Update 14
***
Apa lawan dari percaya?
Apakah ‘tidak percaya’?
Bukan, terlalu pungkas. ‘Tidak percaya’ adalah percaya dari sisi berbeda. Tidak percaya, sebuah kepastian. Ringkas, magnitude, mutlak. Case was closed.
Musuh abadi dari percaya adalah sesuatu yang menggantung rendah, menghantui sebagai bayang-bayang. Menunggu, mengganggu, berbisik menghasut dalam kepalamu.
Musuh itu bernama ragu.
***
Pagi itu aku terbangun dengan kebas di setengah tubuhku bagian atas. Semalam kami bercinta berkali-kali, seolah tidak punya hal lain untuk dikerjakan esok hari. Aku tertidur menelungkup, dengan Lily memelukku dari belakang, setengah menindih tubuhku yang telanjang.
Dua bulan berlalu sejak malam kami yang pertama. Seperti yang sudah kujanjikan pada diriku, tidak kubiarkan Lily sendirian semenjak itu. Kami semakin banyak menghabiskan waktu bersama. Berduaan di rumah, saling menggoda saat mandi berdua, bercumbu di beranda, atau bercinta dengan liar di penjuru rumah. Kami seperti tidak terpisahkan. Kecuali di lembaga.
Kami tetap menutupi hubungan ini di depan teman-teman di sana. Kami lupa alasannya mengapa, tapi rasanya seru juga punya rahasia berdua seperti ini di depan mereka. Datang dan pergi terpisah, lalu berkencan di tempat wisata, di teater, di rumah, di kamar. Bertukar cerita dari sudut pandang berbeda tentang teman-teman dan suasana yang sama.
***
Aku dan Husna bukannya putus komunikasi begitu saja. Kami tetap bertukar kabar seperti biasa, di sepanjang hubunganku dengan Lily, dan hubungan Husna dengan Raja.
Jika bertemu muka, kami memang saling diam, ada kecanggungan yang membuat suara kami masing-masing jadi hilang. Tetapi Husna tetap rajin memberi kabar lewat SMS. Terkadang menelepon untuk bertanya tentang suatu urusan, atau meminta bimbingan soal-soal persiapan ujian.
Beberapa hal secara instingtif tidak kami bahas. Sengaja tidak pernah kusinggung tentang Raja, dan Husna tidak pernah bertanya tentang hubungan cintaku saat ini. Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak. Kurasa tidak ada untungnya menebak-nebak.
Demikian seterusnya sampai suatu pagi, saat tengah menikmati sarapan pagi bersama Lily, sebuah SMS dari Husna mengejutkanku.
Husna : Kak, adek gak lulus
Nanta : UN?
Husna : Bukan, kak. UN lulus, tapi SPMB gak
Nanta : Kakak ikut prihatin. Ada yang bisa kakak bantu?
Husna : Gak, kak, doain aja buat tahun depan
Nanta : Iya, selalu didoakan. Adek yang sabar y...
"Dari siapa?" Lily iseng bertanya. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, badan sedikit basah, terbalut selembar kaos tipis rumahan.
Setiap lekuk dan tonjolan tercetak jelas dari luar kaosnya. Selembar handuk membungkus kepalanya yang basah.
Kami selalu sarapan di beranda samping. Sebuah meja bundar dengan dua kursi kayu antik. Set meubel antik yang kokoh.
"Dari Husna," jawabku biasa. Kuletakkan ponsel di meja.
Rutinitas kami berubah sejak "malam pertama" kami. Kami memulai malam dengan mandi bersama, lalu bercengkrama dan mengobrol di ruang tengah. Kami selalu menyetel musik atau menonton dvd sewaan. Film yang diputar berulang-ulang karena tidak selesai ditonton.
Kami akan sibuk bercumbu, memberi rangsang satu sama lain, meninggalkan layar berpendar semalaman. Percumbuan selalu berlanjut. Tiada malam tanpa bercinta selagi kami bisa.
Pagi juga punya rutinitas sendiri. Lily senang sekali duduk di pangkuanku saat sarapan. Duduk menyamping bermanja, dengan hanya selembar kaos menempel di badannya. Kami selalu bercinta setelah sarapan. Lily sangat agresif pada pagi hari, selalu liar menindihku dalam posisi apapun aku saat itu. Jika aku sedang duduk, Lily akan mengangkangiku di kursi. Jika tidak sedang duduk, dia akan menarikku, mendorongku hingga berbaring, dan menunggangiku seperti joki kuda, haha..
Pagi itu berbeda. Lily duduk di seberang meja, melipat kaki.
"Mau cerita?" Lily bertanya, nampak acuh tidak acuh.
"Husna cuma sampekan, dia gak lulus SPMB. Itu doang." kuseruput kopi hitamku.
Sekilas kupandang wajah Lily. Matanya sejenak merenung, dia tampak prihatin dengan ceritaku tentang Husna.
"Duh, kasihan sekali. Dia pasti stress sekarang. Kamu gak mau nemuin dia?" Lily nampak bersungguh-sungguh bertanya.
"Tadi sih aku tanya, perlu bantuan gak, walaupun aku sendiri gak tau bisa bantu apa. Tapi dia bilang minta didoakan saja."
"Hoo.." Lily menjawab datar.
"Eh, aku mau keluar pagi-pagi. Mau ke terminal jemput kiriman barang." Lily melanjutkan sambil berdiri.
Dia melangkah mengitari meja, mengecup ringan pipiku lalu menghilang ke kamarnya.
Kuhabiskan kopiku, lalu melangkah mengikutinya ke kamar.
"Aku pulang aja kali ya. Ntar sore ke sini lagi," kataku sambil bergerak memeluknya dari belakang.
Lily sedang melepas kaosnya, hendak berganti baju, nampaknya.
Kucium tengkuknya, aroma wangi yang lembut, seperti teh hijau, menyapa candraku.
"Mmmmmhhh... Terserah kamu aja.."
Lily mendesah pelan, tertahan. Lengannya sedang bersilang di depan dada saat kupeluk. Kaosnya baru setengah tersingkap, kini berhenti dan menggantung di lehernya.
"Atau kau mau aku di sini dulu?" bisikku lembut di lehernya. Tanganku meremas bulatan besar di dadanya.
"Ahh, Nan.. kamu pulang aja dulu.. stop, Nan.. Ahh.."
Lily selalu tidak bisa menahan diri jika aku bermain di dadanya. Tetapi pagi ini benar-benar berbeda.
Lily membalik badannya ke arahku, menurunkan kembali ujung kaosnya menutupi tubuhnya yang terbuka, memegang wajahku di kedua pipi, mengecup bibirku singkat,
"Plis, kamu pulang dulu, Nan, mood-ku sedang gak baik.. ngerti yah.."
"Tentang Husna?" tanyaku hati-hati, menatap matanya.
"Jangan natap begitu, serem, tauk.." Lily mundur, duduk di tepi tempat tidurnya.
Kutarik kursi rias persegi dan duduk menghadap lurus ke arahnya.
"Ish, dibilangin jangan menatap kayak gitu.." Lily merengut manja.
"Hihi, emang kenapa? Mataku kenapa?" tanyaku tertawa.
"Kamu itu serakah bener yah, maunya dipuji mulu..."
"Maksudnya?" aku benar-benar tidak mengerti bagian ini.
"Iya, serakah.. kamu tahu, karakter wajah kamu itu ada di alis sama mata. Aku sudah pernah bilang, kan, dulu.." kata Lily.
"Kamu sudah tahu itu. Kamu sadar kalo kamu bisa mainin emosiku dengan tatapan matamu, malah sengaja-sengaja begitu..." lanjut Lily, masih manyun, nampak lucu sekali saat itu.
Aku tahu, percuma menginterupsi Lily saat sudah ngomel seperti itu. Terus terang, apa yang Lily katakan tentang komposisi wajahku adalah hal yang baru dan tidak pernah kusadari. Lily mungkin mengira pernah mengatakannya padaku, tetapi aku yakin ingatannya tersaru dengan hal lain. Aku punya ingatan yang cukup baik dan dapat diandalkan, buktinya, aku sanggup mengingat dan menuliskan kisah ini, hihi..
“...dan kamu tahu, aku gak bisa bicara kalo kamu sudah pasang muka serius begitu. Kamu tahu sekali itu, trus sengaja pasang mulu, biar liat aku kayak gini. Trus maksa aku ngomong biar aku muji..” ekspresi Lily semakin lucu, aku tidak bisa menahan tawaku.
Aku berhenti tertawa saat kulihat Lily menangis di sana. Terkejut, kuhampiri, duduk di sisinya, kupeluk tubuhnya.
“Hey, maafkan.. aku gak tahu kamu seserius itu tentang ini.. maaf, Li..”
Lily tiba-tiba menegakkan tubuh, mengusap air mata lalu pelan berkata. Kelak kuingat, Lily adalah salah satu wanita paling jujur dan paling terus-terang yang pernah kukenal.
“Nan, ini hanya pemicu. Aku harus jujur, untuk pertama kalinya aku cemburu. Aku sadar, banyak wanita di sekelilingmu, beberapa dengan jelas tertarik padamu. Aku tidak pernah cemburu pada mereka..”
“..tetapi berbeda jika itu Husna. Nan, sejauh apapun hubungan kalian sekarang, Husna selalu menjadi ancaman bagiku, jujur kuakui itu. Tanyakan pada semua pasangan, apa arti mantan bagi mereka, dan apa artinya juga bagi pasangannya. Mantan selalu menempati tempat tersendiri di hati, kamu gak bisa membantah itu..”
Bom-nya baru dijatuhkan beberapa detik kemudian..
“..ditambah kenyataan, bahwa kamu gak seterbuka itu padaku tentang Husna. Nanta, aku cewek, dan cewek mudah tahu saat dibohongi oleh cowok yang dia sayang. Selama ini aku yakin aku bukan seks pertama buat kamu. Mungkin itu Husna, mungkin cewek lain. Tapi masalahnya bukan itu..”
Aku tertegun. Aku tiba pada suatu momen langka, di mana lidahku tercekat, tidak mampu bicara.
“..kamu tahu masalahnya apa. Kan?”
Aku mengangguk pelan. Lily menatapku, meraih kembali wajahku, mengecup bibirku.
“Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis.. Setelah ini, aku mau ga ada bohong lagi..”
Aku mengangguk lagi.
Lily tersenyum. Senyum memahami, memaafkan. Betapa dewasa gadisku ini, memberi maaf pada apologi yang tidak kuucapkan. Permintaan maaf yang seharusnya kuucapkan..
“Kamu pulang dulu. Kita sama-sama perlu tenang, terutama aku. Lagipula, kita butuh jarak untuk bisa saling rindu..”
Lily terus tersenyum dan mengusap pipiku.
"Iya deh, sampai nanti sore.." kataku pada akhirnya.
Kukecup keningnya, dalam dan lama.
***
Sore setelah itu, Lily belum pulang. Tidak biasanya begitu, seingatku. Dari depan rumahnya - aku belum turun dari motorku ketika menyadari Lily belum di sana - kutelepon dia.
Beberapa kali berdering, Lily tidak mengangkatnya. Beberapa menit yang terasa berjam-jam, aku menunggu telepon balasan yang tidak kunjung datang.
Lalu dengan iseng, sambil menunggu kabar Lily kukirim pesan pada Husna.
Nanta : Gimana emosi?
Husna : XD gak gimana-gimana, kak. Harus bisa terima
Nanta : Persiapkan diri lebih baik
Husna : Iya, kak. Sekarang sih masih suka tiba-tiba nangis
Nanta : itu biasa. asal gak keterusan aja
Husna : Iya, kak.. ini lagi nenangin diri
Nanta : Hoo.. lagi bersemedi toh.. di gua mana?
Husna : Ish, bukan di gua, kak, di rumah kak Hajrah aja ini
Nanta : kalo di situ ada juga jadi sibuk jagain ponakan
Husna : Iya sih, kak, tapi lumayan ngalihin pikiran
Nama Lily muncul di layar, telepon yang kutunggu
"Hey, kamu di mana?" Lily bertanya.
"Di depan rumah kamu, nunggu. Kamu balik jam berapa?"
"Duh, Nan, aku ga nginap di rumah malam ini. Aku jadinya ke rumah Oom, ada acara besok di sini, jadi mesti bantu-bantu.." Lily berbicara cepat. Samar kudengar suara keramaian di latar belakang.
"Kamu kalo mau tidur di rumah masuk saja, pagi-pagi aku pulang kok, tapi siang mesti ke sini lagi.." lanjut Lily.
"Iya, kalo gitu besok aja aku ke sini lagi. No big deal." kataku pelan.
"Maaf, ya, Nan. Besok aku janji temenin kamu seharian, eh, semalaman ding, haha.." Lily tertawa. Belum apa-apa aku sudah rindu padanya.
"Oke.."
Telepon ditutup. Sesuatu berubah, aku tak tahu itu apa.
Kulirik kembali layar ponselku, kedip indikator pesan masuk.
Husna : Listrik lagi mati, kak.
Nanta : gpapa, orang jaman dulu juga tetap hidup tanpa listrik
Husna : Tapi kan ada temannya. Husna lagi sendirian. Kak Hajrah ke nikahan keluarga di luar kota.
Nanta : Cocok, kan mau bersemedi
Husna : Hihi, iya sih. yaudah, adek semedi dulu
Kunyalakan motorku. Mungkin sebaiknya aku ke kampus. Sejak bersama Lily, malam-malam hampir selalu kuhabiskan bersamanya. Sudah jarang sekali aku menengok sekretariatku di malam hari. Kupacu motorku membelah Makassar.
Di traffic light tengah kota, kurasakan ponselku bergetar singkat. Kubuka pesan yang masuk, dari Husna.
"Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..."
Semestinya pesan itu kuabaikan saja..
***
Nubi jemput bokin di gym dulu, para suhu dan mastah..
Sekali lagi, sengaja dipenggal demi pesannya..
Semoga terhibur, suhu sekalian..
***
Apa lawan dari percaya?
Apakah ‘tidak percaya’?
Bukan, terlalu pungkas. ‘Tidak percaya’ adalah percaya dari sisi berbeda. Tidak percaya, sebuah kepastian. Ringkas, magnitude, mutlak. Case was closed.
Musuh abadi dari percaya adalah sesuatu yang menggantung rendah, menghantui sebagai bayang-bayang. Menunggu, mengganggu, berbisik menghasut dalam kepalamu.
Musuh itu bernama ragu.
***
Pagi itu aku terbangun dengan kebas di setengah tubuhku bagian atas. Semalam kami bercinta berkali-kali, seolah tidak punya hal lain untuk dikerjakan esok hari. Aku tertidur menelungkup, dengan Lily memelukku dari belakang, setengah menindih tubuhku yang telanjang.
Dua bulan berlalu sejak malam kami yang pertama. Seperti yang sudah kujanjikan pada diriku, tidak kubiarkan Lily sendirian semenjak itu. Kami semakin banyak menghabiskan waktu bersama. Berduaan di rumah, saling menggoda saat mandi berdua, bercumbu di beranda, atau bercinta dengan liar di penjuru rumah. Kami seperti tidak terpisahkan. Kecuali di lembaga.
Kami tetap menutupi hubungan ini di depan teman-teman di sana. Kami lupa alasannya mengapa, tapi rasanya seru juga punya rahasia berdua seperti ini di depan mereka. Datang dan pergi terpisah, lalu berkencan di tempat wisata, di teater, di rumah, di kamar. Bertukar cerita dari sudut pandang berbeda tentang teman-teman dan suasana yang sama.
***
Aku dan Husna bukannya putus komunikasi begitu saja. Kami tetap bertukar kabar seperti biasa, di sepanjang hubunganku dengan Lily, dan hubungan Husna dengan Raja.
Jika bertemu muka, kami memang saling diam, ada kecanggungan yang membuat suara kami masing-masing jadi hilang. Tetapi Husna tetap rajin memberi kabar lewat SMS. Terkadang menelepon untuk bertanya tentang suatu urusan, atau meminta bimbingan soal-soal persiapan ujian.
Beberapa hal secara instingtif tidak kami bahas. Sengaja tidak pernah kusinggung tentang Raja, dan Husna tidak pernah bertanya tentang hubungan cintaku saat ini. Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak. Kurasa tidak ada untungnya menebak-nebak.
Demikian seterusnya sampai suatu pagi, saat tengah menikmati sarapan pagi bersama Lily, sebuah SMS dari Husna mengejutkanku.
Husna : Kak, adek gak lulus
Nanta : UN?
Husna : Bukan, kak. UN lulus, tapi SPMB gak
Nanta : Kakak ikut prihatin. Ada yang bisa kakak bantu?
Husna : Gak, kak, doain aja buat tahun depan
Nanta : Iya, selalu didoakan. Adek yang sabar y...
"Dari siapa?" Lily iseng bertanya. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, badan sedikit basah, terbalut selembar kaos tipis rumahan.
Setiap lekuk dan tonjolan tercetak jelas dari luar kaosnya. Selembar handuk membungkus kepalanya yang basah.
Kami selalu sarapan di beranda samping. Sebuah meja bundar dengan dua kursi kayu antik. Set meubel antik yang kokoh.
"Dari Husna," jawabku biasa. Kuletakkan ponsel di meja.
Rutinitas kami berubah sejak "malam pertama" kami. Kami memulai malam dengan mandi bersama, lalu bercengkrama dan mengobrol di ruang tengah. Kami selalu menyetel musik atau menonton dvd sewaan. Film yang diputar berulang-ulang karena tidak selesai ditonton.
Kami akan sibuk bercumbu, memberi rangsang satu sama lain, meninggalkan layar berpendar semalaman. Percumbuan selalu berlanjut. Tiada malam tanpa bercinta selagi kami bisa.
Pagi juga punya rutinitas sendiri. Lily senang sekali duduk di pangkuanku saat sarapan. Duduk menyamping bermanja, dengan hanya selembar kaos menempel di badannya. Kami selalu bercinta setelah sarapan. Lily sangat agresif pada pagi hari, selalu liar menindihku dalam posisi apapun aku saat itu. Jika aku sedang duduk, Lily akan mengangkangiku di kursi. Jika tidak sedang duduk, dia akan menarikku, mendorongku hingga berbaring, dan menunggangiku seperti joki kuda, haha..
Pagi itu berbeda. Lily duduk di seberang meja, melipat kaki.
"Mau cerita?" Lily bertanya, nampak acuh tidak acuh.
"Husna cuma sampekan, dia gak lulus SPMB. Itu doang." kuseruput kopi hitamku.
Sekilas kupandang wajah Lily. Matanya sejenak merenung, dia tampak prihatin dengan ceritaku tentang Husna.
"Duh, kasihan sekali. Dia pasti stress sekarang. Kamu gak mau nemuin dia?" Lily nampak bersungguh-sungguh bertanya.
"Tadi sih aku tanya, perlu bantuan gak, walaupun aku sendiri gak tau bisa bantu apa. Tapi dia bilang minta didoakan saja."
"Hoo.." Lily menjawab datar.
"Eh, aku mau keluar pagi-pagi. Mau ke terminal jemput kiriman barang." Lily melanjutkan sambil berdiri.
Dia melangkah mengitari meja, mengecup ringan pipiku lalu menghilang ke kamarnya.
Kuhabiskan kopiku, lalu melangkah mengikutinya ke kamar.
"Aku pulang aja kali ya. Ntar sore ke sini lagi," kataku sambil bergerak memeluknya dari belakang.
Lily sedang melepas kaosnya, hendak berganti baju, nampaknya.
Kucium tengkuknya, aroma wangi yang lembut, seperti teh hijau, menyapa candraku.
"Mmmmmhhh... Terserah kamu aja.."
Lily mendesah pelan, tertahan. Lengannya sedang bersilang di depan dada saat kupeluk. Kaosnya baru setengah tersingkap, kini berhenti dan menggantung di lehernya.
"Atau kau mau aku di sini dulu?" bisikku lembut di lehernya. Tanganku meremas bulatan besar di dadanya.
"Ahh, Nan.. kamu pulang aja dulu.. stop, Nan.. Ahh.."
Lily selalu tidak bisa menahan diri jika aku bermain di dadanya. Tetapi pagi ini benar-benar berbeda.
Lily membalik badannya ke arahku, menurunkan kembali ujung kaosnya menutupi tubuhnya yang terbuka, memegang wajahku di kedua pipi, mengecup bibirku singkat,
"Plis, kamu pulang dulu, Nan, mood-ku sedang gak baik.. ngerti yah.."
"Tentang Husna?" tanyaku hati-hati, menatap matanya.
"Jangan natap begitu, serem, tauk.." Lily mundur, duduk di tepi tempat tidurnya.
Kutarik kursi rias persegi dan duduk menghadap lurus ke arahnya.
"Ish, dibilangin jangan menatap kayak gitu.." Lily merengut manja.
"Hihi, emang kenapa? Mataku kenapa?" tanyaku tertawa.
"Kamu itu serakah bener yah, maunya dipuji mulu..."
"Maksudnya?" aku benar-benar tidak mengerti bagian ini.
"Iya, serakah.. kamu tahu, karakter wajah kamu itu ada di alis sama mata. Aku sudah pernah bilang, kan, dulu.." kata Lily.
"Kamu sudah tahu itu. Kamu sadar kalo kamu bisa mainin emosiku dengan tatapan matamu, malah sengaja-sengaja begitu..." lanjut Lily, masih manyun, nampak lucu sekali saat itu.
Aku tahu, percuma menginterupsi Lily saat sudah ngomel seperti itu. Terus terang, apa yang Lily katakan tentang komposisi wajahku adalah hal yang baru dan tidak pernah kusadari. Lily mungkin mengira pernah mengatakannya padaku, tetapi aku yakin ingatannya tersaru dengan hal lain. Aku punya ingatan yang cukup baik dan dapat diandalkan, buktinya, aku sanggup mengingat dan menuliskan kisah ini, hihi..
“...dan kamu tahu, aku gak bisa bicara kalo kamu sudah pasang muka serius begitu. Kamu tahu sekali itu, trus sengaja pasang mulu, biar liat aku kayak gini. Trus maksa aku ngomong biar aku muji..” ekspresi Lily semakin lucu, aku tidak bisa menahan tawaku.
Aku berhenti tertawa saat kulihat Lily menangis di sana. Terkejut, kuhampiri, duduk di sisinya, kupeluk tubuhnya.
“Hey, maafkan.. aku gak tahu kamu seserius itu tentang ini.. maaf, Li..”
Lily tiba-tiba menegakkan tubuh, mengusap air mata lalu pelan berkata. Kelak kuingat, Lily adalah salah satu wanita paling jujur dan paling terus-terang yang pernah kukenal.
“Nan, ini hanya pemicu. Aku harus jujur, untuk pertama kalinya aku cemburu. Aku sadar, banyak wanita di sekelilingmu, beberapa dengan jelas tertarik padamu. Aku tidak pernah cemburu pada mereka..”
“..tetapi berbeda jika itu Husna. Nan, sejauh apapun hubungan kalian sekarang, Husna selalu menjadi ancaman bagiku, jujur kuakui itu. Tanyakan pada semua pasangan, apa arti mantan bagi mereka, dan apa artinya juga bagi pasangannya. Mantan selalu menempati tempat tersendiri di hati, kamu gak bisa membantah itu..”
Bom-nya baru dijatuhkan beberapa detik kemudian..
“..ditambah kenyataan, bahwa kamu gak seterbuka itu padaku tentang Husna. Nanta, aku cewek, dan cewek mudah tahu saat dibohongi oleh cowok yang dia sayang. Selama ini aku yakin aku bukan seks pertama buat kamu. Mungkin itu Husna, mungkin cewek lain. Tapi masalahnya bukan itu..”
Aku tertegun. Aku tiba pada suatu momen langka, di mana lidahku tercekat, tidak mampu bicara.
“..kamu tahu masalahnya apa. Kan?”
Aku mengangguk pelan. Lily menatapku, meraih kembali wajahku, mengecup bibirku.
“Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis.. Setelah ini, aku mau ga ada bohong lagi..”
Aku mengangguk lagi.
Lily tersenyum. Senyum memahami, memaafkan. Betapa dewasa gadisku ini, memberi maaf pada apologi yang tidak kuucapkan. Permintaan maaf yang seharusnya kuucapkan..
“Kamu pulang dulu. Kita sama-sama perlu tenang, terutama aku. Lagipula, kita butuh jarak untuk bisa saling rindu..”
Lily terus tersenyum dan mengusap pipiku.
"Iya deh, sampai nanti sore.." kataku pada akhirnya.
Kukecup keningnya, dalam dan lama.
***
Sore setelah itu, Lily belum pulang. Tidak biasanya begitu, seingatku. Dari depan rumahnya - aku belum turun dari motorku ketika menyadari Lily belum di sana - kutelepon dia.
Beberapa kali berdering, Lily tidak mengangkatnya. Beberapa menit yang terasa berjam-jam, aku menunggu telepon balasan yang tidak kunjung datang.
Lalu dengan iseng, sambil menunggu kabar Lily kukirim pesan pada Husna.
Nanta : Gimana emosi?
Husna : XD gak gimana-gimana, kak. Harus bisa terima
Nanta : Persiapkan diri lebih baik
Husna : Iya, kak. Sekarang sih masih suka tiba-tiba nangis
Nanta : itu biasa. asal gak keterusan aja
Husna : Iya, kak.. ini lagi nenangin diri
Nanta : Hoo.. lagi bersemedi toh.. di gua mana?
Husna : Ish, bukan di gua, kak, di rumah kak Hajrah aja ini
Nanta : kalo di situ ada juga jadi sibuk jagain ponakan
Husna : Iya sih, kak, tapi lumayan ngalihin pikiran
Nama Lily muncul di layar, telepon yang kutunggu
"Hey, kamu di mana?" Lily bertanya.
"Di depan rumah kamu, nunggu. Kamu balik jam berapa?"
"Duh, Nan, aku ga nginap di rumah malam ini. Aku jadinya ke rumah Oom, ada acara besok di sini, jadi mesti bantu-bantu.." Lily berbicara cepat. Samar kudengar suara keramaian di latar belakang.
"Kamu kalo mau tidur di rumah masuk saja, pagi-pagi aku pulang kok, tapi siang mesti ke sini lagi.." lanjut Lily.
"Iya, kalo gitu besok aja aku ke sini lagi. No big deal." kataku pelan.
"Maaf, ya, Nan. Besok aku janji temenin kamu seharian, eh, semalaman ding, haha.." Lily tertawa. Belum apa-apa aku sudah rindu padanya.
"Oke.."
Telepon ditutup. Sesuatu berubah, aku tak tahu itu apa.
Kulirik kembali layar ponselku, kedip indikator pesan masuk.
Husna : Listrik lagi mati, kak.
Nanta : gpapa, orang jaman dulu juga tetap hidup tanpa listrik
Husna : Tapi kan ada temannya. Husna lagi sendirian. Kak Hajrah ke nikahan keluarga di luar kota.
Nanta : Cocok, kan mau bersemedi
Husna : Hihi, iya sih. yaudah, adek semedi dulu
Kunyalakan motorku. Mungkin sebaiknya aku ke kampus. Sejak bersama Lily, malam-malam hampir selalu kuhabiskan bersamanya. Sudah jarang sekali aku menengok sekretariatku di malam hari. Kupacu motorku membelah Makassar.
Di traffic light tengah kota, kurasakan ponselku bergetar singkat. Kubuka pesan yang masuk, dari Husna.
"Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..."
Semestinya pesan itu kuabaikan saja..
***
Nubi jemput bokin di gym dulu, para suhu dan mastah..
Sekali lagi, sengaja dipenggal demi pesannya..
Semoga terhibur, suhu sekalian..
Terakhir diubah: