Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Kemungkinan poligami sangat besar ini,
:pandaketawa:

Next chapter Ada gebuk gebukan nya ya masta,,,
:haha:
 
Wah... blm update kah suhu?? penasaran nih gmn kelakuan winda.. sama ekspresi cemburu nya ainun...
 
baru sempet baca latest update
keren seperti biasanya suhu DH :jempol:
untuk next apdet, bisa lah kasih SS winda-arta kan momennya udah pas tuh :pandaketawa:
 
Scene 7
Mungkinkah Dia?



Winda shirina ardeliana


Ainun ... ...

Kutepuk jidatku.

“Hadeh, Kenapa winda bisa tidur sampingku?”

Ternyata pelukan yang kusangkakan dari ibu tadi itu adalah Winda. Hufth, lebih baik aku bangunkan daripada nanti dia sadar dan menamparku seperti kejadian bersama Desy. tapi setelah aku lihat, wajahnya nyenyak sekali. Ketika tidur pun dia tetap terlihat bahagia. eh, kenapa dia malah senyum-senyum sendiri.

“Eh, empuk,” bathinku.

Ah, sial. Aku salah fokus lagi. Pakaian yang dikenakannya terlalu rendah dan memperlihatkan lipatan payudaranya. Apalagi posisi dia yang mepet ketubuhku, membuat payudara tergencet, seakan mau lepas dari sarangnya.

Kembali aku melihat ke arah berlawanan dengan posisinya. Kenapa setelah aku menjadi diriku, pikiranku semakin mesum seperti ini. aku mencoba menenangkan pikiranku kembali. Meraih sematpon dan melihat jam di sematponku. 03.30. ah, sudah saatnya untuk bangun. Padahal baru saja aku tertidur dan sekarang sudah pagi lagi.

“Wind... Windaaaa.”

Kugoyang tubuhnya pelan. Kuulang hingga beberapa kali agar dia bangun tapi hasilnya nihil. Bingung. Daripada membangunkannya lebih baik mencoba lepas darinya sekarang. Pelan aku ambil guling dibelakang tubuhnya. Dengan hati-hati kuangkat tangan Winda yang memeluk tubuhku. Beberapa kali aku mencoba lepas dari pelukannya tapi gagal.

“Ah, kenapa setiap bergerak, dia pelukannya semakin erat? coba lagi...” bathinku.

Sreeet..

“Fyuuuuh... akhirnya,” ucapku pelan setelah aku berhasil mengganti tubuhku dengan guling.

Kumasukan sematpon ke dalam saku. Bangkit dan berjalan menuju dapur. Membuat segelas teh hangat, untungnya ada persediaan teh celup. Setelah teh hangat jadi, kututup gelas tersebut dan kubawa menuju pintu keluar kamar kos Winda.

Klek...

“Gitu ya, Winda gak dibangunin, gak dibuat teh juga... hoaaaammmmhhh...” ucap Winda tiba-tiba.

“Eh...” aku berbalik.

“He he he... dari tadi dibangungin ndak bangun,” jawabku.

Wajahnya layu dengan kesan manja yang sangat mendominasi. Wajahnya membuatku ingin tertawa tapi aku tahan, apalagi ditambah dengan rambut yang acak-acakan. Aku mendekatinya dan meletakan teh hangat yang baru saja aku buat. Ku kucek rambutnya sebentar kemudian aku membuat satu gelas lagi.

Sesaat kemudian, aku mengajaknya duduk di depan kamar kos, sekedar untuk melewati pagi hari ini. Awalnya dia menolak, karena udara pagi terlalu dingin, tapi akhirnya mau juga. Dengan syarat, aku membawakan tehnya. Manjanyaaa.

Di depan kamar kos aku duduk dengannya dipisahkan oleh dua gelas teh hangat.

“Nih tehnya,” ucapku, sembari meletakkan teh di tengah-tengah.

“Deketin bibir, males buka slimut, dingin. Tiupin sekalian...” pintanya, sedikit manja, sedikit judes.

Hmm... tiga. Ada tiga jika ditambah yang didesa jadi empat. Sudah tiga perempuan di kota ini yang memintaku melakukan hal yang sama seperti yang Ibu minta kepadaku. Bedanya cuma satu, perempuan ini lebih manja. Layaknya seorang ratu, dia ingin gelas itu selalu ada didekat bibirnya tanpa harus memegangnya.

“Sudah Wind, anget kan?” tanyaku, dia mengangguk. Kini giliranku menyeruput teh hangat.

“Dingin...” lirihnya.

Sedikit ada sesuatu dalam pikirannya. Sedikit aneh menurutku.

“Kenapa?” tanyaku lembut, dia menggelengkan kepala.

Aku letakan gelas disamping gelasnya. Ketika hendak mengeluarkan Dunhill...

“Winda gak suka asepnya,” ucapnya, tanpa menoleh sedikitpun.

Tanpa membantahnya, aku langsung bangkit dan berpindah dipagar tralis, tepat didepannya. Menghalangi pandangannya, karena aku tahu ada sesuatu yang masih berkecamuk didalam pikirannya. Aku duduk diatas pagar tralis, dengan jarak 4 buah ubin keramik. Dunhill kunyalakan, kubuang asap kebelakangku, dan posisi rokok ada dibelakang tubuh.

“Marah ndak dibangunin tadi?” aku mencoba menebak. Dia menoleh dan melihatku. Kepalanya sedikit mengangguk.

“Maaaaf, tadi kelihatan nyenyak sekali,” jelasku.

“Gara-gara Arta bangun, Winda ikut bangun. Sebel! Padahal Winda masih ngantuk, diajak keluar lagi... kan dingin...” ujarnya sembari menarik selimutnya agar lebih merapat ketubuhnya.

Aku sedikit tertawa tertahan sesaat setelah mendengar jawabannya. Bukan hanya jawabannya tapi sikapnya juga. Ah, memang pantas jika perempuan ini dipanggil si manja. Dia kembali memandangku, memberi isyarat kepadaku jika dia ingin meminum teh hangat lagi. Aku kemudian matikan rokokku dan mendekatinya. Kembali aku mendekatkan minuman ke bibirnya. Setelahnya, dia memintaku untuk memindahkan gelas kesampingku. Tubuhnya bergeser mendekat ke tubuhku, kepalanya rebah di lenganku. Sudut mataku menangkap dia melihat kearah depan. Pandangan matanya kosong.

“Ar, boleh tanya?” tanyanya lirih.

“Silahkan” jawabku, dia bangkit menoleh ke arahku. Mata kami saling berpandangan dan dia tersenyum.

“Arta jawab jujur,” pintanya. aku hanya mengangguk.

“Kenapa Arta bisa ngomong tentang matahari dan bulan purnama saat di kantin. Apakah Arta tahu sesuatu tentang Ronald?” tanyanya.

Pertanyaannya membuatku terkejut dan salah tingkah. Terjadi kemelut dalam pikiranku. Bisa jadi dia marah kalau aku mengatakan sebenarnya, bisa jadi dia mengerti. Aku masih bingung untuk menjawabnya.

“Kok diem?” dia kembali bertanya.

Aku masih diam dengan tingkahku yang sering salah. Aku jadi berpikir, sekalipun aku menyembunyikan apa yang aku ketahui, suatu saat nanti Winda pasti akan mengetahuinya. Mungkin lebih baik, aku mengatakannya dengan jujur.

“Hufth... Iya,” jawabku,

“Terus?” tanpa memberiku jeda untuk bernafas.

“Iya sebentar... sebenarnya aku sudah tahu kelakuan Ronald diluar sana,” jawabku.

“Kenapa tidak memberitahukan ke Winda? Bukankah Winda temannya Arta?” kata-katanya datar.

“Karena...” aku menunduk.

“Kamu tidak mungkin percaya kalau aku yang mengatakannya. Sekalipun kita dekat sebagai teman. Belum tentu kamu mau mendengarkannya, Wind. Jika mungkin itu Desy, Dina atau Dini yang mengatakannya, kamu mungkin akan mempercayainya,” jelasku.

“Oh...” kembali dia menyandarkan kepalanya di lenganku.

“Kamu marah?” tanyaku, dia menggelengkan kepalanya.

“Kalau Winda ketiduran, angkat Winda pindahin ke kamar,” ucapnya.

Aku sedikit heran dengan sikap Winda yang tampak biasa-biasa saja. Mungkin dia sedang marah kepadaku tapi tidak dia tampakan.

“Marah?” tanyaku kembali.

“Tidak. Benar apa kata Arta, kalaupun Arta yang ngomong, Winda belum tentu percaya. Tapi, semua sudah jelas dan tak perlu lagi dibicarakan. Yang winda sayangi dan coba Winda pertahankan memang telah pergi, tapi orang yang selalu menyayangi Winda masih selalu bersama Winda. Benar kan, Ar?” ucapnya.

“Benar,” jawabku singkat.

“Temani Winda,” lirih dari bibirnya.

“Iya,” jawabku.

Aku memandang ke langit luas. Sejenak mengambil nafas panjang, kemudian menghembuskan perlahan.

“Kamu tahu Wind, terkadang kita merasa hidup kita tidak berarti bagi orang lain ketika semua kesusahan, kepahitan datang menyapa kita. Tapi, tahukah kamu Wind, ada orang yang hidupnya berarti hanya karena kehadiran kita. Bisa jadi kamu merasa seperti itu, tapi untuk sahabat-sahabatmu begitupula aku, kamu membuat kami semua berarti,” ucapku tiba-tiba dan tak pernah aku pikirkan sebelumnya.

Dia hanya menganggukkan kepala sembari menggoyang tubuhnya ke arahku. Aku dan dia saling melempar senyum. Kembali dia pada posisinya dan kami terdiam.

Langit yang kulihat meredup kegelapannya. Bergantikan warna biru terang pertanda surya mulai bangkit dari timur. Ku lihat wajahnya sudah tenang, nafasnya lebih teratur. Dengan hati-hati aku angkat tubuhnya dan kubaringkan di tempat tidurnya. Aku menyelimutinya kembali. Baru kemudian kembali ke tempatku tidur. Kuatur alarm agar tidak bangun terlalu siang.

“Ah, kenapa semua terjadi seperti ini. takdir atau memang kebetulan?” bathinku.

Mataku lelah dan mulai terlelap...

.
.
.

Aku terjaga dan Winda yang sudah duduk disampingku. Sudah ada makanan dan minuman didepannya. Kulihat jam disematpon menunjukan pukul 09.00, tapi mataku masih terasa berat. Aku bangun lalu merapikan selimut dan bantal. Aku kemudian duduk disampingnya. Masih terasa kaku bagiku, mungkin karena tema pembicaraan terakhir saat pagi tadi.

Dia sangat pendiam sekali pagi ini. Namun setelah aku mencoba membuka percakapan, suasana kembali mencair. Aku bisa bercanda dengannya, bahkan aku selalu memanggilnya dengan sebutan cewek habis putus. Bukannya galau atau bagaimana, dia malah marah dan ya, seperti itulah marah yang dalam suasana bercanda.

Aku senang melihatnya kembali tertawa. Aku dulu selalu berpikir dia adalah perempuan manja yang mungkin kalau mengalami masalah akan sulit untuk bangkit kembali. Tapi sekarang semua pandanganku berubah. Khusus untuk manjanya sih tidak bisa dihilangkan. Kenapa? karena aku merasakan bagaimana manjanya dia. Walaupun masih ada batas. Mungkin karena aku tidak seperti sahabat-sahabat perempuannya.

Tepat pukul 13.30, aku pamit pulang. Kukira dia akan melarangku, tapi ternyata tidak. Dengan syarat, janji yang kemarin aku sanggupi harus aku penuhi. Hadeh, menemaninya. Entah dalam konteks apa sebenarnya kata ‘menemani’ itu.

“Ar...” ucapnya ketika aku sudah bersiap dan berada didepan pintu kamarnya.

“Ya?”

“Don’t change too much,” ucapnya dengan senyum mengembang.

“Maksudnya?”

“Arta memang berubah, tapi jangan berlebihan. Jangan sering buat Dini marah ya. Kasihan kalau Arta dilempari buku terus sama Dini, nanti kalau pas hidung dan keluar darah, susah berhentinya.”

“Eh... i-iya.”

Sesaat aku terdiam. Namun Winda menyadarkan aku dari lamunanku, menyuruhku untuk segera pulang agar bisa istirahat lagi di kontrakan. Aku dan dia berjalan menuju tempat parkirnya, dia mengantarkan aku dengan iringan ‘siulan’ dari teman-teman kosnya. Dia tampak cuek tapi terlihat sangat bahagia.

“Arta..” ucapnya lirih, ketika aku sudah siap diatas motor.

“Ada apa Wind?” tanyaku.

“Arta suka air terjun?” tanyanya, aku semakin heran dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“I-iya suka. Dulu di desa ada air terjun dan aku sering kesana, dari kecil malahan. Sampai-sampai Ibuku kalau mencariku ya di air terjun itu,” jawabku.

“Oh, ya.”

Hanya itu tanggapannya. Aneh kan.

“Kenapa Wind?” aku berbalik bertanya

“Sudah, Arta cepat pulang istirahat. Nanti kalau sudah sampai kontrakan, kabari Winda ya,” ucapnya.

Aku mengangguk, dan kemudian aku menjalankan Varitemku meninggalkan rumah kos si manja. Dalam perjalanan pulang, bayangan semua percakapan Winda masih ada dalam pikiranku. Bagaimana tidak? Dan yang paling membuatku penasaran adalah pertanyaan-pertanyaannya yang tiba-tiba saja muncul di luar konteks pembicaraan. Ah, masa bodohlah, aku malah bingung. Hufth, wanita adalah sebuah misteri yang sangat sulit untuk dipecahkan.

Dengan mata sedikit ngantuk, akhirnya aku sampai di gang masuk kompleks. Entah berapa lama aku berada diatas motorku, tapi yang jelas lama. Karena aku menjalankannya dengan pelan-pelan, takut kalau tiba-tiba ketiduran diatas motor. Warna langit sudah sedikit kuning, pertanda sore hari. Berarti aku memang benar-benar terlalu pelan mengendarai motorku. Tepat diperempatan, kulihat ibu-ibu sedang berkumpul. dan...

“Eh, mas Arta, baru pulang kuliah mas?” sapa seorang Ibu tetanggaku membuatku menghentikan motorku

“I-iya bu, dari kampus. Cuma tidak ada kuliah, ada kegiatan” jawabku. Mataku terus terutuju pada salah seorang wanita disana, Ainun.

Setelah tegur sapa dengan ibu-ibu dan juga Ainun, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang ke kontrakan. Ku masukan motorku, membuat teh hangat dan kemudian duduk diatas tempat tidurku. Kusulut dunhill dan menikmati hangatnya teh.

Sitsuiti sirkuit. watsapp. Ainun.

Kegiatan dikampus apa di kos cewek?

Kan marah kan? Kemarin aku sudah bilang to

To.. to... to..
Main, ntar malem.

Jam berapa?


Ada pak RT?


Iya, iya jangan marah to


Iya, ntar malam main

Aku benar-benar bingung sendiri dengan yang namanya perempuan. akhirnya aku memutuskan sendiri untuk ke rumahnya jam 9 malam. Masa bodoh, kalaupun nanti ada pak RT disana tinggal bilang mau kasih file saja, terus, tadi ketiduran. Kalau ditanya kenapa tidak besok hari minggu, berarti aku jawab, minggu pagi mau pergi. Beres. Alibi yang sempurna.

Ah, sudah... saatnya tidur...

.
.
.

Jam 7 malam. Aku masih ragu untuk melangkah kerumahnya. Satu tanda centang pada aplikasi pesan instan. Membuatku malah bingung, kalau keluar saat ini juga tidak mungkin. Kondisi di rumahnya saja, aku tidak tahu sama sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu dengan segelas kopi dan juga dunhill di dalam kamar kos. Menunggu hingga jarum pendek tepat di angka 9.

Tepat di jam 9 malam. Aku memutuskan untuk ke rumah pak RT, atau lebih tepanya Ainun. Benar-benar merasakan diri sebagai maling. Jalanan kompleks, setiap rumah sudah mulai tampak sepi. Mungkin jam 9 adalah awal bagi mereka untuk tidur bisa juga untuk memantabkan keadaan anak mereka jika sudah terlelap. Ini memberiku jalan nyaman menuju ke rumah.

Tepat didepan rumah Ainun. Sepi. Lampu dalam rumah sudah mati. Pelan aku membuka pintu gerbang, kemudian berjalan mendekati pintu. Tepat didepan pintu rumah, aku bingung. Antara ingin mengetuk pintu atau langsung membukannya. Jelas, aku tidak tahu keadaan didalam sana.

“Ngapain berdiri didepan pintu?” aku terkejut ketika mendengar suara perempuan dari belakangku. Ketika hendak menoleh kebelakang.

“Arrrghhhh... sakit sakit, nun,” rintihku.

“Salah siapa?! Suruh main, malah gak main-main?!” ucapnya geram dengan cubitan super kerasnya di pinggangku.

“Le-lepasin.. sa-sakit nun, sakit,” rintihku, satu tanganku meremas tangannya.

“Huh!” dengusnya.

Berjalan mendorong tubuhku kesamping dan langsung membuka pintu. Aku mengikutinya dan masuk. Dia kemudian duduk dengan tangan memangku wajahnya, diikuti aku yang duduk disalah satu kursi. Wajahnya langsung melengos, melempar jauh dari wajahku. Aku mendekatinya dan duduk disebelahnya. Aku saja tidak tahu sejak kapan dia berada diluar menungguku, dan bodohnya aku juga tidak menyadari keberadaanya di luar tadi.

“Pintu tutup dulu!” ucapnya ketus.

Aku kembali berdiri dan menutup pintu. Ketika aku berbalik, tempat yang sebelumnya aku duduki sudah ada bantal. Pertanda aku tidak boleh duduk disampingnya. Aku tahu dia maah, tapi tak ada kabar mengenai kondisi rumahnya, jelas aku tidak berani bertindak. Aku mendekatinya, menggeser meja menjauh darinya, kemudian duduk tepat didepannya.

Setiap Ainun membuang muka, kugeser posisi duduk hingga ada di hadapannya. Berapa kali pun dia melakukan, aku juga mengikutinya. Selama itu pula dia terus diam tak mengucapkan satu kata. Aku terus melakukan kesiengan ini sampai dia merasa jenuh dan marah. Toh lebih baik marah dengan membentak daripada marah tapi tidak ada suara.

“Cerita!” ucapnya sedikit keras, ketika dia sudah lelah membuang pandangannya dariku.

Aku menceritakan kepadanya, walaupun aku sebenarnya tidak habis pikir kenapa bisa sebegitu gampangnya bercerita ke dia. Bukan siapa-siapa tapi bisa jadi karena kejadian-kejadian yang telah terjadi diantara aku dan dia. Nyaman? Iya! Tapi kemarin pas ngobrol dengan Winda juga lepas sekali. Ah, masa bodohlah. Dasar wanita!

“Empuk ya?” tanyanya sedikit menjebak.

Bibirnya tersenyum. Aku memundurkan tubuh dan aku menggeleng, kemudian mengangguk, menggeleng kembali.

“Seneng ya?” tanyanya kembali. Aku cuma diam saja, duduk bersila di depannya.

“Kok diem?” kembali dia bertanya.

Tiba-tiba tubuhnya sedikit bangkit. Kedua tangannya meraih pipiku. Menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku bisa merasakan jengkelnya walau wajahnya tersenyum. Aku tetap diam megikuti alur kedua tangannya mempermainkan pipiku.

“Heghh...” tiba-tiba tubuhnya meluncur dan memelukku, hingga aku ambruk ke belakang. Kedua tangannya memeluk leherku. Kepalanya rebah diatas dadaku.

“Masa bodoh... aku tidak peduli... disini kamu denganku.”

Dia bangkit dan menatap wajahku dengan senyumannya. Sesaat kemudian dia menggeser tubuhnya, dan hendak berdiri. Entah keberanian dari mana, aku langsung memeluk perutnya. Merebahkan kepalaku di punggungnya.

“Jangan marah Nun,” ucapku lirih.

“Kenapa? gak boleh?” tanyanya sembari melepaskan pelukanku.

“Eh, i-itu...” aku bingung ketika dia melepaskan pelukanku.

Dia berbalik. Mendorongku hingga aku kembali berada di lantai. Wajahnya tersenyum di depan wajahku. Pelan bibirnya menyentuh bibirku. Lidahnya mulai sedikit menyapu bagian bibirku. Nafasku bertambah cepat. Kedua tangan melingkar ditubuhnya. Kutarik lebih erat, logikaku sudah tak mampu membatasi nafsuku. Aku benar-benar rindu.

Tangannya pelan turun, elusan lembut di bagian selangkangan. Wajahnya terangkat, senyumnya mengembang. Aku tangkap wajahnya dengan kedua tanganku. Ibu jariku mengelus lembut pipinya. Dikecupnya bibirku, dengan sekali kecupan.

“Kangen sama kamu,” ucapku lirih.

“Aku enggak,” jawabnya tapi tak senada dengan bibirnya yang kembali menempel di bibirku.

Tanganku menelusup di antara kerudung dan kaosnya. Empuk dan hangat kurasa ketika meremas satu payudaranya. Aku semakin larut dalam pergulatan ini. Tangannya sudah begitu hafal dengan bagian bawah sana. Pinggulku ku angkat, membantu untuk melepas celana serta celana dalam.

Bibirnya lepas digantikan jari telunjuk yang menyilang di bibirku. Wajahnya beringsut menghilang dari pandanganku.

“Egh...”

Elusan sangat lembut dengan menggunakan ujung-ujung jarinya. Aku memejamkan mataku, menikmati setiap elusan lembutnya.

“Enak sayang?” tanyanya dengan jari telunjuk masih menyilang di bibir.

Aku mengangguk pelan. Terdengar suara tawanya yang lirih dan tertahan. Ingin aku melihat kebawah sana, tapi jari telunjuknya menekan sehingga aku tak bisa mengangkat kepalaku. Perlahan jarinya, turun menelusuri dagu, leher hingga dada kemudian tak kurasakan lagi elusan jarinya.

“Cup...” terdengar suara kecupan.

Aku merasakan sapuan hangat di batang kemaluanku. Hanya pada bagian kepalanya saja, sama seperti ketika aku dan dia berada dalam kamar mandi kontrakan. Satu tangannya pelan menarik tanganku, aku bangkit dan duduk. Melihat Ainun yang sedang mengulum, dengan pandangan mata ke arahku. Matanya menyempit, memperlihatkan dia tersenyum ke arahku.

Aku tersenyum dan menahan nikmat, tanganku kemudian mengelus kepalanya yang masih bertutup kerudung. Tiba-tiba dengan cepat dia menaik turunkan kepalanya, membuatku sedikit mendesah, dan diakhiri dengan sedotan kuat pada batang kemaluanku.

Plup...

Dengan posisi bertumpu dengan kedua tangannya, Ainun melihatku dengan mata sayu. Nafasnya terengah-engah. Ku tarik tubuhnya dan ku peluk dengan erat, ku daratkan ciumanku di leher yang berbalur kerudung. Tangannya memelukku, mengelus punggungku. Kedua tanganku masuk ke balik kerudungnya, meremas payudara yang masih terbungkus.

“Yang kuathhh...” rintihnya disela remasanku.

Tanganku turun, menarik kaos yang dikenakannya hingga dia melepas pelukanku. Didepanku terpampang payudaranya yang tertutup. Mata kami bertemu, dia tersenyum. Menarik kealaku dengan kedua tangannya, bibir kami kembali bertemu. Matanya terpejam, aku menikmatinya. Kedua tanganku mula menarik ke atas penutup payudaranya. Kuremas dan kumainkan. Di sisi lain satu tangannya turun dan memainkan batang kemaluanku.

Tangan lainnya menuntun tanganku turun kebawah. Melingkar pinggangnya. Melepaskan pengait roknya. Ainun mengangkat tubuhnya dengan masih berciuman. Melepas rok dan juga celana dalamnya. Ciuman kami lepas, dia duduk sedikit menjauh, melebarkan kedua kakinya. Tangannya meraih tanganku dan meletakannya di atas vaginanya. Tubuhku maju, dibarengi dengan tarikan kuat tangannya. Kedua wajahku ditangkap oleh kedua tangannya dan berbisik.

“Mainin punya Ainun pakai lidah Arta,” ucapnya lembut.

Aku terkejut, baru kali ini suaranya terdengar manja. Pelan kedua tangannya menekan pundakku, membuatku semakin turun melewati pemandangan dua gunung indahnya. Tepat di depan vaginanya. Pemandangan yang aneh bagiku, melihat vaginanya yang ditumbuhi rambut tipis. Tangannya berpindah di belakang kepalaku dan menekannya. Aku sedikit menolak.

“Cepeeeet jangan dilihatin terus, malu yang,” pintanya dengan nada manja.

Dengan instingku, aku menjulurkan lidahku. Mengikuti naluriku, walau sebelumnya aku sama sekali belum pernah melakukannya. Lidahku mulai menyapu bagian luar vaginanya, dari atas kebawah. Desahannya terdengar, semakin lama semakin terdengar keras ditelingaku.

“Yah... itu yanghhh...” ucapnya ketika lidahku tepat berada di biji kecil.

Semula aku heran, tapi aku tetap meneruskannya. Kedua tangannya menjabak rambutku, membuatku melihat ke arah wajahnya. Matanya terpejam, bibir bawahnya digigit, tubuhnya sedikit rebah kebelakang dan bersandar pada kursi. Desahannya terdengar tertahan, mungkin kalau saja ini bukan dirumahnya, suara desahanya sangat keras.

“Sudah yanghhh... hasshhh hashhh...” tiba-tiba saja kedua tangannya mendorong bahuku. Aku bangkit, duduk bersimpuh.

“Kenapmmmmhhhhh....”

Tak sempat aku menyelesaikan pertanyaanku, kedua tangannya meraih kepalaku dan langsung bibirnya melumat bibirku. Aku terkejut, namun kemudian aku meberikan respon bibirnya. Bibir kami saling beradu, tangannya turun menarik kaos bagian bawah sebagai isyarat agar pinggulku lebih maju lagi.

“Masukin yanghhh hashh hashhh...” kata-katanya dalam desah, wajahnya terlihat seperti dikuasi oleh keinginan yang sudah tak terbendung.

Pelan aku memajukan pinggulku, tangannya membimbing penisku untuk mendekati vaginanya. Perlahan, ujung penisku merasakan sesuatu yang basah, mungkin air liurku tapi makin masuk kedalam terasa hangat. Aku selalu melihat wajahnya, matanya terpejam seakan menikmati benda asing masuk kedalam tubuhnya. Baru ujung penis tapi dia terlihat sedikit kesakitan.

“Pelanhhhhh.....”

Satu tangannya menahan dadaku. Memberi isyarat agar tidak terlalu keras ketika menekan. Aku pun menurut saja. Menekan pelan hingga semua batang penisku masuk ke dalam vaginanya. Tepat semua sudah berada dalam vaginanya, spontan pinggulku mulai memompa. Kedua tangannya berada disamping tubuhnya, menahan tubuhnya agar tidak ambruk ke kursi lagi. Aku semakin cepat memompa.

“Ahhh... yangghhhh.... sayaaanghhhhh mmmmhhh...” desahnya.

Aku semakin cepat memompa hingga kaos yang sebelumnya terbuka menutupi kembali payudara indahnya. Perasaan nikmat, nyaman membuatku hilang kendali. Pompaanku semakin cepat, semakin liar. Pinggulku seakan tidak ingin berhenti dan terus memompa penisku keluar masuk kedalam vaginannya.

“Ahhh... sayanghhhh...mmmmhhh terussshhh... sedikit lagihhh...” rintihnya.

Aku semakin cepat, dan ku hentakan dengan kasar.

“Aaaaaaaaaahhhhhhhh....” desah panjangnya disertai dengan lengkingan tubuhnya.

Dugh...

Tepat ketika tubuhnya melengking, kepalanya menengadah keatas dan menghantam kursi dibelakangnya. Kedua tanganku langsung meraih tubuhnya, memangkunya dengan penis masih berada didalam vaginanya. Kupeluk dan kuelus kepala bagian belakangnya. Nafasnya terengah-engah, seakan tak peduli dengan benturan keras dikepalanya. Aku memeluk dan mencium lehernya.

Sebuah gigitan mendarat di telingaku, sebelum dia berkata

“Sakithhh...” terdengar sedikit isak tangisnya.

“Aduh, iya maaf... kebawa suasana yang.”

“Pindah kamar yang... sakit semua” pintanya manja.

“Iya...” jawabku.

Aku mencoba menariknya, dan mendudukannya di lantai.

“Jangan dilepaaaaas... enak dimasuki punya sayang,” lagi-lagi terdengar suara manjanya.

“Eh, lha terus ke kamarnya,”

"Ya digendong sayang, engggg....” kepalaku dipeluknya

Kuhela nafas panjang, baru kali ini aku mendapatinya suaranya begitu manja. Kuangkat tubuhnya dengan satu tangan menopang pantat dan satu tangan melingkar di tubuhnya. Ah, benar-benar rasanya luar biasa rasanya ketika aku membopongnya ke kamar. Rasanya penisku seperti di... ah entah apa istilahnya.

Aku naik ke ranjang. Ketika hendak kurebahkan dia terus memelukku. Aku kembali duduk dan dia diatas pangkuanku. Bibir kami kembali bertemu. Kaosku ditariknya ke atas, hingga kini aku sudah tak ada lagi yang menutupi tubuhku. Dengan senyuman menggoda, dia melepas kerudung, juga kaosnya. Kini kami berdua telanjang.

Perlahan, kedua tangannya mendorong bahuku hingga rebah. Kedua tangannya berpindah di dadaku dan dia mulai menggerakan pinggulnya, naik, turun. Bibir bawahnya digigit, matanya sedikit terpejam, terdengar suara erangan tertahan dari bibirnya. Aku merasakan penisku seperti ditekuk-tekuk, dan terasa sedikit nyeri. Tapi, entah kenapa dia seperti merasa nikmat sekali.

“Emmmhh...” desahnya yang tertahan.

Mulutnya terbuka, gerakan pinggulnya semakin lama semakin cepat. Aku meraih payudaranya yang seakan ingin jatuh. Meremasnya, memainkannya. Suara desahannya yang tertahan kini semakin terdengar jelas. Kepalanya bergerak tak terkendali.

“Ahhh... sayangghhhh... erghhhh... dalem bangethhhh.... mmmmmhhh”

Kedua tangannya sudah tak dapat lagi menoapng tubuhnya. Ambruk, memeluk kepalaku. tanganku masih meremas keua payudaranya. Bibir kami bertemu diiringi gerakan pinggulnya yang semakin liar.

“Arghh... sayangmmmhhhh...”

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh....”

“Eghh... eghhh...”

Tubuhnya mengejang beberapa kali. aku tak sanggup berkata-kata, hanya diam. Sedikit nyeri di penisku ketika dia berada diatasku. Nafasnya tersengal, kemudian diam tanpa tenaga. Seperti orang yang baru saja berolah raga, dia menghela nafas yang panjang.

“Yang, belum hash... kerasa mau keluar?” tanyanya, sambil mengangkat wajahnya diatas wajahku. Aku menggeleng.

“Terserah kamu yang, Ainun sudah gak kuat. Tapi jangan lama-lama ya yang.... sakit,” ucapnya.

“Eh...” entah kenapa setiap kali dia mengatakan hal itu aku malah merasa harus segera mengeluarkan isi dalam penisku. Penisku seakan terasa lebih peka, atau bisa dibilang kulit penisku lebih sensitif.

“Iya...” jawabku yang kemudia tersenyum, mengecup bibirnya.

Aku mengangkat tubuhnya, kubaringkan. Aku berada di atasnya dengan penis masih tertanam didalam vaginanya. Kedua tangannya menggenggam pipiku. Senyum kami saling berbalas. Bibirku mendekat dan disambut hangat oleh bibir tipisnya. Saling melumat, seakan tak ingin lepas. Pinggulku mulai bergoyang pelan.

“Erghh... yang pelan yang, jangan keras-keras... gede tahu,” sedikit candanya.

“Nyatanya muat yang,” jawabku selengekan.

“Eng...” ah, manja sekali perempuan ini.

Aku melumat bibirnya kembali. Pinggulku kembali berayun, penisku menghujam berkali-kali vaginanya. Kepalanya mendongak ke atas, bibirnya terbuka. Keda tanganku bergeser kesamping tubuhnya, menopang tubuh yang sedang bergoyang menikmati surga dunia. Dahinya mengrenyit, kedua tangannya berpindah ke atas kepalanya. Mencengkram bantal dibawah kepalanya. Bibirnya tertutup dan bagia bawah bibirnya digigitnya.

Tiba-tiba dia memeluk leherku...

“Yanghhh... erghhh... cepethhh dikeluarinhhh...” rintihnya.

Aku memeluk tubuh mungil didepanku, bibirku menikmati lehernya. pinggulku semakin cepat. Kulitku terasa lebih senditif setelah aku mendengar kata-katanya. Semakin cepat aku menggoyang pinggulku, kedua kakinya mencoba menghentikan goyangan pinggulku. Tapi, nafsu telah menguasaiku, tak bisa dihentikan.

“Agghhh... nuuuunnnhhhhh...” rintihku.

“Ya sayanghhh keluarkan sayanghhh...”

Sekali hentakan keras, ujung penisku menghantam sesuatu didalam vaginanya. Pelukannya menajdi semakin erat. Sangat erat. Tubuhnya hendak melengking, tapi tertahan pelukanku. Aku mengejang beberapa kali, membuat sedikit hentakan didalam vaginanya.

Lama kami masih dalam posisi yang sama. Setelah aku merasa dia telah tenang, kuangkat wajahku. kusentuhkan keningku dikeningnya. Aku tersenyum. Sedikit dia membuka mata dan membalas senyumanku, dengan nafas yang sedikit tersengal. Bibirku mengecup lembut beberapa kali bibirnya, hingga bibirnya seakan memta lebih dan kami pun saling melumat.

“Yanghh... berat...” lirih disela ciuman kami.

Aku menggeser tubuh, memeluknya dari samping. Lenganku menutupi sebagian dadanya, bibirku tak henti-hentinya mengecup keningnya, dengan jari-jariku memainkan rambutnya. Entah, aku senang sekali dengan wanita berambut panjang. Hingga akhirnya dia memiringkan tubuhnya kearahku. Masuk kedalam peluaknku. Kupeluk dan kuelus lembut rambutnya. Kukecup lembut keningnya.

Cup... kurasakan sebuah kecupan di dadaku dan juga ujung jarinya bermain-main di dadaku.

“Manjanya....” ucapku lirih.

“Auchhh...” rintihku, ketika gigitan kecil aku rasakan didadaku.

Tanpa merasa bersalah dia langsung masuk lagi kedalam pelukanku.

“Ainun tahu, Ainun lebih tua darimu. Arta pasti memandang Ainun sebagai wanita dewasa yang selalu bisa mendewasaimu. Tapi, seorang wanita juga kadang lelah untuk selalu kuat dan bersikap dewasa dihadapan lelakinya..eh, seorang lelaki. Kadang dia juga butuh untuk dimanja... walau sejenak itu sudah bisa membuat seorang wanita bertambah lebih kuat lagi...” lirih.

“Peluk... Ainun ingin bobo, ingin lelahnya diobati sama Arta,” lirihnya.

“Iya sayaaaaang... cup,” jawabku sembari memberikan kecupan di keningnya.

Akhirnya semua larut dalam lelah. Larut dalam malam yang telah memberikan lelah. Entah apa yang sebenarnya aku lakukan, benar atau tidak, tapi aku sudah masuk terlalu dalam. Jikapun keluar... tidak, aku tidak ingin meninggalkannya, aku ingin selalu bersamanya.

Malam mengambil kesadaranku. Tanganku lemas untuk memeluknya, mengelusnya. Aku terlelap dalam tidurku.


---------------------​

Di sebuah kos, setelah seorang perempuan cantik, mungil, dan centil serta manja, mengantarkan seorang teman lelakinya pulang. Dia tetap berdiri hingga dia tidak lagi melihat motor sang lelaki tersebut. Bibirnya tersenyum, dengan kedua tangan berada dibelakang tubuh. Berjinjit kemudian berdiri tegak. Wajahnya memerah. Dia kemudian memutar tubuhnya, memegang kedua pipi dengan tangannya.

Dia berjalan sangat riang, sampai-sampai teman-teman kosnya sangat heran dengan tingkahnya. Tpai dia tetap cuek, tidak menghiraukannya. Hanya menjulurkan lidahnya sebagai tanda canda kepada teman-temannya. Hingga akhirnya langkanya terhenti karena sebuah putung rokok putih dengan huruf D pada lis merah filternya. Dia menunduk dan mengambilnya, kemudian melangkah lagi, masuk ke dalam kamar.

Dimasukan putung rokok itu dalam sebuah buku diary. Buku yang selama ini menceritakan kisah hidupnya. Dia mengambilnya di sela buku-buku kuliahnya yang tertata rapi di rak kayu penuh ukiran. Diselipkannya putung rokok itu dibagian belakang buku, dan kemudian membuka diary pada halaman pertama. Diambilnya sebuah anyaman yang sudah lusuh. Mungkin anyaman yang sudah sangat lama sekali, mungkin pula berumur belasan tahun. Sambil berjalan menuju tempat tidur, dia membandingkan anyaman itu dengan anyaman yang baru dia dapatkan kemarin.

“Sama bentuknya... hanya yang sekarang lebih rapi, mungkinkah itu kamu.” lirih dari bibir merah jambu. Dia kemudian duduk di tempat tidurnya.

Senyumnya kembali mengembang. Ditutup kembali, halaman pertama dan dia membuka halaman yang masih kosong. Diletakan anyaman itu di halama kosong tersebut. dipandanginya sejenak dengan bibir yang tak henti-hentinya tersenyum. Diambilnya pulpen disela diary-nya, dengan riang dia menuliskan sebuah kalimat di halaman kosong tersebut. tepat di atas, anyaman yang dia letakan baru saja.

“Mungkinkah dia? Aku berharap, dia.”

Ditutup dengan pelan, seolah-olah tak ingin merusak bentuk anyaman yang ada didalamnya. Tubuhnya rebah, jatuh di atas tempat tidur. Matanya menyapu langit kamar dengan hiasan senyum pada bibirnya. Pikirannya kembali ke waktu yang baru saja dia lewatkan, hari kemarin.

“Terima kasih telah memberiku kesempatan mengenalmu. Walau sesaat, sudah memberiku sebuah pengalaman yang indah dan juga pahit. Aku pernah melukiskan tawa bahagia bersama asa, namun kamu menghapus semua itu dengan luka. Luka yang kau goreskan tapi... aku bahagia”

“Aku bahagia karena dengan bersamamu telah mengantarkan aku bertemu dengannya. Memang dia bukan siapa-siapa, tapi sudah cukup membuatku lebih bahagia ketika bersamamu, lebih bisa memahami rasa dan hidup. Walau ini baru awal, aku harap akan berakhir dengannya”

Tubuhnya miring, diletakannya diary itu tepat didepan wajahnya. Pelan dia membuka diary itu kembali tepat di halaman dimana anyaman yang baru dia dapatkan. Senyumnya terus mengembang. Sedikit tawa keluar dari bibirnya.

“Jika memang kehadiranku membuat hidup sahabat-sahabatku, keluarga sangat berarti. Tapi aku berharap, hidupmu sangat berarti ketika aku berada didekatmu”

Pelan mata yang bulat nan indah itu tertutup. Namun senyumnya tetap mengembang walaupun pada akhirnya, senyum itu terhapus karena rasa lelah. Rasa lelah yang membawanya menuju alam mimpi. Terlelap layaknya seorang putri dengan keanggunan, kecantikannya dan manjanya.
 
Maafkan nubie, masih belajar dengan tampilan baru he he he jadinya rada pusing juga he he...

banyak spasi enter yang melompat-lompat,

jika ada kritik dan saran, silahkan dilemparkan ke saya hu,


:ngupil:


:ngacir:
 
mantab suhu makasih updatenya

jangan lama lama next updatenya hu:Peace:
 
Maafkan nubie, masih belajar dengan tampilan baru he he he jadinya rada pusing juga he he...

banyak spasi enter yang melompat-lompat,

jika ada kritik dan saran, silahkan dilemparkan ke saya hu,


:ngupil:


:ngacir:

gg jadi double update nih suhu dono ?:pandapeace:
 
Bimabet
Maafkan nubie, masih belajar dengan tampilan baru he he he jadinya rada pusing juga he he...

banyak spasi enter yang melompat-lompat,

jika ada kritik dan saran, silahkan dilemparkan ke saya hu,


:ngupil:


:ngacir:

gg jadi double update nih suhu dono ?:pandapeace:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd