Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT In Too Deep (NO SARA)

Apakah perlu ditambah bumbu-bumbu incest di cerita ini atau tidak?


  • Total voters
    537
  • Poll closed .
-Fifteen Minutes-

Hani


Bella


Ummi


=====

Tentu saja, tawaran pak Ben kuterima, dan somehow namaku meledak dan ada beberapa media yang ingin mewawancaraku terkait dengan pekerjaan dari pak Benedikt. Jumlah followers ku di sosial mediaku pun langsung meroket tinggi dalam kurun waktu satu minggu. Kini aku mulai merasakan bagaimana rasanya menjadi orang terkenal.

Siangnya setelah aku mendapat e-mail dari pak Ben, pak Benedikt datang kerumahku untuk masalah negosiasi kontrak. Pak Benedikt juga menjelaskan apa yang akan kukerjakan, seperti ikut dengannya mengamati pemain di pertandingan langsung, membantunya dalam menulis laporan hasil pengamatan, dan aku akan menggantikan pak Benedikt untuk mengambil keputusan terkait pengamatan pemain dalam skala akademi. Secara gambaran besar, aku akan menjadi babunya, namun aku juga diberi fasilitas yang cukup mumpuni.

Sebenarnya juga aku tidak keberatan dengan tawaran awal pak Ben, dimana aku akan mendapat gaji sebesar 1000 poundsterling per bulan yang belum termasuk tambahan jika pihak klub memberi bonus untuk pak Ben dimana aku akan mendapatkan sebagian dari bonus itu, dan sebuah fasilitas hotel untuk selama kutinggal disana serta urusan makan siang dan makan malam di hotel ditanggung olehnya. Selain itu, Aku juga bisa menambah pegangan uang dengan bekerja sambilan. Namun, Ayah yang bertindak seperti 'agen'-ku pun merasa keberatan. Menurutnya untuk seorang yang akan tinggal sendirian di eropa, gaji segitu masih sangat kecil karena aku juga perlu uang untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, Ayah yang memang ahli dalam masalah negosiasi pun akhirnya menunjukkan 'masterclassnya' dalam negosiasi.

Negosiasi itu berjalan panjang, sekitar sejam-an, dan akhirnya kami menemukan jalan tengah. Keputusan akhirnya berupa aku mendapat gaji 6000 poundsterling per bulan, dengan kondisi aku tidak mendapatkan komisi yang lain jika klub memberi komisi. Tambahan untukku hanya kudapatkan ketika aku ikut dengannya untuk menonton pertandingan langsung diluar Inggris, seperti saat kompetisi kontinental eropa.

Selain itu, akhirnya kontrakku dengan pak Ben hanya berdurasi dua tahun, dimana terdapat perjanjian diantara Ayah dan Pak Ben yang berupa 'jika Bayu tidak menunjukkan adanya perkembangan setelah 6 bulan, Bayu harus pulang ke Indonesia', dan kalau aku bisa bertahan sampai kontrakku habis, pak Ben akan merekomendasikanku ke klub sebagai scouter level akademi.

Pak Ben juga sudah menyuruhku untuk mengambil libur sejenak karena menurut pak Ben, lebih baik kalau aku memulai pekerjaanku tepat di saat jendela transfer sudah dibuka, dan pada periode inilah, aku mempersiapkan segala yang kubutuhkan untuk bekerja di luar negeri.

=====

"Baik ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, Bayu Aji Dirgantara akan menendang tendangan bebas terakhirnya pemirsa..." Ucap komentator di turnamen ini.

Karena aku besok sudah akan berangkat, pertandingan ini akan menjadi pertandingan terakhir bagiku untuk selama dua tahun, dan tentu saja tiba-tiba penonton menjadi sangat banyak, dan bahkan ada beberapa media yang ikut meliputi.

"Apakah akan tercipta gol untuk menutup waktunya bersama tim RW 04, mari kita lihat pemirsa..."

"Bay, ayo bisa golin, Bay, setidaknya lu pensiun bawa piala, Bay" Ucap mas Ikhsan disampingku.

"Tai kayak gua gabakal main disini lagi aja" Balasku yang membuat mas Ikhsan tertawa, dan aku langsung mengambil ancang-ancangku.

"Let's give yourself a proper ending, Bay" Ucapku dalam hati, dan aku langsung menendang bola itu kearah gawang.

Tendanganku tidak begitu keras, namun penempatanku 100% akurat. Bola melayang melewati pagar pemain, dan bola itu membelok kearah ujung kanan atas gawang.

"GOOOLLL!!!"

Untuk merayakan golku, aku membuka jerseyku dan jerseyku pun kuputar-putar sambil berlari menuju ke bench timku (gambaran: Selebrasi Ryan Giggs vs Arsenal semifinal FA Cup 1999). Setelah aku sampai ke bench pun, semua teman setimku langsung mengangkat dan melempar-lemparkanku tinggi-tinggi.

Aku berpikir kalau hanya timku saja yang turut serta melemparkanku, namun ketika aku menengok, bahkan ada beberapa orang dari tim lain pula yang ikut membantu. Sepertinya memang kepergianku akan cukup membekas disini.

Berhubung kami memasuki fase golden goal, golku tadi memberikan timku kemenangan, dan lagi-lagi kami mengangkat piala yang sudah kami menangi entah berapa banyak. Seperti biasa, sesi foto setim, acara siram-siraman, berfoto dengan Hani, semuanya aku lakukan setelah selesai pertandingan.

"Yahh udah ini mah, Pirlo nggak main lagi, nggak juara-juara lagi kita" Ucap ayah kak Liya kepadaku sambil menyiramiku air gelas plastik.

"Tau nih, segala pergi ke Inggris si Pirlo, udah dibilangin padahal mending kamu main jadi pemain profesional aja" Lanjut salah satu bapak-bapak yang bermain di timku juga, namun hanya kubalas dengan tertawa.

Berhubung sudah sore, dan sudah tidak ada yang perlu kulakukan lagi disini, akupun berniat untuk langsung mengajak Hani pulang kerumahku, karena nanti malam juga masih ada acara makan malam yang sudah diatur oleh Abbi. Namu ketika aku baru mau mengajak Hani, Hani sudah pergi entah kemana.

"Eh, mas, lu liat cewe gua, nggak?" Tanyaku ke mas Ikhsan.

"Itu tuh, Bay, lagi di interview, udah pemes ini kawan gua" Jawab mas Ikhsan sambil menggoyang-goyangkan tubuhku, dan setelah itu kami hanya sekedar mengobrol sebentar sebelum kami membubarkan diri.

Akupun langsung berjalan menuju ke Hani, dan Hani yang menyadari kedatanganku pun langsung menyuruh reporter itu mewawancaraiku.

"Nah, ini dia orangnya, silahkan ngomong sama orangnya ajaa hehehe" Ucap Hani menyuruhku yang sebenarnya sangat tidak ingin diwawancarai.

Pertanyaan yang diberi oleh mereka pun tidak ada yang berbobot, hanya sekedar seputar kehidupanku, bagaimana reaksiku ketika aku mendapat e-mail dari pak Ben. Bahkan semakin lama, pertanyaan mereka semakin membelok kearah urusan pribadiku.

None of this relates to my job, what is going on? Aku sangat benci kalau kehidupan pribadiku terlalu diekspos seperti ini. Lagipula buat apa? Harusnya ada topik yang lebih perlu untuk diinvestigasi daripada hanya sekedar lelaki yang akan menjadi asisten dari scouter ternama di dunia. Kalau aku sudah tahu dari awal kalau aku akan diberi pertanyaan seperti ini, lebih baik aku pergi saja.

"Mohon maaf, kalau pertanyaan yang diberi hanya tentang seputar kehidupan pribadi saya, maaf saya tidak ingin melanjutkan" Ucapku yang sudah kesal, dan aku langsung mengajak Hani untuk pergi kerumahku.

"Loh, kenapa, Bay?" Tanya Hani yang kebingungan.

"Males aku, nanti diekspos-ekspos juga kehidupan personal kita" Jelasku yang langsung dipahami oleh Hani.

"Ya ituu resikonya kalo kamu jadi terkenal sayangg, banyak yang bakal kepo sama kehidupan kamu" Jawabnya.

"Yaudah lah ya, mungkin aku cuma belom terbiasa aja" Balasku, dan setelah kami sampai dirumah, Hani langsung memasuki kamar Bella sementara aku langsung mandi.

-----
(Malamnya)

Seperti yang sudah direncanakan, malam ini kami akan makan malam bersama, keluargaku dan keluarga Abbi + Andre yang Bella ajak. Sepanjang makan malam pun ledekan Abbi dan Ummi tidak pernah luput dari aku diminta segera menikahi Hani.

"Nah udah kan, kan nanti makin lama gaji kamu makin gede tuh, Abbi udah tenang deh nggak perlu ngasih kalian duit" Ledek Abbi.

"Hahahahaha, nggak lah Bi, jadi scouter gajinya nggak segede manager atau pemain, pak Ben aja katanya setahun minimal dua ratus ribuan pounds, kalo pemain segitu baru seminggu" Jelasku.

"Makanyaa harusnya kamu jadi pemain Bay" Lanjut Ummi, dan tiba-tiba Arya adik Hani memotong pembicaraan.

"Abbi sama Ummi aja dulu pas aku pengen main basket profesional nggak dikasih, nggak usah ngomong yang aneh-aneh" Ucap Arya dingin, dan langsung kulihat Abbi memberi gimmick ke Arya untuk menjaga ucapan dan sikapnya.

Memang benar, dari awal dia datang, dia selalu menunjukkan aura-aura negatif. Dia tidak seperti ingin berada disini. Apakah dia kesal kepadaku? Memang aku dan Arya tidak sedekat Hani ke Bella, hal ini juga dipengaruhi oleh Arya yang kuliah di Barat, sementara aku, Hani, dan Bella kuliah di Timur. Aku juga sudah beberapa kali berusaha untuk dekat dengannya, seperti terkadang mengajak main game, mengajak dia nongkrong, atau sekedar aku bermain kerumahnya ketika tidak ada Hani. Tapi sepertinya dia memang kurang suka denganku.

"Heh, adek, dijaga dong sikapnya" Ucap Hani ke Arya.

"Pokoknya awas aja kalo nanti aku pas dapet kerja nggak dirayain begini juga" Kembali ucap Arya yang seperti iri.

"Aryaaa, ini lagi acara seneng-seneng loh, jangan memperkeruh suasana dongg" Ucap Ummi menyuruh Arya diam.

Arya pun akhirnya diam, dan dia kembali melanjutkan makannya. Baru ketika Arya menutup mulutnya, tiba-tiba Andre mengirim pesan ke grup chatku dan teman-temanku.

"Ini adek lu kenapa, Han? Kok kayaknya sensian banget?" Tanya Andre, dan aku yang langsung membacanya pun langsung memberi gimmick ke Hani untuk membaca chat nya.

"Biasa, Dre, masalah internal" Jelas Hani, dan setelah itu Andre hanya mengangguk paham.

Acara makan-makan pun berlanjut dengan sekedar mengobrol ria, dimana Ayah mengobrol dengan Abbi, Mamah dengan Ummi, sementara kami yang anak-anak pergi ke rooftop.

Di rooftop pun kami berpisah, Bella dengan Andre pergi duduk di sofa, aku dengan Hani melihat pemandangan, sedangkan Arya sendirian merokok menjauhi kita.

"Itu adek kamu ngerokok?" Tanyaku.

"Iya, udah dari lama"

"Nggak kamu marahin? Aku aja kamu ingetin mulu nggak boleh ngerokok" Balasku.

"Ah udah lah, cape juga aku ngasihtaunya" Jawab Hani, dan setelah itu Hani langsung merangkul tanganku dan menaruh kepalanya di lenganku.

"Tadi sebelum kesini, Arya juga berantem sama Abbi" Lanjut Hani yang membuatku heran.

"Kenapa?"

"Katanya buat apa ngerayain orang dapet kerja, dan bahkan orang itu bukan siapa-siapa di keluarga, cuma sekedar calon menantu" Jawab Hani.

"Adek kamu emang nggak suka sama aku, ya?" Tanyaku.

"Nggak kok, mungkin dia lagi badmood aja" Jelas Hani meyakinkanku, meski aku tidak yakin sepenuhnya.

"Kayaknya nggak mungkin juga sih kalo dia begitu karena bad mood, pasti ada alesannya" Balasku.

"It's okay sayangg, nggak perlu dipikirin okeyy? Pasti nanti kamu bakal deket sama dia kok" Ucap Hani sambil mengelus-elus tanganku.

Tidak banyak yang kami lakukan di rooftop, hanya mengobrol santai, dan beberapa kali foto sebelum akhirnya Abbi memanggil kami semua untuk kembali kedalam.

-----

Singkat cerita, kami sudah ingin pulang, dan memang sudah rencanaku dan Hani kalau kami ingin main dulu sebelum pulang. Aku dan Hani pun akhirnya memisahkan diri dari yang lain, dan kami langsung beranjak pergi dari sini.

"Mau kemana, sayang?" Tanyaku.

"Pantai, yuk" Jawabnya, dan aku langsung mengendarai mobilku menuju ke wisata pantai di daerah utara ibukota.

Sesampainya disana, kami pun langsung mencari lokasi yang jauh dari keramaian, dan setelah itu aku langsung menggelar tikar yang kubawa. Kami pun langsung menduduki tirai itu, dan Hani langsung menyandarkan kepalanya di bahuku sembari kami duduk menikmati pemandangan sambil ditiup oleh angin laut malam hari.

"Dua tahun..."

"Hah? Kenapa sayang?" Tanyaku yang kaget ketika Hani tiba-tiba mengucapkan dua tahun.

"Hah? Oooh, nggak kok, nggak kenapa-napa, aku cuma lagi mikir aja" Jelasnya.

"Mikir apa??"

"LDR kita nambah dua tahun hehe" Balasnya tertawa menutupi kesedihannyakesedihannya

"Kamu sedih, ya?" Tanyaku.

"Ya masa nggak sedih, sih? Nanti pas aku wisuda aja kamu masih di Inggris"

"Kayak nggak bisa ngambil cuti aja sih"

"Ya masa kamu ngambil cuti cuma gara-gara pacar kamu wisudaan?" Tanya Hani.

"Loh emang kenapa, it's okay, pasti nanti ada jalannya kok" Jelasku, dan Hani kembali mempererat rangkulannya.

"Pasti nanti kamu disana bakal ketemu cewek-cewek Inggris yang cakep, terus kamu ngelupain aku" Ucapnya pelan.

"Astagfirullah, udah yaampun, jangan kamu pikirin terus hal-hal kaya gitu, yang ada malah makin sedih kamu" Ingatku.

"NOH KAN BENER KAMU MAU NYARI CEWEK BULE YA??" teriak Hani meledekku.

"Dih bukannn, nggak begitu maksud akuu yaampunn," Balasku sambil mencubit hidungnya.

"Lagian kan aku juga udah punya pacar, udah cantik, baik, pinter, serakah banget aku kalo masih mau nyari yang lain" Lanjutku, namun Hani hanya terdiam tidak melepaskan rangkulannya.

Kami tidak berbicara lagi setelah itu, hanya terdiam melihat kearah lautan dan merasakan kesejukan angin malam. Hani juga terus menempel padaku, dan entah kenapa rasanya seperti Hani tidak ingin melepasku.

"Han"

"Kenapa sayang?"

"Besok Ayah sama Mamah nggak bisa nganter aku, kamu mau nganter aku ke bandara nggak?" Ucapku bertanya.

"Aku nggak tau, sayang," Jawabnya.

"Aku nggak yakin kalo aku kuat ngeliat kamu pergi nanti, terlebih juga kita bakal nggak ketemu lama kan" Jelasnya.

Aku tahu Hani memang gampang nangis, bahkan hanya sekedar aku dan Hani tidak akan bertemu selama dua minggu saja dia menangis dipelukanku waktu itu, apalagi nanti, terlebih rentang waktunya juga jauh berbeda. Jadi mungkin Hani melakukan ini demi menghindari kesedihan yang mendalam.

"It's okay, kalo kamu berubah pikiran masih ada waktu sampe besok, kok" Balasku masih berusaha meyakinkan Hani kalau aku ingin dia ikut besok.

"Gimana kalo gini aja?" Ucap Hani.

"Besok kalo aku jadi nganter kamu, aku langsung berangkat ke rumah kamu, kamu tunggu aku sampe jam 12, kalo aku nggak dateng, berarti aku nggak ikut, gimana?" Lanjutnya menjelaskan.

Entah kenapa, jawaban Hani sedikit memancing emosiku. Apakah dia sebenarnya memang tidak ingin mengantarku hanya demi menghindari kesedihannya saat melihatku pergi? Apa dia juga tidak berpikir kalau aku juga pasti akan sangat sedih?

"Kamu beneran nggak mau nemenin aku, ya?" Jawabku.

"Mauu, mau banget, cuma aku takut kalo aku jadi makin sedih ngeliat kamu pergi secara langsung gitu, kamu paham kan pasti?" Balasnya.

"Ya terus kamu mau lari dari rasa sedih itu? Kamu jangan mikir seolah kamu doang yang bakal ngerasa sakitnya dong, aku juga bakal ngerasain, Han, dan setidaknya aku nggak mau hari terakhir aku disini nggak ada orang yang aku sayang bakal nemenin aku," Ucapku tak sengaja meninggikan nada meski tidak sampai teriak.

"Percaya sama aku, rasanya lebih sakit kalo kamu milih lari dari yang kamu pikirin bakal ngebuat kamu sedih banget, I've been there" Jelasku menceritakan perpisahanku dengan Caca saat itu.

Hani pun terdiam, dan terlihat dari raut wajahnya dia seperti kesal denganku, namun tangannya tidak mengendurkan rangkulannya, dia masih merangkulku erat.

Akhirnya, Hani pun melepaskan rangkulannya, dan dia langsung sigap berdiri membersihkan pasir di celananya.

"Aku mau pulang, Bay" Ucap Hani pelan.

"Masih jam segini tau" Jawabku singkat.

"Kamu perlu istirahat, lagian aju juga yakin kamu masih belom selesai packing baju kamu" Balasnya akurat, aku masih belum selesai mengemas pakaianku.

Akhirnya aku hanya bisa menurut, dan kami pun langsung beranjak pergi dari sini dan beranjak menuju rumah Hani.

Dijalan pun, lagi-lagi terlihat Hani yang masih sepertinya kesal dengan perkataanku, dan kami pun juga tidak berbincang sama sekali, melainkan hanya menikmati pemandangan malam ibukota.

"Dua tahun aku bakal nggak ngeliat suasana kayak gini" Ucapku, dan Hani hanya menjawabnya dengan senyuman kecil, sebelum kembali melamun.

"Kamu marah sama aku?" Tanyaku ke Hani.

"Coba tebak" Jawabnya dingin.

"Well I don't know, cuma dari keliatannya kamu kaya pura-pura marah aja" Balasku menggoda Hani.

"Sok tau" Kembali balasnya dingin, dan untuk memastikan pun aku langsung memilin hidungnya untuk memastikan.

"Ihhh Bayu apaan siii, hihh pokoknya aku mau balesss, siniiii" Jawabnya sambil berusaha membalas cubitanku di hidungnya, dan akhirnya kami malah balas-balasan mencubit satu sama lain dan akhirnya terdengar suara tawa dari mulut Hani.

Thank god, setidaknya kini aku tau Hani tidak marah denganku.

Akhirnya kami pun sampai di rumah Hani, dan aku langsung berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Namun, Hani malah tidak melakukan apa-apa, tidak beranjak keluar maupun beres-beres.

"Ini udah sampe loh, kamu nggak mau turun?" Tanyaku, namun Hani tidak menjawab pertanyaanku, dan dia langsung membuka seatbelt.

Setelah membuka seatbelt, Hani beranjak membuka pintu, namun sebelum dia membuka pintu, aku memanggilnya.

"Han" Ucapku, dan dia langsung menoleh kearahku.

"Aku tunggu sampe jam 12 ya besok" Lanjutku, dan baru ketika aku bicara seperti itu, Hani langsung mengeluarkan air matanya tiba-tiba dan Hani langsung menangis sesenggukan.

"Eh, eh, loh udahh, jangan nangiss," Ucapku sambil mengelus pahanya, dan Hani langsung menggenggam tanganku yang berada di pahanya.

"Hikss... Hiksss... Hiksss..."

Akupun akhirnya memutuskan untuk memeluk dirinya yang masih sesenggukan menangis, dan Hani juga langsung membalas pelukanku.

Hani pun langsung mendekapkan kepalanya di pundakku, sementara aku langsung mengelus-elus punggungnya berusaha membuatnya menjadi lebih tenang. Namun upayaku gagal, dan Hani makin menangis sesenggukan.

"Sssh, ssssh, it's okay, cuma dua tahun kok, aku pasti pulang ke kamu" Ucapku sambil terus mengelus punggungnya.

"Hikss... Hikss... Sayanggg.... Hiksss... Hiksss..."

"Sssh, ssssh, Hann... udahh... It's finee..." Kembali ucapku berusaha menenangkannya.

"Hiksss.... Hikksss... Hiksss..."

Sepertinya tak ada gunanya juga aku menenangkan Hani sekarang, jadi aku hanya membiarkan Hani menangis sampai dia lega.

"It's okay, it's okay, let it all out" Ucapku.

"Hikkss... Hiksss... Hikssss...."

Setelah sekian lama, akhirnya Hani mau mengangkat kepalanya meski tangisannya belum berhenti. Aku juga langsung memerhatikan wajahnya yang sangat basah karena air matanya, dan terlihat matanya yang memerah sembab. Akupun dengan sigap langsung menghapus air mata di pipinya menggunakan ibu jariku, dan aku langsung mencium keningnya.

*Ccupphh...*

"Aku pasti pulang kok, sayang, it's okay, aku nggak bakal selamanya pergi jauh" Ucapku sambil mengelus-elus pipinya.

"Tapi... Kata kamu kalo... Hiksss... Hiksss... Kontrak kamu abis... Hikss... Hiksss... Kamu disuruh kerja di Chelsea lagi.... Hiksss... Hiksss... Berartii... Kan kamuu bakal di Inggris lagii... Hikss... Hiksss..." Balasnya sesenggukan.

"Nggak kok, nggak, itu kan baru direkomendasiin doang, belum tentu pihak klub nya juga mau langsung nerima aku, kan? Sssh, it's okayy, pasti ada solusinyaa" Jawabku berusaha menenangkannya lagi.

Hani tidak menjawab ucapanku, namun dia kini menggenggam kedua tanganku yang sedang berada di pipinya. Aku tidak tahan, dan aku langsung mengecup bibirnya lembut.

*Ccupphh...*

Akupun mulai memagut bibirnya lembut, namun Hani masih terdiam tidak membalasku, hanya memejamkan matanya. Namun setelah sekian waktu, akhirnya Hani mulai membalas ciumanku.

*Ccupphh... Ccupphh...*

Tangan Hani juga berpindah, dan Hani juga ikut memegang pipiku, dan kini kami berdua sudah saling membalas pagutan kami.

*Ccupphh... Ccupphh... Ccuupphhh...*

Dari ciuman ini, entah kenapa aku bisa merasakan kesedihan yang sedang Hani rasakan seolah tidak ingin aku pergi jauh darinya, dan rasanya dia melampiaskan semua kesedihannya saat ini.

*Ccupphh... Ccupphh... Hiksss... Hikss... Ccupphh... Ccupphh...* terdengar suara tangis Hani di sela-sela ciuman kami.

Aku juga mengekspresikan hal yang sama. Aku juga merasa malam ini merupakan malam terakhir aku akan bertemu dengan Hani untuk waktu yang cukup lama, dan rasanya aku hanya ingin melampiaskan semuanya pada ciuman kali ini.

*Ccupphh... Ccupphh...*

Cukup lama kami berciuman, dan akhirnya Hani menghentikan pagutannya, menandakan kalau dia sudah ingin berhenti. Akupun melepaskan ciumanku, dan kami kembali bertatapan dan sudah tidak terdengar tangisan lagi dari Hani. Entah kenapa, rasanya ciuman kali ini jauh lebih memuaskan dari perpagutan kami sebelumnya yang bahkan terkadang berakhir dengan seks.

"Gimana? Udah lega?" Tanyaku, dan Hani hanya menjawabnya dengan mengangguk sambil kembali memegang kedua tanganku erat seolah tak ingin aku pergi.

"Kamu mau aku nginep disini?" Kembali tanyaku, dan Hani menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yaudah, kalo gitu, aku pamit pulang ya" Lanjutku, namun Hani kulihat seperti ingin kembali menangis, namun langsung kutahan.

"Hey, hey, it's okay, it's okay, aku nggak pergi selamanya kok, okay?" Ucapku sambil memegang kedua bahunya.


"Sayang...." Jawabnya lirih, akhirnya Hani mengeluarkan suaranya.


"It's okay sayang, kalo kamu masih mau sama aku, masih ada waktu sampe besok, okay?" Balasku.


"Aku... Takut nggak kuat ngeliat kamu pergi Bay..." Jawabnya yang sudah sedikit lebih tenang.


"It's okay kalau kamu nggak kuat, aku nggak mau maksa," Jelasku.


"Tapi setidaknya, kalo kamu ikut, you could give me a proper farewell instead of just kissing in the car" Candaku yang akhirnya membuat Hani tersenyum.


"Jadi gimana? Aku pulang sekarang atau kamu masih mau main?" Tanyaku.


"Udah malem, sayang, kamu juga perlu istirahat, kan?" Balik tanyanya.


"Yaudah kalo gitu, tapi janji ya kamu nggak nangis lagi abis turun dari mobil" Jawabku, dan aku menjulurkan jari kelingkingku.


Hani pun tersenyum mendengar ucapanku, dan Hani langsung membalas kelingkingku, sebelum dia kembali menciumku di pipi.


*Ccupphh...*


"Aku pulang ya, sayang" Ucapku pelan.


"Iyaa, hati-hati ya, udah malem soalnya" Jawabnya, dan setelah itu Hani memelukku lagi sejenak.


"Aku sayang kamu"


"Aku juga sayang kamu"


Setelah Hani puas berpelukan, Hani langsung beranjak turun dari mobilku, dan aku menunggu Hani masuk kedalam rumahnya sebelum aku beranjak pulang. Namun, baru ketika Hani ingin membuka pagar, tiba-tiba Hani membalikkan badannya menghadap kearahku, dan kulihat mata Hani sudah kembali berair.


Aku yang langsung sadar pun tidak berkata apa-apa, hanya menunjukkan jari kelingkingku ke Hani, mengingatkan Hani soal janji yang baru saja kami buat tadi.


Hani yang tadinya terlihat sangat sedih akhirnya tersenyum, dan Hani ikut menunjukkan jari kelingkingnya sebelum Hani beranjak masuk melewati pagar, dan memasuki rumahnya melewati pintu depan, dan akupun juga langsung beranjak pulang.


-----
(Esoknya)


"Bay, barang-barang udah siap semua, kan?" Tanya Andre dari luar kamarku.


"Iyaa, udah kok"


"Mau jalan sekarang? Takut kesorean malah macet" Balas Andre.


"Iyaa, yaudah lu siapin mobil dulu aja" Jawabku, dan aku langsung menyiapkan tas-tas yang akan kubawa.


This is it, ini adalah hari terakhirku berada di kamar ini sebelum aku akan berangkat kerja di Inggris selama dua tahun atau bahkan lebih. Aku juga tidak punya banyak kenangan di rumah ini, jadi rasanya tidak begitu berat bagiku, mungkin kalau aku masih berada di rumah lamaku, aku bisa menangis melihat ini. Aku bahkan mungkin bisa menangis lebih menjadi kalau tidak ada yang mengantarku, tapi untungnya Bella dan Andre bisa mengantarku ke bandara.


Akupun langsung mengambil tas-tasku, dan aku beranjak pergi keluar dari kamarku. Baru ketika aku menuruni tangga, kulihat Andre dan Bella sedang berciuman di ruang tamu, dan kulihat tangan Andre juga berada di payudara Bella.


"Ssst, sssst, oi, bantuin gua bawain tasnya" Ucapku memanggil Andre, dan Andre pun langsung gelagapan panik.


"Eh, eh, iya, Bay, sebentar ya" Ucap Andre gelagapan.


"Hayoo panik kann hahahah" Lanjut Bella meledek Andre, dan Andre langsung beranjak membantuku membawa tasku kedalam mobil.


Setelah semuanya dimasukkan kedalam mobil, Andre pun langsung mengajak kami pergi, namun ada satu hal yang membuatku tidak ingin berangkat.


"Bay, berangkat sekarang ayo"


"Entar dulu Dre, bentarr aja"


"Lu pasti masih mau nungguin Hani, ya?" Ucap Andre.


Aku memang masih ingin menunggu Hani. Aku ingin dia ikut dengan kami mengantarku pergi ke bandara. Namun, sekarang sudah jam 1:30. Hani tidak kurun datang, dan sejak pagi, Hani tidak membuka hapenya.


"Iya, Dre" Jawabku singkat.


"Udah jam segini, Bay, bilang aja ke Hani kalo mau dia nyusul ke bandara aja" Balas Andre, dan akupun mengangguk paham.


Aku langsung membuka hapeku, dan aku langsung membuka chat-ku yang sejak tadi pagi tidak dibaca oleh Hani.


"Sayang, aku udah mau berangkat dari rumah, kalo mau ikut, kamu nyusul aja yaa, hope I can see you there" Pesanku.


Akupun langsung menyusul Andre dan Bella memasuki mobil, dan setelah itu kami berangkat dari rumahku.


Di jalan juga, aku kembali murung. Apakah aku tidak akan bertemu dengan Hani di bandara nanti? Apakah pertemuan kami tadi malam adalah yang terakhir kalinya?


Aku akhirnya tidak tahan, dan akupun langsung menelepon Ummi.


"Assalamu'alaikum, Bay? Kamu belom berangkat?" Ucap Ummi setelah mengangkat teleponku.


"Wa'alaikumussalam, Mi, ini aku udah jalan ke bandara" Jawabku.


"Oooh, okee, kenapa kamu nelpon, Bay?" Tanyanya.


"Hani lagi nggak kenapa-napa, kan? Aku chat daritadi nggak dibales, Mi"


"Hmmm, gimana bilangnya ya" Ucap Ummi pelan.


"Mi?? Hani nggak kenapa-napa, kan???" Tanyaku khawatir.


"Hani nggak mau keluar kamar, Bay" Jawab Ummi.


Oh no....


"Aduh, terus gimana, Mi?" Kembali tanyaku.


"Yaa begitu, tadi Arya juga udah teriak marahin Hani 'ketimbang pacarnya mau kerja di luar negeri aja ampe segitunya lu, kak!!' begitu, cuma Ummi udah ngomong juga tadi ke dia, baiknya kamu nemenin dia ke bandara, cuma yang Ummi denger dari kamar Hani cuma suara dia nangis" Jelasnya yang membuatku ikut sedih juga.


"Oooh gitu... Yaudah kalo gitu, Mi, bilangin ke Hani aku titip salam yaa..." Jawabku pelan.


"Iyaa Bay, mungkin juga Hani ngerasa dia bakal kehilangan banget, kamu inget kan yang Ummi cerita waktu itu kalo bagi Hani kamu bukan cuma sekedar pacarnya?" Jawab Ummi.


"Dia lagi ngerasa kehilangan banget, Bay, wajar kalo reaksi dia kayak begitu, cuma nanti Ummi coba lagi bilangin ke dianya ya Bay, siapa tau dia mau nyusul ke bandara" Lanjutnya, dan aku hanya mengiyakan sebelum Ummi mematikan teleponnya.


"Fuck" Ucapku pelan.


"Kenapa, kak?" Tanya Bella.


"Kak Hani, dek, dia lagi nangis seharian kata Ummi" Jelasku.


"Aduh, tapi wajar sih, dari yang aku liat juga kak Hani tuh kayak udah dalemmm banget sama kakak, dia mungkin nggak kuat ngeliat kakak pergi" Balas Bella.


"Iya, dek, kak Hani juga ngomong gitu ke kakak kemaren" Jawabku.


"Apa kita samperin aja ke rumahnya sekarang?" Ujar Andre.


"Kak Andre jangan gajelas, ih, udah jam seginiii" Balas Bella sambil menjewer kupingnya.


"Eh, eh, iya udah sayang, jangan nyubit lagi, udahh udahh"


"Hahahaha, yaudah, yaudah, kita tunggu di bandara aja kalo gitu, semoga dia masih mau nyusul" Ucapku memberi solusi.


-----


Sesampainya di bandara, aku langsung bertemu dengan pak Benedikt yang sudah menungguku daritadi.


"What took you so long, son?" Tanyanya.


"Kan kita penerbangan jam 6, pak, lihat sekarang masih jam berapa" Jawabku sambil menunjukkan jam.


"Hahahaha, ya kan aku berpikirnya kau ingin makan dulu sebelum naik ke pesawat" Balasnya.


"Hahahaha, sebenarnya juga kami ingin makan dulu sih, pak, apakah bapak ingin ikut makan juga?" Tawar Andre ke pak Benedikt.


"Baik, ayo kita makan, aku sudah seperti melumut menunggu kalian" Jawabnya yang membuat kami tertawa, dan kami langsung menuju ke restoran.


Di restoran, kami juga mengobrol, dan pak Benedikt juga mengomentari bomber West Ham yang sedang kugunakan sekarang.


"Nak, kita akan bekerja untuk Chelsea, kau yakin ingin menggunakan jaket itu? Kita kan harus ke training ground setelah kita sampai" Tanyanya.


"Kenapa nggak? Lagian kan bisa aku buka nanti, aku masih menggunakan kaus, kok" Jelasku dan pak Ben hanya mengiyakan.


Lagi-lagi, pikiranku kembali mengarah ke Hani. Aku masih sangat berharap, Hani akan datang kesini. Setiap beberapa detik sekali, aku berpindah-pindah memerhatikan sekitar dan memerhatikan hapeku, just in case Hani membalas pesanku. Namun semuanya nihil, aku tidak melihat adanya Hani, dan Hani juga masih belum membalas pesanku.


Bella yang tadinya mengobrol dengan Andre dan pak Benedikt pun menyadari perilakuku yang sangat gelisah ini, dan Bella langsung menggenggam tanganku.


"Kak, jangan terlalu dipikirin, oke? Kakak do'a aja semoga kak Hani udah mau jalan kesini" Ucapnya pelan, dan aku hanya mengangguk mengiyakan.


Sampai kami selesai makan pun, belum muncul tanda-tanda Hani akan datang. Namun aku masih berharap. Kami pun segera pergi dari restoran ini, dan kami langsung beranjak pergi menuju pintu keberangkatan.


"Apa kita masuk sekarang saja, nak?" Tanya pak Ben.


"Apa aku boleh menunggu sebentar, pak? Aku takut pacarku datang kesini saat aku sudah masuk kedalam" Jawabku, dan pak Ben hanya mengiyakan.


Akhirnya aku kembali menunggu, dan aku terus memerhatikan sekitar mencari Hani. Bella dan Andre pun juga ikut membantuku, bahkan Andre sampai berjalan memerhatikan sekitar. Namun, lagi-lagi, tidak ada hasilnya.


"Bay, nggak ada, Bay, udah lu masuk aja" Ucap Andre mengingatkanku.


"Ah, fuck, yaudah deh" Jawabku kecewa karena Hani tidak akan datang, dan aku langsung beranjak menyalami Andre.


"Pamit ya gua, jagain adek gua selama gua disana" Ucapku.


"Pastinya, Bay, lu juga jaga diri disana, awas kalo lu nggak main ke London Stadium sama sekali, gua abisin lu" Balas Andre bergurau, dan setelah bersalaman dengan Andre, aku langsung menghadap ke Bella yang seperti menahan tangis.


"Udah lepas aja sih dek gausah ditahan-tahan nangisnya" Ucapku meledek Bella, dan Bella akhirnya tak kuasa menahan tangisnya dan langsung beranjak memelukku.


"Kakak pamit, ya, dek" Ucapku.


"Hikss... Hikss... Iyaa kak, kakak harus jaga kesehatan kakak disana, inget kakak hidup sendirian disana... Hikss... Hikss..." Jawabnya.


"Iyaa adek sayangg, kamu juga ya, sama bilang ke kakak kalo Andre nakal sama kamu" Balasku yang membuat Bella tertawa, dan akhirnya Bella melepaskan pelukannya.


"Yaudah, gua berangkat ya" Ucapku ke Andre dan Bella.


Setelah itu, aku dan pak Benedikt langsung beranjak menuju ke pintu keberangkatan. Tentu saja aku juga merasa sangat sedih. Aku akan pergi jauh dari rumah, dan aku akan hidup sendirian di tempat yang bahkan tidak pernah kukunjungi sebelumnya. Jauh dari keluarga, teman-teman, Hani, jelas rasanya sangat berat bagiku.


Namun aku tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Ini merupakan pijakan awal bagiku untuk mengejar mimpiku, aku harusnya berbahagia. Oleh karena itu, aku berusaha untuk mengalihkan perhatianku.


"Pak Ben, kenapa kita nggak naik jet pribadi?" Tanyaku bergurau ke pak Ben.


"Nak, rendahkan ekspektasimu, kita hanya scouter, bukan pemain, jelas kita tidak akan berada di limelight yang sama dengan mereka, lagipula bersyukurlah sedikit, aku masih mau membayarkan biaya pesawatmu" Jawabnya ketus yang membuatku tertawa.


Kini aku sudah mendekati pemeriksaan pertama, dan baru ketika aku mau diperiksa, aku mendengar suara dentuman kaki orang yang berlari.


"KAKK!! KAKK!! KAKK!!" teriak seseorang.


Loh, itu kan suara Bella. Kok dia kembali datang kepadaku? Selain itu, aku juga mendengar dentuman itu tidak hanya dari satu orang namun lebih dari dua, dan suara itu terdengar secara bersamaan.


JANGAN-JANGANN....


Baru ketika aku berbalik, tiba-tiba seseorang dengan jilbab pink langsung memelukku, dan dugaanku benar, dan aku langsung membalas pelukannya.


"Hani??? Kamu kemana aja??" Tanyaku sambil mengelus-elus kepalanya.


"Hikss... Hikss... Sayaangg.... Maafinnn akuuu.... Hiksss... Hikssss..." Ucapnya terisak.


"Hey, hey, kenapa?? It's okay, kamu udah dateng sekarang, nggak perlu minta maaf kok" Jawabku.


"Hiksss... Hiksss... Sayanggg... Aku nggakk kuatt... Akuu nggak yakinn aku bisaaa.... Hiksss... Hiksss... Akuu nggak mauu jauh-jauhh lagii sama kamuu.... Hiksss... Hiksss..." Kembali ucapnya yang terpotong-potong oleh suara tangisannya, dan kali ini kubiarkan Hani menangis sampai dia lega.


"It's okay, lepas semuanya, Han, jangan berenti nangis, nangis aja sampe kamu lega, okey?" Ucapku sambil mengelus-elus punggungnya.


Hani pun akhirnya menangis makin kencang, dan pelukannya di badanku makin dia eratkan. Aku juga tidak melakukan apa-apa, hanya membalas pelukannya dan mengelus-elus kepalanya yang masih tertutupi hijab.


"Nak, kalau bisa jangan lama-lama, ya, ingat waktu" Ucap pak Benedikt mengingatkanku.


"How much time do we have left?" Tanyaku ke pak Ben.


"I'd say fifteen minutes"


"Oh okay, noh sayang, aku cuma punya waktu 15 menit lagi, puas-puasin 15 menit terakhir ini, ya" Ucapku ke Hani yang masih menangis terisak di pelukanku.


"Hikss... Hiksss... Sayangggg...." Hanya itu yang terdengar darinya.


Selama 15 menit terakhir ini, tidak ada yang mengendurkan pelukan diantara kami, dan bahkan kurasakan bomberku sudah sangat basah terkena air mata Hani. Namun aku tidak terlalu memperdulikannya, yang penting aku hanya ingin menikmati 15 menit terakhirku bersama Hani tanpa melepas pelukanku.


"It's okayy, aku cuma pergi sementara, aku mau ngejar mimpi aku sama kayak yang kamu bilang ke aku waktu itu, kita juga masih bisa berhubungan kok, kan ada Sk*pe, ada IG, ada L*ne, it's okayy" Ucapku tak melepaskan pelukannya.


"Hikss... Hikss... Hiksss..."


"Aku janji, aku pasti bakal pulang pas kamu wisuda, aku bakal ada di samping kamu foto-foto pas kamu masih pake toga, aku janji aku pasti pulang di hari itu" Lanjutku.


"Hiksss... Hiksss... Hiksss...."


"Cuma untuk sekarang, kamu juga harus bisa kuat, sama kok aku juga ngerasain sedih sama kayak kamu, kan aku juga bakal jauh sama pacar aku, kita berjuang sama-sama, ya?" Kembali lanjutku mengakhiri perkataanku.


Akhirnya, perlahan suara tangisan Hani menghilang, sampai suara tangisan itu hilang sepenuhnya.


"Gimana? Udah lega?" Tanyaku, dan Hani hanya mengangguk.


Aku langsung melihat kearah pak Ben, dan pak Ben langsung memberi gestur tubuh menjelaskan kami harus segera masuk.


"Sayang, aku udah mau masuk loh ini" Ucapku, dan akhirnya Hani melepaskan pelukannya dan langsung terlihat wajahnya yang dipenuhi oleh raut kesedihan dan matanya yang memerah sembab.


"Aku berangkat ya" Ucapku sambil menggenggam kedua tangan Hani.


"Sayang... Inget, kamu bakal hidup sendirian disana... Kamu nggak bisa banyak mengandalkan orang... Kamu harus bisa mandiri... Jaga kesehatan kamu... Jangan sampe kamu sakit... Makannya yang teratur... Oke??" Ucap Hani lirih.


"Iyaa sayangg... Pastinyaa... Nanti sekampung berabe kalo aku kenapa-napa disana" Jawabku yang membuat Hani tertawa kecil.


"Aku tunggu di hari wisuda aku, ya" Ucapnya.


"Iyaa, aku janji" Jawabku.


Sepertinya, ada satu hal terakhir yang harus kulakukan sebelum aku pergi meninggalkan Hani. Aku langsung membuka bomberku, dan aku langsung memakaikannya di Hani.


"Loh, sayang, ini buat apa?" Tanyanya kebingungan.


"Simpen jaket ini, ya, aku ambil jaket ini dua tahun lagi" Jawabku.


"Tapi kan... Ini jaket favorit kamu, sayang" Balasnya.


"Iya gapapa kok, tadi pak Ben juga marahin aku katanya aku nggak boleh make ini ke training ground, kan logonya West Ham," Jawabku yang membuat Hani tertawa.


"Lagipula, setidaknya jaket ini ada di tangan orang yang paling aku sayang" Lanjutku, dan Hani tersenyum lebar mendengar perkataanku.


Akupun langsung mengelus-elus pipinya, dan aku langsung mencium keningnya.


*Ccupphh...*


Aku hanya mengecup keningnya sejenak, dan baru ketika aku melepaskan kecupanku di keningnya, Hani langsung menyosor bibirku dan kami berciuman.


*Ccupphh... Ccupphh...*


Tak lama kami berciuman, karena aku juga harus mengejar waktu. Akhirnya, setelah beberapa lama berpagutan, aku melepaskan ciumanku.


"Hati-hati ya sayang, I love you" Ucap Hani pelan disamping telingaku.


"I love you too, sweetie, aku berangkat ya" Jawabku, dan setelah melepaskan pelukanku, aku berjalan menjauhi Hani, Bella, dan Andre.


Setelah melewati pemeriksaan pertama, aku melihat dari kaca, Hani, Bella, dan Andre masih berada disana memperhatikanku yang berjalan menjauhi mereka. Aku juga melihat Hani tersenyum melambai-lambaikan tangannya kepadaku, dan setelah itu Hani menunjukkan jari kelingkingnya. Akupun ikut menunjukkan jari kelingkingku, dan aku memberinya kiss-bye yang langsung dibalas olehnya juga.


"It's gonna be alright, son, it's part of the process" Ucap pak Ben, dan aku hanya mengangguk mengiyakan.


=====
(Inggris)


Sesampainya di Inggris, seperti rencana, pak Ben langsung mengajakku ke training ground, dan disana dia mempertemukanku dengan staff-staff di bidang scouting, serta aku juga bertemu dengan beberapa pemain yang sedang berada disana. Tentu ini merupakan lingkungan baru bagiku, dan aku juga merasa sangat gugup, namun pak Ben selalu mengingatkanku untuk tetap menjadi diriku seperti biasa.


Tidak begitu lama kami berada disini, dan setelah itu akhirnya pak Ben menyuruhku untuk beristirahat. Pak Ben pun langsung menyuruh supirnya untuk mengantarku ke apartemen sewaanku yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari. Kebetulan, aku juga akan tinggal bersama dua orang lain yang masih seumuran denganku. Menurut Ayah, lebih baik begitu daripada aku benar-benar sendirian disini.


Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya aku sampai. Akupun langsung pergi menuju pintu depan, dan aku langsung menghubungi orang yang sudah mengisi apartemen kami.


Tak lama setelah aku menghubungi orang itu, kulihat dia keluar dari pintu masuk apartemen, dan dia langsung menyapaku setelah dia melihatku.


"Oh, you must be that Indonesian boy, I'm Lewis" Sapanya memperkenalkan dirinya.


"Bayu"


"Ba.... What?" Tanyanya yang kesusahan menyebut namaku.


"Baaa... Yuuuu..." Jawabku membantunya mengucap namaku.


"Umm... Aaah namamu kok susah sekali disebutnya?" Ucapnya menyerah.


"Hahahahah, padahal tidak sesusah itu loh, tapi kalau kamu masih kesusahan, just call me 'Bee', okay?" Balasku.


"Aaaah, okay, okay, itu jauh lebih gampang, okay then, welcome to London, Bee" Jawabnya menjabat tanganku, dan setelah itu dia mengajakku masuk.


Sesampainya di dalam flat kami, aku langsung melihat betapa berantakannya seisi flat karena memang kami baru mengisi flat kami, namun kamarku sudah disiapkan oleh teman Ayah sehingga aku tidak perlu banyak merapihkan barang-barang.


"Oh my days, what a mess" Ucapku pelan.


"Hahahaha, jelas, Bee, kan kita juga baru mengisi apartemen ini" Jawabnya.


"Iya sih, masuk akal juga, where's the other guy by the way?" Tanyaku.


"Oh, dia ada di kamarnya, kamu mau langsung berkenalan?" Balasnya dan aku hanya mengangguk.


Lewis pun mengajakku ke kamar orang ini, dan aku juga langsung melihat dia sedang kewalahan membuka isi dari kardus-kardusnya.


"Cox, dia sudah datang, loh" Ucap Lewis memanggilnya, dan dia langsung melihat kearahku.


"Oh, hey there! Nice to meet you, I'm Hugh" Sapanya kepadaku.


"Bee" Jawabku dan kami berjabatan tangan.


"Wait, wait, namamu Hugh Cox?" Tanyaku setelah kami selesai bersalaman, dan Hugh hanya mengangguk, dan aku langsung tertawa mendengarnya karena pronunciation namanya mirip dengan Huge Cock (kontol besar).


"See? Bukan hanya aku yang tertawa mendengarnya" Ucap Lewis kepada Hugh.


"Ah sudah lah, orangtuaku memang kejam memberiku nama ini" Jawab Hugh.


Setelah kami mengobrol sejenak, Lewis membawaku ke kamarku, dan setelah aku menaruh semua tasku di kamar, aku langsung merebahkan diriku.


Rasanya benar-benar aneh, aku tinggal jauh dari keluarga dan teman-teman, namun inilah proses adaptasi. Aku pasti akan terbiasa.


Setelah cukup lama aku merebahkan diriku, akupun langsung membuka hapeku dan setelah menghubungkan hapeku ke Wifi, notifikasi di hapeku langsung membludak dari berbagai macam sosial media. Namun yang kulihat jelas, Inst*gram ku kembali meledak dipenuhi oleh notifikasi. Akupun langsung membuka notifikasinya, dan ternyata notifikasi itu berasal dari beberapa akun yang mem-posting foto aku dan Hani yang sedang berpelukan di bandara.


Kulihat Hani juga mengaitkan akunku di postingan terbarunya, dan foto yang hani upload adalah fotoku dengannya yang sedang berpelukan di bandara yang berbeda dari orang-orang unggah, dan captionnya hanya bertuliskan:


"Fifteen Minutes"


-To be Continued-
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Makasih updatenya

Sepertinya Arya cuma ga suka ke Bayu doang. Mungkin gara-Arya pikir perhatian keluarganya ke Bayu dirasa berlebihan. Atau ada faktor lain?

2 tahun waktu cukup lama sih. Mau tau seperti apa hubungan mereka berdua nantinya setelah 2 tahun LDR. Atau cuma 6 bulan aja Bayu di inggris?

Saya ga bisa komentar banyak kepergian Bayu ke inggris, toh emang jalan cerita TS seperti itu.

Ditunggu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd