Scene 22
Awas Kalau Bilang...
Iliana Desy Prameswari
Sedikit aku terkejut. Baru kusadari dimana dan siapa yang memelukku. Aku berada didalam pelukan dadanya. Dari pandanganku yang masih kabur, aku bisa melihat senymannya. Saat aku mencoba bangkit, aku tertahan. Pelukannya terasa sangat kuat dan lembut. Aku menyerah, dan aku masih dalam pelukannya.
“De-Desmmm...” terbenam kembali karena tangannya tak membiarkan kepalaku pergi dari tempatnya, hangat.
Dagunya berada tepat di atas kepalaku. seskali ada elusan hangat di sekitar kepalaku.
“Sudah, tenang dulu. kamu itu tadi nangis-nangis. Itu lihat, masih basah” kata-katanya merujuk ke mataku
“Mmm...”
“Kalau kamu belum tenang, aku gak bakal lepasin”
Aku diam, teringat kembali percakapan dengan Ibu. Pandanganku menjadi lebih kabur dari sebelumnya. Tak terasa ternyata banyak sekali air yang bersarang di mataku. Tanganku meraih pergelangan tangan Desy, menariknya untuk melepaskan pelukan. Aku kemudian bangkit dan duduk. Entah sejak kapan dia berada ditempat duduk belakang bersamaku.
Ku sandarkan kepalaku, dengan arah pandangan keluar jendela mobil.
“Di tempat parkir kosku”
Aku sedikit menoleh ke arahnya. Bagaimana dia bisa tahu yang hendak aku tanyakan. Ku hela nafas panjang, kembali aku menoleh ke pemandangan luar jendela mobil. Pikiranku kembali melayang, baru saja melayang, tiba-tiba terdengar tawa kecil dari samping tempat dudukku.
“Cowok kok nangis, lucu tahu. Cengeng, malu-maluin hi hi hi”
Setelah mendengar kata-katanya, aku semakin tak ingin menoleh ke arahnya. Dia tidak pernah tahu apa yang aku rasakan selama ini. Rasa sakit. Kebencian. Kehilangan. Hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan sebuah memori yang menyakitkan. Dia tidak pernah tahu. Dan tak akan pernah dia tahu ataupun merasakan.
“Kamu habis berkelahi?”
“Kamu ndak perlu tahu”
“Iya, aku memang gak perlu tahu. Tapi kenapa ada bau darah menyengat?”
Seketika itu aku terkejut. Teringat pisau yang memang tidak aku bersihkan. Masih ada darah yang menempel. Dan pastinya baunya, tapi bagaimana dia bisa mencium bau darah sedangkan pisau itu aku simpan rapat.
“Didalam mobil ada AC ar, itu yang membuatku tahu ada bau darah”
“Eh... kamu tidak perlu tahu, tidak perlu tahu, tidak perlu” sekali lagi dia mengetahui apa yang menjadi pertanyaanku.
“Ngomongnya biasa saja kali. Pakai diulang-ulang segala, emangnya film horor hi hi hi”
“Aku ingin pulang”
“Ar...” tangannya meraih lenganku ketika aku hendak membuka pintu mobil. Erat, seakan sulit terlepas dari genggamannya.
“Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan. Bukan maksudku untuk mencampuri urusanmu. Tapi tadi... aku tidak sengaja melihatmu dibawa oleh orang yang tidak aku kenali, dan saat kamu dibawa masuk ke dalam mobil itu. Aku tahu kamu dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sebenarnya aku ingin keluar dari mobil, menghampirimu, tapi melilhat dua orang itu, aku mengurungkan niatku dan mengikuti kalian walau pada akhirnya aku kehilangan jejak”
“Aku terus berputar-putar mencari keberadaanmu. Tapi, setelah lama aku memutari tempat itu, tiba-tiba aku melihatmu mengendarai motor. Menuju sebuah perumahan dan tiba-tiba berlarimasuk ke dalam truk. Saat melihatmu berlari, kamu berbeda, hampir sama dengan kamu disaat malam tahun baru...”
“Eh...”
Kepalaku pelan tertunduk. Bibirku tertutup. Nafasku sedikit tertahan ketika mendengarnya. Senyap. Hening. Kembali mataku memandang pemandangan di luar jendela mobil.
“Sebenarnya aku ingin menyusulmu, tapi melihat itu bukan dirimu yang biasanya, aku putuskan untuk menunggu. Sampai ada sebuah mobil yang menyalipku, dan ketika mobil itu tepat didepanku, ada bayang-bayangmu yang terlihat jelas, akupun mengikutinya”
“Sampai di dekat pertokoan, baru aku sadari kamu bersama dengan seorang perempuan. aku terus membuntutimu, karena ada sesuatu yang aneh telah terjadi. Ada apa?” tangannya lembut turun dari lenganku ke pergelangan tangan
“Tidak ada..”
“Benarkah? Lalu kemana dua orang yang membawamu?”
Hening...
“Aaar...”
“Mati...”
“Eh...”
“Terbakar”
Datar. Begitulah jawabanku kepadanya. Membatnya terkejut. Aku menoleh sedikit kearahnya, kedua tangannya berhenti tepat didepan bibirnya. Nafasnya sedikit tertahan. Mata yang dia gunakan untuk memandangku menunjukan kalau dia menebak apa yang baru saja aku lakukan. Dan bisa jadi tebakannya memang benar.
“Bersama dengan seorang lagi yang kita kenal, laboran kimia dasar. Dia juga ikut terbakar bersama dua temannya... mati...” lanjutku. Meyakinkan apa yang ada didalam pikirannya.
“A-a..”
“Dan juga orang yang aku datangi diperumahan itu, dia juga menyusul mereka bertiga...”
“Kenapa diam Des?” lanjutku bertanya, kini aku menoleh ke arahnya. Mata kami berpandangan.
“Aku yakin kamu sudah tahu...” lanjutku
Hening kembali. Ku alihkan pandnaganku ke arah jendela mobil.
“Dan ini yang membuatmu bertanya...” aku keluarkan pisau yang berbalut darah kering dengan masih melihat ke luar jendela.
“Apa yang sebenarnya ada dikepalamu? Kenapa kamu sampai melakukan... dan itu adalah kesalahan! Kamu melakukan tindak kriminal...”
“Masa bodoh, aku tidak peduli...”
“Ar...”
Dia menarik bahu kananku, tubuhku berbalik ke arahnya.
Plak!
Sebuah tamparan ringan di pipiku. Membuat suasana menjadi lebih kaku dan senyap. Amarah dalam dirinya, emosi, terasa dari tamparan yang dia berikan kepadaku. Tatapannya matanya yang tertangkap dari sudut mataku, sangat terlihat jelas. Ada sebuah kebencian, kebencian terhadap tindakan yang aku lakukan.
“Seharusnya kamu sadar! Mungkin mereka berniat melakukan kejahatan terhadapmu, tapi kamu tidak perlu melakukan tindakan bodoh seperti itu. Bagaimana masa depanmu? Apa kamu ingin masa depanmu hancur dan hidup dibalik jeruji besi!”
Kedua bola mataku memandang matanya yang penuh dengan amrah. Dalam benakku, percuma saja aku membalas kata-katanya. Satu kataku tak akan pernah bisa memutar balik keadaan. Aku tak bisa mengalahkan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Yang hanya bisa aku lakukan adalah diam. Dia mempunyai seribu kata untuk menyudutkanku sedangkan aku, tak ada.
“Ar, jawab! Aku bisa lapo..”
“Laporkan saja Des...”
“Eh...”
“Aku sudah tidak peduli lagi...”
“Jangan hanya bisa berkata tidak peduli! Apa yang kamu lakukan merusak masa depanmu, mengecewakan keluargamu! Seharusnya kamu bisa mengendalikan emosimu, Ar!”
“Aku memang mengecewakan... he he he... aku memang mengecewakan...” Aku tertawa bukan karena senang, tawaku adalah tawa kebingunganku. Sedikit rasa penyesealan.
“Kamu tidak tahu apa yang aku alami, kamu tidak tahu rasanya hidup dalam rasa sakit. Kehilangan... hidup dalam bayang-bayang ketakutan... kamu tidak tahu Des... tidak...”
“Eh... a-apa maks..”
“Kamu tidak pernah akan tahu bagaimana rasanya!!! Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya ketika...”
Aku lepas. Sebuah cerita yang sebenarnya hanya aku dan kakek-nenekku yang tahu. Sebuah masa lalu yang tiba-tiba mengalir bersama kata-kata yang penuh dengan kebencian. Masa lalu yang seharusnya aku pendam sendiri dan tak perlu ada orang lain tahu. Begitu mengalir, dengan teriakan-teriakan di dalam mobil. Air mataku meleleh ketika setiap bait cerita aku ceritakan.
“Sekarang... laporkan saja! laporkan saja...” aku menangis sembari menatapnya,
“Eh... A-ar...” raut wajahnya terlihat sangat aneh. Kemarahan yang baru saja dia keluarkan, menghilang. Ada rasa takut, iba dan sebuah kebimbangan.
“Aku tahu aku salah... aku tahu Des... aku tahu... tapi...” dengan suara yang parau
“Aku tak akan melepaskan mereka” Geramku. Entah, tiba-tiba amarahku kembali bangkit. Tanganku memegang erat pisau yang berbalut darah kering itu. Pandanganku menjadi tajam, seakan tak ingin melepaskan satu buruanku lagi.
Srrk....
Heghh...
“Sh sh sh... tenangkan dirimu”
Kembali dia meraih kepalaku didadanya. Tangan kirinya memeluk erat sedang tangan kanannya bergerak lembut menyusuri tangan kananku. Lembut sekali pelukannya, tanpa kusadari pisau yang berada ditanganku sudah berpindah di tangannya. Dia lempar kebawah, entah dimana pisau itu.
Tangan kanannya meraih tangan kananku, dengan lembut dia arahkan tangan kananku di pinggangnya. Tanpa jeda, kini tangan kirinya yang sudah melepas pelukan dikepalaku karena digantikan tangan kananya, menarik lembut tangan kiriku. Kini aku berada dipelukannya, kepalaku berada didadanya.
“Udah... jangan nangis lagi, pelukan yang erat” ucapnya,
Setelah kata-katanya, kedua tanganku langsung memluknya erat. Terdengar sedikit tawa dari bibirnya. Mungkin dia menertawakan kecengenganku. Tapi entah kenapa amarahku bisa hanyut dalam kelembutannya.
“Nanti kalau sudah tenang, tidur di kamar. Kalau disini, nanti banyak yang lihat... kan malu hi hi hi...”
“Eh.. De-des...” aku hendak bangkit
Hegh...
“Yang suruh lepas siapa? Dah diam, kamu cukup mendengarkan saja, tidak boleh protes! Nanti aku marah, aku cubit kamu”
Aku mengangguk pelan dalam pelukannya...
Na.. na... na... mmmm... mmmm...
Aku sedikit terperanjat ketika mendengar alunan lagu dari bibirnya. Tak jelas kata-katanya, tapi aku tahu alunan melodi itu. Alunan yang sama, sama persis dengan yang Ibu dan Mbak Arlena nyanyikan. Entah siapa lagi yang akan menyanyikannya.
Desy. Siapa perempuan ini sebenarnya? Amarah yang aku rasakan dari dalam dirinya sirna begitu cepat menjadi sebuah kehangatan. Apa benar dia adalah seorang malaikat? Apakah benar dia adalah malaikat? Berubah-berubah begitu cepat sekali. Sikapnya, kata-katanya. Dari yang jengkel, kemudian menjadi bercanda seperti ini.
Lama aku berada dalam pelukannya. Merasakan nyaman dan juga rasa yang lain. Nafasku kembali normal. Seakan dia tahu kondisiku, dia kemudian mengajakku untuk ke kamarnya. Padahal sudah malam, bagaimana dengan penghuni yang lain. Hah, kenapa aku harus berpikir seperti itu, bukannya aku juga sudah pernah bermalam disini.
Satu tangannya menggandengku, satu tangannya memegang pisau. Seperti anak kecil lagi. Mungkin dia berpikir aku akan lari. Ya karena genggaman tangannya sangat erat di pergelangan tanganku. Dan herannya, aku selalu menurut saja ketika tanganku digandeng.
“Sana bersih-bersih... aku buatkan teh sama makan”
“Eh, Des...”
“Sudaaaaah... ini aku sita dan akan aku buang”
“Ta-tapi...”
“Berani membantah?”
“Eng-enggak des, ja-jangan dibuang...”
“Mau aku bersihkan dulu, terus aku buang. Sudah sana ke kamar mandi, bau asem kaya gitu”
Ndak tahu kenapa, tiba-tiba nyaliku menjadi ciut. Tidak berani membalas kata-katanya. Nurut apa yang dia katakan. Di dalam kamar mandi, aku berdiam diri. Bau darah sedikit tercium dari kaos yang aku kenakan. Sedikit bercak darah di kaosku ketika aku melepasnya.
“Aneh”bathinku
Sudah cukup lama aku berdiam diri didalam kamar mandi. Mengingat kembali apa yang baru saja aku lakukan. Begitu tersadar dari lamunanku, segera aku membasuh wajahku dan juga membersihkan sebagian tubuhku. Begitu selesai, aku keluar dari kamar mandi. Sudah ada minuman hangat dan juga sepiring mi instan. Pandanganku ku alihkan ke arah perempuan yang sedang sibuk membungkus sesuatu.
“Apa itu Des?”
“Yang mau aku buang”
“Eh...”
“Sudah aku bersihkan tenang saja, tak ada sidik jarimu. Lagipula mana ada polisi mau mencari barang bukti sampai disini?” ucapnya sambil memandangku
“Dah itu makan dulu”
Kepalaku mengangguk. Sambil makan aku melihat dia membungkus pisau itu bersama dengan kertas-kertas putih. Dimasukan ke dalam tempat sampah dalam kamarnya. Kembali dia duduk bersila didepanku dengan kedua tangan memangku dagunya. Matanya menatapku yang sedang asyik menikmati mi buatannya.
“Enak?” aku mengangguk
“Masa sih?” aku kembali mengangguk
“Bagi dooong”
“Eh...” aku langsung menyodorkan piring yang masih berisi sedikit mie itu
“Hmmm...”
Bingung ketika dia tidak menggerakan kedua tangannya untuk menerima piring itu. bingung. Inisiatif, aku sendok sedikit mi dan ku arahkan kemulutnya. Sebenarnya aku hanya bercanda tapi bibirnya terbuka. Mau aku tarik, tapi suasananya kelihatannya tidak pas.
“Nyamm... makasih” dia tersenyum
“Kalau sudah taruh situ saja, besok pagi aku bereskan”
“Eh, iya...”
Setelah selesai makan. Aku letakan piring disampingku dan dia tetap duduk mengamatiku.
“Mau ngrokok?” aku mengangguk
“Gak usah besok saja, aku gak suka bau rokok” ucapnya sembari mengangkat tubuhnya dan bergeser duduk disampingku
“Baunya gak enak” lanjutnya
“I-iya...”
Tubuhnya bergeser merapat. Kepalanya rebah di lenganku. Kedua kakinya dipeluk. Ah, seakan aku ingin menggantikan lagi kedua kakinya itu. Masih terasa sekali pelukannya ketika berada didalam mobil. Pandanganku ku naikan, kulihat matanya terpejam. Perempuan ini memang benar-benar aneh.
“Ar... maafkan aku”
“Eh...” aku menunduk
“Tetaplah menjadi seperti biasanya, jangan berubah. aku tidak ingin karena apa yang telah kamu lakukan, merubahmu. Jadilah seperti yang biasanya... kamu memang melakukan sebuah kesalahan besar, tapi...”
“Tapi...” aku menirukan ucapannya
“Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada diposisimu walau itu salah... Aku tidak bisa membenarkan kesalahan yang kamu perbuat Ar dan aku juga tidak bisa menyalahkanmu... entahlah, aku juga bingung Ar...”
Matanya terbuka, memandang ke depan. Memandang televisi yang menampilkan layar hitamnya. Nafasnya sangat teratur beriringan dengan nafasku.
“Aku bingung...”
“Maafkan aku seharusnya aku tidak menceritakan masa laluku sehingga... kau bisa melaporkan aku dengan mudah”
“Bodoh...” sedikit sontekan sikunya ke pinggangku
“Eh...”
“Hi hi hi... ya enggaklah, kalaupun kamu gak cerita. Aku juga gak akan lapor, karena...”
Aku menunggunya kembali melanjutkan kata-katanya. Seandainya aku memiliki keahlian seperti dia, bisa membaca pikiran orang lain. Aku ingin membacanya, benar-benar ingin membacanya. Membaca apa saja yang dipikirkan olehnya.
“Huuuuuuffffthh... hi hi hi...”
“Kenapa malah tertawa?” tanyaku
“Maaf... aku tidak tahu sekelam itu masa lalumu. Kehilangan orang-orang yang kamu sayangi dengan cara yang berbeda dengan yang dirasakan orang lain. Kamu kuat Ar, lebih kuat dari semua teman yang aku kenal. Rasa takutmu adalah sebuah kebencian terhadap sesuatu yang tindakan semena-mena, yang mengurung keberanian didalam dirimu, dan ketika keluar seperti gelombang ombak yang menerjang tindakan semena-mena itu...”
“He he he... kamu itu ngomong apa to Des?”
“to to to hi hi hi...”
Hening. Pandangan kami sama, tertuju pada televisi yang berlayar hitam tanpa cahaya yang keluar. Hanya lampu merah kecil yang menyala disudut kanan bawah televisi. Aku ingin mendengarkan kata-kata selanjutnya dari bibir si penyihir itu, bukan penyihir tapi malaikat penyihir.
“Ar...” aku menoleh ke arahnya dimana dia juga menoleh ke arahku.
“Jadilah Arta yang selalu aku kenal, tepati janjimu untuk menjagaku dan yang lain, ya?” dia tersenyum
“Jadilah selalu kuat, a-aku...”
“Eh...”
“Aku akan selalu bersamamu...”
Dia tersenyum, matanya terhimpit pipi dan kelopak matanya. Aku mengangguk pelan dan dia masih tersenyum padaku. Aku terus memandan wajah manisnya. Wajah yang tersenyum memancarkan ke tentraman dalam ketakutanku.
Entah. Apa yang sebenarnya terjadi. Jari-jari tangan kanannya mengelus lembut pipi kiriku, membuatku semakin memajukan wajahku. Sesekali dia membuka matanya, mengendurkan senyumannya tapi kemudian kembali lagi tersenyum kepadaku. Semakin dekat. Semakin terasa nafas halus dan terdengar jelas di telingaku.
Telapak tangannya kini yang berganti mengelus pipiku. Semakin dekat. Bibirku tepat berada di bibirnya. Aroma wangi parfumnya semakin terasa menyengat hidungku. Hidungku sedikit menempel di hidungnya. Kepalanya kemudian bergerak, menghindarkan pertemuan ujung hidung kami. Bibirnya, bibirku sangat dekat tak ada 0,2 cm.
“Eh, maaf Des...” aku tersadar, menarik wajah, menjauh dari wajahnya. Aku menoleh ke arah yang lain, jantungku berdegup dengan kencang.
“Ar...”
“Maaf Des...”
“Ar...”
Aku menoleh ke arahnya.
“Mmmppphhh...”
Bibir kami bertautan. Tubuhnya sedikit terangkat, kedua telapak tangannya memegang leherku. Matanya terpejam. Entah, mungkin naluri. Kedua tanganku mmemeluk pinggangnya, membuatnya semakin maju. Membuatku sedikit mendongak ke atas.
Lama... matanya terus terpejam sedangkan mataku terbuka. Pikiranku kosong. Hanyut dalam nafasnya yang aku rasakan. Nafas membelai sebagian wajahku. Aku hanyut, ku pejamkan mataku. Tak ada suara hanya perpaduan nafas kami. Perpaduan nafas dari bibir yang saling bertemu.
Ketika tubuhnya semakin bertumpu ke tubuhku. aku sedikit kehilangan keseimbangan. Satu tanganku ku gerakan kesamping untuk menahan tubuhku.
Kletek ting...
Bersamaan dengan suara gelas dan piring yang beradu mata kami terbuka. Langsung dia melepaskan bibirnya, tangannya melepaskan tanganku yang berada dipinggangnya. Duduk sedikit menjauh dan membuang muka. Aku yang sedikit terkejut menoleh ke arah piring dan gelas. Malu juga, pelan aku menggerakan kepalaku ke arahnya.
“Eh... Des, e...”
“Aku tidur dulu Ar” dia langsung bangkit dan menuju ke kasur yang berada dibelakangku
“De-des... a-anu yang ta-tadi... ma-af... ta-tapi.. i-tu..”
“Aku ngantuk, bicara besok saja” ucapnya tanpa sedikitpun memperlihatkan wajahnya kepadaku
“Terima kasih...” ucapku lirih
Aku terus melihatnya. Berbaring. Menarik selimut. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
Bugh...
“Auch...” Sebuah bantal melayang mengenai kepalaku.
“Itu buat bantal tidurmu”
“Iya” aku sedikit melongok ke arahnya, tapi tak bisa aku melihat wajahnya. Ya sudahlah...
Ku letakan bantal di lantai, dibawah ujung tempat tidurnya sebagai sandaran. Kusandarkan tubuh dengan kedua kaki lurus kedepan. Bersedekap. Memandang langit-langit kamarnya. Benar-benar diluar apa yang aku pikirkan. Tak pernah terbesit dalam pikiranku untuk bisa menyentuh bibirnya dengan bibirku.
Pelan kututup mataku. Mengistirahatkan pikiranku. Lelah rasanya, setelah semua yang telah terjadi. Lelah. Benar-benar lelah.
Srrk...
Hegh...
“De-des...” aku terkejut ketika dia duduk disampingku. Menarik tanganku melingkar dipinggangnya. Selimutnya menutupi tubuhnya.
“Awas kalau bilang empuk lagi!” pelan tapi tegas. Dengan kepalan tangan didepan wajahku.
“Eh... i-iya, lha ka-kamu tidak tidur di a-atas saja?”
Tak ada jawaban. Yang ada dia menaruh kepalanya di dadaku. Menarik tanganku semakin kedalam.
“Kamu tahu Ar...”
“Eh, i-iya...” aku sedikit menarik kepalaku. matanya terpejam.
“Aku tidak pernah merasa sedekat ini bahkan dnegan teman, pacar atau keluarga. Tak pernah aku merasa senyaman ini. Tepati janjimu, apapun yang terjadi, mau kamu seperti apa... aku akan selalu ada hoammhhh....”
“I-iya Des...”
“Tidur!”
“I-iya Des”
“Awas bilang empuk!” sedikit cubitan di pahaku.
“Terima kasih sebelumnya, terima kasih” dia mengangguk pelan.
Ah, perempuan. Bagaimana pikiranku bisa lurus kalau kamunya saja tidur seperti itu Des? Hmmm.... hoammhh... ngantuk juga. Mataku perlahan tertutup. Tertidur dan terbanng ke alam peristirahatanku. Meletakan segala rasa lelah dan menghilangkan amarahku. Lelah, aku lelah. Aku ingin terlelap....
.
.
.
“Ar...”
Suara lirih kudengar, seperti dalam mimpi. Tubuhku bergoyang pelan. Mungkin sedang ada gempa atau masa bodohlah. Aku tetap memjamkan mataku. Tapi, lama kelamaan goyangan itu semakin kuat. Ku buka mataku.
“Des... ughhh hoaaaammmhhh...”
“Bangun, dah jam setengah enam”
“Setengah enam?!” aku terkejut. Dan langsung duduk dengan tulang punngung tegak.
“Sudah tenang saja, kuliahnya kan jam setengah delapan. Masih banyak waktu. Dah sana bersih-bersih dulu”
“Lha aku kan ndak ada baju ganti”
“Lah, salah siapa sendiri gak bawa baju ganti hi hi hi”
“Hufth... iya, aku cuci muka saja”
“Mandi kek atau apa, bau asem kayak gitu”
Mataku memandang wajahnya yang terlihat cuek. Apa yang dia katakan sebenarnya berbanding terbalik. Lha kalau bau asem kenapa dia bisa betah tidur dekat sumbernya. Aneh kan?
“Iya...”
Aku menuju kamar mandi. Sekali lagi aku melirik ke arahnya. Sudah bersih, wajahnya terlihat putih dan bercahaya. Beruntung pasti orang yang akan menikah dengannya. Kembali aku berjalan menuju kamar mandi, kuhilangkan pikiran-pikiran semalam dan segera untuk membersihkan tubuhku. Masa bodoh, mau pakai pakaian ini lagi juga tidak masalah kayaknya.
Kleek
“Udah?” tanyanya, dan kujawab dengan anggukan
“Dah tuh makan, kalau mau ngrokok diluar” aku kembali mengangguk
Aku makan dan dia menonton televisi. Rambutnya terurai, matanya begitu tajam melihat kerah televisi. Diam, tak ada obrolan diantara kami berdua. Sedikit canggung sebenarnya aku, lha mau bagaimana lagi. Semalam juga kejadiannya terjadi begitu saja. Aneh sebenarnya.
Setelah selesai makan, aku tinggalkan dia didalam kamar. Aku duduk didepan menikmati kopi hangat dan dunhill. Melihat lalu lalang para bidadari dengan baju seksinya. Mereka tidak risih ketika aku melilhat mereka, mungkin karena aku sudah beberapa kali tidur di tempat ini. Benar-benar serasa di surga.
Kleek
“Ni sematpon kamu” aku menoleh ke arahnya. Sedikit terkejut ketika melihat sematponku ada padanya. Langsung aku meraba saku celanaku.
“Kok ada dikamu?”
“Semalam alarmnya bunyi, kamu gak kerasa jadi ya aku ambil terus matikan” ucapnya seraya berjalan dan duduk disebelahku. Dia sudah rapi, dengan kerudung menutupi dadanya.
“Oh...” aku menerimanya. Sebenarnya aku bingung. Seingatku, Alarm kan bunyi dan ada getaran, masa aku tidak terasa? Masa bodohlah...
“Nanti kamu naik bis saja ya berangkat kuliahnya.”
“Eh, gak boleh nebeng Des?”
“Enggak..”
“Lha kenapa?”
“Ntar aku bareng sama temen kos, aku gak mau dibully gara-gara cowok cengeng kaya kamu, weeeek...”
“Hmmm... kejam...”
“Emang...”
“Ar, tikus takut tikus ar, takut tikus, tikus takuuuut” ejekku menirukan suaranya ketika di gudang laboratorium. Dia menoleh dan menatapku tajam.
Plak
“Auch, sakit Des”
“Bodoh, cepet dah mau jam 7, telat ntar. Dan tas kamu ada didalam mobil, sebelum berangkat ambil, mobilnya gak dikunci”
“Tas?”
“Iya, pas kamu dibawa ke dalam mobil, tas kamu jatuh, aku sempat mengambilnya”
“Ooo...”
“A o a o”
“Galak banget sih Des?”
“Bodoh amat, aku mau ambil tas terus berangkat”
Dia masuk dan kemudian keluar bersama dengan tas mugil dipunggungnya. Aku mengikutinya, menuju mobil. Tas aku ambil dan langsung berpamitan dengannya. Entah kenapa dia tidak mengantarkan aku sampai keluar kos. Aneh juga, masa bodohlah. Aku segera berangkat.
.
.
.
“Woi curut!” teriak andrew
“Oit Ndrew”
“Mana motor kamu?”
“Hai Ar” sapa Helena,
“Hai helen”
“Ada masih dibengkel” lanjutku menjawab pertanyaan Andrew
“Lama bener, bengkel amatiran atau bagaimana? Nyervis gitu aja pake lama”
“Lupa ambil aku he he he” tidak mungkin aku menceritakan kejadian kemarin
Kami berjalan bersama menuju kelas. Kulihat Desy dan tiga sahabatnya sedang mengobrol didepan ruang kelas. Sikapnya seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa. Saling menyapa dan ya seperti biasanya, dusa sahabatnya sangat galak kepadaku. Dini dan Dina. Winda? Tidak, dia masih sama seperti sebelumnya.
Kuliah seperti biasanya, dengan sedikit gangguan suara-suara dari kegiatan mahasiswa baru. Di jeda waktu kuliah pertama dan kedua pun, kita ke kantin bersama. Suasana tetap sama, dimana Winda selalu dekat denganku. Lebih periang, mudah sekali diajak bercanda. Desy, dia sama seperti biasanya, selalu bersikap dewasa didepan kami. Yang lain sama saja.
Setelah berjam-jam mendengarkan celoteh dosen yang tidak aku mengerti, kuliah akhirnya rampung juga. Semua berhamburan keluar seperti air bah yang tumpah. Aku masih duduk dan mengamati mereka yang satu persatu mulai hilang dari pandanganku dan barulah aku berjalan menuju menuju pintu gerbang keluar kampus.
Sebenarnya sedikit aneh hari ini. Tidak ada kabar mengenai laboran kimia dasar. Apakah polisi belum menemukannya? Jika polisi menemukannya, bagaimana dengan nasibku? Pastinya mas Jiwa akan menghubungiku.
Didalam bis yang berjalan pun, pikiranku tidak tenang. Berkali-kali aku membuka sematponku, sekedar melihat pesan, barangkali ada mas Jiwa. Terus aku buka-tutup sematpon berkali-kali, sampai kompleks kontrakanku saja juga tidak ada pesan yang masuk. Apakah kasus kematian mereka berempat belum tercium polisi atau malah disembunyikan oleh komplotan mereka?
Santai aku melangkah ke dalam komplek dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai empat orang itu. Baru beberapa langkah masuk ke dalam gang, aku teringat motorku. Aku langsung putar balik langkahku menuju bengkel. Kalau tidak aku ambil, besok aku akan kuliah naik Bis lagi, dan itu tidak menyenangkan. Sesampainya disana, aku diberitahu kalau motorku sudah ada yang mengambil. Saat aku tanya siapa, Bapak RT-ku yang mengambil dan juga membayar. Apa mungkin pak RT yang mengambil? Bisa jadi malah Ibu RT-nya. Masa bodohlah, segera aku berbalik dan berlari menuju ke kompleks.
Ditengah-tengah gang...
Kriiing...
“Halo Des...”
“Sudah sampai kontarakan?”
“Belum, ada apa Des?”
“Oia, nanti setelah terima telepon dari aku, skroll kebawah chat di watsap kamu ya. paling bawah”
“Lho memangnya kenapa?”
“Jaga dia juga ya?”
“Maksud kamu Des?”
“A.... i.....”
“A.... i....?”
“Ya kamu jangan ngikuti cara ngomongku, coba kamu baca dua huruf itu berututan”
“Maksudnya?”
“Sudah cepetan, masa gitu saja gak tahu? Detektif kok gak mudeng hi hi hi”
“i-iya, A.. i...”
“Beurutan, langsung tanpa jeda...”
“iya... Ai”
“Nun”
Deg
Langkahku terhenti ketika mendengarnya. Ainun. Dia tahu tentang Ainun? Bagaimana dia tahu tentang Ainun? Aku tidak pernah bercerita kepadanya tentnag Ainun.
“Des, da...”
“Kamu banyak obral janji ya? hi hi hi tapi ingat, kalau kamu sampai ingkar hmmm... Awas!”
“Eh... ta-tapi darimana kamu tahu?”
“Kamu kan jago analisa, analisa dong hi hi hi... inget kamu dah janji sama kita bertiga, yang satunya yang akan kamu datangi sekarang ini... awas kalau bohong”
“I-iya Des...”
“Dan...”
“Dan?”
“Terima kasih semalam...”
“Seharusnya aku yang berterima kasih, Des”
“... itu Indah”
“Maksudnya?”
“Daaaaah” tuuuut...
Cepat sekali dia menutup teleponnya. Semalam? Hufth, Memang rasanya seperti ketika diatas gedung tapi sedikit berbeda. eh, kenapa aku malah memikirkan semalam. Desy menyuruhku untuk membuka watsap. Segera aku membukannya dan aku skroll kebawah. Satu chat diarsipkan dan itu adalah chat ainun. Aku membukannya, disitu tertulis...
“Desy, dia membalas chat Ainun dengan kata-kata yang tepat dan kelihatannya Ainun tahu itu bukan aku...” bathinku
Segera aku berlari kecil menuju rumahnya. Sesampainya disana, motorku terparkir di depan garasi mobil. Sepi. Pintu rumahnya terbuka. Aku segera masuk menujut pintu rumah. Tepat ketika aku berdiri didepan pintu yang terbuka.
“Aku sudah bilangkan..."