Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Untung ts-nya lgsg d'temukan jdi bs update. Mantap hu,walau agak kentang !!!!!......
 
Scene 17
Ada yang aneh tapi entah apa itu



Salma Andromeda​

“Hoammmhhh....”

Sudah pagi. kuraih sematpon yang masih menyambung dengan kabel pengisi daya baterai. 03.30. Malas juga rasanya apalagi kalau mengingat semalam, ketika aku memeluknya. Kupejamkan mataku mengingat kejadian semalam, tapi segera aku hentikan. Bukannya mendapatkan kenyamanan malah dapat ngantuk.

Aku bangun, membuat kopi hitam panas. Duduk sendiri di depan teras kontrakan. Kadang kalau sedang sendiri di kontrakan ini, aku rindu kepada mereka berdua. Sedang apa mereka? Apakah sedang kikuk-kikuk dengan para wanitanya. Samoooo... samo, justiiiii.... justi. Manusia kampret, kirim kabar saja tidak. Hah...

Menunggu pagi hingga mentari tersenyum dan menyapaku​

“Aaaaauchh...”

Aku berteriak kesakitan. Ya, karena tiba-tiba cubitan kecil tepat dilengan kananku. Aku menoleh.

“Desy, sakit tahu....” protesku

“Hi hi hi...” tawa mereka berdua.

“Salah sendiri jalan sambil ngelamun. Mikirin apa?” tanya Desy yang berada dibelakangku bersama dengan Winda

“Hu’um Arta jalannya tumben pelan banget, sampe kaya orang linglung” Winda menimpali.

“Nih, lihat...” aku mengangkat tangan kananku, menunjukan Dunhill yang terselip di antara jariku

“Bukan melamun tapi menikmati ini,” balasku

“Udah, udah, Arta jangan ngrokok lagi” ucap Winda yang langsung memegang pergelangan tanganku, mengambil rokok dan membuangnya

“Hu’um bagus Wind” Desy mengacungkan jempolnya ke arah Winda

“Yaaaaah.... masih 500 itu” sesalku

Tanpa memberi aba-aba mereka berdua langsung menarik tasku. Dengan sedikit berteriak kaget, walau akhirnya aku mengikuti langkah mereka dengan berjalan mundur. Hah, aku kasihan padanya yang terbuang, sendirian disana. Aku terus memandanginya, aku tahu dia panas, tapi aku tahu dia merasa terbuang. Kasihan dia, dunhill.

“Arta, jalan yang bener napa? Jalan maju! jangan mundur” bentak Winda

“Eh... Wind, lihat Wind. Dia sendirian Wind”

“Siapa?” tanya Desy

“Rokokku Des, Dunhill hiks hiks” ucapku dengan ekspresi dan nada menangis

“Lebay!!!” teriak mereka berdua. Aku melompat kecil menjauh dari mereka. sedikit berlebihan sebenarnya, ya namanya juga aku, Arta, ha ha ha.

Hah, ya ini, aku sekarang. Di kampus. Selepas ngopi sampai pagi, aku berangkat ke kampus lebih awal. Maksudnya ya mau nongkrong dulu di tempat parkir, tapi sayang tadi kena macet. Ada perbaikan jalan, padahal tadi lewat jalan alternatif. Lebih apes lagi, baru sampai di tempat parkir, ngrokok. Eh, ini dua perempuan yang sekarang berajalan didepanku ini, membuat keributan dengan memisahkan aku dengan kekasihku si dunhill. Apa memang ya, kalau perempuan itu tidak suka sama rokok? Bukannya apa-apa, tapi kelihatannya memang benar kalau perempuan itu tidak suka rokok, kelihatannya.

“Umiiii, Windaaa...” teriak dari kejauhan, Tyas dan Dinda. Ada juga tuh si curut satunya lagi, Andrew dan sang kekasih Helena.

“Des, ati-ati bunglon!” teriak Andrew. Pagi-pagi sudah buat ribut saja ini komting. Ku julurkan lidahku sembari melangkah mendekati mereka.

“Pagi Helenaaaaaaa....” godaku ketika dekat dengan Helena

“Kampret lu ya? berani-beraninya lu goda cewek gue” ucap Andrew yang langsung mengapit kepalaku dengan lengannya.

“Aduh ndrew, bau asem ndrew, lepasin ndrew”

“Gak bakal gue lepasin, jalan!”

“Dasar kalian, gak pagi, gak siang bikin ribut saja” ucap Tyas

“Sudah diamkan saja kakak-adik itu, yuk ke kelas” ucap Helena

“Eh, bentar...” ucap Winda tiba-tiba berjalan mendekatiku

“Auuuchhh...”

“Hi hi hi ...”

Bukannya menolong malah menjambak rambutku. Ndak tahu juga maksudnya. Hah, dalam posisi seperti ini, aku terus berjalan membungkuk mengikuti langkah Andrew sampai ke kelas. Kuliah.

“Umiiiiii... Windaaaa... Tyaaaaas.... Dindaaaaa... Heleeeeen...” teriak seorang perempuan, Salma.

Salma dan Burhan, berjalan bersama. Berangkat kuliah. Aku dan Andrew terdiam ketika melihat Burhan dan Salma berjalan bersama. Akrab tapi kelihatannya lebih dari kata akrab. Tepat ketika Salma dan Burhan mendekat, Andrew melangkah sedikit menjauh. aku pun mau tidak mau mengikuti.

“Rut...”

“Lepasin dulu Ndrew”

“Eh iya, lupa gue... eh, lu liat mereka berdua?” Andrew melapaskan himpitan dikepalaku

“Apa?” tanyaku sembari meregangkan otot leher

“Akrab bener? Buat jebakan rut, kaya pas Irfan kemarin”

“Jebakan? Eh, benar juga ya, kelihatannya jadian deh mereka” dari jarak kurang lebih 3 meter, kami mengamati mereka.

“Ndak usah, ndrew. Sudah jelas, mereka dah jadian. Tinggal nunggu aja kalau yang ini, paling bentar lagi di umumin, kalau ndak sekarang ya besok. Kalau dijebak... bahaya, si Burhan ntar marah. Burhan kan beda sama Irfan.” jelasku berbisik kepada Andrew

“Beneran? Yaudah, gue ikut seneng juga kalo mereka jadian, tapi kasihan si burhan Ar”

“Lha memang kenapa?” tanyaku heran

“Ya, gak papa sih. Dah kapan-kapan gue cerita ma lu, kapan-kapan tapi”

Aku mengangguk. Dengan gaya ribut bin semrawut, aku dan Andrew mengubah suasana pertemuan mereka menjadi kacau. Biasalah, provokator utama Andrew, kalau aku kan sebagai tukang kipas-kipasnya saja untuk membesarkan api. Ha ha ha... tapi pikiranku masih mengingat kata-kata Andrew ‘kasihan si burhan’. Kasihan yang bagaimana sebenarnya? Bingung juga.

Sesampainya didalam kelas, semua sudah tertata rapi. Ada Dini dan Dina, mantan pacar jadi-jadianku waktu dulu pertama kali masuk kuliah. Tapi aku tidak berani menggoda. Wajahnya saja mirip sama pembunuh bayaran, ngeri tapi cantik. Padahal dulu Dina ndak serem-serem banget seperti Dini, tapi entah kenapa sekarang Dina keseramannya bertambah. Hiiii.....

Selang beberapa saat kuliha dimulai, Bu Anglin masuk sebagai dosen pertama yang mengajar setelah kejadian di lab analitik. Ya, kuliah sekarang kondusif. Tak ada satupun yang membicarakan kejadian pembunuhan profesor. Tak ada bisik-bisik mengenai profesor, semua berjalan dengan rapi.

Pada hari berikutnya, dilaksanakan prosesi pemakaman mayat profesor, dan yang jelas aku dan Desy tahu kalau itu bukan profesor. Ini hanya sebagai kedok untuk keselataman nyawa profesor dan keluarganya. Tapi pemakaman ini terlalu lama dari waktu pembunuhan, bisa jadi dibaca oleh komplotan mereka. Atau mungkin mas Jiwa punya rencana lain? Sudahlah, aku ikut saja dengan mereka.

Yups, kuliah tetap berjalan dengan lancar. Semua dijalani dengan baik. Dan hal yang paling menggembirakan adalah Burhan dan Salma mengajak teman-teman, biasa makan-makan. Karena setelah kecurigaanku dengan Andrew pada saat itu, tidak berselang lama Burhan dan Salma memproklamirkan diri sebagai pasangan. Mereka pacaran. Kampret, lha terus aku kapan coba? Ngenes...

Setelah acara itu, aku menjalani hari-hariku kembali. Hah, kuliah-kuliah dan kuliah. Tak ada gangguan hingga akhir dari semester empat ini. Dan aku? Aku kembali membuat Burhan dibelakangku lagi, kupaksa dia sebagai nomor dua. Tapi yang berbeda adalah nilai yang dia dapat sedikit berbeda. Kalau semester-semester kemarin, kita hanya beda di angka kedua belakang koma tapi sekarang? Perbedaannya sedikit mencolok. Aneh juga, punya pacar tapi nilainya malah melorot. Dan lagi, wajahnya seperti orang yang kurang tidur.

“Ah, masa bodoh kenapa harus membicarakan orang lain?”

Kehidupanku di luar kampus, sedikit runyam. Ada lima, lima tempat yang harus aku datangi setiap waktu. Rumah kakakku, biasalah ngobrol-ngobrol sambil kasih makan omen. Kasihan juga kalau omen jadi sate kelinci. Ha ha ha... Tapi yang membuatku bertanya-tanya adalah mbak Arlena tidak pernah sekalipun membahas mengenai profesor. kejadian di kampus itu seharusnya kakak perempuanku ini tahu. Aku yakin dia tahu tapi tidak membahasnya, atau adakah suatu rahasia yang dia sembunyikan? Dia tahu, aku yakin.

Rumah Mas Raga, aku selalu berkomunikasi dengan Mas Raga. Selain masalah ‘keluarga’ juga Ana dan Ani, mereka semakin manja. Maunya setiap hari didatangi kakak angkatnya yang keren ini, tapi aku tetap tidak bisa ada si manja Winda dan si penyihir Desy. Ditambah lagi si malaikat yang suka makan daging orang, Ainun.

Ya begitulah, kehidupanku. Semua berjalan dengan tenang untuk saat ini, untuk saat ini.

“BEBAAAASSS!!!!” teriakku diatas motor yang melaju, setelah hari ini dari rumah mbak Arlena.

“Cari rokok, cari rokok...” bathinku

Dunhill habis. Dan aku baru saja dari rumah Mbak Arlena. Baru saja mampir di toko pinggir warung, aku melihat Burhan. Setelah aku membeli, aku datangi dia yang sedang berdiri dipinggir jalan.

“Woi han, sedang apa?” tanyaku

“Eh, elu Ar” jawabnya

“Iya aku Arta, kamu lupa Han?”

“Elu itu, malah ngajak bercanda”

“Lha? kamunya yang aneh, Han. Ditanya malah balik nanya. Malam minggu bukannya apel ke pacar malah jadi tiang listrik he he” ledekku

“Elu bisa aja Ar, ya sudah mumpung ada kamu, anterin gue pulang ya Ar?”

“Waseeeeee.... kampret! Malah jadi tukang ojek, lha motor kamu kemana?”

“Ada dikos, dah anterinh aku Ar, daripada aku nunggu angkot”

Aku tidak menolaknya. Aku antar dia ke kosnya. Dengan kecepatan 40 Km/jam, aku aku bisa leluasa mengobrol dengannya. Sebenarnya alasan yang lain, mulutku sudah pahit, jadi ya lambat asal bisa ngrokok gitu. Sepanjang jalan kenangan, eh, sepanjang jalan menuju kosnya, dia terus bercerita dan bercerita. Aku jadi pendengar setia saja, seperti radio rusak dengan satu saluran, dia hanya dan hanya dan hanya bercerita tentang Salma. Seandainya ada puteran dihidungnya, mungkin sudah aku puter untuk mengganti saluran.

“Dah sampai Han” kumatikan mesin motorku

“Tengs Ar,”

“Yaelah ini anak, 25ribu mas”

“Setdah, lu ma temen gitu banget Ar?”

“Ha ha ha... kamu ya han, hidup jangan terlalu serius... canda dikit, begitu saja kamu tanggapi serius ha ha ha...”

“Kampret lu Ar!”

“Woi han, baru kali ini aku denger kamu memaki orang, ha ha ha”

“Ah sialan lu Ar, dah tahu gue lagi banyak pikiran, masih aja lu ajak bercanda”

“ha ha ha, ya udah, aku pulang dulu han” ucapku sembari menyalakan mesin motor

“oia, satu lagi, jangan terlalu serius... hidup beda sama kuliah, ha ha ha”

“Iya iya, gak mampir Ar?”

“Endak, dah ditunggu temen. Duluan”

Aku pulang, ya sebenarnya pengen nongkrong di tempatnya Burhan. Tapi kalau dilihat, dianya lagi bagaiamana gitu. Terlalu serius orangnya, bisa jadi malah ndak nyambung nanti aku. Pas aku antar tadi saja kalau cerita tidak ada bercandanya sama sekali, serius. Yang aku takutkan lagi kalau mampir ke kosnya, bisa jadi saluran Salma FM dari malam sampai pagi? Tidaaaaaaaaaak... Hah, sudahlah, sekarang saatnya aku pulang. walau sempat bohong, ndak ada namanya ditunggu temen he he. Lha wong temennya minggat semua. Masa bodoh, pulang-pulang.

Sesampainya di depan kontrakan. Ya dari perempatan.

“Weh... tumben itu kan mobil...”

Ndak jadi bohong, 2 mobil terparkir di depan kontrakan. Dan salah satunya aku pernah menaikinya. Justi dan Samo, entah apa yang akan kami bicarakan setelah ini.
 
Terakhir diubah:



“Arghhh ufthh....”

Lega rasanya kalo dah bisa rebah ditempat tidur. Enak banget, tapi hati rasanya nyesek banget. Sial, kenapa malah malam minggu jadi malam yang gak asik buatku? Sebenernya apa sih alasan si yayang gak mau diapelin kalo malem minggu. Bikin males aja, bukanya malam minggu itu wakuncar? Ini malah di kos, hufth.

Pandanganku kembali menyapu langit-langit kamar. pikiranku menerawang. Memang gak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku, kalau pacaran dengan Salma bakal jadi seperti ini. Tapi tak apalah, sebelum denganku dia juga punya dunianya sndiri. Dan aku harusnya bisa menyesuaikan. Ya, aku bisa menyeseuaikan. Asal tetap dengannya.

Kuhela nafas panjang. Kupejamkan mata. Mengingat semuanya dari awal, menyenanngkan...

oOo​

“Eh, Burhan tumben ngajak gue ke cafe?” ucap perempuan yang kini didepanku. Manis, cantik, pokoknya aku sangat meyukainya. Salma, lengkapnya sih Salma

“Eh, eh bentar... tumben lu rapi banget? Ciyeee... ada apa nih?” tanyanya kembali

“Eh, ini anu Sal...”

“Kita pesen makan dulu saja gimana?” tawarku. Jujur aku gugup, sangat gugup.

“Mmmm... iya deh, aku pesen...”

Hufth, lega banget. Walau hanya sesaat, tapi lumayan lega, bisa ngilangin rasa gugup. Habis pesen makanan dan minuman, rasa gugup balik lagi. Sejenak hening, dia menatapku. Mungkin aku tampak aneh dimatanya, aneh snagat aneh.

“Han, ada apa sih? Kok gugup banget? Dan lagi, tumben lu ngajak gue makan diluar? biasanya juga pas main lu dah bawain makanan?” tanyaya

“Eh, ya, i-itu...”

“Hmm... kamu gagu ya? mirip ma Arta curut-bunglon, seperti kata Andrew. jangan-jangan lu bunglon juga han?”

“enggak, enggak Sal... he he he”

Aku masih gugup terasa gugup. Dan pada akhirnya aku membicarakan hal lain. Bukan tentang malam ini, tapi tentang kuliah dan lain sebagainya. Kalau aku ingat lagi, dulu pertama kali liat salma memang adem rasanya. Pelan, aku mulai mendekatinya, ya istilahnya pedekate gitu. Ya kadang ngajak belajar bareng, eh dianya antusias banget. Aku malah tambah seneng pas pertama kali belajar bareng ma dia, makanya sering aku bawa camilan atau makanan ke kosnya. Orangnya juga ceria tapi ya itu kadang sibuk sendiri sama sematponnya.

Lama waktu berjalan, aku semakin dekat dengannya. Tapi anehnya, beberapa teman cowok, Johan, Andrew dan Irfan, malah nglarang aku. Emang gue pikirin, yang jelas aku suka sama ini cewek dan malam ini aku ingin nembak dia. Ya karena dia sudah ngambil perhatianku semenjak aku masuk kuliah. Sisi jelek Salma sih, dia sering terlambat kuliah, kadang tugas lupa mengerjakan namun setelah denganku, tugas bisa terkendali hanya terlambatnya saja yang masih. Tapi itu tidak menyurutkan niatku, aku harus memilikinya. Tapi... bagaimana cara nembaknya? Aku saja gugup setengah mati seperti ini...

Kletek...

Pelayan meletakan makanannya.

“Sa-salma... dimakan dulu” tawarku setelah makanan datang

“Oh, iya...” ya dia sedang sibuk dengan sematponnya, entah ada apa dialam sematponnya itu

Selama makan, aku ajak dia bercanda tapi tanggapannya sedikit garing. Fokusnya ada di sematponnya, jengkel tapi ya sudahlah. Percakapan satu arah, ya dia menanggapi seperlunya saja, berjalan sampe acara makan malam ini selesai.

“Sa-salma..”

“Iya han? Kok gugup banget?”

“Eh, gini itu, anu...”

“He’em...” dia menatapku,

“Eh...”

“Apaaaa burhan pinterrrrr?”

“A-aku... eh, ka-kamu...”

“Aku? Kamu? ih, burhan kalau ngomong sekarang jadi gagu hi hi hi”

“Gi-gini... ka-kamu mau gak ja-ja-ja-ja-jadi p-p-p-p-p-pacar aku, a-aku...”

“hi hi hi... gak mau kalau ngomongnya gagu gitu” dia menertawaiku, tapi...

Kuhela nafas panjang, menahan maluku ketika dia menatapku. Apalagi sabil senyum kaya gitu, jadi tambah malu aku.

“Aku sayang kamu Salma, aku mau kamu jadi pacar aku, kamu mau?”

Dia mengangguk. Aku langsung berdiri dan berteriak “yes”, membuat semua orang memandangku. Benar-benar malam yang indah bagiku, malam dimana bidadari dari khayangan menjadi milikku. Ya semenjak malam itu, aku resmi memacari Salma.

Awalnya memang tampak sedikit kaku, tapi setelah aku menjalani bersamanya, aku mulai bisa beradaptasi dengan sikapnya yang kadang ceria, kadang galak, kadang cuek banget. Memang susah menghadapi perempuan, karena memang dasarnya perempuan itu ingin selalu dimengerti. Hanya satu, dia memang sulit lepas dari sematponnya.

Aku juga merasakan perbedaan sejak aku menjadi pacarnya. Aku merupakan orang yang tidak mau kalah, apalagi kalau dirumah. aku merupakan anak pertama dengan dua adik perempuan. dan bisa dibilang, aku paling keras kepala. Tapi setelah aku bersama dengan Salma, semua berubah. aku menjadi lebih, ya bisa dikatakan, megalah. Begitulah...

“Hanhan” ucapnya sembari bersandar di punggungku ketika aku sedang memebuat tugas di kosnya.

“Iya Ayas, ada apa?” jawabku yang masih fokus

“Hanhan kan tahu kalau Ayas sering banget telat kalau kuliah kan?” tanyanya ketika aku dan dia sedang duduk bersama di bangku depan kamar kosnya. Oia, ayas itu singkatan AYAng Salma.

“Iya, terus?”

“Nah, Ayas pengen setiap pagi hanhan kekos ayas, bangunin ayas ya? jadi datengnya pagi banget, ya ya ya?” aneh juga ketika mendengar permintaanya. Mau menolak pastinya dia ngambek, kalau diiyakan, apa bisa ya aku?

“Iya, hanhan mau” akhirnya aku mengiyakan keinginannya.

Yah, mungkin itu salah satu cara buat dia biar gak sering terlambat lagi kalau kuliah. Dan mulai saat itu, aku membawa kunci kamarnya. Setiap hari pula aku bangun lebih awal, dan berangkat ke tempat Salma. Untungnya jaraknya tidak begitu jauh, hanya sekitar 20 menit kalau jalanan ramai. Tapi kalau pagi, pastinya akan lebih cepat. Seperti pagi ini, aku datang untuk pertama kali kekos.

“Ayas, banguuun” ucapku sembari menggoyang tubuhnya, setelah aku sampai di kamar kosnya

“Egh, hoaam.... hanhanhhh.. masih ngantuk” balasnya sedikit tercium bau menyengat, tapi aku lupa bau, yang jelas aku pernah mencium bau ini ketika di laboratorium.

“Ayaaaaas, sudah hampir jam enam, ntar terlambat”

“Uuuuuh! Hanhan ganggu aja...” ucapnya manja dan sedikit kesal. Walaupun begitu, dia langsung bangun dan duduk.

“Lha kan kemarin ayas yang minta dibangunin, yuk bangun” jelasku

“Eeeegh, iyahhh hoaaam...”

Cantiknya bidadariku ini tapi kelihatan kalau dia semalam begadang. Kedua tangnnya mengucek mata sambil menguap. Tiba-tiba,..

“Hanhan gendoooong ke kamar mandiiiiihhh” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya ke arahku

“I-iya...”

“Cepeth... hoaaam...”

Ah, manja sekali. Aku menggendong salma dipunggungku hingga didepan pintu kamar mandi.

“Awas gak boleh ngintip”

“Iya, iya” jawabku

Ya begitulah, setiap pagi. Datang ke kosnya, membangunkannya, menggendong hingga depan pintu kamar mandi. Entah kenapa aku bisa sampai melakukan hal diluar akalku. Kedua adik perempuanku saja tidak pernah aku menjakan seperti ini. Oia, selama dia mandi aku menata kamarnya. Kamarnya selalu saja berantakan, buku berserakan, sama seperti ketika belajar bersama hufth.. padahal jug kamar cewek. Kadang juga...

“Hanhan, ambilin handuknya Ayaaaas”

Nah, baru saja mau aku ceritakan. Eh, malah sudah teriak duluan. Dasar, mau mandi saja sampe kelupaan bawa handuk. Setelah aku memberikan handuk, aku kembali menata kamarnya.

Klek...

“iiih hanhan baik deh, mau ngebersihin kos Ayas. Sekalian buatin mi instan ya hanhan, ayas laper hi hi hi”

“Iyaaaa” Jawabku singkat sambil memandang wajah riangnya

Setelahnya dia berganti pakaian didalam kamar mandi. Aku menunggunya sembari membuat mi instan pesanannya. Hufth, begitulah, dan makan pagi kemudian berangkat.

Itulah yang aku kerjakan selama ini. Bangun pagi, kos salma, gendong dia, buat sarapan dia, kadang pula kalau pulang kuliah, aku buat tugas sendirian dan dia sibuk dengan sematponnya. Cuma bisa menghela nafas panjang, gak berani aku menegurnya kalau sudah dengan sematponnya.

Malam minggu? Dia selalu bilang, kalau dia ingin bersama teman-temannya. Dan, aku tidak boleh mengganggunya. Bahkan ketika aku nekat datang malam minggu, dengan jengkelnya dia memarahiku. Mau marah juga bingung, karena mungkin aku sudah terbiasa menuruti keinginannya. Entah apa yang dia lakukan malam minggu bersama teman-temannya. Yang jelas, kalau dia cerita, dia sering ke klab malam dan pulang dalam keadaan mabuk. Itulah yang membuat dia sering terlambat kuliah. Dan aku? Ketika aku menasehatinya dia malah yang marah-marah. Ingin marah pun tak bisa, aku tidak ingin kehilangan bidadariku.

Dulu aku sangat jengkel ketika mengetahui nilaiku dibawah Arta tapi setelah bersama Salma, aku tidak mempedulikannya. Toh, aku masih di atas teman satu kelasku. Hingga sabtu malam minggu...

“Sudah dibilang kalo malam minggu gak usah kesini kenapa sih han?!”

“Ya tapi kan yas, hanhan pengen malem mingguan bareng ayas, sekali aja”

“Bodo!”

Dia langsung berlalu menuju mobilnya yang berada diparkiran kos. Aku mencoba menahannya dia malam marah-marah gak karuan.

Glek...

Keras sekali suara ketika dia menutup pintu mobil. Tanpa mempedulikanku dia langsung pergi. Aku terpaku melihatnya. Aku terlalu lemah...akhirnya aku memutuskan pulang dan bertemu dengan Arta. Hufth...


oOo​

Dok.. dok... dok...

“Han! Ikut tongkrong gak?” terdengar suara teriakan teman kosku.

“Egh... i-iya bentar” aku bangun dan langsung menuju ke pintu kamar

Kleeek...

“Ayo, daripada meratapi status pacaran nasib jomblo ha ha ha”

“hadeh...”

“yaelah lu han, mau nongkrong aja rapi amat kayak mau kuliah ha ha h” tawa temanku

“Dah, ayo jalan...” ajakku keluar dari kamar dan menutup pintu kamar

Aku berjalan paling belakang. Membuka sematponku. 21.00. Tanpa aku sadari lamunanku begitu lama. Ku buka aplikasi pesan instan, tak ada pesan dari Salma. Padahal aku sangat rindu dengannya.

Tuuut... tuuuut...

“Ya, hanhanhhhh ada apah...”

“Eh, ayas lagi apa? dimana?” aku mendengar suaranya sedikit aneh

“Egh... ini lagi main sama temen, emang kenapa?”

“Eh, enggak suaranya ayas aneh saja tadi”

“oh, ya sudah ya hanhan..”

“Eh, be-bentar Ayas kan hanhan mau...”

“Sudah, lanjut besok. Ayas lagi main sama teman Ayas! Jangan ganggu!”

“I-iya..”

Hufth, sama saja. tapi aneh juga suaranya tadi, main apa sampe kaya gitu suaranya. Ya sudahlah, daripada mikir yang tidak-tidak lebih baik aku segera menyusul temanku yang berjalan semakin menjauh menuju warung lesehan pinggir jalan. Ada yang aneh, tapi entah apa itu. Apapun itu aku tetap menyayanginya.
 
Terakhir diubah:
Scene 17
Cinta


Linda White Heart


Lisa Apriliana


Ainun ... ...


Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia


Salma Andromeda​


Di dalam ruang kantor yang cukup luas. Terletak di lantai paling atas sebuah gedung perusahaan. Dua orang sedang duduk didepan sebuah meja. Satu orang dengan baju hitam dilengkapi dengan jas hitamnya dan satu lagi dengan baju putih dilengkapi dengan jas hitam. Mereka menghadap ke arah meja, dimana dibelakang meja sudah duduk seseorang. Badannya cukup gemuk, wajahnya sedikit garang. Tubuh gemuknya tampak tak bisa ditutupi dengan setelan baju putih bergaris dengan jas yang tak dikancingkannya.

“Bos” ucap dua orang didepan meja.

“Tumben kalian datang. Ada apa? Bagaimana dengan monalisa? Bisa kamu kirim kemari? Aku ingin menikmatinya ha ha ha” tanya seseorang yang disebut dengan Bos

“Ah, Bos bisa saja. nanti akan aku hubungi bos, kalau bos mau. Lumayan bos buat selingan” ucap lelaki berbaju hitam

“Ha ha ha...”

“Hei Rawa, kenapa kamu ini? dari tadi diam saja, apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya si Bos kepada seseorang berbaju putih, Rawa.

“Halah dia itu orangnya suka banyak pikiran Bos, ha ha” tawa si baju hitam

“Takur, apa yang sedang dipikirkan sama si Rawa” tanya si bos kepada lelaki berbaju hitam, Takur.

“Biasa Bos, masalah Pengu kemarin” jawab Takur

Klek...

“Kenapa khawatir? Tak perlu khawatir...” ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba saja masuk di ke dalam ruangan. Dua lelaki secara serentak memutar tempat duduknya.

“Tak perlu khawatir” ucap laki-laki tersebut dengan memutar kembali kursi menghadap ke Si Bos.

“Ta-tapi...” Rawa kelihatan sekali khawatir

“Sssst... sudah, ini baru permulaan. Ingat mereka menang di awal, tapi kemenangan akhir adalah milik kita. Okay?” ucap laki-laki tersebut meyakinkan kedua orang yang berada disamping kanan-kirinya.

“Dengar apa katanya, santai, ini baru permulaan. Belum menjadi akhir, tenang saja ha ha ha” tawa si bos

Tawa keras si Bos diikuti lelaki tersebut. kedua lelaki, Rawa dan Takur, yang awalnya tampak bingung ikut tertawa keras. Entah apa yang mereka tertawakan tapi tawa mereka memperlihatkan sesuatu yang benar-benar ‘gelap’. Tawa mereka semakin mengeras, pembicaraan mereka sudah tak lagi pada kejadian dimana pengu kalah. Menjadi sebuah canda dan tawa, tentunya dengan tema hinaan kepada keluarga Arta. Hinaan dan cacian yang menjadi bahan lawakan mereka hingga akhirnya kedua lelaki tersebut meninggalkan ruangan.

“Apa benar kita tidak perlu khawatir?” tanya si Bos kepada lelaki yang berdiri dibelakangnya. Menghadap ke kaca jendela ruangan, menatap gdeung-gedung besar yang menjulang tinggi.

“Tidak...”

Hening...

“Aku ingin menikmatinya sejenak, karena aku mulai menyukai pemuda tersebut, hmmm...” sorot matanya menjadi tajam. Bibirnya kemudian tersenyum sini.

“Hai pemuda, tampaknya kita memang harus bertemu. Aku ingin melihatmu, sekali untuk memastikan aku bisa menidurkanmu dibawah batu nisan.. ha ha ha ha” bathinya

.
.
.

Jeglek... jeglek...

“Sudah lha wa, kamu itu mikir aneh-aneh. Tenaaaaang” tenang Takur

“Iya, aku juga sudah tenang... tapi entah kenapa dia akan datang ke kita suatu saat nanti” balas Rawa

“Ha ha ha... kalau datang ya dihabisi, gampang kan?”

Mereka berpandangan tapi Rawa masih menampakan kegelisahan hatinya. Mobil mereka kemudian melaju, menuju Rumah rawa dikawasan perumahan mewah. Setelah menurunkan Rawa, Mobil itu kembali melaju.

Di dalam mobil...

“Rawa... rawa... kamu adalah sahabat terbaikku, aku tak akan membiarkanmu merasa segelisah itu. Aku akan membuatmu tenang...”

“Pemuda itu... tenang Rawa, kamu pasti akan tertawa kembali bersamaku... menertawakannya yang membusuk di tempat sampah ha ha ha”bathinnya

“Ha ha ha ha... hak haks... juh juh juh... kampret... kenapa ada serangga didalam mobil” tawanya terhenti ketika ada serangga yang masuk kedalam mulutnya.
 
Terakhir diubah:
Brrrrm... crek...

“Woi curut” teriak Samo dari dalam kontrakan

“Dasar Gajah duduk, ndak usah teriak-teriak! Kampret!” ucapku

Aku turun dari motor, menghampiri mereka. menyapa mereka satu persatu, Samo-Lisa yang duduk bersebelahan dan juga Justi-Linda, dengan Linda yang lengket sekali. Aku berdiri dihadapan mereka dengan kedua tangan berpinggang.

“Dasar... tidak punya perasaan” ucapku

“Lha? Kita itu punya Ar, makanya kita punya pasangan” jawab Justi

“Hadeeeeeh... maksudku, lha mbok jangan mesra-mesraan gitu. Terus aku sama siapa?” jawabku

Mereka sontak tertawa keras. Kutepuk jidatku.

“Makanya, jomblo jangan dipelihara” ucap Samo

“Lho? Memangnya jomblo bisa dipelihara ya? mosok to? (Masa sih?)” sela Justi

“Hadeeeh... mbak Lind...”

“Ya Ar”

“Boleh aku pinjam Justi sebentar, mau aku bawa ke dapur”

“Ke dapur?”

“Iya, mau aku ceplok kepalanya. Dari dulu penasaran isinya, mungkin saja bisa jadi campuran mi instan”

“Kepala bisa diceplok Ar?” sela Justi

“JUSTII!!!!!!” teriak aku dan Samo.

Kami berdua langsung menyeretnya. Samo memeluk Justi dengan kuat sedangkan aku mengapit kepalanya dengan lenganku. Ku ucek-ucek kepalanya dengan kasar. Teriakan-teriakan minta tolong dari Justi malah ditertawakan oleh Lisa dan Linda. Rasanya aku kembali lagi, kembali lagi ke masa bahagia kami.

Tiga Gelas kopi dan dua bungkus rokok, menemani kami berlima. Mengobrol tentang hal-hal yang kami lalui. Kadang juga bercerita tentang masa SMA kami berdua. Tentunya menceritakan hal-hal yang lucu. Bernostalgia sejenak dengan mereka cukup membuatku senang, ya, sejenak. Karena setelahnya mereka kembali menghilang bersama dua mobil di depan kontrakan.

Sepi. Dingin. Sudah saatnya aku kembali bersama kesendirianku. Rebah di atas kasur, melepas lelah. Aku tersenyum, mengingat mereka berdua yang baru saja datang. Bersyukur mereka masih mengingatku. Semoga saja selamanya.

Kriiiiiing jreng jreng jreng...

“Halo”

“Senengnya baru ketemu sama temen lama”

“Kok tahu?”

“Apa sih yang gak aku tahu Arta sayang?”

“Iya Ainun tahu semuanyaaaaa”

“Hi hi hi...”

Tawanya yang rian menemaniku malam ini. walau kadang sedikit terganggu dengan pesan yang masuk, kadang dari Winda, Desy kadang juga Ana dan Ani. Mereka yang mewarnai hari-hariku selama liburan ini. ya, hingga liburan selesai.

.
.
.

Awal Semester lima...

“Haduh kampret, kenapa ini Varitem malah mogok seperti ini?” bathinku

Motorku tiba-tiba saja mogok, dan aku tidak tahu kenapa bisa mogok. Bingung juga mau berangkat kuliah dengan apa? Memang belum ada kuliah di hari awal, biasanya juga bagi-bagi jadwal. Belum benar-benar aktif. Tapi ya tetap saja ada rasa khawatir. Hufth, Mau bagaimana lagi, mau tidak mau Varitem memang harus didorong. Lha wong berapa kali aku nyalakan manual saja tetap tidak bisa.

Pelan aku mulai mendorong Varitem. Dari kejauhan, di perempatan gang. Seorang wanita berdiri dengan wajah yang gelisah. Semakin dekat semakin aku bisa melihat wajah gelisahnya. Entah kenapa wajahnya tampak begitu sangat gelisah.

“Nun... eh, Bu RT”

“Sudah jalan dulu, aku temani jalan. Aku juga mau ke warung” ucapnya.

Tanpa membalasnya aku mulai mendorong lagi motorku. Dia berjalan di sebelahku. Aneh sekali wajahnya hari ini. berbeda.

“Kenapa?”

“Hati-hati”

“Eh, Ada apa to?”

“Sudah pokoknya hati-hati, perasaanku gak enak”

Aku menghentikan langkahku. Di tetap berjalan, sesaat kemudian sadar kalau aku berhenti dan mengamatinya dari belakang. Setengah menoleh, lalu membalikan tubuhnya, dia kemudian mendekatiku. Dari wajahnya tampak sedikit linglung.

“Mimpi buruk?” tanyaku dia mengangguk

“Mimpi apa?”

“Mimpi buruk itu tidak boleh diceritakan, cukup disimpan. Kamu gak boleh tahu, pokoknya kamu harus hati-hati titik”

“Khawatir banget?” sedikit aku bercanda dan tersenyum kepadanya

“Huh! Kamu itu, aku itu khawatir sama kamu, malah ngak bercanda”

“Iya, khawatir, kok khawatir banget?”

Pipinya tiba-tiba saja menggelembung. Satu langkah maju dan mencubit lenganku. Aku tidak bisa mengelak, karena kedua tangan memegang stang motor. Sakit juga cubitannya.

“Nah, gitu senyum”

“Huh!”

“Sudah tenang, tidak akan terjadi apa-apa”

“Janji?” sembari mengulurkan jari kelingking kanannya. Hah, ribet sekali sama cewek itu. ku sandarkan motor ke pahaku, dan satu tangan meraih kelingkingnya.

“Iya, janji”

Dia kembali tersenyum tapi senyumnya tak bisa memperlihatkan rasa khawatir dari dalam dirinya. Kami kemudian melangkah bersama. Aku terus memandang kedepan namun sudut mataku masih bisa menangkap bayang tatapan gelisahnya. Sebenarnya aku sendiri ingin tahu apa mimpinya. Tapi sudahlah, daripada pas diceritakan malah menambah pikiranku. Lebih baik aku mengobrol hal lain saja.

Ainun, menemaniku hingga keluar dari gang. Kami berpisah, dia ke arah toko dan aku masih mendorong mencari bengkel terdekat. Sebentar aku melihat ke arahnya, melihat tubuh wanita yang anggun. Sempat melamun ketika aku melihatnya, dan ketika tersadar dia sudah menghilang dari pandanganku. Kembali aku mendorong motorku. Kurang lebih seperempat jam, aku menemukan bengkel. Setelah dicek, motor harus ditinggal.

“Gini saja mas, mas tinggal dimana?” tanya teknisi bengkel

“Di kompleks gemah ripah loh jinawi mas” jawabku

“Dah, tinggal saja. Ambil nanti sore atau besok gak masalah mas.”

“Benar mas ditinggal?”

“Kenapa? gak percaya mas? Tuh liat, kenal gak sama motor itu?” tunjuknya kesalah satu motor

“Itu motor Pak Arif, tetangga kamu. sudah biasa orang kompleks kamu ninggal motor disini. aku jamin aman, dan setelah dibenerin dijamin lancar jaya mengudara”

“Siaaaap!”

Setelah perbincangan dengan teknisi, aku bertukar nomor hape dengan pemilik bengkel. Aku kemudian berangkat dengan menggunakan Bis menuju ke kampus. Dan benar, sesampainya dikampus, banyak mahasiswa yang masih tongkrong-tongkrong. Isyarat mereka tidak ada kuliah hari ini. Ditambah lagi ada kegiatan untuk mahasiswa baru.

Aku kemudian menju ke kantin. Mereka semua sudah ada disana. berkumpul dengan mereka sejenak. Dan kemudian kembali pulang. ya memang karena tidak ada kuliah saja. sikap Winda yang manja kepadaku, sudah biasa dimata mereka. Desy? dia bersikap biasa saja dan tidak ada yang curiga kepadanya, yang masih dicurigai itu si Winda. Dini dan Dina masih saja memandangku seakan aku ‘memelet’ Winda. Hadeeeeh...

Obrolan kami harus berakhir ketika semua memutuskan untuk pulang. Mereka semua terlebih dahulu meninggalkan aku karena aku beralasan mampir ke perpustakaan, menghindari Desy dan Winda. Pasti kalau aku bilang motorku di bengkel mereka akan mengantarku. Percaya diri sekali aku, tapi hanya memastikan saja. Menjelang siang setelah aku yakin semua pulang, aku menyusul mereka semua. Aku berjalan menuju Halte dekat dengan Kampus.

“Ah, sial rokokku habis”

Toleh kanan, toleh kiri. Sepi. Daripada kehabisan rokok bisa bikin pusing, aku memutuskan untuk mencari warung. Baru saja berjalan sebentar dari kejauhan aku menemukan sebuah warung rokok. Untungnya ada warung, fyuh aman.

“Pak Dunhill putih 20 pak” ucapku bersamaan dengan seseorang. Aku menoleh ke arahnya. aku tersenyum sembari sedikit mengangguk.

“Suka Dunhill juga mas?” tanyanya setelah pak penjual memberi kami rokok

“Iya mas, kalau yang lain ndak begitu suka aku mas, he he” jawabku, sembari membayar

Dia menatapku, melihatku kemudian tersenyum. Usianya mungkin tidak terpaut jauh dariku. Masih muda, mungkin juga dia masih kuliah. tapi kalau kuliah, semester-semester akhir. Bisa jadi.

Dudu asli wong kene mas? (Bukan asli orang sini mas?)” tanyanya membuatku sedikit terkejut

“Eh, lho masnya, kok tahu?...”

“Logatmu itu lho mas” aku balas dengan tawa cengengesanku. Pintar juga pemuda ini.

“Sibuk ndak mas? Kalau ndak sibuk, ngobrol-ngobrol dulu saja mas. Nemani aku mas, mumpung ketemu temen satu daerah” aku mengangguk. Benar juga apa yang dia katakan.

“Pak, kopi botolnya dua” lanjutnya kepada bapak penjual warung. Dia kemudian mengajakku duduk disamping warung. Di sodorkan satu botol kopi instan kepadaku.

“Lha masnya kesini ngurus apa?” tanyaku, sembari duduk dan membuka botol kopi.

“Biasa masalah cinta mas ha ha ha... oiyo, masa ngobrol belum tahu nama, kenalan dulu lah, namanya masnya siapa? Aslinya mana mas?”

“Arta Mas, lengkapnya Arta Byantara Aghastya aslinya daerah tengah mas, agak ketimur Mas”

“Wuih lengkap banget mas, hampir mirip namaku sama nama kamu mas. Byantara Aghastya, Prajurit Pelindung ya? ha ha ha” aku sedikit terkejut ketika dia tahu arti namaku.

“Asalmu lumayan jauh mas sama aku, kalau aku tengah tapi agak keselatan”

“Owh tengah keselatan to.” Dia kemudian mengangguk

“eh mas...kok masnya tahu arti namaku? Masnya pinter iwk

“Ya tahu saja Mas, sering baca jadinya tahu mas”

“Oiyo, Lha masnya namanya siapa? Malah keasyikan ngobrol”

“Ha ha ha oiyo ya, Arya mas, karena tadi masnya lengkap, aku juga lengkap. Arya Mahesa Wicaksana. Itu lengkapnya mas, biar sama”

“Kuliah?” lanjutnya. Aku mengangguk.

“Lha masnya kuliah juga?”

“Sudah mau lulus mas”

“Walah kalau begitu, panggil saya Arta saja mas, lha wong saya ini masih semester lima he he he”

Tuo aku berarti (Tua saya berarti) ha ha ha”

Kami kemudian mengobrol. Aku kemudian menceritakan kalau aku kuliah disini. Hanya sebatas itu, dan tak disangka jurusanku sama dengan Mas Arya. dengan ditemani sebotol kopi instan, dia mulai bercerita kenapa dia bisa ke ibu kota. Dari ceritanya dia ingin membuka usaha, dan ini sedang menunggu Pak dhenya. Pak dhenya itu namanya, Andi. Dia sedang berusaha membuka usaha alat dan bahan kimia.

“Wuih, pengusaha mas?”

“Bukan juga, baru mau buka usaha”

“Tetep saja mas namanya pengusaha, walau masih calon. Oiyo mas, tadi mas Arta cerita karena cinta? Maksudnya mas?”

“Iya, kalau bukan cinta, aku ndak bakal kesini. Ini semua karena cinta, cintaaaa. Begitulah Cinta itu ha ha ha”

“Cinta?”

“Iya, untuk menghidupi orang yang kita cintai mas. Kalau kita sudah yakin dan hendak memilikinya, kita kan juga harus punya pegangan untuk menghidupi cinta itu. haaaaashh...”

“Kalau aku ceritakan panjang mas ceritanya, dia dosen, S2 lagi. Lha aku itu Cuma S1, tapi ya modal nekat” dia kemudian memandangku. Kami saling berpandangan. Sekalipun dia dalam keadaan biasa, aku bisa merasakan sesuatu di matanya.

“Ar, Arta. Kamu punya mata yang kuat...” ucapnya tiba-tiba membuatku terkejut.

“Tapi kelihatannya cerita cintamu akan rumit, lebih rumit dariku tapi cerita hidupmu juga bakalan rumit. Tapi semua itu tergantung kamu, hanya kamu yang bisa menentukan.” lanjutnya

“Eh, mak-maksudnya?”

“Ha ha ha, jangan serius gitu to, santai saja tapi aku yakin kamu bisa melaluinya. Tapi tergantung kamu, dan cinta ha ha ha... cintaaaaa cinta, kampret ha ha ha” benar apa yang Mas Arya katakan, aku terlalu serius. Padahal kemarin baru saja ngomong sama Burhan, kalau hidup jangan dibawa terlalu serius.

Aku memandang Mas Arya yang tertawa. Kelihatannya dia memang kebingungan tapi dia menghadapinya dengan tenang. Bahkan tawanya mencoba menutupi kebingungannya. Aku salut dia mencoba mempertahankannya. Cinta? Aku juga selama ini belum tahu, mungkin da tahu maksud dari cinta.

“Mas, sebenarnya cinta itu apa to mas?”

“Weleh... ha ha ha...” tawanya keras sekali. Kemudian dia terdiam, menghisap dunhill baru lagi.

“Cinta itu... ah, banyak Ar, banyak sekali definisi cinta. Dulu aku mendefinisikan dengan banyak kalimat, tapi intinya cuma satu...”

“Cuma satu?” dia mengangguk. Pandangannya menatap langit atas, dengan semburan asap Dunhill.

“Cinta itu omong kosong”

“Eh...” aku terkejut ketika mendengarnya

“Ya, Cinta itu omong kosong maka dari itu kita semua berhak mengisinya dengan kata-kata kita sendiri. Definisikan sendiri arti Cinta Ar, karena setiap manusia memiliki Arti sendiri untuk cinta itu.”

“Kadang cinta itu membuat kamu heran, ada yang tersakiti tapi tetap bertahan. Ada yang bahagia tapi akhirnya harus pergi, dan yang ditinggal tetap berharap. Banyak sebenarnya. Ya semua itu alasannya Cuma satu, Cinta.”

Kata-katanya menghadirkan kembali bayangan masa lalu...

oOo​

“Cinta itu apa?”

“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya itu?”

“Teman-temanku membicarakan itu semua”

“Benar kamu ingin tahu?”

“Iya, karena aku tidak pernah tahu itu...”

“Baiklah, cinta adalah omong kosong...”

“Omong kosong? Teman-temanku bilang cinta itu indah, cinta itu ada diantara laki-laki dan perempuan. eh... kenapa malah tersenyum?”

“Cinta itu omong kosong maka dari itu carilah arti cinta untukmu sendiri. karena setiap manusia memiliki arti dari kata Cinta yang berbeda-beda. Cinta bukan hanya antara lelaki dan perempuan, tapi dengan sahabat, keluarga, bahkan antara orang tua dan anak ada yang namanya cinta.. carilah, suatu saat kamu akan melihat kenapa seseorang terus bertahan, seseorang terus berharap kepada seseorang yang lain, itu karena satu... cinta”

“Jadilah manusia yang memiliki cinta, agar kamu bisa merasakan persaanmu. Jadilah lelaki penuh dengan cinta ya sayang.”


oOo​

Plak!

“Halah malah ngalamun”

“Eh, anu mas tidak hanya saja ada yang pernah mengatakan hal yang hampir sama dengan kata-kata mas Arya” dia memandangku.

“Cari arti kata cintamu sendiri, Ar. Cari... Cinta itu bukan hanya antara laki-laki dan perempuan, kamu dengan sahabatmu pasti ada cinta, kamu dengan keluargamu juga ada. luas... sangat luas.”

“Selama kamu mencari kamu harus memilikinya sebelumnya. Dan aku yakin Ar, kamu sudah memilikinya, ada di dalam diri kamu, hanya kamu belum tahu arti kata cinta dalam diri kamu”

Aku menunduk ketika mendengarkan kata-kata mas Arya. Benar-benar mirip sekali dengan kata-kata... Mungkin dia mengirimkan pesan itu melalui Mas Arta. Bisa jadi. Lelaki yang disampingku saat ini, bisa jadi mengalami hal yang lebih hebat dari yang aku alami.

Sesaat kemudian kami mulai berbincang kembali. Dia menceritakan sahabat-sahabatnya, geng koplak, itu nama geng-nya. Dari cerita-cerita yang dia ceritakan sebenarnya hampir sama, sama denganku. Punya kumpulan yang urakan, tapi tetap pada jalan.

Selang beberapa saat, dia mendapat telepon.

“Ar, aku haru menemui pak dhe-ku. kalau kita berjumpa lagi, aku harap kita berada dalam keadaan yang lebih baik dari sekarang”

“Eh, iya mas, terima kasih untuk nasihat-nasihatnya”

“Halah, omongan orang tongkrong itu ha ha ha”

“Oiyo, ini nomerku Ar. kalau mau main ke tempatku, kabari aku ya” lanjutnya sembari memberikan sebuah kartu kepadaku

“Iya mas...” jawabku sembari menyimpan kartu yang baru saja dia berikan.

Kami kemudian berpisah. Aku melihatnya lari dengan penuh semangat. Aku rasa dia sudah melewati sebuah rintangan terberat dalam hidupnya. Tapi aku, aku baru saja memulainya. Baru saja.

Setelah dia menghilang, aku berbalik dan kemudian melangkah menuju halte. Dalam langkah, pikiranku sedikit tenang. Setiap kata-kata yang dia katakan kepadaku sama dengan yang aku dengar dulu.

“Maaf Mas” tiba ada seseorang lelaki, berbaju hitam dan kekar. Menyadarkan aku dari lamunanku ketika berjalan menuju halte. Aku berhenti dan berbalik.

“Iya mas, ada apa?” tanyaku

“Ini, jalan Mawar Kusuma itu dimana ya? ini saya dikasih peta tapi bingung”

“Waduh saya tidak tahu, saya bukan asli sini”

“Oh, ya tapi coba masnya lihat dulu, mungkin saja masnya tahu..”

“Ya, coba tak lihatnya dulu mas”

Aneh ketika aku melihat peta ini. sepertinya tidak ada...

BUGH....!!!

Gelap... semuanya menjadi gelap...
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Ada Apa ini???? Kok tumben pake side story burhan??
Btw suwun hu wes diupdate,tak kiro lek bakalan macet suwe
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd