Scene 35
Keyakinan Sang Peri
Intanian
Alma
Klek..
“Hoaaammmhhh.... pagi mas,” sapanya di pagi hari, setelah keluar dari kamar.
“Pagi... tumben baru bangun?”
“Begadang mas semalam.”
“Makanya kalau tidur jangan malam-malam, Ar,” nasihatku kepadanya.
“Eeeeeh, Raga gak boleh gitu sama Arta,” timpal Tante Inan tiba-tiba dari belakangku. Tante langsung berjalan ke arah Arta, sekilah aku meliat bayangan masa lau ketika melihat cara Tante melangkah mendekati Arta.
“Gak papa kok sayang, mau begadang semalaman juga gak papa. Sini-sini, makan dulu sayang, biar seger. Sudah tante buatin kopi itu,” ucap Tante menggandeng Arta yang kelihatan sedikit bingung dengan sikap Tante.
Aku, Istriku, Ana-Ani, Bibi dan juga Bobo-Baba merasa aneh dengan sikap tante. Kami semua diam memandang tante yang terlihat begitu ceria sekali hari ini. Kami duduk memandang mereka berdua berjalan mendekat ke meja makan. Arta, pemuda yang tidak bisa diprediksi, benar-benar tidak bisa diprediksi.
“Sini sayang, duduk samping tante.”
“Eh, tan... tante ceria sekali, ada apa?” tanyaku
“Eh, Ragaaa... kan ada tamu, ya di jamu dong.”
“Arta sudah sering kesini jenguk adiknya, Tan,” istriku menimpali.
“Hi hi hi ya gak papa kan sekali-kali, bener kan sayang?” balas Tante sambil menarik Arta duduk disampingnya.
“Bener kata mbak Alma, Tan. Sudah biasa aku disini, tuh gara-gara tante, adik-adikku nngambek.”
“Hi hi hi cemburuh nih yeeeee...” ledek tante ke arah Ana-Ani.
“Huuuuuuu...” teriak mereka berdua, Ana-Ani, secara bersamaan.
Aku dan Istriku, Alma, hanya bisa saling pandang begitu pula Bobo-Baba dan Bibi. Mereka juga merasakan hal yang berbeda dengan Tante. Memang Tante baru saja bergabung dengan kami, tapi seakan-akan dia menemukan kebahagiaan baru tapi rasa lama. Kulihat tante dengan senyumannya, mengambilkan sarapan untuk Arta. Kulihat juga pemuda ini saling ejek dengan kedua adiknya, hah... ramai sekali makan pagiku.
“Auuuchh... Tan, sakiiiit,” teriak Arta ketika mengunyah maanan tiba-tiba pipinya dicubit Tante Intan.
“Hi hi hi... lucu sih kamu kalau makan sayang, hi hi hi.”
Sesaat bayangan masa lalu hadir kembali. Bayangan dimana dulu ada gadis cantik yang selalu mengganggu kakek. Mengganggu apapun yang dilakukan kakek, terutama ketika makan. Gadis itu selalu mencubit pipi kakek ketika sedang mengunyah makanan. Aku tersenyum, ternyata apa yang dirasakan Tante sama dengan yang aku rasakan. Alma mungkin tidak pernah tahu hal ini, karena ini kenangan sebelum aku menikah dengannya.
“Tanteeeeeeeeeeeeee!!!”
“Ih, apa sih sayang, masa makan sambil teriak-teriak kasihan tahu bayi tante, kalau bangun gimana?”
“Lha Tante nyubitin pipi terus, gimana cara makannya?”
“Siapa yang nyubit?”
“Hadeh...” kembali Arta makan.
“Auch tanteeee!!!”
Tante tertawa sangat keras, tertawa karena Arta kelihatan jengkel sekali tapi tak bisa membalasnya. Sama, sama seperti kakek, diganggu tapi tak bisa membalas. Ku lirik Bibi yang berdiri terpaku disampingku. Bibirnya tersenyum ketika melihat Arta diganggu tante. Ana-Ani, mereka tidak berani berkomentar, karena mungkin aneh melihat tante yang seakan-akan kembali ke masa mudanya.
“Ada apa Bi?” tanyaku pelan.
“Tuan pasti tahu kan?” jawab Bibi, aku mengangguk.
Suasana pagi yang sempat hilang, kembali lagi walau sesaat tapi aku harap selamanya seperti ini. Pemuda itu telah mengembalikan senyuman yang pernah mewarnai rumah ini, senyuman yang sempat hilang. Senyuman ‘peri cerdas’, nama yang aneh memang tapi itu yang sebutan kakek untuk Tante. Senyuman itu kini membuat acara makan pagi semakin lama selesainya.
“huft, kenyang... sudah ah Tan, Aku mau ngrokok dulu. Oiya mana kopinya tan? Katanya bikinin aku kopi?” tanya Arta.
“Oh iya, sebentar,” jawab tante kemudian mengambilkan kopi untuk Arta.
Kletek...
“Ini kopinya sayang,” ucap tante berdiri disamping dengan senyuman yang...
Arta mengambil kopinya, didekatkannya di mulutnya.
“Eh, Ar.. tung...” cegahku tapi terlambat.
“Bwah... bwahh... buft buft... Tante!”
“hi hi hi...”
“Tante sengaja ya bikin kopi kasih garam?”
Tante tidak menjawab, dia terus tertawa. Sudah kuduga, dia mencampuri kopi itu dengan garam. Tak jauh beda yang dia lakukan ke kakek. Aneh memang, seorang wanita setengah baya mengerjai habis-habisan seorang pemuda. Kalau dulu wajarlah, gadis mengerjai kakek-kakek, lha ini haduh.
Arta langsung berdiri mendekati tante, tapi dia urungkan niatnya ketika tante memperlihatkan wajah judesnya. Sama, sama seperti dulu. Pemuda itu, dengan wajah kesalnya, langsung ke dapur dan membuat minuman sendiri sedangkan tante masih tertawa terpingkal-pingkal. Begitu pula Ana-Ani yang ikut menikmati makan pagi penuh keramaian ini.
“Baru kali ini lihat perempuan senang sekali kalau lihat orang susah, huh!”
“Kakak gak boleh marah, hayo...” ucap Ani.
“Iya, iya,” jawabnya kepada Ani.
“Oia mas, Aku ngopi dulu,” lanjutnya meminta izin kepadaku untuk ngopi.
“Iya Ar...” jawabku.
Arta berjalan ke arah kolam renang. Duduk bersila menghadap ke kolam, lalu menyulut sebatang rokoknya. Aku mengalihkan pandangan ke arah tante yang terus menatap pemuda itu. Ku lihat sorot matanya begitu bahagia, bahagia dengan sedikit haru.
Tante Intanian, wanita yang dulu pernah menjadi bagian keluarga ini dan sekarang pun masih menjadi bagian keluarga ini. Dia adalah peri yang paling disayangi kakek. Peri kecil yang selalu membuat hari-hari di rumah ini menjadi ramai. Beruntung aku masih melihatnya, sejak kabar kematiannya karena kapal yang membawanya dan juga omku, suaminya, aku sangat terpukul. Tapi ternyata semua itu hanya akal-akalan dari musuhku, musuh yang selama ini telah menahan Tante Nian. Dan sekarang, Tante harus dijaga, benar-benar dijaga.
“Kenapa Tan? Sama ya tan?” tanyaku memecah lamunannya, Tante kemudian menoleh ke arahku.
“Kamu juga sadar ya?” aku mengangguk.
“Oia, Ana-Ani berangkat dulu, kakakmu itu kelihatannya hari ini harus membolos dulu,” ucapku kepada Ana-Ani agar pembicaraan ini tidak di dengar oleh mereka berdua.
“Iya Mas!” jawab mereka berdua serentak.
Ana-Ani langsung berlari ke arah kakak laki-lakinya. Memeluknya dan memberi sedikit gangguan waktu santai pemuda itu. Senang sekali bisa melihat keceriaan Ana dan Ani, apalagi sekarang ada Tante disini. Ana dan Ani kemudian pergi meninggalkan Arta, pemuda itu masih duduk menikmati pemandangan kolam. Ah, jadi penasaran dengan apa yang terjadi semalam. Tante sendiri juga tidak menceritakannya secara detail, hanya menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, tapi yang jelas Arta sedikit lebih tenang jika dibandingkan dengan kejadian yang lalu.
“Iiih, tante segitunya liat Arta,” ucap Alma, tante hanya menjawab dengan sedikit senyum dan kembali melihat ke arah kolam.
“Seandainya kalian lihat semalam...”
“Memangnya kenapa Tan? Oh iya Tan, nanti Mas Jiwa mau kesini, tante jangan kemana-mana ya?”
“Iya, Lagian tante gak bakal keluar dari sini, kalau boleh.”
“Ya boleh lah Tan, dulu tante juuga tinggal disini.”
“Tapi tante harus bayar uang sewa kamar gak?” senyumnya mulai terlukis.
“Tanteeee tante... kalau tante sampai bayar, Kakek nanti yang marah sama aku.”
Terdengar sedikit tawanya, wajahnya begitu bahagia sekali. Kembali pandangannya beralih ke kolam renang. Alma yang duduk disampingku, menyenggol lenganku, menyuruhku untuk mengajak ngobrol tante.
“Pertanyaanku belum dijawab lho, Tan,” ucapku, tante menoleh ke arahku dan tersenyum. Menghela nafas panjangnya dan kemudian bersandar dengan pandangannya masih ke arah kolam.
“Semalam. Tatapan matanya. Cara dia bertindak. Cara dia memandang para lelaki yang didepannya. Sebuah refleksi masa muda seseorang. Benar-benar seperti sebuah cermin, hanya...” Kata tante yang membuatku penasaran, walau sebenarnya aku tidak begitu terkejut ketika mendengar kata-kata tante.
“Hanya?”
“Hanya sebagian dari masa muda seseorang itu, sebagian lain dari seseorang yang lain dan sebagian adalah dirinya sendiri. Perbedaannya...”
“Perbedaannya?”
“Dia belum bisa mengendalikan amarahnya, berbeda dengan dua orang sebelumnya. Di dalam dirinya ada dirinya sendiri yang terpenjara tapi sekali keluar, dirinya berubah. seandainya dia bisa mengendalikannya, mungkin dia akan memiliki dirinya sendiri.”
“Dia...” lanjut tante yang kembali tersenyum.
“Dialah yang akan menjaga kita, menjaga kamu...”
“Eh, maksudnya?”
“Ini keyakinan sang peri. Kamu tahu kan apa yang akan di katakan seseorang kalau mendengar kata peri?” aku tersenyum ketika mendengar kata-kata tante.
“Iya, tan... dia akan bilang ‘dasar peri sok tahu, tapi benar juga apa katamu’.”
“Hi hi hi... dasar kamu ya, berani ngatain tantemu sendiri seperti itu.”
“Eh, itu kan anu tan cuma niruin kali.”
Tante kembali tertawa keras, memecah sepi sesaat di ruang makan. Benar-benar terlihat bahagia sekali Tante ku ini. Alma langsung bersandar di bahuku, terdengar tawanya yang sedikit terkekeh.
“Oia Raga, bilang sama Masmu itu ya, kalau kesini sekalian sama istrinya,” ucap tante yang bangkit dari duduknya.
“Kenapa Tan?”
“Biar kalau tante ngobrol bisa lama, ada banyak yang ingin tante bicarakan.”
“Banyak?”
“Iya, tentang seseorang yang ada disana. Seseorang yang sangat berbahaya menurut Tante, kalian harus berhati-hati.”
“Eh, berbahaya?”
“Sudahlah, nanti malam kita bicarakan. Tante pengen ngegoda cowok ganteng itu dulu hi hi hi.”
“Eh, se-sebentar tan...”
“Daaaah.”
“Sudah sayang, nanti malam kan juga bisa. Biarkan tante bahagia dulu hi hi hi,” ucap istriku.
“Iya benar juga, hmmm...”
Tante berjalan dengan langkah seperti ketika masih gadis dulu. Melangkah mengendap-endap, pastinya mau mengangetkan Arta. Begitu bahagia sekali Tante, harapanku hanya satu dengan kehadiran Tante disini adalah awal dari kebahagiaan yang abadi bagi keluarga ini.
“Terakhir aku lihat tante bahagia adalah ketika menikah dengan om, tapi sekarang kelihatannya dia kembali bahagia,” ucap istriku, membuyarkan lamunanku.
“Iya sayang.”
“Gak mau introgasi Arta?”
“Sudahlah, kalau ditanya nanti dia bingung, lagian dia sedang bersama Tante.”
“Katanya semalam penasaran, sayang.”
“Nanti malam saja sayang dan kita juga bisa tanya ke Ana, kan? Ana lebih tahu detailnya. Kalau Arta, kelihatannya dia akan lebih banyak diam.”
Istriku tersenyum, kemudian kami meninggalkan meja makan lalu memberi salam kepada dua orang yang sedang bertengkar di dekat kolam renang. Kelihatannya Arta sangat terganggu tapi tidak bisa apa-apa, sudahlah, lebih baik aku segera pergi ke kantor. Aku dan istriku berangkat ke kantor. Ku biarkan mereka berdua, membiarkan sang peri mengenang masa lalunya. Masa lalu yang terulang kembali. Didalam mobil, Alma bersandar di bahuku. Menikmati perjalanan pagi ini, pagi yang memberikan kebahagiaan.
Dia seperti prajurit,
tapi bagiku dia adalah keluarga
Aku harap dia selalu ada disini
Karena aku memang membutuhkannya
untuk menjaga keutuhan
keutuhan keluarga yang telah dibangun
olehnya
...
Tapi,
Siapa orang yang sangat berbahaya?
Siapa?