Libur,bersama mereka bertiga, seakan tak akan pernah berhenti kebersamaan ini. Dan biasa, dari mereka bertiga yang mau tetep bangun setelah subuh hanya Dina. Dini dan Winda, selalu kembali ke tempat tidur lagi. Hanya Dina yang menemaniku dengan pakaian minimnya. Dari ketiga sahabatku, memang Dina yang paling suka memakai pakaian yang sangat seksi.
Saat pagi menyapa, mereka berdua akhirnya bangun. Makan pagi bersama, melakukan aktifitas bersama dengan mereka. Setelahnya bermalas-malasan di dalam kamar dengan ngobrol sana-sini. Sesekali menggoda Winda biar mau cerita tentang hal yang sebenarnya. Tentu tetap saja dia tidak mau bercerita.
Akhirnya, kebersamaan empat sekawan ini harus berakhir ketika sore menjelang. Libur satu hari yang sangat menyenangkan, karena bisa bersama mereka. Kami pulang ke kosan masing-masing. Menanti esok yang sudah mulai kuliah lagi. Malas juga rasanya tapi mau bagaimana lagi.
Sesampainya di Kos, aku hanya menyiapkan apa yang dibutuhkan besok pagi. Setelah beres, kumpul bareng temen-temen kos. Ngobrol, menghabiskan waktu, biar cepet ngantuk. Asyik juga ngobrol bareng mereka, ada yang curhat, ada juga yang lagi andilau, antara delima dan galau. Kadang juga ada lelucon-leluconnya juga.
Ketika waktu tepat menunjukan pukul 22.00, kami semua bubar. Aku kembali ke kamarku sendiri.
“Hufth...”
Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Kuangkat kedua tanganku. Dengan jari telunjuk dan ibu jari kedua tanganku, ku bentuk sebuah persegi panjang tepat diatas wajahku. Tersenyum.
“Semuanya sudah jelas... sangat jelas.”
Senyumku semakin mengembang, entah kenapa aku bisa sebahagia ini. Mungkin karena... ah, tidur saja. Pikirkan lagi setelah kuliah besok. Lagi pula akan aku percepat, karena lusa libur lagi. Tidur, tidur...
.
.
.
“Umiiiiiiiiiiii..” teriak Dina, belum sempat aku membalikan tubuhku, Dina langsung memelukku dari belakang.
“Dina... Sudah makan belum?” tanyaku sembari meremas tangannya yang mulai nakal. Enggak di kos, enggak di kampus, selalu saja.
“Belum mi, tadi pagi Dini gak bangunin mi, jahat tu si Dini,” ucapnya sambil melirik Dini.
“Ih, aku itu juga bangun telat tau!” benatk Dina dari belakang.
“Sudah, duduk dulu sambil nunggu yang lain. Lagipula hari ini kan kita bebas,” ucapku mereka berdua mengangguk.
“Oia mana Winda?” tanyaku.
“Tuh!” ucap mereka berdua bersamaan. Menunjuk ke arah belakang, aku kemudian menoleh.
Si Manjaku, kulihat dia sangat bahagia sekali. Berjalan bersama dengan teman-teman yang lainnya. Di sana juga ada Arta yang sedang bergurau dengan para lelaki. Irfan dan Andrew tampak bahagia sekali, ringan sekali tubuhnya untuk melompat-lompat, jelas saja tas mereka dibawa oleh Helena dan Dinda. Sedangkan Burhan dan Johan hanya bisa tertawa mengikuti canda teman-temannya. Dinda dan Helena yang terlihat berat sekali membawa tas, Tyas dan Salma sama dengan Winda memperhatikan canda para lelaki.
Walau tidak berjalan bersebelahan pun, aku tahu kalau manja ingin bersama Arta. Si manja sangat berbeda akhir-akhir ini. Bagaimana tidak berbeda? dulu saja kalau tidak ada kami bertiga, Aku, Dini dan Dina, dia pasti tidak mau ke keluar kelas. Sekarang, dia lebih bisa berbaur. Tertawa, tersenyum, bahagia sekali si manjaku ini.
Aku menunggu mereka semua di Kantin. Ya, Kantin. Tempat diamana aku membaca buku sambil menghabiskan waktu menunggu teman-temanku datang. Tadi pagi sesampainya di kampus, aku paling awal datang. Aku langsung menuju ke kelas. Baru saja sampai di depan tangga naik, aku melihat Dosen pengampu mata kuliahku hari ini. Aku sempatkan untuk menyapa, eh, malah beliau memberitahukan kepadaku kalau kuliah hari ini mau dikosongkan dulu. Beruntung bukan? Mungkin karena ada geger-geger kemarin. Maka dari itu aku tadi langsung ke kantin, sambil duduk santai, aku kirim pesan ke teman-teman yang belum berangkat, agar kumpul di kantin.
“Mbak, mbak... nomornya yang keluar nanti malam berapa ya?” canda Arta yang baru saja datang dan duduk disebelahku.
“Emang sini dukun?” balasku.
“Ya bisa jadi, tul ndak Ndrew?” ucap Arta sembari melemparkan pertanyaan ke Andrew.
“Yo’i Bro, ha ha ha,” tawa Andrew yang disusul dengan Arta.
“Eh, pesan dulu baru bercanda,” ucap Tyas.
“Tahu tuh, si bunglon dateng-dateng bikin ribut,” celetuk Dina.
“Iya, iya aku diam... demi kamu Na’, aku akan diam,” ucap Arta dengan gaya sok romantisnya.
“Heh! Jangan sok deket ya!” Ujar Dina.
“Iiiih Arta gituuuuu... kok sama Winda gak gitu siiiih,” Manjanya si manjaku, keluar.
“Windaaaaa!!!” teriak Dini dan Dina bersamaan.
“Sudah... sudah, napa kalian malah berantem sih. Dah aku mau pesan makanan. Kalian pesan apa?” tanya Helena yang bangkit.
“Aku Nasi goreng saja, dua porsi dalam satu piring sayang,” Ucap Andrew.
“Banyak banget yang?” tanya Helena.
“Agar aku bisa menyuapimu sayang...” jawab Andrew.
“Iiih, Romantis deh ayangku ini,” Helena menimpali.
“Heh heh heh... bukan saatnya pacaran, laper ni,” ucap Johan memprotes kemesraan mereka. Mendengar ucapan Johan, Helena, Tyas dan Dini langsung melangkah ke arah Kantin.
Helena dan Andrew, dua sejoli ini memang tidak pernah membuat iri teman-temannya. Romantismenya kadang kalau sedang marah-marahan pun kelihatan seperti tidak bisa dipisahkan. Beruntung Helena memiliki Andrew. Yang lain? Johan dekat dengan Tyas, karena mereka teman sejak kecil. Irfan, kalau dilihat-lihat masih pedekate sama Dinda. Burhan, mungkin memang harus bekerja keras untuk menaklukan Salma.
Inilah, grupku. Mungkin bisa juga dibilang geng. Maklumlah, satu kelas yang sering kumpul-kumpul cuma orang-orang ini saja. Yang lain masih berkomunikasi tapi kalau diajak kumpul susah sekali. Mungkin karena mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri.
Dari kesemua pria, hanya Burhan yang sedikit pendiam. Tapi kalau kata-katanya keluar, selalu membikin semua menjadi bengong. Ada sih kata-kata bijaksananya, tapi kadang yang bikin bengong itu mau nglucu tapi gak lucu, begitulah. Kalau yang lain biasa saja, apa lagi orang yang baru saja berubah wujud, Arta. Dia dulunya pendiam tapi sekarang, kadang bikin gemes buat mukul. Tapi lambat laun, seiring berjalannya waktu di semester 4 ini. Dia sedikit lebih terkontrol untuk candaannya. Bisa dibilang ada kedewasaan tumbuh dalam dirinya. Andrew, dia ketua dari segala kegaduhan. Johan dan Irfan, sama dengan Arta, tidak begitu membuat gaduh tapi kalau sudah di provokatori sama Andrew. Ribut semua. Gaduh setengah mati.
Dari ceweknya, mungkin yang paling cuek adalah Salma. Dia paling rajin membuka sematpon dan mengeus-elusnya. Ya karena sebab itulah, Burhan harus bisa lebih berusaha keras kalau mau mendapatkan Salma. Dan yang lain, sama ramenya denganku. Aku memang tidak tahu pribadi mereka satu persatu, hanya Dini, Dina dan Winda yang sebagian besar aku tahu. Walau begitu, sesekali kami nginep bareng di kos tertentu. Tapi intesitas nginep bersama tidak sama dengan aku, Winda, Dina, dan Dini.
Seharian kami mengobrol bersama di kantin. Tertawa bersama, bercanda bersama. Karena sudah jelas tidak ada kuliah hari ini. Dan...
“Dinda” panggil Arta ke arah Dinda.
“Ada apa Ar?” tanya Dinda, entah kenapa tiba-tiba Arta memanggil Dinda. Biasanya dia lebih cenderung ribut dengan teman-teman yang lain.
“Dinda kamu cantik. Caaaaaantik banget,” goda Arta. Aku sempat tertegun ketika mendengar Arta menggoda Dinda.
“Eh, Ar, elu gak sakit kan?” tanya Andrew.
“Sakit Ndrew, karena Dinda,” canda Arta.
“Iiiih Arta gitu, didepan Winda godain Dinda huuuh, sebel!” kesal Winda, tapi Arta malah membalasnya dengan juluran lidah. Tapi lebih aneh lagi, Winda seakan tahu apa yang akan diakukan Arta. Buktinya dia tidak kembali memprotes. Tidak memprotes bukanlah sifat Winda. Hm...
Entah setan apa yang merasuki si mantan culun ini. Tiba-tiba saja dia menggoda Dinda. Padahal kalau aku lihat, dandanan Dinda sama saja dengan yang kemarin. Suasana di meja kami semakin ramai. Apalagi Arta semakin menjadi-jadi saat menggoda Dinda. Dina kelihatannya jengkel juga sama Arta, tapi kenapa di Dinda diam saja. Ditambah lagi ekspresi wajahnya datar-datar saja.
Aku mencoba menghentikan Arta tapi tetap saja tidak bisa.
“Ar, kamu itu kenapa sih? sekarang malah suka godain cewek,” tanyaku.
“Endak yo, aku itu cuma melihat Dinda hari ini tambah cantik,” jawabnya.
Sebenarnya ada apa? tidak biasanya Arta seperti ini, Winda saja sadar akan hal itu. Kelihatannya pemikiran Arta menemukan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Kupelajari lagi gerak-gerik semua teman-temanku, biasa saja. Tidak ada yang aneh.
“Dasar detektif jadi-jadian, kemungkinan dia sedang melakukan pembuktian analisanya, hmmm...” bathinku.
Helena kemudian datang disusul dengan Tyas dan Dini serta Ibu kantin yang juga membantuk membawakan makanan. Maklumlah pesan banyak, tak sanggup kalau hanya mereka bertiga yang membawa. Sesampainya di meja, terjadi lagi pertengkaran kecil. Biasalah, Dini yang tanpa basa-basi memukul Arta tanpa Ampun.
Tak ada yang bisa aku lakukan, Arta juga, dia sudah tahu dalam kondisi tersudut oleh teman-temannya tapi tetap saja merayu Dinda. Lebih baik diam dan mengamati mereka. karena sudah tidak mungkin untuk menghentikannya. Makanan saja dimakan angin.
Kali ini Arta hanya yang dilarang diam oleh semua temannya, kembali membuat ulah dengan memandangi Dinda. Dinda mengangkat tasnya. Menutupi wajahnya. Kini wajahnya sedikit memerah. Dini dan Dina melayang pukulan ringan tapi tak digubris oleh Arta. Haduh, ini enggak bakal selesai-selesai kalau begini ini.
“ARTA!”
“Heeegggghhhh,” tiba-tiba saja Irfan bangkit dan mengapit kepala Arta.
“Ataaaaaaaaahhh ampun Fan, ampuuuun sakiiiit Fan sakit,” rintih Arta.
“Sudah, kalau makan ya makan, gak perlu goda Dinda!” bentak Irfan.
“Aduh...” ucap Arta sambil mengelus-elus kepalanya.
“Memangnya kamu itu siapa? Ndak boleh to nglarang-nglarang gitu,” lanjutnya dengan nada sok alimnya.
“Sudah! Makan ya makan!” bentak Irfan, semakin aneh saja si Irfan.
“Hadeeeeh... bukan siapa-siapanya, ngalrang-nglarang. Kamu kan temennya Dinda, aku juga. Boleh to ya. memangnya kamu itu siapa?” Arta semakin aneh saja dengan kata-katanya.
“Adaaaaaoowwww... sakit Fan, sakiiiit” kembali Irfan mengapit kepala Arta dengan lengannya.
“Makan!” bentak Irfan sekali lagi sembari melepaskan kepala Arta.
“Sudah, sudah ini ada apa sebenarnya? Makanan sudah datang dari tadi malah bertengkar terus!” leraiku sedikit membentak. Aku sudah tidak bisa tinggal diam.
“Ndak bisa, pokoknya aku mau makan sambil lihat Dinda yang cantiiiiik. Haiiii Dindaaaaa...” goda Arta.
Suasana semakin memanas. Bukannya makan tapi malah adu mulut. Malah tambah bingung, karena Irfan seakan tidak terima atas perlakuan Arta kepada Dinda. Apa yang terjadi dengan Arta dan Irfan. Dinda Cuma bisa diam, bingung juga sepertinya.
“Boleh ya boleh?!” tegas Arta.
“Enggak! Gue bunuh lu kalau lu goda Dinda?!”
“Sudah jangan malah adu mulut elu-elu pada?! Kampret kalian! Kita itu teman, jangan bertengkar karena hal sepele seperti ini! Ar, bisa gak kamu makan dan diam tanpa perlu goda Dinda?” bentak Andrew tapi tak digubris.
“Bodoooooh... kamu bukan siapa-siapanya?! Weeeeeeeeeeek,” ledek Arta.
“Kampret lu Ar, sekali lagi elu goda pacar gue, mampus lu!” bentak Irfan, semua terperangah.
“YES!” teriak Arta.
Dia berteriak seperti memenangkan sesuatu. Bangkit dari duduknya dan kemudian berjalan ke arah kantin. Pikiran kami semua yang masih tertuju ke Arta atau memang pada dasarnya kami semua bodoh dan tidak menyadari sesuatu? Dengan tangan berpinggang dan menghadap ke arah kami semua, Arta tertawa layaknya seorang pemenang.
“Woi kalian semua! ndak denger tadi? ada yang jadian? Malah bengong semua ha ha ha... ayo makananya ditambah lagi, ada yang mau traktir makan-makan ini! Asek asek asek asek...” teriaknya yang kemudian melanjutkan langkahnya menuju kantin.
“Sudah mas, ngomong saja sama temen-temen,” bujuk Dinda.
Ah, ternyata si mantan culun itu sedang mengungkap sebuah kasus lagi. Semua memberikan selamat tak terkecuali si culun, yang datang dengan dua piring gorengan. Tertawa terbahak-bahak dan... pukulan yang dia dapatkan. Tapi memang gak ada kapoknya ini anak, walapun sering mendapatkan pukulan tetap saja rame. Keadaan kembali seperti semula. Irfan memang sengaja tidak memberitahukan, katanya sih mau minggu depan. Tapi karena si mantan culun ini membongkarnya, ya, sekarang jadinya.
Selepas berkumpul di kantin melepas penat kuliah dengan canda tawa. Kami semua pulang.
“Ar, kok kamu tahu kalau si Irfan jadian?” tanyaku.
“He’em, kok tahu?” timpal Winda.
“Hadeh, tuh tadi lihat tidak waktu irfan ke kantin? Tasnya dibawakan sama Dinda, memang ada cewek membawakan tas cowok kalau tidak ada hubungan?” jelasnya, ketika aku dan Winda mengapit Arta. Kami berjalan paling belakang sedangkan teman-teman yang lain di depan.
Benar juga, tadi si Dinda membawakan tas si Irfan. Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? ah, masa bodohlah, hanya masalah jadian kenapa harus aku pikirkan? Tapi memang anak ini memiliki pemikiran lain ketika melihat sesuatu. Buktinya, polisi saja butuh bantuan mantan culun ini.
Akhirnya kami berpisah di parkiran. Aku kembali ke jalan pulang kosku. Menanti sebuah rencana besar yang ingin aku lakukan. Walau kadang teringat keindahan namun sepertinya sudah cukup tidak perlu lagi untuk menanti. Sudah cukup.
Langit itu sedikit mendung. Aku pun tak tahu, akan turun hujan atau terang nantinya. Sedikit mendung. Mungkin memang aku harus terbang ke awan itu. Agar aku tahu, hujan atau terang yang akan dia berikan kepadaku. Sedikit mendung, tapi tak akan seterusnya seperti itu.
Ah, lelah sekali. Lebih baik aku segera tidur.
“Keluarga? Hmmm...Aduh kenapa kata-kata itu kembali terlintas dipikiranku. Kata-kata yang diucapkan Arta, tentang kata keluarga. Dimana dan kapan? Yang jelas aku pernah mendengarnya.”
Aku meregangkan tubuh, berjalan mendekati tempat ternyaman. Kujatuhkan tubuhku, terlentang diatas tempat tidurku. Mataku menatap langit-langit kamarku. Pikiranku tidak bisa fokus, berbeda dengan lelaki itu. Dia selalu bisa fokus dan selalu menyadari akan sebuah perubahan. Sekalipun itu kecil. Rasanya ingin sekali memiliki otak seperti dia. Dan rasa yang paling ingin aku rasakan kembali, diselimutinya.
“Eh, Desy! tidur!” teriakku kepada diriku sendiri. Malu, entah kenapa aku merasa malu walau hanya memikirkan lelaki itu. bodoh ah, tidur.
.
.
.
“Dik, bisa antar aku ke rental mobil?” tanyaku kepada Adik kosku.
Aku sudah membuat sebuah rencana. Pagi ini, aku meminta adik kosku untuk mengantarkan aku ke rental mobil. Karena tak mungkin aku menggunakan mobilku, tidak rusak atau mogok, hanya untuk melancarkan rencanaku.
“Bisa mbak, lha mobil mbak kenapa?” tanyanya.
“Enggak kenapa-napa, cuma pengen pakai mobil lain saja. Bisa gak? kalau bisa, anter sekarang yuk,” ajakku.
“Oh oke mbak, tapi bentar ya mbak. Aku mau telpon Yayang dulu, kasih tahu. Masalahnya dia mau kesini nanti,” jawabnya.
“He’em. Aku tunggu di tempat parkir ya?”
“Oke mbak,” jawabnya.
Aku kemudian melangkah menuju tempat parkir. Bersandar pada mobilku sendiri. Kuhela nafas panjang, menenangkan jantungku yang berdegup dengan kencang. Kupejamkan mataku. Ku buka perlahan dan menatap kosong ke arah lantai tempat parkir.
“Mbak Desy, yuk?”
Ajak Adik kosku tiba-tiba, membuyarkan semua lamunanku.
“Eh, iya dik,” jawabku.
Kurang lebih 20 menit perjalanan menuju rental mobil. Di dalam mobil aku dan adik kosku mengobrol sekedar untuk mengisi kekosongan. Dia bercerita tentang pacarnya yang sangat sayang dengannya, bahkan keseharian dari mereka selalu dijalani bersama. Iri juga ketika mendengarnya. Tapi menurut penuturannya, dia sendiri kadang bosan kalau setiap hari bersama. Untung, katanya si pacar pinter buat suasana menjadi meriah lagi.
“Mbak sudah sampai,” ucapnya.
“He’em makasih ya dik,” jawabku.
Setelahnya aku keluar dari mobil, wanita centil ini kemudian balik lagi ke kos. Sebenarnya dia ingin memastikan aku dapat pinjaman mobil dulu baru kemudian pulang dari kos, tapi aku melarangnya. Setelah mobil adik kosku menghilang dari pandanganku, aku masuk ke dalam rental. Di dalam rental, sebenarnya aku kurang beruntung karena mobilnya ada setelah jam 10, tapi dengan sedikit memaksa akhirnya dicarikan. Dan bisa aku pakai pada pagi ini.
“Huft... Kuat!” bathinku.
Kututup mataku. Ku hela nafas panjang. Menormlkan detak jantungku. Kubuka kembali mataku perlahan dan tersenyum.
“Inilah saatnya,” bathinku.
Setelah kemarin disiksa habis-habisan sama Mbak Arlena, akhirnya aku bisa santai juga. Pulang ke kos, ya karena mbak Arlena hari ini sampai besok senin ada acara bareng sama keluarganya. Walau sebenarnya keluargaku juga, tapi aku belum siap menerima itu semua.
Aku pulang, menuju kosku mengambil jalan memutar. Memperlama waktuku di jalan. Dengan alunan musik Rock ‘n Roll, aku menyetrika jalanan ibu kota. Tapi tidak lupa untuk beli Dunhill dululah, di kios pinggir jalan.
“Lho itu kan?” bathinku.
Aku melihatnya di dalam mobil yang bukan mobilnya. Pandangan matanya begitu tajam. Ya, aku melihatnya berbeda ketika mobil yang dikendarainya melintas di depanku. Tepat di depanku yang sedang menyalakan rokok sembari melihat seberang jalanan.
“Aneh, masa bodoh ah,” bathinku.
Tapi tiba-tiba, entah kenapa, aku pun tidak tahu. Perasaanku mengatakan untuk mengikutinya. Lagipula hari ini aku tidak ada kerjaan, paling juga dikontrakan hanya tiduran saja. Aku ikuti saja, baru kemudian kalau sudah tahu arah tujuannya aku pergi. Gampang kan?
“Markike Varitem, kita jalan-jalan!” ucapku saat aku berada diatas motor.
“Apa itu mas Markike?” tanya seseorang dari kios rokok.
“Mari kita kemon pak he he he,” jawabku.
Tanpa menunggu lama, daripada kehilangan target operasi. Aku langsung menancap gas dan tentunya menjaga jarak. Agar aku tidak terlihat dan dia tidak menyadarinya. Kok malah seperti detektif ya, aku ini. Masa bodoh ah...
Weeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeng....