Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG G I W A N G

BAB 13


Sesampainya di kosan, Azka terduduk sambil menarik nafas berat lalu menghempaskannya perlahan. Tas di punggungnya, dia sampirkan di sandaran kursi.


"Ko Ahong tewas? Sudah kuduga bahwa gerombolan itu akan membunuhnya, tapi siapa dalang di baliknya?" Pikir Azka mengingat gerombolan tadi yang mencoba membunuhnya juga.


Saat mengingat kejadian itu, handphonenya berdering. Azka bergegas merogoh saku celananya, kembali Adirata menghubunginya.


"Halo, Pak! Apa bapak mau menanyakan hari perdana saya kuliah?"


"Nak! Hasil tes DNA-nya sudah keluar" Kata Adirata di seberang sana yang terdengar panik dan nafasnya memburu seperti orang kelelahan.


"Hasilnya gimana, Pak?" tanya Azka penasaran.


"Hasilnya... hasilnya akurat! Kamu terbukti anak kandungnya Pak Santanu.


Azka terbelalak tak percaya mendengar itu.


"Yang bener, Pak? Sekarang Bapak di mana? Saya mau ketemu Bapak!" Ucap Azka.


"Ja- ja- jangan sekarang!" Terdengar gagap.


"Kenapa, Pak?"


Lantas, terdengar gedebuk seperti suara orang yang sedang dipukuli.


Azka mendengar suara rintihan Adirata di seberang sana.


"Pak! Bapak! Pak!"


Sambungan teleponnya pun mati. Azka menjadi bingung. Dia mencoba mengingat akan alamat yang pernah membawa dirinya saat melakukan tes DNA bersama Adirata.


Azka keluar dari kosan dan berlari ke depan gang, dan beruntungnya dia mendapati beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di situ.


Azka langsung minta diantarkan ke alamat tujuan. Tiba-tiba sebuah mobil yang sedang yang terparkir tak jauh dari gang itu langsung ngegas mengejar Azka yang sudah dibonceng oleh tukang ojek itu.


Si ojek itu pun melaju membawa Azka menembus jalanan kota menuju alamat yang diminta Azka.


"Ada urusan apa kamu ke sana?" tanya tukang ojek yang telah mengenal Azka.


"Ada urusan aja, Pak," jawab Azka sekenanya.


"Mau nyari kerjaan? Di sana minimal sarjana. Kalo cuman lulus SMA kagak bakal diterima!"


Azka tampak malas menanggapi karena kini begitu banyak pikiran di kepalanya. Azka pun tak sengaja melihat di kaca spion motor, sebuah mobil sedan tengah mengikutinya.


Mobil itu semakin memepet laju motornya dan baru menyadari saat di dalamnya adalah mahasiswa senior yang sewaktu di kampus tadi dibuatnya babak belur. Dia adalah Boby yang sedari tadi mengikutinya.


"Eh monyet!! Nyari perkara luh!" Umpat tukang ojek karena motornya hampir jatuh saat dipepet.


"Lebih ngebut lagi pak!" teriak Azka pada tukang ojeknya.


"Dia musuh gue di kampus! Tadi gue udah bikin dia babak belur! Gue lagi nggak mau ngurusin dia, Pak. Gue lagi ada urusan penting lain".


"Jadi buruan, saya akan bayar double ongkosnya".


Mendengar itu tukang ojek langsung ngebut, membuat mobil yang dikendarai Boby semakin mempercepat lajunya untuk mengejar Azka di hadapannya.


"Cari jalan pintas, Pak!" teriak Azka.


"lya, sabar!" jawab tukang ojek


"Pokoknya tenang aja! Mobil itu nggak bakal bisa ngejar kita! Gini-gini mamang mantan pembalap liar!"


Azka mengernyit mendengar itu. Benar saja, setelah tukang ojek mengatakan itu, dia langsung ngebut dengan ugal-ugalan. Menyalip kendaraan demi kendaraan di hadapannya hingga Boby tertinggal jauh.


Namun Boby berhasil memperpendek jarak, membuat tukang ojek tak kehabisan akal. Dirinya langsung berbelok arah dan masuk ke dalam gang sempit lalu menurunkan kecepatan motornya.


Tukang ojek tampak tertawa senang saat melihat mobil yang dikendarai Boby tidak bisa mengejarnya lagi.


"Mantan pembalap dilawan!" teriak tukang ojek girang.


Saat mereka sudah bebas dari kejaran Boby, akhirnya kembali melewati jalanan besar. Di boncengan ojek itu, Azka masih tak percaya atas kabar dari Adirata yang mengatakan hasil tes DNA-nya akurat.


"Apa benar saya anak kandung Pak Santanu?" tanya Azka dalam hatinya yang masih tidak percaya.


"Jika benar, kenapa Pak Dirga begitu kejam memisahkan gue dengan kedua orangtuaku?"


Dan saat Azka telah tiba, dia langsung masuk ke lobby tapi segera dicegat oleh seorang bodyguard.


"Mau bertemu siapa Dek?" Tanya bodyguard itu heran.


"Saya mau ketemu Pak Adirata, Pak!" jawab Azka.


"Pak Adirata?"


"lya, Pak. Dia orang kepercayaan Pak Santanu."


"Sepertinya aku pernah melihatmu, bukankah kamu yang tempo hari datang bersama Pak Adirata?"


"Iya benar itu saya, Pak! Tolong pertemukan saya dengannya. Ini sangat penting, tadi beliau sudah menghubungi saya tapi tiba-tiba teleponnya mati."


"Pak Adirata sedang tidak ada disini. Coba kamu datang ke alamat kantornya saja".


Azka mencatat alamat kantor yang bodyguard berikan dan langsung menuju ke sana.


Namun setibanya, Azka kembali mendapatkan masalah.


"Kalau belum janjian, tidak bisa sembarangan bertemu siapapun di sini, Dek!" ucap Satpam yang tidak memberikannya masuk.


"Tapi ini penting, Pak!"


"Maaf, Dek. Saya juga tidak tahu siapa Pak Adirata. Kalo adek mau bertemu dengannya, silahkan hubungi dulu. Nanti kalau orang itu mau bertemu dan orang itu memang kerja di kantor ini akan saya antar kamu ke resepsionis."


Azka pun akhirnya mengalah. Dia pun duduk di pelataran dekat lobby itu sembari mencoba menghubungi nomor Adirata lagi, namun kali ini nomor handphone-nya sudah tidak aktif lagi.


Azka terus menunggu di sana hingga jam kantor pulang. Hingga jam duabelas malam, Adirata tak kunjung keluar dari dalam kantor yang sudah terasa sepi.


Azka mendekati pos satpam untuk bertanya lagi. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika melihat layar televisi, menampilkan berita kecelakaan maut yang telah menewaskan Pak Santanu dan Istrinya.


Azka terkejut melihat berita itu. Dia pun mencoba mencari tahu kabar lebih lengkapnya di internet, ternyata berita itu sudah memenuhi tajuk utama di laman internetnya.


Azka tidak tahu sekarang harus bagaimana. Dirinya tidak merasakan kesedihan ketika mengetahui kabar meninggalnya orang terkaya ke dua di Indonesia itu.


Bagaimana pun juga Azka hanya mendapatkan kabar melalui Adirata saja. Dia belum bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung hasil tesnya.


Namun keadaannya sekarang kacau, Adirata benar-benar tidak bisa dihubungi lagi. Nomornya masih tidak aktif.


Azka akhirnya memilih pulang dan meninggalkan kantor itu.



--------------------------------



Hari sudah pagi. Azka menyandar di depan kamar kosannya dengan ditemani rokok dan secangkir kopi panas.


Sejak pulang dari kantor Adirata itu dia tidak bisa tidur. Dibenaknya masih dipenuhi banyak pertanyaan.


Sementara satu-satunya orang yang bisa memberinya petunjuk hingga pagi itu masih tidak dapat dihubungi.


Tiba-tiba Udin datang untuk mengantarnya kuliah.


"Woi berang-berang! Lemes aja kelihatannya, gak kuliah lo?" Tanya Udin heran.


Azka hanya menggeleng.


"Lo sakit?" Udin langsung duduk di hadapannya.


"Kagak! Gue kagak sakit!" Jawab Azka.


"Tapi muka lo kok pucet banget!"


"Gue abis begadang nonton bola" bohongnya.


"Bola? Perasaan kagak ada acara bola di tivi?"


"Lo aja yang kagak tahu! Sono lo kerja! Gue mau tidur! Dan bilang pada Bu Risma kalau gue lagi males kuliah!"


Udin menghela nafas lalu pergi. Saat Udin sudah pergi, Azka menutup pintunya lalu berbaring di dekat tumpukan bukunya.


Dirinya menyalakan televisi untuk melihat berita lebih lanjut mengenai Pak Santanu.


Hingga kini masih belum diketahui apa penyebab kecelakaan itu. Namun kini semua perusahaan milik Pak Santanu telah dialihkan kepada Pak Dirga yang tak lain adik angkatnya.


Pak Dirga mengatakan kepada seluruh investor yang bergabung di perusahaan Pak Santanu untuk jangan khawatir. Karena dia berjanji akan menjaga perusahaan milik almarhum dengan baik.


Azka mematikan televisi, dIa benar-benar buntu. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk menemui Adirata.


Dia juga tidak tahu bagaimana nasib Adirata sekarang. Dia juga masih bertanya-tanya, benarkah dirinya anak kandung Pak Santanu?


Tak mau buntu terus menerus, Azka berniat mendatangi kepala panti tempat dulu dirinya di asuh. Berharap mendapatkan informasi di sana.


Kini Azka sudah berdiri di depan panti, matanya menatap bangunan tua itu dengan lekat.


Setelah membuang nafasnya dengan kasar, Azka melangkah masuk ke dalam. Disana dia bertemu dengan perawat muda yang sedang bermain dengan anak-anak.


"Bisakah saya bertemu dengan Bu Ningsih?" Sapa Azka.


Perawat muda itu menoleh dan menatap Azka dari bawah ke atas dan berkata, "Kamu siapa ya? Dan siapa Bu Ningsih yang kamu maksud?"


Azka mengerutkan dahinya merasa heran yang dikatakan perawat itu. Dia beranggapan bahwa perawat muda itu pekerja baru.


"Lupakan saja." Ucap Azka selanjutnya pergi. Dia menuju ruangan kerja para perawat, dirinya masih ingat betul dimana letaknya. Berharap dia bisa bertemu perawat senior.


"Azka?" Sapa perawat senoir yang usinya sekitar tiga puluh tujuh tahun.


"Kamu Azka kan?" Tanyanya lagi karena merasa tak asing dengan pria yang berpapasan dengannya.


"Ka Mawar?" Ucap Azka dengan ragu.


Perawat senior yang bernama Ratih itu terbelalak saat dirinya dipanggil Mawar, karena hanya ada satu orang yang memanggil nama itu.


"Azkaaaaa!!" Ratih memeluknya dengan histeris.


"Kemana saja kamu?" Kesal Ratih setelah melepaskan pelukannya.


Azka menceritakan bagaimana dirinya kabur dari panti dulu.


"Dasar anak nakal! Kami semua mengira kalau kamu itu di culik! Bahkan Bu Ningsih sampai jatuh sakit memikirkan kamu".


Ratih mengajak Azka ke ruangan lain dan mereka berdua berbincang cukup lama.


"Jadi Bu Ningsih sudah pensiun, dan sekarang tinggal bersama suaminya?" Sesal Azka karena tidak bisa bertemu. Azka berpikir bahwa suami barunya itu tinggal di luar kota.


"Kan bisa bertamu ke rumahnya, lagian rumahnya deket kok!" Ucap Ratih memberinya harapan.


Mata Azka berbinar mendengarnya.


"Rumahnya dekat? Dimana itu kak? Aku ingin bertemu Bu Ningsih secepatnya.


"Memang seharusnya begitu! Kamu harus bertemu dan meminta maaf padanya!"


"Iya" jawab Azka menundukan kepalanya.


Akhir perbincangan, Ratih mencatatkan alamat Bu Ningsih dan memberikannya pada Azka.


"Titip salam buat Bu Ningsih jika kamu nanti bertemu dengannya" Ucap Ratih sambil mendekap erat Azka tanda akan berpisah lagi.


"Kamu kenapa sih? Gak suka dipeluk kakak lagi yah?" Ratih merasa heran dengan gelagat Azka.


"Bukannya tidak suka, Kak! Tapi… aku ini bukan anak kecil lagi!"


"Masalahnya apa?" Ratih semakin merasa heran.


"Masalahnya…. Masalahnya balon kakak itu membuatku merasa terganggu" kata Azka.


"Balon?"


"Eh! Dasar kamu ini yah!!" Ratih tersipu dengan mata yang agak melotot.


"Katanya kamu mau pergi? Udah sana jalan!"


"Minta dipeluk lagi dong, Kak" Azka mencoba usil.


"Gak! Gak! Gak! Gak ada namanya peluk-peluk!" Ucap Ratih yang kini menyilangkan kedua tangannya didada.


Azka berjalan mundur dengan terkekeh geli melihat tingkah konyol Ratih, yang dianggap sebagai kakaknya itu.


------------------------------


Di rumah Bu Ningsih, Azka disambut penuh haru. Tangis Bu Ningsih pecah manakala dapat melihat kembali anak asuhnya yang menghilang belasan tahun yang lalu. Saat itu terakhir usia Azka masih sepuluh tahun.


"Kemana saja kamu, Nak?" Isaknya berurai air mata.


Azka mengarang cerita setelah sebelumnya telah ia siapakan selama perjalanan menuju rumah Bu Ningsih. Namun karangan yang dia buat mencoba semasuk akal mungkin, tanpa harus mengatakan kebenarannya bahwa dia telah kabur. Azka mengingat cerita yang dikatakan Ratih, dia tidak ingin Bu Ningsih kecewa pada dirinya.


"Ibu siapkan kamu makan dulu, kamu pasti lapar dan haus kan?" Tawarnya.


Relung Azka begitu terenyuh, ibu asuhnya tidak ada yang berubah sama seperti dulu yang selalu memberinya perhatian dan kasih sayang. Memang Azkanya saja yang badung.


Kini diruang tamu hanya Azka dan suami Bu Ningsih yang sejak tadi duduk memperhatikan.


"Ternyata dunia ini sempit juga yah… Bapak tidak mengira ternyata kamu adalah anak asuh dari istriku" Kata Pak Rojak yang akhirnya membuka obrolan.


"Iya pak, saya juga tidak menyangka jika suami Bu Ningsih adalah bapak sendiri. Padahal kita sudah dua kali bertemu."


Diketahui Pak Rojak ini adalah orang yang pernah mengingatkan Azka sewaktu di SPBU dan menolong Azka saat jiwanya dirasuki sewaktu di rumah sakit.


Keduanya berbincang namun tak lama Bu Ningsih kembali ke ruang tamu.


"Nanti lagi ngobrolnya, biarkan Azka makan dulu toh pak!" Bu Ningsih seraya menggandeng Azka.


Pak Rojak sedikit murung, "Bapak kok gak di ajak toh bu?"


Pak Rojak menggelengkan kepalanya sembari ikut berjalan ke arah dapur.


Setelah menyelesaikan makan bersama, Bu Ningsih mengajak Azka dan Pak Rojak untuk berbincang di bale-bale di bawah pohon rambutan.


"Halamannya cukup luas ya bu, terasa teduh dan nyaman" puji Azka yang baru pertama kalinya itu.


"Ibu mah gak punya rumah Az! Ini rumah milik bapak"


Sontak perkataan Bu Ningsih langsung di protes oleh Pak Rojak yang hampir tersedak.


"Ibu ngomong apa sih? Meski rumah ini milik bapak tapi sekarang milik ibu juga toh!" Ujarnya setelah menyeruput kopi panas.


Bu Ningsih tampak menggelayut manja di lengan Pak Rojak. Tanpa merasa malu dengan kehadiran Azka disitu.


"Malu toh bu! Udah tua masih saja manja. Dilihatin nak Azka tuh!".


Azka menunduk mendengarnya, justru hatinya merasa damai dengan kemesraan mereka berdua.


"Kedatangan Azka kemari selain rindu, sebenarnya ada yang ingin Azka ceritakan, Bu!"


Bu Ningsih dan Pak Rojak mulai menyimak tanpa menyela.


"Dua minggu yang lalu, seseorang meminta saya untuk melakukan tes DNA. Orang itu mencari kebenaran apakah saya ini adalah anak kandung Pak Santanu".


Mendengar Azka menyebut Pak Santanu yang tak asing, kedua suami istri itu saling memandang, namun entah apa isi di dalam benak mereka masing-masing.


"Hingga akhirnya, barulah kemarin orang yang meminta saya itu memberi kabar bahwa saya memang terbukti sebagai anak kandung Pak Santanu."


"Saya masih belum percaya apa yang dikatakan beliau, sebelum saya membaca sendiri hasil medisnya."


Pak Rojak menyela karena merasa penasaran.


"Apa yang kamu maksudkan itu adalah Pak Santanu yang akhir-akhir ini diberitakan di televisi?"


"Pebisnis kaya yang kabarnya meninggal karena kecelakaan?"


"Benar pak, Pak Santunu itu yang saya maksudkan".


Bu Ningsih menutup mulutnya karena terkejut. Dia tidak menyangka bahwa anak asuhnya ternyata adalah anak seorang sultan yang kaya raya.


Sesaat kemudian Bu Ningsih mengingat sesuatu.


"Gak! Gak mungkin! Ibu masih ingat saat pertama kali kamu datang ke panti".


"Ceritakan semuanya bu, saya ingin tahu kebenarannya" Sela Azka.


"Saat itu kamu masih bayi sekali. Mungkin umurnya belum semingguan. Kamu datang digendong oleh seorang pria muda, dia mengaku sebagai pamanmu."


"Pamanmu cerita bahwa ibumu meninggal saat setelah melahirkan sedangkan ayahmu meninggal saat bekerja menjadi tkw di luar negeri."


"Pamanmu datang ke panti dengan membawa dokumen sebagai tanda bukti bahwa kamu adalah bagian dari keluarganya."


"Dia merasa tidak mampu menghidupimu sehingga menyerahkanmu ke panti."


Bu Ningsih menceritakan peristiwa itu seperti apa yang diingatnya.


"Apa ibu masih menyimpan dokumennya itu?" Tanya Azka.


Bu Ningsih menggelengkan kepalanya.


"Ibu tidak yakin dokumen itu masih ada, satu tahun yang lalu kabarnya panti asuhan itu terbakar. Ibu mendapatkan informasi itu dari Ratih, yang katanya yang terbakar itu adalah ruang tempat penyimpanan dokumen saja".


"Tampaknya kebakaran itu memang disengaja, Bu!" Pak Rojak mengatakan dengan curiga.


"Hush bapak jangan berprasangka buruk begitu!".


"Bisa saja bu! Coba ibu pikir. Kalau benar tes DNA nak Azka itu terbukti akurat berarti dokumen yang ibu terima saat itu adalah dokumen palsu."


"Untuk menghilangkan bukti, ada orang yang sengaja membakar ruang dokumen. Mengingat kasus yang akan muncul nanti bukanlah kasus biasa, ini menyangkut orang berpengaruh di negeri ini" Terang Pak Rojak.


Azka mendengarkan seksama yang dijabarkan Pak Rojak, yang dikatakannya itu masuk akal.


"Apalagi yang kamu tahu dari orang yang memintamu tes itu?" Pak Rojak makin penasaran.


"Orang yang memintaku tes bernama Pak Adirata. Dia adalah orang kepercayaan langsung Pak Santanu. Dia bercerita bahwa, Pak Santanu menduga adik angkatnya lah yang bernama Pak Dirga yang menjadi dalang atas pertukaran bayi."


"Kejam sekali Pak Dirga itu!" Geram Bu Ningsih.


"Kalau benar kamu adalah anak kandung Pak Santanu, yang sabar kamu ya nak! Kebenaran akan terungkap suatu saat nanti" Bu Ningsih membelai rambut Azka dengan kasih.


"Masalahnya saya belum begitu yakin, Bu. Apakah benar saya adalah anak kandungnya Pak Santanu. Jika memang terbukti kebenarannya, barulah saya akan bergerak untuk membalas dendam".


"Astaghfirullah! Jangan nak… balas dendam itu tidak baik! Ibu saranin jangan gegabah."


"Dua puluh tiga tahun saya terpisah dengan kedua orang tuaku. Itu waktu yang cukup untuk mereka hidup nyaman. Kali ini saya tidak akan melepaskan mereka begitu saja"


"Bagaimanapun juga Pak Santanu adalah orang tua kandungku. Saya yakin dibelakangnya ada orang yang berkhianat untuk merebut kekayaannya. Dan saya yakin kabar kecelakaan itu karena unsur kesengajaan."


Sejak itu Azka mulai mengibarkan bendera perang dihatinya.




Bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd