Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
ada tanda2 alam mau update nih kayaknya.
Ayooo suhu semangat mumpung orang2 pada kumpul ndang di update
 
Tergantung mood juga sih. Bisa 12 kayak kemaren dulu, atau malah 20. Atau kurang dari itu. Atau..... tidak sama sekali
:pandaketawa:
 
Scene 4
Kala Surya Tenggelam Di Awal Hari Yang Cerah



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari


Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia




“Uuuuuh... Mas Ronald kemana sih?” bathinku

Aku benar-benar bete, setiap dikirimi pesen selalu aja gak ada balasan. Huh! Sekalinya bales, paling balesnya dikit-dikit. Pas ke sini mintanya ini itu, terus minta yang lebih. Bukannya gak mau mas, tapi kan kalau mas ninggalin aku gitu aja kan... aaaaa... Aku bener-bener bete! Bete! bete! Sudah hampir dua minggu gak ada kabar dari mas Ronald. Main juga jarang. Kangen banget sih rasanya. Mmm... apa mungkin memang mas Ronald sengaja ya, pasti dia mau bikin kejutan buat aku hi hi.

Padahal dulu biasanya selalu ada yang bisa membuatku tertawa setiap hari. tapi sekarang dia sudah jarang ada. Yang bisa aku lakukan sekarang, setiap harinya, hanya tiduran dan belajar. Sesekali keluar bersama ketiga sahabatku, Dina, Dini dan Desy. Selebihnya hanya bermalas-malasan di kosku. Tapi, hiks hiks, aku kan sedih juga, aku itu dasarnya manja tapi kalau gak ada yang manja-manjain kan.

“Aaaaaaaaa... Bete!”

“Bodoh ah... lebih baik aku bobo, dah malem, huh!”

.
.
.

Didalam mobil, sejenak aku termenung, masih teringat akan hari kemarin. Tak ada yang memanjakanku seharian kemarin. Bahkan hari-hari sebelumnya. Kemarin, bener-bener galau ditambah dengan bumbu kecewa karena tidak ada balasan dari Mas Ronald untuk kesekian kalinya. Dan hari ini aku kuliah, kuliah dengan pikiran kacau balau. Hufth! aku harus bersikap tenang. Karena pastinya, kalau raut wajahku berubah sedih, Dina pasti bakalan membully-ku habis-habisan.

Huufth...

Aku keluar dari mobil, dengan langkah sedikit kaku. Wajar saja, sudah beberapa hari aku tidak mendapatkan kasih sayang dari mas Ronald. Jablay, itu mungkin kata yang tepat. Huh, daripada aku harus memikirkan hari kemarin, dan berdiri disamping mobilku. Lebih baik aku mulai melangkah ke ruang kuliah.

Jeglek...

Kututup pintu mobil. Berjalan menyusuri tempat parkir. Kampus sudah mulai ramai dengan mahasiswa. Mereka berjalan menuju gedung kuliah. Tapi, tapi yang buat aku makin bete. Kenapa sih mereka harus berpasang-pasangan?! Pacaran-pacaranlah! tapi gak usah diliatin didepanku! Huh bikin mangkel di hati aja.

“Winda...” sapa seseorang dari belakangku. Aku menoleh kebelakang, dan itu adalah Arta.

“He-hei Ar” sapaku kepadanya. Dia tampak bahagia sekali, berbeda denganku. Dengan langkah ringan dia kemudian berdiri disampingku, menegapkan tubuhnya dan tersenyum memperlihatkan gigi putihnya. Aku sedikit bergeser kesamping, karena jujur, aku masih merasa takut kepadanya.

“Jangan melamun Wind, aku lihat dari tadi kamu berdiri disini terus? Ada apa?” tanyanya dengan sedikit membungkuk. Maklum, tubuhku hanya sepundaknya saja.

“Eng-enggak kok, sapa bilang aku berdiri disini terus” jawabku

“Ha ha ha... Winda, kamu itu tadi keluar dari mobil jadi patung, habis jalan sebentar jadi patung lagi. Aku itu dari tadi lihat kamu terus lho” jawabnya, dengan jari telunjuk kanannya menyangga dagunya, hingga dia melihat ke atas.

“Eh, ma-masa sih??” aku menoleh ke arah belakang, dan hanya beberapa meter aku berjalan dari mobilku.

“Yaelah, baru sadar. Aku tadi habis parkir motor nongkrong disana tuh” sambil dia menunjuk ke arah pojokan tempat parkir dengan pohon yang rindang disana.

“Nah, dari situ kan aku bisa lihat kamu. kaya orang lagi banyak pikiran. Kenapa?” kembali dia bertanya, tubuhnya sedikit membungkuk dan wajahnya sedikit mendekat ke arahku. Aku mundur, aku masih takut dengannya.

“Kenapa? kamu takut denganku? Karena malam tahun baru itu ya?” tanyanya. Spontan aku mengangguk, tapi kemudian menggeleng, takut karena dia marah

“Ha ha ha... maaf ya” ucapnya, dengan menggaruk kepala bagian belakangnya dan beberapa kali membungkuk ke arahku

“Mmm... sebagai ucapan maaf, bagaimana kalau aku bawakan tas kamu dan aku dampingi dirimu hingga kekelas” lanjutnya dengan gaya sok ye-nya.

“Eng-enggak usah, terima kasih” jawabku, sekali lagi aku menjauhkan tubuhku darinya

Dia tersenyum kepadaku, sekali lagi dia minta maaf. Dengan senyumnya dia mengajakku berjalan bersama menuju ke ruang kuliah, tapi aku menolak. Sekali lagi dia minta maaf, gak tahu kenapa dia tak bosan minta maaf kepadaku. Baru kemudian dia melangkah menjauh meninggalkan aku. Langkahnya riang, sedikit berlari, terlihat tas punggunnya yang ikut menari bersamanya. Lelaki yang aneh menurutku. Dulu aku mengenalnya sebagai lelaki yang culun, bahkan ketika mengerjakan tugas di kosku, dia benar-benar kelihatan ndesonya. Hmm...

Aku tersadar dari lamunanku. Kemudian menyusul Arta yang sudah terlebih dahulu menuju ke ruang kuliah. Iiih, kuliah! 3 sks dengan aturan 1 sks sama dengan 50 menit. Paling tidak aku sudah membuang waktuku selama 2,5 jam di dalam ruang kuliah. Dan itu sangat membosankan! Membosankan! Membosankaaaan!

.
.
.

“Winda sayang, mau maem apa?” tanya Dina, yang kini duduk disebelahku di kantin setelah kuliah.

“Mmmm... sama seperti Dina saja” ucapku manja

“Iiiih, Winda gemesin deh” jawab Dina yang kemudian menyuruh Arta untuk memesan.

Aku selalu bersama mereka, teman-teman yang sama dengan yang berada di malam tahun baru kemarin. Ya, Cuma mereka dari teman-teman sekelas yang selalu bisa diajak bareng. Kalau yang lain biasanya sudah pada misah sendiri-sendiri.

Sembari menunggu pesanan makanan, aku kembali mengutak-atik sematponku. Membuka aplikasi di sana. Ku buka watsapp, kututup. Kubuka instagram, kututup. Ku buka pesbuk, kututup lagi. Benar-benar membosankan. Bukan hanya tiga aplikasi tadi yang aku buka-tutup, semua aplikasi sosial media. Cuma satu harapanku, ada kabar dari Mas Ronald.

“Win... Winda”

“Win... Winda”

“Eh...” aku tersadar akan suara yang memanggilku, dan ketika aku mengangkat wajahku dari sematpon. Mengarahkan pandanganku ke sumber suara.

“HUAAAAA!”

“AAAAAAAAAAA...”

PLAK!

“Wattauw... sakit Wind” suara Arta mengaduh

“Arta! Elu itu ya, Winda itu lagi sibuk malah elu ganggu!” bentak Dini

“I-iya, maaf namanya juga bercanda he he he lha Winda dari tadi diam terus” jawab Arta

“Duuh, kasiha Winda, sini Dina peluk”

“Arta, elu makan saja! jangan ganggu Winda!” bentak Dina, Arta terlihat cengengesan menanggapi marahnya Dina.

Aku mengelus dadaku, kepalaku rebah di bahu Dina. Mecoba menenangkan jantungku dari keterkejutan barusan. Jelas saja aku terkejut. Si Arta lama-kelamaan resek juga. Ujung sendok dan garpu dimasukan kedalam mulutnya, jadi kaya drakula. Huh! Lama-kelamaan aku bukannya takut sama Arta tapi semakin sebel sama Arta. Dari kemarin, semenjak dia berubah jadi seperti sekarang ini, malah sering bikin onar.

Setelah tenang, aku buang wajahku dari Arta. Aku lebih banyak ngobrol sama para ceweknya daripada cowoknya. Gak mau ngobrol sama cowoknya, pasti ntar dia suka nyambung. Ngimpi apa sebenarnya semalem. Sudah galau ditambah ini ada orang gak tahu diri. Huh! Aku ndak suka sama Arta sekarang, mending sama Arta yang dulu. lebih kalem.

“Yuk.. balik lagi keruangan” ajak Umi ke anak-anak. Tapi aku masih sibuk dengan sematponku sendiri.

“Winda sayaaaaang... ayo kuliah lagi” kudengar suara Dina

“Eh, i-iya sebentar Din” jawabku

Tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang menempel di pipiku. Dina.

“Kenapa? Ronald gak kasih kabar lagi? Iya?” tanya Dina, sembari merangku pinggangku

“Eh, eng-enggak kok, Cuma liat status temen-temen aja” jawabku sekenanya

Telapak tangan Dina kemudian menutup layar sematponku. Satu jarinya menekan tombol sleep. Satu tangannya lagi, menarik daguku. Senyumnya mengembang.

“Sayangku Winda, kalau namanya cinta, kamu ya harus percaya. Jangan bingung. Cinta itu akan selalu ada. Jadi percaya saja sama cintamu” ucap Dina

Aku sedikit tertegun. Mungkin memang karena aku terlalu mendramatisir keadaan saja hingga akhirnya aku sendiri yang galau.

“Ya sayang?” lanjtu Dinda, sembari menatapku dan mengelus pipiku. Tatapan mataku menyapu wajah-wajah teman perempuanku. Aku tersenyum dan mengangguk.

“Love is like the sun. Though far away, it’s light still warm us”

“Love is like a full moon. Though far away, it’s light still light up the ninght”


Aku menoleh ketika kata-kata itu terucap. Arta. Seakan dia tahu sesuatu tentangku.

Sreek...

Wiiing...

“Hap... dapat!”

Sreeek...

Wiiing...


“Hap, dapat!”

Sreeek...

Wiiiing...


PRAAK!

“Aduh...” teriak Arta kesakitan setelah buku, dua buah sepatu dilempar ke arahnya. Buku dan sepatu pertama bisa ditangkapnya tapi sepatu terakhir mengenai wajahnya.

“Ha ha ha ha...” tawa keras Johan, Irfan, Burhan dan yang paling keras adalah Andrew.

“Mampus lu curut ha ha ha ha” tawa keras Andrew kembali terdengar

“Bisa diem gak sih lu!” bentak Dini

“Sukanya nimbrung, cari bahan bicara sendiri napa” sindir Desy

“Argh...” rintih sakit Arta.

Kulihat ada sedikit darah dikeningnya ketika mengembalikan buku dan sepatu Dini. Wajahnya tampak sedikit menahan amarah. Dan setelahnya, tanpa kata-kata Arta langsung berjalan menjauhi kami, menuju ke ruang kelas.

“Woi, curut mau kemana lu!” teriak Andrew

“Ke barat, mencari kitab suci!” candanya, tapi tak terlihat seperti bercanda. Menoleh saja tidak.

“Eh, kayaknya Arta ngambek beneran tuh, Din” ucap Dinda

“Biarin aja, orang kaya gitu kalau gak di kerasin bakal ngerusak suasana terus” jawab Dini

“Gak juga sih, malah rame. Lebih rame apalagi ada pasangan sehatinya, Andrew hi hi hi” ucap Tyas

“Yaelah... pake pasangan sehati, pasangan sehatiku itu, Helena, cukup Helena tak mau yang lain” ucap Andrew, sembari bersandar manja ke Helena.

Huh, bikin Iri. Tapi Helena biasa saja, malah seneng. Gak tahu apa, di sini sedang galau.

“Sudah... sudah, paling ntar dikelas dia balik rame lagi. Yuk balik kelas, bentar lag kuliah” ajak Desy, dan semua mengiyakan.

Di dalam kelas, ternyata Arta beneran terlihat jengkel sekali. Dia biasanya duduk persis di belakangku. Memang sih dia tetep di belakang namun kini pindah lebih kesamping kanan. Dini tampak cuek dengan keadaan ini. Tapi aku, Desy dan Dina, sesekali mereka melihat ke arah Arta. Pasti lukanya sakit banget, sampe-sampe itu kening dia pegangi terus. Tapi masa bodohlah, salah dia sendiri.

Selesai kuliah aku langsung pulang ke kos. Dengan tang-top dan juga celana hotpant, aku rebah diatas kasur empuk. Sedikit meratapi nasib, dan ...

Kriiing...

“Ya Halo Umi”

“Winda, kenapa?”

“Eh, eng-enggak kenapa-napa kok Umi”

“Hmm, beneran? Ya sudah kalau gitu, Umi cuma khawatir saja sama Winda. Bener kan gak ada masalah?”

“Emm... anu... itu Umi... Mas Ronald... jarang kasih kabar. Di kirim pesen juga gak bales”

“Mungkin sedang sibuk dengan kuliahnya, jadi kamu sabar saja ya sayang”

“Iya, Umi, tapi kebangeten kalau sampe gak kasih kabar ke Winda”

“Iya juga sih, sudah tenang saja, nanti kalau dah ketemu tanyain saja ya, tapi inget jangan pake emosi ya sayang”

“Iya Umi Desy-ku, makasih ya Umi dah perhatian ma Winda”

“Iya, kan Umi sahabatnya Winda”

“Iya Umi, makasih ya”

“Sama-sama. Dah Winda”

“Dah Umi”

Kuletakan sematpon di sampingku. Tidur telentang menatap langit-langit kamarku. Desy, dia sahabatku sejak kecil dan paling mengerti aku. Aku dan dia, sama. Punya pasangan tapi jarang bisa berkomunikasi. Dari kecil hingga sekarang ini, aku selalu satu sekolah dengannya. Kuliah saja jurusannya sama, mungkin karena hobi kita sama-sama suka pelajaran tentang atom. Desy... Desy, emang baik banget sama aku. Pengen banget suatu saat nanti, bisa tinggal bareng sama Desy.

Yang membuatku sedikit tenang adalah Desy dan Dina ketika kuliah tadi. Kata-kata mereka ada benarnya juga. Harusnya aku bisa lebih tenang lagi. Apalagi Dina tadi, aku kira aku bakal di bully habis-habisan sama Dina, tapi ternyata tidak. Pas di kantin tadi, Dina tampak lebih kalem. Mungkin saja karena dia sudah tahu keadaanku, makanya pas di kantin...

“Eh...”

Arta... tapi, Arta tadi bilang juga. Hmm... bener juga apa yang dikatakan si Arta itu. Memang seharusnya cinta itu seperti matahari, walau jauh tapi tetep krasa hangatnya. Bulan purnama juga, walau jauh tetep bisa nerangin gelapnya malam. Tapi yang aku rasakan ini berbeda sekali. Kenapa aku tidak bisa merasakan kembali kehangatan cinta Mas Ronald? Bahkan hatiku yang sekarang merasa terjebak di tempat yang gelap, Mas Ronald juga tidak meneranginya.

“Huh...”

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakku dalam kamar sembari memukul dan menendang tempat tidurku

“Mas Ronald Jahaaaaaaaaaaaaaaaat!” sekali lagi teriakku. Kemudian terdiam, memandangi langit kamar kembali.

Eh, tapi kenapa tiba-tiba si Arta bisa bilang seperti itu ya? Seakan-akan dia tahu keadaanku. Bukannya Arta dan Mas Ronald baru ketemu sekali saja pas Arta ke kos. Atau memang Arta mengetahui sesuatu tentang Mas Ronald, kan gak mungkin bisa bicara seperti itu kalau belum tahu permasalahannya. Atau memang Arta hanya ngomong karena mendengar kata-kata si Dina. Eh, kalau dia Cuma denger perkataan si Dina, gak mungkin juga bisa ngomong seperti itu. Harusnya, kalau tidak tahu sesuatu. Arta bakal melanjutkan atau memberi kata-kata bernada sama dengan Dina bukan malah bertolak belakang.

“Hmmm....”

Aku balikan tubuhku, kuraih sematpon. Aku buka kembali aplikasi pesan instan, ku naik turunkan. Dan aku memandang satu kontak dengan profil gambar pemandangan air terjun. Mataku terus tertuju pada air terjun tersebut. Entah gambar air terjun apa itu, tapi yang jelas di gugel banyak. Tapi, entah mengapa aku seperti terhipnotis dengan gambar itu. Gambar profil Arta, Air terjun yang dengan sebuah pelangi.

Perlahan mataku tertutup, lelah rasanya...

.
.
.

“Cudah danan nais yadi”

“Atu atut”

“danan atut”

“eh...”

“Tuda tini bedili, atu temani ya”

“tapi tamu...”

.
.
.

“Haaah!”

Mimpi itu lagi...

“Hash hash hash...”

Aku bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju ke kulkas. Dengan cepat, aku ambil sebotol minuman dingin dan meminumnya. Terasa lega rasanya. Sejenak aku pejamkan mata dan bersandar pada kulkas. Pelan tubuhku merosot kebawah dan terduduk . Kupegang botol minuman dingin dengan kedua tanganku.

“Mimpi itu lagi, padahal bukan mimpi buruk tapi kenapa aku selalu terkejut ketika bangun...” bathinku

Ku buka mataku, melihat kamar kosku. Masih terbayang mimpi yang baru saja aku alami, bocah itu berdiri didepanku dengan kedua tangan si bocah diulurkan kepadaku untuk membantuku berdiri. Juga suara tangisan disampingku, aku yakin dalam mimpiku itu ada Desy. Bocah itu...

“Lebih baik aku segera kembali tidur saja, lagipula sudah tidak ada yang bisa aku lakukan selain tidur” bathinku

Aku letakan kembali botol minuman didalam kulkas dan kembali ke tempat tidurku. Kuraih sematponku. Jam 10 malam. Terasa begitu cepat padahal aku pulang kuliah sore tadi dan kemudian tertidur. hatiku benar-benar mersakan kegelisahan. Aku ingin segera tahu dimana Mas Ronald, dan kenapa dia tidak pernah memberi kabar padaku.

“Tidur lagi saja siapa tahu besok ada balasan dari Mas Ronald” bathinku

.
.
.

Aku sudah bersiap setelah bangun sangat pagi. Tepat jam 4 pagi aku sudah bangun. Sejak aku bangun sampe jam 6 pagi, tetap saja tak ada balasan pesan dari Mas Ronald. Dan sudah aku putuskan untuk ke kos mas Ronald pagi ini, lagipula kuliahku masih dimulai jam setengah sepuluh. Jadi, masih ada waktu untuk kembali ke kampus.

Masih terlalu pagi, sinar mentari juga masih terlihat sangat kuning sekali. Bayangan pepohon di median jalan masih terlihat lebih panjang dari pepohonan itu sendiri. Kulajukan mobilku lebih cepat agar bisa segera sampai di kos Mas Ronald. Jujur aku sudah sangat kangen, walau sedikit marah karena tak ada kabar. Jika memang nanti Mas Ronald memintakku untuk tetap di kosnya, aku akan tinggal dan bolos kuliah. Demi kekasihku.

Jeglek...

Aku parkir tepat didepan kos Mas Ronald. Tempatnya hampir sama dengan kos-kos laki yang lainnya. Gerbang kos, kemudian tempat parkir motor. Di tempat parkir ada pintu yang menghubungkan dengan lokasi kamar kos. Kamar kos berbentuk leter U yang tertutup dengan tempat parkir.

Aku kemudian masuk melalui gerbang kos yang khusus untuk pejalan kaki. Gerbang kos Mas Ronald ada dua, yang satu sempit cukup untuk satu orang dengan sedikit gundukan dibagian bawah dan yang satunya untuk mobil ataupun motor. Dari gerbang kos, kemudian tempat parkir yang sudah terbuka, tandanya sudah ada yang berangkat kuliah. Kalau belum, tempat parkir gak bakal terbuka. Biasanya tertutup itu hari minggu, bisa ketutup sampe siang. Itu yang aku tahu, karena pernah main di hari minggu.

“Lho Wi-Winda, ti-tumben?” sapa teman Mas Ronald, ketika aku sampai ditempat parkir..

“Nyari mas Ronald kak, ada kan?” jawabku ketika sampai ditempat parkir.

“Eh, Ro-Ronald ya?” jawab teman Mas Ronald

“Kok gugup kak? Ada apa?” tanyaku heran karena sikap teman Mas Ronald

“Eng-enggak, itu kaget saja kamu pagi-pagi sampai sini. Ditambah lagi Ronald sudah berangkat tadi pagi karena ada tugas kuliah bersama” jawabnya, tapi tetap saja kelihatan aneh, kelihatan gimana gitu.

Aku terdiam dan kemudian pandanganku tertuju pada sebuah mobil hitam. Itu mobil Mas Ronald, tambah heran dengan keadaan ini.

“Lha itu mobilnya mas Ronald, kan?” tanyaku, semakin aku merasakan sesuatu yang sedang disembunyikan oleh teman Mas Ronald

“Eh, i-itu, tadi Ronald berangkat pake motor” jawabnya dengan tingkah yang aneh

“Motor? Setahuku di kos ini gak ada yang pake motor, semuanya mobil” jawabku. Aku semakin penasaran, ada apa sebenarnya.

“Aduh, lupa mobil maksudku Wind” jawabnya

“Kak! Sebenarnya ada apa? aku itu cuma mau ketemu sama pacarku, jangan bohong deh kak! Mas Ronald ada didalem kan!” ucapku sedkit keras

“Eh... Eng-Enggak ada Wind, beneran dia keluar tadi” jelasnya

“Bohong! Pokoknya aku mau masuk sekarang!” paksaku

Aku langsung mengambil langkah cepat menuju kepintu penghubung. Teman Mas Ronald mencoba menghalangi dan ini membuatku semakin penasaran yang ada didalam sana. padahal sebelum-sebelumnya, meskipun teman-teman Mas Ronald pacaran, aku tetep bisa masuk. Ini malah dihalang-halangi, semakin penasaran.

“Winda, lebih baik kamu langsung kuliah. Kesininya nanti habis kuliah” ucap teman Mas Ronald,

“Enggak! Pokoknya aku mau ke kamar Mas Ronald!” bentakku

Tepat ketika aku masuk melalui pintu penghubung. Semua mata tertuju padaku. Teman-teman Mas Ronald yang lain mencoba mengajak ngobrol, mungkin mereka ingin menghambatku. Tapi tidak, tujuanku adalah kamar Mas Ronald, titik.

Tok.. tok... tok..

“Wind, berangkat kuliah saja” sekali lagi salah satu teman Mas Ronald menghalangiku

“tidak ya tidak!” bentakku, aku kembali mengetuk pintu

Tok... tok... tok...

“Ya, sebentar...” teriak seorang perempuan

“Ke-kenapa perempuan?” bathinku

Kleeek...

“Ya, ada apa?” seorang perempuan keluar dengan celana panjang dan kemben kaos.

DEGG....


Aku terkejut melihat perempuan keluar dari kamar kos Mas Ronald. Pandanganku beralih ke teman Mas Ronald yang sedang menepuk jidat mereka. Disamping mereka juga ada pacar mereka.

“E-elu siapa?! Kenapa lu ada dikamar Mas Ronald? Lu habis ngapain?!” aku membentaknya, marah,

“Eh, santai aja ngapa? Dasar aneh! Datang-datang teriak-teriak, Gak usah teriak-teriak napa. Ganjen!” jawabnya ketus, bersedekap dan bersandar pada pintu

“Jawab!” bentakku

“Gue pacarnya, terus lu mau apa?!” jawabnya ketus dan kembali bertanya kepadaku

“Elu pacarnya? Gue yang pacarnya Mas Ronald!” bentakku

“Hei! Elu ya? Dateng-dateng marah-marah, terus ngaku-ngaku pacar Ronald, ih, najis” jawabnya dengan dua tangan berkacak pinggang dan kemudian bergaya sok jijik

“Jangan sembarangan! Gue yang pacarnya Ronald!” bentakku kembali

Hingga akhirnya terjadi pertengkaran antara aku dan perempuan ini. saling membentak dan saling mengklaim sebagai pacar Ronald. Aku sendiri tak tahu siapa perempuan ini. baru pertama kali aku melihat perempuan ini. Pertengkaran aku dan dia semakin memanas.

“Dasar perek kegatelan lu!” bentaknya keras kepadaku

PLAK!

Aku sudah tak kuat menahan amarahku, aku tampar pipinya. Dia langsung terdiam. Tiba-tiba dari dalam terdengar suara yang sudah aku kenal.

“Ada apa sih, kok rame banget?!” teriak Mas Ronald. Dia berjalan dengan wajah ngantuknya.

“MAAAAAAS!” teriakku secara bersamaan dengan perempuan yang didepanku.

“Wi-Winda?!” ucap Mas Ronald terkejut melihatku

“Maaaas...” perempuan tersebut langsung menghampiri Mas Ronald dan memeluknya.

“I-iya sayang” jawab Mas Ronald. Sayang? Ada apa ini sebenarnya?

“Dia nampar aku dan ngaku-ngaku pacar mas coba, apa gak keganjenan itu cewek” manja perempuan tersebut. Tepat setelah Mas Ronald mendengar kata-kata perempuan itu, wajahnya berubah

“Winda! Apa-apaan kamu ini! Kenapa kamu berani menamparnya?!” bentaknya

Baru kali ini aku dibentak Mas Ronald. Aku tercengang mendengar bentakannya.

“Seharusnya Winda yang tanya mas! Kenapa ada perempuan didalam kamar mas?!”bentakku, marah

“Dan kemana saja mas selama ini? tidak ada kabar, tidak balas pesan dan... dan sekarang ada perempuan lain didalam kamar mas?!” lanjutku. Pandanganku kemudian tertuju ke perempuan kampungan itu. perempuan yang tak tahu diri masih meluk-meluk Mas Ronald.

“Heh, kamu jangan peluk-pel...” ucap sembari menarik tubuh perempuan tersebut

“Winda! apa-apaan kamu!” bentak mas Ronald

Srrrsssk...

BRUGHHH...

“Ronald, jangan kasar!” bentak mbak isma, pacar dari teman Mas Ronald

Mas Ronald mendorongku menjauh. Membuatku jatuh terjengkang. Mbak Isma, langsung mengampiriku dan membantuku berdiri. Seakan tak percaya dengan yang baru saja aku alami. Lelaki yang selama ini aku sayangi dan cintai, tega mendorongku. Perempuan itu... perempuan kampungan itu penyebabnya.

“Mas! Kenapa Mas dorong Winda?” tanyaku

Air mata mulai meleleh dari pelupuk mataku.

“Kenapa? itu adalah hakku melindungi pacarku” jawabnya tegas, membuat dinding hatiku seakan runtuh.

“A-apa maksud mas?” tanyaku,

“Dia pacarku, dengar kan?!” teriak mas Ronald, membuatku terdiam. Seakan semua batu-batu pertanyaan yang selama ini ada dalam pikiranku, jatuh menimpaku.

“Jelas!” bentaknya

“A-apa maksud mas? Winda yang pacar mas, bukan cewek kampungan ini!” ucapku pelan seakan tak percaya dengan jawaban Mas Ronald. Air mata semakin deras mengalir membasahi pipiku.

“Wind, kita sudah selesai” ucapnya tegas

“Apa maksud mas? Kenapa tiba-tiba mas seperti ini, ini pasti semua gara-gara perempuan ini” aku marah, melangkah maju mencoba mencakar perempuan kampungan ini

PLAK!

Aku terdiam. Pipiku telah basah berlinang air mata. Sakit kurasa di pipiku. Tetapi hatiku merasa jauh lebih sakit. Sebuah tamparan yang selama ini tak pernah aku duga. Tamparan dari seorang yang sangat aku cintai dan sayangi, Mas Ronald. Tamparan yang menghancurkan segalanya. Hatiku, cintaku, sayangku, asakku, harapanku, semua terasa hancur seiring tamparan itu.

“Ke-kenapa mas? Kenapa? Winda salah apa?” tangisku, aku melangkah dan menarik lengan mas Ronald

“Sudah hentikan Wind!” kembali bentakan yang aku dengar

Tubuhnya melepaskan pelukan perempuan kampungan itu. Mendorongku, menghempaskanku. Mbak Isma mencoba melerai tapi Mas Ronald membentaknya. Teman Mas Ronald menarik mundur mbak Isma. Aku didorong hingga ditengah-tengah kosnya yang berbentuk letter U. Kedua tangannya memagang bahuku, matanya menatapku tajam.

“Kita... Sudah... Selesai” ucapnya pelan, menusuk hatiku

“A-Apa salah Winda? Kenapa mas tiba-tiba berubah seperti ini. Winda gak mau putus dari Mas” tangisku memohon

“Kurang jelas?!” suaranya pelan, tetapi tegas

“Kita sudah selesai dan kita bukan pacar lagi. Dia pacarku. Dia lebih mengerti keinginanku. Dia lebih bisa memberikan kepadaku apa yang aku inginkan dariapada kamu! Okay? Jelas?!”

“Dan sekarang lebih baik kamu, pulang dan jangan pernah kembali lagi. Aku sudah tidak ingin melihatmu lagi, melihat perempuan manja yang sok suci, sok alim seperti kamu!” marahnya.

“Maaaas.... jangan tinggalin Winda mas, jangaaan...” aku mulai menangis, tanganku mencoba menggapai tangannya

“Sudah!” dengan satu tangan menampar sekaligus menghindari tanganku

“Sekarang kamu pergi dan aku sudah bosan denganmu wind!” bentaknya keras.

Cuih!...

Dia meludahiku. Meludahi wajahku. Seolah aku ini bukan orang baik-baik. Seolah aku ini hanya insan yang layak untuk dicampakkan. Ya, aku memang insan yang tercampakkan. Tak ada lagi harga diriku.

Dia kemudian berbalik dan berjalan kembali ke perempuan tersebut. Aku menangis keras, berteriak agar Mas Ronald tidak meninggalkan aku. Aku mencoba meraih kembali tangannya tapi kibasan tangannya membuatku terjatuh lagi. Kembali aku menangis keras memohon kepadaya untuk kembali, tapi dia tetap melangkah pergi meninggalkanku.

Kini aku hanya bisa melihat punggung lelaki yang aku cintai kini mulai menjauhiku. Punggung yang selama ini selalu aku peluk dan aku jadikan sandaran ketika kami bersama. kini hilang ditelan pintu kamar kosnya yang kemudian tertutup dengan suara benturan yang keras.

Kleek...

Tiba-tiba, pintu kamar kos Mas Ronald tertutup. Sebuah pemandangan yang membuatku semakin menangis keras. Sesaat pintu terbuka, aku sempat terdiam. Berharap itu adalah Mas Ronald. Tapi bukan, itu adalah perempuan kampungan tadi. keluar sesat dan menjulurkan lidah ke arahku. Pintu kemudian tertutup kembali.

Aku tidak terima, benar-benar tidak bisa menerima ini semua. Aku bangkit dan berlari ke arah kamar Mas Ronald. Tapi, Mbak Isma, menahanku dan memelukku. Aku menangis sejadi-jadinya didalam pelukannya.

“Kaaak...” tangisku

“Sudah, lebih baik Winda sekarang pulang ke kos saja ya. lupakan Ronald” tenangnya

“Ta-tapi... Mas Ronald mbak” isak tangisku

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Sejenak dia menenangkan aku. Aku dipapahnya. Awalnya aku menolak tetapi dengan lembut dia terus memapaku hingga aku berada didepan mobil.

“Mbak yang nyupir saja ya?” tenangnya, dan aku menggelengkan kepala. Padanganku beralih ke kos itu kembali.

“Winda, sudah... lupakan Ronald” ucapnya, menarik kedua pundakku dengan kedua tangannya. Membuatku menatap matanya yang memandangku tajam.

“Ta-tapi mbak, Winda sayang banget sama Mas Ronald” tangisku

“Wind, jika memang cinta, lelaki itu akan seperti matahari. Tak perlu meminta bayaran dan akan selalu menghangatkanmu” aku terdiam. Kata-katanya... Kalimat itu... Seperti pernah aku mendengarnya

“Mbak tahu kamu sangat sayang dengan Ronald. Bukan maksud mbak tidak memberitahu ke kamu. Mbak dan pacar mbak sebenarya sudah tahu sejak lama, bahkan semua penghuni kos sudah tahu. Tapi, Ronald adalah sahabat mereka, mereka juga bimbang dengan keadaan ini semua. Mbak minta maaf... tapi...” jelasnya

“Kenapa.. mbak gak bilang?” ucapku pelan dalam tangis

“Maafkan mbak, kita juga gak bisa serta merta memberitahu kamu. memang sikap kami jahat, tapi kami juga bingung Wind” jelasnya.

Aku langsung memeluk perempuan didepanku. Aku menangis tersedu di pundaknya. Kuhabiskan sisa airmataku di pelukannya.

“Seandainya, kami beritahu kamu sejak dulu. Kamu juga bakal tidak percaya, malah kamu bisa menuduh kami sebagai tukang adu domba. Kami semua bingung, maafkan mbak sama temen-temen Ronald ya?” ucapnya, aku sedikit mengangguk

“Sekarang kamu sudah tahu, jadi bisa ambil langkah hidup kamu selanjutnya. Ya?” tenangnya

“ta-tapi aku masih sayang banget mbak sama mas Ronald” tangisku kembali

“Sudah Winda, bulan seharusnya selalu menerangi sekalipun dari kejauhan.” Aku kembali terdiam. Kata-kata itu seakan pernah aku mendengarnya.

“Dah sekarang, mbak antar ya, nanti biar mbak dijemput pacar mbak” tawarnya

Aku bangkit dari pelukannya. Memandangnya sejenak. Memandang senyumnya, aku tahu mereka juga berada diposisi yang sulit untuk hubunganku. Sekalinya mereka bilang mas Ronald selingkuhpun, aku pasti tidak akan mempercayainya. Karena mungkin aku terlalu sayang dengan mas Ronald.

“Gak mbak, Winda mau pulang sendiri saja” jawabku dengan suara terisak

“Bener? Bisa?” tanyanya, aku mengangguk pelan

“Jangan melakukan hal konyol” ucapnya. Aku mengangguk

Perempuan ini kemudian menemaniku masuk ke dalam mobil. Sekali lagi dia menasehatiku untuk tidak melakukan hal konyol, tepat sebelum aku menutup pintu. Aku hanya bisa mengangguk dan mengangguk lagi. Akhirnya, mobil aku jalankan menuju ke kos. Dalam perjalanan pulang ke kos, hatiku serasa hancur. Hancur setelah mendengar apa yang dikatakan mas Ronald. Hancur setelah merasakan semua perlakuannya yang menghinakanku. Apa yang kurang? Haruskah aku serahkan milikku paling berharga kepadanya? Dan...

Kriiiing... Desy.

Aku menepikan mobilku dan meraih sematpon. Kuhela nafas panjang agar suaraku tidak parau.

“Halo Umi”

“Windaaaa... sudah jam 8 kok belum sampai kampus? Winda jaga kesehatan sayang, Winda kan jarang sarapan kalau pagi”

“Eh, i-iya Umi, tapi, Winda mau dikos saja”

“Lho, kan hari ini ada kuliah. Winda sakit?”

“Enggak Umi, Winda baik-baik saja kok”

“Ya sudah berangkat sini, nanti Umi suapin maem deh”

“Eh, ta-tapi Umi...”

“Cepetan... kalau Winda gak sakit, terus gak mau kuliah. Umi gak mau suapin Winda lagi lho”

“eh, i-iya Umi, ini Winda berangkat”

Aku menutup telepon. Aku kembali menangis. Aku harus kuat, ya harus kuat. Tapi aku tidak bisa jika tidak bersama mas Ronald. Aku... aku tidak sanggup.

“Aku coba telepon mas Ronald” bathinku

Beberapa kali aku menelepon nomor Mas Ronald, tak ada jawaban. Hingga pada panggilan ke delapan, mas Ronald mengangkat telepon. Dalam percakapan itu, aku terus memohonnya untuk kembali lagi. Dan aku berjanji untuk berubah dan tidak manja lagi. Tapi, balasan yang aku dapat berbeda. Sangat menyakitkan. Akhirnya semua yang membuat Mas Ronald menjauh aku ketahui. Kata-kata “sok alim” yang dia lontarkan kepadaku ketika marah bukan sekedar kata-kata amarah saja. Tapi, keinginan dia. Keinginan yang selama ini selalu aku tolak.

Telepon ditutup. Aku kembali menangis. Menangisi kepergiannya. Aku tidak percaya, karena hanya keinginannya, yang satu itu, yang tidak dapat aku penuhi. Dia tega meninggalkan aku. Padahal aku berjanji kepadanya, akan memberikannya ketika menikah nanti. Aku terus menjaganya, agar kelak ketika malam pengantin dia benar-benar merasakan arti malam pengantin.

Aku letakan kepalaku di atas setir mobil dengan tumpuan kedua pergelangan tanganku. Air mataku tak kunjung berhenti. Aku benar-benar tak sanggup jika harus berpisah dengannya. Aku selalu ingin bersamanya. Jika memang harus, aku akan melakukannya. aku akan memberikannya kepada Mas Ronald. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dia.

Ting...

Disela tangisku, sebuah pesan masuk. Aku membuka pesan instant BBM. Desy, memintaku untuk segera sampai di kampus. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk berangkat ke kampus. Dengan segudang rasa sakit di hatiku.

“Baiklah, aku akan menyelesaikannya setelah kuliah. Aku harus kuat” bathinku

Aku kembali melaju dengan hatiku yang menjadi serpihan. Aku mencoba membangun konsentrasiku hingga sampai di kampus. Ya, aku akan menyelesaikannya setelah kuliah ini. Aku tidak ingin kehilangan dia. Pokoknya tidak ingin. Aku tidak ingin matahariku mulai tenggelam. Aku ingin dia terus bersinar. Aku akan menyelesaikannya, dan akan aku buat dia kembali padaku.


Surya tenggelam
Ditelan kabut kelam
Senja nan muram
Di hati remuk redam

Malam mencekam
Rembulan sendu rawan
Anak perawan
Menanggung rindu dendam

Jalan berliku dalam kehidupan
Dua remaja kehilangan
Penawar rindu kasih pujaan
Menempuh cobaan

Surya tenggelam​
 
mohon maaf baru bisa update ketikan nubie ini,

semoga bisa dinikmati, kalau ada saran ataupun kritik,
nubi sangat berterima kasih...


Oia, maafnya jarang balas komen, kalau pake sematpon terlalu jlimet, he he he
ditambah lagi pegang lepi terus online juga jarang...


maaf hu...



:ngupil:



:ngacir:
 
akhirnya yg selalu.ditunggu,,, update juga,,,

thanks suhu...

izin :baca:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd