Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT

Status
Please reply by conversation.
berhubung di tempat yg pake bayar udah episode 36 maka di sini juga sudah bisa update


BAB. 11 PENYEMBUHAN YANG MEMBINGUNGKAN

Telasih teringat pelajaran ramuan yang diterimanya dari gurunya. Demikian juga tata cara penyembuhan dari ilmu-ilmu yang diberikan oleh Dewa Maut gurunya.

“Aku carikan dulu bahan-bahan ramuan. Aku tinggalkan kamu disini.” Ucap Telasih.

“Terserah kamu.” Sahut Sadawira

Telasih meninggalkan Sadawira di dalam goa dan segera melesat keluar untuk mencari bahan-bahan ramuan. Setelah mengumpulkan bahan-bahan untuk ramuan Telasih menumbuknya diatas batu besar ditepi sungai, kemudian dia menyendok ramuan itu dengan daun pisang dan dimasukan ke dalam potongan bambu. Kemudian dia kembali ke dalam goa, diserahkan pada Sadawira ramuan yang dibuatnya.

“Kau minumlah ramuan ini, kugodok dari berbagai tumbuh-tumbuhan yang banyak mengandung khasiat untuk memulihkan urat-urat yang lumpuh.” Ucap Telasih.

Sadawira merasakan bagaimana keadaan tubuhnya yang lumpuh, ia percaya akan ucapan Telasih tadi, tanpa banyak tanya lagi, ia menerima sodoran potongan bambu yang terisi air ramuan itu, lalu ditenggaknya sekaligus.

“Ada yang mau aku katakan padamu. Gurumu itu sebenarnya musuh dari guruku dan guruku meminta aku membalas dendam padanya. Namun aku memilih untuk tidak mematuhi perintahnya. Aku tidak suka terlilit pusaran dendam.”

“Oh ya... Siapa nama gurumu?”

“Dewa Maut.”

“Apa? Kau murid lelaki iblis keji itu?”

“Iya. Tapi aku bukan dia. Meski aku muridnya. Aku juga tidak akan mengikuti perintahnya yang tidak aku sukai.”

“Hmmmmmm aku tak menyangka.”

“Tidak perlu kamu pikirkan. Lebih baik kamu berpikir soal kesembuhan kamu.”

“Bagaimana caranya?”

“Sebelum memberi tahu caranya aku mau menjelaskan sesuatu padamu.Umurku sudah dua puluh dua tahun, sudah waktunya aku menikah,.... . mengingat kamu telah lihat tubuh telanjangku maka aku telah memilih dirimu untuk menjadi suamiku. “

Mendengar keterangan Telasih yang tanpa basa basi itu dada Sadawira jadi berdebar. Wajahnya memerah menghadapi hal yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Dia tidak menyangka Telasih gadis yang belum lama dia kenal mempunyai keinginan seperti itu.

“Hmmm. Kau malu ya?atau kau tidak mau?.” Tanya Telasih.

“ini bukan soal malu, mau atau tidak,” seru Sadawira, “Tapi mana mungkin, aku nikah denganmu. Aku lumpuh dan aku juga baru mengenalmu.”

“Kau bisa disembuhkan. Tapi untuk itu kamu harus mau jadi suamiku.”

“Kau ternyata perempuan yang aneh!” ucap Sadawira, “Bagaimana mungkin seorang perempuan memaksa laki-laki menjadi suaminya?”

Telasih menatap tajam Sadawira.

“Aku telah memutuskan untuk memilih kau menjadi suamiku. Karena kau telah melihat tubuhku .” katanya.

Telasih memilih jalan seperti itu untuk menyembuhkan Sadawira. Hanya dengan menjadikan Sadawira sebagai suaminya maka dia merasa tidak ada beban untuk bersetubuh. karena cukup sudah baginya berhubungan badan dengan lelaki yang bukan suaminya. Dia tahu di dunia yang beradab hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan hanya bisa dilakukan oleh sepasang suami istri. Jadi dia memutuskan bahwa setelah dosa-dosa masa lalu maka selanjutnya bagi Telasih hanya seorang suamilah yang berhak mendapatkan tubuhnya. Sedangkan untuk menyembuhkan Sadawira cara satu-satunya adalah dengan bersenggama seperti yang dilakukan dengan gurunya tempo hari. Tapi ini sedikit berbeda karena penyalurannya untuk memulihkan otot dan urat-urat yang lumpuh. Dan dia akan berlaku sebagai seoang yang menyalurkan dari sisi perempuan.

“Ini berkaitan dengan cara untuk menyembuhkanmu, agak susah untuk menjelaskan padamu, tunggu sampai ramuan yang kau minum meresap, baru kau akan tahu bagaimana caranya aku menyembuhkanmu. Tapi kamu harus jadi suamiku dulu baru cara penyembuhannya bisa dilakukan......”

Mendengar ucapan itu, sebenarnya Sadawira ingin marah, tapi mendadak otaknya berpikir. Tidak ada gunanya ia menolak kehendak perempuan yang telah menolongnya. Lagipula dia tidak punya pilihan lain dengan keadaan tubuhnya yang lumpuh ini.

“Sekarang aku ingin kamu bersumpah menjadi suamiku!”

Sadawira jadi gelagapan mendengar ucapan gadis itu, bagaimana ia harus menerima begitu saja kehendak gadis cantik itu dikarenakan tubuhnya yang lumpuh.

“Bagaimana?” tanya Telasih. “kita tidak perlu upacara apapun cukup pengakuan dan janji bersama!”

“Baiklah aku mau tidak mau harus menerima ,” jawab singkat Sadawira.

“Kau tidak ikhlas rupanya!”

“Mau bagaimana lagi!”

“Aku jelaskan aku terpaksa melakukan ini karena cara penyembuhan kelumpuhanmu itu adalah dengan bersetubuh dan itu hanya bisa lakukan oleh suami istri.”

Sadawira kaget dengan penjelasan Telasih. Dia tidak menyangka bahwa cara Telasih menyembuhkannya adalah seperti itu.

“Mana bisa, kenapa harus sesulit itu untuk menyembuhkanku. Lebih baik tinggalkan saja aku.”

“Bilang saja kau tidak suka padaku. Aku tidak menarik untuk menjadi istrimu ya?” bentak Telasih.

Lagi-lagi Sadawira terkejut gadis yang bagi Sadawira sebenarnya baik itu ternyata pemarah juga.

“Bukan begitu aku bingung karena kita baru saja berjumpa!”

“Tapi penyembuhan ini harus dengan berhubungan suami istri. Aku bukan orang jahat yang membiarkan kamu begitu saja padahal aku punya kemampuan menyembuhkanmu. Lagipula kamu murid dari musuh besar guruku. Tapi aku ingin menyembuhkanmu.”

Ramuan yang diminum Sadawira mulai memberi dampak pada tubuh Sadawira. Terasa badannya hangat dan kemaluannya kembali mengeras dan berdiri tegak. Pikiran lelaki muda itu mulai berubah setelah melihat bagaimana gadis itu begitu telaten dan telitinya menjaga dirinya. Hingga bagaimanapun maka goyanglah pendiriannya.

“Aku akan mandi dulu kamu pikirkan baik-baik bahwa permintaanku ini demi kamu juga.”

Telasih bergegas pergi ke luar goa untuk menuju sungai. Dia hendak mandi karena hari sudah sore.

Sadawira sadar dia tidak bisa menolak lagi permintaan gadis itu untuk menjadi suaminya. Teringat bagaimana dirinya sampai berada di dalam goa dalam jurang, kemudian Sadawira terkenang pada gurunya yang cantik Andini sang Bidadari Hati Beku. Dia telah beberapakali tidur dengan gurunya itu, dan gurunya itupun pernah melepas budi menolong dirinya dari luka dalam akibat pukulan Dewa Maut. Kini dia bersama Telasih yang memaksa untuk jadi istrinya.

Dua orang wanita cantik sekaligus membayang dalam otaknya, ia membanding-bandingkan kecantikan kedua wanita itu. Mereka hampir memiliki perawakan dan potongan tubuh yang sama, berkepandaian silat sama tinggi, mereka hanya beda usia saja. Kecantikan kedua wanita itu boleh dibilang masing-masing punya kelebihan dan punya kekurangan. Tapi keduanya sangat menarik dan membuat hati Sadawira terkenang dan terbayang-bayang.

Begitu kenangan dikepalanya sampai pada ingatan masa lalu, Sadawira meneteskan airmata, ia terkenang nasibnya yang yatim piatu sejak kecil. Kedua orang tuanya tewas di bawah keganasan orang-orang rimba persilatan. Santanu dan Nandini tewas karena dianggap menyembunyikan kitab jahat serat Sukma yang ternyata kini telah jatuh ketangan Ki Semar Mesum.

Kemudian dia teringat akan paman dan bibinya yang selama ini merawatnya bagai anak sendiri dan mengajarkan ia ilmu silat. Sadawira jadi menghela napas dengan berat karena dia menyaksikan secara langsung Danar pamannya itu tewas oleh lelaki yang disapa dengan nama Mahesa.

Saat sedang mengenang masa lalu itu Sadawira mendengar suara langkah kuda dan orang turun dari kuda masuk ke dalam goa. Ruangan goa yang diterangi oleh api unggun membuat orang berkuda itu mendatanginya. Tiba-tiba orang yang baru datang itu berteriak.

“Sadawira....!”

Sadawira terkejut, ia merasa mengenal suara itu, bagi telinganya suara tadi tidak asing lagi. Apalagi orang tu langsung memanggil namanya.

“kakek Narotama........” teriak Sadawira yang terbaring lumpuh setelah orang itu mendekat dan terlihat jelas.

Orang yang berteriak memanggil ternyata adalah Ki Narotama sesepuh padepokan Gunung Lawu, dia berkuda bersama beberapa muridnya.

“Kakek cepat bawa aku pergi!” seru Sadawira.

“Kamu ...kenapa?” tanya Ki Narotama.

“Ayo cepat kek! Jangan banyak tanya lagi!” seru Sadawira.

Ki Narotama segera membopong Sadawira keluar dari goa dan dinaikan ke atas kuda. Dan langsung dia memacu kudanya melesat pergi beserta para muridnya.

“Berbulan-bulan kami mencari jejakmu, beruntung kami lewat di sini dan menemukanmu.”

“Cepat kek kita harus segera pergi sejauh mungkin dari tempat ini.” Ujar Sadawira.

Tanpa dirasa mereka menyusuri bukit-bukit pegunungan penuh gerombolan pohon itu, hari pun sudah mulai gelap. Sambil memacu kuda lari menerobos hutan Ki Narotama berkata,

“Sebentar lagi malam tiba. Apa yang sebenarnya terjadi Sadawira?”

“Ceritanya panjang. Tapi aku harus menghindari gadis yang menolongku.”

Ki Narotama masih belum mengerti apa yang terjadi dengan Sadawira namun dia memilih untuk memacu kuda lebih cepat.

Angin malam berhembus, hawa udara yang mulai dingin, bertambah dingin lagi.

Dalam cekaman hawa dingin tadi, mendadak saja terdengar suara berkelebat orang yang mengeluarkan ilmu meringankan tubuh mengejar mereka.

Ki Narotama mendengar suara itu, ia jadi melengak, begitu pula Sadawira, ia menatap wajah sang kakek.

“Eh, itu suara orang yang mengikuti kita?” Tanya Ki Narotama.

“Gadis itu rupanya telah menyusul kita. Aku yakin betapa marahnya gadis itu, begitu melihat aku tak ada!”

“Gadis, Gadis siapa ? apa dia orang jahat atau ?” tanya ki Narotama.

“Panjang untuk dijelaskan. Yang penting kita harus menjauh dari dia sedapat mungkin.”

“Tapi jarak yang telah kita lalui cukup jauh, dalam keadaan malam begini kukira tak mungkin dengan mudah ia menemui jejak kita. Lagi pula untuk apa mesti menghindari gadis itu. Kita bisa menghadapi dia kalau memang dia menyusul kita.” Ujar Ki Narotama.

“Kakekl! Perempuan itu mana mau mengerti begitu saja atas kaburnya aku dari goa tadi. Pastilah ia akan sangat marah. Kalau saja ia belum pernah menolong aku, itu bukan persoalan. Tapi gadis itu merawatku dan membantuku. Akun tak tahu bagaimana harus menghadapinya.”

“Hmmmmm...Aku coba mengerti ,” kata Narotama. “Kita lari saja terus kalau begitu.”

Lelaki tua itu menduga ini persoalan kaum muda. Mungkin ada sesuatu yang membuat Sadawira memilih menjauhi perempuan yang katanya menolongnya. Maka dipacunya kuda tunggangan mereka lebih cepat.

Mendengar pengertian Ki Narotama, Sadawira diam-diam merasa lega.

Bukan hal yang sulit bagi Telasih untuk menyusul Sadawira dan orang-orang padepokan gunung Lawu. Meski mereka berlari dengan menggunakan kuda. Hanya butuh waktu sepeminuman teh Telasih sudah berada di depan rombongan ki Narotama dan menghadang laju kuda yang mereka tumpangi.

“Kalian pikir kalian bisa seenaknya membawa lari anak muda itu?” Bentak Telasih.

“Siapa yang membawa lari? Ini cucu aku dan akan kami bawa kembali ke rumah!” Sahut Ki Narotama.

“Benar begitu Sadawira?”tanya Telasih.

“Iya kak. Ini kakek aku. Aku memilih pulang karena aku tak pantas menjadi suami kakak!” sahut Sadawira.

“Hmmmmm.... aku sebenarnya mau menolong kamu. Dan caraku adalah yang paling memungkinkan kamu untuk sembuh dari kelumpuhan. Tapi kamu menolaknya. Aku tidak masalah. Tadi aku pikir yang membawa lari kamu adalah orang jahat. Makanya aku mengejar sampai kesini. Semoga mereka bisa menyembuhkanmu.” Ucap Telasih tegas.

Kemudian dia berkelebat dan melesat pergi meninggalkan Sadawira dan orang-orang padepokan gunung Lawu.

Sadawira diam-diam merasa tidak enak hati kepada Telasih. Tapi Sadawira juga tidak mau seenaknya menerima untuk jadi suami dari gadis itu. Karena dia teringat gurunya Andini dan mereka sudah berkali-kali berhubungan badan. Dia juga tidak berani menghianati gurunya dengan menjadi suami Telasih. Dia harus memastikan keberadaan gurunya dulu sebelum memutuskan pilihannya.

Ki Narotama dan rombongan akhirnya memacu kudanya dengan lebih santai setelah telasih pergi.

“Apa yang sebenarnya terjadi Sadawira.”tanya Ki Narotama.

“Aku terluka dalam parah saat pertarungan melawan Dewa Maut, kek. Kemudian aku lihat paman Danar yang juga terluka dibunuh orang. Lalu aku pingsan. Setelah sadar aku lupa semua kecuali kejadian pamanku dibunuh orang. Aku ditolong oleh wanita yang kemudian mengangkatku jadi murid.”

Sadawira menceritakan dengan singkat karena dia merasa malas untuk terlalu panjang memberi penjelasan. Makanya dia tidak merasa perlu menyebut siapa nama orang yang membunuh pamannya. Bagi Sadawira itu tidak penting untuk diceritakan karena dia sendiri yang akan mencari dan menghukum orang yang membunuh pamannya. Sadawira juga merasa tidak perlu menyebut siapa gurunya yang menolong dia karena baginya itu bukan urusan kakeknya atau orang-orang padepokan gunung Lawu.

Karena malam makin larut mereka memilih untuk istirahat disebuah goa yang mereka temukan saat berjalan di kegelapan malam.

***

Matahari pagi tanpa terbit di ujung timur. Di dalam goa Sadawira terbangun. Begitu juga dengan para anggota padepokan Gunung Lawu. Ki Narotama telah lebih dulu bangun.

“cucuku dan murid-muridku makanlah buah-buah yang aku ambil dari luar goa.”

“Terima kasih kek.”

Murid-murid ki Narotama juga ikut makan dan membantu Sadawira makan.

“Sadawira kau mencintai gadis yang semalam?” Tanya Ki Narotama.

Mungkin dia melihat gelagat Sadawira yang terus gelisah.

Sadawira menundukkan kepala, ia tidak bisa menjawab tegas pertanyaan orang tua itu. Hatinya bingung, dan tidak tahu haurs berkata apa.

“Aku hanya tidak enak dengan dia kek. Apalagi dia telah banyak menolong aku.”

“Hmmmm. Kau makan dulu dengan tenang.” kata ki Narotama kemudian ia membalikkan tubuh lalu keluar goa.

Setelah semua telah sarapan dengan buah yang entah apa namanya perjalanan kembali dilanjutkan. Kebetulan ki Narotama dan rombongan muridnya tujuannya adalah pulang ke Padepokan gunung Lawu setelah bepergian mengudang para pendekar untuk menghadiri pertemuan di padepokan Gunung Merapi.

Di atas punggung kuda bersama dengan Ki Narotama hati Sadawira bercampur aduk. Rindu dengan padepokan Gunung Lawu, Rindu dengan bibiknya Savitri yang ternyata selamat dari pertarungan dengan Dewa Maut di kadipaten Parwata. Tapi dia juga merasa malu karena telah lumpuh dan menjadi lelaki yang menyusahkan orang.

Kemudian dia ingat Telasih yang demi mau menyembuhkannya rela untuk jadi istrinya. Sadawira makin tak enak hati mengingat itu. Andai saja Ki Narotama dan murid-murid padeopakn Gunung Lawu tidak menemukannnya mungkin dia masih bersama dengan Telasih dan bahkan sudah menjadi suami istri. Terbayang kembali tubuh indah Telasih tanpa sehelai benangpun yang beberapa kali dia lihat dari dekat. Sadawira menggeleng-gelngkan kepalanya kemudian dia teringat gurunya Andini. Dia sedih karena tidak tahu apa gurunya itu selamat atau tidak dalam pertarungan dengan Ki Semar Mesum.

Sadawira terus melamun sampai tak sadar jika rombongan mereka yang berjumlah enam belas orang termasuk Sadawira tengah dihadang oleh orang-orang berkuda.

Alangkah kagetnya Sadawira menyadari siapa yang menghadang. Ternyata mereka adalah rombongan Ki Semar Mesum. Betapa sialnya dia karena selalu saja berurusan dengan orang-orang jahat itu.

“Hahahhahahah betapa beruntungnya. ternyata di tengah hutan ini bisa bertemu dengan rombongan pemberontak.” Seru ki Semar Mesum.

“Kami bukan pemberontak.” Sahut Ki Narotama.

“Jangan jadi pengecut dengan tidak mengaku!” bentak Ranggawuni.

“Kami sudah tahu siapa-siapa saja yang mencoba-coba melawan istana!” Tambah Turangga.

“Kami tidak melawan istana. Kami melawan orang-orang yang memperalat istana!”

“Oh jadi kalian mengaku sebagai pemberontak?”
“Sama sekali tidak. Kami melawan para penjahat yang berlindung di istana.” Sahut Sadawira.

“Wah kamu masih hidup juga bocah.” Hardik Ki Semar Mesum.

“Tak usah banyak cakap lagi yang mulia kita habisi saja mereka!” teriak Suraseta.

Maka tak dapat dihindarkan pecahlah pertarungan di tengah hutan. Tentu saja Ki Narotama dan murid-muridnya bukanlah tandingan bagi Ki Semar Mesum dan anak buahnya. Kemampuan ki Narotama hanya sekelas dengan Suraseta. Makan tanpa turun tangan Ki Semar Mesum membiarkan Suraseta dan para prajuritnya bertarung.

Satu persatu murid padepokan gunung Lawu berguguran hingga tinggal ki Narotama yang menggendong Sadawira dan dua orang muridnya.

Ki Narotama merasakan kepungan Suraseta dan prajuritnya makin ketat. Dengan sekuat tenaga dia bertahan. Dia menggerakan tombaknya. Gerakan tombaknya mengeluarkan energi seperti jaring, yang mampu menangkal semua serangan. Namun yang dihadapi Ki Narotama kali ini adalah tokoh-tokoh kejam Istana kerajaan. Apalagi ditambah prajurit yang banyak. Maka dia makin terdesak.

Sebuah pukulan telak Suraseta medarat di tubuh Ki Narotama membuat lelaki sepuh itu berteriak kesakitan, terlempar tiga tombak dan bergulingan di tanah bersama dengan Sadawira yang dibopongnya.

“Percuma melawan. Lebih baik kau bunuh diri saja,” ujar Ranggawuni yang menonton pertarungan.

Ki Narotama merasa perutnya bergejolak. Organ tubuhnya terguncang. Pukulan Suraseta bukan pukulan biasa.

Namun dia tak mempedulikan rasa sakit. Dia justru mencemaskan Sadawira. Disaat genting itu tiba-tiba melesat seorang pendekar wanita berpakaian biru.

“Hmmmm para pengecut hina masih saja sukanya main keroyok. Hiatttttttt!” pekik Telasih diarahkan ke para prajurit istana.

Pekikan itu membuat para prajurit itu terjungkal termasuk Suraseta. Ki Semar Mesum, Ranggawuni dan Turangga langsung siaga dan bersiap menghadapi Telasih yang mereka akui memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Telasih keluarkan jurus Tarian Dewi Perang yang gerakannya begitu indah namun mematikan. Ki Semar Mesum, Ranggawuni dan Turangga kewalahan menghadapi jurus maut itu. Bahkan Suraseta dan seluruh anak buanya tewas satu persatu akibat terkena jurus mematikan itu. Hingga yang tersisa hanya Ki Semar Mesum dan dua begundalnya.

Ki Semar Mesum memberi kode kepada Turangga dan Ranggawuni untuk segera kabur. Tapi sebelum pergi Ki Semar Mesum menyempatkan diri menghantam Ki Narotama yang menggendong Sadawira Hingga terluka makin parah. Itu dilakukan agar perhatian Telasih terpecah. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh ketiganya. Akhirnya mereka bertiga melesat pergi meninggalkan arena pertarungan secara pengecut.

Telasih membiarkan mereka pergi karena dia tidak mau lebih mengotori tanganya dengan darah orang-orang hina. Dia memilih untuk menolong ki Narotama yang rubuh memuntahkan darah.

“Aaa...ku se...rah...kan cu..cu...ku pa..da..mu, ga...dis.. can...tik. A...ku su..dah... ter..lu...ka pa...rah!”

‘Kakek...!”Teriak Sadawira.

Ki Narotama tewas di menyusul seluruh muridnya.

***

Puncak gunung Welirang begitu mencekam. Terdengar gemuruh lahar yang bergejolak dihiasi awan kabut berarak menghiasi langit. Sesosok tubuh manusia melesat dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, di punggung orang yang ternyata wanita tersebut terdapat seorang yang terlihat seperti digendong. Mereka sudah sampai ke puncak gunung welirang. Mereka tak lain adalah adalah Telasih dan Sadawira. Tiba saatnya bagi mereka berdua untuk melakukan ritual penyembuhan. Di bawah sinar rembulan yang sedang purnama penuh. Sadawira berbaring terlentang dengan telanjang bulat sementara Telasih duduk didepannnya juga dengan telanjang bulat.

Dengan di selimuti hawa dingin dari puncak gunung sangat menggigilkan badan. Tapi rasa dingin ini tidak serta merta di rasakan oleh Telasih dan Sadawira. Mereka saling bertatapan. Tak lama kemudian Telasih mulai membuka mulut.

"Sadawira! Kamu telah berjanji untuk menjadi suamiku. Maka aku rela untuk melakukan penyatuan ini." Ucap Telasih.

"Silahkan istriku! Aku sudah siap melakukan penyatuan ini." ucap Sadawira.

Bersambung.
 
ijin baca ceritanya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd