Senyampang suami doi belum pulang dinas - biasanya jam segini katanya belum sampai rumah - iseng nubi BBM ke Husna, mengkonfirmasi beberapa detail untuk keperluan update nomor 3.
Husna lanjut bertanya, mengapa dari siang tadi pertanyaan nubi "aneh dan mengungkit". Nubi terus terang saja, sedang membuat tulisan, semacam memoar, kata saya, haha..
Chat berlanjut cukup panjang, tentang kekhawatiran dan kerahasiaan. Tapi nubi tetap yakinkan, semua detail identitas dan alamat akan disamarkan.
Silakan, suhu sekalian..
***
Update 3
***
Aku selalu membayangkan, pacaran remaja akan dimulai dengan hubungan platonis. Sedikit lebih lama, pacaran lalu mengarah ke hubungan romantis. Saling bertukar cendera mata. SMS-an mesra. Kemudian makan berdua, jalan-jalan ke mall dan semacamnya. Aku dan Husna memulai dengan eksplorasi yang lebih jauh. Lebih dalam dan lebih pribadi.
Kelak kusadari, bahwa kejadian di Bantimurung meletakkan dasar yang berbeda pada hubunganku dengan Husna.
SMS-an menjelang tidur tidak biasa kami lakukan setelah itu. Kami jarang keluar berdua ke tempat ramai untuk keperluan pacaran seperti remaja biasanya. Bertukar pesan biasanya kami lakukan hanya untuk mengatur janji temu. Pacaran serasa tidak cukup jika tanpa bercumbu.
Percumbuan kami tidak selalu mudah mendapat tempat dan waktu. Husna sekolah, SMA kelas 1, sedangkan aku mulai sibuk dengan kuliah dan kegiatan kampusku. Aku juga tidak lagi tega mengajaknya bolos sekolah, praktis hanya sekali itu, saat pertama kali kutelusuri gairahnya di Bantimurung sana.
Kami lebih sering bertemu di rumah teman sekolahnya, pada sore hari sepulang sekolah atau kegiatan tambahan. Saat aku datang, biasanya teman-temannya tahu diri, pamit entah ke mana. Tetapi aku dan Husna juga tidak berani berbuat lebih di rumah mereka. Paling banter hanya rutinitas lumat bibir sambil meremas lambang osis-nya, haha.. Terkadang iseng tanganku menyusup ke balik rok abu-abu panjangnya, tetapi tetap tak bisa lama-lama.
Demikian berulang terus, sampai Husna naik kelas 2. Satu tahun, suhu sekalian..
Sampai suatu hari, sebuah pesan singkat membunyikan ponselku...
"Kak, Kak Hajrah lagi ga di rumah, Mas Iman juga.." bunyi pesan dari Husna.
"Oh, mereka pada ke mana? Trus kenapa memangnya kalau mereka tidak ada? Adek lagi butuh bantuan mereka, gitu?" balasku, naif.
"Mereka lagi ke Semarang, ka kampungnya Mas Iman. Bukan adek. Kak Nanta yang pasti butuh.."
Sontak kesadaran menyerbu ke otakku. Ini undangan, suhu sekalian!
***
Pernah kuceritakan, bahwa Husna adalah anak bungsu. Bapaknya, Haji Andi Ahmad, adalah duda beranak dua saat menikah dengan Hajja Bunga, ibu dari Husna. Hajja Bunga sendiri adalah janda beranak empat pada saat itu. Hajrah adalah anak sulung
bawaan Hajjah Bunga. Husna adalah satu-satunya buah dari pernikahan Haji Andi Ahmad dan Hajjah Bunga.
Hajrah - si kakak sulung - tinggal bersama suaminya, Kasiman, di sebuah kompleks perumahan mewah, di kecamatan sebelah. Husna sering
main ke rumah Hajrah, menemani ponakannya - putra Hajrah - bermain. Hal ini membuat Husna sering diminta menjaga rumah itu jika Hajrah dan suaminya bepergian.
Kompleks ini dihuni oleh keluarga-keluarga berada, dengan tingkat sosialisasi rendah. Semua rumah dikelilingi pagar yang tinggi, dengan pintu yang selalu tertutup.
Dan aku diundang - dengan halus dan sindiran - oleh seorang gadis belia, menemaninya di suatu kamar, di dalam rumah, di sini...
***
Kulewatkan lagi detail tidak penting perjalananku menuju rumah di mana Husna menungguku, ya, suhu sekalian. Beda lagi seandainya referensi kuliner makassar yang suhu sekalian inginkan, maka akan saya ceritakan tentang coto makassar Paraikatte yang kusinggahi sebentar dalam perjalanan.
Setiba di rumahnya, kuparkir motorku di naungan kanopi, kuketuk pintunya.
Sebuah pesan singkat menderingkan ponselku,
Husna said:
Lewat pintu samping, Kak..
Kukitari taman kecil dengan deretan bonsai, kutemukan pintu samping yang dimaksud, tidak terkunci.
Aku melangkah masuk, melewati koridor dengan lampu redup. Koridor ini mengarah ke ruang keluarga, ternyata. Husna duduk manis di sofa, tersenyum dikulum, tidak menoleh - walaupun tahu - saat aku melangkah menghampirinya.
Kuempaskan diri ke sofa di sampingnya. Husna saat itu mengenakan mukenah. Mungkin baru saja selesai ibadah ashar.
"Empunya rumah bakal lama di Semarang?" tanyaku.
"Iya, Kak, dua minggu, kayaknya...," jawabnya tanpa menoleh. Kami berdua duduk rapat berdampingan. Kabut percumbuan menggantung rendah di bawah langit-langit, hanya menunggu sampai kami menghirup dan mabuk dibuatnya.
"Jadi, bisa tiap hari nih...," kataku sambil meletakkan tangan kanan di lutut kirinya.
"Kata siapa, besok Mama bakal nginap di sini kok, sampe Kak Hajrah pulang," katanya ringan, menepis jatuh tanganku.
"Yaahh.. kirain bisa berduaan 2 minggu...," kataku memonyongkan bibir.
"Memangnya mau ngapain, Kak?"
"Yaa.. apa yahh.. meneruskan sesuatu yang tertunda melulu, mungkin?"
"Memangnya harus dua minggu? Sesorean ini tidak cukup?" katanya sambil memutar bola mata, menggoda.
Godaannya kusambut, aku menyerah. Kuterkam dia, kutindih di sofa.
Bibirku mengulum bibir atasnya, bibir bawahku digigit olehnya. Setahun bercumbu membuatnya semakin hebat membagi tugas oral. Dia tahu kapan waktunya membelit lidahku ke dalam mulutnya, atau memijat lidahku di dalam sini. Dia mengerti kapan mesti menggigit bibirku, atau melepas ciuman untuk sekedar mendesah ringan, menggemaskan..
"Mmmhhh.. Kangen ya Kak? Mmmhh...," desahnya lembut. Kedua lengannya melingkar di leherku, tubuhnya tertindih olehku.
Mukenah yang dikenakannya menyusahkan gerakan kami. Maka kuangkat wajahku, sebelah tangan bertumpu di sisi tubuhnya, sebelah tanganku menarik lepas mukenahnya.
Tidak bisa kusembunyikan ekspresi takjubku saat melihat Husna di balik mukenah. Di baliknya, Husna hanya mengenakan tanktop berwarna hijau muda. Tanpa bra di baliknya. Kulirik ke bawah, kakinya - yang kini melingkar di pinggangku - hanya mengenakan secarik kain segitiga, putih bersih warnanya.
"Wah, adek nakal juga yah, ternyata...," kataku menggodanya.
"Yang begini, kan, yang Kak Nanta suka?" katanya tersenyum, lengannya kembali melingkar di leherku, menarikku ke bibirnya yang merekah terbuka. Kulumat bibirnya dengan rakus, dibalasnya dengan tak kalah bernafsu.
Waktu kami hanya sesorean, jika benar kata Husna tadi. Jadi menurutku tidak perlu bergerak perlahan. Kutarik Husna turun dari sofa yang rendah itu. Kami bergulingan di lantai, kini dia menindihku.
Kedua tanganku menangkap bulatan pantatnya, menyusup ke dalam batas celana dalamnya. Kuremas keras, senada dengan gerak pinggulnya yang naluriah menirukan olah tubuh senggama.
Naluri manusia dalam birahi memang sudah punya pola koreografi tersendiri, sejak jaman purbakala hingga kini.
Kutarik turun kain segitiga mungil itu. Husna tidak keberatan, atau mungkin tidak menyadari yang kulakukan. Tanganku kian bebas menggerayangi bulat pantatnya, sedangkan Husna terus menciumi bibirku penuh nafsu. Aroma birahi seolah menguar bagai uap panas dari tubuh kami, memenuhi ruangan tiga dimensi.
Tangan Husna mulai meraba perutku, mencari ujung baju. Kubantu niatnya dengan duduk tegak, dan melepas kaosku. Kini posisi Husna mengangkangiku. Sepertinya tersadar bahwa separuh tubuhnya bagian bawah sudah polos tidak tertutup sesuatu. Kepalang basah, dengan satu gerakan, Husna menarik tanktopnya ke atas, melepas kain terakhir yang menutup payudaranya.
Kami bertatapan sejenak. Seorang gadis dilanda asmara, duduk mengangkang di pangkuan seorang pemuda, yang saat itu hanya birahi yang ada di kepalanya..
Kami kembali beradu bibir, memijat lidah masing-masing dengan buas, saling belit dengan ganas. Jarinya memainkan gesper celanaku, membuatku tersadar, bagian bawah tubuhku belum terbebas dari belenggu.
Kurebahkan tubuhnya ke belakang, spontan tangannya memeluk leherku. Dengan tidak menghentikan ciuman, kulepas gesper, kancing dan resluiting celana kainku. Lalu kurenggut lepas ke bawah, sekalian dengan celana model boxerku.
Kami bertindihan, meneruskan gerakan meniru persetubuhan. Bibir masih saling melumat. Sebelah tangan Husna mengusap punggungku, sebelah lainnya meremas rambutku.
Kuturunkan ciuman ke lehernya, meninggalkan jejak merah penanda daerah jelajah. Kudaratkan ciuman bertubi di dagu, leher, lalu turun dengan pasti ke belahan dadanya.
"Ouuhhh.. Kak.. Kak Nanta laleee... Ahhh...," katanya mencoba bercanda, jelas sulit dengan luapan birahi meruah ke ubun-ubunnya.
Kuteruskan cumbuan di dadanya. Kedua tanganku kini merema keras dua bukit susunya. Dan dengan cepat, mengulum putingnya yang mencuat indah.
Selama setahun lebih berpacaran, payudara Husna kerap kuremas. Memang, selama itu terkadang hanya ciuman dan remasan yang dapat kami lakukan.
"Kakk..hhh.. Gelii..hh.. Ahhh.. Kak, terus, ahhh.. tapi lebih lembut...," ceracaunya semakin lirih.
Kugeser tubuhku sedikit turun dari tindihanku. Dengan posisi sedikit menyamping, sebelah tanganku kini meremas bergantian buah dada Husna, bibirku kembali mencari dan membungkam bibirnya. Sebelah tanganku yang lain bergerak turun, meremas lembut pahanya sebelah dalam. Naluriah, Husna melebarkan posisi kakinya, memberi jalur leluasa menuju celah basah selangkangannya..
"Akhh.. Kak Nantaa.. Ahhh.. pelan kak.. hmmmpphh...." Jeritan kecilnya tertahan, saat bibirnya kembali kubungkam dengan ciuman. Tanganku tetap mantap, menelisik bibir vaginanya yang merembes basah.
"Mmmhhh.. Ahhhh.. Kak.. Ahhh...." Jerit dan desah yang sama, mengisi ruang tamu, menggema menuju suatu tempat yang entah di mana.
Kucepatkan gerak jariku di liang senggamanya, menusuk setengah masuk dengan jari tengah. Lalu dengan ibu jari, kutekan-gesek klitorisnya..
"Aahhhhhhh.. Kak.. ouuhhhhh.. kak.."
Tubuh Husna tersentak, saat kenikmatan orgasmik runtuh menimpanya..
"Hhhhhh.. Kak.. adek lemas.. yang barusan itu bikin adek hilang tenaga...," katanya terengah-engah, berusaha berseloroh.
Tidak menunggu sampai nafasnya normal kembali, kuterkam lagi tubuhnya. Kutindih, kutarik pahanya melingkar dan menjepit pinggangku. Kuposisikan batang kelelakianku pada celah vaginanya yang masih basah.
Ya, kami lanjutkan dengan
petting.
Pada mulanya, hanya desah dan desis ringan yang Husna bisikkan. Lalu, seiring bertambah cepatnya gesekan batangku di celah kenikmatannya, suaranya berganti jeritan kecil penuh gairah..
Gerakan kami mengalir seirama, pinggulku menekan ke bawah, seolah sedang bersenggama. Tanganku turun ke dadanya, meremas keras bulatan payudaranya yang kenyal nan padat. Sambil terus bergerak memompa, terus menerus kuarahkan batang kelelakianku menggerus celah sempit nan basah di antara kedua kakinya.
Kurasakan cairan senggama dari vaginanya membanjir, melumuri senjata priaku. Suara pergesekan kelamin kami mengisi ruangan, di sela rintihan Husna yang lirih.
Gerakan kami semakin cepat. Aku mendaki kian tinggi. Yang kulakukan ini tidak ubahnya hanyalah masturbasi, dengan menggunakan vagina asli, hihi..
Kurasakan ujung batangku mulai berkedut, aku akan mencapai klimaks. Dalam pergesekan yang semakin cepat, Husna pun merasakan sensasi yang kian lama kian nikmat..
"Ahhhh.. Kak.. Ahhhh.. Terus, kak.. Ahhhhh...," demikian, berulang, meninggi, lalu lepas, dalam semburan kentalku, membanjiri perutnya..
"Aaaaahhh, dek.. Aahhhhhhh...," desahku tidak tertahan saat itu.
Tanganku meraba mencari tanktop hijaunya, kubersihkan ceceran sperm ku yang membanjiri perut Husna hingga ke dada.
"Yang terakhir ada rasanya, buat adek?" tanyaku tentang
petting barusan.
"Ada, sih, kak.." katanya sambil mengatur nafas.
"Tapi ga seenak yang tadi, yang pake jari...," katanya malu-malu.
"Hmm.. Lain kali, dek Husna mau yang betulannya?" tanyaku sambil meraih celana.
"Iyalah.. asal kakak jangan kasar.."
Kukenakan kembali pakaianku, Husna juga beranjak memakai celana dalamnya. Tanktopnya yang terkena cairanku dipungutnya, lalu dengan santai berjalan menuju ambang sebuah kamar.
Kutarik tangannya, kupeluk dia dari belakang, lalu bisikku,
"Kapan lagi dong, ada kesempatan?"
"Ya, malam ini saja, kenapa Kak?" Dia sedikit meronta melepaskan diri. Berlari memasuki kamar terdekat.
"Sudah ya, mau mandi dulu nih...," serunya dari dalam kamar.
Aku masih termangu, lalu melangkah mendekati pintu kamar.
"Bukannya mamanya Husna mau datang?" tanyaku.
Wajah Husna muncul dari balik pintu kamar, "Iya, memang.. tapi besok sore.."
Husna menghilang lagi ke dalam kamar.
Aku lalu duduk di sofa, mencoba memahami kondisi.
Husna bersedia "belajar lebih jauh" denganku. Malam ini, katanya. Hari masih sore saat ini. Mamanya baru datang keesokan hari, sore, tepatnya. Besok itu hari minggu.
Semua kepingan informasi hanya berarti satu hal : aku punya semalam dan sehari untuk mereguk kenikmatan kekasihku..
Kelak, di masa kini, Husna selalu menyebut malam pengantinnya - dengan suaminya sekarang - sebagai malam kedua. Sebab malam pertama baginya adalah malam itu, saat aku semalaman di dalam kamarnya, juga di dalam tubuhnya..
***
Semoga terhibur, suhu sekalian..
Sedang berusaha mengingat-ingat detail yang terjadi setelahnya...