Jaya Suporno
Guru Besar Semprot
SEMBILAN BELAS. KUPINANG KAU DENGAN BISMILLAH
Zaman now, cowok macho itu bukan lagi yang berani lompat dari helikopter demi pujaan hati atau main bola volley pakai buah duren. Menurut Dimi cowok macho itu justru yang mau berbagi pekerjaan mengurus rumah tangga kelak, dan yang pasti harus serius.
Dan di sinilah Zenith. Duduk grogi di ruang tamu rumah Dimi. Sudah lama memang Zenith berencana sowan ke rumah Dimi waktu libur lebaran, yah nggak ngelamar juga kali, tapi mau kenalan dulu sama bokap-nyokapnya Dimi. Masalahnya bokapnya Dimi lebih galak dari anggota laskar. Berkali-kali Dimi mewanti agar jangan sampai Zenith menyinggung salah satu pasangan calon Presiden, karena ayahnya adalah simpatisan garis keras.
Canggung, Zenith duduk sambil menggoyang-goyang kaki. Bibirnya komat-kamit baca doa. Sementara Dimi yang duduk di sebelahnya menunggu tak kalah gelisah.
"Kak Zen baca doa apa?"
"رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku" (QS. Thoha: 25-28)"
"Oh.. .."
"Ngomong-ngomong itu doanya Nabi Musa waktu mau ketemu Raja Firaun."
Dimi sontak tergelak-gelak. "Masa Abi ana disamain sama Raja Firaun?! Ahahaha!"
Zenith tak sempat menjawab karena suara berdehem yang terdengar bersama langkah kaki sudah mendekat menuju ruang tamu. Cepat-cepat Zenith memperbaiki posisi duduknya. Ayah Dimi muncul dari balik tirai kerang, mengenakan kemeja putih dan sarung. Mukanya... ya salam... mirip bener sama Jonru.
"Yang mana ini kawannya Dimi?"
"Zenith, Oom," sambut Zenith sambil menjabat tangan calon mertuanya.
"Hmmh," Ayah Dimi memperhatikan penampakan Zenith dari ujung kepala sampai ujung kaki. Untungnya sebelum ke sini Zenith sudah dandan habis-habisan. Brewoknya dicukur habis. Rambutnya dipotong cepak. Ditambah kemeja mahal dan celana bahan yang di-endorse sama distronya Rosyid. Tak lupa Husna mendukung dengan doa.
"Ini. Rekan pengarangnya Dimi?"
"Iya, Oom. Kebetulan saya."
"Buku kalian itu... hmmh... menurut saya b-ajah..... buat apa repot-repot mengutip Descartes, kalau toh ujung-ujungnya yang dikaji Al-Quran..."
Dimi sudah takut Zenith menyambar dengan argumentasi, untungnya si brewok bahlul (eh sekarang sudah nggak brewok lagi ding) hari ini tidak lupa minum obat cacing.
"Iya, Oom. Maklum buku pertama. Nanti di buku kedua Insya Allah kami mau bikin tentang tauhid."
"Hlaaa... itu baru benar! Buat apa repot-repot membahas keutamaan Jihad dan Poligami kalau dasarnya saja tidak kuat. Tauhid. Nhaaa. Itu... itu... baru maknyus...."
Lalu keduanya berbincang mengenai kitab-kitab dan para Auliya terdahulu. Ada faedahnya memang si Zenith nulis cerita religi, jadi otaknya nggak kosong-kosong amat waktu diajak ngomong soal tauhid uluhiyah, rububiyah, dan asma wa shifar, dan bagaimana hukumnya selametan dan ziarah kubur. Agak lama mereka berbincang, sampai akhirnya sang ayah memerintahkan Dimi untuk membuatkan minuman.
Jantung Zenith bertambah beberapa ketukan karena air muka ayah Dimi berubah serius. Sepeninggal Sang Anak, Oom Jonru (kita sebut begitu saja) berkata pelan kepada Zenith.
"Dik Zenith, sekarang saya mau tanya kepada adik."
"Bagaimana, Oom..." Zenith udah ketar-ketir.
"Dik Zenith benar-benar serius dengan anak saya?"
"Insyaallah serius, Oom," jawab Zenith mantap, meski detak jantungnya kaya orang lagi marathon.
"Begini ya, dik Zenith. Saya cuma tidak mau adik salah tangkap. Dimi sudah cerita banyak mengenai adik. Sayapun menyukai sikap dan perilaku adik. Tapi, mohon maaf... mohon maaf sebelumnya ini... sebenarnya, sejak kecil... Dimi ini... sudah 'diminta'...."
“Jadi….”
“Tidak semudah itu, Fergusso….”
Zaman now, cowok macho itu bukan lagi yang berani lompat dari helikopter demi pujaan hati atau main bola volley pakai buah duren. Menurut Dimi cowok macho itu justru yang mau berbagi pekerjaan mengurus rumah tangga kelak, dan yang pasti harus serius.
Dan di sinilah Zenith. Duduk grogi di ruang tamu rumah Dimi. Sudah lama memang Zenith berencana sowan ke rumah Dimi waktu libur lebaran, yah nggak ngelamar juga kali, tapi mau kenalan dulu sama bokap-nyokapnya Dimi. Masalahnya bokapnya Dimi lebih galak dari anggota laskar. Berkali-kali Dimi mewanti agar jangan sampai Zenith menyinggung salah satu pasangan calon Presiden, karena ayahnya adalah simpatisan garis keras.
Canggung, Zenith duduk sambil menggoyang-goyang kaki. Bibirnya komat-kamit baca doa. Sementara Dimi yang duduk di sebelahnya menunggu tak kalah gelisah.
"Kak Zen baca doa apa?"
"رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku" (QS. Thoha: 25-28)"
"Oh.. .."
"Ngomong-ngomong itu doanya Nabi Musa waktu mau ketemu Raja Firaun."
Dimi sontak tergelak-gelak. "Masa Abi ana disamain sama Raja Firaun?! Ahahaha!"
Zenith tak sempat menjawab karena suara berdehem yang terdengar bersama langkah kaki sudah mendekat menuju ruang tamu. Cepat-cepat Zenith memperbaiki posisi duduknya. Ayah Dimi muncul dari balik tirai kerang, mengenakan kemeja putih dan sarung. Mukanya... ya salam... mirip bener sama Jonru.
"Yang mana ini kawannya Dimi?"
"Zenith, Oom," sambut Zenith sambil menjabat tangan calon mertuanya.
"Hmmh," Ayah Dimi memperhatikan penampakan Zenith dari ujung kepala sampai ujung kaki. Untungnya sebelum ke sini Zenith sudah dandan habis-habisan. Brewoknya dicukur habis. Rambutnya dipotong cepak. Ditambah kemeja mahal dan celana bahan yang di-endorse sama distronya Rosyid. Tak lupa Husna mendukung dengan doa.
"Ini. Rekan pengarangnya Dimi?"
"Iya, Oom. Kebetulan saya."
"Buku kalian itu... hmmh... menurut saya b-ajah..... buat apa repot-repot mengutip Descartes, kalau toh ujung-ujungnya yang dikaji Al-Quran..."
Dimi sudah takut Zenith menyambar dengan argumentasi, untungnya si brewok bahlul (eh sekarang sudah nggak brewok lagi ding) hari ini tidak lupa minum obat cacing.
"Iya, Oom. Maklum buku pertama. Nanti di buku kedua Insya Allah kami mau bikin tentang tauhid."
"Hlaaa... itu baru benar! Buat apa repot-repot membahas keutamaan Jihad dan Poligami kalau dasarnya saja tidak kuat. Tauhid. Nhaaa. Itu... itu... baru maknyus...."
Lalu keduanya berbincang mengenai kitab-kitab dan para Auliya terdahulu. Ada faedahnya memang si Zenith nulis cerita religi, jadi otaknya nggak kosong-kosong amat waktu diajak ngomong soal tauhid uluhiyah, rububiyah, dan asma wa shifar, dan bagaimana hukumnya selametan dan ziarah kubur. Agak lama mereka berbincang, sampai akhirnya sang ayah memerintahkan Dimi untuk membuatkan minuman.
Jantung Zenith bertambah beberapa ketukan karena air muka ayah Dimi berubah serius. Sepeninggal Sang Anak, Oom Jonru (kita sebut begitu saja) berkata pelan kepada Zenith.
"Dik Zenith, sekarang saya mau tanya kepada adik."
"Bagaimana, Oom..." Zenith udah ketar-ketir.
"Dik Zenith benar-benar serius dengan anak saya?"
"Insyaallah serius, Oom," jawab Zenith mantap, meski detak jantungnya kaya orang lagi marathon.
"Begini ya, dik Zenith. Saya cuma tidak mau adik salah tangkap. Dimi sudah cerita banyak mengenai adik. Sayapun menyukai sikap dan perilaku adik. Tapi, mohon maaf... mohon maaf sebelumnya ini... sebenarnya, sejak kecil... Dimi ini... sudah 'diminta'...."
“Jadi….”
“Tidak semudah itu, Fergusso….”