Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Godaan Kesetiaan Seorang Istri

Elon_Muks

Suka Semprot
Daftar
15 Dec 2022
Post
5
Like diterima
97
Bimabet
Part 1

Udara yang kering menggantung di Halte Bussway Monas meskipun hari masih terhitung pagi. Baru jam sepuluh lewat sepuluh. Anisa bermaksud menyapu butir-butir keringat halus di puncak hidungnya yang mencuat manis kemerah-merahan ketika ia merasa telah kehilangan sesuatu, la yakin ketika tadi turun dari taxi online yang mengantarkannya sampai di halte bus ini, kotak tisu yang ia butuhkan entah dimana. Tidak, tidak mungkin ia masukkan kembali ke dalam tas.
Matanya mencari-cari dan kemudian melihat kotak tisu itu, ada di lantai halte bis dan ujung sebuah sepatu lelaki hampir saja menginjaknya.
Anisa buru-buru membungkuk untuk memungut kotak tisu itu. dan pada waktu yang bersamaan si lelaki rupanya juga melakukan hal yang serupa. Lelaki itu ternyata lebih cepat dan Anisa sudah duduk dengan lurus ketika si lelaki menyerahkan saputangan itu seraya bergumam.

"Apakah ini yang ...,"

suara itu terhenti tiba-tiba. Lalu, berlanjut dalam bentuk seruan tertahan.

"Anisa. Kau!" Tertengadah Anisa yang cukup tampan dengan garis-garis tegas dan bentuk dagu yang menunjukkan kesungguhan hati. la ini tampaknya sudah berumur sekitaran tiga puluh lima tahunan, dua tahun lebih tua dari usia Anisa, dan sepuluh tahun lebih telah berlalu semenjak terakhir kali Anisa melihatnya, namun tetap tidak bisa melupakan dia.
Tercengang sesaat, Anisa membelalakkan mata dan kemudian balas berseru.

"Rafik. Ngapain kau di sini?"
Laki-laki itu tertawa kecil sambil menatap hangat wajah Anisa. Perjumpaan yang tidak diduga-duga di manapun juga seringkah terjadi dan calon penumpang lain di halte itu menganggap itu hal biasa saja. Seraya berjabatan tangan dengan riangnya, laki-laki bernama Rafik itu berceloteh.

"Ngapain aku di sini? Mau jalanlah naik busway hehehheh. " ia tertawa lagi. "Dan kau, nyonya dokter mau kemana?"

Wajah Anisa sedikit memerah.
"Husy, jangan manggil aku gitu..."
"Baiklah, Anisa. Mau ke mana?"

“Aku mau ke blok M terus dri sana mau ke bogor jenguk ortu!”

“Oh ya… Hmmm jadi ingat masa lalu!”

Sembari menunggu bussway Anisa dan Rafik saling pandang selama beberapa menit dengan wajah sama-sama seperti memperoleh surprise, tak lama kemudian Rafik berkata.

" ... rasanya lama waktu sudah berlalu, Anisa, tetapi kau masih tampak seperti dahulu juga. Sudah berapa anakmu?"

"Tiga. Yang seorang di TK, yang dua sudah SD. Bagaimana kabarmu, Rafik. Kau sudah berubah, keliatan lebih matang."

"Matang karena di panggang oleh panasnya kehidupan hehehhehe."
"Hehehehe, terus sudah berapa anakmu?"
"Udah tiga juga sama kayak kamu ..."
"Wah kebetulan sekali? Kerja apa kamu sekarang?"
"Aku cuma PNS ngajar mahasiswa."

"Wah udah jadi dosen ya sekarang?"
"Alah, apalah artinya dosen pegawai negeri.”

“Semua harus disyukuri..!”

“Iya juga sih, ngomong-ngomong kamu udah kerja dimana?"

“Aku ibu rumah tangga biasa saja.”

“Oh iya suami kamu kan dokter kaya lagi jadi kamu gak perlu kerja.”

“Ih gak usah ngomong gitu…!”

Rafik tertegun sejenak, la memandang lurus ke mata Anisa yang juga memandang ke matanya. Ada perubahan pada mata wanita itu ketika Rafik mengucapkan kalimat terakhirnya. Beberapa saat mereka hanya terdiam, kemudian Anisa memalingkan muka ke luar Halte. Tak lama kemudian Bus TransJakarta telah tiba mereka segera menaiki Bus. Mereka mendapat tempat duduk dan kembali mencoba berbasa-basi. Tapi obrolan mereka sudah tidak sehangat sebelumnya. Anisa kembali teringat masa lalu. Padahal dia sudah berusaha dengan susah payah unutk melupakan semuanya? seperti sepuluh tahun lebih sudah ia lakukan?, untuk tidak mengingat kembali kenangan manis selama dua tahun ia berhubungan secara mendalam dengan Rafik selagi mereka masih sama-sama tinggal di Bogor.
Ketika itu mereka baru saja akan mencanangkan rencana untuk melanjutkan hubungan itu dalam tali perkawinan, saat musibah itu muncul seperti petir di siang bolong. Pembersihan besar-besaran di Perusahaan Perkebunan tempat ayah Anisa bekerja membuat ayahnya itu harus menerima kenyataan dipensiunkan secara dini, justru pada saat ibu Anisa sedang digerogoti oleh penyakit kanker yang menyita hampir semua daging-daging ditubuhnya. Pada saat yang sama, dua orang adik Anisa yang lelaki menamatkan studi di SMA, dan nilai mereka yang baik dan masa depan mereka yang sudah lama di angan-angankan terancam punah. Sedangkan Rafik, hanyalah anak seorang petani biasa, yang orangtuanya dengan susah payah harus banting tulang di sawah untuk bisa memenuhi keinginan anak satu-satunya itu masuk perguruan tinggi. Dan muncullah Hermawan, dokter yang masih muda yang muncul jadi penyelamat keluarga Anisa. Ketika itu dia belum jadi spesialis dan masih berpraktek sebagai dokter umum, yang selama ini merawat ibu Anisa. Kehadiran dokter itu membuat Rafik tahu diri, dan membiarkan Anisa bersimbah air mata ketika ia duduk di pelaminan bersama sang penyelamat keluarganya. Dia harus merelakan Anisa dipersunting dokter Hermawan yang hingga kini menjadi suami Anisa.
Satu-satunya yang bisa menghibur hati Anisa ketika itu di samping kesehatan ibunya yang pulih dan terangkatnya kembali reruntuhan hidup keluarganya, adalah kabar bahwa Rafik kemudian menikah dengan anak gadis seorang Haji yang kaya di Depok dan dengan bantuan mertuanya itulah Rafik bisa menamatkan studinya yang sempat terbengkalai.
Semenjak itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Anisa diboyong suaminya ke Jakarta, dan belakangan ia dengar Rafik juga memboyong isterinya ke kota Jakarta juga. Namun rupanya mereka berpendirian sama dalam satu hal, berusaha saling melupakan, dengan cara berusaha untuk tidak saling mencari satu dengan yang lain. Siapa menyangka, setelah sekian lama berlalu mereka bertemu di sini.
" Udah mau turun, Nis?"
Anisa tersentak, la memandang Rafik dan ketika itulah laki-laki yang duduk di sampingnya menyadari satu hal; pipi perempuan itu basah berkilauan.

"Hmmm iya, kau?"

“Aku juga mau turun di sini habis itu mau naik Damri ke bandara!”

"Ohhh ...," keluh Anisa dalam, dan mencoba tersenyum.

Dan mereka sama-sama tersenyum, dengan kegembiraan yang perlahan-lahan menyelinap kembali, tanpa diminta. Mereka berdua kemudian sama-sama turun’ Kemudian mereka duduk berdamping di ruang tunggu.

" ... jam berapa kau berangkat?" tanya Anisa setelah lama mereka hanya saling berdiam diri.
"Dua belas lewat lima belas."
Anisa melirik arlojinya, dan terkejut:
"Kau hampir terlambat, Rafik."
"Ya."

"Lalu mengapa tidak segera naik Damri ke bandara"
"Kau belum mengatakan kapan kita bisa bertemu lagi."

"Rafik..."

"Bagaimana kalau aku minta nomor ponsel kamu?"
"Mending jangan, Rafik."

"Memang kenapa?"
"Aku menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan salah paham."
Laki-laki itu terdiam. Dia menatap Anisa. Wanita itu sudah berusia tiga puluh tiga tahun. Belum terlalu tua. Dan wajah Anisa masih seperti dulu juga begitu cantik.

Anisa menarik nafas. Panjang. Kemudian, seraya memandangi ujung sepatunya, bergumam :
"Bagaimana kalau kita coba saling melupakan, Rafik? Kita toh telah pernah melakukannya."
Tidak ada jawaban. Anisa menunggu. Tetap tidak ada jawaban. Ketika ia menoleh, Rafik sudah lenyap dari sampingnya. Anisa tersentak dan seketika terlonjak berdiri. Ketika itulah sebuah kartu nama terjatuh, la cepat-cepat memungutnya. Kartu nama itu milik Rafik, dilengkapi alamat tempat tinggal, nomor ponselnya dan alamat perguruan tinggi di mana ia mengajar. Di balik kartu nama tertulis bila kau telah berubah pikiran hubungi aku. Anisa termenung.
"Jangan, Rafik. Aku tak akan….." kalimat itu hanya tercetus di dasar hatinya, la ingin mengutarakan itu pada si lelaki, dan dengan panik matanya mencari-cari di seputar ruang tunggu. Dari sana, ia meluncur ke tempat bus-bus Damri dan memperhatikan setiap penumpang, tapi dia tak menemukan Rafik.



***

Masih memeluk boneka kesayangannya, si bungsu Nabila lelap juga tidurnya setelah lewat jam tujuh. Kedua orang saudaranya sedang ribut mempertengkar kan soal matematika ketika Anisa masuk kembali ke ruang tengah untuk menemani mereka. Haidar dengan muka merah padam berteriak dengan sengit pada kembarannya si rambut galing Haikal :
"Blo'on! Ngaco! Besok kubilangi ibu guru biar kau di Getok pakai mistar ya?" balas adiknya yang berbeda kelahiran hanya tiga jam.

"Boleh. Boleh. Tak bakalan kupinjami kau buku bahasa Inggeris-ku lain kali, hayo!"

"Biar!"

"Sumpah?" Haikal mengkaitkan jari telunjuk yang ia lengkungkan langsung ke jari telunjuk Haidar.

"Hai, apa-apaan ini?" tegur Anisa dengan mata dipelototkan.

"Kecil-kecil sudah tidak bisa kerja-sama. Main sumpah-sumpah segala. Mau jadi apa kalian kalau sudah besar-besar, he?"
"Pilot…" Sahut Haidar

"Dokter. Seperti papa!" tak mau kalah Haikal.

"Kau, Haidar. Kalau mau jadi pilot, harus berkepala dingin, tidak emosi-emosian begitu. Dan kau, Haikal, kalau mau jadi seperti papamu, jangan pelit-pelitan. Kalau terlalu hitungan, bisa-bisa kau sakit otak dan bukannya dokter, malah kau jadi pasien papamu," lantas seraya tersenyum melihat kedua orang anak kembarnya yang duduk satu kelas itu
saling berpandang-pandangan. Anisa memerintah :
"Hayo. Sekarang, salam-salaman. Kalau kalian tak kompak, siapa nanti yang jaga Nabila kalau ada yang ganggu?"

Meskipun toh mereka tidak bersalam-salaman tetapi cukup dengan saling tukar senyum kecut kedua bersaudara itu setengah jam berikutnya bergandengan tangan masuk ke kamar tidur, menyusul adik mereka, meninggalkan Anisa duduk sendirian menghadapi televisi, sedikit tersenyum memikirkan tingkah laku anak-anaknya. Tetapi acara di televisi tidak menarik, ia segera mematikannya, dan mencoba mengisi waktu dengan membuka media sosial di ponselnya. Seperti biasa, dari rumah sakit Hermawan tidak pulang langsung, melainkan terus ke tempat di mana ia buka praktek pribadi. Kalau pasien jarang biasanya ia sudah pulang, tetapi hidangan di meja makan sudah semakin dingin dan suaminya belum muncul juga.
Anisa sudah bisa membayangkan bagaimana kondisi suaminya nanti. Dan benar saja. Setelah gelisah bukan karena menunggu melainkan terutama karena pikiran yang bercabang-cabang semenjak ia bertemu hari itu dengan Rafik, akhirnya Anisa mendengar juga suara bunyi klakson mobil dengan iramanya yang khas itu. Pembantu rumah-tangganya bergegas dari belakang untuk membuka pintu depan tetapi Anisa menahannya.

"Kembali saja ke belakang, mbok."
Lantas dengan langkah-langkah gontai ia berjalan ke pintu depan. Suaminya sudah berada di depan ambang pintu, dengan jas yang lusuh, rambut sedikit awut-awutan, tangan lunglai menjinjing tasnya yang besarnya dan berat serta yang sudah pasti; mata kemerah-merahan. Senyumnya rutine saja ketika ia melihat siapa yang membuka pintu. Juga pertanyaannya yang sambil lalu ketika masuk:
"Anak-anak sudah tidur, mam?"
Anisa menyambut tas kerja menyimpannya ke dalam sambil seperlunya : suaminya, menyahuti "Sudah, pap."

"Bagaimana kabar bapak dan ibu di Bogor? Aku harap mereka baik-baik saja."
"Alhamdulillah, baik-baik saja. Mereka titip salam untukmu." Tiada reaksi. Tentu saja. Lelah setelah bekerja sepanjang hari, Hermawan memerlukan waktu istirahat, dan tidak punya kesempatan memikirkan soal-soal yang tidak ada hubungan dengan pekerjaannya, bahkan kadang-kadang persoalan yang
menyangkut rumahtangganya sendiri, la harus rilek, dan diusahakan tetap santai waktunya setiap ada di rumah. Karena ke luar dari rumah, maka pikiran,
perasaan dan otot-ototnya akan bekerja keras tanpa henti-hentinya, dan lebih banyak tanpa memperduli kan jangankan kesenangan, malah juga kesehatan
dirinya sendiri. Anisa membantunya membuka pakaian kerja dan menyiapkan pakaian rumah.
"Makan dulu, atau mandi pap?" Pertanyaan rutine, tentu lagi. Jawabnya jelas:
"Nanti saja ...!"
la kemudian masuk ke kamar-kerjanya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan sementara Anisa mempersiapkan segala sesuatu di kamar mandi dan menyuruh pembantu untuk menyediakan segala sesuatunya di meja makan Hermawan mandi sebentar, dan makanpun cuma sedikit. Setelah itu ia rebahan di sofa sambil membuka-buka ponselnya. Tahu kebiasaan suaminya, Anisa bertanya hati-hati:

"Tak dimasukkan garasi mobilnya, pap?"
"Nanti saja" Dan, beberapa menit setelahnya, keerrr ...
Hermawan sudah mendengkur di sofa. Ponselnya sudah menggelimpang di lantai. Terkapar tidak berdaya. Seperti juga Anisa, yang duduk menghadapi televisi, dengan jantung yang berdenyut-denyut tanpa daya, sehingga beberapa kali ia terpaksa menarik nafas panjang, berat dan menyakitkan. Betapa inginnya ia ditanya apa saja kesan-kesan di jalan waktu ke Bogor, bagaimana keadaan adik-adik Anisa, apakah ibunya tidak bertambah pikun sekarang, atau bus masih suka ngebut atau tidak dan etese etese ...
Terutama malam ini, betapa inginnya Anisa ditanya :
"Ketemu kenalan lama di jalan?"
Dan ia akan menceritakannya. Menceritakan pertemuannya dengan Rafik, dan bahwa mereka berpisah secara baik-baik, serta apa yang mereka percakapkan adalah hal-hal yang biasa, la ingin melihat reaksi suaminya, la ingin tahu, bagaimana kalau suaminya itu tahu perasaan apa yang mencengkeram jantung isterinya saat itu, setidak-tidaknya saat-saat ia berpisah dengan Rafik di terminal. Cemburukah ia. Marah. Atau memberi tanda simpati. Atau yang paling pahit : acuh tak acuh.
Tetapi Hermawan sudah mendengkur. Dan Anisa kembali dan kembali hanya bisa menarik nafas.
Benar. Dulu ia tidak cinta pada laki-laki ini, ketika ia pertama kali naik bersama ke ranjang pengantin. Tetapi setelah kelahiran si kembar Haidar-Haikal, terlebih-lebih si mungil Nabila, maka tidak ada lagi persoalan cinta atau tidak. Saling menyukai, sudah lebih dari cukup. Rumah tangga jarang diisi pertengkaran, dan hampir semua kebutuhan selalu terpenuhi. Piknik ke luar daerah, ke luar kota bahkan pernah ke luar negeri. Mula-mula sekali seminggu, kemudian sekali sebulan, kemudian lagi makin jarang dan setelah sepuluh tahun berlalu, jangankan untuk ke luar kota. Ke luar rumah sajapun Hermawan sudah tidak punya waktu, la seorang ahli bedah yang tenaganya sangat dibutuhkan, yang bantuannya diperlukan oleh ribuan orang setiap saat.

"Oh! Aku terlalu egois!" keluh Anisa tiba-tiba, menyesali diri. Padahal ia sudah tabah selama ini. Sudah terbiasa. Tetapi setelah kemunculan Rafik ...
"Tidak. Aku harus menjaga kehormatanku sebagai seorang isteri dan ibu yang setia ..."
Anisa menyeka pipinya yang basah, dan bersimpuh di samping sofa.
"Maafkan aku, pap," dan ia mengecup pipi suaminya. Hermawan menggeliat, dan dalam tidurnya berubah menelentang sehingga piyamanya berubah
letak. Kancing-kancing kemejanya terlepas mem perlihatkan dada bidang yang berbulu, bergerak teratur. Anisa mengelus bulu-bulu dada itu dengan jari jemari gemetar, menggosokkan pipinya ke tempat yang sama dengan hati yang ikut tergetar.
Hermawan tersenyum dalam tidurnya, tampak betapa manis.

"Sayangku," desah Anisa dan mencium bibir yang tersenyum itu dengan mesra.
Hermawan membuka matanya. Tetapi Anisa semakin membenamkan bibirnya,
dan mulai memeluk laki-laki itu. la tidak sadar kalau suaminya terbangun, dan baru mengetahuinya ketika Hermawan pelan-pelan membalas pelukannya dan dengan segenap kekuatan yang ada padanya menarik tubuh perempuan itu ke atas sofa, menghimpit tubuhnya sendiri. Mereka berpelukan dan berciuman dengan nafas mendesah-desah, sampai akhirnya dengan mata setengah mengatup Anisa berbisik ditelinga suaminya : "Jangan di sini, pap ..."
Berpelukan mereka masuk ke kamar tidur.
Dan Anisa baru saja melepas pakaian yang melekat di tubuhnya dan sudah siap naik ke ranjang, ketika Ponsel suaminya berdering keras, menyentak kesepian yang menggetarkan di antara mereka. Anisa terkejut sebentar, kemudian tersenyum lalu menekan tubuh suaminya ke tempat tidur. Tetapi panggilan ponsel itu terus berdering. Berdering. Dan berdering.

"Kuputus saja ya pap?"
Anisa sudah menyambar selimut untuk mengambil ponsel di meja, tetapi suaminya mendahului :

"Biar aku angkat. Paling-paling dari rumah sakit... "
Anisa setengah menghempas di ranjang. Matanya mulai terasa perih, la sudah bisa membayangkan! Hermawan masuk ke kamar dan langsung berganti pakaian. Katanya: "Ada korban pembunuhan. Terlambat sedikit, kata mereka tidak akan punya harapan lagi!"​

la kemudian mengecup bibir isterinya yang bergulung di bawah selimut.
"Aku tak akan lama, sayang."

Bersambung...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd