Kuliaaaah....
Yiihaa! saatnya berangkat. Dengan Varitem! Saatnya berangkat kuliah. Tanpa pikir panjang, dan tanpa melihat jadwal kembali. Aku berangkat ke kampus dengan amat sangat semangat. Ku pacu Varitem dengan santai, karena waktu masih pagi sekali. Jam 06.00 aku berangkat dari kontrakan. Biasanya kuliah masuk jam setengah delapan jadinya aku santai. Setiap rombel memiliki jadwal yang sudah ditentukan, sesuai dengan prodi (program studi) masing-masing.
Eh, tapi bener ndak ya hari ini jadwalnya jam setengah delapan bathinku. Saat mengendarai Varitem.
Ah masa bodoh, yang penting berangkat dulu. Nanti di cek lagi pas sudah sampai di parkiran kampus. Yang penting sekarang berangkat, dan harus jadi diri sendiri. Bodoh amat dengan cara bercanda orang kota, akan aku tunjukan bagaimana aku sebenarnya. Aiiiisssssh, rasanya kok deg-degan ya? ha ha ha...
Sesampai parkiran kampus.
Kuampreeet! Jam 10 baru kuliah! Ah, celes tenan! Kenapa tadi tidak cek dulu. Belum ada jam 7 pisan. Cempe! gerutuku di parkiran kampus. Ketika tahu salah jadwal kuliah. Beberapa mahasiswa memandangku aneh. Bodoh amat, amat aja ndak bodoh.
Aku berjalan cepat menuju kantin. Semoga saja ada yang sudah buka, jadi aku masih bisa merasakan nikmatnya kopi dipagi hari. Kampus sudah sedikit ramai, mungkin ada beberapa rombel yang mula kuliah jam setengah delapan pagi. Beberapa diantara mereka ada yang terburu-buru, ada juga yang tidak. Segera aku melangkah ke kantin kampus dan sialnya, belum buka. Tapi ada yang sudah buka pintunya, sedikit.
Bu... ucapku diambang pintu kampus. Kantin kampus di buat seperti pujasera. Dengan beberapa warung makan.
Yo... piye? (Ya... bagaimana?) jawab ibu kantin yang membelakangiku. Wedew, kayaknya ibunya dari daerah tengah atau timur ini
Bu, saged pesen kopi bu. Di bungkus mawon. (Bu, bisa pesen kopi. Di bungkus saja) ucapku. Ibu kantin langsun berbalik
Lho, eh, maaf mas tak kira yang ngater belanjaan
Bisa mas jawab Ibu kantin
Masnya dari tengah juga to? tanya Ibu kantin sembari membuatkan aku kopi
Iya bu, tengah ketimur bu jawabku
Ealah, nek aku tengah pas mas. Eh, mas, Esuk-esuk kok wes pesen kopi? Lali ngopi po? (ealah, kalau saya tengah pas mas. Eh, mas, pagi-pagi kok sudah pesan kopi? Apa lupa ngopi?) tanya Ibu kantin
Salah jadwal bu, lha supe kulo bu, jadwale mboten kulo tingali riyin (Lha lupa saya bu, jadwalnya tidak saya lihat dulu) jawabku
ha ha, dasar masnya itu lucu. Besok-besok kalau makan disini saja. Nanti tak korting, sama-sama perantauan. Jarang ada mahasiswa yang dari tengah dan ndak malu pake bahasa sendiri. ya? pokoknya makannya disini saja, Ibu itu juga kangen ngomong pake bahasa daerah, mumpung ada temennya jelas Ibu
Asek, gih bu, siap
pokoke (Pokoknya) jawabku
Dah ini gratis, besok tapi bayar ucap Ibu sembari menyerahkan kopi
Wasek, makasih gih, I lop yu pull pokoke bu ucapku
Wes tuwek kok di ai lop yu, ai lop yu leee le (Sudah tua kok di ai lop yu, ai lop yu naaak nak) balas Ibu kantin
Ya, dulu di desa gitu bu kalau sama Ibu warung he he he jawabku
Halah, ya sudah, Ibu tak masak dulu lagi lanjutnya
Aku mengiyakan kemudian melangkah keluar warung, menuju ke lantai dua gedung dimana aku sering mengikuti perkuliahan disana. Ada beberapa kelas tidak terisi, tapi aku malas ke kelas kosong. Dari lantai dua, aku naik ke lantai tiga. Tempat dimana dulu aku melihat Helena dan Kristian. Haduh, ternyata semuanya sedang dipakai setelah aku sampai di lantai tiga. Ada sih beberapa mahasiswa yang masih berada diluar kelas. Juga yang sudah terdengar suara bapak-bapak keras sekali, sudah mulai kuliah mungkin. Karena aku yakin itu suara Dosen.
Eh, iya ini tangganya, aku belum pernah naik sampai atap bathinku
Aku naik ke atas. Tepat di anak terakhir, terdapat sebuah pintu. Ku buka, dan wow, ternyata enak buat nongkrong. Hampir sama dengan atap rumah sakit. Di atap gedung ada bapak-bapak sedang membereskan triplek, kayu, terpal dan cat.
Pak, mau diapakan? tanyaku
Mau dibawa kebawah mas, disini ngotor-ngotori jawabnya
Hm...
Pak, dibuat rumah-rumahan saja pak disini. Biar kalau siang bisa buat tempat berteduh lanjutku
Lha masnya mau buat? Ya silahkan. Lagi pula, jarang ada mahasiswa yang mau nongkrong di atap gedung mas balasnya
Saya buatnya pak, siapa tahu bisa jadi tempat untuk berteduh balasku
Aku dibantu dengan bapaknya membuat tempat berteduh. Dan ditempatkan disamping pintu masuk atap gedung. Jadi bisa sandaran di tembok samping pintu masuk. tingginya kira-kira cuma dua meter. Atapnya triplek, di tutupi dengan terpal. Sebenarnya ndak perlu triplek di atapnya, tapi kata bapaknya daripada menggantung kebawah.
Tepat jam 8.00, pekerjaan selesai. Bapaknya turun dan aku berteduh di bawah rumah-rumahan kecil. Menikmati semilir angin pagi dan sebatang dunhill. Ah, masih sama rasanya, walau sudah berganti-ganti bungkus. Cita rasa dunhill tetap sama. Apalagi rasanya semakin kuat ketika aku menyeruput kopi dalam plastik. Wait kafi. Hmmm... nikmat.
Semilir angin... membuatku semakin terhanyut dalam kantuk... kopi dalam plastik sudah habis, rokok juga sudah aku hisap. dan... aku terlelap dalam pagi yang cerah ini.
.
.
.
ugh...
Seger banget... enak banget tidur sambil nunggu kuliah aku terbangun
Eh, kuliah?! aku terperanjat
Segera aku raih sematponku. 10.00. Aduh, sialan, kenapa bisa ketiduran! Aku segera bangkit dan berlari. Sialnya juga, aku lupa melihat ruang kuliahku. Dari awal kelasnya selalu berpindah, tapi tak pernah pindah dari lantai dua. Aku segera turun ke lantai dua tanpa mengecek lantai tiga. Sialnya lagi, tidak ada teman-temanku. Ke lantai satu. Aduh, kampret! Ini pasti dilantai tiga.
Aku segera naik kembali ke lantai tiga. Dan ternyata ada di ruang kelas dimana aku melihat Helena dan Tian. Tepat di depan pintu kelas, aku membungkuk dengan kedua tanganku berada di lututku.
hosh... hosh... hosh...
Per... hosh... misi.... hosh... bu... hosh... ucapku sembari mencoba berdiri tegak. Nafasku terengah-engah.
Ya, silahkan masuk ucap bu Anglin.
Aku masuk ke kelas. Semua mata melihatku. Aku tetap fokus pada bu Anglin yang duduk di meja dosen.
Bu, masih boleh ikut kuliah? tanyaku
Anda? Siapa? tanya bu Anglin
Eh, a-anu, bu... Arta jawabku
Arta? bu Anglin Heran, sedikit kaca matanya diturunkan dan serius melihatku
Kok beda? tanyanya
Yang penting saya Arta bu, Arta Byantara Agasthya, bu jelasku
Gak culun lagi? Jadi dulu kamuflase kamu? tanyanya
Iya bu, dia itu bunglon! teriak Andrew, suaranya sangat ku kenal. Aku menoleh ke arahnya dengan memperlihatkan wajah geramku.
Ndak begitu bu, dulu saya disuruh Andrew bu. Andrew mengancam saya langsung aku menjawab sekenanya
Benar Andrew? tanya bu ANglin
Woi, seenaknya saja kamu, Ar. Teriak Andrew
Gak bu, Arta itu yang memang bunglon protes Andrew
Ya sudah sana duduk, kuliah mau Ibu mulai ucap Bu Anglin. Cantik, putih lagi.
Aku melangkah ke arah Andrew. Dia tersenyum kepadaku, memandangku dengan tangan bersedekap. Ketika jarakku semakin mendekat, satu tangannya terbuka dan melebar ke arahku. Dan...
Tos...
Aku melewatinya. Sebuah tos yang selama ini belum pernah aku lakukan. Di belakang Andrew ada teman-teman yang lain. Sedangkan yang paling belakang adalah Desy, disamping kirinya Dina, Winda dan Dini. Sedangkan di belakangnya masih ada sederet bangku kosong yang tersisa. Aku melempar senyum ke arah Desy tapi nahas, tak ada balasan. Aku duduk dibelakang Desy.
Iiiih, ganteng deh ucap Dina yang membalikan tubuh. Dengan bolpoin berada dibibirnya.
Jelek Na.. jawabku
Dibilang ganteng gak mau, dasar balasnya
Iya, ganteng jawabku
Kepedean balasnya, sembari memandangku sinis dan kembali memandang ke depan. Dasar ini cewek suka banget memutar kata.
Kalau aku ndak ganteng, berarti kamu juga ndak cantik Na.. balasku tak mau kalah
Apa kamu bilang?! sedikit dia membentak dan membalikkan badannya. Tak ada respon dari Dini, Winda, dan Desy.
Kalau kamu cantik berartikan aku ganteng Na, biar sehati gitu jawabku datar
Langsung ketiga perempuan disamping Dina menoleh kebelakang. Memandangku aneh, seperti melihat Alien. Mata mereka berempat menelanjangiku, untung saja ndak bener-bener telanjang.
PEDE! ucap mereka setengah berteriak ke arahku.
Wedew balasku
Itu apa? kok rame banget dibelakang? tanya bu Anglin
Arta bu, kepedean jawab Dina
Artaaaaa... berdiri ucap bu Anglin
Ya, Bu Siap! aku langsung berdiri
Ngapain kamu sama Dina? Pacaran? tanya Bu Anglin
Mmm... anu bu, ndak jadi bu. Ditolak bu saya, Dina maunya sama yang suka pegang kamera. Katanya bu jawabku sekenanya
Arta! Apa-apaan sih kamu?! bisik Dina setengah membentak. Aku Cuma melet ke arah Dina.
Benar Dina? tanya bu Anglin
Arta ngaco bu, dia emang bunglon jawab Dina
ya sudah, Arta duduk lagi. Kamu itu sudah masuknya telat, bikin gara-gara saja! ucap bu Anglin.
Aku mrenges saja, kemudian duduk. Satu cubitan tepat di tanganku. Satu cubitan dari Dina. Kecil sekali pula. Sakit! Sesat kemudian kuliah dimulai. Aku duduk dibelakang, membungkuk diatas meja kecil kursiku. Rasanya masih ngantuk. Mungkin efek naik turun tangga tadi. Dari belakang aku mendengarkan penjelasaan dari Bu Anglin yang menjelaskan dengan menggunakan proyektor. Saat teman-temanku mencatat, aku juga ikut mencatat.
Bu Anglin. Dosen yang paling nyaman dengan kelasku. Beliau selalu dekat dengan kelas kami. Sejak awal memang bu Anglin yang paling bisa diajak bercanda. Paham benar dengan kelasku. Penjelasannya memang sedikit rumit tapi bisa aku mengerti. Dibandingkan dengan dosen lain, masih mending bu Anglin. Dosen perempuan dengan suara keras, membuat semua selalu menaruh perhatian pada apa yang dia jelaskan.
Coba, siapa yang bisa mengerjakan soal didepan? Kalau ada yang bisa, kuliah akan dicukupkan. Kalau tidak ada yang bisa, mengikuti waktu normal jelas bu Anglin yang kemudian duduk di kursi dosen.
Si Bunglon bu, katanya bisa celtuk Andrew keras, sesaat kemudian
Wew, kapan aku bilang seperti itu? ucapku dari belakang
Lha tadi katanya bisa. Dasar bunglon! celetuk Andrew lagi
Arta bisa? tanya bu Anglin
Saya coba, kalau tidak bisa berarti saya harus belajar lebih banyak lagi sama Andrew bu. Karena ini jawaban dari Andrew ucapku dengan percaya diri berdiri dan melangkah maju
Bunglon! jangan bawa-bawa namaku! protes Andrew
Aku tidak menjawab protes Andrew. dan tetap berjalan maju menuju papan tulis putih. Kuambil spidol dari meja bu Anglin dan mulai mengerjakan. Sebenarnya ndak mudeng juga, tapi rada-rada ingat dengan buku yang pernah aku baca. Aku menuliskan jawabanku hingga satu papan tulis penuh dengan tulisanku. Karena tidak cukup, aku kemudian ke meja bu Anglin untuk meminta kertas dan meminjam bolpoin. Ku tuliskan lanjutan jawabanku di meja bu Anglin. Bu Anglin memperhatikanku ketika menulis
ini bu, papan tulisnya tidak cukup jelasku
Iya, silahkan duduk perintahnya. Dan aku kembal ke tempatku duduk
Dasar bunglon! ejek Andrew
Tepat disamping Andrew, aku tekan lehernya hingga dia membungkuk.
Halo Helena godaku
I-iya Ar jawab Helena
Si-sial, lepasin... dasar curut! kedua tangan Andrew meraih tanganku.
Aku melepaskannya dan langsung berjalan cepat ke tempat dudukku. Andrew membalikan tubuhnya dan mengepalkan tangannya ke arahku. Aku pura-pura melihat ke arah yang lain.
Andrew, Arta, kalau kalian ribut lagi. Kalian berdua yang akan tinggal dikelas hingga waktu normal habis sedangkan teman-teman kalian keluar kelas! hardik bu Anglin
I-Iya bu jawab kami serentak
Terlihat teman-teman kami hanya menggelengkan kepala.
ya, jawaban Arta benar. Silahkan dicatat dan lanjutannya di kertas ini. Ibu tunggu ucap bu Anglin
Beberapa saat kemudian...
Sudah? tanya Bu Anglin
Sudah bu jawab kami serempak
Okay class, see you tomorrow lanjut bu Anglin, sembari berdiri
Yes, Mam jawab kami serempak
Sesaat setelah Bu Anglin keluar,
ARTAAA! teriak Dina yang kemudian meraih tanganku
A-ada apa Na? ada apa? aku kaget ketika tangank ditarik dan pipiku dicubit keras sekali
Aaaahh... aaahh Na, sakiiiit kedua tanganku mencoba melepas cubitan Dina
Woi, Curut! Berani-beraninya kamu menggoda yayangku ucap Andrew
Ah, lepas juga, sakit tahu Na. Protesku
Salah sendiri Dina melengos
Woi, curut! Denger apa tidak? bentak Andrew dari depan
Hai Helena ucap dengan tangan men-dadahi-nya
Hai Arta jawab Helena
Adeeeemmmm... balasku
Kampret lu curut! ucap Andrew melempar sepatunya ke arahku
Aku segera menghindar. Ku ambil sepatu Andrew dan ku bawa lari. Andrew mengejarku dan aku terus menghindar. Terus berlarian dan tertawa terbahak-bahak. Andrew berteriak-teriak ke arahku untuk mengembalikan sepatunya. Masa bodoh.
PRAAAK...
Aduh... aku kesakitan, buku teks seukuran buku tulis dengan tebal ratusan halaman mengenai punggungku
Ambilin bukuku! perintah Dini
Andrew yang datang kemudian langsung merebut Sepatunya. Aku mengambil buku hasil lemparan Dini. Ugh, sakit sekali, tebal lagi bukunya. Segera aku ambil dan kuberikan kepada Dini. Matanya mendelik tajam. Menakutkan sekali. Dengan kasar dia mengambil bukunya dari tanganku dan kemudian berlalu. Aku kembai duduk di bangkuku, membungkuk di atas meja kecil kursiku.
Sukurin lu, makanya jadi orang jangan rese ledek Andrew. Aku masih membungkuk dan mengelus punggungku
Aaaar, Ar... hadeeeh... kamu itu, datang-datang sudah bikin ulah saja ucap Johan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku sedikit mengangkat kepalaku dan meliriknya.
Sakit Jo balasku
Dah, ayo ke kantin, makan ajak Johan
Nanti aku susul jawabku sembari membungkuk dan mengangkat tanganku.
Datang-datang, banyak tingkah ucap Desy lirih.
Sedikit aku mengangkat tanganku, kulihat dia melangkah menjauh. Beberapa temanku yang lain, juga meledekku. Ah, mungkin aku yang terlalu banyak tingkah. Masa bodoh, This is me. Dan tak akan ada lagi Arta culun, mau dibilang banyak tingkah, bodoh amat. Dulu aku juga tukang buat ribut di kelas.
Aku kembali duduk dan bersandar pada sandaran kursiku. Memandang isi kelas. Berubah dan kembali menjadi diriku seperti dulu, bukan berarti harus menjadi lelaki yang berbeda. aku menjadi diriku sendiri, karena memang aku nyaman dengan yang akulakukan sekarang. Mau dibilang banyak tingkah, lha mau bagaimana lagi? Apa aku harus jadi pendiam? Ndak, ndak mau akunya.
Setelah beberapa menit dikelas. Aku bangkit dari dudukku. Udara dingin masih terasa. Langkahku lebih ringan daripada dahulu. Di luar kelas, mungkin aku tampak asing untuk beberapa mahasiswa yang pernah melihatku. Beberapa temanku yang tidak berada pada saat kejadian pun, kadang memandangku aneh. Aku tetap menyapa siapapun yang aku kenal. Tak peduli mereka merasa aneh dengan penampilanku. This is me.
Woi... makan gak lu?! teriak Andrew yang berdiri dari bangku kantin. Melambaikan tangan ke arahku ketika langkahku semakin dekat ke kantin
Ya, nanti aku pesan sendiri balasku, berteriak. Andrew membalas dengan mengacungkan jempolnya.
Tepat ketika Andrew berjalan menuju ke salah satu warung. Aku langsung berlari dan mendekati kumpulan teman-temanku. Komposisi masih sama dengan yang berada di perkemahan. Meja persegi panjang, Johan dan Burhan membelakangiku. Samping kiri, Irfan, Dinda, Dini, Dina. Samping kanan meja, Tyas, Salma, Desy, Helena, kosong. Karena Andrew memesan makanan.
Sebenarnya ada satu bangku kosong lagi di sebelah Dina, tapi aku duduk tepat disebelah Helena.
Halo Helenaaaaa... ucapku keras, sengaja, agar Andrew mendengarnya.
Halo Artaaaa jawab Helena
Woi, Curut! Kenapa lu ganggu cewek gue?! teriak Andrew, aku tidak menoleh. Tetap memandang Helena dengan raut mukaku yang bercandaku.
Argghh... aduh... aduh, sakit Ndrew aku dicekik dengan lengan Andrew
Kampret, dari tadi pagi, lu godain cewek gue mulu bentak Andrew
Erghh... uuuuuh... aku terlepas dari pitingan Andrew. Membalik badan.
Mana buktinya kalau Helena cewek kamu? weeek jawabku sembari menjulurkan lidah
Argh!
Andrew geram, melepaskan sebuah jitakan tapi aku bisa menghindarinya. Terjadi kejar-kejaran kembali. Entah mengapa aku suka sekali membuat temanku ini jengkel. Mungkin efek dari kemiripan dia dengan Andri, yang dulu sering aku jadikan bahan ejekan. Aku memutari kumpulan teman-temank. Seperti anak TK. Teman-teman yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah kami.
Arta!
Aku berhenti tepat diujung meja. Menoleh ke arah Dini.
BRUGHH..
Argh...sakiittt... buku yang sama, mengenai wajahku dan yang paling aku rasa sakit dihidungku. Aku langsung berjongkok menutup wajahku
TAAAK...
Augh... sebuah jitakan dari Andrew
Makanya jangan suka banyak tingkah! ucap Andrew
Aku melihat ke arah Dini. Ku ambil bukunya yang berada dilantai dan kuletakan di atas meja. Dina mengambilnya, wajahnya sedikit jengkel tapi geli melihat apa yang terjadi padaku. Diserahkannya buku itu kembali ke Dini. Wajah Dini, wew, seram sekali.
Kita di Univ bukan TK. Tenang dikit! Mau makan saja banyak tingkah! bentak Dini
Iya... iya... aku pesan makanan dulu ucapku sambil bangkit sembari mengelus hidungku. Sakit sekali.
Ketika berjalan mendekati warung Ibu kantin yang tadi pagi aku datangi. Tiga orang sedang berjalan ke arahku. Mereka menunduk. Garis bekas luka masih terlihat diwajah mereka sebelum mereka menunduk. Aku diam berdiri, bergeser kesamping memberi mereka jalan. Tak ada pertemuan mata diantara kami berempat. Mereka melewatiku. Aku membalik badan dan memandang mereka.
Mas... panggilku
Mereka berhenti sejenak, tanpa menoleh.
Kalau jalan lihat jalan mas, nanti nabrak ucapku
Tak ada jawaban dari mereka. Mereka kembali berjalan dan tetap menunduk. Aku berkata seperti itu tidak tanpa alasan. Di depan mereka ada sekumpulan mahasiswi yang berjalan ke arah mereka. Dan benar kan apa yang aku katakan. Mereka saling bertabrakan. Beberapa jitakan dan omelan pun mereka dapatkan. Dibilangin ndak percaya ya sudah.
BREGH...
Ketika aku melihat ke arah bagian bawahku. Sepatu Andrew. Aku melihat kearah Andrew. Matanya mendelik dengan gerakan mulut yang mengatakan GILA ke arahku. Aku hanya tersenyum, dan menjulurkan lidahku ke arahnya. Beberapa temanku hanya memandangku sambil geleng-geleng kepala.
Aku kembali melangkah menuju ke warung. Satu lemparan lagi mengenai kakiku. Andrew lagi yang melempar. Ku ambil sepasang sepatu Andrew dan membawanya menuju kantin. Di kantin Ibunya yang tadi pagi, aku pesan makanan dengan porsi istimewa. Setelah mendapatkan sepiring makanan istimewa, aku letakan sepatu di dalam warung. Ku katakan kepada Ibu kantin kalau ada yang mau mengambil sepatu ini, harus bayar. Dengan sedikit candaan dan Ibu kantin tahu maksudku.
Aku kembali, duduk disebelah Dina.
Buset, makan apa makan itu? tanya Johan
Habis nguli jo, nyapu, ngepel, bangun rumah, jaga kandang jawabku
Nyapu di tempat festival ya? tanya Dina, aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. Sedikit terkejut ketika mendengar hal itu tapi aku tetap mencoba memasag wajah santaiku.
Butuh tukang bersih-bersih Na..? tanyaku santai
Iya butuh tapi bukan bunglon ejeknya. Aku cuma menjawab dengan juluran lidahku
Ada juga kayanya yang di mesin ATM celetuk Desy. Eh, aku semakin dibuat bingung dengan kesadaran mereka tentang keadiranku. Tetap tenang, tenang dan tenang.
Mau jaga di hati kamu, takut ada yang marah Des jawabku selengekan
Majuta dulu, tapi cuma satu detik jawab Desy
Wedew, majuta cuma 1 detik, mending buat buka usaha jawabku, sambil menjulurkan lidah
Eh, ini apa sih? Aku bingung? Nyapu fetival, ATM, sebenenya ada apa? tanya Dinda
Dindaaaa, ndak usah dipikir ntar sakit lho, maem dulu saja jawabku, kulihat Irfan mengepalkan tangan ke arahku. Wew...
Semua terdiam. Sedikit jitakan dikepalaku dari Dina. Ah, ternyata mereka sadar kalau yang sempat mereka dekati adalah aku. Tanpa memandangku mereka tetap makan. Aku tak mau membalas, lebih baik konsentrasi pada makananku. Berdoa dan makan.
Ar, sepatuku mana?! tanya Andrew, aku menjawab pertanyaannya sambil mengunyah. Mmenggunakan isyarat gerakan kepala, Aku menunjukan ke arah warung ibu kantin
Kampret! Bawa kesini sekalia napa?! aku jawab dengan gelengan kepalaku. Namanya makan ya makan, ndak boleh ngomong, he he he.
Dasar lu! kesal Andrew
Aku tertawa tertahan ketika makan. Dia melangkah ke arah warung. Mampus! Bakalan di kerjai habis-habisan sama bu kantin. Benar kan, ketika aku melihat ke arah warung, terlihat Andrew memandangku kesal. Mampus kamu, mampus! Aku selesaikan makanku.
Eh, Ar, itu Mas Andrew kok kelihatan berdebat sama ibunya warung? tanya Helena
Nyamm... mitu... ndak tahum... glek.. aku ucapku sembari mengunyah makanan
Selang beberapa saat, Andrew datang dengan wajah kesal.
TAAAK...
Auch... aku elus kepalaku
Kampret, yang makan elu, kenapa gue yang harus bayar?! bentak Andrew
Lha, tadi kan... kamu lempar sepatu ke aku? aku kira sepatu itu untuk aku, ya aku jual sama bu kantin. Makanya aku dapat porsi istimewa jawabku polos
Sedikit perdebatan. Helena melerai. Tapi namanya aku terus membuat Andrew kesal dan kesal. Yang jelas, dia tahu kalau aku bercanda dengannya. Teman-teman yang lain juga ikut tertawa karena ulah kami berdua. Mereka terlihat sedikit aneh, belum pernah ada orang yang bisa mengimbangi Andrew kalau bercanda. Dina kadang menjewerku untuk berhenti berdebat.
Sit suiti sirkuiiiit... drrrrt...
Suara khas notifikasi pesan watsapku. Ana dan Ani, dari dalam group. Aku ambil sematponku dari dalam saku. Tepat ketika aku melihat. Andrew merebutnya dan berdiri di ujung meja. Sempat dia ingin berteriak, mengejekku, tapi dengan cepat aku membelakangi teman-temanku dan menyilangkan jari. Tatapan mataku sedikit tajam. Andrew seakan tahu maksdku dan diam. Kembali menyerahkan sematponku.
Dari siapa Ndrew, kok gak jadi? tanya Tyas
Dari cowok, kellihatannya Arta sekarang doyan cowok Yas jawab Andrew sekenanya
Arta, beneran Ar? tanya Tyas
Dia cemburu saja, dia suka sama aku Yas. Pacaran sama Helena kan Cuma kamuflase jawabku
Apa beneran Ar? tanya Helena
Tanya sama Andrew Len jawabku
Curut! Ngomong seenaknya saja aku masih doyan cewek, kampret! jawab Andrew
Hiks hiks hiks... ternyata mas selama ini hiks hiks hiks canda Helena, dengan mimik menangis
Enggak adik, enggaaaaak... Arta bohong rayu Andrew
Sudah... sudah, Helena, kamu malah ikut-ikutan oon kaya Arta sama Andrew sih? Dah ni mau kuliah cepetan ucap Dini
Namanya juga pacarnya Andrew, Din. Kalau banyak diemnya ntar kalah rame dunk jawab Helena
Kami bertiga tertawa, diikuti dengan yang lainnya. Beberapa temanku menggelengkan kepala, masih heran dengan sikapku selama satu hari ini. Jelas saja, Johan, Irfan dan Burhan saja sampai terdiam. Biasanya mereka juga rame, kecuali Burhan yang banyak diamnya disamping Salma. Kami kemudian saling bertukar PIN BBM dan watsapp.
Saatnya untuk kembali ke kelas. Bersama kami menuju ke kelas. Aku berada ditengah-tengah, dibelakangku ada Dini dan Desy, depanku semua teman-temanku, sedangkan disampingku Andrew.
Siapa tadi? bisiknya
Napa? Mau kamu pacarin? jawabku berbisik
Setdah, gak. Helena cukup, penasaran saja jawabnya berbisik, sembari merangkulku
Adik angkat jawabku berbisik
Kenapa harus dirahasiakan? tanyanya
Ada hal yang tidak perlu di publikasikan, suatu saat kamu akan mengerti, Ndrew jawabku
Andrew tampak biasa saja, menjawab dengan bahu naik, bibir melengkung kebawah. Kemudian dia meninggalkan aku, mendekati Helena. Memang dasarnya aku tidak ingin mereka semua tahu tentang Ana dan Ani. Sekedar berjaga-jaga, agar mereka tidak tertarik kedalam lingkaran yang sudah aku masuki.
Aku menoleh ke belakang, berhenti sejenak.
Mau aku bawain Din, tas sama bukunya? tawarku. Dini memandangku dengan tatapan aneh,
Ngapain bawa-bawain tas gue? Mau pedekate? jawabnya
Ya sudah, kalau tidak mau jawabku
Nih... dia menyerahkan tas dan bukunya. Dan aku membawanya, berjalan disamping Dini. tatapan mata Desy sedikit aneh kalau aku lihat. Sesekali dia memperlambat langkahnya hanya sekedar untuk menjulurkan lidah. Dasar aneh, aku balas dengan juluran lidah juga.
Cewek pemarah, biasanya kalau dimanjain dikit bisa jadi kalem. Bukan maksud untuk pedekate sama ini cewek. Kalau nanti aku bercanda lagi sama Andrew, pasti buku ini melayang. Dan aku tidak ingin kejadian yang sama terjadi, sakit woi. He he he.
Mengikuti kuliah hingga sore hari. Tak ada canda lagi dalam kuliah siang ini. Maklum, Dosennya kelihatannya tidak bersahabat ditambah lagi baru ketemu di semester ini. Sang dosen hanya membaca buku selama menerangkan materinya, membuat bosan dan menambah rasa lelah. Ngantuk.
Setelah selesai kuliah. Di tempat parkir, teman-temanku menggodaku. Maklum, motor bekas yang aku bawa membuat mereka mengejek perubahanku. Mungkin kalau aku bawa mobil bisa jadi lebih heboh. Tapi tidaklah, bisa-bisa kesita semuanya sama mbak Arlena. Ndak mau terjadi bemper penyok lagi.
Kami berpisah, aku kendarai roda dua ku ini, Varitem. Menuju ke fakultas ke olah ragaan, mencari dua orang yang sudah lama tak kutemui. Sebatang Dunhill berada di himpitan jari tangan kiri ku, tertelan angin dan juga hisapan bibirku. Rasanya sama, tak ada yang beda. Mungkin lebih nikmat jika aku menghisapnya ketika duduk.
Didepan gerbang fakultas aku menunggu. Duduk sendirian di atas Varitem. Jadwal mereka, aku tidak tahu. Kesibukan mereka aku juga tidak tahu. Tak pernah aku mengirimkan pesan kepada mereka, walau hanya sekedar menanyakan kabar. Dua batang habis tertelan paru-paruku. Aku sudah bosan menunggu, mungkin ada baiknya aku kirimkan pesan. Tepat ketika aku bersiap untuk pulang.
Tin tiiiiin...
Aku menoleh ke sumber suara. Dua mobil sedan, yang depan hitam dan yang belakang merah, dengan kaca depan terbuka pelan. Dua orang dari dalam mobil yang berbeda, samo dan Justi, melambaikan tangan ke arahku. Samo, dengan isyarat jempol ke bibir, mengajakku untuk duduk sejenak, ngopi. Mobil kemudian berjalan, aku mengikuti mereka dari belakang. Hingga akhirnya kami berhenti di sebuah kedai kopi. Jujur saja, aku sedikit tidak nyaman, terlalu formal.
Cari tempat lain saja ucapku
Sini aja, enak kok, bebas ngrokok jawab Samo
Iya, Ar, enak disini lanjut Justi
Mau bagaimana lagi. Mereka sudah menetapkan. Sedikit aneh ketika aku mendengar mereka berbicara. Tak lagi Ndeso seperti aku. Bahkan, ketika aku berbicara dengan menggunakan bahasa daerah, mereka menjawab dengan menggunakan bahasa kota. Aku ingin mengatakan ketidak nyamanan yang aku rasakan. Tapi kelihatannya, ada sebuah tembok diantara kami. Perbedaan yang sangat menonjol.
Aku tetap dengan logat ndesoku, sedangkan mereka berbeda. Tak ada percakapan yang membuat heboh diantara kami. Padahal biasanya, selalu saja ada yang bisa membuat kami tertawa keras. Tapi sekarang, tidak ada. Semuanya berjalan datar, semua kata-kata terlihat halus. Meluncur bagaikan seorang eksekutif. Ketika merokok pun, mereka tak seperti biasanya. Sebatang sudah cukup, tak seperti dulu, siapa cepat habis dia bisa merokok kembali.
Ah, berbeda...
Kapan kalian ke kontrakan lagi?? tanyaku
Wah, maaf saja nih Ar, kayaknya bakalan jarang ujar samo yang bersandar pada mobilnya dengan pintu depan terbuka
Iya Ar, sibuk ini, biasa ngurusi yayang jawab Justi
He he... ya sudah, kalau mau main, main saja ke kontrakan jawabku
Iya, kapan-kapan ya? ucap Samo, memasuki mobilnya begitu pula dengan Justi
Mobil berputar, berhenti sejenak didepanku. Pintu kaca depan terbuka.
Aku duluan ya. kapan-kapan kita ngopi lagi, kalau sempat ucap Samo, aku mengangguk dan tersenyum sembari mengacungkan jempol. Samo kemudian melaju, berganti mobil Justi.
Ar, aku duluan. Bye bro! ucap Justi dan kemudian melaju
Aku memandang dari kejauhan dua mobil itu melaju. Ah, semua sudah berubah. Begitu pula aku benarkah semua akan menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda. Kota yang merubah mereka, atau kehidupan kota yang telah merubah mereka. Tak sama, walau tubuh mereka masih sama. Tak sama, walau nama mereka masih sama. Kalian telah berubah, aku harap bukan aku yang merubah kalian.
Jika kalian berdua tahu, aku ingin kalian segera kembali ke kontrakan. Menyeduh kopi hitam dan duduk bersama didepan kontrakan. Bercerita tentang sesuatu yang tidak perlu. Bercerita tentang omong kosong yan tak berujung. Membicarakan orang dan berharap orang itu tersedak ketika minum. Tertawa lepas, hingga para tetangga keluar mengepalkan tangannya ke arah kita. Tidur bertiga, dengan samo sebagai bantalnya. Seandainya...
Seandainya kalian tahu....
Aku selalu berharap, akan ada tiga orang yang tak pernah lelah untuk tertawa bersama....
Ku kendarai Varitem. Menuju rumahku, bisa jadi gudangku saking parahnya rumah itu kalau gak dibersihkan. Bertegur sapa dengan angin yang mulai dingin. Bertemu dengan tiang-tiang lampu yang mulai memancarkan terang. Berteman dengan mentari yang mulai malas untuk bersinar. Ah, nanti setelah sampai kontrakan aku masih bisa bercengkrama dengan mbak serta adik-adikku, bahkan ainun sekaligus. Lewat BBN dan watsap pasti hehehe.