Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
semoga cepet lamjut...ayo suhu dono....ini crita fav ane jg nih...semoga lanjut sampe tamat....
 
Scene 21
Bodoh


Eviela Dewi Karunia


Iliana Desy Prameswari



Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Menyusuri jalanan menuju jalur ke luar dari kota yang penuh dengan keramaian. Meninggalkan sebuah kenangan pahit namun juga ada sedikit kenangan yang indah, walau sebenarnya kenangan indah itu baru saja terjadi. Walau hanya sedikit, tapi itu sudah membuat garis lengkung ke atas di bibir si pengemudi.

Bibirnya Tersenyum, kadang pula terbuka-tertutup mengeluarkan suara-suara yang tidak jelas namun mengikuti irama lagu yang diputarnya. Jari-jari tangannya pun ikut berdansa dengan irama yang selaras.

Rambutnya panjang, hitam dengan sedikit warna merah yang menghiasi. Kulitnya putih dan diwajahnya terlihat garis-garis halus yang menunjukan usianya sudah tidak muda lagi. Tapi, tetap saja orang yang melihatnya akan mengira dia masih sesusia anak kuliahan. Yang pastinya akan membuat lelaki manapun meliriknya, kecuali yang tidak ingin melirik.

Pelan mobil yang dikemudikannya kecepatan berkurang secara teratur. Berbelok ke arah sebuah market yang buka setiap waktu. Satu kakinya turun, dia kemudian melangkah masuk ke dalam market. Membuat pegawai terdiam kaku, seakan tak percaya. Mata mereka mengikuti kemanapun si wanita itu pergi.

“Mas, ini sama rokoknya satu bungkus, yaaaaaang itu...”

“I-iya b-bu eh mbak”

Dia tersenyum ketika kasir itu terlihat sangat gugup. Cepat dia membayar, kemudian berlalu pergi. Meninggalkan aroma wangi yang masih membekas didalam market. Pegawai-pegawai dalam market berjalan mendekati kaca pembatas dengan mata yang terus mengikuti langkah sang wanita, hingga masuk mobil.

“Sudah tua, tapi kenapa tatapan mereka seperti itu, huh” bathinnya, sembari menjalankan mobil keluar dari tempat parkir yang terus diikuti oleh berpasang-pasang mata dari dalam market.

Mobil kembali melaju, mengambil jalan memutar yang sepi. Jalan yang disampingnya terdapat tebing yang sangat curam. Dia memperlambat kecepatan, mencari tempat untuk menikmati malam ini.

Cit... glek...

Jalan tebing yang sepi dengan pemandangan yang indah, apalagi keindahan itu semakin terlihat karena cahaya rembulan yang bersinar. Dia duduk diatas kap mobil, matanya menyap pemandangan yang memantulkan cahaya rembulan.

“Benar-benar indah...”

Di teguk kopi instan yang baru dibukanya. Di genggam dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memangku dagunya. Kembali dia menikmati pemandangan malam ini.

“Seandainya kamu masih hidup sayang, Mama akan mengajakmu untuk melihat keindahan ini. Seandainya... Maafkan Mamamu ini sayang...” kata-kata lirih dari bibirnya diikuti air matanya menetes yang mengalir pelan.

Didalam hatinya ada bahagia namun ada luka, luka yang tak bisa terobati. Luka kehilangan yang tak mungkin bisa ditemukan. Walau ada bahagia tapi tetap tak bisa mengembalikan kehilangan tersebut. Seakan tak ingin larut dalam kesedihannya, dia membuka rokok dengan bungkus putihnya. Diambil satu batang rokok putih.

“Dunhill, apa rasanya enak?”

Rokok dengan merk yang sama, bukan karena kesukaannya dia memilih. Tapi, karena dia melihat pemuda itu begitu menikmati rokok yang dihisap ketika berada dalam mobil.

Crek crek... crsssshh...

“Sssshhhh.... aaaaahhhhh....”

Seiring asap rokok yang keluar, senyum kembali kembali terlukis dibibirnya. Mengingat seorang pemuda yang telah menolongnya mewujudkan mimpinya. Dalam hatinya, dia mengira akan mati oleh pemuda itu tapi jalan hidupnya mengatakan lain. Pemuda itu malah melakukan hal sebaliknya. Seorang pemuda yang sedikit aneh menurutnya, pemuda biasa tapi dalam dirinya, seakan ada yang tertidur atau mungkin memang sengaja tertidur.

“Arta” bibirnya menyebut nama pemuda tersebut.

“Kamu tahu, itu adalah nama yang pertama kali terpikirkan olehku ketika anakku lahir. Tapi, bajingan itu memberikan nama seenaknya yang berakhir pada tertidurnya anakku, Ar.”

“Siapa sebenarnya kamu, Ar? kamu begitu misterius, tapi aku yakin kamu bukan orang-orang seperti suamiku. Aku yakin kamu bisa memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi orang-orang diseitarmu. Aku yakin” bathinya

Satu batang, dua batang sampai tiga batang rokok habis dihisapnya. Kehangatan dalam dadanya beralih kembali menjadi hawa yang dingin. Cepat dia masuk ke dalam mobil kembali, menjalankan mobilnya menuju tempat persembunyiannya. Sembari mengemudikan mobil, satu tangannya meraih sematpon. Membagi fokus antara jalan dan layar sematpon kemudian menghubungi nomor yang sangat dia harapkan masih bisa dihubungi.

Tuut.. tuuut...

“Halo”

“Halo, Liana?”

“Mmmm iya, maaf ini siapa ya?”

“Masa lupa sama mbak kamu sendiri?”

“Mbak?”

“Eviela Dewi Karunia”

“Mbaaak?!! Mbak Evie?”

“Iya Lian...”

“Mbak Koskyuuuu kemana aja? Ih, lama gak ada kabar, nikah aja gak kabar-kabar”

“Hi hi hi iya maaf, habisnya dulu harus serba cepat”

“Mmm terus gimana kabar suami mbak? terus dah punya momongan kan?”

“Mmmm... begini Lian”

Dengan konstan mobil itu mulai melambat dan berjalan dengan kecepatan rendah. Eviela mengemudikan sembari bercerita mengenai kehidupannya kepada perempuan yang dia panggil Liana. Tak semua dia ceritakan, hanya menceritakan sesuatu yang secukupnya, cerai dan belum mempunyai anak.

“Oh, maaf mbak, Aku gak tahu kalau mbak sudaaaaah....”

“Hi hi hi gak papa kali”

“Lha mbak sekarang dimana?”

“Aku diluar kota Lian, sudah tidak di Ibu kota lagi. Oh ya ini aku ganggu gak?”

“Enggak mbak, suamiku lagi keluar, gak tahu itu, tiba-tiba banget”

“Ohh...”

Eviela kemudian mengobrol tentang berbagai kenangan indah ketika mereka masih bersama. Tidak ada ikatan keluarga diantara keduanya, tapi perempuan yang dipangil Lian menganggap Evie sebagai keluarganya sendiri. Pernah satu kos dengan Lian pada saat kuliah walau beda jurusan dan beda tingkat kuliah tentunya.

Mobil perlahan berhenti...

“Oh ya, Mbak boleh minta tolong?” sembari berbicara Eviela mengambil sebuah kartu identitas. Menyalakan lampu dalam mobil.

“Iya mbak”

“Bisa carikan info mengenai seorang pemuda bernama Arta Byantara Aghastya?”

“Emmm... kelihatannya aku pernah dengar, memangnya ada apa mbak?”

“Enggak, ini seminggu yang lalu aku nemu kartu mahasiswa waktu diajak seminar di ibu kota pas beli camilan di market, mau aku serahkan ke universitas terbang selam tapi lupa, keburu pulang. Takutnya ini penting, makanya pengen aku balikin. Tapi kelihatannya dulu KTM itu gak penting, buang aja apa gimana Lian?”

“Ih, penting gak penting sih mbak, tapi coba nanti aku carikan. Kalau di universitas itu ada temanku, nanti aku tanyakan.”

“Oke, nanti kalau dapat suruh kasih nomor teleponnya ke aku, biar aku kirimkan ke alamatnya, atau kasih saja alamatnya biar aku kirim”

“Iya mbaaaakyu, ih mbak masih aja baik kaya dulu hi hi hi”

“Kan ketularan sama Adiknya hi hi “

“Mbak bisa aja, ya udah ini anakku rewel, kapan-kapan kalau main ke ibu kota, mampir ya mbak”

“Iya sayangku Liana yang kalau tidur harus dielus-elus dulu sama mbaknya hi hi hi”

“Ih, mbak malu tahu, ntar kedengeran anakku hi hi hi”

“Iya... dadah sayang... muach”

“Muach juga kakak perempuanku yang cantik”

Tuuuut...

“Aku penasaran denganmu Arta, sangat penasaran. Hanya ingin tahu siapa kamu sebenarnya Ar, tidak ada hal yang lain”bathinnya

Mobil kembali melaju. Menyusuri malam menuju ke tempat peristirahatan sang pengemudi. Membelah keheningan, menghapus sunyi di sepanjang jalan. Sebuah kebohongan telah dia rangkai hanya untuk mengetahui pemuda itu. Eviela tersenyum, seakan ingin kembali bertemu dengan pemuda itu. Mungkin esok, lusa atau mungkin suatu saat nanti.
 
Terakhir diubah:
Ciiit... Glek..

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti didepanku. Mmebuyarkan konsentrasiku, menghapus lamunan. Membuatku terkejut dan langsung menarik kakiku, kembali mundur. Pintunya tiba-tiba terbuka.

“Ar, cepat masuk...”

“Eh...” aku mengenal suaranya, aku kemudian menunduk memastikan siapa yang berada didalamnya. Mobil yang ada didepanku pun tampak asing.

“Desy?”

“Cepeeeetan masuk” aku mengangguk, namun tiba-tiba aku teringat kembali bayangan Ibu yang ada diseberang jalan.

“Eh...”

Aku menarik diriku, kembali berdiri. Sudah tak ada lagi wajah cantiknya yang berada diseberang jalan. Sudah tak kulihat lagi air mata itu. Hatiku bergetar, aku sadar aku telah melakukan kebodohan. Aku tahu Ibu bersedih karena apa yang telah aku lakukan. Tapi...

“Sudah cepet masuk!” tangannya tiba-tiba menarikku dari dalam mobil

“Eh, iya sebentar Des!” aku sedikit meninggikan suaraku dan menganyunkan tangan yang dia genggam.

Tidak ada. Berkali-kali kepalaku menoleh ke kanan dan kekiri memastikan keberadaannya namun tidak aku temukan. Sekali lagi aku melakukannya dan bayangan Ibu tidak ada. ku hela nafas panjangku, penyesalan menguasai diriku.

“Aaaar...” suaranya pelan dan lembut, tidak seperti sebelumnya

“Ya” jawabku singkat, sedikit ada rasa jengkel.

Aku menunduk dan kemudian masuk. Ku lihat dia tersenyum tapi aku tidak menanggapinya. Aku langsung duduk, bersandar.

Glek..

Mobil kemudian kembali berjalan. Memutar, mungkin memang jalan yang aku tempuh bersama wanita tadi, Eviela, adalah jalan keluar Ibu Kota. Pantas saja Desy memutar mobilnya. Mobil kemudian berjalan pelan.

Hening, aku tidak membuka pembicaraan. Pikiranku sedang kacau. Biasanya Desy membuka pembicaraan tapi bisa jadi karena tadi aku sedikit meninggikan suaraku, dia masih diam. Betapa bodohnya aku, seandainya tidak ada dia mungkin aku masih sendirian dijalan. Menangis tanpa teman dan tak tahu jalan menuju pulang.

“Terima kasih Des” aku sedikit menoleh ke arahnya, dia membalas dengan senyuman.

Aku kembali melihat kedepan. Melihat jalanan yang sepi. Desy, teman kuliahku. Entah kenapa aku bisa dekat dengan dia. Pembawaannya tenang, dewasa dan juga senyumnya manis. Sekalipun pembawaannya dewasa, dan terlihat tegar, tapi dibalik ketegaraannya ada air mata yang pernah aku lihat mengalir di pipinya. Ah, perempuan. Dan dia, salah satu dari dua perempuan, yang bisa membaca pikiranku. Entah bagaimana caranya, tapi dia selalu bisa menganalisa semuanya dengan benar. Entah mengapa pula, dia selalu ada disaat kondisiku sedang dalam kesulitan.

“Apa mungkin dia sekarang sedang membaca pikiranku,” bathinku

Bola mataku bergeser ke sudut kanan. Menangkap gambaran seorang perempuan yang masih tersenyum sembari mengemudi mobil. Dia masih berkonsentrasi pada jalan...

“Ar...”

“Eh...”

“Kamu habis marah lagi?”

“Ti-tidak” aku kembali mengalihkan pandangaku ke depan

“Jangan bohong”

Ah, aku rebahkan tubuhku. Malas rasanya berbicara dengannya. Tak pernah aku bisa mengalahkan setiap kata-katanya. Bahkan ketika aku berada diposisi yang tenang dan dia dalam posisi sebaliknya, tetap saja, aku tak bisa sedewasa dia ketika dia menenangkanku. Hufth, aku alihkan pandanganku ke luar kaca jendela mobil.

“Ar...” aku masih diam

“Kamu habis berkelahi lagi?”

Benar, aku berkelahi, membunuh seseorang. Itu sebenarnya yang ingin aku katakan padanya tapi aku memilih diam. Aku tidak ingin dia tahu semuanya. Ada beribu kemungkinan, bisa jadi dia melindungiku bisa jadi dia melaporkan aku. Tapi, amarahku tidak ingin aku tertangkap sekarang. Masih ada satu yang harus aku cari.

“Ar... kenapa sih kok diem aja? Ngomong kenapa?”

“Aku lelah”

“Hmmm... lelah ya tidur, jangan malah melamun” aku menjawab kata-katanya dengan memiringkan tubuhku ke arah pintu mobil. Aku harap bahasa tubuhku cukup jelas dia baca.

Aaaaaaa“Kenapa?”

“Eh, suara ini?”

Seketika itu aku bangkit dari dudukku. Duduk tegak melihat ke arah jalan depan. Tiba-tiba Ibu, kembali muncul di sisi kiri jalan. Mataku seolah tak percaya dengan semua itu. kepalaku terus mengikuti bayangan Ibu yang semakin mendekat dan kemudian terlewati.

“Des! Berhenti!”

“Eh, a-ada apa Ar?”

“Cepat berhenti!!!” bentakku sangat keras

Mobil kemudian berhenti, aku langsung keluar dari mobil. aku langsung menoleh ke arah kiriku. Ibu masih berdiri disana, wajahnya penuh dengan kekecewaan. Aku diam terpaku, ketika melihatnya menggelengkan kepalanya. Ada cahaya malam yang dipantulkan oleh air mata yang mengalir di pipinya.

“I...” aku melangkah mendekatinya, langkah yang kaku, seakan kakiku sulit sekali untuk digerakan.

Aaaaaaa“Kenapa?”

“A-aku... a-arta...” seketika bayangan itu mulai menghilang.

“A-arta bisa jelaskan... tolong jangan pergi!”

Dan bayangan ibu pun perlahan menghilang. Aku langsung berlari seiring menghilangnya bayangan Ibu. Terus berlari hingga akhirnya aku harus berlutut di tempat dimana Ibu hadir sebelumnya.

“Dimana? Dimana?”

Nafasku tersengal, aku masih menoleh ke kanan dan kekiri. Mencoba mencari keberadaannya kembali. Tapi sayang, keheningan yang ada. Tak ada lagi bayangan Ibu. Aku bersujud, memukul paving trotoar. Aku ingin menangis namun tertahan.

“Ar”

Lirih ucapannya menyadarkan aku. Aku tidak sendiri, aku bersama dengan seorang perempuan yang menolongku. Pelan aku pun bangkit, menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia duduk bersimpuh disampingku.

“Kenapa? kalau kamu terus diam, siapa yang akan tahu masalahmu” aku hanya tersenyum

“Dah tuh di lap dulu, kasihan airnya kalau di mata kamu terus. Nanti pandangan kamu buram” sembari mnyodorkan tisu. Aku masih tersenyum, tidak mengambil tisunya, melainkan menarik ujung kaosku untuk mengusapnya.

“Seperti anak kecil saja ngelap pakai kaos hi hi hi” aku diam ketika mendengar ucapannya.

“Dah yuk”

Tia-tiba tanganya menggenggam pergelangan tanganku. Menariknya dengan lembut. Pelan kemudain dia berdiri. Desy, lagi-lagi dia, lagi-lagi perempuan ini. Malaikat penyihir, sama dengan malaikat yang ada di kompleks. Kenapa dia bisa selalu ada ketika aku sedang seperti ini.

Tak ada yang bisa aku katakan kepadanya. Karena aku tahu, suaraku pasti akan terdengar lucu dan memalukan jika aku berbicara. Seperti anak kecil, aku berjalan dibelakangnya dengan tangan digandeng. Sesekali dia menoleh ke belakang, melempar cekungan bibirnya dengan matanya yang sedikit menyipit. Menyilangkan jari di bibirnya. Aku diam dan terus mengikuti langkahnya yang tampak begitu ringan bersama hembusan lembut angin malam.

“Aroma parfumnya masih sama” bathinku

Glek...

“Duduk dibelakang Ar, kamu bisa sambil tiduran. Kamu kelihatan lelah sekali”

“Eh...” aku mengangguk

Aku rebahkan tubuh di tempat duduk belakang. Rasanya sangat lelah sekali. Kuambil sematpon yang ada disakuku. 22:59. Hampir tengah malam. Aku letakan sematpon di atas dadaku, mataku aku tutup dengan tangan. Suara deru mesin kembali terdengar. Mobil kembali berjalan.

“Sudah, tiduran... tenangkan pikiranmu”

Lagi-lagi dia. Dia lagi, dia lagi. Kenapa ketika dihadapannya aku tidak bisa seperti ketika dihadapan Winda. Selalu seperti anak kecil, sama halnya ketika aku dihadapan Ainun, dihadapan mbak Arlena juga. Cuma bisa mengangguk dan mengangguk. Ah, mungkin karena aku sedang dalam kondisi yang tidak karuan.

“He’eh...” jawabku

Suara mesin mobil mulai terdengar pelaaan sekali. Mataku tampak begitu berat, hingga akhirnya aku sudah tak mampu menahan rasa kantukku. Terlelap sudah.

.
.
.

Gelap... ada sedikit berkas cahaya jauh dihadapanku. Aku mengikuti naluriku untuk menuju ke tempat itu. Pelan aku melangkah hingga semua kegelapan ini sirna dan lambat laun menampilkan sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi.

Aaaaaaa“Kenapa?”

Aku menunduk ketika suara lembutnya menyapaku kembali. Suara yang selalu aku rindukan merambat dari balik tubuhku.

Aaaaaaa“Tidak seharusnya kamu melakukan itu, kenapa?”

Aku diam, menyesal atas semua yang telah terjadi.

Aaaaaaa“Apa bedanya dengan mereka? Apapun alasanmu, tetap saja apa yang kamu lakukan tidak berbeda dengan yang mereka lakukan...”

Aku menghela nafas panjang menahan air mataku. Aku tahu, perbuatan yang telah aku lakukan tidak dapat dibenarkan. Apapun alasannya.

Aaaaaaa“Tidak pern...”

“Tidak pernah sekalipun Arta mendengarkan perkataan Ibu? Dasar Anak tidak tahu aturan, sudah berkali-kali untuk tidak melakukan perbuatan tercela masih saja melakukannya... begitu kan yang ingin ibu katakan?”

Aaaaaaa“Kamu sudah tahu tapi kenapa masih juga melakukan?”

“Ibu membenciku bukan? Setelah yang terjadi? Katakan saja bu, Arta sudah siap. Seandainya Ibu tidak lagi menyapaku dalam dunia mimpi ini... dan...”

Aku menghela nafas panjang...

“Dan sekalipun Ibu tidak hadir kembali, dan... dan Arta bertemu orang yang satunya lagi, Arta akan melakukan hal yang sama”

Aaaaaaa“Jangan... Kamu hanya perlu menjaga kakakmu, menjaga orang-orang yang kamu sayangi disekitarmu. Tapi dengan melihat apa yang baru saja kamu lakukan, Itu membuat Ibu merasa... kecewa... dan masih tetap sama... ketika kamu tidak bisa dikendalikan selalu saja melakukan hal yang salah dan itu yang membuatmu terlihat seperti orang yang bo”

“Bukannya Arta dari dulu bodoh bu, bukannya Arta tidak sepandai Mbak Arlena, bukannya Ibu selalu mengatakan pada Arta kalau mbak Arlena lebih pintar dari Arta, bukannya Ibu juga selalu mengatakan pada Arta, kalau anak-anak tetangga lebih pandai dari Arta. Lebih menurut kepada orang tuanya... ya, memang Arta anak yang bodoh... Ibu benci bukan?”

Aaaaaaa“Bu-bukan, maksud Ibu...”

“Bodoh ya bodoh kan bu? Arta memang bodoh, selalu melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan. He he he...”

Aku duduk, ku peluk kedua kakiku.

Aaaaaaa“Tidak pernah membuat Ibu bahagia, selalu saja membuat ibu kesusahan. Meminta maaf ke semua orang karena perbuatanku. Ya, Arta memang bodoh kan bu?”

Hening...

“Arta tidak bisa melupakannya, sekalipun Ibu pada akhirnya Ibu membenciku. Arta tidak akan melepaskannya, mereka sudah menggoreskan luka terdalam di dalam diri Arta. Tidak, tidak akan pernah Arta melepaskan mereka.”

“Hidup dalam sebuah bayang-bayang ketakutan. Kehilangan. Rasa sakit. Itu jalan hidup Arta, dan... mereka juga harus merasakannya... maafkan Arta...

“Jika Ibu tidak ingin lagi menemui Arta, membenci Arta, Arta akan tetap sayang pada Ibu. Apapun yang terjadi, apapun yang akan Ibu katakan, tidak akan merubah keinginan Arta, semua sudah terlanjur.... haaaassssh... mereka harus merasakannya...”suaraku menjadi parau

Aku tundukan kepalaku di atas tumpukan tanganku. Aku pejamkan mataku, berharap semuanya segera berakhir. Berharap...

Aaaaaaa“Maafkan Ibu... maafkan Ibu...”

Kurasakan hangat tubuhhnya menempel di tubuhku. Menarik kepalaku, memeluknya di dadanya.

Aaaaaaa“Arta tidak bodoh, Arta Anak yang pintar, tidak pernah membuat Ibu susah... Ibu bahagia ketika bersama Arta, bahkan di dalam dunia mimpi ini, Ibu selalu bahagia ketika melihat Arta tumbuh menjadi lelaki yang gagah... maafkan Ibu... tidak bisa menjagamu...”

Aku masih tetap diam. Hanya air mata yang mulai mengalir.

Aaaaaaa“Bukalah matamu nak, katanya ingin lihat Ibu”

Aku menggelengkan kepalaku...

Aaaaaaa“Jangan marah, Ibu tidak akan pernah membenci anak Ibu. Tidak. Ibu akan selalu mencintai kalian berdua, karena kalian darah daging Ibu. Tak ada sedikitpun rasa benci atau marah. Maafkan atas kata-kata Ibu ketika kita masih bersama, kalian adalah anak ibu yang pintar...”

Aku semakin menangis...

Aaaaaaa“Buka matamu sayang” aku menggelengkan kepalaku. masih ada rasa sesal atas kata-kata yang baru saja aku katakan

Aaaaaaa“Katanya ingin lihat Ibu...” ku gelengkan kepalaku sekali lagi. Kurasakan pelukannya semakin hangat dan semakin rapat.

Aaaaaaa“Ibu akan selalu hadir, akan selalu menemani kalian. Hingga suatu saat nanti... ketika Ibu sudah tidak bsa menemuimu lagi... Ibu akan selalu bersama kalian... maafkan Ibu... Ibu sayang pada Arta dan juga Kakak perempuanmu, Arlena. Anak Ibu yang pintar dan selalu bisa saling menjaga... Ibu cinnta kalian berdua...”

Aku menangis, air mataku mengalir...

Maafkan aku, maafkan aku Ibu... maafkan tapi Arta tetap tidak bisa melupakan mereka... tidak akan pernah melupakan mereka...

Aaaaaaa“Ibu tahu...”

“Eh...”

Pelukannya semakin rapat, dan semakin terasa hangat. Nyaman...

.
.
.


“Egh... ugh...”

Aku terjaga dari mimpiku. Mataku masih terasa berat untuk terbuka.

“Hangat sekali”

Rasa yang hangat. Nyaman. Disekeliling kepalaku. bau parfum yang aku kenal juga sangat menyegat dihidung. Sedikit berbeda dengan kehangatan Ibu, apalagi bau wangi yang tercium. Ku gerakan kepalaku beberapa kali, semakin hangat. Pelan aku membuka mataku, sedikit demi sedikit dengan sedikit mengangkat wajah.

Awalnya pandanganku sedikit kabur. Tapi ketika mata sedikit beradaptasi dengan cahaya buram dalam mobil ini. ku lihat bayangan seorang perempuan yang sedang memluk kepalaku.

“Sh sh sh sh sh... tidurlah kembali Ar, tenangkan dirimu...”



“Egh... Deshhh...”
 
Terakhir diubah:
Scene 22
Awas Kalau Bilang...


Iliana Desy Prameswari

Sedikit aku terkejut. Baru kusadari dimana dan siapa yang memelukku. Aku berada didalam pelukan dadanya. Dari pandanganku yang masih kabur, aku bisa melihat senymannya. Saat aku mencoba bangkit, aku tertahan. Pelukannya terasa sangat kuat dan lembut. Aku menyerah, dan aku masih dalam pelukannya.

“De-Desmmm...” terbenam kembali karena tangannya tak membiarkan kepalaku pergi dari tempatnya, hangat.

Dagunya berada tepat di atas kepalaku. seskali ada elusan hangat di sekitar kepalaku.

“Sudah, tenang dulu. kamu itu tadi nangis-nangis. Itu lihat, masih basah” kata-katanya merujuk ke mataku

“Mmm...”

“Kalau kamu belum tenang, aku gak bakal lepasin”

Aku diam, teringat kembali percakapan dengan Ibu. Pandanganku menjadi lebih kabur dari sebelumnya. Tak terasa ternyata banyak sekali air yang bersarang di mataku. Tanganku meraih pergelangan tangan Desy, menariknya untuk melepaskan pelukan. Aku kemudian bangkit dan duduk. Entah sejak kapan dia berada ditempat duduk belakang bersamaku.

Ku sandarkan kepalaku, dengan arah pandangan keluar jendela mobil.

“Di tempat parkir kosku”

Aku sedikit menoleh ke arahnya. Bagaimana dia bisa tahu yang hendak aku tanyakan. Ku hela nafas panjang, kembali aku menoleh ke pemandangan luar jendela mobil. Pikiranku kembali melayang, baru saja melayang, tiba-tiba terdengar tawa kecil dari samping tempat dudukku.

“Cowok kok nangis, lucu tahu. Cengeng, malu-maluin hi hi hi”

Setelah mendengar kata-katanya, aku semakin tak ingin menoleh ke arahnya. Dia tidak pernah tahu apa yang aku rasakan selama ini. Rasa sakit. Kebencian. Kehilangan. Hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan sebuah memori yang menyakitkan. Dia tidak pernah tahu. Dan tak akan pernah dia tahu ataupun merasakan.

“Kamu habis berkelahi?”

“Kamu ndak perlu tahu”

“Iya, aku memang gak perlu tahu. Tapi kenapa ada bau darah menyengat?”

Seketika itu aku terkejut. Teringat pisau yang memang tidak aku bersihkan. Masih ada darah yang menempel. Dan pastinya baunya, tapi bagaimana dia bisa mencium bau darah sedangkan pisau itu aku simpan rapat.

“Didalam mobil ada AC ar, itu yang membuatku tahu ada bau darah”

“Eh... kamu tidak perlu tahu, tidak perlu tahu, tidak perlu” sekali lagi dia mengetahui apa yang menjadi pertanyaanku.

“Ngomongnya biasa saja kali. Pakai diulang-ulang segala, emangnya film horor hi hi hi”

“Aku ingin pulang”

“Ar...” tangannya meraih lenganku ketika aku hendak membuka pintu mobil. Erat, seakan sulit terlepas dari genggamannya.

“Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan. Bukan maksudku untuk mencampuri urusanmu. Tapi tadi... aku tidak sengaja melihatmu dibawa oleh orang yang tidak aku kenali, dan saat kamu dibawa masuk ke dalam mobil itu. Aku tahu kamu dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sebenarnya aku ingin keluar dari mobil, menghampirimu, tapi melilhat dua orang itu, aku mengurungkan niatku dan mengikuti kalian walau pada akhirnya aku kehilangan jejak”

“Aku terus berputar-putar mencari keberadaanmu. Tapi, setelah lama aku memutari tempat itu, tiba-tiba aku melihatmu mengendarai motor. Menuju sebuah perumahan dan tiba-tiba berlarimasuk ke dalam truk. Saat melihatmu berlari, kamu berbeda, hampir sama dengan kamu disaat malam tahun baru...”

“Eh...”

Kepalaku pelan tertunduk. Bibirku tertutup. Nafasku sedikit tertahan ketika mendengarnya. Senyap. Hening. Kembali mataku memandang pemandangan di luar jendela mobil.

“Sebenarnya aku ingin menyusulmu, tapi melihat itu bukan dirimu yang biasanya, aku putuskan untuk menunggu. Sampai ada sebuah mobil yang menyalipku, dan ketika mobil itu tepat didepanku, ada bayang-bayangmu yang terlihat jelas, akupun mengikutinya”

“Sampai di dekat pertokoan, baru aku sadari kamu bersama dengan seorang perempuan. aku terus membuntutimu, karena ada sesuatu yang aneh telah terjadi. Ada apa?” tangannya lembut turun dari lenganku ke pergelangan tangan

“Tidak ada..”

“Benarkah? Lalu kemana dua orang yang membawamu?”

Hening...

“Aaar...”

“Mati...”

“Eh...”

“Terbakar”

Datar. Begitulah jawabanku kepadanya. Membatnya terkejut. Aku menoleh sedikit kearahnya, kedua tangannya berhenti tepat didepan bibirnya. Nafasnya sedikit tertahan. Mata yang dia gunakan untuk memandangku menunjukan kalau dia menebak apa yang baru saja aku lakukan. Dan bisa jadi tebakannya memang benar.

“Bersama dengan seorang lagi yang kita kenal, laboran kimia dasar. Dia juga ikut terbakar bersama dua temannya... mati...” lanjutku. Meyakinkan apa yang ada didalam pikirannya.

“A-a..”

“Dan juga orang yang aku datangi diperumahan itu, dia juga menyusul mereka bertiga...”

“Kenapa diam Des?” lanjutku bertanya, kini aku menoleh ke arahnya. Mata kami berpandangan.

“Aku yakin kamu sudah tahu...” lanjutku

Hening kembali. Ku alihkan pandnaganku ke arah jendela mobil.

“Dan ini yang membuatmu bertanya...” aku keluarkan pisau yang berbalut darah kering dengan masih melihat ke luar jendela.

“Apa yang sebenarnya ada dikepalamu? Kenapa kamu sampai melakukan... dan itu adalah kesalahan! Kamu melakukan tindak kriminal...”

“Masa bodoh, aku tidak peduli...”

“Ar...”

Dia menarik bahu kananku, tubuhku berbalik ke arahnya.

Plak!

Sebuah tamparan ringan di pipiku. Membuat suasana menjadi lebih kaku dan senyap. Amarah dalam dirinya, emosi, terasa dari tamparan yang dia berikan kepadaku. Tatapannya matanya yang tertangkap dari sudut mataku, sangat terlihat jelas. Ada sebuah kebencian, kebencian terhadap tindakan yang aku lakukan.

“Seharusnya kamu sadar! Mungkin mereka berniat melakukan kejahatan terhadapmu, tapi kamu tidak perlu melakukan tindakan bodoh seperti itu. Bagaimana masa depanmu? Apa kamu ingin masa depanmu hancur dan hidup dibalik jeruji besi!”

Kedua bola mataku memandang matanya yang penuh dengan amrah. Dalam benakku, percuma saja aku membalas kata-katanya. Satu kataku tak akan pernah bisa memutar balik keadaan. Aku tak bisa mengalahkan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Yang hanya bisa aku lakukan adalah diam. Dia mempunyai seribu kata untuk menyudutkanku sedangkan aku, tak ada.

“Ar, jawab! Aku bisa lapo..”

“Laporkan saja Des...”

“Eh...”

“Aku sudah tidak peduli lagi...”

“Jangan hanya bisa berkata tidak peduli! Apa yang kamu lakukan merusak masa depanmu, mengecewakan keluargamu! Seharusnya kamu bisa mengendalikan emosimu, Ar!”

“Aku memang mengecewakan... he he he... aku memang mengecewakan...” Aku tertawa bukan karena senang, tawaku adalah tawa kebingunganku. Sedikit rasa penyesealan.

“Kamu tidak tahu apa yang aku alami, kamu tidak tahu rasanya hidup dalam rasa sakit. Kehilangan... hidup dalam bayang-bayang ketakutan... kamu tidak tahu Des... tidak...”

“Eh... a-apa maks..”

“Kamu tidak pernah akan tahu bagaimana rasanya!!! Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya ketika...”

Aku lepas. Sebuah cerita yang sebenarnya hanya aku dan kakek-nenekku yang tahu. Sebuah masa lalu yang tiba-tiba mengalir bersama kata-kata yang penuh dengan kebencian. Masa lalu yang seharusnya aku pendam sendiri dan tak perlu ada orang lain tahu. Begitu mengalir, dengan teriakan-teriakan di dalam mobil. Air mataku meleleh ketika setiap bait cerita aku ceritakan.

“Sekarang... laporkan saja! laporkan saja...” aku menangis sembari menatapnya,

“Eh... A-ar...” raut wajahnya terlihat sangat aneh. Kemarahan yang baru saja dia keluarkan, menghilang. Ada rasa takut, iba dan sebuah kebimbangan.

“Aku tahu aku salah... aku tahu Des... aku tahu... tapi...” dengan suara yang parau

“Aku tak akan melepaskan mereka” Geramku. Entah, tiba-tiba amarahku kembali bangkit. Tanganku memegang erat pisau yang berbalut darah kering itu. Pandanganku menjadi tajam, seakan tak ingin melepaskan satu buruanku lagi.

Srrk....

Heghh...


“Sh sh sh... tenangkan dirimu”

Kembali dia meraih kepalaku didadanya. Tangan kirinya memeluk erat sedang tangan kanannya bergerak lembut menyusuri tangan kananku. Lembut sekali pelukannya, tanpa kusadari pisau yang berada ditanganku sudah berpindah di tangannya. Dia lempar kebawah, entah dimana pisau itu.

Tangan kanannya meraih tangan kananku, dengan lembut dia arahkan tangan kananku di pinggangnya. Tanpa jeda, kini tangan kirinya yang sudah melepas pelukan dikepalaku karena digantikan tangan kananya, menarik lembut tangan kiriku. Kini aku berada dipelukannya, kepalaku berada didadanya.

“Udah... jangan nangis lagi, pelukan yang erat” ucapnya,

Setelah kata-katanya, kedua tanganku langsung memluknya erat. Terdengar sedikit tawa dari bibirnya. Mungkin dia menertawakan kecengenganku. Tapi entah kenapa amarahku bisa hanyut dalam kelembutannya.

“Nanti kalau sudah tenang, tidur di kamar. Kalau disini, nanti banyak yang lihat... kan malu hi hi hi...”

“Eh.. De-des...” aku hendak bangkit

Hegh...

“Yang suruh lepas siapa? Dah diam, kamu cukup mendengarkan saja, tidak boleh protes! Nanti aku marah, aku cubit kamu”

Aku mengangguk pelan dalam pelukannya...

Na.. na... na... mmmm... mmmm...​

Aku sedikit terperanjat ketika mendengar alunan lagu dari bibirnya. Tak jelas kata-katanya, tapi aku tahu alunan melodi itu. Alunan yang sama, sama persis dengan yang Ibu dan Mbak Arlena nyanyikan. Entah siapa lagi yang akan menyanyikannya.

Desy. Siapa perempuan ini sebenarnya? Amarah yang aku rasakan dari dalam dirinya sirna begitu cepat menjadi sebuah kehangatan. Apa benar dia adalah seorang malaikat? Apakah benar dia adalah malaikat? Berubah-berubah begitu cepat sekali. Sikapnya, kata-katanya. Dari yang jengkel, kemudian menjadi bercanda seperti ini.

Lama aku berada dalam pelukannya. Merasakan nyaman dan juga rasa yang lain. Nafasku kembali normal. Seakan dia tahu kondisiku, dia kemudian mengajakku untuk ke kamarnya. Padahal sudah malam, bagaimana dengan penghuni yang lain. Hah, kenapa aku harus berpikir seperti itu, bukannya aku juga sudah pernah bermalam disini.

Satu tangannya menggandengku, satu tangannya memegang pisau. Seperti anak kecil lagi. Mungkin dia berpikir aku akan lari. Ya karena genggaman tangannya sangat erat di pergelangan tanganku. Dan herannya, aku selalu menurut saja ketika tanganku digandeng.

“Sana bersih-bersih... aku buatkan teh sama makan”

“Eh, Des...”

“Sudaaaaah... ini aku sita dan akan aku buang”

“Ta-tapi...”

“Berani membantah?”

“Eng-enggak des, ja-jangan dibuang...”

“Mau aku bersihkan dulu, terus aku buang. Sudah sana ke kamar mandi, bau asem kaya gitu”

Ndak tahu kenapa, tiba-tiba nyaliku menjadi ciut. Tidak berani membalas kata-katanya. Nurut apa yang dia katakan. Di dalam kamar mandi, aku berdiam diri. Bau darah sedikit tercium dari kaos yang aku kenakan. Sedikit bercak darah di kaosku ketika aku melepasnya.

“Aneh”bathinku

Sudah cukup lama aku berdiam diri didalam kamar mandi. Mengingat kembali apa yang baru saja aku lakukan. Begitu tersadar dari lamunanku, segera aku membasuh wajahku dan juga membersihkan sebagian tubuhku. Begitu selesai, aku keluar dari kamar mandi. Sudah ada minuman hangat dan juga sepiring mi instan. Pandanganku ku alihkan ke arah perempuan yang sedang sibuk membungkus sesuatu.

“Apa itu Des?”

“Yang mau aku buang”

“Eh...”

“Sudah aku bersihkan tenang saja, tak ada sidik jarimu. Lagipula mana ada polisi mau mencari barang bukti sampai disini?” ucapnya sambil memandangku

“Dah itu makan dulu”

Kepalaku mengangguk. Sambil makan aku melihat dia membungkus pisau itu bersama dengan kertas-kertas putih. Dimasukan ke dalam tempat sampah dalam kamarnya. Kembali dia duduk bersila didepanku dengan kedua tangan memangku dagunya. Matanya menatapku yang sedang asyik menikmati mi buatannya.

“Enak?” aku mengangguk

“Masa sih?” aku kembali mengangguk

“Bagi dooong”

“Eh...” aku langsung menyodorkan piring yang masih berisi sedikit mie itu

“Hmmm...”

Bingung ketika dia tidak menggerakan kedua tangannya untuk menerima piring itu. bingung. Inisiatif, aku sendok sedikit mi dan ku arahkan kemulutnya. Sebenarnya aku hanya bercanda tapi bibirnya terbuka. Mau aku tarik, tapi suasananya kelihatannya tidak pas.

“Nyamm... makasih” dia tersenyum

“Kalau sudah taruh situ saja, besok pagi aku bereskan”

“Eh, iya...”

Setelah selesai makan. Aku letakan piring disampingku dan dia tetap duduk mengamatiku.

“Mau ngrokok?” aku mengangguk

“Gak usah besok saja, aku gak suka bau rokok” ucapnya sembari mengangkat tubuhnya dan bergeser duduk disampingku

“Baunya gak enak” lanjutnya

“I-iya...”

Tubuhnya bergeser merapat. Kepalanya rebah di lenganku. Kedua kakinya dipeluk. Ah, seakan aku ingin menggantikan lagi kedua kakinya itu. Masih terasa sekali pelukannya ketika berada didalam mobil. Pandanganku ku naikan, kulihat matanya terpejam. Perempuan ini memang benar-benar aneh.

“Ar... maafkan aku”

“Eh...” aku menunduk

“Tetaplah menjadi seperti biasanya, jangan berubah. aku tidak ingin karena apa yang telah kamu lakukan, merubahmu. Jadilah seperti yang biasanya... kamu memang melakukan sebuah kesalahan besar, tapi...”

“Tapi...” aku menirukan ucapannya

“Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada diposisimu walau itu salah... Aku tidak bisa membenarkan kesalahan yang kamu perbuat Ar dan aku juga tidak bisa menyalahkanmu... entahlah, aku juga bingung Ar...”

Matanya terbuka, memandang ke depan. Memandang televisi yang menampilkan layar hitamnya. Nafasnya sangat teratur beriringan dengan nafasku.

“Aku bingung...”

“Maafkan aku seharusnya aku tidak menceritakan masa laluku sehingga... kau bisa melaporkan aku dengan mudah”

“Bodoh...” sedikit sontekan sikunya ke pinggangku

“Eh...”

“Hi hi hi... ya enggaklah, kalaupun kamu gak cerita. Aku juga gak akan lapor, karena...”

Aku menunggunya kembali melanjutkan kata-katanya. Seandainya aku memiliki keahlian seperti dia, bisa membaca pikiran orang lain. Aku ingin membacanya, benar-benar ingin membacanya. Membaca apa saja yang dipikirkan olehnya.

“Huuuuuuffffthh... hi hi hi...”

“Kenapa malah tertawa?” tanyaku

“Maaf... aku tidak tahu sekelam itu masa lalumu. Kehilangan orang-orang yang kamu sayangi dengan cara yang berbeda dengan yang dirasakan orang lain. Kamu kuat Ar, lebih kuat dari semua teman yang aku kenal. Rasa takutmu adalah sebuah kebencian terhadap sesuatu yang tindakan semena-mena, yang mengurung keberanian didalam dirimu, dan ketika keluar seperti gelombang ombak yang menerjang tindakan semena-mena itu...”

“He he he... kamu itu ngomong apa to Des?”

“to to to hi hi hi...”

Hening. Pandangan kami sama, tertuju pada televisi yang berlayar hitam tanpa cahaya yang keluar. Hanya lampu merah kecil yang menyala disudut kanan bawah televisi. Aku ingin mendengarkan kata-kata selanjutnya dari bibir si penyihir itu, bukan penyihir tapi malaikat penyihir.

“Ar...” aku menoleh ke arahnya dimana dia juga menoleh ke arahku.

“Jadilah Arta yang selalu aku kenal, tepati janjimu untuk menjagaku dan yang lain, ya?” dia tersenyum

“Jadilah selalu kuat, a-aku...”

“Eh...”

“Aku akan selalu bersamamu...”

Dia tersenyum, matanya terhimpit pipi dan kelopak matanya. Aku mengangguk pelan dan dia masih tersenyum padaku. Aku terus memandan wajah manisnya. Wajah yang tersenyum memancarkan ke tentraman dalam ketakutanku.

Entah. Apa yang sebenarnya terjadi. Jari-jari tangan kanannya mengelus lembut pipi kiriku, membuatku semakin memajukan wajahku. Sesekali dia membuka matanya, mengendurkan senyumannya tapi kemudian kembali lagi tersenyum kepadaku. Semakin dekat. Semakin terasa nafas halus dan terdengar jelas di telingaku.

Telapak tangannya kini yang berganti mengelus pipiku. Semakin dekat. Bibirku tepat berada di bibirnya. Aroma wangi parfumnya semakin terasa menyengat hidungku. Hidungku sedikit menempel di hidungnya. Kepalanya kemudian bergerak, menghindarkan pertemuan ujung hidung kami. Bibirnya, bibirku sangat dekat tak ada 0,2 cm.

“Eh, maaf Des...” aku tersadar, menarik wajah, menjauh dari wajahnya. Aku menoleh ke arah yang lain, jantungku berdegup dengan kencang.

“Ar...”

“Maaf Des...”

“Ar...”

Aku menoleh ke arahnya.

“Mmmppphhh...”

Bibir kami bertautan. Tubuhnya sedikit terangkat, kedua telapak tangannya memegang leherku. Matanya terpejam. Entah, mungkin naluri. Kedua tanganku mmemeluk pinggangnya, membuatnya semakin maju. Membuatku sedikit mendongak ke atas.

Lama... matanya terus terpejam sedangkan mataku terbuka. Pikiranku kosong. Hanyut dalam nafasnya yang aku rasakan. Nafas membelai sebagian wajahku. Aku hanyut, ku pejamkan mataku. Tak ada suara hanya perpaduan nafas kami. Perpaduan nafas dari bibir yang saling bertemu.

Ketika tubuhnya semakin bertumpu ke tubuhku. aku sedikit kehilangan keseimbangan. Satu tanganku ku gerakan kesamping untuk menahan tubuhku.

Kletek ting...

Bersamaan dengan suara gelas dan piring yang beradu mata kami terbuka. Langsung dia melepaskan bibirnya, tangannya melepaskan tanganku yang berada dipinggangnya. Duduk sedikit menjauh dan membuang muka. Aku yang sedikit terkejut menoleh ke arah piring dan gelas. Malu juga, pelan aku menggerakan kepalaku ke arahnya.

“Eh... Des, e...”

“Aku tidur dulu Ar” dia langsung bangkit dan menuju ke kasur yang berada dibelakangku

“De-des... a-anu yang ta-tadi... ma-af... ta-tapi.. i-tu..”

“Aku ngantuk, bicara besok saja” ucapnya tanpa sedikitpun memperlihatkan wajahnya kepadaku

“Terima kasih...” ucapku lirih

Aku terus melihatnya. Berbaring. Menarik selimut. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

Bugh...

“Auch...” Sebuah bantal melayang mengenai kepalaku.

“Itu buat bantal tidurmu”

“Iya” aku sedikit melongok ke arahnya, tapi tak bisa aku melihat wajahnya. Ya sudahlah...

Ku letakan bantal di lantai, dibawah ujung tempat tidurnya sebagai sandaran. Kusandarkan tubuh dengan kedua kaki lurus kedepan. Bersedekap. Memandang langit-langit kamarnya. Benar-benar diluar apa yang aku pikirkan. Tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk bisa menyentuh bibirnya dengan bibirku.

Pelan kututup mataku. Mengistirahatkan pikiranku. Lelah rasanya, setelah semua yang telah terjadi. Lelah. Benar-benar lelah.

Srrk...

Hegh...

“De-des...” aku terkejut ketika dia duduk disampingku. Menarik tanganku melingkar dipinggangnya. Selimutnya menutupi tubuhnya.

“Awas kalau bilang empuk lagi!” pelan tapi tegas. Dengan kepalan tangan didepan wajahku.

“Eh... i-iya, lha ka-kamu tidak tidur di a-atas saja?”

Tak ada jawaban. Yang ada dia menaruh kepalanya di dadaku. Menarik tanganku semakin kedalam.

“Kamu tahu Ar...”

“Eh, i-iya...” aku sedikit menarik kepalaku. matanya terpejam.

“Aku tidak pernah merasa sedekat ini bahkan dnegan teman, pacar atau keluarga. Tak pernah aku merasa senyaman ini. Tepati janjimu, apapun yang terjadi, mau kamu seperti apa... aku akan selalu ada hoammhhh....”

“I-iya Des...”

“Tidur!”

“I-iya Des”

“Awas bilang empuk!” sedikit cubitan di pahaku.

“Terima kasih sebelumnya, terima kasih” dia mengangguk pelan.

Ah, perempuan. Bagaimana pikiranku bisa lurus kalau kamunya saja tidur seperti itu Des? Hmmm.... hoammhh... ngantuk juga. Mataku perlahan tertutup. Tertidur dan terbanng ke alam peristirahatanku. Meletakan segala rasa lelah dan menghilangkan amarahku. Lelah, aku lelah. Aku ingin terlelap....

.
.
.

“Ar...”

Suara lirih kudengar, seperti dalam mimpi. Tubuhku bergoyang pelan. Mungkin sedang ada gempa atau masa bodohlah. Aku tetap memjamkan mataku. Tapi, lama kelamaan goyangan itu semakin kuat. Ku buka mataku.

“Des... ughhh hoaaaammmhhh...”

“Bangun, dah jam setengah enam”

“Setengah enam?!” aku terkejut. Dan langsung duduk dengan tulang punngung tegak.

“Sudah tenang saja, kuliahnya kan jam setengah delapan. Masih banyak waktu. Dah sana bersih-bersih dulu”

“Lha aku kan ndak ada baju ganti”

“Lah, salah siapa sendiri gak bawa baju ganti hi hi hi”

“Hufth... iya, aku cuci muka saja”

“Mandi kek atau apa, bau asem kayak gitu”

Mataku memandang wajahnya yang terlihat cuek. Apa yang dia katakan sebenarnya berbanding terbalik. Lha kalau bau asem kenapa dia bisa betah tidur dekat sumbernya. Aneh kan?

“Iya...”

Aku menuju kamar mandi. Sekali lagi aku melirik ke arahnya. Sudah bersih, wajahnya terlihat putih dan bercahaya. Beruntung pasti orang yang akan menikah dengannya. Kembali aku berjalan menuju kamar mandi, kuhilangkan pikiran-pikiran semalam dan segera untuk membersihkan tubuhku. Masa bodoh, mau pakai pakaian ini lagi juga tidak masalah kayaknya.

Kleek

“Udah?” tanyanya, dan kujawab dengan anggukan

“Dah tuh makan, kalau mau ngrokok diluar” aku kembali mengangguk

Aku makan dan dia menonton televisi. Rambutnya terurai, matanya begitu tajam melihat kerah televisi. Diam, tak ada obrolan diantara kami berdua. Sedikit canggung sebenarnya aku, lha mau bagaimana lagi. Semalam juga kejadiannya terjadi begitu saja. Aneh sebenarnya.

Setelah selesai makan, aku tinggalkan dia didalam kamar. Aku duduk didepan menikmati kopi hangat dan dunhill. Melihat lalu lalang para bidadari dengan baju seksinya. Mereka tidak risih ketika aku melilhat mereka, mungkin karena aku sudah beberapa kali tidur di tempat ini. Benar-benar serasa di surga.

Kleek

“Ni sematpon kamu” aku menoleh ke arahnya. Sedikit terkejut ketika melihat sematponku ada padanya. Langsung aku meraba saku celanaku.

“Kok ada dikamu?”

“Semalam alarmnya bunyi, kamu gak kerasa jadi ya aku ambil terus matikan” ucapnya seraya berjalan dan duduk disebelahku. Dia sudah rapi, dengan kerudung menutupi dadanya.

“Oh...” aku menerimanya. Sebenarnya aku bingung. Seingatku, Alarm kan bunyi dan ada getaran, masa aku tidak terasa? Masa bodohlah...

“Nanti kamu naik bis saja ya berangkat kuliahnya.”

“Eh, gak boleh nebeng Des?”

“Enggak..”

“Lha kenapa?”

“Ntar aku bareng sama temen kos, aku gak mau dibully gara-gara cowok cengeng kaya kamu, weeeek...”

“Hmmm... kejam...”

“Emang...”

“Ar, tikus takut tikus ar, takut tikus, tikus takuuuut” ejekku menirukan suaranya ketika di gudang laboratorium. Dia menoleh dan menatapku tajam.

Plak

“Auch, sakit Des”

“Bodoh, cepet dah mau jam 7, telat ntar. Dan tas kamu ada didalam mobil, sebelum berangkat ambil, mobilnya gak dikunci”

“Tas?”

“Iya, pas kamu dibawa ke dalam mobil, tas kamu jatuh, aku sempat mengambilnya”

“Ooo...”

“A o a o”

“Galak banget sih Des?”

“Bodoh amat, aku mau ambil tas terus berangkat”

Dia masuk dan kemudian keluar bersama dengan tas mugil dipunggungnya. Aku mengikutinya, menuju mobil. Tas aku ambil dan langsung berpamitan dengannya. Entah kenapa dia tidak mengantarkan aku sampai keluar kos. Aneh juga, masa bodohlah. Aku segera berangkat.

.
.
.

“Woi curut!” teriak andrew

“Oit Ndrew”

“Mana motor kamu?”

“Hai Ar” sapa Helena,

“Hai helen”

“Ada masih dibengkel” lanjutku menjawab pertanyaan Andrew

“Lama bener, bengkel amatiran atau bagaimana? Nyervis gitu aja pake lama”

“Lupa ambil aku he he he” tidak mungkin aku menceritakan kejadian kemarin

Kami berjalan bersama menuju kelas. Kulihat Desy dan tiga sahabatnya sedang mengobrol didepan ruang kelas. Sikapnya seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Saling menyapa dan ya seperti biasanya, dusa sahabatnya sangat galak kepadaku. Dini dan Dina. Winda? Tidak, dia masih sama seperti sebelumnya.

Kuliah seperti biasanya, dengan sedikit gangguan suara-suara dari kegiatan mahasiswa baru. Di jeda waktu kuliah pertama dan kedua pun, kita ke kantin bersama. Suasana tetap sama, dimana Winda selalu dekat denganku. Lebih periang, mudah sekali diajak bercanda. Desy, dia sama seperti biasanya, selalu bersikap dewasa didepan kami. Yang lain sama saja.

Setelah berjam-jam mendengarkan celoteh dosen yang tidak aku mengerti, kuliah akhirnya rampung juga. Semua berhamburan keluar seperti air bah yang tumpah. Aku masih duduk dan mengamati mereka yang satu persatu mulai hilang dari pandanganku dan barulah aku berjalan menuju menuju pintu gerbang keluar kampus.

Sebenarnya sedikit aneh hari ini. Tidak ada kabar mengenai laboran kimia dasar. Apakah polisi belum menemukannya? Jika polisi menemukannya, bagaimana dengan nasibku? Pastinya mas Jiwa akan menghubungiku.

Didalam bis yang berjalan pun, pikiranku tidak tenang. Berkali-kali aku membuka sematponku, sekedar melihat pesan, barangkali ada mas Jiwa. Terus aku buka-tutup sematpon berkali-kali, sampai kompleks kontrakanku saja juga tidak ada pesan yang masuk. Apakah kasus kematian mereka berempat belum tercium polisi atau malah disembunyikan oleh komplotan mereka?

Santai aku melangkah ke dalam komplek dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai empat orang itu. Baru beberapa langkah masuk ke dalam gang, aku teringat motorku. Aku langsung putar balik langkahku menuju bengkel. Kalau tidak aku ambil, besok aku akan kuliah naik Bis lagi, dan itu tidak menyenangkan. Sesampainya disana, aku diberitahu kalau motorku sudah ada yang mengambil. Saat aku tanya siapa, Bapak RT-ku yang mengambil dan juga membayar. Apa mungkin pak RT yang mengambil? Bisa jadi malah Ibu RT-nya. Masa bodohlah, segera aku berbalik dan berlari menuju ke kompleks.

Ditengah-tengah gang...

Kriiing...

“Halo Des...”

“Sudah sampai kontarakan?”

“Belum, ada apa Des?”

“Oia, nanti setelah terima telepon dari aku, skroll kebawah chat di watsap kamu ya. paling bawah”

“Lho memangnya kenapa?”

“Jaga dia juga ya?”

“Maksud kamu Des?”

“A.... i.....”

“A.... i....?”

“Ya kamu jangan ngikuti cara ngomongku, coba kamu baca dua huruf itu berututan”

“Maksudnya?”

“Sudah cepetan, masa gitu saja gak tahu? Detektif kok gak mudeng hi hi hi”

“i-iya, A.. i...”

“Beurutan, langsung tanpa jeda...”

“iya... Ai”

“Nun”

Deg

Langkahku terhenti ketika mendengarnya. Ainun. Dia tahu tentang Ainun? Bagaimana dia tahu tentang Ainun? Aku tidak pernah bercerita kepadanya tentnag Ainun.

“Des, da...”

“Kamu banyak obral janji ya? hi hi hi tapi ingat, kalau kamu sampai ingkar hmmm... Awas!”

“Eh... ta-tapi darimana kamu tahu?”

“Kamu kan jago analisa, analisa dong hi hi hi... inget kamu dah janji sama kita bertiga, yang satunya yang akan kamu datangi sekarang ini... awas kalau bohong”

“I-iya Des...”

“Dan...”

“Dan?”

“Terima kasih semalam...”

“Seharusnya aku yang berterima kasih, Des”

“... itu Indah”

“Maksudnya?”

“Daaaaah” tuuuut...

Cepat sekali dia menutup teleponnya. Semalam? Hufth, Memang rasanya seperti ketika diatas gedung tapi sedikit berbeda. eh, kenapa aku malah memikirkan semalam. Desy menyuruhku untuk membuka watsap. Segera aku membukannya dan aku skroll kebawah. Satu chat diarsipkan dan itu adalah chat ainun. Aku membukannya, disitu tertulis...

“Desy, dia membalas chat Ainun dengan kata-kata yang tepat dan kelihatannya Ainun tahu itu bukan aku...” bathinku

Segera aku berlari kecil menuju rumahnya. Sesampainya disana, motorku terparkir di depan garasi mobil. Sepi. Pintu rumahnya terbuka. Aku segera masuk menujut pintu rumah. Tepat ketika aku berdiri didepan pintu yang terbuka.

“Aku sudah bilangkan..."
 
Terakhir diubah:
Malu juga semalam. Kenapa bisa aku yang malah menariknya. Hufth. Memang benar, aku yang membawanya, dia mengatakan hal yang benar, kalau seharusnya dia yang berterima kasih. Tapi kenapa malah aku? Tapi memang aku tidak pernah merasakan kedekatan yang sangat menyenangkan seperti semalam. Bahkan dengan pacar atau teman saja aku tidak pernah merasakannya, kecuali dengan Dia.

Ainun. Siapa perempuan itu ya? Kelihatannya memang sangat dekat dengan Arta. Dan... kelihatannya dia sangat dewasa, tapi kenapa di chat yang aku baca semalam dia juga terkesan manja, itupun setelah ada chat dari Arta saat dia dikos Winda. Terkadang horor juga kalau dilihat dari kata-kata yang mengisyaratkan agar Arta main ke tempatnya. Anehnya, Arta tak bisa bergeming.

“Hufth... sayangnya Arta memakai sematpon baru saja, kalau saja dia sudah lama memakai sematpon mungkin aku bisa baca chat dia sejak pertama kali kenal Ainun. Hi hi hi... Entahlah. Aku yakin dia akan menepati janjinya” bathinku

Ku lempar tas dan juga tubuhku ke tempat tidur. Sangat lelah hari ini, ya walau hatiku juga sedikit lelah gara-gara baca chat Ainun. Aneh juga, kenapa juga aku cemburu sama orang yang bukan pacarku?

Ketika aku memikirkan kejadian semalam, tiba-tiba aku teringat suatu hal ketika aku memberhentikan mobilku didepan Arta. Saat itu, ada seorang perempuan dengan baju kebaya dan jarik, berdiri di sebrang jalan menghadap ke Arta. Wajahnya tidak asing bagiku, aku pernah melihat perempuan itu sebelumnya, tapi yang kulihat semalam lebih berumur ketimbang yang pernah aku llihat sebelumnya. Wajahnya Ayu, manis tapi menyiratkan sebuah kekecewaan. Dan kekecewaan itu ditujukan pada Arta.

Yang lebih aneh, setelah aku didepan Arta, perempuan itu menghilang. Ingatan itu membuatku sedikit merinding ditambah lagi, saat sebelum Arta membentakku meminta berhenti. Perempuan itu ada di kiri jalan. Dan lagi-lagi, wajahnya penuh dengan kekecewaan.

“Eh, jangan-jangan hantu? Tapi kalau hantu, kenapa Arta?” bathinku

Saat di kanan jalan, Arta hendak menyebrang ke arah perempuan itu. Saat di kiri jalan, Arta juga memberi respon yang eksplosif. Itu tandanya Arta mengetahui perempuan itu. Siapa sebenarnya? Apakah ada hubungannya dengan perempuan yang pernah aku lihat sebelumnya? Yang lebih muda dari yang aku lihat saat bersama Arta?

“Haduh, pusing. Kalau aku pakai otak Arta pasti bisa ketemu jawabannya. otakku tidak sanggup berpikir seperti si detektif jadi-jadian itu. entahlah, tidur saja..” bathinku

Terima kasih Ar. Kemarin malam adalah Malam yang Indah.​

.
.
.

Malam hari seperti biasa, aku berkumpul dengan teman-teman kos. Bercanda dan bergurau. Banyak anak-anak baru dikosku, senang juga, karena punya banyak adik. Bagian yang tidak aku suka, dituakan, padahal baru semester lima.

Tepat pukul 21.30 aku kembali ke kamar. Suasana kos menjadi sepi. Aku duduk sendiri didepan layar televisi dengan tayangan yang sedikit menghiburku. Aku tidak tahu, mungkin karena tadi aku sudah tidur, mata ini sulit sekali tertutup. Tidak terasa rasa ngantuk. Minum kopi juga tidak, minum susu, iya. Hingga pukul 23.00 pada sematponku, aku juga belum bisa tidur. Suasana menjadi lebih sepi dan senyap sekali.

Aaaaaaa“Terima kasih”

“Eh, suara siapa?”

Aku berdiri dari tempatku duduk ketika mendengar suara yang sedikit menggema. Suaranya pelan, bukan suara anak kos sini. Pelan aku mencari sumber suara.

Aaaaaaa“Terima kasih telah memberinya semangat dan melindunginya”

“Siapa? Kamu dimana?”

Aaaaaaa“Terima kasih”

Suara itu dari luar kamarku. Aku melangkah pelan menuju pintu keluar kamar. Aroma wangi menyengat hidungku. Tubuhku gemetar, bulu kudukku berdiri. Sempat aku mengurungkan niatku untuk keluar dari kamar, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku terus berjalan, kusentuh daun pintu kamar kos.

“Kalau menang hantu, aku pasti akan pingsan. Kalau pingsan, ya sudah, paling besok jug ada yang nolong, hufth”bathinku

Kleeek...

Pintu terbuka. Sosok wanita yang sama, yang aku lihat ketika bersama Arta kemarin malam. Wajahnya begitu bercahaya dan wajahnya juga sama persis dengan wajah perempuan yang pernah aku lihat sebelumnya. Lengkungan bibirnya, cekungan dipipinya dan juga cara dia berdiri dengan kedua tangannya yang berada didepan pahanya, membuat ketakutanku menghilang. Aku berdiri terpaku melihat kecantikan perempuan didepanku.

Aaaaaaa“Terima kasih”

“Anda siapa?”

Aaaaaaa“Terima kasih telah melindungi dan memberi semangat kepada Arta. Tolong jaga dia, Kamu adalah salah satu perempuan yang bisa mengembalikan semangatnya”

“I-iya...”

Aaaaaaa“Hi hi hi... terima kasih”

Dia membungkuk kearahku, kemudian berdiri tegak dengan senyuman yang menentramkan. Aku terpaku seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat barusan. Pelan tubuhnya mulai menghilang, dimulai dari kakinya dan kemudian menghilang keseluruhan bersama senyuman itu.

“Eh... i-itu tadi!”

Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar. kututup dan ku kunci pintu. Berlari menuju tempat tidur dan ku tarik selimut. Ada rasa takut, ada rasas kagum. Takut karena dia menghilang begitu saja, kagum karena kelembutan talam bertutur kata dan juga lakunya.

“Iiih... Artaaaa kamu bikin aku ketakutan, awas!” bathinku

Segera aku menutup mataku. Berharap pagi cepat datang. Berharap aku segera bisa ketemu dengan si Arta culun, huh, mau aku cubit sekuat-kuatnya! Takuuuuut....
 
Terakhir diubah:
yahhh....dikit ya....tp lumayan....***s om dono....
apdet berikutnya jgn lama2 om don....hehe....keburu mati kelaparan ntr omen....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd