Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Fantasi Pamer Istri

BAB 2 : Pendakian

Meskipun aku tak terlalu suka dengan alam terbuka, tetapi sebagai penulis aku suka melakukan riset ke berbagai tempat.

Kebetulan aku ingin menulis novel tentang seorang pendaki. Jadi ku putuskan untuk mendaki ke salah satu gunung di jawa tengah untuk mendapatkan pengalaman agar saat menulis nanti ada banyak bahan dan juga feel nya.

Tentunya dengan segala pertimbangan dan negoisasi dengan istriku, hasil terakhirnya adalah ia ingin ikut bersamaku. Aku pun mau tak mau harus mengizinkannya ikut untuk mendapatkan izin pergi.

Singkat cerita berangkatlah kami menggunakan transportasi kereta dan menyambung dengan bus serta ojek hingga pos pendakian. Aku sudah berencana menyewa seorang porter untuk membantu membawa beban dan juga sebagai petunjuk jalan, mengingat aku masih awam soal pendakian.

Akhirnya setelah bernegosiasi perihal harga, dapatlah seorang porter bernama Ucup.

Ucup memiliki perawakan yang tinggi dengan rambut keriting. Ia berkulit hitam dan memiliki otot yang cukup kekar meskipun sekilas terlihat kecil.

Tiba-tiba fantasiku bermain. Aku membayangkan di atas nanti ada kejutan yang mana paling tidak ia mampu melihat body istriku. Menurutku itu adalah harga yang setimpal mengingat awalnya aku hanya ingin solo hiking saja.

Setelah simaksi, sore ini berangkatlah kami menuju pos 1. Semua berjalan lancar. Aku dan Ucup pun banyak berbincang untuk membunuh kejenuhan, tak jarang ia pun mengobrol dengan istriku dan sesekali melempar candaan berbau memuji.

"Jarang ada cewek cantik naik gunung," ucap pria itu sambil sesekali menoleh ke belakang dengan lirikan tipis menatap dada istriku yang berjalan di belakangnya.

Padahal saat itu istriku mengenakan jaket, tetapi lekuk tubuhnya masih cukup menggoda.

Sepertinya Ucup sudah bosan dengan pemandangan di gunung ini dan lebih tertarik dengan gunung yang lain. Muncul niat isengku untuk sedikit memperpanas suasana.

"Gunung ini ketinggiannya berapa, Mas Ucup?"

"3265 mdpl, Mas Reza," jawab Ucup.

"Pemandangannya bagus ya," timpalku lagi.

"Ya begitulah. Bagus karena dirawat, Mas," balas Ucup.

"Saya juga pernah naik gunung. Tingginya sih ga setinggi di sini, tapi pemandangannya lebih bagus. Karena dirawat juga sih."

"Gunung mana tuh, Mas Reza?" tanya Ucup.

"Tergantung, Mas," jawabku.

Ia menoleh ke belakang dan memicingkan mata karena bingung.

"Tergantung apa?" tanyanya.

"Tergantung di istri sendiri," jawabku.

Ucup tertawa. "Bisa aja nih Mas Reza. Memangnya berapa ketinggian gunungnya?" tanyanya.

Aku tersenyum. Bisa-bisanya porter itu masih melanjutkan candaan ini. Ku tatap istriku yang terlihat risih. Ia berada di tengah-tengah dua lelaki cabul.

"Tanya aja langsung sama juru kuncinya, Mas Ucup."

Ucup sontak menoleh ke arah istriku dengan senyum nakalnya.

"Berapa ketinggian gunungnya, Mbak Ifa?" tanyanya.

Dadaku berdebar, tak ku sangka pria itu cukup berani bercanda dengan menanyakannya seperti itu. Wajah ku tak mampu menyembunyikan rasa senang.

Istriku hanya diam sambil berjalan mengikutinya. Sedari tadi ia hanya diam tanpa kata.

"Itu ditanya Mas Ucup loh, Beb. Berapa tuh ketinggiannya?" tanyaku memancing.

"Enggak tau," jawabnya ketus. Sepertinya ia marah dibercandai seperti itu.

Ucup mulai diam, sepertinya ia sadar bahwa candaannya membuat istriku risih. Ia sadar diri, tapi aku tak ingin suasana ini berubah.

"36 B loh mas ucup," ucapku.

"Wah tinggi itu mas," balas Ucup.

"Lebih ke gede sih, Mas," balasku. "Daerah puncaknya warna cokelat."

"Puncak cokelat? Wah, kapan-kapan ajak saya nanjak dong mas. Mau lihat puncak cokelat tuh seperti apa," timpal Ucup. "Yang saya tahu biasanya cuma batu-batu."

"Tuh beb, mas Ucup mau nanjak katanya. Di buka buat umum enggak tuh?" tanyaku.

"Enggak tau," jawabnya makin ketus.

"Loh, kok enggak tau? Paling enggak kasih liat dikit dong, biar mas ucup semangat bawain barangnya." Ku naikkan hijab yang menutupi dadanya dari belakang sehingga tonjolan di dadanya semakin terlihat membusung meskipun masih tertutup jaket.

Ia menghela napas sambil menggelengkan kepala atas tingkahku.

Singkat cerita perjalanan kami akhirnya menjumpai pos 2. Istriku yang lelah meminta untuk beristirahat sejenak dan kami pun bersantai di sana.

Ucup menurunkan dua tas carrier milik kami yang ia pikul dengan kayu.

"Haus, Mas ucup?" tanyaku.

"Haus, Mas," jawabnya.

Aku menatap istriku. "Keluarin, Beb."

Ia berjalan ke arah tas miliknya, lalu hendak membukanya untuk mengambil air.

"Keluarin susunya," sambung ku.

Ia terdiam sejenak, lalu menoleh ke arahku. Aku hanya terkekeh meledeknya.

Istriku tiba-tiba menurunkan resleting jaketnya, menampilkan kaos putih ketatnya.

"Puas?" tanyanya lewat gerakan bibir tanpa suara padaku.

Aku tersenyum lalu mengacungkan jempol padanya.

Ia pun lanjut membuka tas untuk mengeluarkan botol minuman. Di sela-sela yang ia lakukan, Ucup meneguk ludah memandang bongkahan dada istriku yang 1 pertahanannya sudah terbuka.

"Minum dulu, Mas Ucup," ucap istriku menawari botol minum.

Pecah lamunan pria itu pada dada istriku. "Oh, saya bawa air sendiri kok."

Dari posisiku duduk, aku hanya melihat Ucup dan istriku yang tampak sedang berbincang di sana. Sepertinya mood istriku sudah membaik. Entah, atau mungkin ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan kotor di perjalanan tadi.

"Selain gunung ini, Mas Ucup pernah daki ke mana aja?" tanya istriku.

Melihat posisi istriku yang kini berhadapan dengan Ucup dan mendengar sepintas obrolan mereka membuatku berfantasi liar. Pikiranku menerawang jauh.

(Fantasi moden on)

"Selain gunung ini, Mas Ucup pernah daki ke mana aja?" tanya istriku.

"Wah, banyak, mbak," jawab Ucup sambil menatap dada istriku. "Tapi ke gunung yang itu belum pernah." Ia menunjuk gunung Ifa dengan matanya.

Istriku menghela napas. "Dasar cowok-cowok." Ia menarik tangan Ucup dan memasukkannya ke dalam kaos lewat bagian bawah.

"Sekarang udah, kan? Cuma segitu doang kok," ucap istriku.

Ucup hanya diam, berdiri di depan istriku dengan satu tangan yang menyelundup masuk ke dalam kaosnya.

"Segini mah gede, mbak. Tangan saya aja enggak muat megang nya."

Istriku membuang muka, tetapi perlahan ia menggigit bibir bawahnya saat ku taksir telapak tangan Ucup memulai aksinya meremas gunung istriku.

Pada satu titik, ia menatap Ucup dengan pandangan tajam seolah menunjukkan kemarahannya. Namun, Ucup hanya membalasnya dengan tatapan biasa. Mereka saling berpandangan selama beberapa detik.

"Mbak Ifa," panggilnya, tetapi tak ada balasan dari istriku. Ifa hanya mendongak menatapnya. "Gunung mbak memang besar, tapi saya sudah berhasil sampai ke puncak, mbak."

Sepertinya tangan pria itu sudah melucuti pertahanan terakhir istriku dan bermain-main di putingnya.

"Shhhh ...." Istriku tiba-tiba mendesis seperti ular. Ia masih memandang Ucup. Tanpa ia sadari, tatapan tajamnya melunak menjadi ekspresi malu berwarna merah.

Ifa yang sadar bahwa ini salah, tiba-tiba meraih lengan Ucup yang kekar. Tampak ia berusaha melepaskan genggaman tangan pria itu dari dadanya. Namun, ada perlawanan dari Ucup yang tak mampu dibendung oleh istriku.

Sepertinya jari-jari Ucup itu sedang menari-nari dengan indah di puting susu istriku. Daerah itulah yang menjadi daerah sensitif sekaligus titik lemahnya.

"Udah, Mas Ucup shhh ...," ucap istriku menggigit bibir bawahnya, tak mampu menahan rangsangan. Sejenak ia menoleh ke arahku.

"Sebentar lagi, mbak Ifa." Ucup berusaha bernegosiasi. Satu tangannya yang sedari tadi menunggu di luar kini menerobos masuk ke dalam kaos istriku sehingga kedua tangannya kini bermain. Ucup menatap nakal istriku. Ia bagaikan harimau yang sedang menerkam kijang betina dari depan.

"Ahhh ...." Posisi istriku tiba-tiba agak menunduk. "Jangan ditarik-tarik."

"Kalo gini gimana, mbak?" tanya Ucup, entah apa yang ia lakukan.

Aku sama sekali tak tahu apa yang sedang ia lakukan pada payudara istriku, yang jelas Ifa mulai mendesah dan terlihat lemah.

"Shhhh ... udah ahhh—Mas. Mphhh ... Udah yaaaahhh."

"Kata suamimu tadi puncak gunung kamu indah, Mbak. Kasih saya lihat dulu puncak cokelatnya, baru saya berhenti," balas Ucup.

"Udah, cukup Mas Ucup mphh..."

Aku berjalan ke arah mereka dan tanpa basa-basi menarik kaos istriku ke atas hingga mengekspos kedua gunung kembarnya. Rupanya BH istriku sudah turun tak menutupi payudaranya. Langsung ku remas payudara kanannya dan ku arahkan mendekat ke wajah ucup.

"Monggo diminum dulu, Mas Ucup," ucapku.

Sejenak Ucup menatap payudara 36 b berputing cokelat istriku sambil diam terpana. Dengan cepat, ia menunduk dan menangkap puting susu istriku dengan bibirnya, tak memberikannya ampun.

"Mas, udah dong ... mphhh ... mas!"

Ia juga menghisap bagian pinggir payudara Ifa hingga meninggalkan bekas merah pada kulit kenyalnya.

Sementara mulutnya menyedot bagian kanan payudara Ifa, tangannya pun ikut bermain di puting kiri istriku.

Istriku pun menyerah. Ia membenamkan kepala Ucup di dadanya dan jatuh ke dalam pelukan pria itu.

"Ahhh ... jangan cuma disedot, Mas. Gigit donghh," ucap istriku manja. "Mau digigitttt."

(Fantasi off)

"Selain gunung ini, Mas Ucup pernah daki ke mana aja?" tanya istriku.

"Karena saya warga lokal sini, jelas saya sering nanjak di sini, tapi kalo gunung lain enggak banyak sih mbak. Mungkin sekitaran 4 atau 5," jawab Ucup.

Mereka hanya berbincang biasa, tapi entah kenapa rudalku saat ini sudah tegang karena pikiranku sendiri.

Sekitar lima belas menit beristirahat, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali tanpa ada kejadian sexual apa pun.

Bonus

https://www.imagebam.com/view/MEPBP2B
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd