Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

***
25
Keluarga

Semalam, Grab yang Bara dan Firly tumpangi tiba di Hotel Virgo. Dua koper besar Firly berisikan pakaian dan segala tetek bengeknya Bara bawakan memasuki lobby.

Di sofa yang telah disediakan sebagai tempat untuk menunggu, sudah duduk seorang pemuda yang berpakaian nyentrik sambil membawa paper bag. Siapa lagi kalau bukan Sagara Ing Jayantaka.

Setelah ngobrol beberapa hal yang tidak penting-penting amat, Bara dan Saga kompak memutuskan untuk merubah rencana karena situasi dan kondisi yang dialami Bara malam ini beresiko tinggi kematian.

Jadilah Bara memutuskan untuk membuka room sendiri yang bersebelahan dengan kamar Saga untuk memudahkan mereka dalam berkoordinasi sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua.

Sekarang, pagi hari telah tiba. Kemilau sinar mentari merangsek mencoba masuk melalui setiap celah kecil pada jendela balkon yang tirainya setengah tertutup. Di suite room lantai 12, yang pertama bangun adalah Firly. Tubuhnya menggeliat. Menguap. Mengucek mata barang sebentar sekadar menyesuaikan dengan pendar terang Sang Surya.

Setengah nyawa Firly telah terkumpul. Pemandangan langka yang baru pertama kali ia lihat sudah barang tentu pangeran penyelamatnya yang tengah tertidur di sofa bed. Wajah pulas lelaki gila yang semalam membantai satu persatu nyawa manusia tanpa ragu. Bak orang yang sudah terbiasa melakukan hal itu, membuat Firly sedikit banyak ngeri. Bayangkan, Firly tidur di tempat orang yang punya banyak kesempatan melakukan tindak kejahatan. Entah itu memperkosanya, atau bisa saja membunuhnya.

Tetapi, dari dua kemungkinan buruk tersebut, tak membuktikan kebenaran tentang seorang Bara Geni yang hanya bersikap biasa saja. Menyentuh Firly pun tidak

Bingung? Jelas! Firly baru menemui karakter unik seorang lelaki yang sukar dipahami. Jalan pikir lelaki yang kini sudah resmi menjadi pacarnya. Meskipun trial, sih.

Firly memilih bangun. Alih-alih menuju kamar mandi, ia justru menghampiri Bara. Ditatapnya si sableng sembari berjalan. Lebih dekat. Semakin dekat.

DEG!

Aroma maskulin yang terpancar dari tubuh Bara seketika menginvasi penciuman Firly. Bulu kuduk si Jepang sampai meremang. Dibalik hiasan tato pada kedua lengan tangannya yang mengerikan, wajah tampan Bara saya tidur membuat Firly terpesona untuk beberapa detik.

Entah darimana datangnya keberanian Firly, ia mendekat. Mengelus rahang kokoh Bara dengan jemari lentiknya. Lembut sekali. Bibir tipis yang pedasnya seperti cabai sangat menggoda. Yang kemudian, Filry mendaratkan kecupan singkat. Enak. Firly kembali mengecup. Agak lama. Anehnya, Firly malah melumatnya tanpa persetujuan Bara yang mulai terusik tidurnya.

Hawa panas mulai menyelimuti tubuh Firly. Jantungnya berdebar. Putingnya mulai mengeras. Pun selangkangannya ikut menghangat.

"Kenapa ganteng banget sih ini cowok? Ugh! Jadi sange. Baunya juga enak. Manly banget. Tapi kenapa semalem aku nggak disentuh sama dia, ya? Apa dia nggak tertarik sama aku?" Firly berbicara sendiri. Jemari tangannya turun mengusap dada bidang Bara. Lalu, Firly rebah di samping kiri Bara. Meletakkan kepala di ceruk leher Bara sambil mengendus-endus aroma alami yang menguar dari badan si sableng. Sampai di mana tangannya tak sengaja menyentuh benda dingin yang melingkar di leher Bara.

Mata Firly seketika menyipit. Kepalanya sedikit mendongak. Mengenggam kalung perak dengan bandul liontin lonjong bertahtakan permata. Rasa penasaran menyeruak. Entah mengapa, jari lentik si Jepang gemetar saat mencoba membukanya. Hingga ...

"Kamu buka, aku jamin matamu nggak bisa melihat, betina." Baritone berat suara Bara menegur. Menggagetkan Firly. Tak ayal, Firly langsung menjauhkan diri dari sana. Duduk dengan dua kaki dilipat ke belakang. Menatap ngeri ke arah Bara yang sudah membuka mata. Sedikit. Kemudian, Bara kembali berkata, "Baumu kayak luwak birahi."

Firly mengerjakan mata. Seolah terhipnotis. Mengabaikan ucapan Bara, ia hanya mampu mengucapkan dua kata, "Maaf, Kak Bara."

"Hm."

"Bo-boleh aku tidur?" tanya Firly, ambigu.

"Maksudmu, apa? Kamu masih ngantuk?" Bara balas melontarkan pertanyaan. Perlahan, ia bangun. Menghela nafas berat.

Firly gelagapan. "Eh, anu, bukan itu yang aku maksud, Kak."

Alis Bara bertaut. "Terus?"

Ditatap demikian, membuat Firly salah tingkah. "Ah. Nggak jadi, deh."

"Cewek aneh." Bara bangkit dari rebahannya. Menguap. Menggerakkan leher ke kanan-kiri. Lantas, menatap Firly tajam. "Sana mandi. Habis ini aku anter kamu pulang ke rumah orang tuamu."

"No!" tetiba Firly menggeleng kuat. Ia balas menatap lebih tajam. "Aku nggak mau pulang! Aku mau sama Kakak aja!"

Bara berdecak. "Biasa aja ngomongnya. Nggak usah pake urat. Mau aku tendang kepalamu?"

"Nggak peduli! Pokoknya aku mau sama Kakak! Titik!"

"Kenapa? Aku normal. Kalau kamu sama aku, apa kamu nggak takut memekmu kemasukkan kontol?" tanya Bara, sambil tersenyum miring.

"Aku tahu kalau Kak Bara bukan cowok mesum. Jadi itu jelas nggak mungkin."

"Kamu nantangin aku?"

Bibir bawah Firly maju tiga centi. Meremehkan. "Coba aja."

"Nyebelin banget ini cewek."

"Kamu kok bentak aku, sih, Kak?" wajah Firly seketika cemberut.

"Mana ada aku bentak kamu. Ini masih pagi. Jangan bikin gara-gara." Bara menatap Firly jengah.

Firly semakin beringsut sebal. Bersedekap di depan dadanya. Otomatis payudaranya membusung kian besar di balik lingerie putih yang ia kenakan. Samar, kedua putingnya tercetak.

Meski tak ingin, Bara tak bisa mengelak jika matanya tertuju pada area terlarang si Jepang. Kemudian, Bara kembali menatap mata Firly, sebelum berkata, "Jangan samakan aku dengan lelaki yang biasa tidur sama kamu. Tahu apa yang aku maksud?"

"Taik, ah!"

"Ta-taik?" Bara tergagap, "pertama kamu nuduh aku bentak kamu. Sekarang ngatain aku taik. Gimana, gimana?" Bara semakin menajamkan mata.

Jelas saja Firly salah bicara. Ia mau mengoreksi, tapi lidahnya seakan kelu. Itu karena tatapan Firly malah gagal fokus melihat wajah Bara yang benar-benar menawan bak bangsawan. Wajah khas bangun seorang lelaki jantan yang hampir tak pernah ia lihat dari sekian banyak lelaki yang pernah satu ranjang dengannya. Terlebih, Firy kalah tatapan mata melawan mata setajam elang lelaki itu.

"Kamu, sih."

"Dasar betina merepotkan."

Bara mendorong Firly pelan. Ia bangun dari sofa bed, mengambil sebungkus rokok dan korek untuk ia bawa ke kamar mandi. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, ia menutup pintu. Menguncinya.

Di dalam kamar mandi, yang dilakukan Bara seperti kebanyakan orang. Membakar rokok sambil menunaikan hajat. Merenung. Asap mengepul di seluruh ruangan.

Selesai buang air besar, Bara mematikan rokok pada asbak di pojok wastefel, kemudian meloloskan kaus dan celana pendek. Masuk ke dalam glass room di bawah guyuran air shower, mulailah si sableng mandi. Wangi shampoo serta sabun cair yang telah disediakan semerbak harum.

Sat-set tanpa membuang waktu. Bara keluar dari kamar mandi sembari melilitkan handuk putih tebal di bagian perut ke bawah. Tonjolan besar di antara selangkangan samar terlihat. Kendati demikian, Bara tak terlalu memikirkannya. Lagipula, ia tidak sedang bernafsu meski ada Firly yang tengah masturbasi ria sambil meremas-remas susunya sendiri di atas sofa bed.

Bara hanya berdecih. Mengambil pakaian ganti pada paper bag yang dibawakan Saga semalam. Dan tanpa sungkan, Bara ganti baju di depan Firly yang terus memandang ke araunya tanpa berkedip. Mata si Jepang menyusuri dari wajah Bara, badan penuh tato, hingga sampailah mata sipitnya ke arah batang besar nan panjang setengah tegang di antara selangkangan. Alih-alih menghentikan aktifitas masturbasi sambil mendesah-desah lembut, Firly semakin cepat mengobel-obel vaginanya.

Lingerie putih yang dikenakan Firly sudah tak karuan. Entah apa yang dipikirkan si Jepang itu, ia nekat melakukan tindakan abnormal di depan lelaki yang baru semalam ia temui. Ini Bara-nya yang terlalu mempesona, atau Firly-nya saja yang suka sange sampai ke ubun-ubun melihat lelaki tampan dan berbatang panjang?

Tak butuh waktu lama, lenguhan panjang Firly menjadi tanda ia mencapai orgasme pertamanya di pagi hari. Tanpa physical touch, Firly sanggup menuntaskan birahinya yang sejak semalam dibuat kentang oleh Akira.

"Ughhhh ... hmmm ... Kak Bara ... hhhh ...." Nafas Firly tak beraturan. Vagina merah mudanya berkedut-kedut merekah cerah saat air cintanya merembes keluar membasahi sofa bed. Kedua susunya yang mengkal masih keras. Pun kedua puting merahnya mengacung hebat.

Bara hanya memperhatikan saja. Lalu, membuang muka. Ia berjalan menuju kulkas kecil mengambil sebotol Lemon Water, lantas dibawanya ke balkon. Menikmati sejuk udara pagi Kota Anggur. Hotel yang berada di perbatasan sektor selatan dan timur yang dipilih oleh Saga ini cukup bagus. Pemandangan taman dengan aneka bunga memanjakan mata.

Kemudian, kiranya tiga kali tegukan Lemon Water dan sebatang rokok yang sisa setengah, Bara mengambil ponsel dari saku. Menyalakan data seluler, lalu menunggu notifikasi yang masuk ke ponselnya berhenti.

Ada puluhan pesan masuk ke WhatsApp Bara. Termasuk di antaranya group Rantai Hitam.

Iseng Bara membukanya. Sebab, ada seseorang nge-tag namanya. Siapa lagi kalau bukan Ipang. Si lelaki bermuka joker itu menuliskan pesan sekaligus mengirim link agar Bara membukanya.

Tanpa membalas pesan di group, Bara penasaran dengan link yang dikirim Ipang. Segeralah Bara tahu jikalau link tersebut menuju halaman Instagram yang memuat sebuah artikel tentang viralnya pembantaian sekumpulan crazy rich di sektor selatan. Nama 'Bara yang seorang begal' dicatut di artikel tersebut.

Bara tentu saja marah. Bukan karena namanya dicatut. Bukan. Tapi tambahan kata di belakangnya membuatnya naik darah. Bagaimana bisa pemilik saham terbesar Fasilitas Senjata dan Bio Teknologi Hastabrata yang tak pernah kekurangan materi sedikit pun disebut begal? Otaknya di mana? Bajingan!

Tak hanya itu. Akun Instagram pihak pasukan Kue Lumpur ikut menanggapi pada kolom komentar jikalau mereka menindaklanjuti kasus tersebut.

Bara panik? Tidak juga. Ia malah terkekeh-kekeh seperti orang gila. Rasa-rasanya, ia memang menginginkan hal ini terjadi. Entah apa maksud dan tujuan Bara, yang pasti hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Ting! Tong!

Tak berselang lama, terdengar bel kamar bernomor 1220 berbunyi. Bara menoleh. Sambil menenteng rokok di tangan kanan, Bara berdiri. Berjalan menuju pintu. Dilihatnya di sofa bed yang basah cairan orgasme sudah tak nampak sosok mesum bin binal. Bunyi shower di kamar mandi menandakan bila gadis Jepang itu sedang mandi. Atau mungkin ... melanjutkan masturbasi? Persetan. Bara tak terlalu peduli. Semenarik apa pun Firly, di mata Bara, si Jepang itu hanyalah barang bekas yang tinggal menunggu waktu dikilokan. Tak ada suaka pemandangan yang bisa mengalihkan pikiran Bara akan ingatan ucapan seorang pria misterius yang ia temui semalam di Rumah Bordil Darmo. "Hubungi nomor itu jika kamu berubah pikiran. Barangkali aku bisa memberimu petunjuk di mana Saumia berada."

Saumia. Saumia Aurelin Amalia. Adalah mantan Bara. Keduanya sefrekuensi dalam segala hal. Termasuk berbagi kenikmatan surga dunia persenggamaan. Rambut panjang lurus yang selaras dengan wajah cantik berlesung pipi, gigi gingsul, payudara sedang tapi bulat yang sesuai dengan proporsional lekuk tubuhnya. Satu hal yang tak bisa Bara lupakan adalah bongkahan pantat Saumia yang semok. Sangat nyaman di kedua telapak tangan Bara saat meremasnya.

Ah, shit!

Membayangkannya saja sudah membuat birahi Bara terusik. Cepat Bara tepis khayalan mesumnya. Berjalan menuju pintu, lalu membukanya dengan key card.

CKLEK!

"Yo, anak baru."

Satu-satunya orang yang masih konsisten memanggil Bara demikian hanya satu: Sagara Ing Jayantaka. Pagi ini, pemuda itu tampil nyentrik dalam balutan jaket warna kuning dan menggenakan topi mancing. Tak ketinggalan satu botol Macallan 18 Y.O. Tidak sendiri. Saga datang bersama seorang wanita paruh baya blonde. Saat mata Bara dan wanita itu saling bertabrakan, kontan saja menimbulkan getaran aneh yang sama persis saat Bara menatap Elle untuk pertama kalinya.

"Masih pagi. Harusnya agak siangan kamu ke sini, Ga." Bara membuka suara, setelah beberapa lamanya terdiam. Pandangannya beralih menatap Saga untuk menutupi rasa gugup yang menyebalkan.

"Sat. Gak sopan njambal karo Mas'e." (Sat. Tidak sopan kurang ajar sama Masnya.)

Saga memukul kepala Bara dengan ujung botol. Tanpa menunggu jawaban Bara, Saga masuk tanpa dipersilahkan. Ia langsung melengos mengambil duduk di balkon. Menyisakan Bara dan si wanita bule yang masih berdiri berhadap-hadapan di depan pintu kamar.

"Silahkan masuk." Bara mempersilahkan. Badannya miring untuk memberi jalan. "Maaf kalau berantakan."

"Terima kasih. Maaf juga kalau menganggu Masnya istirahat," sahut si bule, merdu.

Blam!

Bara menutup pintu kamar hotel. Mengikuti si bule yang berjalan lebih dahulu menuju ke arah Saga yang telah menunggu di balkon. Jelas sekali terlihat di mata Bara goyangan dua buah pantat aduhai si bule menggugah nafsu. Menggenakan outfit blouse coklat yang kontras dengan kulitnya yang seputih salju, berikut celana jeans ketat mempertontonkan lekuk seksi pinggul, paha, sampai betisnya yang padat. Wanita paruh baya yang menggenakan high heels hitam itu tak bisa dideskripsikan betapa menawannya wajah cantik bulenya. Rambut pirang di ombre. Alis tebal. Bulu mata lentik. Bola mata bermanik abu-abu khas wanita barat. Hidung mancung. Tak ketinggalan bibir setipis dompet kaum mokondo.

Duduk melingkar bertiga, ketiganya larut dengan pikiran masing-masing. Hanya sebentar, Saga mencairkan suasana dengan memutar minuman setengah sloki. Dimulai dari dirinya, si bule, lalu ke Bara.

"Nih, Bar. Minum dulu. Biar encer otak kita buat ngobrol nanti." Saga menyodorkan sloki kepada Bara sambil tersenyum misterius.

Bara menerimanya dengan anggukan. Mengangkat sloki. Seperti yang sudah-sudah, jari kelingking Bara naik.

Minuman tandas. Rasa panas bercampur manis namun smooth alkohol berlabel Macallan 18 Y.O merasuk ke tenggorokannya. Sedikit membuat Bara melayang. Untuk sesaat, Bara memejamkan mata. Menikmati minuman keras tersebut ditemani rokok yang membara. Asapnya tersapu angin pagi yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Saga dan si wanita bule saling bertatapan. Kemudian, kompak memandang Bara dengan sorot tak terbaca. Seolah menunggu si sableng yang membuka pembicaraan.

Benar saja. Satu detik setelah tiga kali hisapan dalam rokok Surya-nya, Bara membuka mata. Sorot sipit itu jatuh pada Saga. "Jadi, Mas Saga. Bisa di-detail-kan info yang semalam kita bicarakan di telepon?"

"Santai dulu, Bar. Sebelum itu, aku menawarkan kamu win-win solution."

"Tipikal orang yang nggak mau rugi. Baiklah ..." Bara menegakkan badan, "aku mendengarkan."

"Info yang aku pegang ada hubungannya dengan pembunuh yang sedang kamu cari. Pembunuh papa angkatmu. Karena ini info yang bisa membuatku pindah alam dalam hitungan detik, aku butuh sebuah jaminan."

"Adalah?"

"Aku ingin kamu bergabung ke dalam party-ku tanpa pertanyaan 'apa, mengapa, dan bagaimana'."

"Buka sedikit kartumu, Mas. Jawabanku tergantung dengan infomu."

"Deal."

Terlebih dahulu Saga menuangkan alkohol ke sloki untuk dirinya sendiri, lalu diputar sama seperti sebelumnya. Dan lagi-lagi saat giliran Bara minum, tatapan si wanita bule terasa seperti singa yang tengah kehausan di padang savana. Setelah tandas, sloki diletakkan di tengah-tengah mereka. Barulah Saga mulai bercerita.

"Berbicara soal namamu yang punya marga unik. Geni. Mengingatkanku dengan marga yang sama seperti marga orang nomor satu di Kota Anggur. Wali Kota kita, Kala Geni."

Mata Bara membola sempurna. Bara pernah mendengarnya dari Abner. Dulu sekali. Bara kira ini hanya kebetulan semata. Namun, sepertinya sang wali kota sepertinya memiliki hubungan dengan misteri-misteri yang sedang Bara pecahkan. Kembali Bara menyimak tanpa suara.

"Kala Geni memiliki seorang istri bernama Jennifer van Hanoch. Wanita itu tak lain adalah wanita di sebelahku ini. Wanita yang kucintai namun terkendala tembok besar yang semua orang tahu jika wanita ini masih resmi istri orang. Istri ommu."

"Kebetulan yang memuakkan."

"Meski Bu Jenny bukan dari trah Geni, secara otomatis Bu Jenny memiliki nama baru pemberian kakekmu yang tak lain kepala keluarga trah Geni yang dikelilingi empat trah persekutuan lainnya untuk menopang keberlangsungan nama besar keluarga di dunia atas dan bawah."

"Keponakanku, Bara Geni." Jennifer van Hanoch memanggil Bara lembut. Matanya seteduh gumpalan awan putih di langit. Suaranya bak aliran air terjun yang turun ke hulu. Menenangkan, juga menghanyutkan. "Perkenalkan, aku Tantemu. Maaf jika selama ini kami tidak bisa berbuat apa-apa dalam kesakitanmu selama bertahun-tahun. Percayalah, kami ingin sekali memelukmu. Menyayangimu. Tapi, kakekmu lah yang menjadi alasan kami tidak bisa bergerak sesuka kami."

"Kami? Katakan padaku. Siapa yang kamu maksud dengan 'kami'?"

"Elle. Dia adalah anak kakakku. Juga keponakanku. Dan kamu yang keponakan suamiku, sudah jelas jika kalian adalah ... sepupu."

Bara cengo. Untuk menutupi sejuta rasa penasaran akan misteri kehidupan, Bara alihkan fokus dengan membakar rokok lagi. Menghisapnya untuk menenangkan jiwanya yang bergejolak.

Apa-apaan ini?

Satu minggu yang lalu ada seorang wanita bernama Ratu mengaku ibu kandungnya. Sekarang datang sebuah kejutan dari seorang wali kota bernama Kala yang digadang-gadang pamannya, pun memiliki seorang istri bule bernama Jennifer. Terakhir yang tak bisa Bara telaah adalah Elle.

Apa benar, Electra Sugureta, si gadis bule yang sudah menciumnya itu ... sepupunya?
 
Terakhir diubah:
langsung baku hantam aja, bunuh putra sikat dayu :papi:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd