Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

***
12
Para Singa Betina

Satu minggu recovery, Bara sudah pulih. Tidak bisa dikatakan dalam keadaan baik juga kalau dalam tujuh hari ini Bara dicekoki alkohol tiada henti. Bara juga begitu. Ia yang kurang suka minuman murah, langsung mengajukan diri menjadi sponsor utama untuk pesta penyambutan diri sendiri. Tidak ketinggalan sang koki, Bintang, yang ikut andil dalam menyiapkan kudapan dan masakan dari berbagai belahan dunia. Yang lebih banyak tersaji tentu masakan khas Negara Berflower.

Di lantai tiga, tepatnya rooftop, inti Rantai Hitam membuat pesta sambil menyalakan api unggun. Kudapan, alkohol, dan seks menjadi menu utama. Untuk yang berpesta narkoba jenis ***** hanya Rio, Ipang, dan Bayu.

Perut kenyang. Bawah perut terpuaskan. Pikiran pun ikut melayang.

Jangan salahkan Bara juga kalau yang ia beli adalah Bacardi Spiced Rum sebanyak 8 karton dan Alexis Anggur Hijau sebagai campuran ada 4 karton, sanggup membuat semua orang tepar tak berdaya. Setiap malam tanpa henti, menorehkan hasil akhir jikalau lelaki terkuat dan tidak skip hanya ada sang bandar - Leo-, Tiga Serangkai -Loki, Rio, Putra-, dan tentu saja bintang utama kita semua, Bara. Lima orang yang menjadi tukang bersih-bersih dan mengkondisikan teman-teman yang tumbang.

Di pagi hari yang biasa saja, Bara terbangun dengan badan yang remuk redam. Masih terasa efek alkohol sisa semalam. Belum sempat berdiri, Bara dikejutkan oleh beberapa bagian tubuhnya yang tertahan sesuatu.

Dimulai dari perut Bara yang terlihat sebuah tangan melingkar. Memeluknya. Ini tangannya Saga. Si gigolo pecinta MILF ini semalam mabuk parah. Kamar Saga yang juga ada di lantai atas terkunci. Entah di mana kunci kamarnya diletakkan. Bodo amat. Bara tak ingin ambil pusing, ia tanpa segan membanting Saga ke atas kasur.

Selanjutnya ada kepala yang tidur ngiler di pundak Bara. Tidurnya yang berantakan, sudah pasti si tukang ngegas, Berto. Sebenarnya, Berto juga sama mabuknya seperti Saga. Pun kamarnya di lantai bawah. Jadi tak ada alasan bagi Berto untuk berada di sini. Seharusnya begitu. Namun, siapa yang menyangka jika Berto membawa serta pacarnya, Sarah, untuk bercinta di kamar Bara. Bajingan.

Alhasil Bara tidur dengan pikiran melayang. Desahan, jeritan, erangan Sarah masih terngiang-ngiang di kepala si sableng.

Oh, kalau mau tanya di mana Sarah sekarang, jawabannya ada di antara selangkangan Bara. Tidur di paha Bara, di mana bibir gadis itu cukup dekat dengan batang kemaluan yang ikut terbangun. Keras bagai kayu. Tegangan di pagi hari semakin maksimal saat kedua bongkahan susu Sarah menggencet paha Bara. Kadang kalau mengigau suka digesek-digesekkan. Pusing sudah Bara dibuatnya.

Serta merta dengan seluruh teknik Pancal Mumbul, satu persatu orang yang mengukung Bara berhamburan. Terjengkang. Yang paling parah sudah jelas Saga. Wajahnya menabrak tembok, berikut biji zakar si fuckboy kena bogeman tangan Bara.

Jerit dan rintih kesakitan di kamar Bara menjadi sebuah alarm guna menyadarkan orang-orang kampret yang suka sekali menumpang tidur di kamarnya. Terutama Saga. Iya, Saga lagi. Suka sekali pemuda bertato ular Cobra di dada itu menggangu ketenangan Bara. Padahal tak jarang Saga dibuat naik pitam oleh tingkah dan ucapan Bara.

"Bangun, woi. Dasar para biji ketumbar pemalas." Bara menampar-nampar pipi Saga dan Berto bergantian. Mencoba mengembalikan kesadaran duo racun seutuhnya. Sedangkan Sarah hanya diguncang-guncang pundaknya. Tak mungkin kan diguncang vaginanya, bisa ditempeleng si sableng sama Berto.

"Jembut ancene kon iku, Bar." (Jembut memang kamu itu, Bar.) Berto mengomel. Suaranya berat, matanya pun agak layu.

"Bangsat kowe, Bar. Gak isok ta lek nggugah aku lemah lembut ngunu?" (Bangsat kamu, Bar. Tidak bisakah kalau membangunkan aku lemah lembut gitu?) Saga ikut mengomel.

"Hmm ... duh! Ndasku Cekot-cekot! Rrrrr!" (Hmm ... duh! Kepalaku cenut-cenut! Rrrrr!) desah serak Sarah, seraya menggeleng-gelengkan kepala ke kanan-kiri. Matanya mengerjap beberapa kali, sampai di mana matanya bertatapan langsung dengan Bara. "Huaaaaa!" sontak, Sarah mendorong Bara agar menjauh. Sarah tak ingin melakukan kontak mata dengan Bara. Tidak, jika Sarah tak ingin melakukan kontak mata dengan Bara. Tidak, jika Sarah tak ingin terkena serangan jantung.

Bara garuk kepala. Masih tak bisa pemuda sableng itu pahami sifat Sarah yang dalam satu minggu ini ia perhatikan berubah-ubah. Kadang cerewet, judes, sesekali baik, dan yang paling menyebalkan adalah tsundere-nya. Jauh lebih tsundere daripada Dira. Kepala Bara sampai pusing bagaimana caranya ia bisa menyikapi si gadis semiran pirang. Terlebih Sarah itu pacarnya Berto, yang notabene teman satu kostan, Bara jadi merasa di-spesial-kan oleh Sarah dalam artian berbeda.

"Cepat balik ke kamar kalian sendiri sana. Aku mau mandi." Bara mengatakan kalimat untuk semua orang. Namun, matanya tetap memandang Sarah. Datar saja.

"Iyo, iyo, ho. Yo wes, salim wolak-walik sek karo bapakmu seng ngganteng iki." (Iya, iya, ho. Ya sudah, Salim bolak-balik dulu sama bapakmu yang ganteng ini.) Berto menyodorkan tangan.

"Sek nggantengan ndas kontolku timbang peno." (Masih gantengan kepala penismu daripada kamu.) Setelah mengatakan itu, Bara menipis tangan Berto, lalu menyeret si kang ngegas sekaligus si fuckboy sampai luar kamar.

"Asu! Culno aku, ho! Mbok kiro aku kucing a dicengkiwing ngene?" (Anjing! Lepaskan aku, ho! Kamu kira aku kucing kah diseret begini?) Berto meronta-ronta.

"Nek kene kucing, terus Bara opo, yo? Nyambek gak seh, Ber?" (Kalau kita kucing, terus Bara apa, ya? Kadal tidak, sih, Ber?) Saga berkomentar, ngawur.

Bara melotot ketakutan. "Dancuk. Ojok mbok sebut kewan gendeng iku, cuk." (Dancuk. Jangan kamu sebut hewan gila itu, cuk.)

Setelah itu, Bara menutup pintu.

Alamak!

Bara baru sadar jika ada satu makhluk yang masih ketinggalan. Makhluk berdada bulat dan putih mulus itu tengah memakai tanktop hitam miliknya. Saat seluruh tubuhnya sudah terbungkus pakaian, ia menatap Bara kesal. Seperti biasa, dan sudah biasa.

"Pinjem kamar mandimu." Tanpa menunggu jawaban Bara, Sarah langsung melongos. Membuka dan menutup pintu kamar mandi keras-keras. Entah apa yang gadis itu inginkan.

Bara hanya bisa bernafas lelah. Masih pagi sudah diberi cobaan dari wanita super kampret. Kalau Bara tak menaruh respect kepada Berto, sudah ia bungkam si Sarah dengan batang penisnya. Kalau bisa sekalian biji-biji zakarnya. Bajingan.

Karena sudah belajar dari pengalaman saat bersama Dira jika wanita kalau sudah masuk kamar akan memakan waktu lama, Bara putuskan membuka jendela ganda kamarnya. Pemandangan jalanan kota yang padat merayap menjadi santapan sehari-hari. Sesibuk ini Kota Anggur meski hari Minggu sekali pun. Itu sedikit menegaskan jika masyarakat kota ini cukup produktif.

Bara mengambil Lemon Water di dalam kulkas mini. Membawa serta sebungkus rokok Surya andalan dan korek hitam -entah milik siapa yang kebawa di saku Bara-.

Setelah meneguk dua kali minuman peningkat mood, Bara membakar rokok. Hal pertama yang Bara pikirkan adalah mengembalikan korek hitam ini kepada pemiliknya. Tapi nanti ... kalau ingat.

Ada kiranya 4 batang rokok ludes dalam waktu 20 menit. Di situlah pintu kamar mandi terbuka. Sosok Sarah yang sedikit lebih segar dengan rambutnya yang basah, menjadi pemandangan yang sayang untuk dilewatkan.

"Seger, ya, Mbak? Hehehe." Bara menegur. Sedikit terkekeh untuk menutupi matanya yang sedikit melotot menatap tonjolan buah dada Sarah yang tergencet tanktop tanpa bra. Belum lagi putingnya yang mungil sedikit tercetak. Darah Bara sampai berdesir. Dan tanpa sadar, batang kemaluannya mengeras.

"Apa, sih? Gak jelas. Matamu juga gak sopan liat nenenku. Minta dicolok?" cerocos Sarah. Sampai matanya tertuju pada tonjolan besar di selangkangan Bara, ia terpekik. Lalu, menutup mulut dengan tangan kiri. "Idih Kamu kenapa bawa dildo segala di celanamu?"

"Dildo?" Bara mengernyit, bingung. Tapi cepat ia mengikuti arah pandang Sarah. Yang ternyata sedang tersihir oleh pesona si otong yang dalam mode singa kepalaran. "Ini bukan dildo, Mbak. Ini ketapel."

"Ketapel gundulmu."

"Ya kan bener. Coba kamu bayangin ketapel. Terus karetnya kamu buang. Habis gitu kamu balik ketapelnya. Nah, jadilah ketapel berjalan."

"Ih! Bodooooo! Mesum banget!" Sarah melotot marah. Ia melangkah maju dan memukuli dada Bara dengan dua kepalan tangan bagian bawah. Lucu sekali. Self defense dengan damage yang hanya sekitar 5 persen.

Bara menangkap salah satu tangan Sarah. Sedikit kuat menggenggamnya karena Sarah meronta ingin dilepaskan. Namun, usaha Sarah seketika terhenti manakala Bara secara tiba-tiba memutar posisi tubuh. Menghimpit Sarah di tembok. Menyatukan dan mengangkat dua tangan Sarah ke atas hanya dengan satu tangan, yang praktis ketiak putih bersih tanpa bulu terpampang jelas. Pun kedua payudara Sarah membusung indah.

Semburat merah nan panas di pipi dan telinga Sarah muncul. Menginvasi jauh hingga ke dalam dada. Pompaan jantungnya bekerja lebih keras dari biasanya. Mencoba seperti biasa dengan memberikan ekspresi galak kepada Bara, namun usaha Sarah tak membuahkan hasil. Bara justru semakin dalam menatapnya. Mendekatkan wajah. Semakin dekat. Sampai ...

BRAK!

Pintu kamar terbuka.

Ada Berto yang muncul sambil membawa satu kantung plastik putih besar. Ia melongo beberapa detik melihat pacar dan si anak baru sedang bermesraan. Namun, Berto akan membahasnya nanti. Saat ini, ada hal yang lebih gawat dari adegan keduanya.

"Asu. Malah cipokan. Rah, nih bajumu. Kamu di sini dulu, di kamar anak baru. Jangan turun sampai aku jemput." Meski wajah Berto kesal campur panik, tapi ia mencoba santai. Berto kemudian meletakkan kantung plastik besar berisikan baju-baju Sarah yang sengaja ditinggal di kamarnya tepat di belakang pintu kamar Bara.

Sarah gelagapan. Baru sadar jika yang masuk adalah kekasihnya. Buru-buru Sarah mendorong Bara kasar. Menghampiri Berto yang nampak terburu-buru.

"Ke-kenapa, Ber?" gugup, Sarah menyahut.

"Ada mbakku di bawah. Kamu nggak mau kan dihantam botol sama dia, lagi?" Berto menjawab serius.

Sarah bergidik ngeri. Masih teringat ia sebuah kenangan buruk saat pertama kali berjumpa dengan wanita cantik bin sadis, Novia Jingga Perwitasari. Umurnya 12 tahun lebih tua dari Berto. Seorang dosen yang mengajar mata kuliah Ekonomi Internasional. Wanita anggun bak permaisuri seorang raja. Duduk angkuh di atas singgasana sambil memandang hina rakyat jelata.

Alasan para lelaki berpikir tiga kali untuk tidak mendekati Novia dan iseng-iseng berhadiah menjadi pasangannya adalah Novia sendiri yang sengaja menjaga jarak dengan semua orang. Membangun tembok tebal yang tak bisa ditembus sembarang orang.

"Terus aku gimana, Ber?" Sarah ikut panik. Ia memegang tangan Berto yang dingin. Ah, sepertinya Berto juga sedang dilanda ketakutan yang pelik. Sama saja.

"Kamu tenang di sini. Aku coba usir pelan-pelan iblis itu nanti." Berto sedikit bercanda. "Satu lagi, aku ingin denger alasanmu kenapa kamu ciuman sama Bara."

"Eng-enggak! Kita nggak ciuman! Belum ciuman!"

"Tapi mau ciuman?"

"Iya. Eh, enggak! Dia! Dia yang nyium aku, Ber!"

"Bar." Berto melirik Bara tajam.

Respon Bara justru terkesan santai. Ia mengendik dan berjalan menghampiri Berto dan Sarah. "Aku normal, Mas Ber. Kamu sama pacarmu ini bikin pusing dari semalam tau nggak, sih? Hampir aja khilaf aku barusan."

Bukannya marah, Berto justru tepuk tangan. "Aserehe. Beneran normal, Bar?"

"Sek dulu! Kamu nggak mikir aku kaum berak lancar hanya karena aku sering tidur bareng Pangeran Sagara Dirojo Mangku Rondo Sak Dunyo, kan? Ya, kan?" tukas Bara, sedikit lawak.

"Ya, gimana, ya? Habisnya seminggu ini aku nggak pernah liat kamu bareng cewek. Bareng pun cuma sama Mbak Dira pas awal-awal datang. Apalagi kita-kita sama-sama tau kalau kamu cuma sekali doang ngewe sama cewek di kostan. Itu pun lonte yang dibawa Bang Erwin."

"Jarang bareng cewek, bukan berarti aku nggak normal, Mas. Aku hanya menjaga batasan."

"Batasan yang gimana maksudmu?"

"Menjaga komunikasi tanpa melibatkan perasaan lebih dalam. Gitu-gitu, lah."

"Hahahahaha." Berto tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Bara sampai si sableng tersedak. "Rumit juga kamu orangnya. Ya udah, lanjutin aja."

Saking kagetnya, kepala Bara spontan tertarik ke belakang, dibarengi dahinya yang mengernyit. "Lanjutin apa maksudmu, cuk?"

Berto berbisik ke telinga Bara, "Ya lanjutin apa aja, lah. Kalau mau ngentotin Sarah ya nggak pa-pa. Aku izinin. Cuma pesenku jangan dikeluarin di dalem."

Bara terbatuk. Tersedak air ludahnya sendiri. Sedangkan Sarah yang pendengarannya setara kelelawar langsung mencubit kuat pinggang Berto.

"Ber! Bangsat kamu! Kenapa kamu malah nyuruh aku ngentot segala sama anak kucluk ini? Kamu mau jual aku? Kamu pikir aku cewek apaan?" Sarah menimpali dengan bentakan. Menggebu-ebu. Tatapan nyalang ia arahkan kepada Berto dan Bara bergantian.

"Aduh, ampun, Rah, ampun!" Berto meringis kesakitan.

"Omonganmu jahat, tau! Kamu nggak menghargai aku!"

"Lho, aku menghargai, kok. Kamu suka sama Bara, kan? Aku malah seneng lho kamu mulai terbuka sama orang lain. Terutama sama Bara." Berto tersenyum manis.

"Jangan sembarangan kalau ngomong, Ber."

"Mau bukti?" Berto memainkan kedua alisnya naik turun.a Srah yang kali ini panik sendiri. Ia kemakan ke dalam ucapannya sendiri. Belum sempat Sarah mengelak, Berto kembali berkata, "Buktinya, minggu lalu pas si Bara abis nganterin Mbak Dira balik ke rumahnya, terus Bara pulang ke kostan. Nah, posisi anak-anak lagi minum, termasuk Bara. Abis gitu, nggak ada angin, nggak ada hujan, kamu tiba-tiba minta jatah ke aku, dan nyuruh aku cosplay jadi Bara pas mau digenjot." Berto menjawab santai. Anehnya, tak ada raut kemarahan di wajahnya. Selanjutnya, Berto menatap Bara. "Liar pol pacarku bayangin ngentot sama kamu, Bar. Binal emang. Untung nggak patah kontolku pas dia ambil atas."

Bara mengigit pipi bagian dalam sambil geleng-geleng. "Asu, asu. Pasangan gendeng." (Anjing, anjing. Pasangan gila.)

"I-itu ... itu nggak bener! A-aku bisa jelaskan." Sarah mencicit, lalu menunduk dalam. Ia merasa bersalah kepada dirinya sendiri. Ya, Sarah masih ingat waktu itu ... waktu di mana Bara begitu menawan saat pertama kalinya Bara membuka baju untuk mengikuti pesta bersama inti Rantai Hitam. Badannya yang tinggi, kurus, namun berotot, dihiasi tato indah yang estetik. Belum lagi saat Bara memakai salah satu pelacur yang dibawakan oleh Erwin, betapa besar dan panjang penis berurat Bara. Vagina Sarah sampai becek sendiri membayangkannya.

"Emang boleh, sesantai ini, Mas Ber?" tanya Bara, lelah.

Berto mengangkat bahu. "Kalau kalian sama-sama terbuka, aku sih yes. Berhubung ini kamu, dan dia juga keliatan suka sama kamu, why not?"

"Si-siapa coba yang suka Bara? Aku biasa aja tuh. Kamu masih mabuk, ya, Ber?" Sarah mengelak.

Berto mencebik. "Yang ngomongin kamu siapa, Rah?"

"Sek dulu. Kalau bukan aku, kenapa emangnya, Mas Ber?" tanya Bara, heran.

"Sudah aku hajar. Soalnya nggak ada anak inti yang disukai sama dia sebelumnya. Jadi aku ngerasa kamu ini istimewa aja. Lagipula ..." Berto tersenyum sambil mengangkat sebelah alis. "Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri."

"Cuk. Kamu sehat, Mas? Mana ada seorang kakak ngasih adik sendiri nunggangin kakak iparnya, Mas?" Bara tepuk jidat.

"Ya nanti Mbak Dira gantian aku tunggangin, lah. Fair, kan?" Berto menyahut enteng.

"Asu kon. Wani gelud tok lek iku, ndeng!" (Anjing kamu. Berani duel sih kalau itu, gila!) Bara memiting leher Berto. Yang justru Berto tertawa ngakak. "Ampun?"

"Ampun. Hahahaha." Berto berdiri tegak lagi. Menepuk pundak Bara. "Bar. Kamu suka nggak sama Mbak Dira?"

Bara menyentil telinga Berto. "Jancuk. Pertanyaan macam apa itu?"

Berto balas mengeplak kepala Bara. "Tinggal jawab apa susahnya. Bajingan kamu ini."

"Bukan gitu. Kenapa tiba-tiba bawa Mbak Dira?" Bara mendengus gusar.

"Mbak Dira kan sudah kamu ...." Berto tak melanjutkan ucapannya. Ia hanya tersenyum meledek. Benar-benar menguji kesabaran Bara yang setipis daun lontar.

"Asu. Iya, iya. Ssssttt! Jangan diterusin." Bara salah tingkah. "Sebenarnya, aku suka, sih. Tapi ...."

"Tapi, apa?"

Bara saling menggosok-gosokkan kedua tangannya. Sambil nyengir, ia menggaruk tengkuk lehernya. "Tapi ... aku nggak tau Mbak Dira-nya suka balik apa enggak. Seminggu ini aku chat nggak dibales. Mau nyamperin ke rumahnya lagi juga sungkan, kita berdua nggak ada ikatan."

"Halo, Mbak Dira. Kamu udah denger sendiri, kan?" tanpa aba-aba, Berto menengok ke belakang. Yang kemudian, satu sosok menggandeng bocil kematian menampakkan diri. Dira dan Aura!

Tanpa menunggu Bara bereaksi, Berto tunggang langgang pergi dari lantai dua. Menuruni tangga dengan langkah kaki seribu. Agak bahaya jika Berto terlalu lama di atas. Kakaknya bisa curiga dan melukai Sarah lagi. Selain itu, Berto ingin menghindari kontak mata dengan Bara yang sudah mengambil ancang-ancang menendang kepalanya. Bajingan.

Sepeninggal Berto, kecanggungan di antara Bara dan dua wanita yang saat ini sama-sama saling memancarkan aura permusuhan lewat tatapan mata, sanggup membuat seorang Bara gagal menangani situasi. Yang terpikirkan oleh Bara hanya satu.

"Hai." Bara jongkok. Ia menyapa si mungil Aura yang hari ini memakai gaun merah muda.

Sambutan yang diberikan Aura adalah senyum polos dan langsung berhambur memeluk Bara sambil berseru, "Papa!"

Sesungguhnya, Bara masih belum terbiasa dipanggil 'papa' oleh bocah ini. Tetapi, kalau hal itu bisa membuat Aura senang, Bara akan mencoba membiasakan diri. Hitung-hitung simulasi berumah tangga dan memiliki seorang anak.

Bara menggendong Aura dengan posisi menyamping menggunakan tangan kanan. Ia menatap Aura gemas. "Aura hari ini cantik sekali."

"Maacih, Papa." (Makasih, Papa.) Aura menjawab riang. "Papa, Papa. Aula mau es kyim. Papa beyi es kyim totat." (Papa, Papa. Aura mau es krim. Papa beli es krim coklat.)

"Hah? Apa, Sayang?" Bara mendadak bodoh.

"Es kyim, Papa! Es kyim totattt! Dasal Papa bauk ngenge mpus!" (Es krim, Papa! Es krim coklattt! Dasar Papa bau kotoran kucing!) auman si singa kecil Aura lucu sekali. Apalagi ia mengatakan itu sambil menggigit pundak Bara. Wajah cemberutnya sangat amat menggemaskan.

Di sisi lain, urat di pelipis Bara berkedut. Andai saja yang mengatakannya bukan Aura, sudah jelas akan ia banting saat ini juga. Namun, yang Bara lakukan hanya tersenyum. "Oke. Kalau gitu Papa mandi dulu, ya. Aura mau ikut Papa mandi?" tanyanya, sambil melirik ke arah Dira dan Sarah.

"Laki-laki bajingan!" kali ini auman dua singa betina kompak menggelegar sampai menggetarkan kaca jendela kamar Bara. Benar-benar menakutkan.

"Guyon, rek. Gak bayangno lek kalian berdua dadi bojoku. Isok-isok aku nyambangi THT ben seminggu pisan saking bantere bengokan kalian." (Bercanda, guys. Tak kebayang kalau kalian berdua jadi istriku. Bisa-bisa aku mendatangi THT setiap seminggu sekali saking kencangnya teriakan kalian.)

"Ndang adus kono, lho. Opo tak adusi?" (Buruan mandi sana, lho. Apa aku mandikan?) sungut Dira.

"Mau, dong, Mama," sambut Bara, sok imut.

"Tak adusi nggawe bensin, terus tak obong." (Aku mandikan pakai bensin, terus aku bakar.) Dira menyahut sadis.

"Cuk! Cek tego'e Mama ambek Papa. Engkok lek Papa matek, Mama gak onok seng ngumpo. Gak eman, ta?" (Cuk! Sungguh tega sekali Mama sama Papa. Nanti kalau mati mati, Mama tidak ada yang mompa. Tidak sayang, kah?) seloroh Bara, mendramatisir.

Duh! Bara ini benar-benar bisa membuat suasana jadi serba berantakan. Niat hati Dira ingin mencari masalah dengan Bara agar diperhatikan, yang Dira dapat justru gombalan mesum dari si sableng. Di luar nalar manusia. Entahlah, Dira justru semakin menyukainya. Bahkan dalam satu minggu ini, yang Dira pikirkan setelah Aura hanyalah Bara, Bara, dan Bara.

"Tak santap, lho. Dikongkon adus cek angel'e." (Aku gampar, lho. Disuruh mandi kok sulit.) Dira mulai mengeluarkan aura emak-emak. Ras terkuat di muka bumi.

Menggunakan teknik kaki seribu seperti Berto, Bara meletakkan Aura di atas kasur. Lalu, menyambar handuk, dan masuk ke dalam kamar mandi. Kalau sudah diancam sama si manis Dira, Bara tak kuasa menolak. Pun, Bara tak ingin membuat Aura menunggu es krim coklat yang ia inginkan. Sebelum mood si mungil hilang, Bara segera menyelesaikan ritual mandi.

Di luar kamar mandi, dua wanita kembali menebarkan tatapan tidak suka satu sama lain.

Aura yang melihatnya hanya menatap bergantian sang ibu dan si gadis lokal. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri.

"Bara punyaku."

"Katakan itu setelah kalian menikah. Atau minimal Bara menganggap Mbak pacar."

"Bara sudah aku anggep pacarku, tau."

"Bara-nya tau?"

"Enggak."

"Kalau gitu sih Bara tetap cokiber, lah."

Dira mengerjapkan mata beberapa kali. "Cokiber?"

"Cowok kita bersama!" Sarah menjawab sewot.

"Enak aja cowok kita bersama! Bara cowokku! Kamu kan udah punya Berto, apa masih kurang?" cetus Dira, sebal.

Sarah berkacak pinggang. "Buktinya Berto nggak ngelarang. Jadi sah-sah aja kalau aku ci-ciuman sama Bara."

"Ciuman aja?" Dira tersenyum mengejek.

"Emang napa?"

"Sorry aja. Aku sama Bara udah pernah. Bahkan kita sudah bercinta. Jadi dia pasti milih aku, bukan kamu. Wleee!"

Sarah bagai disambar petir di pagi yang sejuk ini. Masalahnya, Sarah berencana ingin memberikan sesuatu kepada Bara. Yaitu lubang pantatnya yang masih perawan. Karena tidak mungkin Sarah memberikan vaginanya kepada Bara yang sudah lama dijebol oleh seseorang. Yang membuat Sarah resah adalah ia memikirkan soal kesan pertama Bara saat penisnya memasuki vagina Sarah yang longgar. Begitu banyak ketakutan di dalam hati hingga Sarah memendamnya sendiri.

"Woi. Kalian ngomongin aku, ya?" Bara tiba-tiba muncul. Bertelanjang dada memamerkan tato di dada dan punggung serta hanya melilitkan handuk putih tebal untuk menutupi selangkangan yang membentuk tenda.

"Iyuh. Gak usah ge-er. Mana ada cewek cantik ngomongin tiang listrik seperti kamu?" Dira drama. Ucapannya memang menyebalkan, tapi matanya tak bisa berbohong. Binar mata bening yang terfokus tanpa berkedip menatap badan seksi Bara.

"Oalah. Berarti aku salah dengar soal cewek cantik yang bilang, 'dia pasti milih aku'," goda Bara.

"Ehm ... itu ... anu ...." Dira tak menemukan jawaban yang pas. Terlebih saat Bara tanpa dosa melepaskan lilitan handuk dan menggenakan pakaian. Sekilas, batang penisnya terlihat. Membuat ngiler seorang Dira yang rasanya ingin dimanjakan vaginanya oleh penis Bara.

Bara sudah rapi. Menggunakan kaus hitam lengan pendek dan celana pantai pendek selutut. Mengambil ponsel, dompet, dan kunci motor terlebih dahulu, Bara kemudian menggendong Aura. Meletakkan si mungil di lengan kirinya yang kekar dan berotot.

"Mau ke mana, Bar?" Sarah menegur.

"Nyenengin Princess satu ini." Bara menjawab enteng. "Kamu di sini aja sama Mbak Dira."

"Eh, bentar, Bar. Aku ikut, lah. Nanti Aura kenapa-napa gimana?" Dira menimpali.

"Kamu nggak percaya sama aku, Mbak?"

Dira cemberut. "Kok manggil aku 'mbak', sih?"

"Berisik. Aku karungin juga lama-lama."

Sarah seperti obat nyamuk. Berada di tengah-tengah situasi yang amat ia benci. Entah mengapa, dada Sarah sesak. Menyaksikan interaksi Bara dan Dira, belum lagi Bara bagai yang terlihat akrab sekali bersama Aura. Perasaan aneh yang tak pernah Sarah rasakan sebelumnya. Apa aku cemburu? Sarah membatin, gundah.

Setelahnya, Bara berjalan keluar kamar. Ia menuruni anak tangga model melingkar kostan. Saat di mana mata Bara menangkap pemandangan teman-teman kostan yang sedang berkumpul di ruang tamu, Bara benar-benar tidak habis pikir. Ternyata segila ini Rantai Hitam kalau minum alkohol. Tak mengenal waktu. Mau pagi, siang, malam, asal ada uang dan masih punya nyawa, tak ada kata berhenti. Dengan catatan, makan tiga kali sekali yang sudah dalam takaran gizi sang koki Bintang tidak dilewatkan, maka semua orang bisa memperpanjang umur barang sebentar sebelum jebolnya lambung.

Namun, semakin Bara mendekat ke arah teman-teman, baru ia sadari jika mereka semua sedang mendengar ceramah pagi hari dari seorang wanita yang berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya seperti singa betina sesungguhnya. Dingin bak psikopat. Nah, berhubung Bara pernah iseng nonton anime Akame Ga Kill, si wanita berkacamata dengan rambut dikuncir kuda ini mirip seperti Jenderal Esdeath. Bentuk badannya yang tinggi semampai serta proporsional. Dada besar, bulat, dan padat. Kaki jenjang. Dan yang terakhir wangi parfum strawberry yang dikenakan wanita itu terasa soft di hidung Bara.

Sepersekian detik Bara mematung di tempat. Memperhatikan si wanita berkacamata yang yang berdiri menyamping. Sampai ia menyadari kedatangan Bara. Matanya bertumbukan dengan Bara. Membawa serta badai yang seketika tercipta di pikiran si wanita.

Bocah ini ... siapa dia? Si wanita berkacamata membatin. Apa dia anak baru yang belakangan ini ramai dibicarakan? Kalau iya, lantas siapa bocah yang dia gendong? Anaknya?

"Pagi, bolo. Tumben nggak ada yang minum?" Bara menyapa teman-teman Rantai Hitam. Mengabaikan dan menghindari kontak mata dengan si wanita berkacamata demi menjaga fokus agar pikirannya tak tertuju pada buah dada si wanita yang mengundang untuk diremas.

Sepuluh batangan yang tengah duduk mengkerut kompak melotot ke arah Bara. Hanya Loki yang menyempatkan diri memberi kode untuk diam dan cepat pergi dari sana. Jika tidak, Loki tak bisa membantu banyak andai si wanita menyeret Bara masuk untuk mendengarkan ceramah panjang.

Sepi. Tak ada sahutan. Bara sedikit peka. Ia mengendik saja, lalu kembali meneruskan jalan sambil membenarkan tubuh Aura yang melorot. Melewati begitu saja si wanita berkacamata yang juga terdiam.

"He, kamu. Kembali ke sini," tegur si wanita.

"Bongko koen." (Mampus kamu.) Seluruh penghuni kompak memaki pelan. Entahlah. Bara memang sesengklek ini.

Bara berhenti melangkah. Kembali menutup pintu, lalu menoleh ke belakang. "Aku apa Princess-ku ini?" tanyanya, sambil menunjuk wajahnya sendiri dan Aura bergantian.

"KAMU!" bentak si wanita berkacamata.

"Waduh. Mbaknya habis kesurupan, ya?" Bara berdecak sambil geleng kepala. Lantas, menatap Aura. "Aura. Aura tau nggak Mbaknya itu kesurupan apa?"

"Kan guyami, Papa." (Ikan gurami, Papa.) Aura menjawab lolos.

"Aura suka gurami?"

"Cuka. Mama cuka macakin Aula gullyami. Teyus Aula dicuapin agingnya. Enak!" (Suka. Mama suka masakin Aura gulami. Terus Aura disuapin dagingnya. Enak!) sahut Aura, antusias. Kedua jempolnya diperlihatkan saat si mungil mengatakan 'enak'.

"Hahaha. Aura mau Papa masakin ikan gurami nggak? Papa bisa lho masaknya. Nanti Papa bumbuin kecap manis sama Papa kasih keju. Gimana, Princess Papa?"

"Mauuu! Tapi nanti Papa ngan pacalan teyus cama Mama. Nanti aula ndak bica tidul kalau Papa peyuk Mama, teyus Mama teyiak-teyiak." (Mauuu! Tapi nanti Papa jangan pacaran terus sama Mama. Nanti Aura tidak bisa tidur kalau Papa peluk Mama, terus Mama teriak-teriak.)

Sedikit banyak orang-orang di sana memahami arti ucapan Aura yang polos. Begitupun Bara. Niatnya membuat kesal si wanita berkacamata yang dengan beraninya menyuruh Bara, eh lahdalah malah dibuat malu oleh ucapan Aura yang berdasarkan fakta di lapangan. Di mana, ternyata bocah imut itu bangun dan melihat aktifitas Bara dan Dira saat di Istanbul satu Minggu yang lalu.

"Matane akik!"

"Bajingan!"

"Kurang ajar!"

"Sia modar wae, anying!"

"Dobol jaran!"

"Pantek, lah!"

"Segawon!"

"Rawon!"

"Garangan bangsat!"

"Cukimai ko!"

Minus si wanita berkacamata yang tidak memaki, semua ucapan khas inti Rantai Hitam dikeluarkan untuk Bara. Meski shock dan sedikit pucat, wajah super memuakkan bin kurang ajar Bara hanya merespon santai. Memajukan bibir beberapa centi, lalu menggerakkan seolah bayi yang tengah menetek.

Karena ulahnya yang membuat darah tinggi, Bara mendapat tambahan makian dari si wanita berkacamata, "Bajingan! Dasar cowok genit, mesum, cabul, gila, buaya!"

Hahahahahaha!

Seketika suasana cair. Si wanita berkacamata yang semula galak, untuk beberapa saat mengendurkan sikap. Wibawanya untuk membimbing para mahasiswanya di Rantai Hitam ini agar segera serius kuliah dan lulus, seketika pudar saat bertemu si anak baru, calon mahasiswa di Kampuk UB.

"Ehem. Ada perlu apa, ya, Mbak?" Bara membuyarkan jeda panjang. Bertanya kepada si wanita berkacamata.

"Emang sopan bertanya dari situ? Sikapmu sama orang yang lebih tua dari kamu kayak lagi ngobrol di warung kopi." Tajam ucapan si wanita berkacamata. Berkacak pinggang, ia kini merubah posisi berdiri, dan berhadap-hadapan dengan Bara.

"Kenapa aku harus merubah sikapku hanya karena kamu orang yang lebih tua dariku?"

"Boleh juga kata-katamu, anak muda. Saya anggap kamu punya nyali. Nggak cuma di dalam sarangmu, tapi di luar."

"Kalau Mbak memaksa, boleh deh kita check in sekarang. Mari kita uji coba di atas ranjang, siapa yang paling kuat. Yang menang boleh mengajukan satu permintaan. Apapun. Sekalipun harus disuruh nguras sumur sampai kering."

Si wanita berkacamata melotot. Tanpa filter, ucapan Bara sungguh frontal. Tak ada ketakutan dan keraguan di mata hitam kelamnya. Seolah semua orang di Rantai Hitam adalah sekumpulan badut, bukan pembunuh.

Akhirnya ... akhirnya aku menemukan sosok gantle yang sudah lama aku mimpikan, ucap si wanita berkacamata dalam hati.

"Aku terima tantanganmu."

"Sudah, cukup. Aku cek sound aja tadi." Bara mengalihkan perhatian. "Kita fokuskan satu topik aja. Pertanyaanku cuma satu, kamu ada perlu apa sama aku?"

"Lho, kenapa? Topiknya bagus, kok. Jangan bilang kamu cuma besar di mulut, kecil di burung?" kicau si wanita berkacamata.

"Mbak, kalau mau nyari gara-gara jangan sama aku. Aku orangnya emosian. Mending Mbak duel aja sama Mas Saga. Itu tuh, yang baju putih."

"Bangsat." Saga ucapkan ini hanya dengan gerakan bibir dan pelototan mata. Mana berani gigolo ini membuka suara di hadapan Dewi Freya berkedok ibu tiri.

"Oh, enggak. Kamu salah paham. Saya cuma mau ngobrol aja sama kamu, bukan sama yang lain." Tak ada gunanya menahan diri. Si wanita berkacamata mendatangi Bara. Ia berjalan melenggak-lenggok. Seksi menggoda iman setiap pandangan mata para anak cucu Adam. Sampai di depan Bara, kiranya hanya berjarak 60 centi, si wanita berkacamata mengulurkan tangan. "Saya Novia." Suaranya berubah lembut, tak setajam dan sesadis sebelumnya.

"Bara."

"Bara siapa?"

"Manusia. Buta kamu?"

Novia terkekeh. "Hihihi. Kamu lucu. Kamu juga berani ngatain saya. Kamu nggak takut kalau saya ngelaporin sikap kamu yang kurang ajar ini sama pacar saya?"

Senyum seringai maut Bara terbit. "Justru yang aku takutkan kalau Mbak Novia yang cantik dan seksi ini ninggalin pacarnya, dan malah suka sama aku."

Makian penuh cinta dari para penghuni kostan kembali terlontar. Kali ini dibumbui lemparan barang-barang. Dari kulit kacang, sampai celana dalam. Kurang ajar.

"Selain gayamu yang sok percaya diri, kamu juga suka membual. Kenapa kamu nggak daftar jadi DPR aja dibanding kuliah?"

"DPR itu tulus kerja demi rakyat, Mbak. DPR nggak pernah mengecewakan rakyat. Seluruh aspirasi rakyat mereka tampung, pelajari, dan kerja nyata. Jangan menganggap jadi DPR itu pekerjaan sampah." Bara berujar sarkas.

"Manis juga ucapanmu. Katakanlah itu sebuah kebenaran, saya pasti akan menjadi orang pertama yang mendukung kamu maju jadi DPR Negara Berflower ini."

"Tidak. Terima kasih. Aku maunya jadi kaktus."

Semua orang cengo. Tak ada lagi yang bisa berkata-kata kecuali sorak seru sambil melempari Bara lagi. Kali ini yang para penghuni lempar adalah uang.

"Mantap sawerannya, bolo." Masih menggendong Aura, Bara mengaisi lembaran uang. Ia masukkan ke dalam baju. Setelah itu, Bara kembali berucap, "Sebagai ucapan terima kasih, aku akan menyanyikan sebuah lagu."

"Bangsat. Mau nyanyi segala dia." Erwin menggerutu.

"Asu. Pasti mau bawain lagu kesukaannya Aura itu. Balonku ada lima. Kalau nggak pelangi-pelangi." Ipang menimpali.

"Hahahaha. Adiknya Berto itu, Mas. Senggol, dong!" Saga terbahak-bahak.

Ipang ikut tertawa. "Asu. Adik ketemu gede namanya ini. Emang cocok sih kakak-adikan. Sama-sama stress."

"Nggatheli." Berto yang tidak tahu menahu harus menerima ledekan.

Bara tak menyahut kicauan teman-temannya. Ia sibuk memindahi area lantai satu. Mencari sesuatu. Sampai di mana matanya menangkap ada gitar akustik yang tergantung di dinding dekat salah satu kama penghuni. Bara mengambilnya, lalu duduk di single sofa. Terlebih dahulu Bara menaruh Aura di sofa yang kosong.

"Woi, garangan gila. Mau nyanyi beneran kah kamu?" tegur Bintang, sambil menghina.

Anggukan kecil Bara sebagai jawaban atas pertanyaan Bintang. Lalu, petikan pertama dilepaskan. Menjadi tanda agar semua diam. Bara memejamkan mata. Menyetel senar gitar yang sedikit fals. Tentu saja menggunakan kunci andalan, Peterpan - Semua Tentang Kita.

Dirasa cukup, Bara membuka mata. Ia menatap semua penghuni satu persatu, lalu pandangan terakhir jatuh kepada Aura. Senyum tulus Bara disambut oleh senyum Pepsodent Aura.

"Lagu ini pernah viral di jamannya. Sebenarnya, aku ingin membawakan lagu ini di suasana yang syahdu. Berhubung moodku lagi bagus, aku akan menyanyikan di sini." Bara mulai memetik gitar. Memainkan melodi pembuka, lalu kembali berucap, "Aku persembahkan lagu ini untuk dia. Dia yang selalu menghiasi mimpi-mimpiku di setiap malam. Lagu ini berjudul ... Warmness On The Soul."

Your hazel green tint eyes watching every move I make
And that feeling of doubt, it's erased
I'll never feel alone again with you by my side
You're the one, and in you I confide

And we have gone through good and bad times
But your unconditional love was always on my mind
You've been there from the start for me
And your love's always been true as can be

I give my heart to you, I give my heart
Cause nothing can compare in this world to you

I give my heart to you, I give my heart
Cause nothing can compare in this world to you

I give my heart to you, I give my heart
Cause nothing can compare in this world to you


Seiring petikan terakhir pada gitar akustik berwarna, mata Bara perlahan terbuka. Tanpa sadar air mata Bara menetes membasahi pipi saking menghayatinya ia menyanyikan lagu tersebut. Dan bertepatan saat kedua bola mata Bara membulat sempurna, ia menyadari kehadiran satu sosok wanita yang sama sekali tak pernah ia bayangkan.

"Kamu darimana aja ..."

































ELLE?
 
Terakhir diubah:
Semoga sebelum BARA kembali di sibukan dengan pekerjaan nya, cerita ini udah di update semua, dan ber tittle TAMAT...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd