Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
moga yang disappear om pai aja. kabur... nyari janda dulu
 
Ane ketinggalan cerita bagus lagi,kan kampret,semua gegara om Pai nih, lho lho.
 
Scene 15
Terima Kasih


Iliana Desy Prameswari


Aku menoleh kebelakang.

“Sudah dibilang mau hujan, masih saja disini. Dah ayo ke warung bapaknya yang pakai topi tentara,” ucapnya ringan.

“Kenapa?” tanyaku. Aku melihatnya basah karena hujan, bukan aku yang basah. Jaketnya dia gunakan untuk menutupi kepalanya. Beberapa kali dia mengusap wajahnya.

“Sudaaaaah... ayo,” ajaknya.

“Apa pedulimu?!” tanyaku. Emosiku mulai meluap. Air mata yang telah bercampur dengan sebagian air hujan, dan sebagian titik air dari hempasan ombak membasahi wajahku.

“Tetaplah menari...” Dia tersenyum ketika dia mengucapkan kata-kata yang membuatku tertegun.

Tanpa menunggu kesediaanku, satu tangannya menarikku. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku mengikuti tarikannya. Kini aku berjalan bersamanya. Dekat. Satu payung tidak cukup untuk kami berdua. Terlalu kecil. Membuatnya sedikit mempercepat jalannya. Begitu pula aku. Mengikuti langkahnya yang hampir dua kali langkahku.

Satu tangannya memegang payung, satu tangannya menarikku. Payung itu selalu berada di atas kepalaku. Tak pernah sedikit pun bergeser dari atas kepalaku. Semua karena dia selalu menoleh kebelakang, memastikan air tidak mengenai tubuhku. Walau kakiku sudah setengah basah.

Kini aku berada di pinggir sebuah warung makan, mirip dengan sebuah teras dengan bangku kecil yang panjang. Cukup untuk dua orang. Juga satu meja kecil didepanku. Aku kemudian duduk, memandang ke arah pantai. Pandanganku dihiasi tanaman yang menggantung di ujung peneduh. Sulur-sulurnya menjulur kebawah terombang-ambing angin yang sangat kencang.

Aku masih di sini, menunggunya. Entah kenapa menunggunya. Tadi, sesaat setelah sampai di pinggir warung dia langsung berjalan masuk ke dalam warung. Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu. Kenapa aku bisa berada disini.

Hujan semakin deras...

Entah kenapa, kini aku tidak lagi takut. Mungkin karena aku sudah berteduh. Tak akan ada lagi tangisan bersama langit. Sebenarnya aku masih ingin menangis, tapi tertahan. Dan sekarang lebih tertahan karena ada dia. Dingin. Aku mengelus kedua lenganku. Andai saja aku tadi menangis bersama langit mungkin aku akan lebih kedinginan.

“Dingin ya? Ini,” ucapnya menghapus lamunanku. Satu tangannya memberikan sebuah gelas keramik.

“Hati-hati panas,” lanjutnya.

Dia duduk di sampingku. Dua tanganku menggenggam gelas hangat. Aroma coklat. Mataku melirik ke arahnya. Kulihat dia juga memegangi gelas itu dengan dua tangannya. Mungkin dia merasakan dingin yang lebih dari aku. Betapa bodohnya aku, seandainya tadi aku mengikutinya dari awal mungkin dia tidak akan kedinginan. Tapi, masa bodoh. salah dia sendiri.

Kletek... kletek...

“Ini gorengannya, dimakan,” ucap seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba datang.

“Eaaa.. makasih lho bu, ibu caaaantik banget...” rayuan gombalnya dia lontarkan ke ibu itu. Memang wanita itu terlihat cantik dan sederhana.

Pakneee... ki lho, aku digudho karo bocah, (Bapaaaak, ini lho aku di goda sama bocah)” teriak Ibu itu ke dalam warung makan.

Oooo tak sambete karo arit nek wani macem-macem, (Tak sambitnya pakai celurit kala macam-macam)” teriak seorang lelaki di dalam.

“Weleh... ampuuuuunn he he he,” jawabnya

“Dah dimakan, nanti kalau kurang ambil di dalam.”

“Mbak, kalau diapa-apakan sama bocah ini bilang sama ibu. Biar ibu jadikan campuran nasi rames,” lanjut ibu itu

“Eh, i-iya bu,” jawabku.

“Hish, ngeri!” jawab lelaki di sebelahku.

Entah sejak kapan, aku mulai tersenyum mendengar candaan mereka berdua, juga teriakan-teriakan dari dalam warung. Bukan karena lucu, tapi karena aku tidak mengerti bahasa daerah mereka, jadi terlihat lucu. Mungkin mereka saling mengenal karena berasal dari satu daerah atau bisa jadi karena bahasa daserah mereka sama. Sesaat kemudian Ibu itu menyudahi candaan dan kembali ke dalam warung.

“Eh, Ibu itu cantik kan?” tanyanya. Aku menoleh ke arahnya yang menyenggol tubuhku dengan pandangan mengikuti si Ibu.

“Bodoh,” jawabku. Dia menoleh ke arahku, aku membuang muka.

Hening...hujan pun menjadi gerimis...


Slurrrp....

“Deras sekali ya?” ucapnya membuka pembicaraan. Aku tetap diam.

“Kamu ingin menangis bersama hujan? Agar orang lain tidak melihatnya? Ya, kan?” aku hanya menoleh dan kembali memandang ke depan.

“Sepandai-pandainya kamu menyembunyikannya, tetap akan terlihat, karena pastinya mata kamu akan sedikit memar he he he,” candanya.

“Bukan urusanmu,” jawabku.

“Aku di sini bukan untuk memanfaatkan situasi. Hanya iseng ketika melihatmu mengendarai mobil yang bukan mobilmu. Setelah di rumah makan itu, aku hendak pergi. Tapi ketika aku melihat, kamu tidak keluar dari mobilmu, aku ikut menunggu. Apalagi ketika sebuah mobil datang, dan yang keluar mereka berdua. Aku urungkan niatku. Tambah lagi setelahnya kamu keluar dari mobil. Sebaliknya dari rumah makan, langkahmu begitu cepat.”

“Itulah mengapa aku membuntutimu, aku tidak ingin kamu melakukan hal yang sama, yang ingin dilakukan Winda. Walau sebenarnya aku yakin, kamu lebih kuat dari Winda,” jelasnya.

“Alasan,” jawabku.

“Huffthhh... Maaf Des, jika aku tidak mengatakan sebelumnya. Sebenarnya aku sudah tahu. Hanya aku takut jika mengatakan kebenaran yang aku lihat, kamu tidak bisa menerimanya. Kamu terlalu baik padaku, maka dari itu aku tidak ingin membuatmu marah kepadaku. karena aku tidak punya bukti dan tidak mungkin kamu bisa percaya semudah itu kepadaku,” ucapnya.

“Alasan,” jawabku.

“Hufth... ya sudah, Des. Kamu mungkin butuh waktu untuk sendiri. Aku pulang dulu, nanti kalau butuh bantuanku, WA atau telpon saja,” ucapnya sambil bangkit dan meletakan gelasnya yang masih setengah terisi.

“Eh,...” aku sedikit terkejut ketika mendengarnya ingin pulang. aku menoleh sebentar dan kemudian memandang ke arah pantai.

“Sejak kapan?” tanyaku dengan tetap memandang pantai.

“Eh, sejak di festival. Waktu aku jadi tukang bersih-bersih.”

Tiba-tiba dia menunduk. wajahnya tepat di depan gelas keramik yang aku pegang.

“Sudah?” tanyanya.

“Apanya?” jawabku.

“Kalau sudah aku pulang” lanjutnya.

“Bodoh!” bentakku.

Dia tersenyum. Melangkah menjauhiku. Tangannya meraih sulur tanaman. Entah apa yang dia lakukan.

“Desy, desy...”

“Bodoh jugalah... aku mau ngomong ke kamu juga pastinya salah semua. Mau nasehati kamu juga paling ndak mempan. Lha wong kamunya saja yang sering nassehati aku.”

Aku tak menjawab. Aku tidak bisa membenarkan dan juga tidak bisa menyalahkan. Aku menyadari hal itu, aku seperti terkungkung dan tak bisa leluasa. Tapi, hari ini aku tidak ingin menjadi diriku sendiri. Aku ingin menangis, hanya itu tapi kenapa tak pernah bisa. Kenapa selalu tertahan.

Ku pegang erat gelas keramik. Aku menunduk dengan posisi gelas keramik tepat diatas ubun-ubun kepalaku. memandang ke pasir-pasir yang yang menempel di kakiku.

“Nih buat kamu...” ucapnya, tapi aku tetap tak menghiraukannya. Aku tetap diam. Aku merasakan sesuatu di kepalaku.

“Sudaaaah...” lanjutnya.

Aku mengangkat wajah. Sesuatu jatuh dari atas kepala. Spontan satu tanganku langsung menangkapnya. Mataku benar-benar tidak percaya pada apa yang aku lihat. Seakan sesuatu yang lama hilang kembali lagi ke dalam hidupku. Pelan aku menoleh ke arahnya.

“Sudah ndak boleh sedih, ndak boleh nangis” ucapnya dengan tubuh setengah berjongkok di depanku.

“Eh...” bayang-bayang masa lalu tergambar kembali di mataku.

aaaaaaa“Hayo... ndak oyeh cedih, ndah oyeh nais”

“Aku tahu kamu sedang berpura-pura tegar Des. Karena kamu tidak ingin yang lain ikut dalam kesedihanmu. Jangan membohongi perasaan Des dengan berpura-pura bersandar pada hati yang sedang rapuh. Kamu itu manusia, bukan malaikat.”

“Mungkin sekarang kamu tidak ingin menangis karena ada aku, tapi jujurlah pada dirimu. Jika memang sekarang bukan waktunya, nanti kalau sudah pulang, menangislah sepuasnya. Agar hatimu kembali kuat, kembali menjadi logam yang tak akan pernah rapuh lagi.”

Tatapanku masih kosong. Masih memandang wajahnya. Senyumannya, apakah benar dia? Yang dia buat, yang dia katakan ketika benda ini jatuh dari kepalaku. Sama, benar-benar sama. Apakah benar dia? Apakah benda ini juga yang membuat Winda, menjadi sangat dekat dengannya? Air terjun...

“Hadeeeeh... malah ngelamun. Ya sudah, aku pulang dulu” ucapnya bangkit.

Aku masih terus memandangnya tanpa bisa berkata apa-apa. memandangnya ketika dia membenarkan pakaiannya. Dan tepat ketika dia hendak beranjak dari tempatnya. Tiga jariku, selain telunjuk dan ibu jari yang memegang benda buatannya, meraih pergelangan tangan kirinya.

“Temani aku, Ar. Sebentar... sampai hujan reda.”

“Iya, aku juga ndak kemana-mana Des. Ini mau ngrokok, kalau dekat kamu bisa kena pukul kamu he he he,” candanya.

Aku tersenyum. Tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Memang benar apa kata dia, aku sedang berpura-pura tegar di atas hatiku yang mulai mengering dan tandus. Harusnya aku menangis agar hatiku kembali menjadi hati yang subur.

Kulihat kembali benda yang aku pegang. Memang sama, anyamannya pun sama tak ada yang berubah dari yang dulu pernah aku lihat. Tak ada yang berubah, sama sekali. Sesekali mataku memandangnya yang sedang berjongkok, bersandar pada tiang peneduh. Asapnya keluar bebas sekali. Aku ingin seperti asap itu. Matanya memandang jauh ke depan, seperti melihat ke masa depan tanpa mempedulikan masa lalunya. Walau kadang dia terjebak kembali.

Aku tersenyum, entah dari mana lukisan senyuman ini aku dapatkan. Mataku beralih memandang jauh ke arah pantai. Sesekali aku merasakan aroma asap rokok yang dia hisap. aku tidak mempedulikannya. Hujan menjadi sebuah gerimis yang lambat laun menjadi reda. Langitpun mulai gelap. Tak ada percakapan antara aku dan dia. Diam. Sesekali aku memindahkan pandanganku ke arahnya. Ada beberapa batang rokok yang sudah habis dia hisap dan tergeletak di dekat kakinya.

Selang beberapa saat aku bangkit. Kuajak dia pulang. Tetapi sebelumnya, aku harus mengembalikan mobil ke rental dulu. Kupaksa dia ke sana. Dengan wajah lesu dia mengiyakan. Aku melangkah menuju mobilku dan kudengar teriakan-teriakan canda darinya dengan penjual warung. Entah apa yang mereka katakan, aku tidak mengerti. Memang sih, aku tidak tahu arti dari bahasa mereka.

Kini aku berada di dalam mobil yang melaju, dia di belakangku. Hatiku sedikit lebih tenang daripada sebelumnya, tapi aku masih ingin menangis. Meskipun sedikit pudar ketika melihat benda yang aku letakan di depan setir mobil. Memang mirip, tapi belum tentu dia kan. Tapi anehnya bayang-bayang yang muncul adalah bayang-bayang saat itu. Aku tidak mengerti.

Sesampainya di rental mobil, aku mengembalikan mobil.

“Sudah Des?” tanyanya yang sedang nangkring di atas motor dengan batang rokok yang dia hisap.

“Antar aku,” ucapku tanpa menjawab pertanyaannya.

“Lha? Helmnya mana? Ini jauh lho Des dari kosan kamu,” jawabnya.

“Aku tidak mau tahu, pokoknya antar sampai kos.”

“Lha kalau ketangkep polisi?”

“Ini sudah gelap, jarang ada polisi yang berpatroli,” jawabku.

“Iya, kalau di desa-desa iya, ini kota lho Des,” balasnya.

Plak!

Aku memukul punggungnya...

“Aduh... i-iya iya, aku antar,” jawabnya.

Tak ada lagi beban dalam hatiku. Aku juga tidak peduli kalau ada teman yang melihat. Aku memeluknya erat dari awal aku membonceng hingga motornya mulai berjalan. Dia sedikit melontarkan protes, tapi kalau sudah ada sedikit pukulan dia diam. Aku rebahkan pipiku di atas punggungnya. Masa bodoh dengan semuanya. Masa bodoh.

Hujan yang baru saja turun membuat angin malam terasa lebih dingin. Udara pun lebih segar daripada sebelumnya. Aku sedikit membuka mataku, melihat ke atas. Bintang-bintang mulai terjaring oleh langit malam. Ada bulan, walau tak sempurna tapi sudah cukup menemani bintang-bintang itu. Aku memeluknya lebih erat sepanjang jalan-jalan kecil yang dilaluinya. Sekedar untuk menghindari jalan besar. Mungkin dia memang ketakutan kalau tertangkap polisi. Padahal dia juga punya kenalan polisi.

Setelah hampir satu setengah jam...

“Dah sampai Non, huffffthhhh...”

“Egh, dah sampai ya? terima kasih, mampir!” ucapku, turun dari motornya. Dia menggelengkan kepala.

Kini aku telah sampai di depan kos. Rumah keduaku.

“i-iya Des, iya sakit Des sakit...”

“Mampir kan?” tanyaku kembali dia mengangguk setelah aku melepaskan cubitannya.

“Aduh sakit baget Des, haduuuuh...” keluhnya ketika mengikutiku dari belakang.

“Des, pinjam kamar mand ya?” ucapnya ketika aku hendak membuka pintu kamar kosku.

“Mau ngapain?” tanyaku

“Mau bangun gedung Des, ya mau bersih-bersih to ya,” jawabnya.

“To to to, iya iya... santai kali jawabnya,” balasku.

Klek...

Kubuka pintu kos, dan melangkah masuk. Entah kenapa hatiku merasa sangat rapuh saat ini.

Klek...

Pintu kembali tertutup. Langkahku terhenti. Air mataku mengembang, pandanganku mulai kabur. Pelan aku membalikan tubuhku, memandangnya. Dia masih di depan pintu, menghadapku. Aku tahu dia sedikit bingung ketika melihatku. Aku berlari kecil dan langsung memeluknya. Menangis.

“De-Des...”

“Sakit Ar, sakit banget... sakit Ar, padahal aku tidak pernah menyakitinya, hanya... hanya karena aku tidak bisa memberikan yang di... dia mau, dia pergi...” tangisku. Aku memeluknya lebih erat.

“Perem... perempuan itu sahabatku sendiri Ar. Sa... sahabatku sendiri, sakit banget. Huuuu.”

Tanganku mencengkram kaos di punggungnya. Tangisku pecah dengan suara yang keras. Semua keluh kesahku aku keluarkan. Ku usap-usapkan beberapa kali wajahku di dadanya. Tangisku semakin menjadi-jadi, tersengal.

“Menangislah, bila harus menangis.... Biar kamu lega.”

“Di.. dia jahat banget... jahat, ka.. kalau me.. memang sudah tidak sayang kenapa masih... masih... ma.. masih bertahan denganku... sa.. sakit... sakit banget... sa.. sakit... Ar...”

“Ga.. gantungin akuhhhh te.. terus jalan ba.. bareng sama sa... sah... sahabatku sendiri, sa... kiiiiit” nafasku tersengal, sulit sekali bernafas...

“Ssst. Jangan ngomong dulu, susah nafas kamu nanti ya?” lembut sekali.

Nafasku tersengal, sulit sekali bernafas. Aku terus dan terus bercerita mengenai semuanya. Semuanya yang pernah aku jalani bersama Riyan, walau tidak sampai pada hal yang sangat pribadi. Aku ceritakan bagaimana perasaanku yang selama ini selalu menunggunya, perasaanku yang selama ini selalu berusaha untuk bertahan tapi... pengkhiatanan. Dan dia adalah sahabat terdekatku sendiri. Kuluapkan semua keluh kesahku. Hingga akhirnya aku bangkit dari pelukannya.

“Riyan sama Marita, me... me-meraka itu baj..mmmm...” tiba-tiba tangannya membekap mulutku

“Sssst... Jika kamu ingin hidup dengan cara yang membuat dirimu terjaga, keinginanmu terpenuhi dan dipandang, jaga lidahmu, kamu perempuan Des. Jangan mengatai orang lain dengan seenaknya, jangan, kamu pasti juga punya kesalahan dan mereka juga punya lidah. Ini juga sebagai pengingatku, jika suatu saat nanti kamu melihat atau mendengarkan aku mengatakan hal yang tidak baik, ingatkan aku, ya” tangannya sedikit terbuka, memberiku ruang untuk berbicara setelah sejenak aku tertegun ketika mendengar apa yang baru saja dia katakan.

“Ta-tapi...”

Hegh...

Nyaman, hangat sekali. Seakan aku berada di tempat yang paling nyaman. Aku masih menangis, tapi tak sanggup lagi berkata-kata. Hanya diam, memeluknya. Kuberikan semua beban tubuhku kepadanya. Hingga dia bersandar pada sebuah tembok. Perlahan dia turun, semakin turun dan terduduk. Aku masih di peluknya.

“Kamu adalah gunung didalam lautan...” lirihnya, tapi aku tidak mengerti yang dia katakan

Tangannya memegang kepalaku, mengelus kerudungku. Aku meraskan kenyamanan dan juga rasa aman. Entah, apakah dia memanfaatkan kondisiku saat ini atau tidak. Tapi yang jelas, dia memberiku rasa nyaman dan aman untuk sekarang ini.

“Eh, Des. Kemarin to aku...”

Aku masih memeluknya. Dia mulai berbicara ngelantur. Entah apa yang dia ceritakan. Mendengarkan leluconya. Aku tahu dia ingin menghiburku. Aku tahu dia ingin aku tertawa sekarang, tapi tidak aku masih ingin menangis. Menangis dalam ruang hangat tubuhnya. Aku tidak mengerti leluconnya, tapi dia terus bercerita, bercerita dan bercerita. Satu tangannya masih di kepalaku, menggoyangnya pelan. seiring dengan ceritanya yang terus saja mengalir dari bibirnya. Setelah sekian lama, nafasku kembali normal walau masih sedikit terisak.

Aku bangkit dari pelukannnya dan dia sedikit tertawa...

“Kamu itu... aku sedih kamu malah tertawa,” ucapku sedikit memberi pukulan di dadanya.

“Ha ha endak yo, aku tuh geli sama ceritaku sendiri. ndak lucu sebenarnya, tapi ya karena ndak lucunya itu aku jadi geli sendiri he he he,” tawanya.

“Eng...”

“Eit, ndak kena ha ha ha.”

Tawanya begitu keras. Membuat telingaku berdengung. Dengan riangnya dia bergaya seperti badut. Menjulurkan lidahnya, dengan kedua tangan bergoyang di samping kepalanya. Aku heran kenapa dia bisa seperti itu. aku tersenyum, terkekeh, dengan satu tangan menutupi bibirku.

“Nah, gitu tertawa...” aku memandangnya. Dia tersenyum kepadaku. Tentram sekali melihat senyum itu.

“Tikus Des!!!” teriaknya.

“Aaaaaaaaaaaaaa” teriakku, aku langsung memeluknya lagi. Masa bodoh, dia mau menafaatkan situasi ini atau tidak.

“Eh, Des kok begini lagi... padahal aku pengen lihat kamu ketakutan seperti kemarin heeee.”

Aku tidak mempedulikannya. Aku memeluknya, mungkin karena kaget, mungkin juga karena takut. Tapi ketika aku memeluknya, perasaanku kembali nyaman dan aman. Hangat.

“Des... lihat ke jendela” ucapnya. Memang pintu masuk kamar kosku berhadapan langsung dengan jendela kamar. Ketika aku memeluknya tadi, dan dia bersandar ke dinding kemudian beringsut duduk. Posisi kami miring, sehingga bisa melihat ke arah jendela.

“Kamu masih ingat ketika di atas gedung?” dia coba mengingatkan aku. Aku langsung mencubitnya.

“Auch... bukan yang bagian itunya, haduuuh... kamu pikirannya selalu begitu owk kalau sama aku,” balasnnya.

“Apa?” tanyaku, masih memeluknya.

“Tadi padahal mendung, hujan deras sekarang sudah terang...” aku tak menjawab kata-katanya

“Tapi ternyata walau habis mendung, langit menjadi cerah dan bintang kembali bersinar. Seperti katamu, bintang ada karena kita mempunyai harapan. Apa kamu masih bisa melihat bintangmu? Kamu bilang saat itu kamu mempunyai harapan bukan? Jika kamu masih mempunyai harapan, cita-citamu, bintang itu pasti masih ada dan menggantung di langit itu.”

“Jika sore tadi hujan adalah tangismu, maka malam ini... mmmm...” dia berhenti.

“Apa?” tanyaku.

“Malam ini kamu diingatkan kembali oleh langit tentang harapanmu,” ucapnya.

“Kamu tahu, aku bingung ingin mengatakan apa kepadamu, Des. Nasehat? Nasehat seperti apa? sedangkan setiap kali aku terjatuh, terjebak, tiba-tiba kamu datang menarikku kembali untuk berdiri. Melangkah dan juga menari.”

“Tetaplah menari Des, tetaplah menari...”

Aku tersenyum mendengarnya. Bangkit dari pelukannya. Memandangnya sejenak, memandang dua bola mata yang pernah berubah menjadi sangat ganas. Sekarang tampak sejuk sekali. Apalagi kalau bibirnya sudah tersenyum.

Cup...

“Eh...” dia terkejut.

“Terima kasih,” ucapku.

Aku mengecup pipi seorang lelaki. Dia bukan kekasihku. Bukan pula saudaraku. Dibalik keterkejutannya wajahnya memerah, seharusnya aku yang memerah tapi kenapa malah dia. Kami saling berpandangan lama sekali, tiba-tiba dia tersenyum.

“Sama-sama.”

“Eh, Des... aku itu mau ke kamar mandi owk malah disuruh duduk di sini to?” lanjutnya.

“Eh, i-iya ma-maf... sana ke kamar mandi dulu.”

Aku bangkit dan langsung melangkah menuju tempat tidurku. Melepas kerudungku, ingin ganti baju tapi dia masih berada di dalam kamar mandi.

“Cepetaaaan! Aku mau ganti baju!” teriakku.

“I-iya!!! sebentar...” balasnya berteriak.

Selang beberapa saat dia keluar dari dalam kamar mandi. Menjulurkan lidah kemudian menakutiku dengan teriakan yang sama “tikus”. Tapi aku sudah tahu, jadi aku lempar bantal saja ke arahnya. Pintar dia menghindar dan langsung berlari ke luar kamar kos. Setelah pintu tertutup, aku berganti pakaian.

“Ah, kenapa tadi bisa begitu nyaman,” bathinku.

Setelah berganti pakaian, aku keluar. Kudapati lelaki ini sedang bermain dengan sematponnya, dan dengan batang putih yang menyala. Setelah bercanda dengannya sebentar kemudian aku berjalan ke dapur, membuat minuman hangat.

Dua gelas minuman hangat menemani kami berdua di tengah dinginnya angin malam. Angin yang bertiup lembut dengan membawa hawa dingin hujan sore tadi. Dia duduk diatas lantai beralaskan sandal, menjaga jarak denganku, karena dia tahu aku tidak suka asap rokok.

“Temani aku malam ini,” ucapku.

“Iya, aku temani sampai kamu nanti mau tidur, terus aku pulang,” jawabnya.

“Apa aku harus merengek seperti Winda?” tanyaku.

“Eh, maksudnya?” dia balik bertanya kepadaku dengan wajah bingungnya.

“Tidur di dalam. Di atas karpet.”

“Hadeeeeh... iya, iya... kamu minta ijin dulu sama ibu kos kamu.”

“Iya.”

Setelah rokoknya habis dia beranjak dari duduknya dan duduk di sebelahku. Menikmati minuman hangat bersama. Lucu juga, kadang aku berpikir seperti itu, ya karena entah mengapa aku bisa terbuka dengannya.

“Ar,” aku memandang ke atas, ke langit luas.

“Hmm?” jawabnya.

“Terima kasih telah mengingatkan aku pada bintang harapanku,” aku menyandarkan kepalaku di lengannya. Karena tidak mungkin di pundaknya, dia lebih tinggi dari aku.

“Iya... he’em. Kamu dulu mengingatkan aku. Maka dari itu dan oleh karena itu dan disebabkan itu, sekarang gantian aku mengingatkanmu Deeees,” jawabnya membuatku tersenyum. Kuletakan minumanku di sampingku, dan kupeluk lengannya.

“Ciyeeeee mbak Desy, mesra banget sama masnya... Mas jangan mbak Desy terus dong, aku juga digodain dong” celetuk adik kosku yang lewat didepanku bersama pacarnya

“Eh, anu... ya mbak aku godain... godain godain,” jawabnya. Padahal aku tidak mempedulikan omongan mereka. Cuma senyum saja.

“Yang, aku digodain sama masnya mbak Desy,” rengek adik kosku.

“Eh, eh, anu mas endak mas, Cuma bercanda, yakin mas,” jawabnya tampak ketakutan.

Mereka berdua tertawa ketika melihat Arta yang kebingungan. Aku pun langsung tertawa sedikit keras. Bangkit dari bersandar dan memukul pelan legannya.

“Nah gitu habis hujan itu selalu ada pelangi. Tul ndak?”

“Sok tahu, huh!” jawabku kembali ke posisi semula, bersandar dan memeluk lengannya.

“Bayar mbak, udah tadi ngojek ndak bayar sekarang peluk-peluk tanganku, bayarnya lima kali lipat mbak,” aku melepas pelukannya dan memandangnya.

“Kamu lelaki bayaran ya? berarti panggilan dong?” candaku.

“Aiiiish, enak saja, kan kamu yang tadi meluk-meluk,” balasnya.

“Takut dimarahi Winda ya? hi hi hi.”

“Kok sampai ke Winda?” dengan sedikit wajah bloon

“Ya iyalah, hi hi hi.”

Akhirnya aku bisa tertawa terkekeh. Bercanda dengannya tanpa aku sadar yang kulakukan adalah hal yang aneh. Aneh memang, tiba-tiba memeluknya, tapi kenapa dia tidak menolak ya? aaah, jangan-jangan dia ambil kesempatan. Tapi kalau benar dia ambil kesempatan kenapa dia tidak menggoyangkan lengannya. Hmm.. kelihatannya polos ini lelaki.

“Aku ngantuk, aku tidur dulu, sekalian mau ngijinin kamu penghuni gelap numpang di kosku,” Candaku.

“Heh mbak, mending aku juga punya kontrakan kali mbak. Enak saja dibilang penghuni gelap, memang mau nyolong apa?” balasnya.

“Kali aja mau nyolong kulkas, kontrakanmu kan ndak ada kulkas, weeeeek.”

“Iya sih ndak ada kulkas, tapi kalau tikus banyak.”

“Arta!!!” aku sedikit merinding mendengarnya.

Dia tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku. Dengan memasang wajah ngambek, aku masuk ke kamar, tak lupa aku melet ngejek itu lelaki mantan culun.

Sssssh... aaaah....

Kamar, aku ngantuk. Aku ingin segera tidur. Segera menyelesaikan malam yang dingin ini. hatiku begitu ringan, begitu tenang. Udara dingin dalam kamarku yang berasal dari AC membuatku semakin ngantuk. Aku berjalan menuju tempat tidurku, rebah. Kupeluk guling kesayanganku. Mmmhh... ngantuk...

.
.
.

Groook... groook...

“Egh...”

“Hm pantas hangat... seingatku aku tidak berselimut ketika tidur tadi.”

Dengkurannya cukup keras membuatku terbangun. Masih dalam selimut aku menggeser posisi ke ujung kasur. Melihatnya yang tertidur pulas. Polos sekali. Seandainya saja kamu bukan lelaki yang baik, mungkin malam ini kamu akan melakukan hal yang lain. Tapi kamu beda, kamu tetap menjaga jarak. Menghargaiku, padahal kalau lelaki lain atau mantanku saja udah pegang-pegang.

Aku bangkit, berjalan mengambil tas kecilku. Ku ambil beda anyaman yang dia berikan padaku sore tadi. Sambil berjalan menuju tempat tidurku, kulihat lagi benda itu dan kubolak-balik. Kuambil kotak kecil dari laci meja disamping tempat tidurku. Kubuka.

“Sama... tak ada yang beda. Mungkin ini juga yang membuat Winda dekat dengannya. Atau bisa jadi, Winda menungguku meyadarinya tanpa memberitahuku. Haaaah... jika memang benar itu kamu, apakah kamu akan menepati janjimu?” bathinku

Aku masukan benda itu bersama dengan benda yang sama, yang aku dapatkan di saat itu. Bentuk yang sama, anyaman yang sama. Kuletakan kota kecil di dalam laci meja. Kembali aku duduk dan menyelimuti tubuhku.

“Rian,” lirihku.

Terima kasih. Terima kasih karena telah bersamaku walau sesaat. Terima kasih telah mengajarkan aku tentang bersikap dewasa. Mengajariku bagaimana menghadapi persoalan-persoalan yang baru dalam hidupku. Kamu yang mengajariku, kamu yang memberiku kekuatan. Kebersamaan denganmu sungguh merupakan sebuah keindahan tersendiri bagiku.

Terima kasih. Kata-katamu merupakan kekuatan bagiku. Kekuatan hingga waktu dimana akhirnya kita berpisah. Walau pada akhirnya aku menangis, karena apa yang telah kita rangkai berakhir, tapi setelah tangis itu aku bisa kembali tersenyum. Karena, seperti katamu, ketika kita bersama, aku adalah wanita kuat yang mampu melewati kepedihan. Ya, aku tersenyum kembali karena aku berterima kasih atas apa yang pernah terjadi, pernah kita lalui bersama.

Masa bersamamu. Rasa senang, sakit dan pedih. Sudah aku rasakan bersamamu. Kini aku mengejar mimpiku, harapanku. Semua yang berlalu pasti akan meghilang, yang buruk akan aku lupakan. Yang indah, jika itu adalah sebuah kekuatan aku akan mengingatnya, namun hanya kata-kata bukan mengingat ketika kita bersama. Akan aku biarkan hidupku berjalan seperti angin, berhembus mengikuti arah mata angin. Entah kemana, tapi aku yakin itu adalah sebuah kebahagiaan.

Aku hanya berharap kita tidak akan berjumpa lagi. Aku doakan kamu akan selalu bersamanya. Menuai kebahagiaan bersamanya, walau aku tahu dia adalah sahabatku sendiri. semoga kamu bahagia bersamanya. Dan aku? Akhirnya aku bisa terlepas dari beban keinginanmu. Beban untuk mengerti akan keinginamu. Aku bersyukur, dia, sahabatku, bisa memberikanmu lebih dari yang aku berikan. Dan mulai sekarang aku akan berubah, tak akan seperti saat bersamamu. Menjadi diri yang lebih baik.

Terima kasih. Kebersamaan denganmu yang sesaat adalah sebuah jembatan bagiku menuju harapanku. Cita-citaku. Angan-anganku. Terima kasih. Karenamu, aku menemukan sahabat-sahabat sejatiku. Termasuk dia, yang aku pandangi sekarang, entah apakah dia akan selalu ada atau tidak. Namun, aku yakin dia akan selalu bersama kami semua, walau tidak hanya untukku seseorang.

Terima kasih Riyan, sudah cukup bagiku untu meyebut namamu...

Terima kasih Ar, Arta Byantara Aghastya. Semoga kamu selalu memberiku rasa nyaman, aman dan kehangatan sebagai seorang yang dekat denganku walau bukan sebagai pasanganku. Semoga kamu juga selalu memberikan keriangan kepada semuanya, sahabat-sahabatmu, termasuk aku

Terima kasih....

Hoaammhh....

Groook... groook...

“Artaaa!” kututup telingaku dengan bantal, baru memejamkan mata...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd