MINGGU YANG TENANG DINIKMATI oleh Nana. Ia menghabiskan waktu pagi sampai siang dengan berlatih jurus naga air dan sembilan matahari, lalu untuk tenaga melatih air langit, air bumi, dan api mentari. Kemudian menjelang sore ia pergi ke kampung tengah, bercakap-cakap dengan Glosk dan Edisk yang ramah. Kadang pergi ke Arkana, terutama menemani Reya yang masih memikul beberapa tanggung jawab untuk dikerjakan.
Menjelang malamnya, dihabiskan dengan mandi dan bersetubuh. Nana belajar mengemut kontol lelaki -- siapa lagi kalau bukan kontol Reya yang berurat kekar, tidak terlalu panjang hanya 12 cm, namun mampu memberikan kenikmatan luar biasa memakai mulut, apalagi memakai memek?
Lagipula, setiap kali bersetubuh Nana mendapatkan tambahan cakra api darinya. Cakra api nya menjadi semakin kuat, walaupun masih kalah dari cakra air yang diberikan oleh Lambas. Orang tua berpenampilan muda itu hanya datang sekali dua dan hanya sekali lagi saja mengulangi persetubuhan dengan Nana.
Nana mendapatkan ilmu bersetubuhnya dari Tonya. Gadis itu dengan lihat memperagakan latihan untuk menggerakkan pinggul, membuat putaran dan teknik bagaimana meremas kontol yang masuk ke dalam memek. Ia juga seorang Rashi, yang bisa mengendalikan semprotan dari memeknya pada saat orgasme. Cairan dari memek Tonya sangat manjur untuk menutup segala luka dan memar yang terjadi ketika Nana berlatih jurus-jurusnya bersama Reya. Akirosk ini sudah mencapai tingkat dasar 2, setingkat lebih tinggi dari Nana. Hei, Nana baru belajar beberapa hari. Reya sudah berlatih lebih dari enam belas tahun!
Begitulah kira-kira setiap hari berjalan selama tiga minggu yang berlalu dengan tenang. Semua berjalan dengan monoton. Bahkan bersetubuh juga menjadi sesuatu yang agak monoton setelah dua minggu yang panas. Ya begitulah: bertelanjang, saling menjilat, saling mengemut, menangkang, dan masuklah kontol ke dalam memek. Masuk-keluar, masuk-keluar, hingga Nana lebih dahulu atau Reya lebih dahulu mencapai puncak. Selesai.
Tidak ada cinta di sana. Reya adalah budak, dan bersetubuh adalah dorongan dari Kai agar semua mahluk bersetubuh, untuk meneruskan kehidupan. Kai juga yang diserap dan diolah, berubah menjadi cakra, entah cakra air atau api atau bumi -- hanya Nana tidak punya jurus maupun naskah cakra bumi. Jadi tidak bisa mengolah atau melatih cakra bumi. Ia hanya menyerap cakra bumi dari para Akirosk yang sedang berlatih.
Apalagi cakra kehidupan, entah seperti apa rupanya. Sementara, air dan api sudah cukup menyita waktu dan pikiran. Untungnya Nana sangat cerdas, dan bagaimanapun ilmu-ilmu itu masih lebih sederhana dibandingkan bahan-bahan mata kuliah. Bagi mahasiswi yang ahli wushu sekaligus ber-IPK lebih dari 3,4, belajar naskah dan jurus tidak terlalu sulit. Nana juga melatih jurus-jurus wushunya, terutama Tinju Utara. Ia menggabungkan dengan naga air. Sementara, jurus sembilan matahari yang lebih banyak merupakan tendangan berantai diatur ulang menurut Tai Chi dan tendangan delapan mata angin.
Yang jadi korban mengalami pukulan dan tendangan, tentu saja Reya. Untungnya cairan memek Tonya mampu menyembuhkan segala macam luka, termasuk patah tulang juga, sembuh seketika. Rashi jauh lebih keren dari segala ilmu medis modern. Mantap!
Pada suatu hari di kala siang menjelang sore, Nana masih berjalan-jalan di kampung tengah. Ia mulai menyukai model-model perhiasan yang dijual. Tadinya si penjual, seorang Edisk bernama Momo, ingin memberi perhiasan begitu saja kepada Nana yang Homosk. Tapi Nana menolaknya, karena toh ia hanya mengagumi hasil karya seni dalam kalung rantai emas dengan mata berhiaskan batu zamrud merah menyala yang indah. Ia tidak berniat memakainya, hanya penasaran saja. Sudah dicoba pakai, terus ditaruh lagi.
Momo senang sekali karena setiap kali orang-orang melihat Nana mengenakan sesuatu, mereka terus memburu perhiasan itu, sehingga Momo harus melelangnya. Harga perhiasannya langsung naik dan memberi keuntungan besar. Cantik sekali, Putri, silakan coba semua perhiasan yang ada, kata Momo. Dengan begitu, sangat besar keuntungan yang bisa didapat.
Tiba-tiba kehebohan terjadi. Persis di atas kampung tengah, sebuah celah besar muncul lima meter di udara.
ROMANAAAAAA!!!! Jerit orang-orang dengan panik, mereka terus berlarian menyelamatkan diri. Mahluk jahat atau monster yang disebut Romana terus bermunculan, tetapi kali ini muncul juga mahluk jahat lain, serupa kambing raksasa setinggi tiga meter dengan dua tanduk panjang dan menyala kemerahan, seperti sebatang besi yang dipanaskan di tanur api.
"Tuan Putri!" seru Tonya mengajak Nana segera menghindar dari kehebohan itu. Namun Romana dan mahluk serupa kambing itu bergerak sangat cepat dan menutup semua jalan, sambil membantai siapa saja yang berada di sana. Reya terus mengeluarkan perisai dan pedangnya dan mulai menghantam Romana yang mengalir bagaikan air bah. Darah menggenang di jalanan, entah itu darah Glosk, Edisk, atau darah mahluk jahat.
Nana melihat Momo berlari keluar dari tokonya. Monster kambing tiba-tiba menerjang dari belakang. Tanduknya tepat menghantam kepala Momo, seketika hancur pecah. Otaknya berhamburan keluar bersamaan dengan darah yang menyembur, tubuh gendut yang tidak berkepala lagi itu langsung tersungkur ke depan.
"Momo!" seru Nana dengan sedih. Ia baru saja tertawa-tawa bersama Edisk yang ramah itu. Baru saja bersenang-senang dengan kekayaan, kini nyawanya sudah melayang karena mahluk jahat. Tapi seruan Nana membuat monster itu berpaling dan mengarahkan tanduknya kepada Nana, sedangkan di antara mereka ada Tonya yang berlari-lari untuk menarik Nana dari bahaya. Gadis itu benar-benar tidak mengerti ancaman maut justru berderap menyerbunya!
"Tonya!" seru Nana lagi dengan cemas. Ia terus berlari, menangkap tangan Nana, dan melemparkannya ke samping kuat-kuat. Gadis itu terpelanting jauh, terus menghantam jendela toko perhiasan yang ditutup lembaran kayu. Pyaaarr!! Tonya terus masuk ke dalam toko. Kini tinggal Nana yang berhadapan dengan monster kambing tinggi besar yang bertanduk dua merah panas menyala.
Semeter sebelum tanduk itu mengenainya, Nana terus berjongkok dan berputar, menurut jurus Tai Chi, sehingga posisinya persis di samping bawah dari perut monster yang berbulu hitam merah itu. Ia mengerahkan tenaganya dan memukul dengan tinju utara yang digabung dengan jurus naga air. Seperti seekor naga yang mengamuk, setajam bintang utara yang arahnya tepat, tinju penuh tenaga itu menghantam satu titik kecil dengan kekuatan penuh yang mampu angkat beban ratusan kilogram.
BRAAK!
Pukulan itu membuat kambing terus miring dan ambruk di sisi tubuhnya. Tanduknya menghantam tanah dan menimbulkan suara mendesis serta asap mengepul, karena tanduk panas membakar tanah dan batu jalanan yang kering. Karena posisinya jatuh miring, Nana kini bisa melihat persisnya bagian bawah tubuh kambing yang bulunya pendek berwarna merah kehitaman. Ia merasa ada kumpulan kekuatan di sana, terasa seperti berdenyut-denyut di balik kulit itu.
Nana menjejakkan kakinya dan menggunakan jurus kelima dari sembilan matahari, persis menghantam bagian bawah dari monster itu dengan ujung kakinya yang berputar dengan penuh energi panas. Rupanya, bagian tubuh monster di sebelah bawah jauh lebih lunak dibandingkan bagian samping atau atas. Tendangan Nana yang dilakukan sambil berputar itu terus merobek kulit yang tipis. Isi perut mahluk itu -- gumpalan usus yang panjang terus terburai keluar bersama dengan darah merah yang menyembur.
Sebuah bola seperti mutiara kemerahan nampak berpendar menyala, diikat dengan jaringan selaput tipis. Nana menggunakan tapak tangannya dengan tenaga air tajam memotong, langsung memangkas pembungkus bola. Benda itu segera terpelas dan diambil, ternyata berat seperti bola bowling, hanya ini tidak ada lubang-lubangnya. Mahluk itu meraung keras ketika Nana mencongkel dan merampas bola itu dari tubuhnya, terus menggelepar-gelepar, hingga akhirnya terdiam, mati.
Nana memandang bola seperti mutiara merah di tangannya. Apakah ini intisari Kai, seperti yang disebut oleh Rambada? Pikirnya. Untuk sesaat, ia tertegun dengan bola yang dipegangnya.
"Tuan Putri!!" seru Reya. Nana segera sadar dari lamunan dan melihat tiga Romana menerjang. Mereka nampak sangat marah melihat mahluk jahat serupa kambing itu tergeletak mati dengan perut terbuka dan isinya berurai ke jalan. Reya memutarkan pedangnya, menebas leher satu Romana, sehingga kepalanya terus terpenggal dari badan. Tapi Romana kedua mengambil kesempatan itu dan menusukkan tombak pendeknya.
Tombak pendek itu tepat menembus sisi tubuh Reya, menerobos rongga dadanya, hingga muncul keluar di dada depan. Lelaki itu membelalakkan mata, terus terbanting ke tanah. Mati.
"Reyaa!!" jerit Nana. Ia menjatuhkan intisari Kai sehingga tangan kirinya bebas untuk menangkap tombak yang ditusukkan. Tangan kanannya memukul dengan tinju utara yang cepat dan presisi, tepat menghajar muka jelek Romana yang seperti monyet liar itu, menghancurkannya dengan seketika. Tangan kiri yang sudah berhasil merampas tombak, terus melemparkannya ke arah Romana yang masih hidup. Satu tendangan matahari keempat dari sembilan matahari, tepat mengenai bagian pangkal tombak pendek, membuatnya melesat cepat bagaikan anak panah menembus dada, tembus dari depan ke belakang. Bruk! Mahluk jahat itu pun mati.
Nana mengabaikan mahluk-mahluk yang mati itu, terus menghampiri Reya yang tergeletak. Lelaki itu sudah mati, tidak ada nafasnya lagi. Nana mengatupkan matanya yang masih terbuka membelalak, menutupnya untuk selama-lamanya.
"Selamat tinggal Reya, terima kasih," kata Nana sedih. Ia terus ingat kepada Tonya, jadi Nana terus berlari masuk ke dalam toko. Tonya tergeletak di lantai toko. Deg! Apakah Tonya juga mati?
Ternyata Tonya hanya pingsan karena lemparan Nana yang kuat. Haahhh.... Aku harus lebih berhati-hati, kata Nana menyesali diri. Tubuh gadis itu penuh luka dari serpihan kayu-kayu jendela yang pecah ditimpa tubuhnya.
"Tonya," panggil Nana. Gadis itu perlahan membuka matanya, beringsut menahan sakit. Nana membantunya berdiri. "Ayo kita tinggalkan tempat ini," kata Nana lagi. Mereka terus pergi keluar. Nana meraih intisari Kai yang masih tergeletak di tanah yang penuh darah, bola merah itu nampak tersamar karena sama merahnya. Setelah melapnya dengan baju, Nana terus menaruhnya dalam kantong yang ada di toko, sebuah tas yang terbuat dari kulit, mungkin milik mendiang Momo yang malang.
Ia dan Tonya terus bergerak ke arah bukit mau kembali ke rumah. Namun, Nana melihat ada celah di udara di atas rumah mereka dan monster-monster berhamburan menyerbu rumahnya tinggal. "Tidak bisa ke rumah. Ayo kita ke Arkana!" seru Nana. Mereka terus berbalik arah, kini bergerak ke arah hutan di kejauhan. Romana dan mahluk jahat serupa kambing itu terus mengamuk di seluruh kampung tengah dan ladang-ladang di sekitarnya.
Nana dan Tonya sebisa mungkin menghindar dari mahluk jahat, tapi mereka terus saja bertemu dan Nana berulang kali dikeroyok oleh mahluk-mahluk buas. Ia terus merampas sepasang tombak pendek dan membuat pertahanan, berputar mengelilingi Tonya yang tidak mampu berkelahi. Puluhan Romana mati disambar sepasang tombak Nana yang bagai naga dengan taring tajam. Tak urung, kaki dan tangan Nana juga terluka oleh kepala tombak dari besi yang ditusukkan Romana. Darah mengalir deras. Nana merasa kekuatannya semakin melemah.
JLEBB!
"Tuan Putri...." desis Tonya lemah.
"TONYAAA!!" Nana melihat perut Tonya terbelah oleh tombak. Ia melakukan putaran dengan sepasang tombaknya, langsung menebas kepala si Romana bajingan yang melukai Tonya. Mahluk itu mati tanpa kepala! Tapi saat itu juga, sebuah tombak pendek lain menyerang Tonya dari belakang, tepat mengenai bagian belakang kepala yang berambut ungu, memecahkan kepalanya. Tonya tidak sempat bersuara, terus tersungkur ke depan tak bernyawa.
Kini tinggal Nana sendiri yang menghadapi kepungan puluhan Romana. Nana mengeluh. Apakah hidupnya akan berakhir di sini?
Tiba-tiba, semua Romana terlotar ke belakang seperti disapu angin puyuh. Nana menoleh. Lambas melayang turun, tepat di samping Nana yang masih berdiri dengan kuda-kuda.
"Tuan Putri, tidak apa-apa?'
"Tidak, tapi Tonya, dia...."
"Tidak apa, yang penting Tuan Putri selamat. Kita perlu pergi dari sini," kata Lambas buru-buru. Ia meraih pinggang Nana yang ramping, terus menggenjot kakinya. Kedua orang itu terus terbang melayang tinggi. Nana melihat seluruh kampung tengah telah menjadi merah oleh darah, dipenuhi oleh Romana.
Ke mana para Akirosk dari Arkana? Tanya Nana dalam hati. Lambas melayang menuju Arkana, dan jawabannya jadi jelas.
Ada tiga mahluk serupa gajah, dengan gading yang tajam kebiruan, mengamuk di antara pohon-pohon Arkana. Banyak sekali Akirosk yang bergelimpangan, mereka tidak berdaya melawan tiga monster itu. Yang tersisa hanya belasan orang dengan pedang dan perisai, mereka dikepung oleh puluhan Romana dan juga mahluk seperti kambing yang besar. Walaupun para Akirosk itu juga pencari cakra, namun serbuan sebanyak itu diluar kemampuan mereka melawan.
Lambas terus melayang tinggi, dan mendarat di atas kubah bulat Aula Arkana, di mana ada sebuah bangunan bulat kecil dengan teras di depannya. Lambas mendarat di teras itu, terus masuk ke dalam. Di sana duduk seorang tua berambut kuning. Rambada. Sahabatnya sedari kecil.
"Rambada, apa yang terjadi?" tanya Lambas
"Orompok sudah mengerahkan segenap kekuatannya. Kita berjuang melawan mereka," jawab Rambada
"Tapi kita punya perisai Tirai Arkanian! Apa yang terjadi?"
"Itulah. Sini lihat batu pengendali ini," jawab Rambada sambil menunjukkan sebuah batu berwarna hijau.
Lambas terus melangkah hendak melihat batu di tangan Rambada. Tetapi ketika ia membungkuk, tiba-tiba saja Rambada menusuk perut Lambas dengan pisau. JLEBB! Lambas terus mundur.
"Rambada! Kenapa.... Kenapa?"
"Hah, kamu adalah penghalang terakhir, Lambas. Tuanku Orompok akan menguasai seluruh tempat ini," jawab Rambada dingin.
"Kamu... Rambada, kamu seorang Blendosk!"
"Apa artinya jadi seorang Blendosk? Sungguh tak berguna!"
"Kamu... Kamu bukan blendosk! Kamu bukan Rambada! Siapa kamu?"
Rambada melangkah mendekati Lambas yang masih memegangi perutnya yang terluka. Ia mengeluarkan wadah seperti tabung bambu dari balik bajunya, membukanya. Sebuah mahluk berwarna putih dengan sulur-sulur keluar dari sana.
"Tahanlah, sebentar lagi kamu juga akan bersama kami semua, Lambas," jawab Rambada dingin, "apalagi seorang renatal seperti dirimu, sungguh sangat berguna."
Lambas berusaha melawan, tetapi ia tidak dapat mengerahkan tenaganya. "KILINOI BAJINGAN! Mahluk perampas sukma!" seru Lambas. Rambada membungkuk dan mengacungkan mahluk itu ke arah muka Lambas.
Melihat itu semua, Nana bertindak. Ia melancarkan pukulan jarak jauh, yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Rambada -- atau apapun itu. Hantamannya tepat mengenai pelipis Rambada. Kepala orang tua itu hancur seketika, tubuhnya tertolak ke dinding. Mahluk yang disebut Kilinoi itu terjatuh ke lantai, seperti seekor udang dengan sungut-sungutnya, bergerak-gerak di atas lantai yang basah oleh darah.
Nana menggerakkan tombak pendek di tangannya, menancap tepat di mahluk aneh yang langsung terbelah dua, tidak bergerak lagi.
Lambas meringis melihat tubuh sahabatnya tergeletak tak bernyawa. Rambada adalah teman masa kecilnya, hanya ia memilih untuk menjadi cendikia, yang mempelajari segala sesuatu, sedangkan dirinya fokus menjadi pencari cakra hingga tingkat renatal. Tidak disangka, nasib sahabatnya berakhir seperti ini.
"Pisau... Lihat pisau yang dipegang Rambada," kata Lambas lemah.
Nana mengambil pisau pendek dari tangan jenasah Rambada. Darah menempel yang harusnya berwarna merah nampak berwarna kekuningan di bagian tajam. Racun.
"Sial... Racun pelumpuh," desis Lambas. Racun itu membuatnya sama sekali tidak berdaya. Ia kini menjadi sama seperti orang biasa, dengan perut terluka parah. "Cari... Cari penawar racunnya," katanya lemah.
Nana terus memeriksa jenasah Rambada, tapi tidak menemukan apa-apa. Berikutnya Nana mencari-cari di meja kerja. Juga tidak ketemu. Cuma batu yang disebut batu pengendali masih tergeletak di atasnya. Sayangnya, di manapun sudah dicari, tidak ada obat penawar racun.
"Lambas, ini...." Nana menyodorkan batu pengendali.
"Ah, batu pengendali... Ini sudah dirusak. Mematikan perisai Tirai Arkanian. Pantas mahluk-mahluk jahat bisa menerobos masuk..." desis Lambas lagi. Ia terus mengeluarkan sebuah plakat dari balik bajunya.
"Tuan Putri... Kini Tuan Putri harus menyelamatkan diri. Ini... Ini plakat tanda penguasa, para pejabat Prefektur Ooki harus diberitahu kemalangan menimpa Lembah Kesuburan. Jangan datang ke sini lagi. Kita sudah kalah....
Tuan Putri, cepat berangkat. Saya tidak punya kekuatan lagi, tapi Tuan Putri masih kuat. Buat pergi, ini, ada kain mahsirna, ini pusaka untuk bisa menyelinap keluar. Pakai ini, Tuan Putri," katanya lagi sambil menyerahkan benda lunak dibungkus kain. Nana menerimanya, membuka bungkusan. Di dalamnya ada sebuah kain bercorak, seperti batik, halus dan indah sekali.
"Apa ini?" tanya Nana sambil membuka lipatan kain. Rupanya ini adalah semacam sarung.
"Silakan Tuan Putri bungkus tubuh dengan mahsirna," kata Lambas
Nana menurut, membungkus dirinya dengan mahsirna. Tiba-tiba saja, ia melihat dirinya menghilang dari pandangan. Kain itu rupanya membuat pemakainya menghilang.
"Tuan Putri, mohon selalu ingat. Kalau dipakai, mahsirna membuat pemakainya menghilang, tidak kelihatan. Namun masih ada bau dan juga binatang bisa merasakan kehadiran.
Kalau sudah menggunakan, selalu lipat kembali dan bungkus dengan kain itu serta tali pengikatnya. Jangan lupa, jangan lepaskan mahsirna dari tangan. Kalau dalam keadaan terbuka mahsirna lepas dari tangan, akan segera menghilang dan tidak bisa diambil lagi, sepenuhnya hilang," kata Lambas. "Jadi harus selalu pegang mahsirna dan melangkah dengan hati-hati tanpa besuara," jelasnya lagi.
Nana mengangguk.
"Terima kasih, Lambas," katanya.
"Tuan Putri, mohon segera pergi. DI sebelah matahari terbit, ada Gua Panas, kira-kira tiga hari perjalanan dari sini. Tolong beritahu mereka keadaan di sini. Sangat penting, seluruh prefektur Ooki harus tahu. Sebab Lembah Kesuburan adalah sumber makanan bagi semua, ini ancaman kelangsungan kita semua," kata Lambas lagi.
Nana mengangguk. Hatinya gentar dan sangat sedih. Tapi ia terus membungkus diri dengan mahsirna, terus lenyap dari pandangan Lambas. Lelaki itu terus bersemedi, berusaha memulihkan diri, tapi racun itu terlalu kuat. Ia menghela nafas, menyenderkan diri ke tembok. Menatap lorong ke tangga menuju ke bawah, tempat Nana melangkah. Lambas tidak bisa melihatnya lagi.
Tanpa bayangan, Nana terus melompat turun tangga, hingga tiba di Aula Arkana. Banyak Akirosk yang bergelimpangan mati tertusuk tombak. Nana terus berlari keluar, terus menuruni tangga hingga ke permukaan tanah. Mahluk-mahluk jahat terus berdatangan, melangkah masuk ke dalam Lembah Kesuburan
Nana memandang Lembah Kesuburan dengan kesedihan mendalam. Kalau sudah begini, tidak ada lagi yang bisa selamat dari amukan monster-monster itu. Hidup tenang, kegembiraan, dan kenikmatan selama tiga minggu lalu terasa seperti bayangan film yang berlalu. Kenikmatan yang berakhir.
Dengan wajah basah berlinang air mata, Nana berlari-lari menuju pintu keluar Lembah. Perjalanannya menempuh hutan dan padang rumput, dengan kontur tanah yang terus menanjak ke atas. Berkat mahsirna, mahluk-mahluk itu tidak tahu Nana menyelinap pergi melewati sela-sela kaki besar mahluk seperti gajah raksasa dengan gading kebiruan berujung tajam.
Nana mengejapkan mata, ingin mengetahui keadaan dirinya. Tulisan segera muncul dalam pandangannya:
LEVEL DASAR
Cakra air tingkat dasar 4823/5000
Cakra api tingkat dasar 3235/5000
Cakra bumi tingkat primatama 3 523/800
Kekuatan 2543
Ketangguhan 1452
Kelenturan 2457
Daya Serang 1524
Daya Tahan 1332
Nana terus berlari-lari ke atas, ke arah matahari terbit. Menuju Gua Panas.