Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT

Status
Please reply by conversation.
Karena di sebelah ane sudah selesai bab 48 untuk cerita di atas langit masih ada langit maka di sini ane sempatkan buat update
0
0
0


BAB 16. Fitnah Yang Keji

Sadawira tidak merinci ilmu apa saja yang dia terima dari Telasih. Untungnya semua yang mendengar penuturannya tidak menanyakan hal itu. Mereka terlalu larut dalam kegembiraan akan kembalinya cucu ki Jayataka. Kalaupun mereka bertanya Sadawira hanya akan menyebutkan ilmu pernapasan dan ilmu penyembuhan saja. Kurang tepat baginya untuk mengatakan bahwa Telasih itu murid Dewa Maut dan dia kini menguasai ilmu milik Dewa Maut yang adalah musuh padepokan ini bahkan musuh seluruh kaum pendekar. Belum tentu ki Jayataka kakeknya akan menerima kenyataan seperti itu. Bahkan kemungkinan besar akan marah.

“Sepekan lagi bibimu akan kembali ke sini dari lembah lengkung.” Ujar Ki Jayataka.

“Aku sudah tidak sabar lagi bertemu bibi Savitri.” Sahut Sadawira dengan gembira.

Hari-hari selanjutnya diisi Sadawira dengan berlatih ilmu-ilmu padepokan langsung dibawah bimbingan kakeknya Ki Wajrapani. Jurus-jurus pukulan tongkat adalah ilmu andalan padepokan gunung lawu. Yang di ajarkan ki Wajrapani adalah tiga jurus andalan perguruan. Dari ajian kilatan selaksa tongkat, jurus tongkat pemukul naga, sampai tongkat pemukul mentari yang merupakan jurus paling tinggi. Latihan ini membuat Sadawira sedikit melupakan Telasih. Walau memang tidak bisa sepenuhnya.

Dengan tenaga dalam yang dimilikinya saat ini dan terbukanya beberapa titik jalan darah ditubuhnya membuat dia dengan mudah menerima pengajaran dari Ki Wajrapani. Dalam sepekan Ajian kilatan selaksa tombak berhasil dia kuasai. Selanjutnya dia akan mulai mempelajari jurus tongkat pemukul naga ketika terdengar teriakan beberapa anak murid padepokan.

“Paman dan bibi guru telah datang.” Teriak mereka.

Ki Jayataka dan Sadawira menghentikan latihan mereka.

“Bibikmu sudah datang Sadawira.”

“Wah paman dan bibi guru yang mereka maksud itu paman Mahesa dan bibi Savitri?”tanya Sadawira.

“Benar cucuku, saking tekunnya berlatih kamu lupa bahwa hari ini dia pulang.”

Beberapa saat kemudian melangkah ke dalam gedung padepokan seorang lelaki gagah berusia sekitar 45 tahunan dan seorang wanita cantik seumuran dengan lelaki tadi. Sadawira langsung gembira melihat wanita itu. Segera dia berlari menyongsong bibiknya itu dengan suka cita.

“Bibi Savitri...!”

“Sadawira!”

Kedua bibi dan keponakan itu saling berpelukan.

“Kemana saja kamu, kami sudah putus asa tidak ada kabar apapun dari kamu!”

“Panjang ceritanya bi, tapi yang penting aku sudah kembali.”

“Oh ya ini paman Mahesa suami bibi!” Savitri memperkenalkan suaminyapad Sadawira.

Meski benci dan yakin bahwa lelaki itu adalah penjahat licik yang membunuh pamannya Sadawira masih menahan diri. Dia berusaha bersikap ramah pada lelaki yang baginya adalah seorang pengecut itu. Dia menyalami Mahesa yang langsung merangkulnya. Melihat wajahnya Sadawira langsung merasa benci dan menganggap wajah Mahesa menunjukan kemunafikan.

“Syukur bibi sudah sehat!” ucap Sadawira menatap wajah Savitri yang masih terlihat pucat.

“Iya bibi kamu ini memang bandel. Sudah dibilang jangan pergi ke gunung merapi dia ngotot pergi!”Sahut Mahesa.

“Ngomong-ngomong mana lebih seru pertarungan di kadipaten Parwata atau di gunung merapi?”tanya Sadawira.

“Lebih mengerikan yang dikadipaten Parwata. Karena Dewa Maut tidak pilih bulu membantai siapa saja yang melawannya.” Jawab Savitri.

“Iya benar itu. Tapi dasar Bibimu dia ikutan menyerang gadis yang tidak dikenal berbaju merah itu.”

“Habis gadis itu sombong sekali karena merasa paling sakti.”

“tapi akibatnya seperti ini.” Ucap Mahesa seperti menyesali.

“Aku menaruh dendam pada iblis betina itu. Aku akan berlatih sekuat tenaga agar bisa memiliki kemampuan untuk melawan wanita kejam itu.” Kata Savitri lagi.

“Aku juga dendam padanya karena aku kehilangan calon bayiku dan kini Savitri sudah sulit untuk bisa hamil lagi.”

Sadawira jadi ikut sedih dengan nasib malang yang menimpa bibiknya. Dia bersumpah dialah yang akan membalaskan dendam itu. Termasuk dendam paman Danar yang akan dia balaskan pada lelaki bernama mahesa yang kini Jadi suami bibinya.

Dari cerita Savitri dan Mahesa ini Sadawira bisa memastikan bahwa Iblis Betina bergaun merah itu bukan Andini gurunya. Karena Telasih bibiknya mengenal Bidadari Hati Beku. Memang tidak masuk akal juga kalau Iblis Betina bergaun Merah itu Andini karena meski kejam dia tidak mumgkin menyerang para pendekar golongan putih.

Selama ramah tamah ini Sadawira sebenarnya merasa muak dan ingin sekali menghajar lelaki munafik bernama Mahesa itu. Tapi dia tidak ingin melukai hati bibiknya Savitri. Sadawira akan mencari kesempatan untuk menghukum Mahesa di waktu dan tempat yang tepat.

“Besok kami mengundangmu datang ke rumah kami di lereng sebelah utara.” Ucap Savitri.

“Pekan depan saja Savitri, dia harus menyelesaikan latihannya.” Sahut Ki Wajrapani.

“Oh bibi sudah tidak tinggal di padepokan ini?”

“Iya ponakanku sayang. Pamanmu ini ingin menyendiri bahkan ingin mengundurkan diri dari rimba persilatan katanya.”

“Benar tapi perbuatan iblis betina itu membuat pamanmu ini berubah pikiran!” ujar Mahesa.

Sadawira sungguh muak dengan kata-kata Mahesa. Bahkan kalau saja tidak mengingat bibiknya saat ini juga dia bisa membuat lelaki licik dan munafik ini hancur berkeping-keping.

Keyakinan Sadawira bahwa Mahesa yang sekarang ini jadi suami bibinya adalah pembunuh Danar pamannya. Karena dia sudah beberapakali bertanya pada para sesepuh di padepokan ini. Apa mereka mengenal Mahesa sebelum menikah dengan bibi Savitri dan ternyata mereka mengenalnya. Sadawira jadi tahu bahwa Mahesa adalah anak juru masak padepokan gunung lawu ini. Dia tidak diizinkan belajar ilmu silat oleh ibunya sehingga ketua padepokan juga tidak mau mengajari dia ilmu silat. Makanya dia melarikan diri sejak remaja meninggalkan gunung lawu untuk belajar ilmu silat.

Sadawira juga bertanya apa ada pendekar lain di rimba persilatan yang mereka kenal memiliki nama Mahesa. Semua sesepuh padepokan gunung lawu mengatakan tidak ada pendekar lain yang memiliki nama Mahesa yang kenal dengan mereka. Bahkan paman Darpa salah satu adik seperguruan Danar bercerita bahwa Mahesa pernah suka pada Savitri saat mereka masih remaja dan Savitri lebih memilih Danar .

Sadawira menyelesaikan latihan ketiga ilmu andalan padepokan gunung lawu dengan baik. Karena dia memang memiliki dasar-dasar ilmu padepokan dan kini dia telah memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Sesuai permintaan bibinya dia pergi ke lereng bagian utara untuk memenuhi undangannya. Di sana dia di jamu dan diajak menginap.

***

Sadawira pamit kepada Savitri setelah tinggal menginap semalam di rumah bibinya itu. Dia mengatakan akan pergi mencari gurunya Andini dan meminta tolong pada Savitri untuk meneruskan permohonan pamitnya kepada semua orang di padepokan terutama kakeknya ki Jayataka. Savitri hendak menahannya untuk tinggal beberapa hari lagi namun Sadawira tetap memilih untuk pergi. Dia sengaja tidak pamit secara langsung pada Ki Wajrapani karena dia tahu pasti kakeknya itu tidak akan membiarkan dia pergi sekarang.

“Aku akan mengantarmu sampai ke bawah!” kata Mahesa.

“Tak usah paman, biar aku jalan sendiri!” tolak Sadawira.

“Tidak apa-apa, kita jalan sambil ngobrol-ngobrol.”

Sadawira berpura-pura saja menolak padahal dia memang berharap Mahesa akan mengantarnya berjalan sampai ke bagian paling bawah lereng gunung lawu. Di sanalah dia akan melaksanakan rencananya menghukum pembunuh Danar pamannya.

“Paman seperti apa kesaktian iblis betina bergaun merah itu.”

“Sepertinya setingkat dengan Dewa Maut.”

“Kenapa dia menyerang para pendekar?”

“Dia mengaku sebagai orang istana dan menantang para pendekar yang mau melawan istana agar maju berhadapan dengan dia.”

Mahesa menceritakan bahwa iblis betina itu melawan para pendekar utama rimba persilatan satu persatu dan membuat mereka masing-masing terluka parah. Sampai para pendekar memutuskan untuk mengeroyok wanita itu. Tapi gadis itu mampu menghadapi mereka semua bahkan dia menewaskan beberapa tokoh utama rimba persilatan. Seperti ki Jayataka tuan rumah pertemuan pendekar itu tewas ditangan iblis betina bergaun merah.

Tak terasa mereka telah sampai di bagian paling bawah lereng gunung merapi. Sadawira merasa sudah cukup jauh dari padepokan gunung lawu dan rumah Savitri bibinya. Kini saatnya dia membuka kedok lelaki bernama Mahesa dan menghukumnya.

“Paman hadir juga di kediaman ki Pawaka saat pertempuran melawan Dewa Maut?” tanya Sadawira.

“Iya aku hadir, akulah yang menolong bibimu yang terluka parah, juga kakekmu!” jawab Mahesa.

“Kalau paman Danar apa paman Mahesa menolong dia?” tanya Sadawira.

“Iya aku menolong dia juga tapi sayang dia sudah tewas!”

“Dasar manusia licik dan kejam, kau yang bunuh paman Danar bajingan!”

Sadawira langsung hantamkan pukulan dari ajian lima jemari dewa dengan penuh kemarahan. Mahesa yang kaget bagai disambar petir mendengar kata-kata Sadawira berusaha menangkis pukulan itu sekuat tenaga. Namun karena dahsyatnya ajian lima jemari dewa tidak mampu dihadapi oleh Mahesa. Dia langsung tumbang dengan memuntahkan darah. Tapi dalam keadaan seperti itu dia menyempatkan diri melempar anak panah tanda minta pertolongan yang meluncur ke angkasa dan meledak mengeluarkan asap putih. Mahesa masih mampu bertahan karena setidaknya dia memiliki tenaga dalam yang lumayan.

Sadawira kaget karena tidak bisa mencegah Mahesa melontarkan anak panah itu dan lupa bahwa padepokan gungung lawu memiliki senjata untuk tanda permintaan tolong. Tapi Sadawira sudah tidak perduli lagi. Karena dia sudah memastikan bahwa Mahesa adalah pembunuh itu. Dia meluapkan kemarahannya dengan mencaci lelaki licik itu.

“Dasar bajingan. Kamu memenggal kepala paman Danar disaat dia terluka parah.”

Sadawira mengangkat tangannya dan akan kembali menghantam Mahesa yang sudah tak berdaya.

“Hentikan..” terdengar teriakan yang sangat dikenali oleh Sadawira.

Tiba-tiba di tempat itu sudah berkumpul begitu banyak anggota padepokan gunung lawu bersama para sesepuh termasuk ketua padepokan Ki Wajrapani yang berteriak menghentikan Sadawira.

“Ayah mertua anak ini hendak membunuh aku karena menyukai bibinya sendiri!” teriak Mahesa.

“Bajingan kamu mau memfitnah aku!” teriak Sadawira.

“Dia menggunakan ilmu sesat Dewa Maut, dia sudah jadi jahat karena pengaruh ilmu itu.” ujar Mahesa lagi.

Lelaki itu benar-benar bajingan licik. Sadawira dengan murka langsung hantamkan lagi pukulan lima jemari dewa kearah Mahesa yang langsung di hadang oleh ki Wajrapani dan para sesepuh. Terjadi pertemuan tenaga dalam akibat hantaman pukulan Sadawira yang ditangkis oleh para tokoh utama padepokan gunung lawu. Para tokoh itu terkejut dengan pukulan yang dikeluarkan. Tangan mereka bagai kesemutan dan terasa sangat sakit.

“Kakek jangan halangi aku membunuh orang licik ini, dia yang membunuh paman Danar!” teriak Sadawira.

“Sadawira kau jangan sembarangan bicara.” bentak Ki Wajrapani

“Dia sudah terpengaruh ilmu sesat ayah mertua!”

“Keparat hina kau terus saja melakukan fitnah.”

“Sadawira kau menggunakan ilmu Dewa Maut untuk membunuh suami bibi kamu sendiri. Kemudian memfitnah dia dengan hal yang tidak masuk akal.” Bentak Ki Wajrapani.

“Dia bilang dia mau membunuhku untuk bisa menikah dengan Savitri ayah.” Mahesa terus mengucapkan tuduhannya.

Tiba-tiba melesat ke tengah kerumunan seorang wanita yang langsung memeluk Mahesa yang terluka parah. Dia adalah Savitri.

“Apa yang tejadi suamiku?” tanya Savitri

‘Ponakanmu itu mau membunuhku, karena dia bilang dia mencintai kamu.” Sahut Mahesa.

“Bajingan keparat kau terus saja memfitnahku. Kau pembunuh paman Danar.” Teriak Sadawira penuh emosi.

Savitri sangat kaget dan tidak percaya apa yang terjadi. Dia yang melihat tanda permintaan tolong datang hendak melihat apa yang terjadi tapi kenyataan begitu menyedihkan baginya. Suaminya sedang terluka parah akibat pukulan dari keponakan yang sangat dia sayangi.

“Tak kusangka kau ponakan yang kusayangi kini menjadi tukang fitnah dan hendak membunuh suamiku. Aku akan menghukummu dengan tanganku sendiri.”

“Bibi percayalah aku melihat bajingan ini membunuh paman Danar.”

“Cukup kau telah dikuasai ilmu sesat cucuku.” Bentak Ki Wajrapani.

‘Ayah serahkan tongkat pusakamu. Aku akan menghukum anak tak tahu diri ini.” Teriak Savitri penuh emosi.

Dia mengambil tongkat dari ayahnya dan langsung hantamkan pukulan tongkat ketubuh Sadawira. Karena yang menyerang dia adalah bibinya maka Sadawira tidak mau melawannya. Dia duduk bersila dan pasrah membiarkan Savitri menghajarnya bertubi-tubi. Hatinya sangat marah dan sedih karena bibinya yang disayanginya malah percaya pada pembunuh licik yang kini jadi suaminya.

Sadawira membiarkan saja Savitri meluapkan emosinya melakukan hantaman tongkat bertubi tiba. Sadawira menerima pukulan itu tanpa menggunakan ajian perisai dewa perang andalannya. Karena Sadawira tahu kalau saja dia melakukan itu bisa berakibat buruk bagi bibiknya. Air matanya bercucuran karena kesedihan, kekecewaan dan kemarahan yang amat sangat.

Savitri yang baru sembuh dari sakit luka dalam yang parah terus saja menghantam Sadawira yang hanya menahan serangan itu dengan tenaga dalam seadanya. Hantaman dari Savitri tak urung membuat pertahanan tubuh Sadawira makin melemah.

Ki Wajarapani tak berdaya menghentikan Savitri. Dia juga dilanda kemarahan dan kekecewaan melihat cucunya menggunakan ilmu Dewa Maut menghajar menantunya Mahesa. Dia jadi percaya bahwa cucunya kini sudah menjadi jahat karena pengaruh ilmu sesat. Dia berpikir bahwa tidak mungkin Mahesa yang dikenalnya telah banyak berbuat baik melakukan apa yang dikatakan oleh Sadawira. Apalagi Mahesa justru yang menyelamatkan Savitri dari pertempuran di kediaman ki Pawaka itu. Termasuk menyelamatkan beberapa sesepuh Padepokan.

Karena tidak menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi dan pasrah saja dihantam oleh Savitri maka Sadawira mulai terluka. Sementara Savitri yang menghajar Sadawira dengan kesetanan akhirnya roboh pingsan kelelahan.

“Hmmmm aku harus memusnahkan tenaga dalammu cucuku. Karena kamu sudah tersesat!”

Ki Wajrapani melesat menyerang Sadawira dengan pukulan tangan kosong bertenaga dalam cukup tinggi. Sadawira yang sangat sedih menerima kenyataan ini memilih untuk pergi saja dan bertekad akan membunuh Mahesa dilain waktu. Dia melesat pergi dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah setingkat dengan Dewa Maut. Pukulan Ki Wajrapani hanya mengenai angin saja dan dia tidak mampu mencegah perginya Sadawira cucunya.

Serentak para tetua dan anggota padepokan lainnya bergerak hendak mengejar namun sia-sisa saja karena bayangan tubuh Sadawira bahkan sudah tidak terlihat lagi.

“Aku tak menyangka tujuan Sadawira ke sini adalah hendak menghabisiku. Dia mengincar Savitri bibinya sendiri.” Mahesa yang sedang terluka dalam parah masih saja melontarkan fitnah kejinya.

Bersambung.
 
menarik ceritanya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd