Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Scene 5
Mendung Tak Selalu Gelap



Winda shirina ardeliana

Sesampainya di kampus, ku usap air mataku. Ku rias kembali wajahku dengan make-up yang selalu tersedia di mobil. Kulakukan itu hanya untuk tetap terlilhat cantik, sekaligus menutupi kehancuran hatiku. Segera setelah wajahku kembali berseri palsu, aku melangkah keluar dari mobil dan langsung menuju ke kantin. Dimana Desy sudah menungguku disana.

Di kantin Desi, Dina, dan Dini sudah menunggu kedatanganku. Layaknya tak ada masalah apapun, kami bercanda, bergurau bersama sembari menunggu jam kuliah. Kali ini aku benar-benar tidak mau menunjukkan masalahku kepada mereka.

Tepat pukul 09.15, mereka menuju ke ruang kuliah. Dini dan Dina berjalan terlebih dahulu, sedangkan aku dan Desy berjalan bersama di belakang.

"Winda ada masalah?" tanya Desy, yang berajalan pelan bersamaku menuju ruang kuliah

"Eng-enggak... hepi gini kok dibilang ada masalah sih, mi?" jawabku kembali bertanya. Desy tersenyum ke arahku

"Winda..." panggilnya pelan

"Iya Umi," jawabku

"Umi sahabat Winda kan?" tanyanya, aku mengangguk.

"Berarti apapun yang terjadi, Winda harus sama Umi terus ya?" ucapnya.

Aku sedikit tertegun dan berhenti melangkah. Umi terus melangkah dan berada didepanku.

"Benerkan, Winda ada masalah," lanjut Desy yang berhenti melangkah dan sedikit membalikan badannya.

"Eng-enggak umi, dah yuk kuliah Mi," ucapku mencoba mencoba mengalihkan perhatian

Tepat ketika aku melangkah disampingnya. Lenganku sedikit ditarik dan mendekat ketubuhnya. Kecupan manis mendarat di pipiku. Aku menoleh ke arah Desy. Dia tersenyum dan menggandeng lenganku dengan lengannya. Membentuk huruf X jika dilihat dari depan. Aku melangkah seirama dengan langkahnya. Namun hatiku luluh lantak tak seirama dengan irama kepalsuanku.

Di dalam ruang kuliah. Aku duduk bersama mereka bertiga. Yang berbeda adalah Arta yang sudah tidak lagi duduk dibelakang kami. Mungkin karena tragedi buku kemarin itu yang membuat dia malas untuk duduk dibelakang kami. Ketika dosen datang dan mulai menerangkan, pikiranku tak bisa fokus ke mata kuliah yang diajarkan. Mengambang, melayang entah kemana. Sampai kuliah selesai pun, aku tidak mengerti apa yang diajarkan.

Dua kali mata kuliah dengan jeda istirahat dari jam 12 hingga jam 1 siang. Saat istirahat, aku lebih banyak tersenyum. Biasanya aku sibuk dengan sematponku tapi sekarang tidak. Ingin sekali aku bercerita, tapi aku harus bisa menyelesaikannya sendiri. Sampai mata kuliah kedua dimulai pun, aku tetap tak bisa memahami. Semua tampak kabur dalam pikiranku.

"Ya, sampai disini kuliah kita. Selamat sore dan selamat berlibur," ucap dosen menutup kuliah hari ini.

Semua mahasiswa berteriak girang, setelah dosen keluar dari kelas terlebih dahulu. Satu persatu mulai meninggalkan kelas. Mungkin mereka akan merayakan malam minggu ini dengan kekasih mereka. Aku, tidak aku ingin menyelesaikannya. Aku ingin dia kembali lagi bersamaku, bukan dengan si perempuan kampungan itu, ataupun dengan yang lain.

"Woi Ar, tumben cepet-cepet mau kemana lu?!" teriak Andrew ketika Arta melangkah keluar

"Mau nongkrong dulu," jawabnya

"Yaelah, kalo nongkrong ajak-ajak napa," balas Johan

"Bareng-bareng!" tambah Irfan

"Gila kalian, lubangnya aja cuma satu masa mau bareng-bareng! Lagian aku normal, kalau mau nongkrong di WC sama cewek daripada dengan kalian. Geblek!" balas Arta

"CURUT!" teriak Andrew, Johan, Irfan. Dan Arta langsung melangkah keluar ruangan.

"Kampret bener itu anak sekarang. Aku kira nongkrong di warung atau apa gitu. Tahunya WC," gerutu Andrew

"Emang tambah beda tuh anak," sela Dinda

"Ya sudah yuk pulang," ajak Tyas

Mereka semua beranjak dari tempat duduknya.

"Winda gak pulang?" tanya Dina ketika melihatku masih duduk dibangku

"Eh, i-itu, nunggu Mas Ronald," jawabku

"Lha kan pake mobil sendiri," ujar Dini

"Mas Ronald tadi bilang suruh nunggu, mobilnya lagi dibawa temennya," jawabku yang masih duduk di bangku.

"Ciyeee... udah balik lagi tuh si yayang," canda Dina, yang lain pun ikut menggodaku. Aku hanya tersenyum mendengar celoteh canda mereka.

"Oke deh kalau gitu."

"Yuk semua," ajak Dini

Semua melangkah keluar, meninggalkan Desy yang masih berdiri menatapku. Tatapannya seakan tahu apa yang sedang terjadi padaku. Ku lempar senyumku kepadanya. Desy kemudian melangkah mendekatiku. Sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya. Senyumnya mengembang.

"Umi harap, Winda gak bohong sama Umi." ucapnya, aku terkejut ketika mendengarnya

"Bohong apa umi?" balasku bertanya

"Ya sudah, Umi pulang dulu ya sayang. Baik-baik sama Ronald," ucapnya tersenyum. Dan cup... sebuah kecupan di keningku.

Setelah Desy keluar ruangan menjadi sangat sepi. Aku menunggu sejenak untuk memastikan benar-benar sepi. Kuhela nafas panjangku. Kubuka sematpon dan kucari kontak Mas Ronald.

"Jika hanya ini jalan satu-satunya..." bathinku.

Tuuut... tuuut...

"Mas..."

"Ada apa lagi? Apa tadi pagi kurang jelas?!"

"Mas, winda mohon jangan tutup dulu."

"Apa?! mau ngomong apa? sudah semuanya sudah selesai, lagian aku sudah malas dengan kamu."

"ta-tapi mas, Winda mohon dengarkan Winda dulu."

"Hah! Dah cepet ngomong!"

"hufth..."

"Cepetan jangan kelamaan!"

"Ba-baik mas... Winda gak mau pisah sama Mas, Winda pengen selalu bareng mas dan kalau mas menging..."

"Halah itu lagi, itu lagi!"

"Be-bentar mas..."

"Sudah! Kita sudah selesai, apapun yang kamu lakukan, kita tetap selesai! aku sudah muak dan bosan denganmu. Menjadi pacar kamu Cuma membuang waktuku! Dan Gara-gara kamu tadi pagi, pacarku marah-marah, sekarang dan selamanya kita selesai, okay?! sudah, aku sekarang mau ngurusin pacarku."

"Mas.. Sebentar... seben..."

"Sudah!" tuuut...

"Mas Ronaaaaald... mas Ronald, jangan tinggalin Winda, winda gak mau hidup tanpa mas Ronald... Mas Ronald..." Aku menangis sendirian didalam ruang kuliahku. Memukuli bangku, meratapi yang sudah terjadi. Lama aku menangis, lama aku mengeluarkan air mataku.

"Pokoknya, kalau Winda gak sama mas, lebih baik Winda mati!" bathinku

Aku bangkit. Meninggalkan tas dan hapeku. Aku terus menangis sesengukan. Lagkahku layu. Pikiranku kacau. Hatiku rasanya sangat sesak sekali. Tak pernah terpikirkan olehku, ditinggalkan dirinya. Dirinya yang sangat aku sayangi dan sangat aku cintai. Dulu kita salling bisa membuat tersenyum, kini dia berpaling dan meninggalkan aku sendiri. Padahal dia tahu, kalau aku tidak bisa hidup tanpanya.

Trap...

Trap...

Aku menaiki tangga, menuju atap gedung. Langkahku ini akan menjadi akhir dari perjalanan hidupku. Akhir dari semua cerita yang aku bangun. Cerita yang aku harap berakhir ketika kulitku menjadi keriput. Ketika tulangku menjadi rapuh. Yang aku inginkan hanya berakhir dengan kebersamaan. Bukan kesendirian seperti ini. Aku tidak ingin sendiri, aku ingin selalu bersamanya.

Kleeek...

Trap...

Trap...


Kini aku berdiri, menghadap pagar tembok atap gedung. Angin semilir menerpa wajahku. Air mataku terasa sangat dingin di pipiku. Pandangan tentang hidup, kini sudah tak lagi indah. Ku hela nafas panjang, dengan gemetar kugerakan tanganku ke atas pagar. Pagar yang tingginya hampir seleherku. Pelan aku naik mendekatkan tubuhku. Dengan sekuat tenaga, aku menaiki pagar tembok.

"egggh..."

Akhirnya aku bisa berdiri di atas pagar tembok. Nafasku sedikit tersengal, ketika harus naik diatas pagar. Ku coba menyeimbangkan tubuhku. Kutatap tanah dibawah, betapa tingginya tempatku berdiri. Air mataku jatuh, mendahuluiku dan pasti aku akan menyusulnya. Ku pejamkan mata, mengumpulkan segenap keberanian untuk melangkah ke depan.

"Hanya sebentar, hanya sebentar. Sebentar lagi semua akan berakhir," bathinku

Terima kasih telah mengenalkan aku pada kebahagiaan. Walau sementara, itu sudah membuatku bahagia. Karena sementara itupula yang membuatku untuk tidak melanjutkan kehidupan ini. Terima kasih telah kau bangun sebuah taman indah dalam hatiku, waau pada akhirnya kau hantamkan ribuan batu. Rusak luluh lantak, tak berbekas, hanya puing-puing rasa sakit yang tertinggal. Terima kasih sekali lagi, jika ada kesempatan untuk hidup kembali.

Sreek... Sreek... Sreek...

"Win..."

"Windaaaa!" suara dari belakangku, pelan tapi sedikit membuatku terkejut. Namun, tak membuat keseimbanganku goyang. Aku menoleh kebelakang.

"Arta.." lirih dari bibirku





---------------------

"Benar-benar geblek mereka, masa mau nongkrong di WC pake acara bareng-bareng. Eh tapi salahku juga ya, ndak jelas juga ngomongnya," bathinku

Lega rasanya ketika bisa membuang isi perut. Hufth, untung saja tadi kuliahnya dipercepat sama pak Dosen. Coba saja kalau sedikit diperpanjang, mungkin aku akan sering kentut. Ditambah lagi kamar mandi lantai dua rusak dan harus lantai bawah.

"Ugh, pegel juga rasanya punggung dan kaki, mau bagaimana lagi. WC-nya buat duduk malah aku nangkring diatasnya, he he he," bathinku sembari merenggakan otot tubuh.

"Nang Arta (Nak Arta)," teriak seorang perempuan, Ibu Kantin

"Dalem bu," balasku sembari melambaikan tangan ke arahnya, aku berlari mendekati Ibu kantin.

"Ada apa bu?" tanyaku

"Ini, ibu buatkan kopi. Buat nongkrong kamu," jawabnya, menyerahkan bungkusan plastik hangat

"Weleh, aseeek, makasih lho bu, ai lop yu pull pokoknya bu," jawabku, menerima kantung plastik

"Ini itu tadi ada yang pesen tapi ndak jadi, lha daripada dibuang, ibu kasihkan ke kamu," jawabnya

"Lha kok tahu kalau aku masih di kampus bu?" tanyaku heran

"Lha tadi lari ke kamar mandi," jawabnya, aku cuma bisa mengangguk-anggukan kepala

"Mau pulang bu? Tak anter po bu? (apa saya antar bu?)" tawarku

"Sudah ndak usah, ibu ini dijemput sama bapaknya anak-anak. Dah itu dihabiskan, terus dibuang di tempat sampah bungkusnya," jawab Ibu

"Siaaaaap!" jawabku

Setelah bercengkrama dengan Ibu kantin dan Si Ibu berjalan keluar kampus. Aku malah bingung sendiri dengan kopi yang aku bawa. Sudah sore, tapi rasanya malas juga pulang ke kontrakan. Akhirnya ku putuskan untuk bersemedi di atap gedung. Tempat favorit untuk melepas kesendirian.

Dengan cepat aku langsung ke atap gedung. Dan tentunya, duduk santai di payungan yang aku buat dengan bapaknya waktu itu. Tidak lupa si Dudun, alias Dunhill Mild aku sulut untuk menemaniku menikmati sore hari. ah, benar-benar hidup itu harus di nikmati apapun yang terjadi. Walaupun masih ada yang harus aku selesaikan, tapi nanti, pasti ada waktunya.

Trap... Trap...

Aku mendengar suara pelan langkah kaki menaiki tangga. Aku matikan rokokku. Pelan, namun lama-lama semakin terdengar keras. Hmm, siapa yang sore-sore begini naik ke atap gedung? Selama ini tidak pernah ada yang naik kesini kalau sore-sore begini.

Kleeek...

Aku yang sudah berada disamping pintu atap gedung. Bergerak sedikit kebelakang. Terlihat seorang peremuan dengan jilbab birunya.

"Eh, Winda? Apa yang dia lakukan disini sore-sore?" bathinku

Aku terus mengamati pergerakan Winda. Mendekati pagar pada bagian sudut. Sesaat kemudian menaiki pagar. Aku sedikit terkejut ketika melihatnya, apalagi aku menedengaar suara isak tangisnya. Dari tempatku aku bisa mendengar isak tangisnya dengan sangat jelas.

"Apa mungkin dia mau? Bahaya ini!" bathinku

Aku sedikit bergerak kedepan, untuk menghentikannya. Baru satu langkah aku berhenti. Sebuah pemikiran yang tiba-tiba datang di otakku. Jika aku langsung berteriak memanggil namanya dan bergerak maju kearahnya. Dia pasti akan terkejut dan bisa jadi dia terjatuh. Sekalipun aku berlari ke arahnya, tidak mungkin aku bisa menariknya. Yang ada malah... Aargh! Sial, kenapa malah seperti ini keadaanya? Mau santai saja malah dapat pemandangan seperti ini.

"Tenang ar, tenang dulu. hirup nafas dalam... dalam..." bathinku

Aku membuat suara dulu, agar dia sadar kalau ada orang disini. kemudian, memanggilnya dengan pelan dan lembut. Argh! Kenapa harus lembut? Aku kan bukan banci, tapi tak apalah. Semoga cara ini berhasil.

Sreek... Sreek... Sreek...

Aku menggesekan sepatuku di lantai atap gedung.

"Wind..."

"Windaaaa!" pangilku dengan suara lembut

"Aduh... aduh jatuh, aduh jatuh," bathinku ketika melihat Winda sedikit kehilangan keseimbangan.

"Arta..." jawabnya lirih, tepat ketika dia menoleh kebelakang. Aku langsung menghembuskan nafas panjang dan mengelus dada

"Hai Wind," aku berdiri tegak dan melangkah mendekatinya dengan senyum khas

"Lebih baik lu pergi dari sini," jawabnya, kembali memandang ke depan.

"Celes! Benar dugaanku, kelihatannya dia mau bunuh diri. Cempe! Terus bagaimana ini? mmm.. mm... aha, ajak dia ngobrol dulu. Kalau gagal, mati aku, bodoh ah, yang penting coba dulu," pergulatan bathinku

"Enak saja pergi, kamu kesini sama aku disini itu duluan aku Wind. Dan, kamu lagi apa Wind?" tanyaku

"Jangan mendekat! Atau gue lompat sekarang!" bentaknya,

"Wadaaaah, ini bagaimana, ini bagaimana?!" bathinku semakin bergulat dan bertinju

"Iya, iya, ndak dekat yo. Ini aku Cuma mau kesini, kok. Lha kalau kamu lompat sekarang, aku jadi tersangka pembunuhan dong," ucapku sambil mengganti arah berjalanku.

"Makanya pergi! Daripada lu jadi tersangka kematianku!" bentaknya lagi, sembari mengusap air mata dipipinya

Aku tidak menggubrisnya. Aku berjalan lebih kekiri lagi, karena Winda berada di kananku. Kemudian menyandarkan dadaku di pagar yang tingginya hanya sedada. Aku kemudian melihat ke arah bawah. Benar-benar tinggi sekali, walaupun sering aku melihatnya. Tapi situasi saat ini berbeda. Dan kini jarakku berdiri dengan Winda jika aku ukur, kurang lebih 3-4 meter.

"Kamu mau apa sih Wind?" tanyaku, memperlama waktu dan mengalihkan perhatiannya

"Bukan urusanmu, dan lebih baik lu pergi!" bentaknya

"Sudah dibilang, aku disini lebih dulu, enak saja main usir."

"Mau lompat kebawah gitu? Bunuh diri ya?"lanjutku bertanya, menoleh ke arahnya.

"Bukan urusanmu!" bentaknya sekali lagi

"hadeeeh... hmmm... aha" bathinku

"Iya, aku tahu bukan urusanku. Tapi ya, itu... aku Cuma mau memastikan saja. kamu mau bunuh diri atau mau cari angin? Kalau bunuh diri aku mau turun dulu, biar seperti tadi kamu bilang. Tidak jadi tersangka," celotehku

Aku membalikan tubuhku dengan bertumpu pada kaki kananku. Kini posisiku memandang ke arah berlawanan dengan Winda, dengan punggung yang bersandar pada pagar. Aku menoleh ke kiri, melihat kembali kerahnya. Kelihatannya dia sedang mengumpulkan keberanian.

"Gue udah bilang, pergi ya pergi!" bentaknya

"Iya, tapi kasih kejelasan dong, kamu mau bunuh diri atau cari angin?" tanyaku kembali dengan nada datar dan sedikit canda

"Iya, aku mau bunuh diri!" bentaknya

"Wasuuuuuuuuuuuuuu! Tenang ar, tenang...." bathinku

"Wew, beneran ternyata he he he... memangnya kenapa?" tanyaku

"Bukan urusanmu! lu dari tadi nanya terus, kapan gue lompatnya! Sekarang lu pergi!" bentaknya kembali dengan nada lebih keras dari sebelumnya.

"Hufth... hmmm... Wind, boleh aku kasih saran?" sanggahku kepada Winda, kini aku lebih deg-deg'an.

Dia hanya menoleh ke arahku. Mata kami saling bertatapan, dan aku melempar senyum ke arahnya. Tepat saat dia menoleh kedepan, aku membalikan tubuhku. dengan bertumpu pada kaki kiri, membuat posisiku sama seperti dengan posisi awal ketika pertama kali aku menyandarkan dadaku di pagar. Tapi, bedanya jarak antara aku dan Winda semakin dekat. Beruntungnya, dia tidak menyadarinya

"Saranku Cuma satu aja, Wind. Nanti kalau pas lompat, kepala dulu yang mendarat. Biar ndak kesakitan dan langsung mati. Kalau kaki dulu, ntar malah Cuma patah tulang dan kamunya masih hidup. Sakit pastinya itu, dan itu... kamunya malah cacat," ucapku sambil melihat ke arah bawah tanpa melihatnya

"Sa-sakit ya?" tanyanya

"Ini orang, mau bunuh diri masih nanya sakit. Berarti berhasil, dia pasti ada rasa ragu didalam hatinya," bathinku

"Endak sakit, kalau kepala dulu ya ndak sakit. Gimana, ikuti saranku ya? biar langsung mati?" tanyaku,

Dia semakin terlihat ragu, ketika mendengar pertanyaanku. Aku tahu saat sudut mataku menangkap hal itu.

"Eh, i-iya..." jawabnya kini menjadi lebih pelan

"Haaaah... kalau hati kamu sudah mantab, bilang ya, jadi kalau aku turun pun ndak ngganjel. Karena aku sudah kasih saran yang bagus buat temanku," ucapku sok cuek.

Aku menoleh sedikit memastikan keraguaannya. Aku memutar tubuhku kembali, dengan bertumpu pada kaki kananku. Sama seperti posisi kedua, dengan punggung bersandar pada tembok. Jarakku dan jaraknya kini kurang lebih 1 hingga 1,5 meter. Beruntung bagiku yang memiliki tubuh lumayan tinggi, karena aku bisa membuka kakiku dengan lebar.

"Baiklah gue sudah mantab. Sekarang lu turun!" ucapnya, dengan pandangan matanya kebawah. Tampaknya tak ada keraguan lagi.

Kuhela nafas panjang. Kukuatkan kaki kiriku. Ku usap-usapkan telapak tanganku diatas pagar tembok, mencari sedikit debu agar tanganku tidak terlalu basah. Jujur saja tanganku sudah banyak berkeringat. Aku menoleh sedikit, hanya memastikan dia tidak melihatku.

Aku memperlebar jarak antara kedua kakiku.

"Iya... Baiklah," jawabku, pelan.

Entah, pandangan mataku terasa sangat tajam. Jarak 1 sampai 1,5 meter ini cukup untuk lebar kakiku. Tangan kiriku mencengkram sisi pagar bagian luar dengan kuat. Dengan bertumpu pada kaki kiri, aku menganyunkan tubuhku ke arah Winda. Memutar balik. Tangan kiriku menahan berat tubuhku agar tidak kehilangan keseimbangan. Kaki kiriku sebagai tumpuan putar tubuhku.

Sreeek...

Tanpa cela...


"Aaaaaaaaa" teriaknya keras

Tangan kananku menggenggam roknya. Kuremas. Ku tarik dengan sangat kuat. Setelah yakin dengan cengkraman tanganku pada roknya. Aku melepas tangan kiriku, menggeser tubuhku lebih ke kanan agar posisiku berada tepat dibelakangnya dengan tumpuan kaki kananku. Tarikan tangan kananku yang kuat, membuat tubuhnya tertarik kebelakang dibarengi teriakan kerasnya.

Tubuhnya jatuh kebelakang. Kulepas cengkraman tangan kananku pada roknya. Kubuka lebar kedua tangan untuk menangkap tubuhnya. Dengan posisiku tepat berada dibelakangnya, memudahkan aku menangkapnya.

"Hegh..."

Dugh...

Tubuhnya jatuh menimpa tubuhku yang ikut terjatuh bersamanya. Kedua tanganku langsung memeluk tubuh Winda, dari sela tangan dan tubuhnya. Kedua kakiku melebar dan mengunci tubuh bagian bawahnya.

"Arta! Lepasin!" teriaknya keras, meronta

"Lepa..." teriakannya terhenti

"Diam! Jangan bertindak bodoh! atau aku akan marah seperti di malam tahun baru kemarin!" bentakku, Winda langsung terdiam. Tubuhnya tidak lagi meronta.

"Aku tidak tahu masalahmu, Wind. Apapun masalahmu, seharusnya kamu tidak melakukan hal bodoh seperti ini. Jika kamu mati, masalahmu selesai tapi teman-temanmu, Desy, Dina, Dini dan yang lainnya pasti akan merasa sangat sedih kehilanganmu!"

"Pikirkan baik-baik! Kamu punya kehidupan yang bisa kamu ubah Wind, bisa kamu banggakan! Keluargamu, teman-temanmu semua membutuhkanmu, membutuhkan senyumanmu untuk mengisi hidup mereka!" teriakku dari belakang tubuhnya

"jika kamu punya masalah, dan kamu tidak dapat menyelesaikannya. Cerita! Jangan diam, jangan bertindak bodoh. diam hanya akan membuatmu semakin tertekan!" bentakku

Tiba-tiba tangisnya pecah...

"Artaaaaa... mas Ronald, Ar..." tangisnya

"Eh, Ronald?" bathinku

"Mas Ronald pergi sama cewek lain... dia lebih milih cewek kampungan i-itu ketimbang Wi-winda. Pa-padahal Winda sudah lama sama Mas Ro-Ronald," isak tangisnya, nadanya kini terdengar sedikit manja. Sedangkan tubuhnya masih dalam pelukan, atau mungkin lebih bagus disebut jurus mengunci tubuh ala Arta.

"Kampret Si Ronald, bagaimana ini, aku harus bilang apa? Ah, masa bodoh, asal njeplak sajalah!" bathinku

"Dasar Bodoh! hanya karena putus cinta kamu memilih untuk bunuh diri?! Bodoh! kamu hanya kehilangan satu cinta, bukan berarti kamu harus mengakhiri hidup kamu! cintamu bukan hanya Ronald! Aku sudah bilang bukan, Desy, Dini, Dina dan yang lainnya, mereka juga memiliki cintamu! Cinta sebagai sahabatmu!" bentakku. Tangis Winda kemudian terdiam.

"Ke-kenapa Arta malah bodoh-bodohin Winda? Arta juga sama saja dengan Ronald, mbodoh-bodohin Winda," ucapnya disela isak tangis

"Karena kamu memilih jalan yang salah" jawabku singkat

"Arta jahat! Arta sama jahatnya sama Mas Ronald!"

"Lepasin! Lepasin Winda!" teriaknya meronta

"Ndak, kalau aku lepaskan kamu, kamu bakal lompat!" jawabku

"Lepasiiin Arta, lepasin..." pintanya

"Tidak ya tidak!" jawabku, semakin menguncinya erat

"Sakiiit ar, sakit... jangan diremas!" disela isak tangisnya

"Jangan diremas? Eh, ini..." bathinku

Telapak tangan kananku aku gerakan lagi. Dan memang tangan kananku meremas seuatu yang empuk. Aku terbelalak terkejut ketika sadar yang aku remas. Tangan kananku meremas payudara kiri Winda. Aku langsung melepas kuncianku dan tubuh Winda menggeser kekanan. Aku bangkit dan duduk, sedikit menoleh ke arah kiri.

"Eh, maaf Wind, a-aku tidak sengaja," jawabku, aku melirik ke arah Winda yang berada di kananku. Dia duduk menghadap ke arah yang berlawanan dengan arah pandangku.

"Tapi besar juga..." bathinku ketika teringat akan rasa, sudahlah.

"Sakit tahu!" ucapnya terdengar sedikit keras disela isak tangisnya.

Dari sudut bola mataku, aku bisa melihat Winda sedang membenarkan pakaiannya. Tepat ketika kerudung yang dipakainya sedikit tersibak, aku bisa melihat bagian dadanya. Memang terlihat besar tonjolan di bagian dadanya, pantas tadi terasa empuk sekali. Eh, kenapa pikiranku malah kotor seperti ini.

Sreek...

"Eh..." aku sedikit terkejut.

Dengan cepat tangan kananku menggenggam pergelangan tangan kiri Winda. Winda tampak terkejut. Mata kami bertemu. Winda yang awalnya terkejut tiba-tiba terlihat ketakutan.

"Ar-arta mau ngapain?" tanyanya, benar-benar berbeda dari sebelumnya. Kata-katanya sedkit lebih memperlihatkan kedekatan. Ndak ada istilah lu-gue, lagi.

"Untuk berjaga-jaga kalau kamu melakukan hal bodoh lagi," ucapku datar dengan pandangan tajam ke arah matanya.

"Arrr... sakiiiitt..." rintihnya,

"Biar, aku tidak ingin kamu melakukan hal bodoh lagi Wind."

"Arta! Lepasiiin!"

"Lagi pula, apa urusanmu menghalangi Winda?! Winda ingin mati!" bentaknya kembali

"Tidak, ya tidak!"

"Memang bukan urusanku Wind. Tapi kamu sama berharganya dengan temanku yang lain. Kalian yang membuatku menjadi sekarang, lebih berani menatap ke depan tanpa harus melihat ke belakang. Bukan apa-apa, tapi kalian sangat penting bagiku dan aku tidak ingin kehilangan siapapun di antara kalian semua."

"Andrew, Irfan, Johan, Burhan, Dina, Dini, Desy, Helena, Tyas, Salma, Dinda, Kamu dan juga teman yang lainnya," Mataku tajam menatapnya. Winda terdiam, memandanku. Air matanya mengalir di pipinya.

"Sakit memang, kehilangan memang menyakitkan... Tapi kamu hanya kehilangan seseorang yang bahkan kamu tidak tahu siapa dia ketika kamu lahir! Dia itu apa?! Hanya lelaki yang datang ketika kamu sudah menjadi wanita dewasa. Tapi apa yang dia berikan kepadamu?! Hanya kebahagiaan sementara, dan sisanya adalah sebuah kesedihan! Apa dia datang ketika kamu sedih? Apa yang dia berikan ketika kamu membutuhkannya? Ada?! Tidak!" aku kembali menatapnya tajam, perkataanku semakin keras. Winda terdiam, menatapku dengan sedikit ketakutan.

"Sadar Wind! Sadar! Dia bukan suami kamu. Bahkan dia bukan orang yang pantas kamu pertahankan, lihat! Sadar! Kamu punya keluarga Wind! Punya Sahabat! Kesedihanmu juga kesedihan mereka!" bentakku lebih keras

Tangisnya pecah. Tangan kirinya menggenggam di dadanya, meremas kerudungnya. Menatapku dengan air mata kesedihannya.

"Artaaaaaaaaaaa..." teriaknya

Tubuhnya seakan terbang. Menimpa tubuhku. Memeluk hingga aku jatuh kebelakang. Pelukannya erat dileherku. Wajahnya berada di samping kiri kepalaku. Tangisnya benar-benar keras, membuat telingaku berdengung. Namun, selang beberapa saat kemudian tangisnya sedikit mereda. Hanya isak tangis yang aku dengar.

"Ar-arta... Ma-Mas Ronald Ja-hat... di-dia se-selingkuh... pa-padahal Winda kan... se-setia nunggu Mas Ronald. Wi-winda eng-engak bisa hidup ka-kalu gak sama Mas Ronald. Ma-Mas Ronald Ja-hat..." isak tangisnya masih terdengar

Entah, keberanian dari mana, tanganku kemudian memeluknya. Satu tanganku mengelus kepalanya.

"Sadar Wind. Kamu hanya kehilangan sesuatu yang tidak bisa kamu pastikan di masa depan. Satu hal memang bisa membuatmu sedih. Tapi kamu masih memiliki banyak hal yang pantas kamu pertahankan. Anggap dia sebagai batu pijakan kehidupanmu, yang hanya kamu injak untuk menuju kebahagiaan sebenarnya. Mau ya?" ucapku lembut

Tangan kananku masih mengelus kepalanya yang berbalut kerudung.

"Ta-tapi... Wi-winda na-nanti sama siapa?" sanggahnya disela isak tangisnya

"Windaaa.. sama Desy, Dini dan Dina. Kenapa bingung? Bingung nanti suami kamu siapa?" tanyaku, dan kurasakan sebuah anggukan

"Wind, Manusia itu diciptakan selalu berpasangan. Dan kalau kamu kehilangan pasanganmu sekarang, itu berarti bukan pasangan yang akan menemanimu hingga di dalam kubur. Jadi kamu tenang saja. Aku yakin, ada seorang lelaki yang disiapkan untuk Winda, yang lebih baik dan lebih bisa mengerti Winda. Dan akan menemani Winda, apapun yang Winda lakukan" ucapku pelan, dan lembut. Juih, juih, kenapa aku bisa berbicara lembut seperti ini.

Tubuhnya kemudian beringsut turun. Kepalanya kini berada di dadaku.

"Benarkah Ar?" tanyanya dengan isak tangis yang mulai mereda

"Benar, tapi kamu harus yakin dan tidak melakukan hal konyol, ya?" ucapku.

Pelan kurasakan dia mengangguk.

Kedua tangannya turun dan meremas baju yang aku kenakan. Sesaat nafasnya mulai teratur. Tapi tubuhnya tetap berada di atas tubuhku. tanganku pun aku alihkan ke belakang kepalaku. Mataku menatap langit sore, langit yang menguning. Hembusan angin pun terasa berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya.

"Elus..." pelan dari bibirnya

"Eh, apa Wind?" tanyaku

"Elus kepala Winda, atau winda lompat!" singkat, padat dan jelas.

"I-iya.." jawabku. Hufth, daripada dia lompat.

Ku alihkan satu tanganku ke kepalanya, kuelus pelan. Tangannya semakin meremas baju yang kukenakan. Tubuhnya semakin erat dengan tubuhku. Kurasakan, kurasakan, mmm... empuk dibagian tubuhku, tepatnya bagian dada kebawah sedikit. Hufth, untung yang dibawah ndak bangun. Sialan, situasi seperti ini masih juga mikir yang tidak-tidak.

Nafasnya mulai lebih teratur dari sebelumnya. Dan yang jelas dia seakan nyaman berada diatas tubuhku. Aku diamkan sejenak Winda diatas tubuhku. Pandanganku masih terus tertuju pada langit sore. Langit yang kemudian lambat laun berubah menjadi gelap.

"Wind, pulang yuk, sudah mulai gelap," tawarku.

"Eh..." dia tampak sedikit terkejut, kemudian bangkit dengan kedua tangan bertumpu pada dadaku

"He'em..." angguknya

Aku memandangnya, berharap gelap menyelsaikan semua masalahnya. Berharap gelap membuat dia kembali ceria seperti dulu. Bola mataku masih memandangnya. Senyuman lambat laun terukir di bibir Winda. Pelan kemudian aku berdiri. Mataku masih tak lepas dari Winda, karena aku takut dia akan kembali ke pagar itu.

Winda, perempuan yang pertama kali menertawakan aku tentang laptop. Pelan dia kemudian berdiri, tersenyum dan menegakan tubuhnya. Kedua tangannya berada dibelakang, entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang.

"Yuk pulang," ucapku lirih.

"Iya," jawabnya.

"Kamu dulu Wind," balasku.

Aku merasakan suasana yang berbeda saat ini, aku tidak tahu suasana apa ini.

Dia kemudian berjalan terlebih dahulu, dan ku ikuti di belakangnya. Di depan pintu masuk atap, dia sedikit melambat. Aku pun bersiap-siap jikalau dia berubah pikiran, berbalik dan kemudian berlari ke pagar. Aku berjalan lebih mendekatinya, tepat disamping kanannya sedikit kebelakang. Aku semakin deg-deg'an. Tapi tidak, tepat ketika aku berada diposisiku saat ini, wajahnya sedikit menunduk dan menoleh kebelakang. Tangan kananya meraih pergelangan tanganku.

"Eh... Wi-wind..." lirih dari bibirku

"Anterin ya?" tanyanya. Senyumnya manis dengan dua bola mata menatapku.

"Ta-tapi..." aku sedikit gugup ketika tangannya menggenggam lebih erat pergelangan tanganku. Lebih erat dari sebelumnya.

Wajahnya kembali menunduk...

"I-iya, aku anterin" jawabku. Aku ambil gampangnya saja. paling nanti juga sampai di mobil, mobilnya balik ke kos dan semua beres. Ha ha ha...

Aku melangkah menuju lantai bawah. bariringan bersama dengan Winda. Sesekali aku meliriknya, tampak wajahnya sangat tentram sekarang. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia lebih santai dari yang tadi. Hmmm... baguslah asal dia tidak kembali melakukan hal bodoh.

Langkahku beriringan dengannya. Seirama...

Awan hitam di hati yang sedang gelisah
Daun-daun berguguran
Satu-satu jatuh ke pangkuan
Ku tenggelam sudah ke dalam dekapan
Semusim yang lalu sebelum ku mencapai
Langkahku yang jauh

Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti

Gelusah kumenanti tetes embun pagi
Tak kuasa ku memandang dikau matahari

Kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti

Badai pasti berlalu​
 
Mohon maaf baru bisa update lagi,

Nubie cuma buat cerita untuk menuangkan imajinasi tidak ada tujuan lain,
tidak ada besik sebagai seorang penulis, jadi kalau cerita nubie jauh dari pemikiran para pembaca,
nubie mohon maaf...

ini cuma imajinasi sederhana nubie,
hanya untuk berbagi kesenangan dengan para reader,

Monggo silahkan dinikmati seadanya,
jika ada kritik dan saran, nubie berterima kasih



:ngupil:


:ngacir:
 
wah gak nyangka udah update lagi. Seru hu, penggambaran adegannya detail banget, sampe adrenlin ikut terbawa. mantabbbb
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Aiiisshh..Sis Dona Apdiiittt... :haha:
Akan adakah ehem ehem dg Windul..??. :pandajahat:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd