Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Copas - dr tetangga sebelah]Antara Istriku, Iparku dan Pembantuku

makasih untuk suhu semua yg sudi mampir....
sebagai hadianya nubie update ceritanya
 
Ine kembali dari kampung membawa banyak berita, pertama mbah sudah agak baikan. Lalu masalah kakak keponakan kami, Andri, yang digugat cerai oleh istrinya, mbak Yuni kecil (kami menyebutnya begitu, karena kakaknya mas Andri juga mempunyai nama sama, Yuni dan kita menyebutnya Yuni gede) padahal mereka sudah dikaruniai dua anak. Dan dia bilang mbak Yuni gede juga pulang kampung. Serta dalam waktu dekat, pas liburan anak kami, istriku pengin main ke rumah mbak Yuni gede yang ada di kota lain, bersama rombongan dari kampung. Selain dalam rangka peresmian rumah baru mbak Yuni, juga istriku ingin ngajak anakku main di Trans Studio. So be it. Untuk urusan berlibur memang aku selalu memanjakan dan menuruti keinginan istri tercintaku, walau tentunya budget yang harus kukeluarkan tidak selalu sedikit.

Malam itu, setelah membacakan dongeng kesukaan anakku, aku mengantarkannya tidur, besok adalah hari besar buat dia. Naik pesawat ke rumah budhenya. Dia selalu suka pesawat, dan sedikit terobsesi dengannya. Dari gambar wallpaper di kamarnya, game-game kesukaan dia, mainan remote control sampai paper craft kerajinan tangan dia (well, dalam hal ini aku yang bikin, atas supervisinya, hehehe) semua tentang pesawat. Dan aku juga selalu encourage apapun yang menjadi passion dia, aku tidak pernah membatasi, malah selalu aku dorong dengan info-info dan hal-hal yang membuatnya lebih bisa mengekplorasi kreativitas di hal apapun yang dia sukai. Dan di umurnya yang baru 4 tahun itu, dia juga termasuk salah satu penggebuk drum terbaik di tempat les dia. Setiap kali melihatnya, kebanggan selalu mengharuku. Tak bisa aku berhenti bersyukur karenanya.

Malam itu juga, setelah anakku tidur. Sebagai ritual karena akan meninggalkanku seminggu, aku menggenjot dengan semangat istriku di sofa ruang tamu, kita memang sering sembarangan dalam melakukan kegiatan sexual. Mungkin juga karena tampat-tempat itu terasa lebih erotis sehingga membuat libido kami lebih terpancing. Dan seperti kejadian dahulu, Lastri mengintip kami sambil masturbasi. Kali ini pandangan mata kami bertemu, dan dia hanya tersenyum penuh arti kepadaku sambil mengobel Vaginanya dengan… ****!! itu dildo milik istriku! Dildo itu sengaja aku beli untuk variasi sex kami. Anak kecil yang nakal!!

Keesokan harinya, istriku berangkat. Dia akan terbang dari kota S bersama beberapa orang dari rombongan dari kampung. Diantar oleh mas Dedy, Lastri kali ini ikut juga sekalian pulang ke kampung karena dia bilang orangtuanya juga sakit. Heran, banyak banget yang sakit akhir-akhir ini.

So here I am, home alone, bukan karena aku tidak bisa mengajukan cuti dari kantor, tapi aku prefer mengambil cuti itu pada hari lebaran. Kurasa itu lebih logis daripada menghabiskannya di tempat mbak Yuni dengan kegiatan yang itu-itu aja. Sebenernya aku mengharapkan Rika datang menemaniku pada masa ini, hanya pada detik terakhir dia menginformasikan bahwa permohonan cutinya dari kantor di ACC, so dia ikut dalam rombongan wisata keluarga tersebut. That makes me really home alone. Walau, tidak menutup kemungkinan aku mengajak sekretarisku, Umy, untuk bobo nemenin aku di rumah, atau sebaliknya di apartemen dia, atau dalam sekali call aku dapat mengundang ABG-ABG simpananku kalau sewaktu waktu libidoku bangkit, so it’s not a big deal for my sexual life actually.

Hari ke-2 setelah kepergian anak dan istriku untuk berlibur di rumah mbak Yuni. Terus terang aku kangen mereka. Aku bahkan tidak diberi kesempatan bicara agak lamaan oleh anakku pada saat aku telepon, dia masih larut dalam euphoria liburan di kak Priya, kakak ponakan favoritnya. Priya ini anak mbak Yuni gede, satu tahun lebih tua dari anakku, dan keduanya share interest yang sama: Pesawat. Ya udah, papanya udah gak kepakai dalam tahap ini. Aku hanya tersenyum sendiri waktu nyetir pulang, membayangkan betapa cerita anakku pasti akan sangat heboh kalau dia sudah kembali nanti. Di depan gerbang, aku kaget ada seorang yang mendeprok di depan gerbangku.

“Mbak Yun?” sapaku kaget setelah turun dari mobil dan melihat wajahnya.

Mbak Yuni inilah istri kakak ponakanku, mas Andri, yang aku ceritakan menggugat cerai dia karena mas Andri sekarang dibutakan oleh pihak ke tiga. Ada perempuan lain di bahtera rumah tangga mereka.

“Dik…” sapanya lirih. “Aku kemarin sudah sms sama dik Ine kalau mau datang ke sini, dan dik Ine bilang gak pa-pa…” lanjutnya.

“Naik apa, mbak? Kok tidak nelpon? Kan aku bisa jemput.” tanyaku lebih lanjut.

“Nggak pa-pa, dik, takut ngerepotin.” jawabnya cepat.

“Gak pa-pa, mbak. Gak usah sungkan gitu ah, mbak, kaya dengan siapa aja, aku kan adikmu.” jawabku.

“Mungkin sebentar lagi bukan,” desisnya lirih sambil berpaling. Dikiranya aku tidak mendengar.

Setelah memasukkan mobil ke garasi, aku mempersilahkan mbak Yuni untuk masuk rumah dan segera membuatkannya minuman dingin. Mbak Yuni ini sebenarnya seumuranku, orangnya kecil mungil dangan kulit putih. Pakaiannya selalu rapi, dia mengenakan ******, dan menurutku, mas Andri beruntung mendapatkan istri secantik dia. Sebenernya dia anak orang kaya, hanya papanya mengalami kebangkrutan tidak berapa lama setelah dia menikah dengan mas Andri. Karena tidak tahan sama tekanan, papanya meninggal sakit jantung dan mamanya menyusul tidak lama setelah itu. Kasihan juga, sekarang hanya tinggal dia dan kakak kandung dia yang bertempat tinggal di Batam.

“Tadi mbak naik apa? Kok mbak tidak nelpon, kan saya bisa jemput mbak, atau gimana…” aku mengulangi pertanyaanku yang tadi belum dia jawab dengan penuh.

“Aku naik bis, dik. Aku sudah sms sama dik Ine, dan dia bilang gak pa-pa aku sementara numpang di Semarang. Di kampung aku sudah tidak kuat, dik, melihat mas Andri…” jawabnya. “Dan maaf kalau tadi tidak nelepon kamu, sebenernya mau nelepon, hanya… pulsaku habis.” lanjutnya lirih.

“Oo, gak pa-pa, mbak. Hanya seperti aku bilang tadi, kalau mbak nelepon kan aku bisa jemput di terminal, atau sedikit persiapan… eh, anak-anak ikut eyangnya berlibur ke rumah mbak Yuni gede ya, mbak?” kataku lagi mengalihkan pembicaraan. Aku tidak mau dia selalu teringat kampung, sementara dia mencoba ‘lari’ untuk menenangkan pikiran. Well, kelihatannya aku selalu tahu.

“Iya, anak-anak ikut.” jawabnya pendek.

Aku memandangnya dengan sangat iba, bener-bener kakak ponakanku, si Andri itu memang gila. Aku juga bukan laki-laki baik-baik, tetapi… menelantarkan anak istri jelas tidak ada di dalam kamusku. Kami bertemu pandang, aku sadari betul mata mbak Yuni tampak sangat capek dan sayu. Padahal wajahnya manis, mungkin lebih manis dari istriku. Sebenarnya mbak Yuni ini pintar berdandan dan merawat diri, dulu pas pertama kali bertemu (waktu aku melamar Ine) dia nampak segar dan energik, sekarang benar-benar terbalik 180 derajat, terlihat capek dan layu. Aku sadar bebannya pastinya sangat berat.

“Eh, mbak Yun mandi dulu aja ya, tak siapin makanan. Aku tadi cuman beli seporsi sih, tapi cukup kok kita makan berdua. Nanti aku masak sedikit, atau mau makan di luar?” kataku lagi berusaha seriang mungkin.

“Sudah, apa adanya aja, dik, tidak usah repot-repot.” jawabnya.

“OK, mbak Yun mandi, aku masak, trus kita makan dulu sebelum mbak Yun istirahat, kelihatannya capek banget kakakku yang paling cantik ini.” kataku menggoda.

“Hmm,” dia hanya tersenyum simpul.

“Nah, gitu dunk, senyum dikit, kan tambah manis… jangan lesu terus geto, ntar cepet tua lho. Santai aja, mbak, ntar juga semua ada jalannya. Nah, sekarang mandi aja dulu. Tak ambilin handuk sekarang, nyonya?” godaku lebih lanjut. “Eh, btw, kok gak bawa tas? Maksudku, baju ganti dll?” tanyaku lagi.

Dia malah tertawa terbahak-bahak, aku sampai kaget, udah stress berat kali mbakku yang satu ini. Ke arah gila mungkin? Serem juga! “Iya, tadi lupa cerita…” katanya. “Kelihatannya tasku ketinggalan di terminal, tadi dari rumah aku bawa koper, tapi dasar pikun, pas mau naik bis jurusan ini, cuman tas kecil yang aku bawa…” lanjutnya.

Eh? Aku bengong… tapi pernyataannya tadi benar-benar menegaskan pikirannya yang kacau dan tidak fokus. “Eeh, y-yang bener, mbaK?” tanyaku masih kurang percaya.

“Sumprit suwer kewer-kewer.” jawabnya mencoba bercanda. “…dan kenapa aku gak nelpun kamu, dik… karena sampai di bis, aku juga kecopetan, hp dan dompetku ilang.” lanjutnya sambil menunjukkan tas kecil dia yang robek, seperti bekas di silet.

Eh? Aku tambah bengong, sambil garuk-garuk kepala ala Wiro Sableng. “Hahahahaha…” tawaku keras-keras. “Wedew, dengan begini, aku nobatkan mbak Yun sebagai orang ter-sial of the day deh. Ntar piagam dan piala menyusul. Wedew… kacaw!” candaku lebih lanjut.

Kami berdua tertawa, mungkin dengan pemikiran yang berbeda di otak kami, jujur aku tidak melihat apa yang membuat dia tertawa, karena yang nampak di mataku hanyalah wajah kosong dan mata sayu yang kehilangan minat akan hidup. Benar-benar kasihan.

Aku bilang gak usah dipikirkan, ntar kalo cuman HP gampang, tak cariin lagi, trus masalah surat-surat yang di dompet ntar kita urus, tapi katanya cuma dompet uang yang hilang, semua surat-surat ada di tas.

“Nah, apa kubilang? Kalau rejeki gak akan ke mana…” kataku mencoba bercanda lagi. “Trus abis mandi, mbak Yun mau make baju apa? Jangan telanjang lho, karena di rumah ini cuman ada kita berdua. Aku takut kagak nahan.” lanjutku menggoda dia.

“Yee… ya minjem baju Ine to, kalau boleh.” jawabnya masih sambil senyam-senyum.

“Boleh lah, apa sih yang gak boleh buat mbak yu kita yang paling maniizzz ini?” jawabku masih becanda. Dia kembali tersenyum sambil tersipu-sipu

Aku masih mengaduk-aduk telur orak-arik saat mbak Yun keluar dari kamar mandi yang ada di kamarku dengan dibalut daster tidur cream milik istriku dari sutra tipis tak berlengan yang sedikit kebesaran dengan ‘V’ neck rendah dan panjangnya hanya sepanjang atas lutut (harusnya ukuran baju itu sepaha, tapi karena mbak Yun bertubuh kecil dan pendek, jadinya agak kedodoran di bawah).

Rambutnya basah karena habis keramas. Aku sedikit tercengang, kalau tidak berkerudung, kakak iparku ini ternyata manis beneran. Pandanganku turun ke dada kecil dia, lalu ke pinggulnya. Kaos tidur ini terbuat dari bahan sutra yang tipis (ya kan buat tidur, jadi biar adem), bisa kulihat tonjolan putingnya yang mencuat mungil di atas dadanya yang juga mungil dan di pinggulnya tidak ada siluet karet CD, dengan begitu aku berasumsi, mbak Yun tidak memakai sepotong baju dalam pun di balik kaos tidur istriku yang dia kenakan saat itu.

Aku menelan ludah. Di dalam otak kepala atasku bilang: Jangan! Jangan! JANGAN! Inget! Eling! Nyad Tapi di dalam otak Penisku: Hmmm, aku gak tahu apa yang ada di sana?! Si Penis langsung berdiri. Tegak! 100%! SIAP GRAK!!

“Duduk, mbak, nih sudah siap.” kataku.

Dia langsung duduk dan makan dengan lahap, kukira dia betul-betul lapar. Aku hanya menatapnya sambil tersenyum, aku lega dia sudah tidak canggung dan sungkan denganku lagi karena memang aku sebelumnya tidak begitu dekat dengannya.


Habis makan dia langsung berdiri. “Biar aku yang nyuuci piringnya, dik.” katanya, mungkin khawatir aku masih sungkan dan mencuci piring bekas makan kami itu sendiri.

“Waduh, mbak, gak usah… gak usah sungkan maksudnya. Heheh... Silahkan, tolong di cuciin, sekalian wajan bekas gorang telur tadi ya, dan please jangan lupa juga piring bekas sarapan tadi pagi, hehehehe…” jawabku cengegesan.

“Dasar…!” katanya sambil tertawa dan membawa semua piring ke tempat cuci piring lalu mulai membilasnya.

“Yap, giliranku mandi.” kataku sambil melompat dari kursi.


***
Aku keluar dari kamar, sudah mandi dan memakai cologne kesukaan istriku. Ine selalu bilang, bau cologneku ini selalu membuat dia bergairah. Entah kenapa aku reflek mengguyurkannya ke badanku tadi. Aku juga hanya mengenakan baju kebesaranku kalau di rumah, boxer kain lentur (melar) agak ketat dan kaos dalam berlengan putih. Aku gak begitu peduliin kata-kata Ine bahwa burungku kelihatan terlalu menonjol di balik boxer ini dan selalu mengingatkanku untuk menggenakan CD, apalagi kan ada Lastri. Tapi aku cuek abis, make CD di dalem boxer kan tidak berperikePenisan, Penis jadi sumpek & terpenjara. Dan kaos putih ini juga membuat dadaku yang bidang terlihat sedikit lebih menonjol.

Aku lihat mbak Yuni sudah duduk di ruang keluarga sambil nonton TV. Aku notice, mbak Yuni mengikuti gerakanku dari ujung matanya dari mulai aku keluar kamar tadi, memang aku tidak langsung menghampiri dia melainkan menuju ke ruang tamu, mengambil tasku yang tadi aku tinggal di sana sewaktu mempersilahkan dia masuk. Aku mengambilnya lalu berjalan naik ke ruang kerjaku untuk menaruhnya di sana. Lagi-lagi aku notice, pandangan mata mbak Yuni secara diam-diam masih mengikuti gerakanku.

Aku membanting tubuhku, menghempaskannya ke sofa panjang yang juga di pakai duduk mbak Yun. Sambil mendesah panjang, aku angkat kakiku ke footstool yang memang pasangan dari sofa itu.

“Capek banget ya, dik?” katanya membuka percakapan.

“Lumayan, mbak, kantor membuka cabang baru dan aku yang diminta mengkoordinasikan semua.” jawabku. “Dan lagi, beberapa hari ini harus bangun pagi-pagi, bersih-bersih rumah dulu, kan gak ada Ine sama Lastri. Aku gak mau ntar kalo Ine pulang, rumah jadi kotor. Ine kan sedikit alergi debu, jadi sebisa mungkin aku jaga rumah sedikit bersih.”

“Ine beruntung ya?” jawabnya lagi.

“Beruntung apanya?”

“Ya itu, punya suami lucu, baik dan perhatian, macam kamu, bahkan alergi dia saja kamu care bener. Kalau masmu, jangankan bersihin rumah…”

“Sudahlah lah, mbak manis…” potongku, aku gak mau mengarahkan pembicaraan ke masalah dia, tidak malam ini. Karena it just not good, tubuh dan pikiran dia perlu istirahat dari masalah itu, perlu ‘berlibur sejenak’ dari pemikiran-pemikiran yang berat itu.

“Every body different, dan percayalah, aku juga gak sebaik itu… yach, walau memang benar kalo aku tuh lucu, imut, ganteng, pinter, humoris. Banyak juga orang bilang aku kharismatik dan sebagian lagi bilang aku tuh sexy, itu belum predikat macho yang selalu mereka gosipkan di balik punggungku. Tapi apa boleh buat, aku…”

“Halah-halah… sudah-sudah, narsis banget nih anak. Gak bisa dipuji sedikit, hihihi…” kata mbak Yun sambil mencubit pinggangku dengan gemas.

Menanggapi cubitan itu, aku cuman tersenyum simpul sambil meliriknya. “Eh, mau ngajakin cubit-cubitan?” sergahku, dan dia cuman tersenyum

Mata kami bertemu, kulihat matanya meredup. Sinar kepsrahan sekilas memercik di sana. Dalam tahap ini, aku fully aware, berdasarkan pengalaman, dengan sedikit kocekan, wanita manapun akan bisa kamu bawa ke ranjang. Trust me. Tapi pertanyaannya; apa bener aku mau membawa mbak Yun, kakak iparku ke ranjang? Mataku turun ke lehernya yang kecil namun jenjang dengan ukuran tubuhnya, bergerak naik turun berusaha menelan ludah di tenggorokannya yang kering tercekat. Satu tanda lanjutan!

Lalu ke dadanya yang kecil dengan puting yang mencuat dari balik kaos daster sutra tipis yang dia kenakan, dada dan puting yang telah memberikan asi kepada kedua anaknya. Puting yang telah dikenyot abis oleh dua orang anak masing-masing selama 8-9 bulan. Lalu ke pinggulnya yang juga kecil dan ramping, entah kenapa otomatis otakku mengukur, karena pendeknya tubuh mbak Yun, jarak diantara pangkal paha, tempat lobang Vaginanya dan pangkal dinding rahimnya tentunya sangat pendek. Dengan begitu, kalau di terobos Penisku tentunya akan mentok sampai dasar sebelum semua panjang batangku tertelan oleh saluran vaginanya.

Lalu kulihat paha kanannya yang dia tumpangkan diatas paha kirinya, keduanya semakin dia tekan, semakin dirapatkan, biasanya hal ini dilakukan wanita untuk menahan ‘sensasi’ yang ada di bibir vagina mereka apabila mereka mulai terangsang. Satu lagi tanda lanjutan… Plus ditambah kenyataan yang sudah aku ketahui sebelumnya, kalau mbak Yun, kakak iparku yang imut dan mungil ini, tidak memakai satu potongpun CD di balik kaos tidurnya.

”Kenapa, dik, kok lihatnya begitu?” katanya dengan intonasi yang berusaha dia jaga ketenangannya, namun yang meluncur bukannya kata-kata yang tenang, melainkan suara parau tercekat yang seperti menahan sesuatu.

Aku masih kalem, aku adalah laki-laki brengsek berpengalaman yang telah malang melintang di dunia perlendiran yang licin dan basah selama bertahun tahun. Menghadapai wanita despered, butuh belaian dan gampang terangsang bukan kali pertamanya bagiku. Memang sebagian besar berakhir di ranjang. I’m a jerk, I know!

“Enggak kok! Eh, mbak kalau dilihat tanpa ****** dan make up emang beda ya? Maksudku, sebenernya lelaki manapun yang bisa mendapatkan mbak, bisa dibilang sangat beruntung…” jawabku masih sambil tersenyum.

“Ah, kamu bisa aja, dik, menghibur wanita yang sudah dicampakkan ini…” katanya dengan senyum kecut.

Aku menggeleng sambil tersenyum, masih dengan mata yang tajam menatap matanya. Dia menelan ludah kembali. Di sini sebenarnya sudah 80% goal kalau langsung aku tubruk. Kemungkinan besar dia pasrah, atau malah memberikan ‘perlawanan’ yang panas. Tetapi aku masih ingin menahan diri, lagipula dia kakak iparku sendiri, masa adik ipar sudah aku entot, kakak ipar mau aku makan juga?

“Nggak ada yang namanya mencampakkan dan tercampakkan di dalam suatu hubungan cinta, mbak. Yang ada adalah jalan yang memang harus ditempuh oleh masing-masing pihak, jangan menyerah untuk mengarungi hidup, mbak. Aku yakin, suatu saat nanti jalan hidup bisa berganti cerita.” jawabku.

Mata mbak Yun langsung memerah, raut mukanya kembali menyiratkan kesedihan yang sulit diukur, dan tangisnya mulai meledak. Bagaimanapun aku mencoba kelauar dari topik pembicaraan itu, nyatanya semua masalahnya masih bergantung di otak dan hatinya, dan belum tersalurkan. Aku mengulurkan tanganku untuk memeluknya, aku elus pundaknya, lalu punggungnya dan menariknya ke arahku, membiarkannya menggunakan bahuku untuk menagis sepuasnya.

Hampir 20 menit aku menyangga kepalanya di bahuku. Tarikan nafas tersenggal karena tangisannya membuat tubuh kecil itu seperti dihentak-hentakkan ke dadaku. Setelah kurasa dia sedikit dapat menguasai diri, dia melepaskan pelukannya. Sambil kelabakan, mba Yun menghapus air mata yang masih meleleh di pipinya. Aku meraih tissue lalu membantu mengelapnya.

“Maksih, dik…” katanya.

“Untuk apa? Untuk telor gorengnya atau…”

“Untuk minjemin bahu buat mbak menangis, rasanya agak lega sekarang.”

“Kalo bahuku knock down, dan dapat dilepas seperti robot, tentunya aku rela melepasnya, tak pinjemkan ke mbak buat dibawa mbak ke manapun, kali-kali aja butuh sewaktu-waktu. Asal jangan ditinggal di halte aja.”

“Hehehe…” dia tertawa masih di antara senggalan sisa tangisnya. “Dan sorry, bajumu jadi basah gitu.” tambahnya.

“Gak pa-pa, mbak, udah biasa… soalnya gak tau kenapa cewek kalau ada di dekat-dekat aku pasti bawaannya basah melulu.” godaku.

“Hihihi… basah yang mana nih? Atas apa bawah?” jawabnya sudah mulai agak bisa bicara konyol lagi, walau masih di sela isak tangisnya.

“Ya atas bawah, hehehe…” candaku lagi.

“Hihihi… ada-ada aja.” jawabnya sambil masih mengusap air matanya yang masih mengalir.

“Eh, ini Thomas-Uber cup, gamenya Indonesia lawan mana sih? Ini system group kan?” kataku pura-pura mengalihkan pembicaraan ke tayangan TV.

“Nggak tau tuh, dik, mbak jarang nonton TV akhir-akhir ini.” jawabnya pendek.

“Ya kalo di sini, mbak boleh nonton TV sepuasnya, hehehe… eh, btw, maaf nih kalo terlalu mencampuri, mbak cuman make baju luar aja ya?” tanyaku menggoda dan becanda lagi.

“Maksudnya?” tanyanya balik.

“Maksudnya, kan di lemari ada juga daleman Ine. Kalau mbak mau, bisa juga di pakai, biar mbak nyaman…” lanjutku.

“Eh, darimana kamu tahu aku tidak memakai daleman? Kamu ngintip ya?” selidiknya dengan setengah becanda, sok pura-pura marah sambil menyilangkan tangannya ke dada.

“Busyet, curigation amat… ya kelihatan lah, mbak, emang saya anak kecil? Nggak, maksudnya cuman ngingetin aja, kali aja mbak mau make, cuman biar mbak nyaman aja. Jangan berpikiran salah gitu ah, mbak, sensi amat, macem lagi dapet aja, hehehe…”

“Maunya sih, cuman gak enak sudah ditolongin, masa CD-nya mbak pake juga. Lagian CD Ine bagus-bagus, pasti mahal-mahal ya?”

“Iya mungkin, ada sih beberapa yang tak beliin buat hadiah pas ada momen special. Emang agak sedikit mahal, tapi gak pa-pa, kalo mbak butuh, pakai aja. Tapi kalau mbak merasa nggak nyaman make CD orang, ya terpaksa nunggu besok, baru kita bisa belanja.”

“Iya, besok aja, lagian gak pake gini malah sejuk, hihihi… eh, btw, setahu mbak kalo suami sampai perhatian beliin CD istrinya, berarti sayang banget ya?”

“Ya biasa aja, mbak, sayang ya pasti dunk… tapi misal gak mau make CD-nya, kan BH Ine bisa mbak pake, daripada nyeplak gitu, bikin cenat-cenut yang ngelihat, hehehe…”

“Maunya… tapi BH Ine kegedean, punyaku kan kecil.” katanya tersipu sambil tangannya secara reflek melintang di dadanya lagi. “Lagian kamu juga, dik, ngapain lihat-lihat dada mbak?”

“Abis, imut banget sih, hihihi…”

“Das”

“Lagian mbak juga lirak-lirik ke ‘ini’-ku,” kataku nyeplos sambil nunjuk Penisku yang masih ¾ tegang.

“Abis gede sih.” jawabnya gak kalah selebor. “Berapa cm tuh?” tanyanya.

“Hmm… gak pernah ngukur sih, mungkin sekitar 21cm kalau tegang penuh.” jawabku santai.

“Sshhhhppp… gak muat dah!” kata mbak Yun sambil membuat mimik muka linu.

“Nggak muat di mana? Mana tahu kalau belom pernah dicoba?”

“Hehehe… jangan mincing-mancing ah, ntar mbak mau lho, hehehe…”

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menatap matanya. Dan seperti yang kuharapkan, dia balik menatapku, ini artinya dia sudah mempunyai tekad dan keberanian untuk melakukan apapun saat ini. Kulihat dia beberapa kali menelan ludah di tenggorokannya yang aku tahu pasti luar biasa kering sekarang. Aku yakin, libidonya benar-benar sudah terpancing.

“Ya udah, mbak, aku mau tidur, besok harus berangkat pagi soalnya ada kerjaan yang musti diselesein pagi-pagi. Kalau bisa aku ntar pulang setengah hari buat nganter mbak belanja baju dan keperluan apapun yang mbak butuhin.”

“Nggak usah ngerepotin, dik. Mbak nggak ada duit, ini aja mau minjem Ine buat balik ke rumah besok, kalo Ine sudah dating.”

“Halah, emang perlengkapan cewek berapa sih? Kalo cuman CD sama BH aja aku masih kuat kok beliin.” kataku memotong.

“Hihihi… makasih, dik, kalian sekeluarga baik banget.”

“Sudahlah, mbak, santai aja… btw, mbak malam ini bobo di mana ya?”

“Dimana aja mbak bisa kok.”

“Mmm… kamar jagoan (anakku)? Jangan, dia paling gak suka ada orang nyentuh kasurnya, soalnya kamar tamu masih belum dibersihin. Ehm, masa mau di kamar Lastri? Jangan ah, gini aja, mending mbak tidur di kamarku, aku tidur di sofa.”

“Jangan lah, dik, masa tuan rumah malah tidur di luar? Mbak aja yang tidur di luar malam ini, baru besok kamarnya mbak bersihin.”

“Jangan, mbak. Pokoknya mbak tidur di kamarku aja, aku yang di luar.” kataku sedikit memaksa.

“Iya deh. Kalo gitu, biar adil, kita tidur aja di kamar bareng…” usulnya.


Lha ini yang aku tunggu, aku paling suka untuk menggiring perempuan agar seolah-olah dia yang mengambil inisiatif. Sudah aku bilang kan kalo aku penjahat?

“Eh, apa gak bahaya tuh bobo bareng?” tanyaku.

“Enggak lah, bahaya apanya kalo bobo bareng, kalau melek bareng lha itu baru…” candanya.

“OK, kalau mbak maunya begitu.” lanjutku.

Di kamar, kami mulai berbaring. Dia memunggungiku sedangkan aku menghadap ke arahnya. Aku tutupkan selimutku, karena malam itu memang dingin, dan aku melihat dia meringkuk menahan dingin (ditambah, AC yang sengaja aku gedein dikit, hehehe…)

“Makasih,” katanya setelah aku selimutin.

“Yup.” kataku masih di luar selimut.

“Kamu tidak dingin, dik?” tanyanya.

“Lumayan, emang kenapa?” jawabku polos.

“Sini lah, masuk ke selimut.” katanya sambil masih memunggungiku.

Aku segera masuk ke selimut, masih berusaha menjaga jarak. Damn, aku sebenarnya konak benar, tapi di dalam otak sehatku masih ada sisa-sisa pertahanan untuk menjaga sisa-sisa kehormatan wanita malang ini, kakak iparku yang sudah dizolimi oleh suaminya. Maka melawan segala dorongan libidoku, aku menjaga jarak, walau sudah sama-sama berada di dalam selimut. Sampai mbak Yun sedikit membungkukkan lagi badannya. Sontak pantat kecil dia menyundul Penisku yang memang sudah sejak tadi berdiri tegak.

JDUG...!!!

“Ooughh...!” erangku pendek.

“Eh, maaf…” katanya.

“Gak pa-pa, emang selimutnya agak sempit kok.” kilahku singkat, padahal selimutnya lebih dari lebar, hehehe…

“Iya,” katanya tidak kalah singkat, tetapi tanpa menggeser posisinya.

Jadinya posisi kami sangat rapat, punggungnya menempel di dadaku. Bisa kurasakan detak jantungnya yang benar-benar tidak normal. Seakan berpacu. Dan pantatnya lembut menempel di Penisku, dengan pembatas dua lembar kain tipis, dasternya dan boxerku. Toh itu sama sekali tidak bisa membatasi sensasi panas yang terasa di kulit Penisku, entah apa efeknya terhadap pantat kecilnya. Aku melingkarkan tanganku ke badannyayang sejak dari tadi aku tarik ke belakang punggungku sendiri.

“Maaf, mbak, tanganku agak pegel kalau di belakang terus.” kataku.

“Iya, gak pa-pa, malah anget…” bisiknya.

Dengan posisi memeluknya dari belakang seperti itu, otomatis lingkaran tanganku langsung mendarat di lokasi seputar dadanya. Libidoku tambah naik, meledak. Seakan benteng tipis pertahananku yang aku jaga mati-matian tadi dilabrak oleh peluru meriam super besar. Sekonyong konyong jebol, aku tahu pada titik ini, aku pasti sudah tidak akan bisa mengontrol diriku lagi. oh, betapa brengseknya aku…

Tanganku mulai merayap ke dadanya, menjamahnya dan meremas-meremasnya. Sedangkan tiupan nafas panasku sengaja aku semburkan ke tengkuknya. Dan di bawah, Penis tegakku kugesek-gesekkan ke belahan pantat kecilnya. Tidak ada indikasi perlawanan dari mbak Yun, aku kira dia mencoba pura-pura tidur, atau pura-pura tidak merespon kelakuanku. Tapi sekilas, aku dengar desahan kecil. Didorong oleh semua faktor, tanganku bergerak ke pinggulku sendiri, dan dengan gerakan cekatan seorang pejuang lendir, boxerku sudah kulepaskan. Kini tinggal Penis telanjangku menempel pada bagian luar dasternya. Dan sekali gerak lagi, daster itu terangkat sampai di pangkal pinggangnya. Terasa ujung Penisku menempel langsung dengan daerah yang sudah luar biasa basah. Vagina mba Yun!

Tanpa tunggu lama, tanganku kembali ke bukit kecil di dada mbak Yun, sedangkan Penisku berusaha menerobos Vaginanya yang sudah terlewati dua orang anak itu. Walaupun Vagina itu kecil, tetapi daya elastisitas dan cairan licin yang sudah melumurinya sangat memudahkan Penisku untuk menerobos relungnya. Bleeeessss…!!! Kudengar mbak Yun melenguh. Tetapi setengah jalan Penisku menyusuri lobang vagina lembutnya yang super basah itu…


DUK...!!! Mentok!

Apa kubilang, relung vaginanya cetek! Wanita dengan relung seperti ini sangat jarang, mungkin 1000:1. Dan rasanya ngentotin wanita model gini man… tiada duanya! Aku mendorong Penisku lagi. Kupaksakan. Aku merasakan dada mbak Yun berhenti bergerak, dia menahan nafas. Aku paksakan lagi, dan lagi, dan lagi. Penisku melejat-lejat liar memenuhi relung vaginanya, seakan Penisku mengobok-obok semua relung vaginanya sampai batas yang terdalam. Aku tahan sumpalan Penisku di sana sejenak, lalu aku tarik mundur sedikit pantatku. Dan di saat dia melepaskan nafasnya. Sekuat tenaga aku lesakkan lagi ke dalam.

“HEGGGTTHH...!” sentaknya sepontan sambil menutupi mulutnya dengan tangannya sendiri.

Rangsangan itu begitu besar menerpa dadaku. Kenikmatan mentok di relung vaginanya, membayangkan letupan kebutuhan dan gairah seorang wanita menikah yang mungkin sudah berbulan-bulan tidak terpenuhi membuatku begitu melayang, begitu terangsang. Ditambah tingkah laku jaim yang ditunjukkan oleh kakak iparku itu, yang seakan tidak mau berterus terang kalau dia juga menikmati persetubuhan ini, membuatku semakin melayang.


Kutinggalkan dada mungilnya, kini tanganku mencengkeram erat pinggulnya, membantu hentakan gerakan pinggulku yang seperti kesetanan, bak piston dengan kekuatan penuh memompa relung vaginanya dari belakang. Sedangkan dia terlonjak-lonjak seiring dengan ritme sodokanku.

JEDUK..!! JEDUK..!! JEDUK..!! JEDUK..!! JEDUK..!! JEDUK..!!

Aku terus memompa, dan dia kini membekapkan kedua tangannya ke mulutnya sendiri. Linu, nikmat, sensasional… pokoknya sangat susah di gambarkan apa yang aku rasakan saat ini.

“EGH..!! EGH..!! EGH..!!” suara-suara hentakan nafasnya terdengar seiring hujaman Penisku di liang vaginanya.

Masih dengan kedua tangannya membekap mulutnya sendiri, aku melihat lelehan air mata di pipinya, tapi tanpa isyarat penolakan sama sekali, entah mengapa hal itu malah semakin melambungkan gairahku. Hampir 20 menit aku menyentak-nyentakkan Penisku di relung vaginanya, dan entah berapa kali aku merasa ada siraman panas di sana. Entah berapa kali mbak Yun mendapatkan orgasme, yang pasti giliranku hampir sampai. Aku hentakkan kuat-kuat pinggulku, kuhujamkan dalam-dalam Penisku di relung vaginanya dan kusemburkan pejuhku kuat-kuat di sana. Kurasakan dia juga mengejang dan menahan lenguhan…

CROTT...!!! CROTT…!!! CROOOTT…!!! CROOT…!!! CROTT...!!!

Entah berapa kali aku melejang, mengejang dan menyembur. Diiringi lenguhan, akupun lemas di belakang tubuh mugil kakak iparku. Sengaja Penisku tidak aku lepas, aku peluk dia lagi erat-erat dan kupejamkan mataku. Malam itu aku ingin tertidur dengan Penis masih ada di dalam vagina mbak Yun, kakak iparku yang mungil dan manis. Tak disangka, dia juga memeluk erat tanganku dan ikut tertidur pula di pelukanku.

Aku terbangun dengan pemandangan samar sebuah wajah mungil yang menatapku lekat lekat.

“Ehmm… mbak Yun, bikin kaget aja,” sapaku sambil menggeliat dan berjuang membuka mata.

Mbak Yun cuman tersenyum-senyum, duduk bersimpuh di depanku sambil masih menatapku lekat-lekat. Aku gulung majalah yang masih ada di tanganku lalu dengan bercanda kupukulkan ke jidatnya. Dia tertawa.

Memang, setelah libidoku kalah telak dengan rasioku, alih-alih menubruk tubuh seger yang dapat kupatikan akan menyambut entotanku dengan senang hati itu, tetapi aku malah menghidupkan TV dan membaca-baca majalah sambil gelesotan di karpet dan bersandar di sofa tempat mbak Yun tertidur. Rupanya udara panas siang itu juga mampu menyihirku, lalu aku juga jadi tertidur dan mbak Yun bangun duluan lalu ikutan menjeplok di depanku sambil melihatku seperti itu.

“Orang lagi tidur kok diliatin kaya gitu, emang tontonan? Dasar mbak rese, ah!” protesku lanjut.

“Halah, GR. Lagian sapa juga yang liatin kamu, dik? Hihihi…” jawabnya.

Aku menatapnya bersila dengan hotpants itu, semerta merta libidoku bangkit kembali. Semerta-merta rasioku menenangkanku lagi. Kejadian brengsek macam apa pula ini?

Kulirik jam tanganku, jam 15.15. Welah, ternyata aku tertidur cukup lama juga.

“Maaf, tadi pas aku pulang, mbak masih bobok. Mau tak bangunin tapi kelihatannya pules banget, makanya tak tungguin aja. Eh, malah aku ikut ketiduran sampe sore gini… ya udah, ayo siap-siap, mbak. Kita ke toko cari keperluan mbak… ke Matahari aja kali ya, satu tempat komplet semua.” kataku lagi sambil berusaha bangun.

Mbak Yuni tidak menjawab, hanya ikutan bangun sambil masih menatap wajahku. Tatapan yang kukenal secara pasti. Tatapan yang sama dengan wanita-wanita yang berhasil kupecundangi dengan rayuanku, tatapan seorang wanita yang tertaklukkan. Tatapan seorang wanita yang… jatuh cinta. Dan itu menakutkanku!! Karena dia sama sekali bukan targetku dan tidak sedetik pun aku dapat membayangkan mbak Yun falling in love denganku. It’s gonna be damned complicated kalo sampai terjadi. Tapi rasioku dengan jelas memaparkan alasan yang logis, apabila itu semua terjadi. Aku satu-satunya orang yang mungkin dia anggap “baik” dalam tahun-tahun belakangan ini, walau diakui atau tidak, semalem aku telah “memperkosanya”, hanya saja, perkosaan itu entah dianggap sebagai apa olehnya.

“Oi! Haloo…! Ada orang di sana?” godaku sambil melambai-lambaikan tanganku di wajahnya.

“Eh?”

“Aku nanya, yang mau mandi mbak Yun dulu apa aku aku dulu? Mendingan kita berangkat sorean, jadi waktuya bisa lega…” kataku lagi mengulang pertanyaanku.

“Ee, dik Deni dulu juga gak papa deh…” jawabnya.

“Ato mandi barengan?” candaku.

Dia hanya terkikik lalu mecubit pinggangku (lagi). “Jangan nakal ah, aku kan kakakmu.”

“Hehehe… eh, mbak, anu… eee… semalem… aku minta maaf ya, aku bertindak sangat-sangat kurang ajar kapada mbak… eee… mohon mbak sekali lagi memaafkan aku dan menyimpan kejadian itu di antara kita aja… kumohon…” kataku terus terang mengungkapkan apa yang masih mengganjal di pikiranku.

Mbak yun kembali tersenyum, sebuah reaksi yang kurang bisa kuterka.

“Ga papa, dik. Dik Deni gak perlu minta maaf untuk itu…” jawabnya sambil tertunduk.

“Sakit banget ya, mbak? Aku lihat mbak menagis pas tak gituin semalem, pastinya aku melukai mbak banget ya? Aku mohon maaf banget ya, mbak…”

“Iya, ga papa. Sudah mbak bilang ga papa, toh mbak juga bukan perawan, mbak sudah punya dua anak malah… jadi mbak paham kebutuhan laki-laki, hehehe… sebenarnya mbak gak keberatan bantu dik Deni melampiaskan itu… maksudnya… kalau dik Deni masih mau… mbak… anu… ehm, juga gak keberatan… maksudnya… eh… anu… cuman… emang linu banget… abis… kegedean sih…” jawabnya terbata-bata sambil tetap nunduk malu-malu. Bikin tanbah gemes aja.

“Tapi masa segitu sakitnya sampai bikin mbak nangis?”

“Ooo… masalah nangis itu… anu… mbak semalem agak kaget dan kacau… maaf kalau tangisan mbak membuat dik Deni jadi merasa bersalah, maksudnya, dik Deni gak usah merasa bersalah melakukan itu ke mbak semalem… karena… mbak juga… ee… anu… menikmatinya kok…”

“Bener mbak Yun menikmatinya?”

Mbak yun tidak menjawab, hanya kulihat mukanya memerah. Aku sih yakin bener dia menikmatinya, lenguhannya, orgasmenya yang berkali kali… dan toh sebelum kusodokin Penisku di lobang Vaginanyapun, dia sudah basah banget… cuman, pengin aja denger dari mulut dia… hehehe… menjajaki sejauh mana wanita alim ini mampu ngomong jorok…

“Iya, mbak menikmati, ee… malah mbak sampai… anu… itu berkali-kali…”

Aku tersenyum geli, anyway, cukup segitu dulu kali ini, aku juga gak mau mendorongnya terlalu keras. Sambil menggeloyor aku menggandeng tangannya. Mbak Yuni ngekor aja waktu kubimbing ke kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, aku melepaskan semua baju yang menempel di tubuhku hingga aku telanjang bulat. Aku dekati dia perlahan-lahan. Mbak Yun semakin menunduk, bahkan dari jarak ini, dapat kurasakan detak jantungnya yang berdetak kencang macam marching band. Kusandarkan punggungnya ke tembok kamar mandiku, tepat di bawah shower, lalu aku mundur selangkah.

Dalam jarak ini, aku tahu dia dapat melihat setiap sudut dari lekuk tubuhku yang emang sangat kujaga dengan rajin ngegym ini.

“Kalo gitu, mbak bantu aku ya? Aku terangsang lagi tadi pas melihat mbak bobok… aku gak minta banyak kok mbak, cuman lihat tubuh mbak aja sambil… masturbasi,”

Mbak Yun diam. Aku mulai beratraksi, pelan-pelan aku mengocok Penisku sambil pandanganku menjelajah tubuhnya. Kubuat pandanganku setajam mungkin hingga dia pasti merasa tertelanjangi dengan tatapan mataku ini. Aku masih terus mengocok Penisku yang sekarang sudah hampir 100% tegang masih dengan ritme pelan. Mbak Yun mulai bereaksi. Dia mulai mengangkat tangannya ke arah Penisku. Aku menghentikan kocokan dan memberikan kesempatan untuk jari kecilnya yang mulai mendekati Penisku. Dia memegangnya, mengelusnya lembut lalu mulai meremasnya. Dan aku melenguh.

“Gede… banget…” gumannya sambil terus mempermainkan Penisku.

“Mbak suka Penisku?” tanyaku menguji, sengaja aku gunakan kata-kata yang hard core.

“Hehe… geli, mbayangin aja dah linu…”

“Emang apa yang mbak bayangin?” desakku.

“Hehe… eh, ya… mbayangin… melakukan hubungan suami istri kaya semalem…” jawabnya.

Hubungan suami istri? Weleh, kata-kata itu… semakin membuatku penasaran ingin membuat dia bicara kotor.

“Mungkin linu karena… lorong vagina mbak pendek, jadi langsung mentok ke dinding rahim… tapi dengan begitu malah… semua relung kewanitaan mbak terjamah kan dengan penisku?” pancingku lagi.

“Eh, iya… kira-kira begitu lah… mentok…”

“Mbak…”

“Iya,”

“Aku boleh cium bibir mbak?”

“Eh? Boleh…” lalu dia langsung bangkit dan menyorongkan bibirnya ke bibirku sambil matanya setengah terpejam. Aku menahan kepalanya dengan kedua tanganku, menghentikan kecupannya sebelum sampai ke bibirku.

“Eh, kenapa?” tanyanya, nafasnya sudah semakin berat, aku tahu dia luar biasa terangsang sekarang, hanya sisa-sisa kealimannya yang masih bisa membuatnya sedikit dapat jaim.

“Bukan bibir yang itu,” kataku sambil mengambil posisi jongkok. “Tapi bibir yang ini,” lanjutku sambil mengelus pelan Vaginanya dari luar hotpants istriku yang dia kenakan.

“Eh… maksudnya? Itu kan… anu…”

“Ini kan juga bibirnya mba Yun, bibir bawah, bibir vagina. Boleh ya, mbak? Aku ingin menciumnya…”

“Eh… kalo dik Deni memang pengin beneran… mbak… anu… eh, gimana ya dik, mbak belum pernah dicium… di situnya mbak…”

“Kalau mbak boleh, tolong bantu aku pelorotin celananya mbak…” sergahku.

Dengan ragu-ragu, mbak Yun memelorotkan celananya, pelan. Rambut itu kulihat tumbuh jarang-jarang di bagian bawah pusar. Seiring turunnya kolor hotpants yang dia tarik dengan tangannya semakin ke bawah, rambut itu kelihatan semakin melebat… tetapi tidak lebat juga. Lalu lobang itu mulai terlihat celahnya, dan tidak perlu waktu lama, vagina polos mbak Yun sudah terdisplay di depan mataku. Berwarna coklat tua, bibir yang sudah pernah mengeluarkan dua buah orok itu terlihat berkilat karena lendir yang mulai membasahi. Aku memuaskan mataku memandang sorga dunia itu. Tak berapa lama, ada cairan yang menetes. Ough… ternyata mbak Yun jenis cewek yang berlibido tinggi, dengan terangsang saja cairan vaginanya sudah menetes-netes tidak karuan.

“Dik…” desahnya memelas.

Aku tau apa yang mau dia katakan, sebelum dia berubah pikiran, bibirku sudah mendarat di atas lobang Vaginanya. Diapun melenguh tinggi dan secara reflek mencoba melengkungkan badannya ke belakang, menghindari sapuan bibirku di mulut Vaginanya.

“Uuuuuggghhhhttt…”

Tapi aku tidak kalah cepat, kutahan pantatnya. Diapun terjajar ke belakang sampai punggungnya membentur tembok kamar mandi, tepat di posisi di mana aku menyandarkannya tadi. Gerakan mundur sudah tidak bisa dilakukannya. Aku mengangkangkannya dan menyelempangkan paha kanannya ke pundakku. Dengan begitu akses mulutku ke Vaginanya jadi terpampang luas. Vagina itu terbentang pasrah beberapa cm dari hidungku. Tak kusangka Vagina mbak Yun beraroma lain, seakan aku bisa mencium hormon kewanitaannya yang ikut mengalir bersama cairan Vaginanya.

Tanpa menunggu waktu lagi, aku mulai memproses Vagina yang menurut pengakuannya baru sekali “dicium” oleh bibir pria. Aku mengulum, menjilat, menyedot, menyenggol-nyenggol itilnya dan menyodok-nyodoknya dengan lidahku. Vagina itu benar-benar kunikmati. Dari ujung pusar di perutnya sampai lobang anusnya tidak luput dari garapanku. Mbak Yun mendesah, tersengal sampai menjerit dan meliuk-liukkan tubuhnya menikmati setiap sensasi permainan lidahku. Berkali-kali cairan vaginanya membanjir, berkali-kali aku tahu dia orgasme. Tapi aku tak memberinya ruang untuk bernafas. Permainan silat lidahku terus menghajarnya sampai satu titik dia menjerit, terliuk ke belakang lalu ambruk ke samping. Dia mengalami orgasme yang ke sekian kalinya.

Mbak Yun rubuh, mungkin kakinya sudah terlalu lemas untuk menopang badan mungilnya. Aku merengkuhnya, meletakkannya di dalam pelukanku. Kita berdua duduk menjeplok di lantai. Badan lemasnya berlawanan 180’ dengan Penis tegakku. Masih di pelukanku, walau tersengal-sengal, mbak Yuni sudah mulai tenang. Aku dengan sabar menunggunya sambil membelai- belai rambutnya.

“Mbak Yun gak papa?” tanyaku.

“Heh... heh… heh… kamu gila, dik… heh… tulangku seperti dilolosi semuanya… lemes banget rasanya…” jawabnya dengan tersengal-sengal.

“Yang tadi… mbak Yun juga menikmatinya?” godaku sambil tersenyum.

“Heh… eh, mbak gak bisa… mengungkapkan dengan kata-kata… baru sekali ini mbak… heh… heh…”

“Tapi, mbak, aku masih belum… lihat nih, si jonny masih berdiri tegak…”

Mbak Yun, masih dengan gerakan lemas berusaha mengusap Penisku. “Waduh, dik… mbak bisa pingsan kalau kamu sodok sekarang… tadi aja, mbak entah berapa kali…”

“Hehehe… ya udah, kalau gitu istirahat aja dulu…”

“Dik, tadi itunya mbak… maksudnya… cairan mbak... kamu telen yah?”

Aku cuman tersenyum nakal.

“Makasih banget ya, dik…” lanjutnya.

Eh? Sumpah, pernyataan ini aku gak mudheng maksudnya apa. Aku hanya tersenyum, mencium sekilas bibirnya lalu mengangkatnya berdiri. Kusiram tubuhnya dengan air hangat dari shower. Kusabuni setiap mili tubuhnya, lalu aku pun mengguyur tubuhku. Kita kali ini “mandi” beneran. Sampai sehabis mandi pun aku handuki badannya, kuperlakukan dia bener-bener istimewa, mungkin dipikirannya dia jadi ratu semalam, hehehe… Dan dia beneran masih gemeteran sampai aku selesai mengeringkan badannya dengan handuk dan mendudukannya di tepi ranjang. Lucu aja, mengingat mbakku ini bukan perawan yang baru saja mengenal sex, dia sudah beranak dua.


Kembali ke mbak Yuni, dia masih juga gemeteran setelah beberapa saat bersandar di dadaku. Dia sudah kering kuhanduki, bahkan sudah kupakaikan kimono istriku. Aku memangku dia di ranjang dalam posisi setengah duduk sambil memeluk tubuh gemetarnya. Tiba-tiba, entah setan darimana yang merasukinya, dia berbalik menghadapku. Mengangkangiku, menyibak kimononya dan mengarahkan Penis tegangku ke Vaginanya.

“Eeeeggghhhh… ayo dik, kalau gak dituntaskan, bisa-bisa mbak gemeteran terus…”

Aku memandang matanya sambil tersenyum, aku menduga-duga, apakah dia terkena efek titik balik dari orgasme berkelanjutan (multiple orgasm). Ini hal langka, aku hanya membacanya di majalah pria. Dan tidak sekalipun dalam hidupku bermimpi dapat melihatnya.

Pantatnya turun sedikit demi sedikit pada saat mencoba melesakkan Penisku ke relung vaginanya. Dan seperti kemarin malam, mentok di titik 50-60% dari panjang Penisku. Mbak Yun manatap mataku, aku tersenyum penuh arti.

“EH... tunggu, dik, jang… AHHHKKKG!!!”

Mbak Yun tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena aku sudah mendahuluinya dengan sodokan kuat. Tubuh mungilnya terlempar ke atas, lalu terjatuh lagi dengan Penisku masih bersarang di Vaginanya. Kubiarkan dia mengambil nafas.

“Ooogghh… gede banget, dik…”

“Apanya yang gede, mbak?” tanyaku berbisik.

“Punyamu…”

“Apaku?”

“Punyamu, dik…”

“Namanya apa, mbak?”

“Ooo… pe-penis…”

“Aku lebih suka bahasa Jawanya, mbak… namanya apa?”

“Eegh… ko-Penismu, dik… gede banget… mbak… heh… mbak suka… enak…”

Aku mengubah posisi, menelentangkannya, kedua kakinya kini mencuat ke atas, dengan lembut kutaruh di kedua pundakku. Lalu sambil menatap kedua matanya, aku bertanya lagi. “Namanya apa tadi, mbak Yun? Yang bahasa jawa?”

“Eehh… ko-kont... HOUGHHLLLGHHHKKKKKKKKK… KKKHHGGGG… EGHG… EGH…”

Sekali lagi, sebelum dia menyelesaikan kata itu, aku sudah menderanya. Kali ini posisiku dominan banget, Man On Top. Kedua kakinya yang aku selempangkan ke pundakku membuka akses seluas dan sedalam-dalamnya terhadap Vaginanya. Sodokankupun langsung aku mulai dengan RPM tinggi. Kali ini bukan hanya menghentak, mbak Yun benar-benar menjerit. Puas menghentak dinding rahimnya, aku putar pantatku, diameter Penisku yang memang sudah menyesaki lorong Vaginanya memilin, menggesek tiap inci dari relung vaginanya. Jeritan itu berubah menjadi lolongan panjang. Hampir 20 menit aku menggoncang dunia sempit mbak Yun dalam posisi itu ketika dorongan itu mulai mendekat.

Aku sudah mau sampai, kupercepat sodokanku. Mbak yun sudah tidak nampak sebagai wanita alim berkerudung lagi, dia mengerang, melolong dan menjeritkan kalimat-kalimat kotor.

“AARGGHH... ANNJJJIINKK… ANJJJINKK… ENAGGGHHH… OOGGHH… DALEEM BANGGEEDDD… KONNTHHOL… AAARRRGHH… ACH… ACH... ACH… ACH… AAA… VaginaKUU… ACHHNJJINKK… ENTOT AKU, DIK… ENNNAGH… AARRGHHH… EEGGHHNNNTOOT VaginaKU, DIKK… ANNNJIIINKKK… AGHKUU KELUARRR… ANJJJINKKK… TERUUUUSSS…!!!!”

Spreiku sudah basah tak karuan rupa, cairan Vagina dia seakan tidak berhenti mengalir dari orgasme ke orgasme yang didapatnya. Gencotanku kupercepat… RPM sangat tinggi… mbak Yun melengking… dan sesaat sebelum aku menyemprotkan spermaku ke liang Vaginanya, “AGH…!!” mbak Yun tersentak ke belakang dengan keras lalu tiba-tiba terdiam.

Apa boleh buat, aku terlanjur sampai di ujung, dengan membenamkan Penisku sedalam-dalamnya, aku memuntahkan spermaku ke rahimnya.
CROOTT… CROTTT… CROTTT… CROTTTT… CROOTTTT… CROTTTTT…

Lemas, tapi aku langsung menepuk-nepuk pipinya, sempet takut campur panik gitu…

“Aaaaa… hhhh…” Aaa desahan lirih dari mbak Yuni… untung, ternyata dia tidak pingsan atau kenapa-kenapa…

Akupun langsung tumbang di atas tubuhnya. Mbak Yun dengan sisa-sisa tenaganya mengangkat tangan dan memeluk punggungku. Tapi tak berapa lama tangan itu terkulai lemas lagi.

“Hehehe… gila, mbak Yun luar biasa, aku sampai lemas banget…” kataku tersengal-sengal.

“Vaginaku rasanya mau jebol, heheheh…” jawabnya, ternyata sopannya sudah balik.

“Sakit?”

“Enaaakk…”

Lalu kita tergelak bersama, malam itu kita tidak jadi belanja, melihat kondisi mbak Yun yang tidak memungkinkan. Dia beneran lemes, sampai mau nonton TV aja minta gendong… manjanya ngalahin ABG. Belanjanya kita reschedule besok saja. Besok, aku juga berencana mengambil cuti, untuk “menemani” mbakku tersayang.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd