BAB DUA PULUH TUJUH
Alex berdiri memandangi Diva yang memegangi lehernya. Dari leher itu ada bekas sayatan lebar dengan darah mengucur deras membasahi bajunya. Alex menatap Diva, tetapi Dr. King kemudian menutup mata bocah kecil itu.
"Kamu belum saatnya melihat hal ini anak muda, belum saatnya," ujar Dr. King.
Diva pun menggelepar sambil memegangi lehernya. Ia berusaha memanggil-manggil nama Dr. King tapi setiap kali ia bersuara hanya darah yang keluar dari mulutnya.
"Khhhh! KHhhhh!" Diva menggelepar-gelepar di lantai. Dr. King terus melihatnya sampai Diva akhirnya tenang, tangannya melemah sambil melihat Dr. King. Matanya menatap terbelalak, seolah-olah seperti mengatakan, "Dr. King apa yang kamu lakukan kepadaku?"
Dr. King kemudian melepaskan baju milik Alex yang bersimbah darah dari Diva. Setelah itu melemparkan baju itu ke dalam box teralis besi yang dia buat khusus untuk anak-anak. Alex melirik ke arah Diva. Wanita itu seperti menatanya dan memberikan pesan terakhir kepadanya, "Hati-hati!"
Alex kemudian dituntun oleh Dr. King pergi ke atas. Perasaan Alex, bagaimana dengan perasaan Alex saat itu? Dr. King tak pernah ingin tahu atau penasaran dengan perasaan seorang anak kecil. Alex dengan hati kosong hanya mengikuti arahan Dr. King. Sekalipun tadi Dokter gila ini menutupi matanya ternyata ia masih sedikit melihat bagaimana darah segar mengucur dari leher Diva. Sekujur tubuh anak ini sekarang bersimbah darah, Dr. King membawanya ke kamar mandi yang ada di kamarnya, kemudian dia membilas tubuh kecil Alex. Dr. King menyabuni Alex dengan sabun cair, tubuh Alex pun berbusa. Dengan telaten King membersihkan kotoran yang menempel di tubuh Alex hingga bersih. Soal pakaian, Dr. King tak punya pakaian yang cocok sebenarnya, dan dia hanya punya pakaian bekas dari anak-anak yang dia culik. Juga pakaian di saat ia masih kecil. Alex dipakaikan baju tersebut.
"Kamu ingat jalan pulang ke rumahmu?" tanya Dr. King.
Alex menggeleng.
"Baiklah, kamu tak perlu khawatir. Aku akan menelpon seseorang. Dia akan mengantarkanmu pulang," jawab Dr. King.
Alex hanya mengangguk. Pikirannya berkecamuk saat itu, antara apakah orang ini akan berbuat jahat kepadanya ataukah tidak. Saat ini ia pun tak tahu apakah harus pergi begitu saja, kabur, atau menurut? Tapi ia lebih memilih untuk menurut. Alex sangat ketakutan. Sekalipun itu tak tergambar dari wajah polosnya, namun anak seusia dia baru kali ini melihat pembunuhan di depan matanya langsung.
TOK! TOK! TOK! terdengar suara pintu diketuk.
"Kamu di sini dan jangan keluar kalau belum aku suruh. Mengerti?!" Dr. King memerintah Alex. Alex pun mengangguk.
Dr. King kemudian berjalan menuju ke pintu depan. Sementara itu Alex kemudian duduk di kursi yang ada di dalam kamarnya. Ia memandang cermin yang ada di pintu almari. Disana ia melihat dirinya sendiri, matanya menatap kosong sepertinya ia sudah kehilangan jati dirinya sendiri. Berbagai peristiwa ia lihat, pembunuhan, darah, kebencian, kebengisan dan kebrutalan. Secara psikis ia sudah terganggu. Tinggal sedikit goncangan lagi, Alex benar-benar tak sadar akansiapa jati dirinya sebenarnya.
oOo
"Apa yang terjadi setelah itu?" tanya Ghea. "Ke mana Alex?"
"Sabar, aku akan cerita. Ini semua tentang masa lalu kalian. Sesuatu yang kalian tinggalkan dan belum kalian selesaikan," jawab Dr. King.
"Apa?"
"Tentang keluarga Trunojoyo."
"Gladis Trunojoyo sudah tiada."
"Tapi kamu melupakan anak terakhirnya."
"Anak terakhir?"
"Ah, kamu tidak tahu ternyata. Setelah Agus Trunojoyo meninggal, istrinya ternyata hamil dan kemudian melahirkan seorang anak yang usianya tak jauh dari Asyifa."
"Siapa?"
"Namanya Sarah, boleh dibilang dia adalah anak didikku yang paling berhasil. Dia mengikuti petunjukku dan juga mengikuti kegilaanku. Dia menjadi muridku selama beberapa waktu. Dia boleh dibilang pertama kali menyukai daging manusia ketika melihatku memakan otak. Dan akhirnya ia ketagihan."
"Hentikan! Aku ingin tahu di mana Alex!" bentak Ghea.
"Alex saat itu melihat semuanya."
"Melihat apa?"
"Melihat bagaimana aku mengambil otak-otak orang-orang Ryuji, membelah mereka. Bahkan Alex ikut andil bagian dalam melepaskan wajah Asyifa."
"Melepas wajah Asyifa?"
"Ah, aku ingin tahu apakah suamimu baik-baik saja?"
"Ya, dia baik-baik saja. Asyifa berada di rumah sakit."
"Sekarang aku ingin kamu membuktikan ucapanmu Ghea. Kamu memilih suami atau anakmu? Ini adalah pilihan sulit sebenarnya. Karena ini pilihan sulit, maka aku akan membuat mudah. Anakmu sekarang ini sedang tertidur. Suntikan paralisisnya setengah jam lagi akan hilang pengaruhnya. Hal itu akan membuat dia akan tersadar dari tidurnya."
"Kamu merencanakan semua ini?"
"Aku telah merencanakan banyak hal Ghea. Bahkan bagaimana Mustafa dan Miller sampai bisa kalian kalahkan aku telah merencanakan semuanya. Kamu telah berhadapan dengan orang yang mempunyai otak yang lebih cerdas daripada kalian semua. Memangnya kalian tidak menyadari satu hal, bagaimana semua yang ada di kota ini kacau? Bagaimana juga kepolisian bisa dikuasai, bagaimana juga Mustafa dan Miller mempunyai peluang untuk bisa mengalahkan Arci. Tapi aku yakin Arci bisa mengatasi semuanya, terlebih engkau sedang dikurung di sini.
"Settingan, semuanya sesuai dengan rencanaku. Aku hanya ingin menyaksikan bagaimana wajah psikopat itu sekali lagi. Tapi dibalik semua itu aku lebih tertarik denganmu Ghea. Semenjak kamu menikahi Arci, dia banyak berubah. Seorang psikopat yang dulunya sangat bengis sekarang sedikit demi sedikit hatinya mulai lembut, tapi aku tidak melihat itu darimu. Kamu dari yang seperti singa betina kini menjadi lembut terlebih lagi dengan seorang anak. Aku ingin melihatmu bagaimana sisi seorang psikopat akan muncul dari dalam dirimu. Aku yakin sekali kamu akan bangkit, kekuatan yang tidak bisa dibendung itu akan bangkit dari dalam dirimu." Dr. King menyeringai licik.
"Brengsek! Apa yang kamu inginkan dariku?!" tanya Ghea.
"Arci adalah orang yang sangat aku idolakan Ghea. Aku ingin mengubah dia menjadi dulu lagi," jawab Dr. King.
"Apa maksudmu?"
"Sarah Trunojoyo, telah ditukar wajahnya dengan Asyifa."
"Tidak mungkin, bagaimana itu bisa terjadi?"
"Kamu meremehkan kemampuanku sebagai dokter bedah. Seminggu adalah waktu yang sangat cukup untuk menutup luka-luka bekas diambilnya wajah Asyifa. Bersyukurlah bahwa jaringan kulit Sarah dan Asyifa hampir serupa sehingga DNA-nya bisa diterima. Sayangnya hal itu merupakan kesialan bagi Arci."
"Oh tidak!" Ghea sepertinya menyadari sesuatu.
"Dan Alex sekarang berada di ruang pendingin yang ada di salah satu mobil box pengantar makanan yang sekarang sedang berjalan keluar kota Malang. Bagaimana ia bisa di sana? Tentu saja aku yang mengaturnya, kamu tahu sendiri mobil box itu mengantarkan daging-daging ke restoran-restoran, dan tentu saja itu bukan daging sapi, melainkan daging manusia. Sang pengemudinya tidak tahu tentang isi dari kontainer yang ada di dalam box mobilnya. Tentu saja ketika mobil itu sampai di tempat tujuan Alex mungkin sudah tewas membeku."
Ghea mencengkeram kerah baju tahanan Dr. King. "Katakan kemana mobil itu bergerak?"
"Mungkin sekarang sudah ada di Singasari," jawab Dr. King.
"Semua unit lacak mobil itu, yang lainnya pergi ke rumah sakit Lavalette! SEGERA!" teriak Komisaris Basuki.
"Kalau sampai Alex tewas, aku tak akan memaafkanmu!" kata Ghea.
"Aku justru sangat menginginkannya. Hahahahahahah!"
Ghea segera berlari keluar dari ruang penyidikan. Dia bergegas keluar dari kantor kepolisian. Saat itu ada seorang polisi yang baru saja memarkir sepeda motor BM miliknya. Ghea tiba-tiba melompat dan menendang polisi itu hingga jatuh di atas aspal. Tentu saja sang polisi tidak siap dan sigap dengan serangan mendadaknya. Ghea menstarter sepeda motor itu, kemudian dia bergegas pergi meninggalkan kantor kepolisian.
"Hei!" teriak sang polisi.
"Susul dia!" kata Komisaris Basuki.
Bagi Ghea sekarang yang terpenting adalah Alex, akhirnya ia dengan sepeda motornya melaju kencang membelah jalan raya yang cukup padat. Ia bahkan melewati beberapa mobil dengan lincah. Tak lupa ia juga menyalakan sirine agar orang-orang menyingkir. "Alex, Alex, Alex, Alex!" terus menerus ia bergumam seperti itu. Rasa kerinduan terhadap putra semata wayangnya tak bisa lagi ditahan. Ia ingin segera bertemu dengan Alex, menyelamatkannya.
Ghea tak menyadari kalau polisi-polisi juga mengikutinya dengan raungan sirine. Mencari mobil box di antrian kemacetan ini tidak mudah. Terlebih jalanan Singasari akan sangat ramai sekali siang itu. Dari radio ke radio para polisi telah menerima pesan beruntunt. Semua Handy Talkie bersahut-sahutan memberikan instruksi untuk menghentikan mobil box, apapun mobil boxnya. Akhirnya sepanjang jalan yang dilalui ataupun yang akan dilalui Ghea selalu diperiksa satu per satu.
"Dr. King tidak memberitahukan plat nomorya, yang penting hentikan dan geledah setiap mobil box yang kalian temui!" suara Komisaris Basuki.
Siang itu menjadi perburuan masal. Semua aparat yang berwajib berusaha mencari Alex. Ghea juga demikian. Ia berusaha untuk memeriksa dan menghentikan mobil box satu per satu. Motor Ghea langsung berhenti di tengah jalan menghalangi salah satu mobil box. Tentu saja sang sopir terkejut dan mengerem mendadak. Ghea kemudian memaksa sang sopir untuk membuka box mobil. Setelah dibuka Ghea memeriksa dalamnya, polisi pun datang membantu wanita itu, tapi tak ada apa-apa. Ghea segera melajukan lagi sepeda motornya.
oOo
"Errhhmm...," Asyifa menggeliat, ia mencoba untuk bangun.
Arci yang melihatnya tampak senang. "Shhh... jangan dipaksa kalau kamu masih sakit!"
"Di mana aku?" tanya Asyifa.
"Kamu ada di rumah sakit."
"Rumah sakit?"
"Iya, rumah sakit. Istirahatlah sekarang!"
Ponsel Arci berdering. Arci agak terkejut karena benda itu mengagetkannya.
"Tolong, jangan!" kata Asyifa sambil memegang tangan Arci. "Aku tak mau kamu mengalihkan perhatianmu dari aku."
Arci kemudian mereject panggilan ponselnya. "Baiklah!"
Tangan kanan Asyifa menggenggam sesuatu yang tidak diketahui Arci, sebilah pisau kecil dengan mata melengkung yang biasa disebut dengan karambit. Pisau itu tersembunyi, sehingga tidak bisa diketahui oleh orang biasa. Asyifa memejamkan matanya, dadanya bergemuruh. Ada sesuatu yang ia tunggu, ataukah ia sedang merencanakan sesuatu?
Pastinya dia sedang merencanakan sesuatu dengan pisau karambit tersebut.
oOo
Ghea terus melajukan motornya di sepanjang jalan Raya Malang Singasari. Ia pun menemukan sebuah mobil box yang berjalan dengan kecepatan sedang. Mobil itu ada beberapa kipas yang terpasang di pintunya. Mobil itu lebih berfungsi sebagai freezer untuk muatan yang ada di dalam boxnya. Ghea pun menarik gas sekencang-kencangnya untuk menghadang mobil itu. Para polisi masih terus mengikutinya di belakang. Ghea mengklakson mobil box itu untuk minggir.
"Minggir! Berhenti!" teriak Ghea.
Tapi melihat Ghea mengejar mobilnya. Sang sopir malah ketakutan dan dia pun makin menginjak pedal gas dalam-dalam. Ghea pun gusar, ia juga makin menarik gas sepeda motornya sehingga sepeda motor BM itu makin kencang lajunya. Wanita yang sangat ingin bertemu dengan anaknya ini pun bisa mendahului mobil box kemudian ia menghentikan sepeda motornya, lalu berbalik ke arah mobil box yang melaju kencang itu. Sang sopir mobil box kaget dan menginjak rem sedalam-dalamnya. Ghea melompat untuk menghindar saat mobil box akan menabrak motornya.
BRAAAKK!
Tabrakan pun terjadi. Sepeda motor polisi itu pun terseret beberapa meter. Parahnya tempat bahan bakar di sepeda motor yang dinaiki oleh Ghea berlubang sehingga bensinnya pun meluber keluar. Ditambah lagi saat itu terjadi gesekan besi di atas aspal yang mengakibatkan percikan api. Dengan cepat api pun berkobar membakar sepeda motor. Mobil box berhenti, melihat ada asap mengepul dan api, segera ia keluar. Ghea berlari menuju mobil box tersebut. Ketika sang sopir meninggalkan mobil box, Ghea mengejarnya.
"BUKA! BUKA ISINYA!" bentak Ghea.
Sang sopir tentu saja ketakutan, kenapa ada wanita gila yang begitu terobsesi dengan mobil box. Ghea berlari lebih cepat dari pada sang sopir. Lelaki itu tak tahu apa yang sedang Ghea rasakan, rasa berkecamuk, khawatir, semuanya jadi satu. Waktunya 30 menit sudah habis. Alex sudah sadar dari pengaruh suntikan Dr. King. Di dalam mobil box itu tentu saja. Ghea mendapatkan mobil yang benar, hanya saja sekarang Alex menggigil kedinginan di dalam suhu minus 13 derajat celcius. Sewaktu-waktu ia bisa saja mengalami hypotermia. Anak sekecil itu dan selemah itu, Ghea sang ibu sangat khawatir. Bahkan sekarang ini kalau saja sang sopir ingin lari sampai ke ujung dunia ia akan tetap mengejarnya.
Tapi Ghea seorang wanita yang tangguh. Ia mampu menangkap sang sopir dan bergulat dengannya. Mereka berdua berguling-guling di atas trotoar. Lalu lintas pun berhenti ketika para polisi sampai di dekat mobil box tersebut.
"Mana kuncinya?! Kunci boxnya?!" tanya Ghea sambil mengunci leher sang sopir
"Apa-apaan? Siapa kamu ini?!" tanya sang sopir sambil melindungi wajahnya dari tamparan Ghea.
"ANAKKU ADA DI DALAMNYA, MANA KUNCINYA?!" teriak Ghea.
Dengan penuh ketakutan sang sopir kemudian memberikan kunci mobil boxnya. Ghea merampasnya dan segera berlari menuju mobil box.
"Alex! ALEX! Kamu di dalam naaak?!" panggil-panggil Ghea. "My Hunny!? Kamu di dalam kaan? Ini mama datang sayang, ini mama datang"
Ghea pun membuka gembok mobil box. Sementara itu api mulai membakar mesin mobil box. Asap mulai mengepul. Para polisi berusaha membantu Ghea. Gembok pun terlepas. Pintu mobil box dibuka. Ghea langsung menyeruak masuk. Dia mencari-cari di antara tumpukan daging. Dan Ghea menemukan sebuah kotak yang berada di pojok. Kotak itu sepertinya cukup kecil, tapi dia bisa mendengar suara kecil dan lemah di sana.
"Mamaa!? Mamaaa!? Papaaa!? Papaa!?" terdengar suara Alex di kotak kecil itu.
Kotak itu seperti sebuah brankas, lengkap dengan kunci putarnya seperti kemudi dengan tuas besar. Ghea segera memutar penguncinya. Dari sana ada sesosok anak kecil dengan baju tebal dan sebuah masker oksigen. Ternyata Dr. King sudah mempersiapkan semuanya. Ghea segera menarik Alex dan memeluknya dengan erat.
"Ayo sayangku, kita keluar dari sini!" kata Ghea. Dia segera menggendong Alex keluar dari mobil box yang sudah terbakar separuh.
Setelah beberapa langkah keluar dari mobil box, api membakar mesin dan bahan bakar dari kendaraan roda empat ini. Terjadilah ledakan, Ghea terjerembab sambil memeluk Alex. Beberapa orang polisi pun segera tiarap untuk menghindari ledakan itu.
"Alex, Alex?! Kamu tak apa-apa sayang?" tanya Ghea.
"Mama..., Alex takuuutt!" Alex memeluk ibunya.
"Tenang sayang, sekarang tenanglah! Tak ada lagi yang harus kamu takutkan. Mama ada di sini," kata Ghea sambil menciumi kepala Alex berkali-kali.
Para aparat yang berwajib pun kemudian bernafas lega mengetahui Ghea dan anaknya selamat. Beberapa aparat menangkap sopir mobil box tadi untuk dimintai keterangan. Tapi sejatinya Ghea tahu ada satu masalah yang harus ia selesaikan. Arci sekarang dalam bahaya. Sebab Asyifa yang ada di rumah sakit yang sekarang ditemuinya bukanlah Asyifa, melainkan Sarah Trunojoyo.
"Arci! Bagaimana Arci? Bagaimana dengan suamiku??" tanya Ghea kepada polisi yang lainnya.
"Tenanglah Komisaris Basuki langsung ke tempatnya!" jawab salah seorang polisi.
Sekali pun begitu Ghea masih belum tenang. Tapi yang jelas ia sekarang bisa bernafas lega ketika Alex sudah berada dalam pelukannya.
oOo
Komisaris Basuki bergegas menuju ke kamar di mana Arci berada. Dia beserta beberapa orang ajudannya menuju ke kamar tersebut.
TOK! TOK! TOK! pintu kamar diketuk.
"Siapa?" tanya Arci.
"Mas, tolong jangan dibuka!" kata Asyifa.
"Ini Putri!" jawab sebuah suara.
"Oh, itu Putri," kata Arci.
"Jangan! Jangan dibuka kumohon!" kata Asyifa.
"Kenapa memangnya?" tanya Arci.
"Kamu tak tahu perjuanganku sampai di sini, Aku berkorban semuanya. Tolong jangan dibuka!" kata Asyifa. Ia kemudian bangkit dari tempat tidur kemudian turun. Arci terkejut.
"Asyifa apa yang kamu lakukan?" tanya Arci.
"Aku sudah berjanji kepada Ghea, bahwa aku akan menjadi sarung pedangmu. Dia bukan Putri. Dia Sarah Trunojoyo!" kata Asyifa. Ia kemudian mengeluarkan karambitnya.
"Asyifa?!"
BRAAK! pintu pun terbuka.
Tampaklah dua orang masuk ke dalam kamar mereka. Putri lehernya dicengkeram oleh seseorang wanita dengan belati besar berada di lehernya. Putri menatap tajam ke arah kakaknya. Orang yang berada di belakang Putri itu wajahnya berdarah seperti dikuliti, lebih tepatnya ia tak mempunyai wajah. Kakinya berdarah, ada tonjolan tulang yang keluar dari lututnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa kamu?" tanya Arci.
"Kamu tak akan bisa menyentuh suamiku," kata Asyifa.
"Pembalasan harus lebih kejam, Arci!" kata wanita tanpa wajah. Pisau yang berada di tangannya kemudian mengarah ke dada Putri dan menusukkannya berkali-kali.
"LEPASKAN DIAA!" kata Arci.
Putri mengerang. Ia ditusuk berkali-kali oleh wanita itu. Arci berusaha merebut pisau tersebut, terjadilah perebutan tapi Arci lengah karena sang wanita tak berwajah itu punya dua pisau dan kini merobek perutnya. Arci pun ambruk sambil memegangi perutnya. Dia melihat Putri menggelepar menatap langit-langit kamar dengan mata terbelalak.
"AAaaarggghh!" Asyifa menghunuskan karambitnya menerjang sang wanita tanpa wajah.