Act 6: Date Night
“Fries, gua nyasar nih
fix. Ni udah muter-muter dalem kompleknya tapi kaga nemu rumah nomer 7. Gaby juga gua
message n telpon kaga ada respon dah”
“Euleuh, sabar atuh jangan marah-marah mulu. Lagi mandi kali orangnya. Mau dijemput Ananda Pangeran. Pasti persiapan panjang dulu dia”
“Ga ada gunanya kalo gua ga sampe rumahnya. Lu telpon dia ato babe emaknya dong.
At least someone keluar rumah pake baju warna apa gitu biar gua tau rumahnya yang mana”
“Mulai kurang ajar lo gue liat-liat ya. Baru pertama kali ke rumahnya udah mao nyuruh-nyuruh bokap nyokapnya”
“Udah buruan. Nanti nak gadis tetangganya juga yg gua jem…” muncul notifikasi panggilan dari Gaby di HP-ku.
“Nice, ni Gaby nelpon gua. Bye Bu”
Langsung kututup percakapanku dengan Frieska dan mengangkat telpon dari Gaby.
“Kaaak, maaaaf tadi aku abis mandi. Kakak belum nemu rumah aku yaa? Patokannya rumah depan ayunan Kak”
“Oh depan ayunan Gab, aku udah lewatin sana 4 kali hahaha”
“Yah, maaf Kak, ini aku cepet kok siap-siapnya sebentar ya” ia pun mematikan teleponnya dengan tergesa-gesa.
Hari ini hari Sabtu. Sudah hampir dua bulan sejak pertemuan pertamaku dengan Gaby. Memang benar prediksi Frieska, kalau Gaby baru mau kujemput ke rumahnya setelah pertemuan kami yang kelima. Kami lebih biasa bertemu di satu tempat, kemudian aku mengantarnya ke tempat lain dimana ia selanjutnya dijemput orang tuanya atau naik taksi online bersama temannya setelah pertemuan kami selesai.
Karena kami berencana memulai perjalanan dari siang hari, kugunakan kesempatan ini untuk menawarkan diri menjemputnya ke rumah. Ia sebelumnya menolak untuk pergi denganku karena berencana mengerjakan skripsinya di kala sedang libur bekerja di JKT48. Namun, ia pun luluh setelah aku berjanji untuk membantunya mengerjakan skripsi karena beberapa proyek terakhir yang kukerjakan terkait dengan topik skripsinya.
Sekarang aku sudah sampai di depan ayunan yang ada di depan rumah Gaby. Kuperhatikan di seberang ayunan ini ada sebuah rumah yang tidak terlihat nomornya. Namun, setelah kupicingkan mataku barulah terlihat angka 7 terpampang kecil sehingga agak sulit untuk dilihat. Rumah di sebelahnya juga sudah bernomor belasan. Wajar saja kalau sedari tadi aku tidak menemukan rumah ini.
Aku pun mematikan mobilku dan merapikan diri sebelum turun dari mobil. Kulihat HPku karena ada notifikasi pesan masuk dari Frieska. Kuakui selain pesan dari Gaby ada satu pesan lagi yang kunantikan namun tak kunjung masuk ke HPku.
Lala yang sudah berjanji untuk menghubungiku kalau ia sedang ingin bercinta sampai sekarang belum terlihat ingin mengulangi malam pertama kami berhubungan seks. Memang aku sendiri yang meminta hubungan kami hanya sebatas pemenuhan nafsu kami saja. Namun, kuakui aku berharap supaya ia menghubungiku lagi. Karena gengsi, aku tidak ingin menghubunginya duluan. Namun, aku masih candu dengan bibir, liur, aroma dan rasa keringatnya, serta momen ketika tubuhku berada di dalam tubuhnya.
Kubuyarkan lamunanku dengan membuka pintu mobil dan berjalan menuju rumah Gaby. Kupencet bel yang terletak di samping pagar pintu rumahnya untuk memanggilnya. Tidak lama kemudian pintu rumahnya terbuka dan Gaby keluar dengan mengenakan kaus putih berlengan panjang, celana flanel, tas selempang kecil, dan tas ransel yang lumayan besar. Barang bawaannya seperti ingin pergi jauh.
“Udah ya Pah, Mah, aku berangkat dulu. Babaiii”
“Eeeeh tunggu dulu Gab” terdengar suara pria paruh baya dari dalam rumah kemudian diiringi dengan langkah kaki yang terburu-buru.
Pemilik suara itu sudah berada di depan rumah dan langsung menatapku tajam. Ia kemudian berjalan cepat menuju ke arahku yang berada di depan pagar rumahnya.
“Kamu yang temennya Frieska itu yang kerja di perusahaan konsultan? Saya Chris, papanya Gaby” katanya sembari melihatku dari atas ke bawah dan memandang jauh melewati badanku seakan melihat mobilku yang kuparkir di seberang jalan.
“Iya Om, Gaby cerita kalo butuh pandangan professional untuk ngerjain skripsinya. Kebetulan saya punya banyak cerita di subjek penelitian Gaby” kataku berusaha
n untuk memukaunya dengan pekerjaanku.
“Iya, Gaby cerita sama saya. Yaudah, titip anak saya ya” katanya sambil menatap tajam ke mataku. Aku hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalaku.
Ia pun berjalan ke arah Gaby lalu memeluknya. “Hati-hati ya sayang”
“Iiiih papa, malu tau diliatin” teriak Gaby sambil berusaha melepaskan pelukan ayahnya. Sepertinya ia masih diperlakukan seperti anak kecil oleh ayahnya. Terlihat dari ekspresinya bahwa ia sudah tidak nyaman diperlakukan seperti itu. Aku pun tidak ingin menghakimi ayahnya karena memang Gaby merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarganya karena adiknya laki-laki. Anak perempuan memang selalu menjadi kesayangan ayah mereka.
“Ayuk berangkat, Kak”
“Kok bawaannya banyak banget Gab?”
“Nanti malem aku mau nginep di rumah temen Kak, keluarga aku mau keluar kota malem ini”
“Ohh oke...”
Kami pun berjalan menuju sebuah restoran sekaligus
coffee shop yang menurut Gaby memiliki tempat
spot tempat duduk yang sulit untuk dilihat oleh pengunjung lain. Memang di profesinya, tidak mudah untuk berjalan berdua saja dengan seorang pria. Hal ini karena, seperti kata Frieska,
idol harus bisa menjaga perasaaan fans. Kupikir hal ini masuk akal karena para pria fans JKT48 tidak akan sesemangat itu menyukai gadis yang memiliki pacar. Mungkin fans wanita yang tidak lurus juga berpikiran sama.
Sesampainya di restoran aku pun memesan makanan dan minuman sementara Gaby langsung mencari tempat yang sudah diidamkannya. Ketika aku sudah sampai, memang benar tempat yang sudah Gaby duduki ini sangat tetutup karena posisinya terletak di balik pintu dan ditutupin gorden, serta didukung oleh posisinya yang merupakan tempat duduk satu-satunya. Seperti tempat dambaan pasangan-pasangan yang ingin melakukan hal yang tidak senonoh di tempat umum. Gaby sudah duduk sambil membuka laptopnya.
“Kamu anak kesayangan bokap, ya Gab?”
“Hahaha kenapa nanya gitu Kak, tadi aku
cringe banget ya sama papa aku?”
“Ngga gitu, tapi keliatan aja dari cara papa kamu ngomong ke kamu sama aku”
“Yang mahasiswa psikologi disini siapa ya,
by the way? Kok aku udah di psikoanalisis aja” katanya sambil tertawa.
Tawanya memang seperti Lala. Kedua matanya juga hilang seiring dengan tawanya. Mungkin perbedaannya hanya ia lebih sering tertawa lebar menunjukkan gigi-giginya. Menunjukkan pribadinya yang sebenarnya tergolong polos dan tidak ingin menutupi perasaannya. Bentuk wajahnya yang tajam khas orang Manado berubah menjadi lebih lembut di dalam gelak tawanya.
“Aku
learning by doing Gab, plus sotoy, ahahah”
Tanpa sadar, empat jam sudah kami berada di sini. Waktu berjalan cepat karena memang kami sangat aktif berbincang terkait hal serius. Gaby juga tidak terlalu fokus pada laptopnya karena topik pembicaraan kami yang lumayan dinamis. Namun, ia juga beberapa kali mencatat beberapa hal yang mungkin menurutnya perlu ia ingat. Aku merasa menjadi dosen hari ini. Harusnya aku bisa minta bayaran.
“Udah sore nih Gab, kamu ga mau langsung pulang kan?”
“Karena Kakak udah nemenin aku, sekarang gantian aku yang nemenin Kakak. Mau kemana aja bebas”
“Nyemplung ke laut juga mau?”
“Kakak yang nyemplung, aku yang fotoin?”
“Gua yang basah dong, yaudah yuk, kalo kamu udah selesai”
“Kita mau kemana Kak?”
“Lapangan Banteng, temenin aku
hunting foto”
“Asiiik, gini dong Kak, kegiatannya pas buat aku yang bakat model”
“Model ga boleh ceroboh suka nginjek kaki orang”
“Hush, itu rahasia perusahaan jangan disebar-sebar”
Kami pun meninggalkan restoran dan menuju Lapangan Banteng. Sebenarnya aku tidak terlalu berniat untuk foto-foto seperti alasanku mengajak Gaby ke sana. Kupikir lebih baik mengajaknya kesana dari pada ke mall yang relatif lebih ramai dan terang. Sementara di tempat terbuka seperti Lapangan Banteng kurasa lebih mudah menyembunyikan privasi kami. Meskipun ini malam minggu, ternyata tidak sampai satu jam kami sampai di tujuan.
“Terakhir aku kesini sama udah lama banget Kak, pas SMP kelas 1”
“O ya? kamu kebanyakan joget-joget sih. Ee tunggu, sini sebentar”
Aku pun memakaikan sebuah topi berwarna biru di kepalanya.
“Nah kalo gini susah keliatan kalo kamu Kapten Tim J JKT48” kataku sambil menjepit hidungnya dengan jari telunjuk dan jari tengahku.
“Iiih emang ngaruh? ……” Gaby tidak melanjutkan kata-katanya. Ia terlihat tersipu dengan hal yang baru kulakukan terhadapnya. Ia menyunggingkan senyum yang lebih lebar dari biasanya namun mencoba menutupinya dengan tangan dan menundukkan kepalanya. Kalau aku tidak melihatnya sebelum ia menundukkan kepalanya, pandanganku ini akan tertutup oleh topinya.
“Tuh, udah senyum-senyum sendiri ga keliatan gara-gara ketutupan topi”
“Apaaaan siih, kalo ga keliatan kenapa diomongin…”
Kami pun berjalan mengelilingi Lapangan Banteng. Rona temaram diiringi oleh lampu-lampu jalan yang menerangi kami membuat suasana yang menenangkan. Hal ini ditambah dengan sepinya Lapangan Banteng hari ini. Hanya sedikit orang yang kami temui di sepanjang jalan. Aku pun mengambil foto di objek-objek yang menarik perhatianku. Kadang aku meminta Gaby berpose untukku atau ia memintaku mengambil fotonya di objek yang ia sukai.
“Gab, coba di depan sana”
“Baguus tu Kak, tapi masih ada yang foto disana”
“Yuk kita pepet aja, biar dia ga lama. Sini aku pegangin topinya”
Selesai aku memotretnya, ia seperti tersadar akan sesuatu dan merogoh tasnya.
“Sebentar Kak, temen aku nelfon”
Tidak dapat kupungkiri seharian bersama Gaby membuatku memperhatikan tubuhnya. Memang pilihan bajunya hari ini mempertunjukkan lekuk tubuhnya. Ia tergolong tinggi untuk ukuran perempuan dan badannya cukup berisi meskipun masih terlihat langsing bila melihat pinggangnya. Payudaranya yang cukup terpampang dengan baju putih ketat dan lumayan transparan juga memiliki ukuran yang bagus untuk ukuran tubuhnya. Mungkin sedikit lebih besar dari payudara Lala. Tapi asumsi tidak ada artinya bila tangan sudah berbicara. Sayangnya kali ini tanganku masih belum bisa berbicara.
Selesai teleponnya selesai, Gaby menghampiriku dengan wajah sedih.
“Kok murung?”
“Temen aku ga jadi bisa diinepin Kak, keluarga deketnya ada yang meninggal jadi dia sama keluarganya bakal keluar rumah”
“Oooh. Yah gimana lagi kalau udah kabar duka. Kamu mau pulang ke rumah aja kalo gitu?”
“Ga bisa Kak. Karena dah pede mau nginep, aku ga bawa kunci rumah. Aku pulang ke apartemen aku aja Kak. Dari sini deket kok, masih di Jakarta ***** juga”
“
No worries, Gab. Makan dulu aja yuk sebelum pulang. Laper nih, tadi terakhir makan masih siang”
“Boleh Kak, aku juga udah laper lagi”
Kami pun berjalan menuju mobil untuk berganti tempat tujuan.
“Kak, inget ga kalo Kakak udah janji mau masakin aku?”
“Iya, kenapa emang?”
“Gimana kalo kita langsung ke apartemen aku aja, Kakak masak di sana? Nanti aku bantuin deh. Janji ga cuman makan doang”
Aku memang bercerita padanya kalau aku suka memasak. Tidak kusangka ia memintanya malam ini. Kupikir tidak perlu menolaknya kalau semesta mendukung.
“Boleh, kamu mau dimasakin apa?”
“Yang paling enak yang pernah Kakak masak”
“Dendeng Padang itu mah. Lama masaknya. Ya udah kamu liat aja nanti jadinya apa. Biar
surprise. Kita belanja dulu aja”
Kami pun pergi ke swalayan yang menjual bahan masakan sebelum menuju apartemen Gaby. Aku berencana membuat masakan yang praktis dan mudah dimasak supaya tidak butuh waktu lama untuk menyiapkan dan menyantapnya.
Sesampainya di apartemen, aku pun memasak dan ia membantuku. Karena kami berdua dan
menu yang kupilih juga tidak sulit, kami dapat menyelesaikan masakan ini dalam waktu setengah jam.
“Kakak suka wine ga?
“Suka, kenapa emang?”
“Aku ada nih, aku siapin ya buat nemenin kita makan”
“Gapapa, Gab?”
“Gapapa dong, kan Kakak udah aku repotin terus hari ini. Gantian aku yang traktir Kakak. Lagian ini papa aku yang beli”
“Yah, malah ga enak lah aku minum punya papa kamu”
“Anggep aja dia bayar jasa Kakak, antar jemput aku hari ini hahaha”
“Enak aja, emang aku sopir” sambil menjepit hidungnya lagi. Hidungnya yang mancung dan tajam terasa nikmat untuk dijepit menggunakan jari. Belum lagi ekspresinya setelah kulakukan ini.
“Eeeeeh, tangan Kakak kan kotor” Senyumnya yang lebar kembali muncul dikala ia berusaha menyembunyikan rasa malunya.
“Biarin hehehehe”
“Ini beneran tinggal
plating aja ya kak? Aku mandi dulu ya kalo gitu, kotor nih dan bau abis masak sama jalan-jalan seharian”
“Iyah, biar cantik ga kayak yang punya apartemen”
“Tuuh kan, yaudah Kakak
plating sendiri aku mandi”
Aku pun menyelesaikan
plating makanan yang sudah kumasak. Gaby sudah menyiapkan dua gelas untuk meminum wine yang sudah ia keluarkan. Aku merasa tidak mau kalah untuk menampilkan masakanku dengan kualitas restoran kelas atas untuk menambah suasana romantis malam ini. Aku tertawa mengingat perubahan pada diriku. Aku yang dulu tidak mungkin dapat seromantis ini. Padahal hubungan kami belum ada statusnya.
Selesai menyiapkan makanan di meja makan aku pun duduk untuk menunggu Gaby. Kulihat sebuah
speaker yang ada di kamarnya dan kuhubungkan dengan HPku untuk menyalakan musik. Untuk menambah suasana seperti sedang makan di
fancy restaurant. Setelah semua persiapan selesai, aku memanggil Gaby supaya kami bisa segera makan. Kuhampiri pintu kamar mandi dan mengetuknya.
“Ga usah pake dandan Gab, kita makan di rumah doang”
Pintu kamar mandi pun terbuka dan aku terkejut melihat pemandangan yang keluar dari kamar mandi.