Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
belom jg yaaa:bingung:

kang pai...

ehm...a-anu...

eh,,,i-itu...

m-mo n-nanya....

mmm..eh..

mmm..a-aduuh...

g-gimana yaa...

ssssshhhhttt...h-huuuuft....aaaah...

kang...
si omen boleh ane pacarin..???
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Scene 14
Hujan tapi...


Iliana Desy Prameswari

“Sudah sampai,” bathinku.

Aku masuk ke halaman rumah makan. Tukang parkir mengarahkan untuk memparkir mobil di bagian belakang, tetapi aku menolak. Kubuka kaca pintu. Kukatakan kepadanya bahwa aku sedang menunggu seseorang. Jadi aku minta tempat parkir yang dekat dengan pintu masuk. Dengan halus bapaknya menolak, katanya demi kerapian parkir. Memang lebih tampak rapi kalau parkirnya di belakang dulu, baru depan diisi.Daripada tambah panjang, aku berikan sedikit tips. Untung dia mau.

Aku parkirkan mobilku. Kemudian berdiam diri di dalamnya. Tempat dudukku aku tekan kebelakang sembari mengamati mobil-mobil yang masuk ke rumah makan. Ini semua perjudian, karena pada dasarnya aku tidak yakin petir akan menyambar dua kali pada tempat yang sama. Aku akan menunggu hingga sore. Aku berharap yang kulihat kemarin saat bersama si mantan culun itu, bisa aku lihat kembali.

Tok... tok...

Pintu kaca mobilku diketuk oleh tukang parkir. Aku membukanya.

“Ada apa pak?” tanyaku.

“Daripada nunggu disini, nunggu di dalam saja mbak. murah kok mbak makanannya,” ucapnya.

“Nanti saja pak, nunggu disini saja. Gak papa kan? Kalau nanti memang harus bayar lebih untuk parkirnya, aku bayar kok pak,” jawabku. Dia mengangguk sambil tersenyum.

Setelahnya tukang parkir pergi, kututup kembali kaca mobil. Mungkin tukang parkir itu curiga kalau aku hanya sekedar numpang parkir, tapi semua sudah teratasi. Kini aku kembali mengawasi.

Aku kembali menunggu. Sudah hampir lewat tengah hari tapi yang aku tunggu tidak kunjung tiba. Mobil-mobil pengunjung berdatangan. Rumah makan menjadi sedikit penuh. Perjudianku kelihatanya tidak akan membuahkan hasil atau mungkin besok atau lusa, atau pada hari yang sama, aku bisa menemukannya. Memang sebaiknya aku tidak melakukan perjudian ini, lebih baik aku mengamati situasi dulu baru aku melakukan rencanaku.

“Saatnya pulang,” bathinku.

Saat hendak menyalakan mesin mobil, tiba-tiba sebuah mobil yang kukenal datang. Aku kembali bersandar, kuangkat bagian bawah kerudung yang menutupi dadaku, untuk menutupi sebagian wajahku, hanya menyisakan mataku. Mataku terus mengikuti pergerakan mobil itu dan... semoga ini jawaban perjudianku. Mobil itu parkir di samping mobilku, di samping kananku. Aku memiringkan tubuhku membelakangi mobil itu.

Selang beberapa saat, dua orang keluar dari mobil. Mereka berjalan ke dalam rumah makan. Dua orang, ya dua orang. Dua-duanya aku mengenalinya. Dan aku mengenal mereka berdua sudah sejak lama. Hatiku perih melihat mereka berjalan berdua dengan tangan saling bergandengan, mesra. Sakit rasanya ketika melihatnya. Aku melihat dengan tajam ke arah mereka berdua, yang sesaat kemudian menghilang ke dalam rumah makan.

“Hufth... tak ku sangka,” ucapku lirih, geram. Kuremas setir mobil.

Aku masih menunggu. Memperkirakan mereka hanyut dalam kebersamaan. Kurang lebih 30 menit kemudian, baru keluar dari mobil. Aku melangkah menuju tukang parkir, memberikan uang secukupnya, kemudian masuk ke dalam rumah makan.

Lantai satu rumah makan. Susasana terlihat ramai sekali. Pandangaku menyapu seisi ruangan, tapi tak kutemukan mereka. Aku kemudian bertanya kepada pelayan yang lewat di depanku. Kuceritakan detail pasangan yang aku cari. Pelayan itu tahu dan menunjuk ke lantai dua. dengan langkah sedikit ‘terbakar’ aku menuju ke lantai dua.

Dadaku berdegup dengan kencang. Antara takut, marah, dan entahlah. Perlahan aku menaiki tangga, menjaga agar mereka tidak melilhatku. Kurang empat anak tangga lagi! Kini mataku bisa memandang sebagian lantai dua. Dan... Ya, aku melihat mereka! duduk berdua, bersebelahan. Membelakangi tangga. Membelakangiku.

Sekarang aku berdiri di belakang mereka, tepat di anak tangga terakhir. Di lantai dua rumah makan. Lantai yang sebagian mejanya sudah terisi. Aku melihat mereka di sana, sedang bermesraan. Satu tangan, yang dulu biasa merangkulku, kini merangkul perempuan lain. Di depanku pula. Kuangkat kakiku, melangkah dengan gemetar. Semakin dekat, semakin aku bisa mendengar percakapan mereka berdua.

“Aku itu sayangnya cuma sama kamu maniiiiis,” ucap si lelaki.

“Iiih gombal, ntar dimarahin ma pacarku lho hi hi hi tapi masa bodoh sama dia. Sibuk mulu kerjanya. Mending sama kamu,” jawab si perempuan.

“Iya, dia juga sibuk. Mending sama kamu aja, selalu ada buat aku,” balas si lelaki.

“Aku tidak sibuk, hanya saja aku selalu menunggumu untuk menjawab pesanku, tapi tak pernah ada jawaban darimu Mas,” aku menyela mereka berdua.

“Eh...” mereka terkejut ketika mendengar suaraku, tepat di belakang mereka. spontan mereka menoleh kebelakang.

“Desy!” kompak, klop. Memang mereka berdua serasi.

“Hai Mas Rian, Hai Mar...” sapaku kepada Rian dan Marita.

Kulihat tangannya langsung ditarik. Seketika tubuh mereka tegap. Wajah mereka sedikit tertunduk.

“Lho kok malah ditarik? dirangkul, dipeluk gitu lho,” ucapku. Menarik tangannya lagi untuk merangkul Marita, tapi mendapat tolakan.

Aku kemudian melangkah melewati mereka bedua. Menarik kursi dan duduk tepat di depan mereka. Aku tersenyum ketika melihat mereka berdua. Pasangan yang serasi. Bukannya apa-apa, aku Cuma berpikir lucu saja ya, melihat orang selingkuh dan ke-gap sama pacarnya.

“Kok pada diem?” tanyaku.

“A-aku bisa jelasin Des,” jawab Marita.

“Jelasin apa? Hm...”

“Be-begini Des, begini...” kini Rian yang membalas pertanyaanku.

“Kenapa mas? Kok malah gagu seperti itu? mirip sama temenku yang culun itu.”

Hening...

“Apakah ini alasanmu tidak pernah ke tempatku? Bahkan membalas pesanku saja tidak pernah?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Eh... i-itu ka-karena... Aku si-sibuk,” jawab Rian.

“Sibuk? Lha ini lagi santai mas?” tanyaku kembali. Nada bicaraku sudah mulai meninggi. Aku harus bisa mengontrol emosiku kembali.

“Begini Des, aku dan Mas Rian hanya sekedar berteman. Kamu kan tahu aku sudah punya Riko? Jadi kita hanya berteman, dan tadi waktu aku mau makan ketemu sama mas Rian. Kamu kan tahu, Mas Rian sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri?” jelas Marita.

“Mobil yang berada di samping mobilmu adalah tadi aku sewa untuk ke sini. Dan perempuan yang tadi ada di dalam mobil itu adalah aku. Ketika kalian mengobrol masalah sibuk, aku tepat di belakang kalian,” Jawabku membuat mereka berdua terdiam.

“Be-begini Des... i-ini semua bi-bisa aku jelaskan,” ucap Rian sedikit gugup.

“Sudah mas, sebelumnya aku memang tidak tahu semuanya, tapi sekarang aku mengerti segalanya. Apa lagi yang harus dijelaskan?” aku hentikan ucapanku menunggu respon dari mereka berdua, atau salah satu dari mereka. Jujur, aku sebenarnya sudah menyiapkan diri, tapi entah kenapa hatiku terasa sakit sekali.

“Jika kamu memang tidak menginginkan penjelasan ya sudah, seperti yang kamu lihat. Aku bersama dengan Marita, perempuan yang lebih mengerti diriku. Terus apa yang kamu inginkan?! Menamparku? Menyiramku?” tanya Rian sedikit meninggikan suaranya. Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku ketika mendengar apa yang dia katakan.

“Kok malah marah mas?” aku tetap tersenyum ketika bertanya kepadanya. Pandanganku ku buat selembut mungkin kepada mereka berdua.

“De-Des begini... bu-bukan maksudku... ki-kita kan suah berteman sejak lama, ja-jadi tolong jangan ma-marah. Ri-rian ini sudah aku anggap kakak, seperti yang a-aku katakan tadi. Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak. Dan yang ku de-dengar tadi i-itu...”

“Sudah Mar. Desy sudah tahu, dan tidak ada lagi yang perlu kita tutup-tutupi. Semuanya sudah jelas,” Potong Rian. Aku bisa menebak satu tangannya yang berada dibawah meja menggenggam tangan Marita.

“Ta-tapi mas...” dia sediki menoleh ke arah Rian.

“Aku, memang selalu bersama dengan Marita. Jika aku tidak pernah bersamamu, jika aku tidak pernah membalas pesanmu itu karena aku lebih nyaman bersama Marita. Dia lebih mengerti aku ketimbang dirimu. Megerti apa yang aku inginkan, tidak sepertimu. Yang selalu saja mempertanyakan tentang keseriusanku kepadamu. Aku bosan dengan keraguanm kepadaku!” aku mengerti apa yang dia katakan. Mengerti tentang keinginannya. Marita hanya menunduk, tak berkata-kata.

Senyumku masih terus mengembang ketika melihat mereka berdua. Tetap mengembang, aku tidak ingin terlihat lemah. Aku ingin kuat dan kuat.

“Dia lebih darimu. Segalanya...” lanjutnya.

Kuhela nafas panjangku. Menutup mataku sejenak. Membuka perlahan dan kembali aku tersenyum kepada mereka.

“Jika memang kamu memilih dia, kenapa kamu menggantungkan aku? Aku memang tidak bisa mengerti apa yang kamu inginkan, karena aku tahu jalan yang akan kita lampui masih panjang. Aku hanya ingin memastikan, apakah kamu akan tetap bersamaku atau tidak. Apakah aku harus mempertahankanmu atau tidak.”

“Aku tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Lagipula aku tidak mencari kebenaran tentang alasan kalian dan tidak menyuruhmu untuk memilih. Aku disini, hanya untuk meyakinkan diriku. Dan sekarang aku yakin. Yakin jika aku tidak perlu terbuai akan janji-janjimu.”

“Sekarang... Terserah sama kamu Yan, mau jalan sama siapa. Aku tidak akan mengganggumu. Begitu pula kamu, tolong jangan menggangguku lagi,” Jelasku.

“Eh, De-Des... to-tolong jangan,” ucap marita, namun segera aku hentikan. Jari telunjukku berdiri tegak di bibirku.

“Kalau sama Marita, kalian memang cocok. Lagipula dulu sewaktu SMA Marita sering memujimu sebagai kakak kelas yang ganteng dan baik hati. Tapi aku tidak tahu kenapa dulu kamu malah memilihku.”

Hening. Mata saling berpandangan dengan dua pasang mata didepanku. Pelan, aku mengulurkan tanganku kearah Rian. Tapi dia tetap diam.

“Hey, ayo dong dijabat tanganku, Yan,” ucapku. Dengan sedikit ragu dia menggerakan tangannya untuk menjabat tanganku.

“Kita sampai disini, selebihnya teman, ya?” ucapku dengan senyuman.

Aku tarik tanganku dan ku tumpuk di atas meja. Masih tersenyum walau ada perasaan yang sangat mengiris didalam hatiku.

“Tenang, aku tidak akan melakukan hal bodoh. Menyirammu ataupun menamparmu, tidak. Aku tidak akan melakukannya. Ini bukan sinetron. Lagipula kamu selalu mengajariku untuk selalu bersikap tenang apapun yang terjadi. Okay?? Sekarang kalian boleh melanjutkan kemesraan kalian tanpa harus takut akan kehadiranku. Jika suatu saat nanti melihatku, anggap saja aku teman lama kalian. Hanya teman,” lanjutku.

Aku kemudian berdiri sembari menatap mereka yang sedikit menunduk. Kuhela nafas panjangku. Perasaan dalam diriku, rasanya ingin sekali meluap tapi aku terus menahannya. Menahan amarah setelah sekian lama dibohongi. Aku mulai melangkah, dan berhenti tepat di sisi mereka.

“Mar... aku hanya berpesan. Jika kalian ingin melanjutkan hubungan ini, kasihanilah Riko. Beri dia kepastian, agar tidak meraskan seperti yang aku rasakan. Cukup aku saja yang meraskan ini. dan aku harap kalian menghargai perasaan...” ucapku, kembali melangkah.

“Maaf, tapi ini semua juga kesalahanmu...” timpal Rian. Aku hentikan langkahku dan menoleh ke arahnya. Amarahku tersulut tapi aku tetap menahannya.

“Tidak perlu minta maaf. Kamu tahu kan kalau aku yang salah. Sudah, jangan diperpanjang lagi. Nanti acara kalian malah rusak karena aku...” ucapku sedikit ketus

“De-Des.. tunggu Des... a-aku...” ucap Marita.

“Sudah Mar, tenang saja. Aku tidak akan bercerita kepada siapapun, termasuk Riko. Hanya ingat pesanku tadi, beri dia kepastian. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti suatu saat dia akan merasakan sakitnya jatuh. Kalau tidak ingin jatuh, beri dia kepastian,” ucapku.

Aku melanjutkan langakahku. Tiba-tiba Marita menarik tanganku tapi aku menahannya dan mencoba melepaskan pegangannya tanpa menoleh kebelakang. Aku mendengar Rian mencoba menghentikan Marita dan menyuruhnya untuk tidak lagi mengejarku. Langkahku yang semula pelan, santai, menjadi cepat.

Aku ingin pergi. Segera pergi dari tempat ini. Aku melangkah cepat, aku tak ingin ada air yang menetes dari mataku di tempat umum seperti ini. berjalan lebih cepat, hingga akhirnya aku berada dalam mobil.

Glek...

Aku menutup keras pintu mobil.

“Aku ingin menangis, tapi... tidak. Aku tidak akan menangisi hal seperti itu. tidak akan pernah. Aku harus kuat, harus kuat. Tapi... sakit. Sakit sekali rasanya dikhianati oleh sahabat sendiri. Tidak, air mataku tidak boleh menetes. Tidak boleh.” Bathinku bergejolak

Ada air di mataku, tapi aku terus menahannya agar tidak terjatuh. Aku nyalakan mobilku dan sesegera mungkin aku meninggalkan tempat “terkutuk” ini. Aku keluar dari tempat parkir, ada salam senyum hangat dari bapak tukang parkir, namun aku tidak menggubrisnya. Mungkin dia sangat berterima kasih padaku untuk uang tipsnya. kulihat sebuah motor terparkir sembarangan di samping pepohonan, aku sedikit mengenal motor itu tapi pikiranku kacau untuk mengingatnya. Mobilku sudah cukup menjauh dari rumah makan. Dari kaca spion, aku melihat Marita berlari namun Rian mencegahnya.

Aku tidak tahu harus kemana lagi. Kepada siapa aku bisa berkeluh kesah. Ketiga sahabatku? Yang ada malah mereka akan melabrak Rian dan Marita. Tidak, aku tidak tahu lagi. Kujalankan mobil tanpa tujuan yang jelas. Aku tidak tahu kemana arahnya. Hingga akhirnya aku berhenti sejenak. Kuambil air mineral dalam tasku, kuteguk perlahan. Menghilangakn sedikit amarah dalam diriku.

“Pantai...” lirihku.

Hanya itu yang terlintas di dalam benakku. Aku ingin berteriak sekencang mungkin di sana. Segera aku menjalankan mobilku. Ku tekan pedal gas sangat dalam. Aku ingin ketenangan. Aku ingin kesepian di tengah keramaian kota yang tak pernah tidur ini. Aku ingin ketenangan, ya ketenenagan.


Akhirnya sampai juga di pantai. Aku melangkah keluar. Kulihat langit yang tadi sedikit mendung kini menjadi hitam kelam. Beberapa kali aku mendengar teriakan pedagang-pedagang yang melarangku ke pantai karena hujan. Aku tak peduli. Masa bodoh. Aku tetap melanjutkan langkahku.

Aku bersandar, memeluk dinding pembatas. Melihat ke arah laut yang luas.

Marita. Dia sahabatku, sama seperti Winda, sahabat sejak kecil. Kami memang sudah lama tidak berkumpul karena jurusan yang kami ambil berbeda. Lama sekali, bisa dibilang pertemuan kami hanya saling sapa. Tapi aku tidak menyangka, kekagumannya terhadap Rian ketika SMA, telah menusukan sebuah pisau tajam kedalam jantung persahabatan kami.

Aku tidak menyangka. Jangan menangis Des, jangan. Kamu kuat. Kuat. Hanya itu yang bisa aku katakan kepada diriku sendiri. Ku hela nafas panjangku, menatap kembali deburan ombak yang semakin besar.

Aku ingin menangis...
Bolehkah aku menangis?
Aku tahu, semua sahabatku...
Selalu menjadikan aku sebagai tempat curahan hati mereka
menganggapku sebagai seorang paling bisa mendengarkan mereka
tapi...
Aku tidak sehebat yang mereka kira
Aku juga perempuan
Aku juga ingin menangis,

Tapi kenapa aku tidak bisa menangis? Kenapa?


“Des, hampir hujan. Jangan disini. Lebih baik ke warung makan disana, lebih teduh dan kamu tidak akan kehujanan,” suara seorang laki-laki terdengar di belakangku. Mungkin jaraknya cukup jauh, tapi aku mengenal suaranya.

“Kamu mengikutiku?” tanyaku tanpa menoleh.

“Eh... i-iya,” jawabnya.

“Dari rumah makan? Bersembunyi di balik pohon. Dasar bodoh, kalau mau bersembunyi motornya disembnyikan juga!” ucapku, sedikit keras.

“Maaf, aku tidak sengaja tadi waktu jalan-jalan lihat kamu pakai mobil yang bukan mobil kamu. makanya aku iseng mengikuti kamu,” jelasnya.

“Kamu tahu kan yang terjadi?” aku masih tidak menoleh ke arahnya.

“Tidak tahu, hanya bisa menebak. Ya, karena tadi setelah mobil sebelahmu masuk. Ada Rian dan seorang cewek di sana, masuk. Ndak lama kamu keluar. Ya... itu... anu....”

“Baguslah kalau kamu tahu. Sekarang sudah tahu kalau aku sedang sakit. Sedang patah hati. Terus kamu datang kesini jadi pahlawan, pura-pura sok perhatian, gitu? Sama seperti yang kamu lakukan ke Winda? Iya bukan? Cari kesempatan dalam kesempitan dan akhirnya kamu manfaatin... gitu kan?” ucapku ketus kepadanya, pandanganku masih melihat ke arah laut.

“Des, kasus Winda berbeda. Dia ingin bunuh diri, aku tidak datang sebagai pahlawan hanya kebetulan. Kalau saja aku tahu apa yang akan dilakukan Winda, aku pasti akan mencegahnya dari awal.”

“Aku kesini, mengikutimu. Bukan untuk jadi sok pahlawan. Dari tadi bapaknya teriak-teriak panggil kamu. Ini mau hujan Des, lagipula ombaknya besar. Bahaya!” jelasnya.

“Apa pedulimu? Bilang saja kamu mau memanfaatkan kesedihanku, gitu saja susah ngomongnya. Dasar sok pahlawan!” ketusku.

“Terserah kamu, Des. Sebentar lagi hujan dan ombak semakin besar, kamu bisa terhempas walau ada pemecah ombak di depanmu. Kalau kamu ingin di sini terserah Des,” ucapnya.

Aku membalikan tubuhku. Melihatnya melangkah menjauhiku. Mungkin dia marah karena kata-kataku yang kasar kepadanya. Masa bodoh, bisa jadi dia memang laki-laki yang baik seperti yang diceritakan oleh Winda. Bisa jadi juga kan dia hanya ingin memanfaatkan situasiku, tapi tidak bisa.

“Memang terserah aku! Karena ini hidupku! bukan hidupmu! Dasar tukang cari kesempatan! Lebih baik kamu pergi, Ar!” teriakku. kulihat dia tetap acuh setelah aku berteriak.

Aku kembali memeluk dinding pembatas, kemudian berteriak sekencang mungkin. Akhirnya aku tahu, suaraku tak bisa mengalahkan deburan ombak. Aakhirnya aku tahu, kesedihanku tak sesedih air laut yang menghantam bebatuan. akhirnya aku tahu, kesedihanku hanya secuil dari kisah sedihku tapi tetap saja rasanya sakit. Masa bodoh dengan apa yang akan dia katakan. Aku tidak peduli, ombak itu akan mengehempaskan aku atau tidak. Aku tidak peduli, langit yang semakin gelap itu akan menangis dan membuatku kedinginan karena tangisannya. Aku tidak peduli.

Aku kembali bersandar. Memeluk dinding pembatas. Mungkin hanya dinding ini yang tahu perasaanku. Mungkin aku harus setegar dinding ini. Sendiri, tanpa teman. Dan selalu merasakan panas dan dinginnya cuaca pantai. Sendiri. Ya, sendiri.

Tik... tik...

“Gerimis,” bathinku.

Hujan pun semakin deras.

Aku menundukkan wajah di atas tumpukan tangan. Aku bersiap merasakan tangisan langit, aku akan merasakan perihnya ombak yang menabrak bebatuan itu. Hujan akan bersamaku.

Brssssh.....

“Eh...”

“Kenapa? kenapa sedikit sekali air yang membasahiku?” bathinku.

Aku mengangkat wajahku. Baru aku menyadarinya.

Hujan ini memang tidak begitu deras. Tapi... Kenapa butiran airnya tidak membuatku merasa dingin?
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd