gitu" Jawabku sembari menggenggam tangannya erat.

"Apa aku ikut pindah ke rumah kamu aja, ya? Bukannya ada kamar kosong? Tapi percuma juga sih paling ujung-ujungnya aku tidur sama kamu juga hehehhe" Canda Hani yang membuatku langsung termenung.

Mungkin memang benar, Hani sebaiknya tinggal denganku. Karena jelas, Hani meraaa jauh lebih aman dan tenang ketika berada di dekatku. Tapi itu hanya memecahkan satu solusi dari sejumlah solusi yang ada. Kalau antara aku dan Hani ada yang pindah ke antara rumah masing-masing, sepertinya bisa berbahaya untuk keluarga yang akan ditinggal, karena jelas, semuanya masih sangat abu-abu.

"Kayaknya lebih baik begini dulu sampe semua masalahnya selesai, Han" Ucapku pelan setelah aku melepas napas panjang.

"Iya sih, mungkin emang lebih baik begini" Jawabnya berat.

Kini kami sudah dekat dengan tempat praktek dokter yang sudah dihubungi oleh Ummi, dan tempatnya yang jauh dari pemukiman ini sangat mendukung rencana kami karena pasti Hani tidak akan menduga kalau aku akan membawanya ke psikiater.

"Kita mau ke air terjun lagi?" Tanyanya.

"Nggak, kok, ke tempat yang jauh lebih kalem" Jawabku, dan setelah itu aku langsung membelokkan mobilku ke tempat yang dimaksud.

Hani tentu saja kebingungan, dan sembari aku memarkirkan mobilku, Hani terus melihat sekitar kebingungan ada dimana kami sebenarnya.

"Sayang, ini tempat apa?" Tanyanya.

"Ini.... Psikiater" Jawabku berat, dan terlihat raut terkejut dari wajahnya.

"Kok... Kamu bawa aku.... kesini??" Tanyanya lirih.

Namun, aku tidak menjawabnya. Aku hanya terdiam sembari mengelus tangannya yang daritadi kugenggam.

"Sayang...." Ucapnya lirih, dan aku mulai mempersiapkan diri untuk menjawab perkataannya.

"Kamu... Ngga mikir aku jadi gila, kan?" Tanyanya yang malah membuatku tertawa.

"Hahahahaha, nggak kokk, kamu ngga gila, tapi udah bukan rahasia kalo kondisi psikis kamu lagi nggak baik sekarang," Jawabku.

"Kan kamu yang bilang, kamu jauh lebih tenang kalo lagi di deket aku, tapi kalo aku jauh dari kamu? Makanya kamu perlu sembuh dari paranoia kamu ini" Lanjutku menjelaskan.

"Aku...." Balasnya yang kemudian langsung kupotong.

"Sayang, kamu juga pasti pengen kan hidup normal lagi, tanpa harus gelisah setiap hari? Udah banyak hal kita coba, namun semuanya nggak menghasilkan perubahan yang signifikan, dan sekarang mungkin dengan ahlinya, kegelisahan kamu bisa ilang, okay?" Jelasku, dan Hani tersenyum lebar sembari mengangguk.

"Yaudah, kita masuk ya, Ummi udah nge-book sesi tiga jam buat kamu ngobrol sama psikiaternya" Ajakku, dan setelah itu kami keluar dari mobil yang dilanjut dengan saling menggandeng memasuki tempat ini.

-----

Satu jam sudah berlalu, dan tentu saja aku mulai merasa bosan karena aku sendirian disini. Tempat ini juga jauh dari perkotaan dan tidak ada kafe atau restoran di dekat sini. Alhasil aku hanya bisa menunggu di tempat yang menyerupai rumah ini.

Akupun memutuskan untuk pergi keluar, dan aku langsung berjalan menuju mobilku untuk pergi membeli cemilan di minimarket terdekat, dan baru ketika aku mau membuka pintu mobilku, terlihat ada mobil yang memasuki area parkiran.

Akupun membiarkannya, toh juga ini bukan tempat privat. Mungkin dia juga merupakan salah satu karyawan atau salah satu pasien juga. Namun, tiba-tiba dia membunyikan klaksonnya, entah kenapa, namun kubiarkan saja.

Semakin aku memasuki mobilku, orang ini makin kencang membunyikan klaksonnya. Jelas akhirnya aku mulai merasa tak nyaman, dan setelah aku memasuki mobilku, aku langsung berniat untuk beranjak pergi. Namun kemudian....


Orang ini malah menutup akses jalanku sehingga aku tak bisa keluar.

"Nih orang ada masalah apaan, si?" Ucapku dalam hati.

Karena aku juga merasa kesal, aku juga ikut membunyikan klakson mobilku. Namun sudah sekian lama, posisi kami tidak berubah, dan tiba-tiba, aku teringat dengan perkataan Ummi yang mengingatkanku untuk tetap berhati-hati dan sebisa mungkin menarik 'dia' sedekat mungkin dengan kami.

Pikiranku sudah dipenuhi dengan amarah dan dendam, dan tanpa memikirkan apa-apa, aku langsung beranjak keluar tanpa membawa apapun sebagai senjata. Aku ingin menghajar orang ini dengan kedua tanganku.

Sembari aku berjalan, pintu mobil di depanku terbuka, dan setelah itu terlihat sesosok perempuan cantik dengan pakaian muslimahnya yang panjang.

Hah? Kenapa perempuan seperti ini yang menghalangiku? Kan tidak mungkin dia yang melakukan ini semua ke Hani.

Namun, tanpa sepenglihatanku, sang pengemudi keluar, dan tingginya yang lebih tinggi dari mobilnya membuatku bisa melihat wajahnya, dan aku sangat, sangat terkejut melihatnya.

Dia.....











Adalah mas Farhan.

Amarahku semakin menjadi, emosiku sudah tidak bisa kukontrol, dan aku langsung sigap berlari mendekatinya.

"The fuck you want?!?" Teriakku sembari berlari menghampiri mas Farhan, dan ketika aku baru mau melompati mobilnya supaya aku bisa langsung menlancarkan pukulanku, tiba-tiba wanita cantik ini langsung menghalangiku.

"Mas, tolong ditahan dulu emosinya, mas" Ucapnya lembut mengingatkanku, namun aku tidak peduli, aku langsung berjalan memutari dia dan kini aku dan mas Farhan sudah berhadapan.

Aku yang sudah dikendalikan oleh amarahku pun langsung melancarkan pukulanku mengincar kepalanya, dan mas Farhan berusaha menghindar meski aku masih bisa menyerangnya.

*BUGG!!...*

Pukulanku begitu keras yang bahkan membuat mas Farhan langsung tersungkur jatuh.

"ASTAGFIRULLAH, MAS!!" teriak wanita tadi yang kemudian langsung menghampiri kami berdua.

Mas Farhan pun langsung bangkit, dan aku yang makin merasa nafsu pun langsung melancarkan tendanganku ke tubuhnya yang masih berusaha bangkit, namun dengan cepat mas Farhan bisa menghindar, dan mas Farhan langsung menahan tubuhku.

"Masih nggak berubah kamu, Bay, masih emosian aja" Ucapnya pelan tepat didepan wajahku.

"Mas mau ngapain, hah?! Mau nganter nyawa?!" Teriakku memakinya.

"Heh, Bay, tenangin emosi kamu dulu" Jawabnya yang kuacuhkan, dan dengan cepat aku langsung menyundul kepalanya yang juga mematahkan kacamatanya.

*BUGG!!...*

Untungnya, kacanya tidak pecah, dan mas Farhan terselamatkan dari luka fatal, dan setelah itu, aku langsung beranjak memukul wajah mas Farhan lagi, namun, dengan cepat mas Farhan mendorong tubuhku, dan setelah aku tersungkur kebelakang, wanita tadi menjulurkan kakinya sehingga aku terjatuh dan kepalaku membentur body dari mobil mas Farhan.

"Mas, tolong, kendaliin emosi mas dulu, kita kesini niatnya baik-baik, kok" Ucap wanita tadi berusaha menenangkanku.

"Baik-baik!? After everything that he's done, kalian berani ngomong kali--" Teriakku, namun dengan cepat mas Farhan langsung memotong perkataanku.

Bay!! Tenang sebentar aja bisa nggak, sih?!" Potongnya.

"Bacot!" Balasku, dan sembari aku berusaha bangkit lagi, mas Farhan langsung kembali menahanku.

"Heh, Bay, setidaknya tau terimakasih dikit, kalo bukan karena kita berdua, pacar kamu pasti udah ada di antah berantah sekarang!!" Teriaknya yang membuatku bingung.

"Ngomong gajelas apaan, si?!"

"Menurut kamu siapa yang nganterin dia ke rumahnya abis dia dibuang di jalan, hah?! Kamu pikir dia bakal tiba-tiba begitu aja pulang?!" Jelasnya.

Berarti...

"Hhhhh, kalo begini ceritanya, pasti Hani juga belom cerita ke kamu kan kalo saya atasannya dia?" Lanjutnya bertanya kepadaku.

Entah kenapa, emosiku perlahan menurun, dan kini aku bisa kembali tenang.

"Bay, tolong, saya sama istri saya kesini tujuannya baik-baik, kok" Jelasnya.

"I'm so lost" Ucapku bingung karena aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ini semua, kenapa Hani tidak cerita kalau pria bangsat ini adalah atasannya?

"Udah, tenangin diri kamu, ada yang perlu saya bicarain juga sama kamu" Jawabnya singkat, dan perlahan mas Farhan melepaskan tahanannya.

"Ohiya, Bay, kenalin ini istri saya, Sofi" Ucapnya memperkenalkan diri.

"Assalamu'alaikum mas Bayu, salam kenal" Sapanya sembari mengajakku bersalaman tanpa sentuh layaknya muslimah.

"Wa'alaikumussalam" Jawabku membalas salamnya, dan setelah itu mas Farhan mengajakku duduk di dalam.

-----

Tentu saja, meski rasanya masih sangat awkward bagiku, aku tetap harus menahan emosiku. Lagipula, untuk apa aku masih merasa emosi? Toh dia juga sudah tidak mengincar Hani, tidak mungkin, dia sudah punya istri yang cantik pula, buat apa dia masih mengincar Hani?

"Jadi, apa yang perlu mas sampein?" Tanyaku memulai pembicaraan.

"Yang pertama: tenangin diri kamu dulu, saya udah nggak punya niatan aneh lagi ke kamu, ataupun Hani," Ucapnya memulai penjelasan.

"Yang kedua: saya juga perlu sampein kamu ini, ini berhubungan sama 'kejadian lampau' kita" Lanjutnya.

"Mas mau ngebela diri kaya gimana lagi? Udah telat mas, udah telat 3.5 tahun" Jawabku ketus.

"Hmmm, benar dugaan saya, kamu masih benci sama saya terkait kejadian itu, cuma saya paham kok, kala itu juga saya masih di fase jahiliyah, saya nggak berpikir secara dewasa juga," Balasnya.

"Dan saya pikir, Hani lah yang bisa narik saya keluar dari fase laknat itu" Lanjutnya yang membuatku terdiam.

"Saat itu, Rizky lagi ada di situasi yang sulit, dimana dia ketauan selingkuh, dan dia juga udah nggak aman karena masalah kamu sama dia di stasiun" Jelasnya.

"Terlebih juga rencana gagal dia yang ingin bales dendam ke kamu yang saat itu dia kira Surya, Rizky saat itu juga di zona yang nggak aman, dia bisa di-DO, atau bahkan bisa dipenjara" Lanjutnya.

"Tentu saja, saya sebagai kakaknya juga nggak ingin kalo dia kenapa-napa, dan setelah rencana dia yang nyuruh Kenneth gagal, dia ngerencanain sesuatu yang jauh lebih berbahaya, dan saya takut banget kalau kali ini dia nggak bisa selamat," Jelasnya.

"Oleh karena itu, saya akhirnya nyuruh Rizky buat diem tenang, dan kalo emang dia ingin bales dendam, lakuin dengan cara yang lebih mulus, dan supaya dia bisa lebih aman, saya yang ngelakuin apa yang udah saya rencanain, yaitu narik pacar kamu pelan-pelan sampe akhirnya Rizky bisa bales dendam ke Surya" Lanjutnya, dan kini aku akhirnya tau apa yang sebenarnya terjadi.

"Jadi, mas sebelumnya nggak punya niatan apa-apa sama Hani?" Tanyaku.

"Nah, di saat itu, saya juga udah mulai merasa cape, saya cape hidup dengan dua muka dimana saya terlihat sangat agamis di depan, namun di belakang saya juga melakukan hal-hal yang sangat buruk," Jawabnya melanjuti penjelasannya.

"Sampai ketika saya ketemu pacar kamu, meski awalnya saya nggak punya rasa apa-apa, pelan-pelan muncul rasa dalam diri saya, saya yang tadinya ingin narik dia masuk ke dunia Rizky, malah akhirnya berharap kalau Hani bisa narik saya keluar dari 'kehidupan' itu, dan saya ingin memiliki Hani sepenuhnya," Lanjutnya.

"Terlebih juga, Hani kala itu mulai resah dan cape sama kamu yang kerjaannya berantem mulu, setelah dia tau katanya kamu sama Rizky berantem di gedung fakultas kamu,"

"Kala itu, saya juga langsung mikir, ini kesempatan besar, apalagi setelah kalian berdua sempet putus, saya ngerasa saya udah dapet lampu ijo buat mengambil hati Hani" Jelasnya.

Tentu saja, aku tidak percaya. Aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri ketika dia bilang dia ingin 'memakai' Hani ramai-ramai bersama mas Rizky.

"Stop chatting shit, saya denger sendiri apa yang mas omongin sama mas Rizky di rumah mas waktu itu, mas lupa?" Tanyaku dengan nada tinggi.

"Ya kan nggak mungkin saya langsung ngebatalin rencana kita gitu aja, Bay, kalo Rizky malah makin lepas kendali dan ujung-ujungnya malah bertindak seenaknya, Hani bisa bahaya, Rizky juga bisa bahaya, saya harus kembali jadi dua muka buat ngelindungin Hani dari Rizky" Jelasnya.

"Terus mas sampe bawa Hani, nyekap Hani di kafe entah berantah itu tujuannya buat apa, mas?! Mas juga bilang mas mau ngelindungin Hani, tapi saya ngeliat pake mata saya sendiri, mas Farhan pengen mukul Hani!" Teriakku.

"Ya kondisinya begini, Bay, udah jelas, saya ditolak Hani, dan juga, Hani tau tentang kehidupan saya dibalik layar setelah kamu rekam video itu, apa iya orang nggak akan takut kalau kekotorannya bakal tersebar? Yang saya pikirin saat itu cuma gimana caranya saya bisa ngamanin diri saya, makanya saya berani bertindak segila itu" Jawabnya yang entah kenapa terasa masuk akal dipikiranku, dan perlahan emosiku kembali menurun.

"Saya nggak yakin kalo saya mau percaya sama mas" Ucapku pelan.

"Iya saya paham kok, pasti masih berat bagi kamu buat percaya sama saya, karena jelas saya udah nyaris nyelakain pacar kamu" Jawabnya, namun kuacuhkan.

"Terus, ada yang ingin kita sampein ke mas Bayu juga nih" Lanjut Sofi memotong pembicaraan kami.

"Apa lagi?"

"Masalah mbak Hani" Jelasnya, dan seketika aku langsung antusias.

"Kalian berdua tau sesuatu tentang ini juga?" Tanyaku antusias.

"Kita nggak tau banyak, Bay, tapi mungkin dari sini kita bisa saling sharing supaya pelakunya bisa ketemu" Jawab mas Farhan.

Hah? Kita?

"Mas, udah, nggak perlu, ini masalah saya sendiri, mas nggak perlu ikut campur" Ucapku ketus.


"Bay, jelas ini masalah saya juga," Jawabnya.


"Karena harusnya waktu itu saya yang ngambil orderan itu, bukan Hani" Lanjutnya.


Jadi....


Hani seharusnya bisa aman-aman saja kalau mas Farhan yang mengambil order itu.


Rasanya, aku ingin marah. Aku benar-benar ingin kembali menanamkan pukulanku di wajahnya. Namun, aku harus bisa menahannya. Mungkin dari pembicaraan ini, aku bisa mendapatkan informasi.


"Harusnya saya sama Sofi yang pergi kesana, cuma lokasinya jauh banget dari posisi kita berdua saat itu" Kembali jelas mas Farhan yang menunjukkan rasa bersalahnya.


"Udah, nggak perlu merasa bersalah, mas, udah kejadian juga" Jawabku, meski aku juga belum yakin apa aku bisa memaafkan mas Farhan.


"So, what do you know?" Lanjutku bertanya, dan sembari membakar rokoknya, mas Farhan mulai cerita.


"Semenjak hari itu, Hani tiba-tiba selalu murung kalo dateng ke kantor, dan rasanya kantor jadi berasa sepi banget karena biasanya Hani yang bikin kantor jadi ceria," Ceritanya.


"Tiga bulan situasinya selalu seperti itu, sampai akhirnya, kita mulai ngerasa ada yang aneh" Lanjutnya.


"Aneh gimana?"


"Tiap hari Jum'at, dia selalu pergi ngambil orderan yang nggak pernah masuk ke data kita, dan setiap ditanya, dia cuma bilang 'Ini orderan pribadi mas, bukan atas nama kantor', dan makin lama Hani yang makin murung juga, kita semakin khawatir" Jelas mas Farhan.


"Apa mas tau orderan gelap itu ngarah kemana?" Tanyaku.


"Nah, jadi gini Bay, karena kita mulai merasa ada yang aneh, pihak kantor nyuruh saya buat ngikutin Hani, dan tepat di hari itu, Hani sepertinya ingin dateng ke klien itu lagi, tapi...."


"Tapi apa mas?"


"Hani pergi ke hotel" Jawabnya.


Oh boy, here we go.


"Terus, saya dan istri saya mutusin buat nunggu di parkiran, berhubung hotel itu bukan tipe hotel yang di dalam satu gedung, lebih seperti vila," Lanjutnya.


"Kita nunggu dari jam 4 sampe jam 8 malem, sampe akhirnya, kita ngeliat..." Lanjut mas Farhan menjelaskan.


"Hani yang dengan kondisi tangan dan kakinya diiket, dia dibawa oleh 3 orang masuk ke dalam mobil Hani"


"Kita terus ngejar mereka, sampe di poin mereka tiba-tiba berenti dan 'ngebuang' Hani di pinggir jalan dengan kondisi nyaris bugil" Jelasnya.


Rasanya mendengar cerita mas Farhan, aku ingin menangis. Aku sangat tidak terima orang yang kusayang bisa diperlakukan sebiadab ini. Hani adalah orang baik, bagaimana bisa ada yang melakukan hal ini ke orang yang sebaik dan sesuci Hani?


"Akhirnya, kita langsung ngambil mbak Hani yang udah pingsan di kondisi itu, dan setelah makein dia pakaian seadanya, kita bawa dia pulang meski kita cuma bisa naro dia di pos satpam" Potong Sofi melanjuti.


"Jujur, Bay, saya sangat merasa bersalah," Kembali ucap mas Farhan.


"Saya yang udah merekomendasikan dia kerja di PT ini, dan saya juga yang secara tak langsung menjerumuskan Hani ke pengalaman buruk seperti ini" Lanjutnya.


"Hani orang yang sangat baik, bahkan setelah apa yang sudah saya lakukan ke kalian berdua, Hani masih mau membuka hatinya untuk memaafkan kesalahan yang udah saya perbuat, Hani masih mau memberi saya kesempatan kedua" Kembali jelasnya.


"Saya sampe nggak habis pikir, ada orang gila yang sangat tega buat merlakuin Hani seperti ini" Lanjutnya sembari mematikan rokoknya, dan kemudian mas Farhan menjulurkan tangannya ke istrinya.


Sofi pun langsung memahami apa maksud dari suaminya, dan dia langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebelum menaruh benda itu ditaruh di tangannya yang terbuka. Mas farhan pun langsung menggenggam kantung kresek yang kulihat itu.


"Entah mungkin ini semua saya rasakan karena saya masih sayang dengan Hani..." Ucap mas Farhan pelan yang membuatku langsung mengepal tanganku kuat.


Namun mas Farhan belum selesai berbicara.


".... Seperti kakak yang sayang dengan adiknya, kamu pasti paham perasaannya gimana kan, Bay? Kita berdua sama-sama punya adik, dan kamu pasti akan ngelakuin apapun untuk ngelindungin adik kamu, kan?" Lanjutnya.


"Saya sudah gagal mendidik Rizky yang malah menjadi tak tau batas, dan ketika saya rasa saya punya kesempatan kedua untuk menjaga Hani layaknya adik saya, saya gagal lagi" Ucap mas Farhan yang terdengar seperti gemetar, dan setelah itu mas Farhan memberikan kantung plastik yang daritadi dia genggam.


"Apa ini, mas?" Tanyaku sembari membuka kantung itu, dan aku terkejut melihat sejumlah uang yang masih terikat rapi.


"Saya juga sudah bicara sama Ibunya Hani, ibu Hani juga cerita terkait uang yang mereka ambil, dan setelah kita berdua memperkirakan berapa total yang diambil dari Hani, kira-kira sekantong itu," Jawabnya.


"Mungkin cuma ini yang bisa saya lakukan untuk menebus kesalahan saya" Lanjutnya, dan ucapan mas Farhan tiba-tiba menyulut emosiku, dan dengan cepat aku langsung berdiri dan menarik kerah kemeja mas Farhan dan mendorongnya ke tembok.


"MAS BAYU, UDAH MAS!!" teriak Sofi yang sangat terkejut dengan tindakanku yang tiba-tiba.


"Mas, mas pikir, cuma dengan berapapun duit yang mas kasih ke Hani, semuanya bakal baik-baik aja?!" Tanyaku dengan nada mengintimidasi tepat di depan wajahnya.


"Mas mau bayar berapapun nominalnya, Hani nggak tentu bakal kembali ke kondisi lamanya, mas! Berapapun uang yang mau mas kasih, semuanya nggak akan kembali seperti semula, mas!!" Lanjutku berteriak, dan seketika Sofi langsung berdiri berusaha memisahkan kami berdua, namun mas Farhan langsung menahannya.


"Sofi, udah kamu diem disitu" Ucapnya, dan dengan berat Hani, Sofi hanya bisa menurut.


"Bay, apa kamu pikir, yang kamu lakuin sekarang juga akan ngebalik keadaan jadi seperti semula?" Lanjutnya bertanya kepadaku.


"Semuanya nggak akan kembali seperti semula, Bay, kamu harus tau itu," Ucap mas Farhan, seolah ingin memberitahuku,


Kalau Hani yang lama tidak akan kembali, dan harusnya aku sudah tahu akan itu.


Aku sudah begitu patah hati, sehingga kini rasanya aku sudah tidak memiliki semangat apapun. Tubuhku seketika melemas, genggamanku di kerah mas Farhan melemah, dan aku langsung menyandarkan kepalaku ke tembok tepat disamping kepala mas Farhan.


"Jadi apa yang udah saya lakuin selama ini sia-sia?" Ucapku lirih sembari mas Farhan memindahkan badannya.


Tubuhku rasanya makin melemas, dan seketika kakiku makin tak kuat berpijak sehingga tubuhku terjatuh ke lantai dengan posisiku masih bertumpu pada kedua lututku.


Tak lama kemudian pun, tiba-tiba kulihat Sofi ikut berjongkok di sampingku.

"Mas Bayu, ucapan mas Farhan suami aku bener, semua nggak akan kembali jadi seperti semula, dan mungkin mbak Hani nggak akan kembali jadi dirinya yang dulu" Ucapnya pelan.


"Tapi, kita bisa membangun apa yang udah rusak menjadi yang lebih baik, kan? Semua yang terjadi pasti ada sisi baik nya kok, mas, aku percaya sama itu" Jelasnya, dan kemudian mas Farhan menyusul untuk menghampiriku.


"Sofi benar, Bay, yang kamu lakuin sekarang nggak akan mengembalikan Hani jadi seperti dulu, tapi yang kamu lakuin nggak sia-sia, karena pelan-pelan, Hani akan kembali ke kondisi yang baik meski tidak seperti dulu" Ucap mas Farhan.


"Saya Bener-bener nggak tau harus ngapain lagi, mas" Kembali ucapku lemas.


"Mas Bayu udah ngelakuin hal yang benar kok, dengan terus ada di sisi mbak Hani" Jawab Sofi, dan mendengar ucapan Sofi, rasa sesak yang kurasakan daritadi perlahan menghilang, dan kini aku mulai kuat untuk kembali berdiri.


"Bay, saya paham, situasi kamu lagi sulit setelah apa yang udah terjadi sama kamu beberapa waktu belakangan, tapi kamu harus bisa kuat ngehadapin itu semua, Bay" Ucap mas Farhan sembari membantuku berdiri.


"Ayo mas Bayu, yang kuat yaa, kalo mas Bayu nya juga lemah, mbak Hani juga pasti ikutan lemah dong" Ucap Sofi menyemangatiku, dan aku hanya membalasnya dengan tersenyum.


"Terus, kamu udah mulai nyari siapa pelakunya?" Tanya mas Farhan.


"Belom, mas, yang saya prioritasin sekarang cuma kondisi Hani, saya belom kepikiran lagi" Jawabku singkat.


"Yah, itu sudah jadi keputusan mas Bayu, jadi yasudah, tapi mas Bayu juga harus tetap nyari siapa pelakunya, mas, kalau mas nyarinya nanti-nanti, track mereka udah keburu dingin, dan akan susah buat nyari, mas" Balas Sofi.


"Sama mungkin ini bisa ngebantu kamu untuk mencari pelakunya, Bay, menurut saya, ini jauh lebih dari sekedar pemerkosaan" Jelas mas Farhan.


"Maksud mas?" Tanyaku kebingungan.


"Bay, coba pikirnya kaya gini, kalo emang dia cuma pengen merkosa, pasti mereka udah ngebuang atau bahkan ngebunuh Hani dari dulu, Bay" Jawabnya.


"Lagipula, dari yang saya rasa juga, tindakan mereka sudah sangat terstruktur," Lanjutnya.


"Saya rasa, siapapun yang ngelakuin ini ke Hani, pasti ada hubungannya dengan Hani, ini nggak mungkin cuma sekedar pemerkosaan, Bay"


Benar juga apa yang dikatakan oleh mas Farhan. Mereka melakukannya dengan sangat rapi, bahkan rasanya seperti tidak ada kecacatan di dalam rencana mereka. Bahkan dengan mereka yang bisa menanam spy-cam di dalam rumah Hani tanpa sepengetahuan siapapun, sepertinya mereka memang sudah sangat berpengalaman.


"Yaudah, mungkin itu hal terakhir yang bisa saya sampein ke kamu, saya dan Sofi harus buru-buru pergi juga" Lanjut mas Farhan.


"Inget yang saya ucapin tadi, ya Bay" Ucapnya sembari menjulurkan tangannya.


Namun, rasanya berat bagiku untuk menjabat tangannya, sehingga aku hanya bisa terdiam membatu.


"Yah, sepertinya juga saya gegabah banget langsung ngajak kamu salaman, kamu pasti masih punya dendam sama saya, kan? Yaudah kalo gitu, Assalamu'alaikum Bay" Pamitnya, dan mereka langsung berjalan pergi ke mobilnya meninggalkanku yang masih berada di teras tempat aku menunggu daritadi.


Baru ketika aku ingin kembali duduk, tiba-tiba kulihat Sofi kembali berlari kearahku.


"Loh, kok balik lagi?" Tanyaku heran.


"Mas Bayu, aku lupa, aku mau minta selfie dong, aku nge-fans sama mas Bayu loh hehehe" Jawab Sofi yang membuatku tertawa terbahak-bahak.


Yaampun, ternyata istri dari salah satu musuhku adalah penggemarku.


"Hahahaha, ya ampun, nge-fans toh?" Tanyaku setelah selesai tertawa.


"Ih mas Bayu, mas Bayu udah jadi inspirasi para ikhwan sama akhwat dari pengajian aku loh, boleh yaa aku selfie sama mas, buat aku pamerin ke temen-temen aku soalnya hehehe" Balasnya, dan aku hanya bisa menerimanya.


Di saat ini pula, aku mulai menyadari kecantikan Sofi lebih jauh. Terlebih, setelah mendengar Sofi berasal dari pengajian, pasti kepribadiannya juga dapat mengimbangi kecantikannya, sehingga terbesit di pikiranku bahwa setelah mas Farhan gagal mendapatkan Hani, mas Farhan berusaha mencari wanita yang bisa mengimbangi Hani untuk bisa menariknya dari kegelapan, dan mas Farhan berhasil.


"Ehiya by the way mbak Sofi, nanti jangan ngetag aku kalo mau diupload ke sosmed ya, mbak" Pintaku.


"Ih mas Bayu nggak usah manggil aku mbak dong, kita beda 5 tahun tau, aku masih 19 tahun" Jawabnya yang membuatku terkejut.


Hah? Semuda ini dan pemikirannya juga sudah sedewasa ini?


"Hah seriusan?"


"Iyaa mas, ohiya aku ingin ngomong lagi boleh?" Kembali tanyanya.


"Apa?"


"Setiap orang pasti berhak buat dapat kesempatan kedua kan, mas?" Tanyanya kepadaku, dan amu hanya mengangguk.


"Kalo begitu, aku minta tolong sama mas Bayu, untuk beri mas Farhan kesempatan kedua mas, mas Farhan bahkan bisa ngebuang rasa benci mas Farhan ke mas Bayu yang udah nyoreng nama baik suami aku" Pintanya.


"Masih berat bagi saya buat ngelakuin itu semua, Sof, mungkin Hani bisa maafin suami kamu, tapi susah bagi saya buat maafin mas Farhan setelah apa yang dia lakuin ke saya, Hani, dan juga temen-temen saya" Jawabku menjelaskan.


"Tapi itu semua masa lalu kan, mas? Kalo kita terus liat kebelakang, kita mungkin nggak akan bisa melihat keindahan yang sebenarnya ada di depan kita" Balas Sofi.


"Yah mungkin semuanya butuh proses sih" Jawabku dan setelah itu kami berpamitan.


Tepat dengan kepergian mereka berdua, aku langsung kembali kedalam dan melihat Hani yang sudah selesai.


"Udah selesai?" Tanyaku singkat.


"Udah, ayok pulang" Ajaknya, dan setelah mendekat, Hani melihat kantung yang baru saja diberi mas Farhan tadi.


"Loh, itu apa sayang?" Tanyanya, namun entah kenapa, mulai muncul rasa amarah dalam diriku karena Hani tidak pernah bercerita kalau mas Farhan adalah atasannya.


"Bay...." Kembali ucapnya memanggilku.


"Udah, kita pulang aja, yuk" Jawabku singkat, dan tanpa menjawab pertanyaan Hani, kami berdua langsung beranjak ke mobilku.


------


Lagi-lagi, karena ada rasa amarah dalam diriku yang kupendam begitu kuat, suasana di mobil terasa sangat sepi. Aku bahkan bingung harus melakukan apa.


Tapi, lagi-lagi, ini tidak baik untuk kondisi Hani. Hani harus terus dijaga keceriaannya untuk mengalihkan kegelisahannya.


Akhirnya, akupun memulai pembicaraan.


"Itu... Kresek yang kamu pegang isinya apa?" Tanyaku menanyakan kantung kresek yang Hani pegang.


"Oh, ini? Ini obat yang dikasih sama dokter, katanya diminum kalo aku kena gejala panic attack lagi" Jawabnya sembari menunjukkan kreseknya.


"Kalo kantong itu, isinya apa? Daritadi aku tanyain kamu diem aja" Lanjut Hani sambil menunjuk kearah kantong itu, dan aku langsung mengambil kantong itu dan menyerahkannya ke Hani.


"Nih, dari mas Farhan" Jawabku singkat, dan seketika Hani langsung terkejut mendengar jawabanku.


"Hah??... Jadi... Kamu..."


"Yup, tadi mas Farhan ke tempat dokter tadi juga, tapi dia cuma mau ngasih ganti tugi yang udah 'mereka' ambil dari kamu" Ucapku yang membuat suasana menjadi hening.


Aku juga melihat, wajah Hani terlihat seperti ketakutan. Namun rasanya beda dengan saat dia merasa gelisah. Sepertinya dia takut kalau aku akan marah.


"Han"


"Iya, Bay?"


"Kamu kenapa nggak cerita juga sih waktu itu kalo mas Farhan yang ngerekomendasiin kamu kerja disana?" Tanyaku.


"Karena aku tau, kalo aku cerita, reaksi kamu bakal kaya gini" Jawabnya.


"Bayy, mas Farhan udah berubah kok, dia juga udah ngakuin semua kesalahan dia dulu, it's okay" Lanjut Hani.


"Kamu tau kan aku orangnya nggak semudah itu buat nerima maaf orang" Jawabku singkat.


"Aku juga nggak langsung percaya kok, semuanya butuh proses, Bay" Balasnya.


"Kalo aku tetep nggak bisa?"


"Berarti hati kamu masih keruh" Jawabnya, dan setelah itu Hani langsung menghadap kearahku dan menggenggam tanganku yang berada di persneling.


"Bay, kalo aku aja bisa maafin dia, harusnya kamu juga bisa, okey? Kamu aja bisa kok maafin Andre setelah apa yang dia lakuin dulu, pasti kamu bisa maafin mas Farhan" Ucap Hani lembut sembari mengusap tanganku.


"Let's see, okay?" Jawabku.


Setelah itu, kami hanya mengobrol-ngobrol singkat, dan tak terasa, kami sudah sampai kerumahnya, dan berhubung sudah menjelang sore, aku memutuskan untuk pulang untuk menghindari macet.


"Nah, udah sampe" Ucapku sembari memarkirkan mobilku.


"Kamu mau mampir dulu nggak?" Tanya Hani selagi merapikan barang-barangnya.


"Nggak deh ya, sayang, udah jam segini takutnya macet loh" Jawabku, dan meski terlihat kekecewaan di wajah Hani, Hani langsung kembali tersenyum dan mengangguk.


"Obatnya jangan lupa diminum, ya" Ucapku mengingatkan sambil mengelus-elus kepalanya.


"Eh iya sebentar, ada obat penenangnya yang ketinggalan" Balasnya.


"Hah? Obat apa?" Tanyaku bingung, dan alih-alih menjawabku, Hani malah langsung mencium bibirku.


*Ccupphh...*


Aku awalnya terkejut, namun tak butuh waktu lama bagiku untuk segera membalas ciumannya.


*Ccupphh... Ccuupphh...*


Hani pun langsung memindahkan tangannya ke pipiku, dan tanganku juga langsung kutaruh di kepalanya sembari kami saling membalas lumatan kami.


*Ccupphh... Ccupphh... Ccupphh...*


Setelah cukup lama berciuman, akhirnya aku mulai terbawa suasana. Tangan yang dari tadi kutaruh di kepalanya, aku pindahkan menuju ke lehernya.


*Ccupphh... Ccuppphh...*


Perlahan pula, tanganku mulai menurun ke arah payudaranya. Namun baru ketika aku menaruh tanganku di atas payudaranya, aku langsung teringat dengan paranoia-nya.


Namun, aku harus juga mencobanya. Aku perlu mengetes apakah Hani masih trauma dengan kejadian itu. Akhirnya, kedua tanganku pun hinggap di payudaranya.


"Ccupphh... Ccupphh... Ummhh..." Terdengar suara desahan dibalik ciuman Hani.


Hani tidak tersentak kaget, apakah Hani sudah pulih dari traumanya?


Untuk memastikan pula, aku mulai meremas-remas lembut payudaranya yang tidak begitu besar ini.


"Ccupphh... Cccupphh... Ahhh... Ccupphh..." Kembali desahnya, yang menunjukkan kalau kini Hani sudah bisa menikmatinya.


Setelah puas bermain dengan kedua payudaranya juga, aku mulai kembali menurunkan tanganku dan aku berniat untuk mencoba menggesek-gesekkan memeknya. Namun baru ketika aku sampai di perutnya.


"Ccupphh... Ccupphh... Ummhh... Sayangg... Jangannn..." Ucapnya lirih dan seketika tanganku langsung ditahan oleh Hani.


"Hhhh... Hhhh... Sayangg... Jangan sampe situu yaa... Hhhh... Hhhh... Akuu masih takutt..." Lanjutnya lirih.


"Iyaa sayang... Aku paham kok" Jawabku tersenyum yang membuat Hani tersenyum juga.


"Padahal udah dicium biar tenang, malah jadi gatenang lagi gara-gara kamu, huft" Candanya.


"Hahahahha, iyaa, cium lagi sini" Jawabku, dan kami kembali berciuman.


*Ccupphh... Ccupphh...*


Tak lama kami berciuman, dan Hani langsung melepas ciumannya. Kami pun hanya bertatapan sembari saling mengelus pipi masing-masing, dan setelah itu, aku langsung mengecup keningnya.


*Ccupphh...*


Setelah aku mencium keningnya pula, Hani mencium pipiku.


*Ccupphh...*


"Makasih buat 'obat penenang' nya ya sayang" Ucapnya manis, dan setelah kami kembali menghadap kedepan, kami langsung melihat mang Ucup yang sedang berdiri tepat di depan mobilku menggenggam sapu.


"Loh, mang Ucup?" Ucapku kaget, dan seketika, mang Ucup langsung kalang-kabut dan berpura-pura lanjut menyapu depan rumah Hani yang membuat kami berdua tertawa.


"Hahahah, hayoo ketauan mang Ucup loh" Ucapku meledek Hani.


"Ih kamu mah, kamu juga ngebales, aku bisa apa?" Jawabnya kesal membuatku tertawa.


"Hahahaha, yaudah aku pulang yaa" Pamitku.


"Iyaa hati-hati yaa sayang" Jawabnya sembari membuka pintu mobil, dan setelah memastikan Hani memasuki rumahnya, aku juga langsung pindah ke mobilku dan beranjak pulang.


------


Meski kini aku sudah merasa tenang karena perlahan kondisi psikis Hani sudah mulai stabil, aku tetap merasa gelisah di sepanjang perjalanan pulangku. Seperti yang diingatkan Ummi, pelakunya pasti sudah mulai bergerak lagi. Namun, sepanjang perjalanan pula, aku tidak melihat adanya orang yang mengikutiku.


Akhirnya setelah mulai memasuki komplekku, aku bisa kembali tenang. Sampai ketika aku baru mau memasuki gang rumahku, aku langsung melihat, depan rumahku dipenuhi dengan banyak orang.


"Hah, itu apaan lagi? Apa jangan-jangan ada pers?" Ucapku bingung dalam hati.


Akupun terus mendekati rumahku, dan setelah kuperhatikan lagi, tidak ada kamera, tidak ada mikrofon, dan tidak ada pula orang yang berseragam tim media.


Berarti.... Sesuatu telah terjadi.


Aku yang panik pun langsung memarkirkan mobilku seadanya, dan setelah itu aku langsung bergegas berlari menuju kerumunan itu, dan setelah dekat, Alif dan mas Ikhsan yang melihatku pun langsung ikut berlari menghampiriku.


"Mas, Lip, ini ada apaan?!" Tanyaku panik.


"Bay!! Rumah lu, Bay!!" Jawab mas Ikhsan yang juga terburu-buru.


"Rumah gua kenapa, mas?!" Kembali tanyaku.


"Udah, udah lu liat sendiri aja, ayo kedalem!!" Jawab Alif, dan kami bertiga langsung masuk kedalam.


Baru ketika aku berada di ruang tamu, aku langsung terkejut melihat apa yang terjadi dengan rumahku.


Kondisi rumahku benar-benar sangat berantakan. Banyak perabotan-perabotan yang sudah hancur. Vas mahal Mamah, meja ruang tamu, semuanya hancur. Perlahan aku masuk lebih kedalam, dan ternyata kondisinya jauh lebih parah.


Semua perabotan-perabotan yang ada, semuanya telah dihancurkan. TV, meja makan, kitchen set, microwave, semuanya sudah binasa.


"Anjing ini kenapa?!" Teriakku kebingungan, dan samar-samar, terdengar suara tangisan dari kamar Ayah, dan kami bertiga yang panik pun langsung masuk kedalam.

Aku langsung melihat Mamah yang sedang duduk di kasur dengan kondisi masih berpakaian lengkap serta jas dokternya sedang menangis. Aku juga makin khawatir, dan aku segera menghampiri Mamah.


"Mamah ini kenapa??" Tanyaku khawatir.


"Hikss... Hikss... Kakk... Rumah kita abis dijarah... Hikss... Hikss..." Jawabnya terisak.


"Aduh, terus Mamah udah ngecek apa aja yang diambil?" Kembali tanyaku.


"Hikss... Hikss... Belom kakk... Tapi..." Jelas Mamah yang terpotong, karena tiba-tiba terdengar suara Bella berteriak dari ruang tamu.


"ASTAGFIRULLAH, INI KENAPA?!?" teriak Bella, dan setelah itu kami semua langsung beranjak keluar, dan kami juga langsung melihat Bella yang baru saja pulang bersama Ayah.


"Kak ini kenapa, kak?!" Tanya Ayah panik.


"Nggak tau, Yah! Aku juga baru nyampe ini!" Jawabku, dan seketika Mamah langsung berlari memeluk Ayah.


"Masss... Hikss... Hikss..." Tangis Mamah di dalam pelukan Ayah.


"Ssshh... Ini kenapaa dekk..." Tanya Ayah ke Mamah.


"Rumah kita dijarah mas... Hikss... Hikss..."


"Astagfirullah, terus mereka ambil apa??" Kembali tanya Ayah.


"Hikss... Hikss... Nggak tau mass... Hiksss... Hikss... Perabotan hancur semua... Cicilan rumah juga gimana mass??... Hikss... Pasti bakal banyak makan biayaa buat ngeganti semua ini... Hikss... Hikss..." Jawab Mamah, dan seketika Ayah langsung menatap kearahku dengan tatapan penuh amarah.


"Noh, kak, liat kondisi kita kayak gimana sekarang!! Kalo kamu ngambil kerjaan di Austria kemaren, kita nggak bakal repot-repot mikirin buat ngeganti ini semua, kan?!" Teriak Ayah memarahiku namun aku tidak terima.


"Lah, kok Ayah jadi nyalahin aku?! Mana bisa kita nge expect kalo hal ini bakal kejadian, Yah!" Balas teriakku.


"Ya kamu pikir coba berapa kerugian kita, kak! Apalagi kondisi keuangan keluarga kita lagi begin--" Balas Ayah yang langsung kupotong.


"AYAH, TOLONG JANGAN MIKIRIN DUIT DULU DALAM KONDISI KAYAK GINI!!" teriakku yang seketika membuat semua orang yang didalam terkejut.


"Mas Ikhsan, Alip, lu nggak ngeliat ada yang mencurigakan gitu?" Tanyaku menyambung teriakanku.


"Ya mana tau, Bay, kita tanya ke tetangga juga nggak ada yang ngeliat" Jawab mas Ikhsan yang seketika menyulut amarah Ayah.


"KOK BISA SIANG BOLONG GINI NGGAK ADA YANG NGELIAT?!" teriak Ayah.


"Ya kan om tau sendiri om, kebanyakan orang di gang sini baru pada balik sore semua kalo hari kerja, ini saya sama Alif aja baru nyampe om" Jawab mas Ikhsan, dan melihat kondisi Ayah yang sedang tempramen ini pun, Mamah langsung mengajak Ayah pergi keluar, meninggalkan aku, Bella, Alif, dan mas Ikhsan.


"Kalian udah ngeliat keatas?" Tanyaku ke mereka berdua.


"Yeh kita aja baru masuk bareng lu, Bay" Jawabnya asal.


"Oh, yaudah, gua cek keatas dulu, mas Ikhsan sama Alip, titip adek gua dulu ya" Balasku, dan setelah itu aku langsung berjalan menaiki kamarku.


Kondisi diatas pun masih sama saja. Ruang kerja Ayah yang terbuka pintunya langsung memperlihatkan betapa hancurnya ruangan tersebut. Meja hancur, buku bertebaran, komputer yang sudah binasa, kondisinya benar-benar sangat parah.


Karena kepanikan ini juga, aku langsung berlari menuju ke kamarku, dan setelah melihat kondisi kamarku, aku langsung tersentak kaget yang bahkan membuatku terjatuh dari pijakanku.


Kondisi kamarku jauh lebih buruk dari ruangan yang lain. Tak hanya barang-barangku dihancurkan, beberapa barang terlihat terbakar juga. Aku melihat kaus West Ham ku tergeletak di lantai dengan kondisi sudah hangus setengahnya, dan beberapa foto yang kupajang semuanya telah dihancurkan. Kondisi kamarku nyaris tidak ada yang tersisa.


Selain itu, ketika aku melihat ke tembok dimana mejaku menghadap, terlihat sebuah tulisan besar di tembokku.


"WHAT GOES AROUND, COMES BACK AROUND"


Selain itu, aku juga melihat tulisan lagi dibalik pintu.


"WE'RE COMING FOR YOU, ONE STEP CLOSER"


DEGG...


Tiba-tiba, terbesit sesuatu di pikiranku. Bagaimana kalau sebenarnya mereka bukan mengincar Hani, tapi mereka mengincarku?


Ini sudah begitu berbahaya. Tak hanya mereka mengincarku, namun seluruh keluargaku semuanya terancam keamanannya. Dalam kondisi seperti ini, aku harus segera mengamankan kedua orangtuaku serta adikku.


Aku yang panik setengah mati pun langsung segera beranjak dan berlari menuju Ayah, Mamah, dan Bella. Yang kupikirkan sekarang hanyalah menyuruh Ayah, Mamah, dan Bella pergi keluar kota, mungkin pergi ke kampung halaman Mamah.


"AYAH! MAMAH!! BELLA!!" teriakku setelah keluar dari rumah.


"Kenapa, kak?!" Tanya Mamah yang ikut panik.


"Ayah, Mamah, adek, tolong kemasin baju-baju sama barang-barang berharga kalian sekarang" Jawabku menjelaskan.


"Loh kok tiba-tiba banget, kak?"


"Please, Mah, just do what I said" Balasku singkat.


"Nak, kita juga nggak tau ini kenapa, setidaknya tolong jelasin dulu, nak" Ucap Ayah.


"Pelaku ini kayaknya ada hubungannya sama kejadian Hani, tapi rasanya ini Hani bukan target utama mereka, tapi.... Aku" Jelasku yang tentu saja membuat kedua orangtuaku panik.


"HAH?! KAMU ADA MASALAH SAMA SIAPA LAGI, KAK?!" tanya Ayah panik.


"Aku nggak tau, Yah, mereka cuma ninggalin jejak tulisan di kamar aku" Jawabku.


"Kak, ini udah bukan sembarang orang, kak, ini udah tindakan kriminal, kak" Balas Mamah.


"Iyaa, dan sekarang udah begini juga kondisi Mamah, Ayah, sama Bella juga bisa dalam bahaya, makanya aku minta tolong buat Ayah, Mamah, Bella pergi keluar kota, aku kepikirannya ke kampung Mamah" Jelasku.


"Terus kamu?" Tanya Ayah.


"Aku perlu disini buat nyaritau siapa pelakunya" Jelasku yang membuat Ayah marah.


"Kak!! Kamu tau kan betapa bahayanya tindakan kamu ini?! Kamu coba dong pikir pake akal sehat kamu, kak! Kalo kamu kenapa-napa gimana?!" Teriak Ayah.


"Ya setidaknya meski aku kenapa-napa, aku bisa mastiin kalian semua aman" Jelasku.


"Kak, jangan sok heroic, percuma juga kalo kita aman tapi sesuatu yang buruk terjadi di kamu, please kak, jangan aneh-aneh" Pinta Mamah.


"Tapi nggak mungkin kalo aku lari dari masalah aku, kan? Tolong, Mah, aku perlu ngurusin semua masalah ini"


"Terus, buat ngeganti ini semua..." Ucap Mamah, namun langsung kupotong.


"Udahh, Mamah nggak perlu mikirin itu dulu, yang penting sekarang Mamah, Ayah, sama adek aman, aku yang bakal ganti rugi semua ini" Jawabku ke Mamah, dan dengan berat hati Mamah mengiyakan, dan setelah itu, sesuai dengan permintaanku, Mamah dan Ayah segera mengemas barang-barangnya.


"Kak" Ucap Bella yang masih bersamaku.


"Aku... Disini aja ya sama kakak" Lanjutnya.


"Dek, nggak usah aneh-aneh, kakak harus mastiin kamu aman" Jawabku menolak.


"Ya pasti Mamah sama Ayah juga perlu mastiin kalo kakak aman, kan?"


"Tapi nggak begini caranya dek, tolong, kakak nggak mau kalo kamu kenapa-napa" Ucapku, aku tidak ingin sesuati juga terjadi kepada adikku.


"Kakakk, kalo kakak sendirian juga jauh lebih bahayaa, lagipula kalo aku pergi, kerjaan aku gimana?" Tanyanya.


"Ya percuma kita juga nggak bisa tidur di rumah kalo kondisi rumah juga begini, dek"


"Ya terus kakak kalo mau disini kakak mau tidur dimana?" Tanya Bella.


"Ya nggak tau si, paling hotel, udahh sana kamu packing barang-barang kamu dulu ih" Suruhku yang sudah mulai kesal.


Sembari mereka mengemas barang mereka pun, aku juga ikut mengambil apa yang tersisa di kamarku, neski tidak begitu banyak. Aku hanya bisa mengamankan sebagian besar pakaianku yang cukup untuk selama beberapa waktu selama aku pergi keluar rumah, dan aku juga mengambil beberapa barang seperti boneka pemberian Hani.


Tak lama kemudian pun, aku, Ayah dan Mamah kembali berkumpul di bawah dan kulihat Mamah dan Ayah membawa beberapa tas dan koper.


"Gimana, Yah? Barang-barang Ayah aman?" Tanyaku menuruni tangga.


"Aman kak, stik golf mahal Ayah aman semua, emas-emas punya Mamah juga aman" Jawabnya.


"Surat-surat penting?" Kembali tanyaku.


"Surat rumah sama buku bank juga aman kak, nggak ada yang ilang" Jelasnya, dan setelah itu juga aku menjelaskan tentang permintaan Bella yang disetujui oleh mereka.


"Yaudah kalo gitu, jalan sekarang aja, biar nggak kemaleman sampenya" Ucapku.


"Hati-hati ya kak, tolong jaga diri kamu dan adik kamu ya, jangan sampe kalian berdua kenapa-napa" Pamit Mamah, dan setelah menyalimi mereka berdua, Mamah dan Ayah langsung berangkat pergi, dan Bella yang sudah selesai mengemas barangnya pun juga ikut turun kebawah.


"Udah semua, dek?"


"Udah kak" Jawabnya sembari menenteng beberapa tas.


"Ohiya kak," Lanjutnya.


"Kayaknya kalo nggak nginep di hotel juga bisa deh, kamar aku nggak kenapa-napa"


Hah? Kok bisa? Apa mereka sudah terlalu terburu-buru sampai meninggalkan kamar adikku?


"Tapi nggak aman juga kalo kita disini dek, udah kamu berangkat duluan gih, bawa aja ATM kakak, terserah kamu mau di hotel mana aja, yang penting share loc nanti" Jawabku.


"Yaudah, aku cari yang deket kantor aku aja ya" Balasnya, dan setelah memasukkan barang-barang ke mobilku, Bella pergi membawa mobilku.


Kini tinggal aku sendiri yang berada di rumah. Setelah memastikan mereka semua pergi, aku memutuskan untuk kembali masuk kedalam untuk mencoba melacak jejak pelaku ini. Aku langsung memerhatikan sekeliling rumah, dan seperti yang Bella katakan, kamar Bella dan juga gudang yang berada di lantai atas masih aman, yang membuatku menyimpulkan kalau mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menjarah kamar itu.


Selain itu, aku juga kepikiran, mereka menghancurkan sebagian besar furnitur di rumahku, namun mereka tidak mengambil sepeser pun barang berharga. Apa yang sebenarnya mereka inginkan?


Akupun langsung mendokumentasikan beberapa hal yang bisa kujadikan bahan untuk investigasi, dan setelah cukup lama aku berada disini, aku memutuskan untuk pergi menyusul Bella.


Baru ketika aku ingin memesan taksi online, aku langsung melihat kak Liya dengan perutnya yang bunting sedang berjalan bersama mas Surya menuju ke rumahku.


"Loh ada bumil" Sapaku.


"Iya Bay, kita mau nyari makan keluar, sekalian mau liat keadaan kamu" Jelas kak Liya.


"Kita udah dapet kabar, katanya rumah kamu kemalingan kan?" Tanya mas Surya.


"Nggak bisa dibilang kemalingan juga sih, mas, mereka bahkan nggak ngambil apa-apa, mereka cuma dateng ngancurin barang terus pergi" Jawabku.


"Hah? Maksudnya?" Kembali tanya mas Surya kebingungan.


"Yaiya, aku juga bingung apa motivasi mereka" Jelasku.


"Apalagi, mereka ninggalin jejak ini" Lanjutku menunjukkan pesan yang mereka tulis di tembok dan pintu kamarku.


"Eh iya Bay, kondisi Hani gimana sekarang? Apa udah baikan?" Tanya kak Liya sembari mas Surya memerhatikan foto yang kutunjukkan tadi.


"Alhamdulillah kak, udah bisa ketawa lagi, nggak se depresi kemaren-kemaren" Jawabku.


"Entah kenapa juga, rasanya pelaku ini juga ada hubungannya sama pelaku kejadian Hani, terlebih pesan mereka ini" Lanjutku.


"Hmmmm, mungkin emang tujuan mereka bukan ngerampok rumah kamu, Bay" Jelas mas Surya.


"Tapi mereka cuma mau neror kamu" Lanjutnya.


"Iya mas, cuma sekarang aku nggak tau harus ngapain lagi, kalo ngelapor ke polisi juga--" Jawabku, yang kemudian dipotong oleh mas Surya.


"Nah itu tau kamu harus ngapain, udah, kamu segera melapor ya, sekalian laporkan juga kasus Hani" Potongnya.


"Tapi mas, rasanya masih gatenang aku, kalo mereka tau aku ngelaporin ini, kalo emang pelakunya sama, aku cuma takut kalo mereka ngapa-ngapain Hani lagi" Jawabku.


"Ya terus kamu mau nyari tahu gimana lagi kalo gitu?"


"Aku juga nggak tau sih, mas"


"Bay, cuma ini cara terbaik untuk mencari tau siapa pelakunya" Ucap mas Surya.


"Bay, jangan pikirin itu dulu, yang penting sekarang kamu laporin dulu ini ke pihak berwajib, oke?" Lanjut kak Liya.


"Fuck, aku ngga punya opsi lain kayaknya" Balasku menyetujui saran mereka.


"Nah, gitu dong, yaudah kalo gitu kita juga pamit ya, Bay, ini bumilnya lagi ngidam" Ucap mas Surya.


"Hahahaha, iya mas, udah berapa bulan emang ini?" Tanyaku.


"Udah 6 bulan, Bay, bentar lagi ada yang manggil kamu om nih hihihi" Jawab kak Liya.


"Oalah, okedehh, semoga sehat sampe di persalinan yaa"


"Iyaa makasih ya Bay, kalo gitu kita juga pamit ya, Bay" Pamit kak Liya, dan setelah itu aku juga segera beranjak pergi dari rumahku setelah memesan taksi online.


-----


Perjalanan yang dipenuhi oleh kegesilahan pun akhirnya berakhir. Butuh waktu sekitar 2 jam setelah berangkat petang dari rumahku untuk sampai di hotel yang sudah Bella pesan.Akupun langsung menuju ke kamar kami berdua, dan setelah sudah didepan pintu, aku langsung mengetuk pintunya.


"Dek, ini kakak, dek" Ucapku sembari mengetuk pintu.


Tak lama kemudian pun, Bella langsung membukakan pintu, dan sepertinya Bella juga baru selesai mandi karena rambutnya masih terlihat basah dan tubuhnya masih hanya tertutupi oleh handuk.


"Kok kamu nggak pake baju?" Tanyaku.


"Aku baru kelar mandi, udah buruan masuk ih, nanti ada yang ngeliat" Jawabnya ketus, dan setelah itu aku langsung masuk dan menutup pintu.


"Kak, langsung mandi ya" Ucapnya dan aku hanya menurut.


Akupun langsung membuka seluruh pakaianku, dan aku langsung mrngguyur tubuhku menggunakan air dingin dari shower. Rasanya hari ini begitu melelahkan. Banyak hal yang sudah terjadi yang bahkan air dingin ini tidak membantuku untuk menjadi rileks.


Ucapan Ummi mungkin benar, kini kami bisa menarik pelaku itu menjadi lebih dekat ke kami, namun disisi lain, aku juga kembali memikirkan kalau mereka sudah terlalu dekat ketika mengancam keamanan keluargaku. Rasanya sangat berat bagiku untuk bisa tenang dengan kondisi seperti ini.


Setelah selesai mandi pun, aku langsung mengenakan handukku dan aku segera keluar dari kamar mandi melihat Bella yang masih mengenakan handuknya sedang mengambil selfie.


"Heh ngirim foto ke siapa kamu?" Ucapku mengagetkan Bella.


"Eh, ya buat kak Andre lah kak, kayak kak Hani nggak pernah begini aja sama kakak" Jawabnya yang membuatku tersenyum kecil.


Akupun langsung mengambil baju, dan aku juga segera menyuruh Bella untuk mengenakan baju karena takut kalau dia masuk angin. Setelah itu, aku langsung memasukkan tubuhku kedalam selimut yang kemudian disusul oleh Bella, dan Bella langsung memeluk tubuhku pertanda kalau dia ingin dikeloni.


"Udah kepala dua, tidur masih dikelonin" Ledekku.


"Ehe" Jawabnya singkat, dan aku langsung membalas pelukannya.


"Kak"


"Iya, dek?"


"Pasti kakak lagi jenuh banget, ya?" Tanyanya dengan nada khawatir.


"Banget, dek, kakak udah nggak tau harus ngapain lagi" Jawabku.


"Kakak harus kuat ya kak, kakak nggak boleh lemah sampe semuanya selesai" Ucap Bella menyemangatiku, dan aku hanya membalasnya dengan mengelus-elus kepalanya.


Sudah cukup lama kami berada di posisi spooning ini, dan aku merasakan tangan Bella berpindah, dari dadaku, dan kemudian berjalan turun menuju ke perutku, dan aku yang sudah menebak kemana arah selanjutnya pun langsung menahan Bella.


"Dek, stop" Ucapku srmbari menggenggam tangannya.


"Kamu mau ngapain?"


"Ummm..." Jawabnya canggung yang meyakinkanku.


"Dek, kamu udah nggak bisa ngontrol hasrat kamu, ya?" Tanyaku khawatir.


"Kak, aku cuma pengen bikin kakak tenang kok, udah nggak usah nolak" Jawabnya yang sedikit membuatku marah.


"Dek, kamu pikir cuma dengan seks kakak bisa ngelepasin semua kegundahan kakak?" Kembali tanyaku.


"Nggak, tapi aku cuma ingin bikin kakak setidaknya bisa tidur nyenyak malam ini" Jelasnya.


"Kak, you've been through a lot, dan pasti kakak nggak bisa tidur nyenyak akhir-akhir ini, kan?" Kembali tanyanya.


"Kakak juga perlu istirahat, dan aku juga tau, pasti kakak bisa tidur lama kalo kakak abis ngelakuin 'itu', aku cuma ingin kakak bisa istirahat kak, meski aku tau cara aku salah" Lanjutnya.


"Kakak hargain usaha kamu, dek, tapi maaf ya, kakak lagi nggak mood buat ngelakuin itu semua" Jawabku.


"Tapi kalo emang kakak pengen 'itu', bilang aja ke aku ya kak, aku nggak keberatan kok, toh itung-itung aku lepas penat kerja juga kan, jadi saling benefit deh hehehe" Balas Bella.


"Halah ini mah kamu yang pengen" Candaku.


"Terserah lah kakak mau ngomong apa" Jawabnya sebal, namun Bella makin mempererat pelukannya.


"Aku sayang kakak, good night kak" Ucapnya.


"Good night, dek" Jawabku, dan baru ketikaaku ingin memejamkan mata, terdengar notifikasi dari hapeku.


Tanpa merubah posisi pun, aku langsung mengambil hapeku, dan aku langsung melihat mas Surya mengirimkan pesan kepadaku.


"Ohiya bay, saya lupa mau ngingetin kamu ini, dalam kondisi seperti ini, kamu harus waspada, jangan percaya dengan siapapun kecuali diri kamu sendiri, karena bahkan bisa jadi orang yang dekat dengan kamu lah yang melakukan ini" Pesannya, yang membuatku kembali gundah, karena aku baru saja bertemu dengan mas Farhan.


-To be Continued-
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd