Part 48
Tanganku terus turun perlahan hingga turun ke samping pinggang yang membuat perutnya mencekung karena geli.
(DEMI, WAKTU ITU UDAH GA SABAR MAU LANGSUNG LEPAS CELANANYA)
Ketika hendak berada di celananya, kuurungkan niatku untuk langsung melepasnya, kedua tanganku turun ke pahanya, spontan Erin melenguh dan tangannya kini memegang tanganku.
Kuelus-elus dan kuciumi seluruh area pahanya beriringan dengan desah dan pahanya yang mengeras sesekali akibat ulahku. Hingga pada akhirnya, kini celana Erin sudah terlepas dari tubuhnya, menyisakan bra dan cd nya.
Kecupanku naik dari bagian dalam pahanya, ketika hendak menyentuh area vaginanya, ku lewati langsung menuju perutnya yang langsung mencekung, aku bermain-main sebentar dengan bagian lubang pusarnya, kukecup, kujilat, dan jari-jariku bermain disana, sementara Erin hanya bisa melenguh dan tangannya meremas rambutku. Kecupanku naik hingga ketika hampir menyentuh area payudaranya, aku langsung menyergap kedua tangan Erin supaya tertahan ke atas, membuat area ketiaknya terbuka tanpa perlawanan, langsung kuserang dengan kecupan, jilatan, dan terkadang tanganku mengelus-elus bagian itu, membuat Erin teriak-teriak diiringi desahan sembari memanggil namaku.
Erin: ahhh!! abanggg!! ahh.. ahh..
Hingga puas bermain di area ketiaknya, kulihat kembali wajahnya yang malu dan pasrah setelah ketiaknya disergap oleh suaminya. Kini mataku tertuju pada bukit yang masih terbungkus dengan bra, dari arah ketiak, kedua tanganku perlahan menuju ke arah bukit itu, seketika bulu-bulu halus di tubuh Erin berdiri.
Kuawali dengan meletakkan kedua telapak tanganku memegang kedua payudaranya tanpa remasan, seketika Erin melenguh “uhhh” hanya dengan sedikit sentuhan diiringi kedua tangannya yang memegang pergelangan tanganku, kemudian kulakukan remasan pertama yang membuat Erin kembali melenguh disertai remasan tangan Erin pada pergelangan tanganku.
Remasan-remasan itu kulakukan berulang, desah Erin pun mengiringi, hingga pada akhirnya kualihkan kedua tanganku ke belakang tubuhnya, membuat tubuh kami kembali bersentuhan.
Begitu terasa betapa berdegupnya Erin, namun aku tetap melanjutkan perbuatanku hingga, kini terlepaslah pengait bra itu. Aku bangkit melihat wajah Erin yang menatapku dengan begitu sayu, redup, dan begitu terfokus padaku menunggu apa yang akan dilakukan suaminya setelah ini.
Aku melepas kaosku menampakkan bidangnya tubuhku dan cetakan halus pada perutku. Erin memperhatikan tubuhku yang untuk pertama kalinya ia melihatnya ketika hanya dalam keadaan berdua. Aku juga melepas celanaku, hingga kini aku hanya memakai celana dalam. Terlihat begitu menonjol satu titik pada bagian bawah tubuhku, namun Erin masih terfokus pada wajahku.
Ku lanjutkan melepaskan tali branya dari kedua tangannya, namun membiarkan bukit itu tetap tertutup. Kondisi branya yang tanggung membuat Erin begitu malu hingga membuatnya menutup kedua bukit yang masih tertutup bra itu dengan tangannya.
Gue: abang lepas yaa sayaangg…
Erin mengangguk kecil, kini secara perlahan kulepas kain terakhir yang menutupi payudaranya, namun masih tertutup kedua tangannya.
(DEMI APAPUN, WAKTU ITU UDAH DIUBUN-UBUN)
Melihat Erin yang terlihat belum siap, kuturunkan wajahku untuk mengecup keningnya, kembali kudekap tubuhnya dengan posisi tangannya yang masih menutupi payudaranya.
(HALUS BANGET KULITNYA ASTAGAAAA)
Begitu terasa betapa halus dan lembutnya kulit Erin, untuk pertama kalinya aku mendekapnya tanpa sehelai benang pun menutupi bagian tubuh kami kecuali CD, bahu, perut, paha, bagian tubuh itu benar-benar saling bersentuhan tanpa ada yang menghalangi.
Beberapa saat kemudian, tangan Erin yang tadinya menutupi payudaranya, mulai terasa tidak terlalu kaku lagi, perlahan bergeser mulai membalas pelukanku, MEMBUAT BAGIAN DADAKU YANG BIDANG ITU MULAI MERASAKAN DUA TONJOLAN KECIL YANG CUKUP KERAS NAMUN KENYAL MENEMPEL LEMBUT.
Rafael yang kini hanya terbalut celana dalam dan menempel pada bagian paling privat pada tubuh Erin tetiba merasakan kelembaban di sana.
(WAKTU ITU PENGEN LANGSUNG TEKEN ASTAGAAA, TAPI HARUS TAHAN DULU)
Aku bangkit dari pelukan itu, menatap istriku yang sudah semakin pasrah, kukecup kembali keningnya, kelopak matanya, kedua pipinya, bibirnya. Lalu bangkit kembali, secara perlahan menatap ke bawah untuk melihat kedua bukit dan pucuk yang sudah tidak terlapisi apapun itu.
Namun bidadari itu kembali menutupi payudaranya dengan tangannya.
Gue: Erin mbull istriku sayangg, abang, suamimu boleh liat ya?
Wajah Erin sudah begitu merah, dirinya terlihat gugup, malu, pasrah, dan ketika kuucapkan kalimat itu, seketika luluh, hingga secara perlahan, kedua tangannya melepaskan apa yang ditutupinya.
Terlihatlah, bukit putih, mulus, pas digenggam itu, beserta pucuk mungilnya, itu, berwarna pink coklat muda. Melihat ekspresiku yang sedemikian berubah, Erin kembali menutupi bagian itu dengan malunya dan memanggil namaku.
Gue: abangghh…
Seolah tatapanku cukup untuk memberikan stimulus pada bagian yang sudah sedemikian tegap, keras, padat dan kenyal itu.
Tanganku kini mengelus lengan Erin untuk membuatnya tenang sembari kuciumi lehernya, belikatnya, dan area tepat di sekitar payudaranya, “uhh, uhh, uhh, abangghh” begitu desah, hingga pada satu titik, kini Erin melepaskan apa yang ditutupi oleh tangannya.
Rafael merasakan area privat itu semakin lembab beriringan dengan kepasrahan Erin.
Karena dari tadi kuciumi leher, belikat, dan area sekitar payudaranya, kini aku melihat pucuk pink kecoklatan itu dari jarak yang sangat dekat, terasa pula nafas Erin yang kini sudah memburu, disertai beberapa kali kedutan pada area privatnya.
Gue: boleh?
Izinku pada sang pemilik payudara untuk menguasai bukit itu.
Erin mengangguk kecil.
Setelah mendapat izin dari pemilik benda padat pas digenggam itu, kini aku pun bermain-main pada area itu, kuelus, remas, cium, hisap, jilat, tanpa menyentuh putingnya sedikit pun yang kini sudah tegap, padat maksimal membuat Erin tidak hanya mendesah, namun tubuhnya meronta ke kanan kiri sembari meremas-remas rambutku, alas kasur kami dan tanpa henti mendesah dan memanggil-manggil namaku. Rafael kini tidak hanya merasakan kelembaban, namun juga merasa basah meskipun kedua bagian privat itu masih terlapisi kain terakhir yang ada di tubuh kami berdua.
Aku bangkit, membuat sang bidadari yang menyadari aktivitas di payudaranya berhenti, kini dirinya menatap suaminya, yang hendak meminta izin lebih jauh, namun kedua tangan suaminya masih dengan nakalnya mengelus-elus area sekitar puting yang juga berwarna pink kecoklatan itu, jarinya bergerak melingkar di areola, membuat rangsangan tidak berhenti, seolah tidak ingin sang pemilik pucuk bukit itu memberikan penolakan.
Gue: yang ini boleh ya mbull?
Erin yang menatapku sembari terus mendesah seolah tidak ada pilihan lain, kini dirinya tidak hanya mengangguk kecil, namun juga sedikit bertenaga karena libidonya yang terus dipancing oleh suaminya.
Tepat ketika Erin mengangguk, aku langsung mencapit putingnya dengan lembut, tubuh Erin pun tersentak dengan desahnya “AUHH”. Kembali kini dirinya tidak hanya meronta, namun tersentak berulang kali karena suaminya mengecup, menjilat, menghisap, mencapit, memilin, menyentil, menekan dan menarik-narik putingnya, membuatnya mendesah lebih keras, meronta lebih bertenaga, memanggil-manggil nama suaminya lebih keras.
Erin: AHH UHH ABH ANGG PELAANN SAYANGG…
Namun suaminya tetap memangsa putingnya tanpa ampun, hingga Erin semakin pasrah.
Setelah puas mempermainkan putingnya, tatapan Erin semakin redup, bertambah sayu, begitu pasrah menatapku yang kini kedua tanganku sudah berada di sisi kiri kanan celana dalamnya, hendak melepas kain terakhir di tubuhnya.
Dengan bibir sedikit terbuka, tanpa kuminta izin, dirinya mengangguk tanda persetujuan.
Kini terlepaslah kain terakhir, membuat suaminya kini dapat menatap bagian paling privat itu. Sontak tangan kiri Erin menutupi bagian paling privat itu. Aku langsung menciumi punggung tangan Erin yang sedang menutupi bagian itu, hingga secara perlahan, tangannya pun bergeser ke samping tubuhnya.
Kini terlihatlah bagian paling privat itu, MULUS TANPA BULU, WANGI, DAN BEGITU INDAH DENGAN GARIS LURUS tanda meskipun kakinya dalam keadaan terbuka, namun bagian itu masih begitu rapat.
Aku masih dapat merasakan betapa basahnya celana dalamnya yang masih berada di tanganku ini, Rafael pun masih sedikit basah dengan cairan dari sana.
(ASLI, WAKTU ITU MAU LANGSUNG COBLOS AJA)
Begitu indah tubuh bidadari ini tanpa terlapisi sehelai benang pun, untuk pertama kalinya aku melihat Erin, tanpa mengenakan apapun, terlentang pasrah.
Aku pun turut melepaskan kain terakhir di tubuhku, kini kami berdua benar-benar tanpa sehelai benang pun. Selesai melepaskan celana dalamku, Aku baru sadar bahwa Erin, kini sedang melihat ke arah Rafael yang sudah tegak maksimal mengacung ke atas.
Terlihat Erin begitu ngeri namun masih tetap menatap penisku.
Aku pun merebah di sebelah kanan Erin, mendekapnya dengan tangan kiriku yang melingkar di lehernya, mencium bibirnya, sembari meletakkan tangan kananku di perutnya, perlahan menuju ke bawah diiringi desah Erin seiring pergerakan tanganku, menuju ke vaginanya.
Aku meremas area pubisnya, bermain disana perlahan, tangan kiri Erin memegang tangan kananku. Tangan kanan Erin yang menempel di tubuhku pun hendak memegang tangan kiri ku yang sedang meremas-remas pubisnya, namun tidak sengaja menyentuh Rafael, membuat Erin reflek menjauhkan tangannya.
Tangan kanan Erin tidak memiliki ruang untuk merebah, karena tiap kali turun, pasti menyentuh penisku yang menempel di pinggulnya.
Perlahan namun pasti, setelah puas meremas-remas pubisnya, tangan kananku turun menuju garis lurus di tengah itu. Baru saja tersentuh sedikit, Erin langsung mendesah “AHHH~” lebih merdu dari biasanya.
Dengan perbuatanku yang terus mendorong libidonya untuk terus meningkat, akhirnya, Erin yang sedari tadi tak sengaja menyentuh penisku, mulai menggenggam penisku dengan ujung-ujung jarinya.
Ketika ujung jariku menyentuh bagian klitorisnya, seketika Erin reflek menggenggam pergelangan tangan kananku dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya pun menggenggam penisku, di saat tubuhnya tersentak.
Tak sampai 5 menit berlalu, Erin mendesah-desah, menggenggam penisku, pinggulnya pun tersentak beberapa kali, hingga tubuhnya sedikit bergetar.
Disela getar tubuhnya,
Erin: abangghhh, ahh! akuhh mau pi… phiss!