Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Dari FANTASI berujung REALISASI

Saya berencana mmbuat grup tele'gram untuk mendengar usulan dan masukan para pembaca. Apakah setuju?

  • Setuju

    Votes: 447 78,1%
  • Tidak

    Votes: 125 21,9%

  • Total voters
    572
Status
Please reply by conversation.
Mirna pake daster itu karena disuruh pak Yanto, pak Yantonya mau dateng buat menyelesaikan urusan yang belum selesai di rumah sakit...:D:D
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Pengen nih liat ss 3some mirna dan yanto sm wawan. Lakinya ngintip aja...atau pake kamera tersembunyi
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
SEJOLI

Sekilas hubungan Jajang dan Rani tidak seharusnya menimbulkan prasangka. Mereka berinteraksi sebagaimana rekan kerja lainnya. Tidak pernah kelihatan makan bersama, tidak berduaan saat jam istirahat, atau gelagat bermesraan saat jam kerja. Mereka justru berkomunikasi murni karena pekerjaan. Lagipula tidak terkesan tampak akrab seperti yang diperkirakan rekan-rekan, kecuali anggapannya berasal dari seorang karyawan yang pernah memergoki mereka jalan berdua. Ditambah yang aku tangkap dari percakapan chat antara Jajang dengan Rani. Sayangnya, aku tidak berkenan membocorkan karena akan memperuncing suasana.

Jajang juga tidak pernah membicarakannya di kantor sejak pertentangannya dengan bagian HRD. Ledek-ledekan dan sindir-menyindir menghilang akibat kegaduhan tersebut. Anak buahnya membungkam diri, meyakini bahwa yang dinyatakan Jajang benar walau sebagian tetap yakin, memilih menutup mulut tidak ingin kegaduhan berulang. Mereka tidak punya bukti, hanya kesaksian seseorang yang tak pernah memggembar-gemborkan. Kehebohan disebabkan oleh mereka yang senang melempar candaan, tak mengira itu merupakan gosip yang memanas-manasi.

Di sisi lain, teman-teman Rani tak tahu menahu kedekatan Jajang dengan Rani. Mereka justru mendapatkan informasi dari isu yang dihembuskan para anak buah Jajang. Tak heran, Jajang yang menjadi sasaran.

"Kosannya sepertinya nggak jauh dari kantor kok Pak"

"Kamu pernah ke sana?", tanyaku bersua dengan anak buah Jajang di tempat parkir.

"Belum, tapi aku tahu mereka sering ketemuan di mana"

"di mana?"

"Mall XXX"

"Nanti bisa temani?"

"Mau langsung pulang pak, khawatir kena macet. Pak Jajang juga lembur"

"Ooh iya"

"Mendung juga pak", jawabnya menunjuk langit.

"Mall XXX kan luas, di mananya?"

"Itu yang saya enggak tahu, namanya kadang suka lihat, ngacak atuh"

"Susah ini, kalau enggak tahu detail tempat ketemuannya mereka"

"Maaf pak, saya pamit pulang duluan ya"

"Iyaa silakan"

Karena rasa keingintahuan yang begitu kuat, aku mengundurkan waktu kepulangan. Aku kembalikan posisi motor ke semula dan berjalan menuju ke ruangan kerja Jajang. Ia lembur hari ini. Aku berharap ada yang bisa dikulik dari hubungan terselubung Jajang dan Rani.

"Belum pulang?"

"Belum"

"Ada apa? tumben kemari?"

"Ponselmu bagus, Jang. Aku bermaksud ganti hape"

"Hape lama ini kamu bilang bagus?! mencurigakan..."
"Sudah katakan apa maksudmu ke sini..."

"Pengen ngobrol-ngobrol aja. Sudah lama kan kita tidak ngobrol sepulang kerja?"

"Tapi aku masih banyak kerjaan, lebih baik kamu yang pulang, binimu sudah menunggu"

"Bisa diatur"

"Jangan ganggu aku dulu", ucap Jajang sedang memeriksa berkas-berkas.

Ketika aku hendak duduk di ruangannya, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk, ternyata dari Mirna, istriku. Ia mengabarkan bahwa Pak Yanto barusan menghubunginya dan menyebut mau ke rumah malam nanti. Mirna juga mengatakan Pak Yanto sebetulnya sudah memberitahukanku via WA, namun belum ada tanggapan. Aku periksa ponselku, chat dari Pak Yanto telah diterimaku 15 menit yang lalu, tetapi karena sedang fokus permasalahan Jajang membuatku lengah tak menyadari. Terpaksa aku harus kembali ke tempat parkir karena Jajang pula tidak menyambut hangat kehadiranku di ruangan kerjanya.

"Mau kemana?"

"Pulang, kamu kan sedang tidak bisa diganggu"

"Hhhmmm, kemari dulu"

"Kenapa?", tanyaku hampir membuka pintu ruang kerjanya.

"Duduk dulu..."

"Aneh, tadi katanya tidak bisa diganggu"

"Ya duduk dulu, sini...", ucap Jajang mendesak.

"Enggak usah"

"Kamu ke sini karena masih penasaran hubunganku dengan Rani kan?", tanya Jajang tersenyum.

"Enggak"

"Bohong! Mengaku sajalah..."

"Untuk apa?"

"Yang mestinya tanya begitu, jelas aku, bukan kamu!", tuding Jajang.
"Tidak ada kesibukan lain selain mencampuri urusan orang lain?"

"Memang bukan urusanku, sudah?!", jawabku tegas dan bergegas keluar ruangan.

"Heyy! Riko!! Tunggu!"

Aku telah menyia-nyiakan waktu kembali ke ruangan kerja, sedangkan Jajang mempertahankan sikapnya. Aku tidak seharusnya mengurusi lagi masalah itu. Jajang mulai merasa aku terlalu ingin tahu. Aku sebaiknya sembunyi-sembunyi saja, barangkali akan terungkap dengan sendirinya. Lagipula hubungan Jajang dan Rani betul sudah terjalin, tidak ada seseorang yang pintar menutup bangkai, kecuali akan tercium juga. Ditambah sudah ada yang melihat, besar kemungkinan akan ada yang melihat lagi. Jajang sudah pasti bersiap menanggung risiko terlepas ia masih bisa tenang hari ini. Demikian Rani tak selamanya bisa berlindung pada Jajang.

Satpam kantor menyapa, mengira ada yang tertinggal sehingga aku keluar-masuk. Aku melepas senyum tak memberikan jawaban karena terlanjur kesal dengan sikap Jajang.

Sore Hari Pukul 17.40

Aku: iya boleh pak, kira-kira jam berapa?
Pak Yanto: setengah 8 malam, Pak Riko sedang tidak sibukkan?
Aku: oh enggak. Kalau sudah di rumah, saya enggak mengurus kantor.
Pak Yanto: Saya mau ngobrol santai saja nanti.
Aku: silakan, Pak Yanto sudah pulih betul, belum?
Pak Yanto: belum, tetapi saya bisa stres kalau lama-lama di rumah terus. Mana harus mengurus diri sendiri.
Aku: bener juga ya, dibikin rileks saja Pak. Apalagi Pak Yanto sudah pulang, tinggal rutin kontrol dan mulai hidup sehat.
Pak Yanto: bener banget Pak Riko, tapi apa boleh buat saya hidup masih bergantung dengan kiriman anak, makan apa adanya.
Aku: sayur-sayuran, tempe-tahu jauh lebih sehat daripada beli-beli di warung, belum tentu terjaga kebersihannya.
Pak Yanto: jadi malu saya dinasehati. Hehehe
Aku: enggak masalah justru saya pengen Pak Yanto sehat.
Pak Yanto: terima kasih. maaf Pak Riko, ibu apa sudah terima daster pemberian saya?
Aku: sudah, wah terima kasih banyak ya Pak. [Dalam hati aku masih heran mengapa ia masih berani membelikan daster untuk Mirna]
Pak Yanto: alhamdulillah, supaya Pak Riko tambah betah di rumah, panas terussss hahahaha.
Aku: ah bisa saja Pak Yanto. Hehehe. Maaf, disambung nanti ya Pak, saya masih di kantor ini, persiapan pulang.
Pak Yanto: baik, baik, kita lanjutkan nanti malam.

=Y=​

"Kamu lagi ngapain?", tanya Mirna rebahan di atas tempat tidur menemaniku bersama gemuruh di langit yang terus berdentuman, sementara kami belum makan malam karena menunggu kedatangan Pak Yanto.

"Ini balesin chatnya Jajang"

"Masih masalah kemarin?"

"Bukan, Jajang lagi pusing dengan pekerjaan yang makan banyak waktunya. Karena kalau tuntas semua pekerjaan, dia pengen pulang ke rumahnya, dia sudah beberapa hari menginap di kantor", jawabku berkenan merahasiakan chat dengan Jajang malam ini.

Malam Hari Pukul 19.10

Jajang: itu apa adanya aku ceritakan semua ke kamu. Rani merasa perlu teman bercerita selama di Jakarta. Dia kan enggak punya kerabat di sini.
Aku: jangan terlalu dekat juga, Jang. Aku khawatir Rani malah menganggapmu beda nanti, apalagi dia sedang problem dengan suaminya [Jajang tidak bercerita secara utuh kepadaku, sedangkan hubungannya sudah melebihi pertemanan biasa dengan Rani, dari chat yang pernah aku baca lewat ponsel Jajang]
Jajang: kamu tidak perlu merisaukan itu, Ko. Aku tahu posisiku sebagai seorang suami. Juga Rani sebagai seorang istri.
Aku: kamu sering jalan berdua dengannya?
Jajang: iya, namun tidak sering, sekedar menemani Rani yang kadang perlu teman bicara.
Aku: ya sudah, aku percaya denganmu. Pesanku cuman satu, karyawan di kantor itu banyak, mereka mengenalmu. Jadi bersikaplah sebagaimana mestinya.
Jajang: tentu. Istrimu sedang apa?
Aku: FOTO [Diam-diam memotret Mirna yang tengah berbaring di sampingku memegang ponselnya]
Jajang: Sengaja? Hahaha. Laki-laki tulen mana pun akan tertarik dengan istrimu, Ko. Kamu tidak tahu aku masih di kantor?
Aku: Lalu masalahnya apa?
Jajang: aku tidak bisa mengirim foto istriku.
Aku: hahahaha. Tidak perlu, kamu kirimkan saja foto Rani?
Jajang: FOTO [Tak main-main, Jajang sungguhan mengirimkan pose seksi Rani berdiri menghadap cermin hanya mengenakan bra dan celana dalam berwarna cokelat ketika berada di kamar kosnya] mana seksi dengan Mirna?
Aku: Istrikulah Jang hahahah
Jajang: soal selera ini, hehehe
Aku: sudah sejauh itu ternyata hubungan kalian, biasa di matamu berbeda dengan biasa di mata orang-orang, terutama aku, ya? Haha
Jajang: Itu dia sengaja mengirimkan.
Aku: mana mungkin kalau kau tidak merayunya hahaha.
Jajang: Lain kali aku cerita lagi, aku mau istirahat dulu. Kamu temanilah istrimu.

Percakapanku dengan Jajang tidak boleh sampai Mirna tahu, terutama foto Rani yang dikirimkannya kepadaku. Foto tersebut aku simpan dalam FOLDER AMAN yang terkunci dan tersembunyi agar aman dari jangkauan Mirna. Untung saja, Mirna sedang serius memerhatikan aplikasi belanja daring. Yang menyangkut di benakku adalah mengapa Mirna mengenakan daster pemberian Pak Yanto. Apakah dia sengaja ingin menunjukkan itu saat Pak Yanto kemari? Aku enggan menyimpan pertanyaan yang membentang di kepala. Salah persepsi dapat menimbulkan masalah antara aku dan Mirna seperti sebelumnya. Lebih baik aku utarakan langsung.

"Kamu sengaja pakai daster itu?"

"Iyaa, sudah dikasih masa enggak dipakai di depan yang ngasih?", tanya Mirna dengan segaris senyum serta tatapan genit ke arahku.

"Emmmhhh, cie yang pengen digodain"

"Hihihihi, digodain kamu dong, Paaah"

"Aku atau yang mau datang?", kelakarku meledek Mirna dengan busana daster tanpa lengan, ditambah bagian dadanya tampak rendah, tersembul BH berwarna hitam. Belum pula bagian bawah, tersingkap sedikit saja terpampang kedua paha mulus Mirna. Entah bagaimana celana dalamnya.

"Ya kamu ihh, awas kumat"

"Hehehehe...Kita makan malam apa?", tanyaku setiba di rumah tadi tidak melihat pergerakan Mirna mempersiapkan makan malam.

"Puasa dulu aja kali yaa"

"Mana bisa sayang, aku lapar"

"Aku pegel banget hari ini, siang aja tadi beli. Kayaknya beli aja gapapa ya?"

"Bagaimana enaknya kamu aja deh", jawabku mengamati jam di dinding.

"Kamu mau makan apa? Nasi goreng? Pecel ayam?"

"Enghhhh, apa nunggu Pak Yanto aja biar sekalian kita beliin?"

"Ya terserah"

Aku turun dari ranjang, tak lama lagi Pak Yanto akan tiba di rumahku. Aku akan menerimanya di bangku depan seperti biasa. Namun aku dan Mirna belum mengisi perut. Makanan ringan untuk disuguhkan juga tidak ada. Kulkas kehabisan stok cadangan makanan. Aku maklumi karena Mirna pegal-pegal sehingga belum dapat keluar rumah. Aku berencana ke minimarket terdekat yang berada di komplek perumahan ini. Kalau terhimpit waktu mau tidak mau mencarinya di warung terdekat. Atau aku cukup menghidangkan secangkir kopi saja? Siapa tahu Pak Yanto sudah makan.

Aku tinggalkan ponselku yang perlu dicas. Kemudian aku meminta uang ke Mirna untuk membelikan makan malam di depan komplek perumahan kami. Masih ada cukup waktu sambil menunggu kedatangan Pak Yanto ke sini. Mirna awalnya menawarkan memesan via online saja. Sayangnya aku tidak mau karena biasanya butuh waktu lebih memesan makanan lewat aplikasi online, belum biaya tambahannya. Setelah aku terima uang yang dikeluarkan Mirna dari dompetnya, aku segera meluncur ke bagian depan kompleks kami, baik pagi atau malam banyak pedagang berjejer membuka tempat makan kaki lima. Mirna memesan soto ayam. Aku berencana membeli pecel ayam, sedangkan Rengga kutemui di kamarnya mengatakan terserah. Tersisa Pak Yanto yang aku telah kabarkan melalui ponsel, tetapi belum datang jawaban.

"Mau ikut?"

"Ikut, kalau di rumah takutnya malah aku sendiri lagi yang nyambut Pak Yanto", ucap Mirna cemberut.

"Hehehe. Yaudah buruan, pakai jaket aja"

"Beneran?"

"Iyaaa", setelah mengambil kunci motor, aku keluar dari kamar menuju halaman depan. Aku nyalakan mesin motor seraya menunggu Mirna yang lumayan lama menyusul.

"Sudah bilang ke Rengga titip rumah?"

"Sudah, Paaah", jawab Mirna mengenakan jaket parasut berwarna hitam dengan garis hijau melengkung di bagian kerah. Jaket itu kebesaran sehingga hampir menutupi seluruh tubuh Mirna walau sedikit tampak bagian bawah dasternya yang terjurai-jurai.

"Yaudah yuk, udah mendung nih"

"Iyaaa"

Kami pun berangkat usai Mirna yang menggenggam ponselnya menutup pagar. Angin berhembus cukup kencang, menyembur udara dingin yang menusuk. Akan tetapi, Motor yang baru melaju kurang dari 1 km harus berhenti karena kami bertemu Pak Yanto di tengah jalan. Ia berjalan kaki mengenakan kaos berkerah berwarna biru gelap dan celana kain panjang berwarna hitam.

"Pak, mau makan apa? Kita mau beli makan malam dulu"

"Silakan, saya mah gampang, ikut saja, yang penting yang aman buat saya"

"Soto ayam?"

"Nah itu, bolehlah"

"Yaudah kami jalan dulu, di rumah ada Rengga kok Pak"

"Iyaaaa, hati-hati".

Sesampainya di warung penjual nasi goreng langganan, pembelinya ramai berkumpul, bahkan sudah duduk-duduk. Ada yang makan di tempat. Ada pula yang memesan untuk dibawa pulang. Kami ragu untuk membeli di sana. Lalu lanjut berjalan lagi mencari penjual nasi goreng yang tidak terlalu penuh pembeli, setidaknya masih tergolong masuk rekomendasi. Sambil mencari aku mengingatkan Mirna agar tidak bermain ponsel saat di atas kendaraan bermotor, mencegah adanya kejahatan terselubung yang tentunya tidak dapat diduga-duga. Mirna mau mengerti. Ia menyimpan ponselnya sejenak.

Kami akhirnya menemukan penjual nasi goreng lainnya yang tergolong sepi di dekat penjual soto ayam langganan, lalu lekas segera memesan 2 bungkus nasi goreng. Mirna bergeser tidak jauh dari tempat tersebut untuk memesan soto ayam.

"Duh udah mulai gerimis"

"Yuk, naik, sebelum hujannya deres", ucapku menemani Mirna di depan warung penjual soto ayam. Tiga bungkus nasi goreng yang telah dipesan sudah diambil olehku. Semuanya selesai dalam waktu 15 menit. Aku langsung menggeber sepeda motor kendati di tengah jalan terpaksa diguyur hujan deras. Aku dan Mirna sedikit kebasahan setibanya di rumah.

"Ini payungnyaaa!", sahut Pak Yanto menggunakan payung yang telah disiapkan, membukakan pintu pagar untuk kami. Padahal Mirna sudah turun dari motor. Aku buru-buru mengarahkan motor ke halaman rumah, sedangkan berlarian sambil dipayungi oleh Pak Yanto.

"Hahaha kebasahan"

"Enggak apa, cuman sedikit kok ini Pak Riko"

"Santai Pak Yanto, yuk masuk pak, di luar becek", pintaku masuk ke dalam rumah. Di dalam kulihat Mirna keluar dari kamarnya setelah melepaskan jaket. Ia tergesa-gesa menaruh piring dan sendok, serta gelas termasuk teko air minumnya.

"Iyaaa"

Saat Mirna sedang sibuk, aku memutuskan berganti pakaian. Aku mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana pendek berwarna biru gelap. Ketika hendak membuka pintu kamar, Mirna memanggil-manggil namaku dengan suara panik. Aku lekas keluar mendapati Pak Yanto tersungkur memegang bagian dada di dapur. Mirna bersusah payah memapahnya. Aku yang turut terkejut sedikit heran dan kesal sekali dengan Rengga yang tidak menjawab teriakan mendadak mamanya. Ia terkesan lalai serta kurang peka.

"Tidak apa-apa, cuman sedikit sakitnya kok, sudah lepaskan", ucap Pak Yanto dengan terengah-engah.

"Ayo saya tuntun ke sofa"

"Iyah"

"Pelen-pelen Pah", ucap Mirna yang masih syok.

"Iya, tadi kejadiannya bagaimana?"

"Pak Yanto tadi coba bantuin aku nyiapin buah, minum, piring mangkuk aja"

"Emmmmmh...."

"Cuman masuk angin ini barangkali"

"Masuk angin gak begini juga kali pak", jawabku mulai dihantui kepanikan, trauma masa lalu mencegat pikiran seraya memandang wajah lemah Pak Yanto bersandar di sofa. Alhasil, Aku meminta Mirna menunggu Pak Yanto sebentar karena aku hendak menghubungi ambulans terdekat. Aduh belum ada beberapa hari pulang masa Pak Yanto masuk rumah sakit karena aku lagi. Pusing. Aku mengambil ponsel lalu keluar kamar.

"Sudah Pak Riko, jangan panggil ambulans, cukup. Saya tidak mau tangan ini tertusuk jarum infus lagi"

"Tapi kondisinya ini darurat loh, pak, jangan main-main"

"Sudah lebih baik, sudah, jangan", ucap Pak Yanto memohon. "Mari kita makan malam"

"Sudah di sini dulu, pak. Jangan banyak bergerak"

Aku mengambilkan makanan yang sudah dibeli kemudian meletakkannya di atas meja yang terletak di hadapan sofa. Berikutnya mangkuk dan piring. Karena terlihat lemah, Mirna inisiatif membantu menyediakan makanan untuk Pak Yanto. Lagipula makanan yang mereka makan sama, yakni Soto Ayam. Aku yang tak sanggup menahan rasa lapar karena telah menunda-nundanya bersamaan makan malamnya dengan Pak Yanto. Mirna membantu menyuapi Pak Yanto yang ternyata belum minum obat. Mirna menumpahkan sebagian kuah soto ke mangkuk yang telah diisi nasi bercampur bihun dan taoge serta suiran ayam. Ketika makanan sudah bisa dimakan karena panasnya tak lagi melukai mulut, sesendok nasi yang terendam kuah bersama ayam dan bihun yang bertumpuk masuk ke mulut Pak Yanto. Ia mengunyah perlahan-lahan.

Nasi Goreng yang kusantap tak habis kendati cara memakannya telah buru-buru. Itu karena nasinya terlalu banyak. Perutku kembung. Aku tak heran mengapa nasi goreng yang bukan langgananku tersebut riuh-ramai dipenuhi pembeli, karena jumlah nasi yang berlebih diberikan.

"Ibu makan sekalian juga aja"

"Sehabis Pak Yanto, bapak aja belum habis"

"Hehehe, maaf ya bu jadi merepotkan. Sini, kini giliran ibu yang makan. Biar ini saya habiskan sendiri", tutur Pak Yanto mengambil mangkuk yang dipegang Mirna.

"Bener nih?"

"Bener"

"Mmmmmm....", gumam Mirna menatapku.

Pak Yanto menghabiskan makan malamnya seorang diri. Kemudian Mirna yang belum ingin makan meminta tolong kepadaku agar dipijat sedikit punggungnya. Aku yang tak memiliki kemampuan memijat pun sungkan lantas menolak. Ini bukan hal baru. Beberapa kali Mirna meminta tolong ingin dipijat pastinya aku akan selalu mengelak. Akan tetapi, kali ini terlihat berbeda.

"Mau saya yang pijat, bu?"

"Emang Pak Yanto bisa?", tanya Mirna dengan raut tidak percaya.

"Sedikit, tetapi setidaknya sedikit membantu"

"Jangan deh, kondisi bapak gak bagus"

"Enggak apa apa Bu, sebentar mungkin bisa sedikit meringankan"

"Hehehehe gak usah", ucap Mirna melempar senyum, sedikit menghindar karena tangan Pak Yanto berusaha menjangkau punggungnya.

"Iya pak gak usah. Alangkah lebih baik sekarang bapak rebahan, istirahat sambil nunggu minum.obat", jawabku. "Oh ya, obatnya dibawa?"

"Hehe enggak apa Pak Riko, saya minum di rumah saja"

"Mau saya ambilkan?"

"Enggak usah, di luar juga sedang hujan gerimis", ucap Pak Yanto, aku sadari bahwa ia sesekali melirik ke arah istriku yang mengenakan daster baru yang dibelikannya. Makan malam yang diselesaikan dengan cara berbeda oleh aku dan Pak Yanto memasuki obrolan meskipun Pak Yanto dalam keadaan terlihat lunglai selagi bersandar di sofa. Kemudian Mirna membereskan sisa makan malam kami dan membawanya ke dapur. Selanjutnya giliran Mirna mengenyangkan perut di ruang makan.

Obrolan demi obrolan aku diskusikan dengan santai bersama Pak Yanto, termasuk perihal Wawan yang aku kabari dia sudah diterima bekerja. Betapa bahagianya Pak Yanto malam itu. Sayangnya, aku belum bisa memberitahukan secara jujur perihal Pak Yanto sendiri yang tidak mendapatkan formasi sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan dirinya. Situasi sedang buruk. Semakin buruk karena di luar hujan turun lebat. Aku terpaksa mengeluarkan semua isi bahasan sampai menunggu kabar baik dari langit.

"Saya antarkan pulang ya pak? Bagaimana? Atau saya ambilkan obatnya?", tanyaku melihat jam menunjukkan pukul 9 malam.

"Hujan reda tidak lama lagi, sabar"

"Tapi Pak Yanto belum minum obat, saya takut malah kenapa-kenapa"

"Hehehe. Sudah jangan cemas Pak, sudah lebih baik sekarang, habis makan malam hilang nyerinya, ditambah ngobrol santai dengan bapak"
"Benar ilang sudah anginnya", ucap Pak Yanto memposisikan duduk tegak.

"Enghhh, alhamdulillah, bisa tenang saya"

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku buru-buru memeriksa karena tak lazim jam segini ada yang menelepon, ternyata dari Jajang. Karena penasaran, barangkali Jajang ingin melanjutkan obrolan singkatnya, Aku pamit sebentar ke Pak Yanto untuk ke depan rumah, menerima panggilan telepon Jajang. Gemuruh yang terus berdegar-degar menyuruhku masuk ke dalam kamar agar suara Jajang terdengar jelas. Lagipula di dalam kamar Mirna tidak akan tahu apa yang akan kami bahas. Di sisi lain, Mirna yang baru selesai mencuci piring bertanya siapa yang menelepon. Aku katakan benar-benar bahwa itu adalah Jajang tanpa harus menyebut masalah apa yang mau disampaikan.

"Ada apa menelepon malam-malam?"

"Mau dilanjut tidak ceritanya? Sibuk ya?"

"Enggghh... sebentar", aku perlu memastikan pintu tertutup rapat dan suaraku tidak terdengar keluar. "Oke silakan, Jang"

"Kamu tahu aku di mana?"

"Kantorlah.."

"Bukan! Aku di tempat kos Rani. Hahaha", Jajang terbahak-bahak.

"Sudah kuduga kan, kau benaran ada macem-macem dengan Rani"

"Eits jangam berprasangka buruk dulu, aku bukan di kamar kos Rani, tetapi di tempat kos Rani, kebetulan tempat kos ini menerima laki-laki atau perempuan"

"Maksudmu kos di situ apa? Lebih baik uangnya kau kirim buat anakmu, Jang!", sahutku kesal.

"Aku perlu kamar ber-AC dan kasur yang empuk"

"Buang-buang uang!"

"Bukan uangmu!", balas Jajang.

"Terus telepon aku kenapa?"

"Kamu bukannya ingin sekali tahu hubungan aku dengan Rani? Heh?"
"Ini salah satu jawabannya"

"Hati-hati kau, Jang. Kalau dipecat bukan kau saja, tetapi Rani juga"

"Aku tak akan dipecat, kecuali kamu penyebabnya"

"Ah sudahlah, percuma bicara denganmu"

"Kau selalu bilang percuma, tetapi tetap dicari tahu juga. Hahahaha"

"Ah diem kau!", aku matikan sambungan telepon dari Jajang. Dia pengecut. Aku ingin mendengarkan langsung sembari bertatap muka, ia malah menghindar. Beraninya hanya lewat telepon. Payah. Meskipun aku harus akui ucapannya bahwa betul aku ingin selalu tahu. Ah iya, aku meninggalkan Pak Yanto di luar sana. Aku terlampau serius mengurusi Jajang yang bikin penasaran, sedangkan Pak Yanto di luar sana yang benar-benar karena ulah perbuatanku cenderung kuabaikan. Hmmm. Namun, ternyata bukan panggilan Jajang yang membuatku terkejut, melainkan...

"Aaaaauhhhhhh"

"Cyooopppphhhh"

"Udaaaaahh, cukup pak, keburu Mas Riko keluar, ahssss"

Ketika baru kubuka pintu kamar sedikit, kudapati Mirna duduk di sofa sedikit membelakangi. Tali daster beserta BH sebelah kiri turun. Puting payudara istriku sedang dilahap oleh bibir Pak Yanto. Gemuruh di luar sana yang kuhindari tadi terasa baru menyambar sekarang⚡️DUAAAAAAAR⚡️ Siapakah kalau begini yang melanggar perjanjian. Aku? Mirna? Aku benar-benar bingung. Fantasi yang telah terkubur itu lambat laun muncul, bangkit bersamaan dengan tegangnya batang penisku memerhatikan adegan Mirna dan Pak Yanto di bawah hujan yang mulai reda, namun gemuruh masih menggelegar.

"Kamu jangan lupa sayang, burungku belum masuk sarangmu hehehe"

"Enggak perlu ishhhh"

"Hhhmmmmmffffhhh"

"Pura-pura sakit yaa tadi? Hmmmfhhh", tanya Mirna, tetapi bibirnya keburu disambar bibir Pak Yanto.

"Aku cupang lehermu!"

"Aaaaaahhhh jangan!!!!

"Cyuuuuuuupppppphhhh!"

"Aaaaaaaiiiiihhhhhhhhhh"

............................
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd