Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Part - 5

Sore di Hari Yang Sama

Matahari sudah berada di dalam keadaan rendah, sebentar lagi terbenam, berganti tugas dengan sang bulan yang akan meneranginya kegelapan di malam hari. Selagi menurun redup, matahari itu mengantarkan khalayak orang-orang pulang menuju rumah, kembali ke keluarga masing-masing yang menanti. Tak terkecuali Alif. Dirinya begitu lelah setelah seharian berjibaku di balik meja kantor dan juga di lapangan. Kini pulang dengan mobil kembali menghadapi macetnya ibu kota tercinta.

Alif menghela nafas yang panjang, “Hahhhhh…..”.

Selagi menyetir, Alif sedang memikirkan sesuatu. Ada hal yang mengganjal di dalam hati seharian. Apalagi kalau bukan masalah mengenai kejadian semalam dengan istrinya. Dia merasa tidak enak dengan Nisa. Ia ingat semalam Nisa begitu berhasrat untuk melakukan seks. Sayangnya dia tidak bisa memberikan kepuasan seksual kepada istrinya. Padahal istrinya sudah membuatnya ejakulasi dan puas. Tapi dia tidak bisa membalas service istrinya. Malah dia tidur duluan meninggalkan istrinya dalam keadaan birahi.

Meski tadi pagi Nisa tidak mengungkit masalah semalam, tapi dia dengan jelas menangkap raut wajah istrinya yang tidak biasa. Bahasa tubuh Nisa juga terbaca olehnya, terlihat malas. Alif berharap bisa menebus ketidakmampuannya tadi malam. Dia sudah berjanji kepada Nisa, kalau weekend nanti adalah jatah sang istri untuk dipuaskan olehnya.




Setelah berjibaku melewati jalanan yang macet penuh dengan kendaraan, lalu membelok-belokkan setir kemudi mobilnya, akhirnya sampailah Alif di gerbang townhouse rumahnya.

*Tin Tin Tin. Klakson pun dibunyikan oleh Alif.

Sudah 5 Menit berlalu….

Tapi belum ada yang membuka gerbang townhouse untuk Alif. Dia kebingungan. Dari dalam mobil, Alif melihat ke arah jendela pos yang mengarah ke jalanan. Terlihat tidak ada orang disana.

‘Kemana yang jaga ini?’ batin Alif penasaran. Dirinya sudah capek, tapi malah di buat menunggu begini pikirnya. Lantas dia mengklakson lagi, kali ini lebih panjang.

*Tin Tin Tin Tinnnn…..

Satu menit kemudian barulah terlihat ada pergerakan dari belakang gerbang. Dan akhirnya gerbang itu perlahan terbuka untuk Alif agar bisa masuk.

Kemudian Alif memasukan mobilnya. Setelah kepala mobilnya melewati gerbang, Alif disambut oleh sosok besar berkulit hitam yang berperawakan seram namun diakuinya gagah olehnya. Alif sempat terkesiap di jok mobilnya sesaat melihat orang tersebut. Sosok menyeramkan yang dilihat Alif adalah tidak lain adalah Amos.

Alif belum pernah pernah bertemu orang itu. Hanya baru pernah melihat temannya Jono, walau belum kenal langsung juga. Karena ketika pagi di berangkat kerja, hanya menyapa dengan anggukan. Belum kenalan atau pun mengobrol langsung dengan mereka. Dia perhatikan lebih dekat orang itu terlihat hanya memakai kaos singlet putih yang seperti basah karena keringat. Alif kaget bukan main, kala melihat cetakan lonjong yang besar dan panjang, seperti kaleng softdrink di balik celana bahan yang Amos kenakan.

‘Itu apaan? Pentungan satpam kah? Masa iya sih? Atau jangan-jangan itu penisnya…’ tanya Alif dalam batinnya. Alif pun sempat terdiam menatapnya, lalu tidak menghiraukanya lebih jauh. Lalu ia balik menatap wajah sang penjaga. Ia melihat Amos tersenyum kepadanya, ia pun membalas dengan senyuman juga. Kemudian ia injak pelan pedal gas, untuk menjalankan mobilnya.

Tapi sebelum masuk lebih jauh, Alif berpikir untuk membuka jendela mobilnya, mau menyapa si penjaga townhouse untuk basa-basi berkenalan. Ketika jendelanya terbuka, langsung kuping Alif menangkap suara menggugah birahi. Matanya Alif pun terbuka lebar, yang tadi sudah letih menjadi melek terbuka lebar dibuatnya.

"Ahhhhh…Ahhhh…". Desah-desahan perempuan yang seksi terdengar keras, namun lambat laun memelan, tapi tetap terdengar samar. Sore-sore segini mendengar suara begituan pikirnya.

‘"So-sore, pak" sapa Alif. Dirinya mencoba untuk tenang. Mencoba untuk menampik suara desahan perempuan yang masih terdengar.

"Hehehehe…Sore juga, pak". Amos menyadari keterkejutan Alif.

"Da-dari mana nih pak? Kok tumben lama buka pintunya? Habis dari kamar mandi ya hehehe….." ujar Alif bercanda, mencoba menghilangkan kecanggungan.

“Hehehe… iya pak, saya habis dari kamar mandi”.

"Oh begitu….Ngomong-ngomong saya Alif pak, penghuni baru…"

"Alif? Ohhhh… suaminya bu Nisa ya?" potong Amos.

"Eh Iya pak, kok bapak tahu?".

"Iya, kemarin mbak Nisa main-main ke pos sini. Ngobrol-ngobrol sama saya dan Jono".

“Hah?! Istri saya kesini? Sendiri?” tanya lagi Alif.

“Iya pak sendiri, mau kenalan saja sih”.

Alif kaget mendengar cerita Amos. Istrinya tidak cerita kalau dia berkunjung ke pos seorang sendiri. Menurutnya hal itu tidaklah pantas, karena pria-pria ini bukan muhrimnya. Apalagi Nisa belum kenal. Nanti dia harus menanyakan kepada istrinya.

Di tengah-tengah obrolannya, meski samar, Alif baru sadar kalau ada dua suara desahan berbeda. Tapi sama-sama perempuan. ‘Bokep lesbian kah yang di tonton sama penjaga ini?’ tanya Alif dalam hatinya.

“Eh?! Kedengaran ya pak? Maaf ya pak, wakwakwak. Biasalah, nggak ada hiburan di pos, jadinya saya nonton film bokep deh wakwakwak….” ujar Amos seraya tertawanya yang khas.

“Iya pak, hehehe….”. Alif pun hanya tertawa kecil yang canggung menanggapi Amos.

“Mari pak, istri sudah nunggu di rumah” pamit Alif pulang ke rumah.

“Ya-ya mari pak silahkan, salam buat bu Nisa ya pak hehehe…” ujar Amos terkekeh menjijikan di mata Alif. Tidak mau berlama-lama lagi, ia pun hanya mengiyakan saja. Ngapain juga dia menyampaikan salamnya ke Nisa pikirnya.

Semasuknya mobilnya Alif, Amos pun menutup gerbang townhouse. Lalu dia kembali ke dalam pos sembari membuka kaos singletnya. Siap melanjutkan untuk bertempur birahi lagi bersama dua wanita yang semok-semok. Yang tidak lain adalah Desti dan Amel. Sesuai janji Margaretha, kedua pembantu rumah tangga itu boleh menuntaskan hasrat seksual mereka asalkan pekerjaan rumah mereka selesai. Dengan cekatan, keduanya menyelesaikan semua tugas mereka tanpa hambatan berarti.

Saat memundurkan mobilnya masuk ke dalam garasi rumahnya, Alif mendapati seorang pria yang sedang berbicara dengan seorang perempuan berhijab simple serta daster yang panjang. Orang itu tidak lain adalah ustadzah Kartika. Keduanya berbicara di depan pintu.

Dari kejauhan, tentu Alif tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi jika dilihat kedua terlibat dalam percakapan yang menyenangkan, penuh gelak tawa.

Ustadzah Kartika melihat mobil Alif yang sedang mundur masuk ke garasi rumah Nisa, langsung menyudahi obrolan dengan pria di depannya. Tidak lupa ia ucapkan salam dan terima kasih kepada pria tersebut.

Begitu pria itu berbalik arah, Alif sadari kalau orang yang tadi mengobrol dengan ustadzah Kartika adalah Jono. Pantas tadi di pos tidak kelihatan, ternyata lagi di rumah ibu itu, pikir Alif.

‘Pasti itu yang namanya Jono, tapi habis ngapain dia dari rumah si ustadzah?’ tanya Alif dalam benaknya. Ia perhatikan pria itu keringatan hanya memakai kaos putih oblong sambil menenteng seragam security nya. Setelah Amos, ini adalah kesempatan untuk berkenalan juga dengan pria itu pikir Alif. Selesai memarkirkan mobilnya, Alif menghampiri pria itu.

“Sore pak….. Pak Jono kan ya?” sapa Alif, menghentikan langkah Jono yang terlihat riang sekali sehabis pulang dari rumah ustadzah Kartika. Sapaan mendadak dari Alif membuat Jono yang sedang menerawang kesehariannya yang nikmat tadi menjadi terkejut.

“Ehhh… sore juga pak. I-iya, saya Jono. Baru pulang kerja pak?”.

“Iya nih pak. Saya Alif, suaminya bu Nisa. Bapak dari mana nih? Basah-basah begitu…” tanya Alif basa-basi.

“Ohhh ini… saya habis..…, ehhmmm… benerin keran air di rumah ustadzah Kartika. Makanya saya basah kuyup gini hehehe….” ujar Jono. Dia tersenyum mengingat apa yang terjadi di rumah ustadzah tadi. Dia benar-benar merasa puas. Tentu saja puas karena dia dan Ustadzah habis saling mengisi, dan saling menghangatkan. Saling memberikan kepuasan.

Seharian tadi di rumah sang pemuka agama yang terkenal itu, ada dua orang yang menyusu. Azhar menyusu pada puting ibunya yang keras karena terangsang. Bayi itu menyedot Asi ibunya dengan tenang, selagi sang ibunda menyusu pada kontol sang penjaga, berharap mengisi perutnya dengan cairan sperma yang kental dan penuh dengan protein itu. Terkadang Jono juga ikutan menyusu kepada ustadazah.

“Memangnya bapak bisa benerin keran air?” tanya Alif.

“Wuihhh… bisa dong pak. Saya mah selain jaga, biasa nukang juga disini” kata Jono.

“Wahhh… kalau gitu saya kapan-kapan bisa minta tolong dong ya pak?”.

“Bisa-bisa, gampang pak. Bapak butuh apa, saya bisa atur hehehehe…." seru Jono sambil menepuk dadanya, membanggakan dirinya sendiri. Alif tertawa melihatnya.

“Oh iya, saya juga bisa jagain istri sampean lohhh… hehehe…” ujar Jono dengan raut wajah yang mesum. Alif pun terkejut dengan ucapan yang kurang ajar dari penjaga town house yang baru dikenalnya.

“Hah?! Jagain istri saya gimana pak?” tanya Alif dengan nada agak sedikit tinggi

“Lah kan kalau bapak kerja, kan saya yang jagain disini hehehe….” ujar Jono nyengir sampai giginya yang kuningnya tampak.

“Hahaha…lah iya juga ya, bisa aja pak Jono mah. Saya kira apa atuh…” ujar Alif membalas kelakar Jono. Alif akhirnya menganggap cuma candaan orang-orang kelas bawah. Lantas dia pun tidak mempermasalahkan lebih jauh.

Kemudian keduanya mengobrol basa-basi, membicarakan perihal townhouse. Lalu, selesai berbincang dengan Jono, Alif segera masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, ia mendengar istrinya sedang bersenandung senang dari arah dapur. Lantas ia hampiri sang dewi pujaannya yang sedang mengandung anak pertama mereka.

Nisa sedang mengaduk sup daging buatannya, yang akan menjadi makan malam bersama suaminya nanti. Sang istri tidak menyadari keberadaan suaminya yang berada di belakangnya. Niat iseng pun timbul di benak Alif.

Dengan langkah perlahan sekali, bagai ninja, tidak menimbulkan suara. Adit mendekati istrinya yang membelakangi dirinya. Lalu dia langsung memeluk tubuh istrinya yang sedang mengaduk-ngaduk itu.

“Ehhh aduh?! Astagfirullah….Ihhhh… papa ngagetin mama deh ah!” murka sang istri seraya mencubit keras lengan suaminya.

“Aaa-duhhhh….Hehehe… maaf mahhh…..” ujar Alif kesakitan, yang kemudian melepaskan pelukannya.

“Sudah pulang kamu toh pah….”. Nisa melanjuti mengaduk supnya.

“Sudah agak lama sih mah…, aku tadi habis ngobrol-ngobrol dulu di depan”.

Nisa menoleh kepada suaminya, lalu bertanya “Hmm…ngobrol sama siapa pah?”.

“Sama pak Amos dan pak Jono”.

Mendengar nama Amos disebut oleh suaminya, seketika Nisa menjadi terbayang dengan sosok penjaga yang menyeramkan tapi gagah menawan itu. Dimana orang tersebut pernah muncul dalam benaknya kala masturbasi kemarin. Nisa menjadi merasa bersalah lagi. Dirinya memang terpesona dengan sosok Amos yang gagah tersebut. Nisa menganggap wajar kalau kagum terhadap seseorang. Tapi kalau sampai terbawa kala sedang masturbasi, itu jelas salah. Apalagi dirinya sudah menikah.

“Mah, mah? ” panggil Alif kepada istrinya yang tiba-tiba bengong.

“Eh?! Ng-ngobrolin apa pah?” tanya Nisa dengan groginya.

“Kenalan aja sih mah, kamu kenapa mah? Tiba-tiba diem”.

“Nggak apa-apa pah, cuma ingat sesuatu aja. Gih sana, mandi dulu. Papa bau acemmmm….” ledek Nisa, seraya bercanda dengan menjepit hidungnya. Nisa berupaya mengalihkan suaminya.

“Iya mah, mama sendiri sudah mandi belum?” tanya Alif.

“Sudah dong pah, pokoknya mama sudah wangi. Emangnya si papa”.

“Hehehehe…Ok mah. Nanti habis aku mandi, kita siap-siap sholat maghrib ya”.

“Iya pah” singkat Nisa. Ia melanjutkan mempersiapkan masakannya untuk dihidangkan nanti.

Sebelum beranjak pergi, Alif teringat untuk menanyakan kepada Nisa mengenai kenapa dia mengunjungi pos penjagaan seorang diri.

“Mah, kamu kemarin ke pos penjagaan di depan ya?” tanya Alif.

“Iyah pah” singkat Nisa menjawab, dia terus mengurus masakannya.

“Kamu kesana ngapain?” selidik Alif.

Nisa menangkap nada bicara suaminya yang menunjukan ketidaksukaan terhadap dirinya yang bersanding ke pos penjagaan kemarin. Ia menoleh ke arah suaminya penuh heran.

“Aku cuma kenalan saja. Memangnya kenapa pah?” tanya Nisa balik.

“Ya kamu kok nggak cerita ke papa sih? Aku takut kenapa-kenapa sama kamu. Kan mereka bukan muhrim ke kamu sayang, nggak etis dilihat sama orang lain. ”.

Nisa mengernyitkan dahi nya ketika mendengar ucapan suaminya. Ia menjadi agak jengkel dengan suaminya. Sifat suaminya yang terkadang protektif membuatnya malas.

“Lahhh… masa aku harus cerita detail ngapain aja, sudah kayak apa aja kamu pah” protes Nisa.

“Lagipula jangan suudzon gitu lah pah, nggak baik. Kan mereka yang kerja untuk menjaga tempat tinggal kita, memangnya mau ngapain-ngapain mama? Dasar gelo” Lanjut Nisa.

“Dan mending papa nggak usah-usah kaku amat deh kalau jadi orang. Dah ah, sana mandi” usir Nisa.

Alif diam mengalah, tidak mau memperpanjang perdebatan. Ia pun pergi untuk mandi, meninggalkan istrinya yang sedang memasak.



Flashback Beberapa Saat Yang Lalu

"Abaang Amossss…." centil Amel memanggil.

Amos yang sedang bermain handphone di pos pun menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Dia melihat Desti dan Amel berjalan mendekat ke arahnya.

"Heh, mau apa kalian?" tanya Amos galak pada keduanya.

Mereka tidak menjawab, kedunya malah melengos masuk ke dalam pos. Kedua wanita tersenyum penuh arti kepada Amos. Lalu menarik baju yang mereka ke atas. Memperlihatkan dua buah pasang payudara yang berukuran besar yang masih tertutup penyangga.

Pria manapun, yang melihat pasti terhipnotis. Contohnya saja Amos yang langsung melotot ketika benda kenyal idaman para pria itu terpampang bebas untuknya.

"Heh! Dasar, pasti kalian mau ini yah?" seru Amos yang menggenggam selangkangannya yang menggunung seperti menyimpan barang yang besar disana.

Mata mereka tertuju ke gundukan yang besar di celana Amos. Keduanya meneguk keras ludah mereka. Yang sedari pagi menahan birahi, dengan hanya melihat gelembung yang besar di antara kaki Amos mereka semakin bernafsu.

"Tunggu-tunggu, kalian sudah izin belum dengan Bu Margaretha? Aku tidak mau dimarahi sama dia nantinya" tanya Amos.

"Sudah lah bang. Kalau belum, Aku sam Desti ndak berani ke sini bang" jawab Amel.

Desti menyadari sesuatu. Dia cuma melihat hanya ada satu orang yang jaga di pos.

"Lho?! Mang Jono kemana bang?" tanya Desti.

"Di panggil sama Bu Kartika, biasaaa….." ujar Amos. Yang langsung di mengerti oleh Amel dan Desti. Yang sudah pasti sudah tidak jauh-jauh dari urusan duniawi.

"Yah…. cuma ada abang Amos doang dong". Amel merasa kecewa. Begitu juga dengan Desti. Karena jadi mereka harus bergantian memakai pentungan berurat milik Amos.

"Memangnya kenapa kalau cuma ada aku?" tanya Amos dengan logat khas ketimurannya.

"Kan kita berdua bang. Kurang satu dong pentungan uratnya hihihihi…." ujar Amel dengan centilnya.

"Memangnya kalian-kalian ini mampu melawan punyaku ini hah?!" seru Amos menantang sambil mengeluarkan kemaluannya yang besar. Meski masih lemas, penis Amos terlihat besar. Batangnya yang hitam, penuh dengan guratan urat yang besar-besar, yang siap memberikan sejuta kenikmatan. Tak lupa dengan ujung kepala penis Amos tertutup berkulit berlebih, alias berkulup.

Mulut Amel dan Desti terbuka, liur mereka mengumpul, menetes saat melihat benda besar yang hitam itu. Cuma dengan melihatnya saja memek mereka langsung merembeskan cairan pelumasnya. Celana dalam mereka lembab seketika. Mereka ingin segera melahap benda kenyal namun keras bak baja itu. Walau sudah sering merasakan penis itu, Keduanya tetap saja terpukau dengan benda itu. Sudah tidak terhitung berapa kali keduanya menikmati batang tidak disunat itu. Yang pasti keduanya selalu kalah dengan kehebatan Amos beserta kontol berkulupnya. Maka pas ketika mendengar tantangan Amos, keduanya bergidik ngeri. Tapi mereka memang menantikan kenikmatan yang akan diberikan oleh kontol besar itu.

Desti rela tidak pulang kampung, tidak balik ke suami sahnya dan anak-anaknya yang masih balita, demi kepuasan seksual yang ia terima di townhouse tempat ia bekerja. Salah satu kenikmatan itu adalah kontol besar Amos yang berkulup yang sekarang tersedia di depannya.

Begitu juga dengan Amel, yang enggan pulang kampung untuk dijodohkan dengan pemuda dari kampungnya. Dia lebih memilih kontol-kontol yang berada di townhouse tempat dia bekerja.

"Di dalam aja, kita mainnya" ajak Amos ke kamarnya yang berada di dalam pos, sambil melepas baju jaganya. Lantas Desti dan Amel mengikuti pria itu masuk. Ruangan di dalam pos yang tidak begitu besar akan menjadi arena pertempuran birahi ketiga insan. Di dalamnya terdapat meja kerja beserta dua kasur milik Amos dan Joni.

"Sini kalian, puaskan kontol aku pakai mulut dulu, baru aku buat mampus kalian" suruh Amos yang sekarang terduduk di ujung kasur.

Desti dan Amel tidak lagi membuang waktu. Keduanya berlutut di depan Amos. Mulut mereka terus berair, tak sabar menghisap benda besar di depan mereka. Keduanya memajukan kepala mereka, menempelkan bibir lembut mereka di batang berurat, menciumnya di sisinya. Tidak ada bagian luput dari bibir mereka.

Amos senangnya bukan main dengan kedatangan dua pembantu Margaretha, karena hanya Jono yang diminta untuk memuaskan sang ustadzah. Dia tidak tinggal diam, ia mainkan bongkahan kenyal para gundiknya itu. Ia remas-remas, sampai yang punya melenguh. Sesekali ia lakukan dengan kuat, hingga mereka memekik kesakitan. Tapi mereka tidak protes, terus menservice pusaka Amos.

Amel mendahului temannya, ia caplok kulup penis Amos. Langsung Ia emut-emut dan sedot-sedot kulit berlebihan di ujung penis Amos itu. Lidahnya juga turut bekerja, mengorek-ngorek kulupnya, mencari lubang kencingnya. Amel begitu semangat mengulum kemaluan besar Amos, setelah seharian menahan birahi gara-gara anak majikannya tadi pagi.

Penis Amos perlahan menggeliat mengeras. Amel lalu mengurut pelan batang penis Amis, hingga kulup yang sedari tadi menutupi kepala penisnya tertarik ke belakang. Urutan Amel membuat kepala kontol Amos merekah keluar dari kulupnya. Lantas Amel melahap moncong kemaluan Amos. Saking besarnya Amel cuma mampu memasukan kepalanya saja. Lidah Amel membelai-belai menja saluran kencing ini. Sang empunya kontol besar itu meringis geli dibuatnya.

Sedangkan Desti, perempuan lebih tua dari Amel itu, menjilat-jilat batangnya yang tidak bisa masuk ke mulut Amel. Lalu lidahnya beralih ke kantung zakarnya Amos yang besar. Ia melahap telur-telur penghasil sperma subur itu. Ia emut kantong keriput itu dengan khidmat.

"Lonte-lonte ini jago kali nyepong kontol ahh…." puji Amos yang mendesah keenakan. Amos benar-benar menikmati service dari Amel dan Desti. Dengan berbekal pengalaman, keduanya tentu sudah ahli dalam memanjakan penjatan dengan mulut mereka. Sudah berbagai ukuran dan bentuk kontol mereka rasakan.

“Slurp…Slurp…Slurp….”.

Akibat mulut kedua wanita itu, kemaluan Amos sudah tegak dengan sempurna. Kontolnya yang basah menghunus ke atas bak tugu yang memancarkan keperkasaan, siap menggempur liang sempit yang basah. Benda keras milik Amos itu memperlihatkan otot-otot kontolnya yang siap memberikan sejuta kenikmatan pada setiap lorong basah yang dimasukinya. Cairan pre-cumnya berlimpah mengalir dari lubangnya penisnya.

Amel melepaskan penis Amos dari mulutnya, lalu menyodorkan kepada temannya. Yang langsung disambut penuh bahagia oleh Desti. Dia masukan kepala kontol Amos yang besar. Dirinya harus membuka lebar-lebar untuk menampungnya.

“Kontol kamu gede bang, Amel suka” pelan Amel bersuara sayu. Sambil terus menatap Amos, ia mencium mesra batang berurat miliknya. Lalu menjulurkan lidahnya dan menjilat pelan dari pangkal lalu ke atas hingga menyentuh bibir Desti yang sedang menjepit ketat kepala kontol Amos.

Amos sudah sering menerima pujian-pujian atas kehebatan dirinya beserta kemaluannya. Apakah dia bosan? Tentu tidak. Setiap pujian, bagai pemacu semangat.

Selama 15 menit, kedua pembantu Margaretha itu bergantian memblowjob kontol Amos. Cairan pre-cum yang mengalir dari ujung celah, terus mereka telan.

"Ayo, siapa dulu yang kuentot?" tanya Amos yang sudah tidak sabar lagi untuk bersetubuh dengan mereka. Ia tarik kontolnya dari mulut Desti. Lalu menepuk-nepuk wajah kedua wanita yang bersimpuh di depannya dengan kontolnya besarnya. Membuat wajah mereka basah karena campuran liur mereka sendiri dan pre-cum Amos.

Amel dan Desti menatap satu sama lain.

"Aku dulu ya, Des. Kamu kemarin sudah duluan pas kita main sama Koh Felix".

"Yauda deh”. Desti mengalah. Tempo hari, saat Amel dan Desti ajak threesome sama majikannya, Desti duluan lah yang dipakai oleh suami Margaretha.

Amel dan Desti berdiri, menanggalkan pakain mereka tanpa sisa, hingga keduanya polos bugil. Hal yang biasa sudah mereka lakukan di pos tersebut. Tubuh semok mereka telah dihidangkan untuk Amos seorang. Puting-puting mereka sudah mengeras, menantang untuk disedot-sedot kuat.

Amel naik ke pangkuan sang pejantan. Badannya terlihat kecil jika dibandingkan Amos. Perempuan itu raih batang keras Amos, dan mengarahkan ke celah kelaminnya yang sudah becek. Perlahan ia menurunkan dirinya. Dia rasakan moncong Amos yang menyentuh mulut vaginanya. Ia paksa kepalanya yang besar untuk masuk ke liangnya.

*Sleb. “Ughhhh…banggggg….gede….aku nggak kuat…” erang Amel saat merasakan mili demi mili kepala kontol membelah liang cintanya. Dengan susah payah, vaginanya terpaksa membuka lebar demi penjajah keras berurat. Dengan proses yang lama, akhirnya batang kemaluan yang besar itu terlahap habis oleh liang sempit Amel, menancap dengan sempurna sampai mentok.

“Ahhh…Ahhh…Ahhhh…keras banget bang, gila!” erang Amel. Amos menyeringai mendengarnya. Sudah banyak wanita yang tergila-gila kepada kontolnya. Sekali kena jotos, pasti ketagihan dengan rasa kontol Amos.

Amel mendiamkan diri, membiasakan liang senggamanya dengan kontol Amos yang bersemayam. Dirinya terasa penuh sesak. Tidak ada celah tersisa. Desti tidak mau berdiam diri, ia turut merangsang teman seperjuangannya. Ia remas buah dada temannya dari belakang, ia juga menjilat lehernya.

Amos meremasi pantat sekel Amel, sekaligus mengendusi lehernya juga. Kemudian Amel merangkul leher Amos, dan mereka bercumbu panas. Warna kulit mereka terlihat berbeda jauh. Meski Amel tidak terlalu putih, tapi tetapi bersih terjaga. Sedangkan Amos hitam legam, bagaikan hitamnya malam. Perpaduan mereka terlihat erotis.

“Genjot kontolku!” perintah Amos. Amel mengangguk lemah. Matanya terlihat sayu. Perlahan ia mengangkat tubuhnya hingga hanya menyisakan kepala kontol di belahan sempitnya. Sesudahnya, ia perlahan menurunkan tubuhnya, menelan batang kontol Amos lagi. Amel melenguh nikmat merasakan guratan kasar dan besar di batang Amos yang menggaruk liang memeknya yang gatal. Cairan wanitanya terus melumasi kemaluan Amos. Desti pun melepaskan genggamannya pada toket Amel, agar tidak menghalangi pergerakan temannya.

Lalu Amel naikkan lagi tubuhnya, lalu turunkan lagi. Terus dia melakukan itu, hingga gerakannya semakin lancar tanpa hambatan.

*Plok Plok Plok Plok. Suara tumbukan kulit nyaring, memenuhi ruangan tempat mereka mengeruk nikmat. Amos menggenggam kedua bongkahan panta Amel, membantunya menaik turunkan tubuhnya. Amel semakin meraung-meraung.

“Bang…Banggg…kontol kamu enak! Besar dan keras bang! Amel nggak kuat…Ahhh…ahhh…” racau Amel.

“Ughghh… memek kau juga enak, dasar perek kau. Kau ketagihan kontol aku kan?” kasar Amos. Amel mengangguk cepat. Persetubuhan antara pria dan wanita yang terpaut jauh umurnya sangat heboh dan panas.

Selagi menunggu gilirannya, Desti arahkan jari-jarinya ke vaginanya yang merekah basah. Ia melayani dirinya sendiri sambil menonton temannya naik turun di atas tubuh Amos. Batang Amos hilang timbul dari pandangan matanya. Ia melihat cairan putih berbusa membaluri batangnya Amos yang hitam. Apa yang dilihat sangatlah menggairahkan.

“Abang, aku muncrat! Oghhhh…” teriak Amel menggelegar. Ia peluk erat-erat badan kekar Amos. Dalam waktu singkat, Amel meraih orgasme. Badan Amel berkejat-kejat di pangkuan Amos. Cairan orgasmenya keluar dari sela-sela himpitan kontol Amos yang terjepit ketat di kemaluannya.

“Wakwakwak….kalah kau” ejek Amos kepada Amel yang bersandar di bahunya. Nikmat orgasme membuat Amel lelah. Meski begitu, dia puas. Hasratnya terpuaskan.

“Sekarang giliran kau yang kubuat mampus” ucap Amos kepada Desti yang sedang mencolok-colok vaginanya sendiri.

Mengerti sekarang gilirannya, Desti dengan sigap langsung naik ke atas kasur dan menungging.

“Bang Amos, ayo Bang! Puasi aku bang! Giliran memek aku yang dibikin enak. Cepat bang, memek sudah gatel, pengen di garukin kontol bang Amos” vulgar Desti tidak sabar.

Amel pun menyingkir dari pangkuan Amos, kemudian mengambil segelas air dingin, lalu menegaknya habis. Ketika selesai minum, desahan temannya terdengar lantang menarik perhatiannya. Lalu Ia menoleh ke arah temannya.

Terlihat Amos sedang menyodok-nyodokan kontol besar di lubang senggama Desti. Layak mesin lokomotif, kemaluannya terus melaju hebat tanpa hambatan berarti. Membelah liang sempit Desti.

*Plak. “Ahhhh…sakit bang! Ahhh…Ahhh…Ahhh…”. Amos menampar pipi pantat sekal Desti, sampai membekas merah.

*Tin Tin Tin. Bunyi klakson terdengar dari luar pos. Saking asyiknya bersenggama, mereka tidak sadar dengan suara klakson yang menyebalkan. Amos terus saja mendoggy Desti dengan cepat dan bertenaga. Ia merasakan nikmatnya kemaluan Desti yang mencengkeram nikmat batangnya.

*Tin Tin Tinnnn…..

"Anjing!… Siapa sih?! Ganggu kali!” hardik Amos saat mendengar klakson mobil yang panjang..

“Mending buka dulu aja bang” saran Amel.

“Ughhh….” lenguh Desti kala batang Amos tercabut dengan begitu saja. Tentu dia sangat kecewa, kesenangan terganggu.

Amos lekas memakai celana bahannya, lalu segera keluar untuk membuka gerbang. Di balik celananya kontolnya masih keras dan basah.

Sembari menunggu sang pejantan berkontol besar untuk kembali, Amel dan Desti saling bertatapan. Mereka yang masih dalam keadaan birahi, tentu ingin segera dipuaskan. Keduanya mendekatkan diri, langsung saling melumat panas. Mereka sudah biasa untuk melakukan hubungan seksual sesama perempuan. Di rumah Margaretha, selagi senggang, pasti mereka saling bertukar kenikmatan.

Lima menit kemudian Amos kembali ke dalam, setelah basa-basi dengan orang yang baru saja pulang, Alif. Dengan sekembali si pejantan perkasa, liang cinta kedua wanita itu siap digempur lagi dengan kemaluan yang besar dan tidak bersunat itu.

Tapi Amos melihat Amel dan Desti sedang saling memuaskan satu sama lain dengan saling menggesekan kemaluan mereka. Amos menonton mereka yang sedang tenggelam dalam percintaan lesbian. Keduanya sedang melakukan aksi gunting. Kedua pembantu Margaretha itu, saling meremasi payudara satu sama lain, menambahkan kenikmatan yang mendera mereka. Tubuh mereka pun sudah penuh keringat. AC di ruangan pos tidak membantu mendinginkan tubuh mereka. Sampai akhirnya kedua wanita itu meraih orgasme bersamaan, barulah mereka melepaskan diri dari satu sama lain.

“Kok lama sih bang? Hh…hh…hh… Aku pengen muncrat pakai kontol kamu bang” gerutu Desti. Nafasnya parau setelah orgasme dengan menggesekan memeknya dengan memek Amel.

“Diajak ngobrol dulu aku tadi di depan, sudah sepong kontol aku lagi sini” pinta Amos, menyodorkan batang penisnya yang setengah ereksi. Sudah tidak tahan lagi, Desti dan Amel langsung melumat benda berurat besar itu. Mereka keluarkan ludah untuk membasahi senjata Amos lagi.

Setelah cukup basah, Amos menggiring Desti untuk kembali disetubuhi dengan gaya anjing kawin.

“Terus bang, terus….enak…” desah Desti. Ia meremas sprei ranjang Amos dengan kuat.

“Memek kau juga mantap” balas Amos memuji, lalu menampar pantat Desti hingga melenguh manja.

“Lagi pada asik nih….” seru seorang pria yang hanya berpakain kaos dalam putih.

Sosok pria muncul di depan pintu ruangan pos, mengagetkan para insan yang sedang mengadu birahi. Tahu siapa yang datang, Amos kembali menggempur vagina Desti dari belakang. Desti pun kembali mendesah-desah enak.

Amel langsung melompat, meluncur ke selangkangan orang tersebut, bersimpuh di depannya dan meraih resleting celana bahannya. Tapi pria itu menahan tangan Amel.

“Mang Jono, Amel mau kontol” rengek Amel tidak sabar. Ternyata pria itu tidak lain adalah Jono, penjaga townhouse bareng Amos.

“Waduh maaf dek, Mamang habis diperas habis sama ustadzah” tolak Jono yang capek. Tapi sebenarnya dia merasa sayang untuk melewatkan kesempatan untuk merasakan tubuh montok Amel. Namun Amel tidak menggubrisnya, tetap membuka paksa celananya. Jono pun pasrah, membiarkan Amel.

Terpampang lah kemaluan yang lemas, setelah seharian dipakai habis-habis oleh sosok wanita berjilbab yang tersohor sebagai penceramah hebat dan santun yang tidak lain adalah Ustadzah Kartika. Berbeda dengan kepunyaan Amos, punya Jono disunat. Dan dari segi ukuran, milik Jono kalah besar. Tapi tetap di atas rata-rata. Tetap mampu memuaskan para wanita-wanita di townhouse.

Tanpa jijik, Amel masukan kemaluan Jono yang belum di cuci bersih setelah dipakai oleh Kartika seharian ke mulutnya yang basah dan hangat itu. Dia masih ingin merasakan orgasme lagi untuk sore ini, sebelum kembali ke rumah majikannya.

Dirangsang habis-habisan oleh mulut Amel sekaligus melihat Desti di senggamai hebat oleh Amos, membuatnya Jono kembali bergairah. Tidak perlu waktu lama, kemaluannya mulai mengeras sempurna di dalam mulut Amel. Dan sang penyedot menjadi lebih semangat.

“Bang ampun...Desti dapet!”. Desti klimaks, cairan wanita muncrat membasahi kasur Amos.

Tanpa ada jeda, Desti langsung berganti posisi, menjadi tidur miring dengan Amos langsung menyetubuhi dari belakang. Dia lihat temannya sedang mengemut kontol yang sudah hampir tegang maksimal.

Jono menarik tubuh Amel untuk berdiri, lalu menciumnya untuk sesaat. Mereka saling bertukar ludah, dan Amel tiada henti-hentinya mengocok kemaluan Jono yang sudah ereksi kuat.

Kemudian pria yang lebih tua itu posisikan Amel berhadapan dengan Desti. Amel pun nungging sambil bertumpu pada pinggiran ranjang. Amel tersenyum melihat temannya yang kesusahan payah digenjot oleh Amos.

“Kontol bang Amos enak?” tanya Amel kepada Desti yang disetubuhi oleh Amos.

“Nghhh….ahhhh…Enak...gede….kuat banget!” ujar Desti terpatah-patah, seiring sodokan maut Amos.

“Enak mana sama punya saya?” tanya Jono seraya berlutut di belakang Amel.

“Sa-sama enak kok mang…..tapi punya bang Amos lebih enakkkk….lebih gedeeeee…..terus bang…entot aku...” racau Desti.

“Kau dengarkan? Payah punya mu itu! wakwakwak….” tawa Amos, tanpa menghentikan ayunan kontolnya sampai menghantam dasar liang cinta Desti. Memberikan rasa sakit dan rasa yang amat enak kepada Desti.

Mendengar penuturan Desti, membuat ego Jono terserang. Lantas sebagai pelampiasan, ia santap memek Amel dengan rakus. Ia sedot habis, menyeruput cairan wanita Amel yang terus tumpah ruah mengalir keluar.

“Pe-pelan mang….uhhhhh…Ahhhh...”. Amel meringsek, merasakan lidah kasar Jono yang mengoyak-ngoyak liang vaginanya.

Dua sahut-sahutan desahan nikmat terjadi di dalam pos. Yang seharusnya para penghuni asli tempat tersebut menjalankan tugas mereka untuk menjaga townhouse, kini malah sedang asyik menyetubuhi para pembantu rumah tangga dari salah satu rumah yang mereka jaga.

Melihat payudara temannya yang menggantung bebas, Desti raih dan meremasnya gemas. Ia pelintir puting Amel yang sudah mancung menantang. Tidak mau kalah, Amel juga membalas perbuatan temannya dengan melakukan hal yang sama.

Puas menyeruput kuah memek Amel yang melimpah, Jono berdiri di belakang pantat Amel yang montok itu. Lalu ia dorong masuk penisnya ke vagina Amel yang sudah menganga. Lantas tanpa ampun dia genjot Amel dengan sekuat tenaga. Jadilah Amel dan Desti setubuhi oleh dua penjaga townhouse. Hasrat mereka terkabulkan.

Sudah hampir satu jam mereka di pos, orgasme demi orgasme telah mereka rasakan. Teruslah mereka semua bersetubuh sampai menjelang maghrib. Saling bertukar pasangan pun tidak terelakan. Persetubuhan panas mereka di akhiri dengan Amos membuang pejunya di mulut Amel dan Jono membuang pejunya di mulut Desti.

Tidak langsung menelan santan kental para pejantan, keduanya tampung di dalam mulut. Dengan mulut masih penuh terisi cairan putih kental, Amel dan Desti berciuman dengan panasnya. Saling mencampurkan peju yang mereka terima, saling berbagi. Lalu menelannya habis, tanpa sisa.

Selesai bersenggama hingga puas dan capek, Amel dan Desti langsung kembali ke rumah Margaretha. Meski diberikan ijin untuk menyalurkan hasrat, bukan berarti mereka melupakan tugas mereka sebagai pembantu rumah tangga.

Sedangkan Amos dan Jono tergeletak puas di kasur masing-masing. Sejatinya Amos masih kuat untuk ronde berikutnya, tapi dia tidak bisa menahan Desti dan Amel untuk tetap dia garap sampai puas. Karena dia takut dimarahi oleh Margaretha.

*Ting….Bunyi notifikasi pesan dari HP Amos. Sang pemiliknya pun memeriksa Hpnya. Setelah membaca isinya, dia tersenyum lebar.

"Mantap!" seru Amos.

"Ada apa sih bang? Bikin kaget aje" tanya Jono heran.

"Hehehe… malam ini aku dapet memek muda lagi".

"Siapa bang?".

"Neng Ella Jon, aku diminta tidur di rumahnya. Butuh teman tidur dia ternyata wakwakak…".

"Wah….kamu hoki banget bang". Sejenak Jono teringat sesuatu. Dia sadar kalau mereka belum tanding catur untuk mendapatkan jatah dari perempuan belia itu.

"Lah?! Tapi kita kan belum taruhan bang, kok kamu dapat jatah dari neng Ella?".

"Permintaan langsung dari neng Ella nya Jon, diluar permainan kita ini…".

"Wah curang sampean bang?!".

"Curang kau bilang?" Kuhantam kau nanti, pecah pala kau kubuat" ancam Amos.

"Ampun bang, cuma bercanda kok. Coba aja kalau ada neng Azizah atah neng Salma, aku juga bisa minta deh…" ujar Jono.

"Makanya punya kontol tuh yang gede macam punyaku Jon, memek pun datang dengan sendirinya wakwakwak…" tawa Amos dengan khasnya. Jono pun ikut tertawa.



Kembali ke Saat Ini - Malam Hari

Sudah membersihkan diri dan menunaikan sholat maghrib berjamaah, kini pasangan suami-istri itu sedang makan malam bersama sambil di temani televisi yang menyiarkan berita yang tidak jauh-jauh dari kenaikan bahan bakar di negeri ini.

“Kamu hari ini ngapain aja mah?” tanya Alif sambil menyuapkan sendok makanan ke mulutnya. Nisa terhenyak dengan pertanyaan suaminya, mengingat apa yang dia alami hari ini.

“Nggg…..”. Nisa bingung untuk menjawab pertanyaan suaminya. Dirinya bimbang, apakah dirinya harus bercerita apa yang sesungguh terjadi di rumah Margaretha tadi pagi.

“Mah, kok diem aja?” tanya Alif lagi yang tidak langsung mendapatkan jawaban dari istrinya yang hanya memainkan sendoknya. Dia sejatinya mendapati keraguan dari Nisa untuk menjawab pertanyaannya.

“Ya… kayak biasanya aja pah, cuma bersih-bersih rumah terus ngerumpi sama ci Margaretha di rumahnya. Sekalian tadi konsul kehamilan dan diperiksa juga" jawab Nisa yang tidak bohong tapi dia tidak menceritakannya dengan detail. Pasalnya Nisa memang berkonsultasi ke tetangganya, tapi dia mendapatkan lebih dari sekedar pemeriksaan. Dia dibuat orgasme oleh tetangganya. Dan dia menyukainya.

Dia bingung apakah dia harus bercerita sejujurnya kepada suaminya? Kalau dia dibuat orgasme yang enak dan nikmat oleh tetangga, sekaligus dokternya. Awalnya, dia menganggap apa yang dilakukan oleh Margaretha terhadap dirinya adalah sebuah pelecehan sesama perempuan. Tapi sejatinya Nisa menikmati orgasme yang diberikan.

Dan dia berpikir lebih jauh, kalau Ustadzah Kartika juga mendapat perlakuan yang sama dengannya, mengapa dirinya harus menolaknya? Dan setahu Nisa, sosok wanita yang dia kagumi itu tidak mempermasalahkannya. Bahkan menganjurkan dirinya untuk percaya kepada Margaretha dan menurut kepada tetangganya yang sekaligus dokternya. Tapi Nisa tidak yakin dengan reaksi Alif, kalau dia bicara sejujurnya. Mengingat sifat protektifnya. Lantas Nisa urungkan untuk menceritakan lebih jauh kepada ALif.

“Hmm…" gumam Nisa.

“Ada apa mah?”.

“Nggak apa-apa pah. Tadi kerjaan gimana pah?” tanya balik Nisa, mencoba untuk mengalihkan pertanyaan sang suami.

“Gitu-gitu ajah sih. Oh iya mah, besok kamu diajak pergi sama ibuku”.

“Ohhh… mau kemana?”.

“Ke Mall XXX, cari perlengkapan buat bayi kita mah, kamu bisa kan?”.

"Aku bisa pah, sekalian jalan-jalan. Bosen di rumah terus. Ehhh…pah, aku tadi pagi sudah ketemu sama ustadzah Kartika lhooo…" seru Nisa.

"Wahhh… gimana orangnya mah. Terus kenapa dia sudah nggak pernah nongol di TV lagi?".

"Sibuk ngurus anak bayinya, jadinya belum mau terima job di TV. Cuma ambil ceramah private aja katanya pah”.

“Ohhhhhh…..pantes aja nggak pernah kelihatan lagi”.

“He-eh, dan ternyata ustadzah Kartika juga langganan konsultasi ke ci Mar, pah” jelas Nisa.

“Oh ya? Bagus deh kalau begitu, jadi kita semakin percaya sama bu Margaretha”.

Nisa senang mendengarnya. Dengan begini ia tidak perlu capek untuk bolak-balik kerumah sakit.

"Kapan-kapan kita bertamu ke rumah ci Mar yuk. Masa aku doang yang pernah. Nggak enak pah, ci Mar sudah ngasih gratis lho, konsul nya".

Alif mengganguk setuju. "Nanti kalau ada waktu ya mah".

Keduanya melanjutkan makan malam, sambil membahas berbagai macam hal.



Menjelang tidur

Sekarang kedua pasangan suami istri itu, menyambut ranjang tidur yang empuk untuk segera tidur. Menanti hari esok. Sedari tadi Alif masih memikirkan masalah kemarin. Pikirnya tidak baik untuk tidak membicarakannya sama sekali.

"Mah” panggil Alif pelan kepada Nisa yang sedang terbaring di sebelahnya.

“Hmm?”. Nisa hanya bergumam, sambil terus bermain HP.

“Maafin papa ya mah, kemarin malam aku nggak bisa muasin mama” ujar Alif.

Seketika Raut wajah Nisa berubah dan Alif tentu menyadarinya. 'Nisa masih marah ternyata' ujar Alif dalam hatinya. Ia pun bersiap menerima omelan istrinya.

"Boro-boro muasin pah, aku disentuh aja nggak lho….. Yang ada si papa sudah muncrat, terus mama ditinggal tidur. Dasar payah…." rajuk Nisa seraya menyelimuti dirinya, menghangatkan dirinya dari gempuran angin dingin dari AC. Ia tidur menyamping, membelakangi suaminya.

Alif terhenyak dengan ucapan sang istri yang cenderung mengejek. Sejatinya juga dengan Nisa. Dia tidak percaya bisa bicara setajam itu kepada suaminya. Tidak pernah ia berbicara seperti itu. Dan harusnya, sebagai seorang istri yang baik, dia mengerti keadaan suaminya yang capek. Tapi ucapan Margaretha tadi pagi membekas di benaknya, membuatnya tanpa sadar berkata demikian kepada suaminya. Rasa bersalah timbul dalam dirinya.

“Ya-ya aku minta maaf mah, papa kan capek karena kerja seharian dari pagi sampe sore. Terus besoknya kan harus bangun pagi” ujar Alif yang mengiba kepada istrinya. Mendengar alasan Alif, Nisa memang memakluminya. Dia pun berbalik arah kepada suaminya. Ia memandang suaminya dengan tatapan lembut seorang istri.

"Iya iya aku ngerti kok pah. Tapi inget sama janji papa ya, kalau weekend nanti ngelonin mama. Awas aja kalo nggak…." ancam sang istri dengan mimik muka yang menyeramkan. Alif bergidik ngeri melihatnya.

“Siap mah, aku janji nanti bakal ngelonin mama. Yuk tidur” kata Alif sambil mengelusi perut hamil istrinya.

“Iya pah” singkat Nisa.

Alif memeluk istrinya dari belakang. Tangannya ia letakan di perut istrinya. Perlahan keduanya tertidur dengan damai.



Hari Esok

Sesuai permintaan suaminya Nisa pergi ke rumah mertuanya yang berada di Jakarta Timur. Setelah semua urusan rumah selesai, barulah Nisa pergi berangkat. Dia pergi dengan taksi online. Kondisi yang sedang hamil tidak memungkin untuk berpergian dengan motor. Tidak lupa, sebelum berangkat, Nisa meminum vitamin yang diberikan oleh Margaretha. Dia benar-benar menurut dengan perintah dokternya. Sampai detik ini, Nisa belum tahu khasiat sebenarnya dari 'vitamin' yang ia minum.

Ibu mertua Nisa bernama Fatimah. Seorang ibu rumah tangga yang sudah berumur setengah abad lebih sedikit. Meski begitu, Fatimah masih memiliki tubuh yang bagus untuk orang seumurnya. Masih dapat menarik perhatian lawan jenis. Pakaian gamis sehari-harinya, tidak bisa menutup tubuhnya yang montok segar untuk disantap.

Di rumahnya, Fatimah mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga yang bernama Neneng yang berumur 32 tahun. Selain ada Neneng yang tinggal di rumah, ada sepupu Alif yang menumpang dan masih bersekolah menengah atas bernama Rendy. Sedangkan ayahnya Alif, Parman, suami Fatimah adalah seorang kepala pabrik di pulau di wilayah timur Indonesia jadi jarang berada di rumah. Selain itu, dalam kesehariannya, Fatimah menerima jasa menjahit baju kebaya. Jadi dirinya memiliki kesibukan di rumah, sekaligus menambah pemasukan.

Selama perjalanan Nisa menyadari kalau merasakan tubuhnya menghangat panas. Dia sudah mengerti apa yang terjadi. Reaksi juga terjadi di kedua putingnya. Perlahan benda-benda mungil itu mengeras.

‘Aduhhh…. Kenapa lagi aku ini….’ resah Nisa di benaknya.

‘Masa iya sih…., setiap hari aku nafsuan begini…..’ keluh Nisa, mulai tidak tenang. Area kemaluannya terasa mulai turut melembab. Nisa mengerti, kalau nantinya keadaan tubuhnya akan semakin birahi parah.

Jikalau masih di rumah, ia bisa melakukan masturbasi untuk menghilangkan rasa gatelnya pikirnya. Tapi sekarang hal itu tidak mungkin ia lakukan. Apalagi, ia mau pergi bersama ibu mertuanya. Kalaupun menunggu sore terlalu lama. Dirinya tidak yakin bakal bisa bertahan seharian. Seandainya ada suaminya, mungkin dia bisa minta jatah.

Mau tidak mau, Nisa harus mencoba menahan birahi yang perlahan naik, dengan menyibukan dirinya dengan bermain handphone. Untungnya, berkomunikasi dengan temannya, Wilda yang juga hamil sepertinya mampu menahan laju birahi. Berbagi cerita dengan Wilda cukup menyenangkan bagi Nisa. Dan sejenak dia pun bisa sedikit meredupkan gejolak panas di dalam tubuhnya. Perjalanan menuju rumah orangtua suaminya menjadi tidak terasa.

Ketika Nisa sampai di rumah sang mertua, dia disambut oleh ibu mertuanya. Keduanya langsung berangkat menuju pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Pusat. Di dalam taksi online yang mereka tumpangi, keduanya pun berbincang-bincang.

“Nis, kamu kalau kontrol kehamilan ke rumah sakit mana?” tanya Fatimah.

“Aku nggak ke rumah sakit bu”.

Fatimah kaget dengan penuturan sang menantu. Mendengar menantunya tidak pergi ke rumah sakit membuat dirinya bertanya-tanya. Tentu sebagai calon nenek dari janin yang berada di perut Nisa, dia sangat perhatian dengan perkembangan cucunya.

“Lho?! Terus kamu kemana? Masa kamu ke bidan sih, atau jangan-jangan kamu tidak periksa sama sekali kehamilanmu nak?”.

“Nggak kok bu, tetanggaku itu kebetulan dokter kandungan. Jadinya aku kesana periksanya”.

“Tetangga?” tanya Fatimah memastikan lagi. Nisa mengangguk.

“Kalau praktek di rumahan gitu berarti mahal dong nak, terus apa alat-alatnya lengkap di sana?” tanya Fatimah bertubi-tubi.

“Aku nggak bayar bu, dan alat-alat pemeriksaan cukup mumpuni bu, jadi aman-aman saja”.

“Hah?! Gratis Nis?”.

“Iya bu, gratis. Nisa nggak bayar sama sekali. Bahkan sejak awal periksa ke tetanggaku itu, aku belum pernah bayar bu” jawab Nisa mengangguk, seraya mengelus perut hamilnya.

“Kenapa kamu bisa nggak bayar sih?” lanjut Fatimah yang masih tidak percaya.

“Aku awalnya juga bingung bu. Tapi katanya, dia itu suka bantu perempuan-perempuan yang lagi hamil bu. Apalagi aku tetangganya, jadi dikasih gratis. Menebarkan kebaikan gitu deh katanya” jelas Nisa.

“Ouhhhh….Sepertinya orangnya baik ya…." puji Fatimah.

“Banget bu. Sampe aku juga dikasih vitamin secara cuma-cuma. Bayangin bu, Vitamin-vitamin buat kehamilan dikasih gratis juga” lanjut Nisa.

“Ah, beneran kamu Nis?" tanya Fatimah dengan ekspresi kagetnya.

"Nisa nggak boong bu. Sueerrr….dehhhh…" ujar Nisa sambil mengacungkan kedua jarinya bertanda peace.

"Ada juga ya orang kayak gitu ya…." kata Fatimah yang masih tidak percaya.

"Ibu tau ustadzah Kartika kan?".

"Ya tahu lah nak, ibu kan nontonin dia di TV. Kenapa memangnya?".

"Beliau itu tetangga aku lho bu….Dan pas hamil, Ustadzah Kartika juga konsul kehamilannya ke tetangga ku yang dokter itu".

"Wahhhh… berarti bagus dong ya dokternya, sampe-sampe jadi langganan ustadzah Kartika".

"He-eh. Makanya aku percaya sama tetangga aku, sudah gitu orangnya memang juga asyik diajak ngobrol, pokoknya ramah banget deh bu".

“Hmmm…..” gumam sang mertua memikirkan sesuatu.

Sedari tadi mengobrol dengan mertuanya, Nisa ngeh kalau supir sesekali curi-curi pandang melalui spion tengah. Terkadang, Nisa dan supir saling bertemu mata di kaca spion tengah itu. Pria yang jauh lebih tua dari dirinya itu terlihat memperhatikan lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Meski gamisan yang panjang dan agak lebar, tonjolan dada dan perutnya tetap terlihat memancing kaum adam.

Dirinya memang sadar kalau banyak pria yang meliriknya ketika dia masih lajang. Tapi dia tidak menyangka banyak yang tertarik pada saat dirinya yang sedang membelendung hamil. Dari para penjaga townhouse, anak ustadzah Kartika, bahkan sopir taksi online pun memberikan pandangan yang berbeda terhadap dirinya. Membuat dirinya kikuk dan risih, meski ada rasa tersanjungnya. Jadi Nisa mencoba untuk tidak mempermasalahkannya. Seperti kemarin, dalam benak terdalamnya, dia cukup senang juga. Karena walau perutnya sedang membelendung hamil, banyak yang memperhatikan dirinya. Tanda dia sangat menarik dan menawan dalam keadaan apapun.

Dia pun kembali mencoba untuk berbincang dengan mertuanya. Ia sadari ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Fatimah.

“Ada apa bu?”.

“Anu….kira-kira tetangga kamu mau periksa ibu nggak ya? Ibu sudah lama nggak kontrol ‘punyanya’ ibu nih” ujar Fatimah sambil menunjuk ke arah selangkangannya. Nisa mengerti maksud dari Fatimah.

“Hmmm…bisa aku tanyain dulu sih bu, soalnya dia nggak sembarangan terima pasien bu”.

“Ohhh… gitu ya. Bilang saja ke dia, kalau Ibu nanti bayar kok. Nggak usah gratis. Soalnya nggak gampang cari dokter yang cocok dan nyaman lho Nis. Dengar kamu, ibu jadi pengen ketemu sama dokternya. Apalagi tetangga kamu itu langganannya ustadzah Kartika, pasti bagus banget kan…”.

“Bener banget bu…. Nisa beruntung banget”.

Kemudian menantu dan mertua itu melanjutkan perbincangan mereka dengan membahas barang-barang yang hendak dibeli, selagi mobil yang mereka tumpangi menuju tujuan mereka. Tentu selama itu, Nisa masih dalam keadaan birahi. Beruntung dia masih bisa bertahan.



Nisa dan Fatimah sampai pada tujuan mereka, sebuah pusat perbelanjaan grosir di khalayak pusat Jakarta yang juga terkenal sebagai daerah pecinan. Setelah membayar taksi online, keduanya langsung turun dan berkeliling mencari toko-toko perlengkapan bayi. Selain mencari untuk bayi Nisa dan Alif, mereka juga menyambangi beberapa toko baju, termasuk juga pakaian muslim. Biasalah, perempuan kalau sudah lihat baju pasti matanya hijau.

Sudah hampir satu jam lebih Nisa dan Fatimah berkeliling. Toko demi toko mereka hampiri, mencari pakaian serta perlengkapan bayi yang sekira cocok. Tawar menawar sengit dengan nci-nci tak terelakan. Dengan kegigihan, Nisa dan Fatimah pun mendapatkan harga yang mereka mau. Walau terkadang, mereka juga kalah dalam perdebatan harga.

Selama bersama mertuanya, Nisa masih merasakan desiran di dalam tubuhnya, yang sejatinya semakin naik. Bahkan lama kelamaan semakin parah. Berkali-kali kedua pahanya saling menggesek, mencoba meredakan rontaan vaginanya yang berkedut hebat minta disentuh manja dan enak. Nisa juga bisa merasakan kedua putingnya sudah mengeras maksimal bak batu hingga menusuk BH yang ia pakai.

Fatimah pun menyadari ada sesuatu dengan kondisi menantu perempuannya. Dia bisa melihat Nisa yang terengah-engah, keringat pun banyak bermunculan di wajah putih cantik sang menantu. Cara jalannya pun agak aneh, terkadang Nisa sampai ketinggalan dengan dirinya yang lebih tua.

“Kamu kenapa nduk? Kamu sakit kah? Ibu perhatikan cara jalan kamu aneh nak” tanya Fatimah khawatir.

“Nisa nggak apa-apa bu. Cuma bawaan hamil aja, jadi nggak bisa cepet-cepet jalannya” ujar Nisa, sambil mencoba tegar di depan Fatimah. Ia tidak ingin mertuanya curiga kalau dirinya sedang sangat terangsang dengan hebatnya. Meski wajar menurut Margaretha, tapi tetap saja malu kalau orang lain tahu pikir Nisa.

“Kalau kamu capek, kita bisa istirahat dulu Nis".

"Tidak usah bu, kita lanjut aja".

“Benar Nis?” tanya lagi Fatimah. Nisa mengangguk, tanda tidak apa-apa untuk melanjutkannya keliling mereka.

“Lagipula kata tetanggaku yang dokter, kalau lagi hamil ini harus banyak gerak bu” jelas Nisa.

“Ya sudah… Tapi kalau kamu capek bilang aja sama ibu, jangan dipaksakan ya. Kasihan kamu sama anak kamu nanti” wanti sang mertua yang penuh perhatian.

Nisa mengangguk seraya tersenyum, berusaha meyakinkan Fatimah kalau dirinya tidak ada-apa. Kemudian keduanya melanjutkan acara berbelanja mereka.

Bermenit-menit telah berlalu, tubuhnya sudah semakin panas. Dan sialnya bagi Nisa, lama kelamaan rasa gatal di vaginanya tidak lagi bisa ditahan olehnya. Birahi yang sudah ditahan menjadi menumpuk sedari tadi pagi, membuat pikiran rasional dirinya perlahan terkikis. Keringat pun sudah mendempul membasahi baju gamis yang Nisa kenakan. Celana dalamnya bukan cuma lembab lagi, tapi juga sudah terasa basah. Paranoia tatapan lelaki terhadap dirinya pun bagaikan minyak yang di siramkan ke Api. Menyulut birahinya semakin membara.

‘Ahhhhh….iniku gatel banget sih…..minta digarukin….” rajuk Nisa.

‘I-ini kayaknya lebih parah dari kemarin deh….’.

Sembari mengekori Fatimah, Nisa mencoba menekan selangkangan dengan ujung jarinya, mengenai bibir vaginanya. Dan itu fatal. Akibatnya sentuhan jarinya, desahan merdu spontan terlepas dari mulut mungil Nisa “Ohhh..….”.

Benar-benar suara yang indah dan eksotis. Dan saking nyaringnya, orang-orang yang berada di sekitarnya pun menoleh terkejut kepadanya, termasuk ibu dari suaminya. Tidak sewajarnya seorang wanita berjilbab dan bergamis lebar, bersuara seperti itu di muka umum. Hingga wajar orang-orang disana memperhatikannya dengan tatapan yang aneh. Nisa merasa begitu malu. Wajahnya yang memerah karena terangsang bertambah merah karena rasa malunya.

Fatimah masih menatap Nisa tidak percaya. Ia hampiri Nisa yang ketinggalan di belakangnya.

“Nisa?” tegur Fatimah.

“Kamu kenapa?” lanjutnya.

“E-eh….nggak apa-apa bu, cuma pegel ajahhhh….” bohong Nisa. Wajahnya terlihat sangat sudah merah.

Fatimah terdiam memperhatikan menantunya. Ia melihat Nisa seperti sedang sangat kesusahan. Dia pun tidak tega melihatnya. Kemudian memutuskan untuk mengajak Nisa beristirahat dulu di foodcourt di mall tersebut. Dirinya sendiri juga sudah lumayan capek, mengingat umurnya sudah tidak lagi muda.

"Nis, kita ke foodcourt dulu aja ya….kita istirahat dulu, ibu juga capek" ajak Fatimah.

"I-iya deh bu” setuju Nisa.

Mereka pun naik ke lantai paling atas, biasa tempat foodcourt berada. Sambil menenteng belanjaan, Nisa semakin kesusahan untuk berjalan normal. Rasa gatal dari memeknya membuat kakinya lemah kelimpungan.

Nisa semakin terangsang, kemaluan ingin dimanja sekarang juga. Sentuhan ujung jarinya di sana tadi, telah mengirimkan gelombang kejut yang nikmat ke seluruh tubuhnya. Dia pun menjadi menagih. Rasanya dirinya ingin terus menyentuh bagian intimnya.

‘Aduhhhh…. Gimana ini….” batin Nisa bingung. Rasa gatal dan denyutan di vagina semakin membabi buta. Ditengah-tengah pikiran yang sedang kalut karena sange yang hebat, terbesit di untuk bermasturbasi di toilet.

‘Ah gelo! Masa aku sampe harus gituan disini sih….”. Batin Nisa bergejolak. Tidak pernah ia bayangkan dirinya bermasturbasi di tempat yang tidak biasa, yaitu toilet mall. Namun nafsu birahi yang sudah terbakar hebat, dan memeknya yang berdenyut-denyut kuat, membuat untuk nekat. Ingin dirinya menuntaskan hasratnya.

Tekadnya sudah bulat. Lantas dia pamit kepada Fatimah ke kamar kecil “Bu-bu a-aku mau ke toilet dulu ya”.

“I-iya nak, tapi kamu nggak apa-apakan? Perlu ibu temani?” tawar Fatimah khawatir melihat Nisa yang seperti menahan sesuatu. Dia tidak ingin menantu dan cucunya kenapa-kenapa.

“Ng-nggak usah, nggak usah bu. Nisa cuma sakit perut aja kok…..” bohong Nisa. Tidak mungkin dirinya membiarkan ibu mertuanya ikut. Bisa-bisa dia gagal untuk memanjakan vaginanya di toilet.

“Ya sudah. Kalau ada apa-apa, kamu bilang ke ibu. Ibu tunggu disini ya nak".

Nisa mengangguk pelan, lalu tanpa bicara lagi dia langsung meninggalkan Fatimah sendirian foodcourt. Dengan langkah yang terburu-terburu, Nisa mencari toilet di pusat perbelanjaan tersebut.

Fatimah perhatikan Nisa yang berjalan meninggalkan dirinya. Ia merasa heran dengan gelagat aneh dari menantunya. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh istri dari anaknya. Tapi apa pikirnya? Seperti bukan sakit perut biasa duga Fatimah. Dia berharap menantunya tidak kenapa-kenapa.



Setelah bersusah payah, sambil menahan rasa gatal di kemaluannya yang tidak terkira rasanya, akhirnya Nisa sampai di toilet khusus perempuan. Lalu ia masuk, dan melihat ada beberapa bilik. Keadaan toilet yang sepi karena hari kerja, membuat dirinya lega dan sumringah. Lantas dia memilih bilik yang menempel dengan tembok. Agar tidak diganggu dari arah kiri dan kanan pikir Nisa. Dan ia masuk ke dalam bilik, langsung menyingkap gamisnya hingga pinggul. Kemudian ia raba celana dalamnya.

Ia terperangah kaget, merasakan betapa basah celana dalamnya. Tidak cuma basah, tapi juga terasa betapa lengketnya. Penasaran, telapak tangannya melanjutkan mengusap permukaan selangkangannya. Alhasil klirotisnya yang sudah bengkak menonjol keras tergesek lembut dari luar celana dalam yang ia pakai. Bahan dalaman yang lembut malah memberikan sensasi manja di titik sensitifnya.

"Uhhhh…..". Nisa menengadah, rasa nikmat yang menjalar akibat sentuhan yang di lakukan oleh tangannya sendiri.

“Hgnhhh…..” desau Nisa lagi, seraya terus mengusap permukaan celana dalamnya yang semakin basah. Setiap usapan, membuat kemaluannya yang sudah basah makin becek dengan lendir kewanitaan yang terus merembes keluar bak banjir bandang.

Karena sudah terangsang tinggi minta di puaskan, nalar Nisa pun sudah tidak berjalan lagi dengan semestinya. Yang ada di dalam pikiran Nisa adalah dirinya harus puas, dirinya harus Orgasme!

Tidak ada lagi kebimbangan di dalam dirinya. Tidak ada lagi yang menahan gerakan tangannya. Ini akan menjadi pengalaman yang pertama kali bagi Nisa untuk masturbasi di tempat umum seperti ini. Dia tidak peduli lagi, yang penting baginya sekarang adalah vaginaya untuk muncrat-muncrat keenakan.

Wanita berjilbab yang sedang hamil itu tenggelam dalam kenikmatan duniawi yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia sandarkan punggungnya di pintu bilik, sambil terus meraba-raba kemaluannya dari celana dalamnya. Sapaun demi sapuan telapak tangannya ia layang kan ke kemaluannya dari luar celana dalam. Alhasil vaginanya terus memproduksi lendir kewanitaannya.

Kurang…Nisa merasa kurang…. dirinya ingin lebih sekedar sentuhan dari luar celana dalam. Ia ingin menusuk-nusuk kemaluannya sekarang juga. Lantas wanita yang sedang hamil empat bulan itu menyelipkan tangannya kedalam celana dalamnya.

Telapak tangannya menelusuri turun merasakan rambut kemaluannya yang cukup lebat karena sudah lama tidak dicukur. Lalu sampailah dia di permukaan kemaluannya yang sudah becek itu, yang terus mengeluarkan pelumas alaminya. Yang kemudian langsung membasahi jari-jarinya yang melewatinya. Ia raba-raba kemaluan beceknya.

Nisa tarik keluar tangannya. Ia pandangi jari-jarinya yang basah lengket karena cairan kewanitaannya. Bahkan cincin perkawinannya pun ikutan terbaluri lendir lengket, saking becek memeknya. Cincin nikahnya Nisa menjadi terlihat mengkilap silau di bawah lampu toilet yang terang. Melihat itu yang ada Nisa semakin bernafsu. Baginya entah kenapa pemandangan itu membuat dia semakin bergairah. Nisa bingung, tapi tidak peduli lagi. Yang penting adalah dia ingin dirinya serta vaginanya dipuasi.

Mengingat dirinya dalam keadaan hamil, secara hati-hati dan pelan ia meletakan tubuhnya di tutup closet. Ia cari posisi yang nyaman untuknya. Sekiranya sudah pas, ia membuka kedua kakinya, mengangkang. Pelan, ia usap keduanya paha mulusnya, mencoba merangsang dirinya lebih jauh lagi.

Lalu ia singkap celana dalam berendanya ke samping. Udara langsung menerpa permukaan vaginanya, membuatnya bergidik merinding. Tangannya menyisir kemaluannya yang sudah terpampang bebas. Akhwat yang sedang hamil itu mulai memanjakan belahan vaginanya yang sudah basah itu dengan jari-jarinya yang lentik. Dia usap-usap dengan gemasnya. Tidak lupa dengan biji kenikmatan yang sudah menonjol menantang, ia turut usapkan. Sesekali ia pijit benda mungil itu. Setiap tekanan, dirinya tersentak kecil.

"Aaduhhh…ohhhh….enakkk…." racau Nisa spontan.

“Uhhhhh…..”. Sadar dia berada di toilet mall, Nisa menggigit kukunya, guna menahan desahan yang tidak tertahankan lagi. Seandainya dia berada di rumah, dirinya bisa bebas mendesah-desah. Sekelebat kewarasannya, dia masih berharap orang-orang yang berada di luar tidak mengetahui apa yang ia tengah lakukan. Apa kata orang, kalau di salah satu bilik toilet ada wanita hamil yang berjilbab lebar sedang bermasturbasi dengan dahsyatnya. Betapa malunya nanti dia dan keluarganya.

Berangsur-angsur gerakan tanganya semakin cepat. Bibir vaginanya serta klitorisnya menjadi digesek-gesek kasar olehnya. Pikiran jernih sudah tidak lagi yang bernaung dalam dirinya. Yang ada lah hanya gagasan untuk menuntaskan hasratnya yang membara berapi-api.

‘Bantuin aku mas…..’. Cincin perkawinannya ia gunakan juga menggesekan gelambirnya vaginanya dan klitorisnya.

“Nghhhh…okhhhhhh”.

“Ugghhhhhh…..”.

Tidak puas dengan usapan, ia selipkan jari telunjuk ke celah kenikmatannya miliknya yang basah itu. Jari mungilnya itu membelah lubang peranakannya. Ia rasakan sendiri bagaimana dinding vaginanya yang hangat nan sempit, meremas-remas lembut jarinya.

Nisa mulai memaju mundurkan jarinya dengan pelan-pelan. Ia resapi jari mungilnya membelah liang vaginanya, yang beberapa bulan lagi, bayinya akan keluar dari situ. Pelan namun pasti, kecepatan mengocok memeknya sendiri semakin cepat, dan cepat.

*Cleck Cleck Cleck Cleck. Bunyi kecipak basah pun terdengar nyaring, memenuhi bilikinya. Terus-terus ia lakukan, menusuk nikmat dirinya sendiri. Ia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi.

Jari yang tadi dia gigit untuk meredam suara desahan, ia tarik untuk memainkan payudaranya yang butuh perhatian juga. Agar tidak menghalangi dia untuk memuaskan dirinya, dia gigit ujung gamisnya.

“Hnghhhhh..…” geram Nisa yang keenakan dengan kocokan jarinya sendiri.

*Tok Tok Tok Tok.

Jantung Nisa berdegup keras kala suara ketukan mengetuk pintu biliknya. Nafasnya seolah pergi dari dalam dirinya. Seketika dia menghentikan kegiatan tusuk menusuk enak vaginanya. Dirinya tercekat diam di atas dudukan toilet, kebingungan untuk bereaksi.

“Haloooo….ada orangggg….” sapa orang yang tidak dikenal Nisa dari luar bilik dimana dia berada. Nisa yang masih dalam keadaan kaget pun tidak bisa menjawab orang tersebut.

“Haloooo….” lagi orang itu bersuara sambil mendorong pintu bilik Nisa berada. Jantung Nisa seakan lepas dari tubuhnya. Seandainya pintu tidak terkunci, dirinya akan tertangkap basah sedang mengangkang lebar, dengan jari tertancap dalam-dalam di vaginanya.

Balik ke realitas, sekuat tenaga, menekan otaknya agar berfungsi lagi, Nisa menjawab lantang “A-adaaaa….”.

“Ohhh… maaf….” ucap orang itu lagi, yang kemudian terlihat pergi dari balik pintu biliknya. Nisa bernafas lega. Dirinya sempet ragu untuk melanjutkan masturbasinya. Tapi karena nafsu yang masih terus bergejolak tinggi, dan demi rasa kenikmatan, ia kembali memainkan jarinya di liang cintanya yang gatal itu.

Tidak puas dengan satu jari saja, kini ia tambahkan jari tengahnya. Rasa nikmat yang mendera pun berlipat ganda. Suara langkah-langkah kaki dari luar biliknya menemani dirinya memuaskan diri. Hilir lalu lalang orang masuk keluar toilet, tidak sadar ada sosok wanita hamil berjilbab yang sedang memuaskan dirinya dengan cara memainkan vagina mungilnya. Sensasi main di luar rumah dan takut ketahuan cukup membuat Nisa bergairah semakin tinggi.

Nisa bayangkan kemaluan suaminya. Ia rindu dengan benda kesayangannya itu. Pemilik sah dari vaginal mungil Nisa. Terakhir kali penis Alif hanya bersemayam di mulutnya. Sudah lama tidak pernah berkunjung ke liang cinta sang istri, tempat seharusnya. Dalam benaknya ia gambarkan kalau jari-jarinya sendiri adalah kemaluan suaminya yang berukuran standar itu. Walau begitu, selama ini Nisa cukup terpuaskan.

“Massss…Aliffff……” desah Nisa memanggil suaminya.

Nisa masih setia meremas-remas buah dadanya yang masih di berada di balik gamis. Silih berganti ia meremas-remas benda kenyal yang semakin hari bertambah besar seiring kehamilannya. Ia bisa rasakan puting-puting yang keras bagai batu menusuk BH-nya. Ingin rasanya, dirinya lepas semua pakaian. Tapi Nisa sadar dengan keadaannya, maka ia urungkan niatnya. Meski begitu gamisnya dan jilbabnya sudah acak-acakan. Bahkan basah dengan peluh keringat yang terus membanjir.

Namun secara pelan bayangan Alif digantikan oleh sesosok lain. Terbesit Amos sang penjaga townhouse yang tua, namun gagah dan hitam menyeramkan. Dirinya kaget, lalu menghentikan aktivitas kocok-mengocoknya.

‘Kenapa….’.

‘Kenapa aku bayangin pak Amos lagi….’ batin Nisa. Dirinya bingung. Tapi rasa tanggung dan rasa gatal di kemaluannya membuat dia membiarkan apa yang terbesit di pikirannya. Otak Nisa yang sedang mesum itu. Terus ia bayangkan bergantian antara Alif dan Amos. Ia bayangkan bentuk kemaluan penjaga townhousenya itu. Rasa penasaran dan nafsu semakin membuat cepat untuk orgasme.

Bermenit-menit kecil berlalu, rangsangan orgasme ia rasakan. Lantas ia percepat kocokan di vagina mungilnya.

“NGHHHHH……Aghhhh….” geram Nisa tertahan ketika orgasme. Ini yang ditunggu-tunggu olehnya, klimaks yang nikmat datang menghantam tubuh hamilnya. Tubuhnya mengejang hebat, seakan aliran listrik menelusuri dirinya. Ia tarik jarinya, lalu menekan klitorisnya dengan kuat.

*Cret Cret Cret Cret.

Lubang cinta Nisa bertubi-tubi memuncratkan cairan orgasme dengan dahsyat, hingga terlontar jauh sampai mendarat di pintu toilet. Setiap semprotan yang keluar, tubuhnya terkejut-kejut hebat. Perlahan muncratannya melemah. Terakhir membasahi penutup kloset.

“Hh…hh…hh…”. Nafasnya terengah-engah berat. Badannya terasa lelah merontok lemas, tapi ia senang dan puas.

“Capek….tapi enak banget..…..” lirih Nisa, puas dengan orgasme yang ia rasakan. Dahaganya terpuaskan. Gatal di bagian intimnya terobati. Bahagianya Nisa, walau masturbasi di tempat yang tidak masuk akal.

Salah satu orgasme ternikmat yang pernah ia rasakan pikirnya. Bahkan apa yang dilakukan oleh Margaretha juga enak menurutnya. Ya, Nisa akui apa yang dilakukan Margaretha kemarin sangatlah memuaskan, dan nikmat.

Nisa terdiam di atas kloset meresapi nikmat yang baru ia saja rasakan. Dia tatap pintu bilik yang basah kerana muncratan memeknya, sampai-sampai lantai di bawah pintu menjadi becek karena tetesan cairan orgasmenya. Ia heran bisa melakukan itu. Sensani main di luar, membuatnya muncrat dengan hebat. Hampir 30 menit Nisa berada di toilet. Dia berpikir untuk segera kembali ke mertuanya, sebelum membuat orang tua suaminya itu khawatir akan terhadap dirinya.

Tapi sejenak ia beristirahat sampai tenaganya pulih. Lima menit kemudian barulah dia segera berbenah untuk kembali ke Fatimah. Karena celana dalam yang begitu basah dan lengket, jelas tidak nyaman lagi dipakai olehnya. Ia putuskan untuk tidak mengenakannya.

Ada perasaan aneh kala tidak memakai dalaman yang melindungi vagina dan pantatnya. Belum pernah seumur hidupnya dia berjalan-jalan di luaran rumah tanpa celana dalam. Tapi untungnya dia memakai gamis yang lebar, jadi orang tidak bakal sadar kalau dirinya tidak memakai apa-apa di baliknya pikir Nisa.



Sekembalinya Nisa, menyusul Fatimah yang sedang terduduk sendiri di meja foodcourt. Dia lihat orang yang melahirkan suaminya itu sedang menikmati es teler. Lelah habis orgasme, Nisa jadi pengen juga. Jika tadi dahaga seksualnya terpuaskan, sekarang dahaga di tenggorokannya yang harus dipuaskan.

“Nisa kamu lama banget di toilet? Sampai ibu makan bakso duluan” tanya Fatimah.

“Hmmm…. Tadi ngantri bu….biasa lah bu, kan kalau toilet perempuan selalu rame, sampe antriannya ngular bu. Terus kan akunya sakit perut, jadi lama deh” bohong Nisa.

Tapi di sisi lain penjelasannya masuk akal bagi Fatimah, lantas dia cuma berucap “Ohhhh….”.

“Tapi kamu sudah legaan?” tanya Fatimah.

“Ehh….sudah bu. Nisa sudah nggak sakit perut lagi”. Jelas yang dimaksud dengan Fatimah adalah masalah sakit perut yang dialaminya oleh menantunya. Padahal yang lega adalah vaginanya habis terkencing-kencing enak.

“Tapi kenapa kamu kayak basah kuyup gitu nak?”.

“Hehehe… toiletnya panas bu. Tadi juga, Nisanya sakit perut banget”.

“Kamu kenapa toh, bisa sakit perut begitu?”.

“Entah buk, mungkin Nisa salah makan aja”.

“Hmmmm….yauda kamu pesen makan dulu gih, sudah kesiangan lho nak. Terus habis itu, kita cari mushola ya, sholat dzuhur”.

“Iya bu”.

“Kamu mau apa? Biar ibu saja yang pesankan, tapi jangan yang asam-asam dulu. Takut sakit perutnya kambuh lagi” ujar Fatimah penuh perhatian.

“Aku mau nasi goreng aja bu, sama kalau boleh aku juga mau es teler kayak ibu… hehehe, liat ibu makan, Nisa jadi pengen juga” kata Nisa.

Fatimah mengangguk, lalu pergi untuk memesankan pesanan menantunya. Nisa merasa berdosa hari ini, karena telah berkali-kali bohong terhadap ibu kandung dari orang yang disayanginya.

Selesai makan siang, mereka pergi ke mushola yang berada di mall untuk sholat dzuhur. Setelahnya, mereka kembali berbelanja sampai waktu mendekati sore. Lalu mereka pulang kerumah Fatimah. Nisa menunggu di jemput suaminya disana, sekalian makan malam bersama di rumah mertuanya.

Bersambung…

 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd