Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Cara Memotivasi Anak

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Adoeh, lancrootkan suhu

Ajib luar biasa, benar benar seru dan menegangkan

Bikii imaginasi lama timbul kembali
 
Dana sedang duduk di dapur sambil memperhatikan mamanya mencuci piring. Pantat mamanya terbungkus celana dalam hijau. Dana bertanya – tanya, mengapa mama memakai cd? Namun setelah kira – kira sepenanak nasi, Dana baru menyadarinya. Ternyata mamanya sedang datang bulan.

"Gimana ini mah? Kalau lagi datang bulan trus kita mau ngapain?"
"Kamu sih enak gak terganggu masalah kayak gini."

Tok ... tok ...

"Kamu pesen makanan lagi?"
"Enggak mah. Gak pesen apa – apa kok."

Diana bergegas ke kamarnya untuk memakai pakaian sementara anaknya menuju pintu untuk membukanya.

Tak lama kemudian, Dana muncul di dapur bersana Dewi dan Yanti. Di dapur sudah ada Diana yang hanya berkaos saja. Dengan celana dalam tentu.

Dana tersenyum melihat mamanya, "Dana pergi dulu mah."

Dewi dan Yanti lalu duduk di kursi sambil memperhatikan penampilan Diana yang bersender ke wastafel.

"Lu liat kan, Anaklu bahkan gak merhatiin lu."
"Emang kenapa?"
"Kalag gw pake baju kayak gitu di rumah, udah dipelototin terus sama anak gw."
"Lho, emang gw telanjang. Lagian gak bakalan ada yang tau gw pake cd apa."
"Ijo," kata Dewi dan Yanti berbarengan.

Diana hanya menggelengkan kepala mendengarnya.

"Seenggaknya gw pake baju. Lu kira gw telanjang sambil joget – joget depan anak gw."
"Tiap anak laki pasti ngintipin emaknya. Tapi anaklu malah cuek aja. Gak normal tau."
"Lo kira anak kita homo apa?"
"Gw pernah nemuin film porno di komputernya si cipto."
"Iya bener, anak gw juga gitu."
"Udahlah, kok malah ngomong yang aneh – aneh sih. Mau ngapain sih lu lu pada ke sini?"
"Oh iya, kok jadi ngelantur gini. Kita – kita mo minta maaf kemarin kemarin udah agak neken lu."
"Gak apa apa lagi. Gw udah biasa."
"Hehe..."
"Trus gw udah maksa lu ngajak si cipto liburan juga."
"Gak apa – apa. Biar si Dana seneng ada temennya. Daripada cuma sama gw, emaknya, mana udah tua lagi."
"Eh, bay de wey baswey, keberatan gak kalo sekalian ajak si dewo. Dia denger si cipto diajak makanya dia pingin ikut."
"Duh, ngasuh tiga anak cowok saat liburan. Setua gini masih ngasuh juga," kata Diana sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Namun Diana berhenti saat melihat wajah Dewi yang terlihat gugup.
"Lu kira gw mau ngapain?"
"Ya, biasa. Kayak lu yang dulu."
"Emangnya gw pernah nyelingkuhi David?"
"David udah al – marhum sayang."
"Nah, sebelum gw nemuin yang baru, gw gak kan buka toko dulu."
"Tapi, apa lu gak terpesona liburan sambil ditemenin tiga pemuda?"
"Anak – anak. Bukan pria yang bakal gw temenin hingga akhir hayat. Lagian mereka kan anak kita."
"Anak laki. Bukannya laki. Lagian, kalau lu kira bakal kayak gitu, mending kagak usah libur aja sekalian..."
"Segila apapun kita dulu, dan atau sekarang, gw tau lu gak pernah main sama laki kita bertiga. Gw tau gw bisa mercayain anak gw ke lu. Tapi, delapan tahun gak ngapa – ngapain; hormon lu pasti berontak. Gw cuman cemas lu akhirnya memuntahkan semua lahar yang terpendam selama bertahun – tahun itu, dengan sengaja maupun tidak."
"Gak usah khawatir. Delapan tahun gw bisa nahan, delapan tahun lagi gw juga bakal mampu nahan."
"Maaf deh gw malah ngomong yang aneh – aneh. Gw percaya, bahkan gw sayang sama lu. Hanya saja, setelah delapan tahun lu kembali normal lagi. Maafin gw ya."
"Iya, gw ngerti. Gw paham kalau lu khawatir sama anak lu. Tapi kalau lu gak yakin gak usah izinin anaklu ikut aja."
"Bisa – bisa dia puasa ngomong sama gw."
"Lu yakin?"
"Apa, gak mau ngomong sama gw?"

Para wanita lalu tertawa meski pertanyaan yang dilontarkan tidak mendapat jawaban.

"Jadi gw tinggal siapin agar dewo bisa ikut?"
"Ya udah, gw cabut dulu ya." Yanti pun bangkit, pamit lalu meninggalkan rumah sahabatnya itu.

Diana akan melangkah saat dihentikan oleh Dewi.

"Tunggu Na." Dewi menelan ludah.

Diana duduk di kursi sambil menatap Dewi, curiga.

"Gw gak jadi enak sama lu. Akhirnya lu kembali kayak dulu lagi. Setelah kemarin – kemarin lu kayak mayat hidup. Tapi, gw merasa lu jadi tertutup. Padahal ini gw, temen deket lu selama ini. Ada apa sih?"

Diana tak segera berujar, namun terus menatap Dewi. Dewi merasakan kegugupan yang coba disembunyikan oleh Diana.

"Terus, selama delapan tahun ini, apa lu ga berubah?"
"Gw merasa bosan. Begitu bosannya hingga kadang terlintas di benak untuk ngerjain si dewo dengan ngajak dia maen kartu."
"Terus, kenapa lu gak ajak?"
"Apa?"
"Dewi yang dulu pasti bakal merasa tertantang."
"Tapi, dia anak gw."
"Berkelamin lelaki. Udah gede. Lagian ngajakin maen kartu gak berarti berujung pada seks. Sekali lagi, Dewi yang dulu pasti udah tertantang. Sejauh mana sih perubahan lu?"
"Emang si Dana lu apain?"
"Selama delapan tahun gw gak ngapa – ngapain anak gw." Diana menghentikan ucapan lalu menatap mata Dewi dalam diam. "Tapi kini, hanya dalam sekejap."
"Serius lu?"
"Apa lu yakin mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi?"
"Maksud lu?"
"Ada sesuatu yang mesti gw katakan. Gw paham jika sehabis lu dengerin cerita gw, mungkin lu bakal jijik, bahkan lu bakal gak mau lagi kenal gw. Keluarga gw. Mungkin juga lu bakalan ngelarang Dewo agar tak berhubungan lagi dengan keluarga gw."
"Gak mungkin."

Diana kembali menatap Dewi sebelum melanjutkan percakapan. " Menjelang senja nih. Lu ada kegiatan ntar sampai malem?"
"Gak juga sih. Laki sama anak gw gak ngomong apa – apa. Emang mau sampe jam berapa?"
"Kira – kira jam sepuluhan lah..."

Dewi lalu memiankan hp untuk memberitahu keluarganya. Diana menghilang dari pandangan Dewi untuk muncul lagi beberapa saat kemudian, lalu duduk di meja dapur.

"Kenapa lu mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi. Apa lu gak bahagia sama hidup lu yang sekarang?"
Dewi berpikir sejenak. "Gw masih cinta ama laki gw. Ama keluarga gw. Gw gak pernah lupa hubungan gw dulu sama laki gw, tapi kini serasa hambar. Apalagi laki makin sibuk sama kerjaannya."

Tiba – tiba muncul Dana menghampiri mereka. "He bu Dewi, bu Yantinya ke mana? Udah sepuluh menit nih mah, ada apa sih?"
"Duduk nak. Bu Yanti udah pulang. Tinggal kita aja. Bu Dewi sangat suka main kartu. Tapi mama ragu apa Bu Dewi mau main malam ini. Jadi kalau Bu Dewi gak mau main, mama bisa ngajakin kamu main, berdua aja." Selesai berbicara lalu Diana meletakan satu pak kartu di meja.
"Apa?" teriak Dewi terjekut.
"Hah?" Dana tak kalah terkejut.
"Lu mau kembali kayak dulu? Inilah caranya." Kata Diana sambil mendekatkan kartu ke arah Dewi.

Dewi memandang Diana. Memandang Dana. Memandang kartu. Diana hanya menyeringai saat dipandang sahabatnya itu.

"Dijamin lu gakkan merasa bosan."
"Main kartu trus ngapain mah?"
"Biasa. Tapi kalau ada yang kalah, mesti lepas pakaian satu – satu hingga habis."
"Tapi mama kan cuma pake daster doang."
"Iya, kalau daster mama lepas, yang menang boleh nanya apa saja."
"Siaplah. Dana ikut main deh."
"Lu penasaran sama perubahan gw kan Wi, nah lu punya kesempatan."
"Kalian pernah main gini sebelumnya?" Dewi bertanya sambil menatap Diana dan Dana bolak – balik.
"Main kartu sih iya. Tapi main kartu. UDah, ntar aja lagi gw jawab kalo lu menang."
"Jangan sampai Dewo tau tentang ini," kata Dewi sambil meraih kartu.
"Terserah lu itu mah, karena gw sama anak gw gak kan pernah bilang."
"Lu yakin Dana gak kan ngomong?"
"Gw percaya anak gw. Apalagi anak gw udah bisa megang rahasia selama ini."
"Maksudlu?"
"Lu mau tau jawabnya?"
"Kamu udah gede kan?" Tanya Dewi kepada Dana.
"Baiknya saya bawa ktp dulu." Dana mulai bangkit dari kursinya.
"Jangan sampai dia ke kamar, bisa – bisa pake jaket tiga lapis."
"Kan belajar dari ahlinya."
"Apa, kamu belajar dari ibumu? Benar – benar sial."
"Tenang aja. Bisa jadi kita yang kalah."
"Jangan banyak ngobrol, Dana mesti sekolah besok."

Kartu pun dikocok, lalu dibagikan. Ternyata Diana menang, Dana yang kalah. Dana melepas kaosnya.
Putaran selanjutnya Dewi yang kalah. Dewi melirik Diana, lalu melirik Dana. Setelah itu Dewi melepas kaosnya. Terlihatlah bh hitamnya, meski tidak seperti bh hitam tante denok, namun terlihat menantang bagi Dana.

"Sip..." Diana bertepuk tangan.
"Ya... ya..." Kata Dewi sambil mengambil lalu mengocok kartu. "Fokus nak. Mamamu mesti dikalahkan." Kata Dana sambil menatap Dewi.
"Iya bu."

Ternyata Dana kalah. Dia pun melepas singletnya. Dewi menatap dada Dana yang telanjang.

"Jangan – jangan kartunya sudah diatur nih," celoteh Dana.
"Tentu tidak. Ini bukti kalau perempuan lebih pintar." Kata Dewi sambil memperbaiki posisi bhnya.

Diana kalah juga. "Kita lihat apakah ada perubahan setelah delapan tahun," kata Dewi.

Diana melepas kaos lalu melemparnya ke lantai.

"Agak gemukan kayaknya," kata Dewi sambil melihat Dana. Dana sedang menyeringai ke mamanya. "Gw tahu. Dana udah melihat tubuh itu. Matanya gak begitu terkejut."
"Baik, Dana udah melihat wanita telanjang. Besok Dana mesti sekolah, jadi selamat malam."
"Kalau kamu pergi berarti liburan pun gak jadi."
"Bener, jika masih mau main sama Dewo. Lagian, tante udah sering liat mamamu telanjang. Jadi biasa aja tuh."

Dana terpaksa duduk lagi.

Putaran berikutnya Dewi menang, Diana kalah. Karena Diana tak bisa melepas cd, jadi Dewi berhak bertanya dan Diana mesti menjawab. "Kapan Dana pertama kali liat tubuhlu?"
"Hehe... kita kadang mandi bareng. Ya... setelah tiga kali mungkin..."
"Oh tuhan, Omong kosong."
"Kan lu yang nanya."
"Parah..."

Berikutnya Dana menang, yang kalah masih Diana.

"Benar kata bu Dewi, omong kosong. Jawab aja yang jujur mah!"
"Baiklah. Dia liat kira – kira satu setengah atau dua bulan ke belakang."
"Nah, lebih masuk akal jawabannya. Gimana awalnya?"
"Itu jawaban buat pemenang berikutnya..."

Putaran berikutnya kembali Diana kalah.

"Sampai mana tadi, oh ya, gimana awalnya?"
"Lu inget gak saat lu nanya kenapa anak gw jadi pinter. Nah, waktu itu jawabannya ngarang. Kamu mau jelasin Nak?" kata Diana sambil menatap anaknya.

"Saat itu Dana gak mau kuliah. Namun mama janji kalau Dana mau kuliah dan nilai Dana membaik, mama bakalan telanjang di rumah jika hanya berdua ."
"Gak mungkin. Gila..."
"Dia lupa bilang, selain gak boleh cerita sama siapa pun juga gak boleh sentuh."
"Bercanda ah. Eh, tapi, itu kelakuanlu delapan tahun silam. Liar dan nakal." Dewi bolak – balik menatap Diana dan Dana. "Benar - benar liar, nakal. Kasihan anak lu, bisa liat gak bisa nyentuh. Terus – terus ..."
"Ya kasihan juga. Tapi dia berhasil bikin gw lakuin hal – hal gila lainnya. Bener – bener persis bapaknya..."
"Ceritain dong."
"Ntar kalau lu menang lagi."

Namun putaran berikutnya Dewi kalah, hingga terpaksa melepas celananya.

"Liat nak, apa cdnya selaras dengan bhnya?" kata Diana menatap anaknya.
"Iya mah."
"Kalian ibu dan anak sama – sama gila."
"Bentar, gw ke kamar mandi dulu." Kata Diana lalu bangkit.
"Jadi kamu liat mamamu telanjang selama dua bulan ini nak?" Dewi menatap Dana penasaran.
"Iya."
"Mamamu seksi sih."
"Ah, bu Dewi juga seksi lho," Dana mulai mencoba peruntungan, sambil belajar SSI.
"Makasih nak. Tante tau kamu bilang gitu agar bisa liat tante telajang, seperti mamamu."
"Gak gitu. Ini rahasia tante, tapi kami, Dewo dan Cipto, sering ngobrolin siapa mama paling seksi."
"Begitu ya? Tapi mamamu belum tua – tua amat."
"Gak juga. Sebelum perjanjian, mama terlihat tanpa gairah. Pucat dan terlihat tua. Namun beberapa hari ini, mama terlihat bersemangat."
"Tante percaya. Tapi apa kalian senang menjalaninya?"
"Memang godaan untuk menyentuh, bahkan merengkuh tubuh mama selalu datang melanda. Tapi Dana berusaha patuh."
"Jadi bener – bener tanpa kontak fisik? Wow."
"Tentu. Lagian ini kan mama Dana. Dana juga menyayangi mama."

Diana kembali, lalu menatap mereka. "Masih pada berpakaian, bagus."
"Dana juga mau ke kamar mandi." Katanya sambil bangkit.


"Jadi, gimana meunurut lu?"
"Gw gak tau mesti mikir apa. Tapi udah lama rasanya gak ngerasain nih perut berkenyut – kenyut seperti sekarang ini."
"Nah, itu. Beberapa hari terakhir denang Dana membuat perut gw seakan kembali diaduk. Luar dari pada biasa," kata Diana sambil memutar jemari di perutnya.
"Kenapa gak ngelangkah lebih lagi?"
"Ya jelas dia anak gw. Tentu gak bisa jadi suami gw. Dana mesti nikmatin hidupnya, raih pengalaman sebanyak mungkin. Biar bisa jadi laki fearless... Tentu semua itu gak bisa dia raih jika sama gw. Lagian, dia belum cukup pengalaman buat bisa nafkahin gw, terutama nafkah lahir."
"Lu ngomong apa sih? Maksud gw seks, ngewe. Bukan yang lainnya."
"Bagi gw, seks bukan sekedar ngewe. Mesti spesial."
"Bener – bener Diana yang dulu. Liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar. Anehnya gak mau ngewe selain sama laki lu dulu."
"Nah, itu maksud gw, mesti liar, tapi apa lu sanggup ngewe siapa aja? Mesti banyak pertimbangan. Jangan sampai pada akhirnya cukup bilang 'saya prihatin.'"
"Nyindir gw lu yah? Itu sih udah lama banget."
"Meski gitu, si Yanti gak pernah berubah. Malah gw rasa jadi agak ada jarak dia sekarang ini."
"Dia bener – bener rindu lu yang dulu. Gw akuin itu."
"Ya mau gimana lagi."
"Gimana rasanya telanjang di hadapan anaklu?"
"Rasanya gw dulu terlalu sibuk di dapur, hingga akhirnya begitu."
"Begitu gimana mah?" kata Dana sambil melangkah masuk.
"Kamu ada di sini?" tatap Dewi ke Dana.
"Jangan dibiasakan menguping percakapan orang, gak baik." Kata Diana sambil memukul tangan anaknya.
Dewi menatap Dana, "Kamu benar – benar anak mamamu." Lalu menatap Diana, "Tapi gw cemburu, kalian jadi begitu dekat. Gak ada jarak."
Diana menarik anaknya lalu memeluknya. "Ya, gimana lagi. Gw cinta banget anak gw. Meski nakalnya bukan main."
"Duh, sekali lagi. Pelukan ini malah membuat tersiksa."
Diana melepas anaknya, lalu melihat dadanya. "Mau gimana lagi ..." Kini Diana menatap Dewi, "Kamu tau nak, malam ini bukan hanya mama yang bisa membuatmu tersiksa."
"Benar mah, bentar lagi bu Dewi pasti telanjang."
"Sebelum tante juga pasti kamu duluan." Kata Dewi sambil mengocok botol, ngocok kartu.
"Kok pada ngobrol cabul di tempat gw."

Mereka memainkan kartu. Berkonsentrasi agar tidak kalah. Namun akhirnya celana Dana yang lepas. Otomatis Dana hanya tinggal memakai cd nya.

"Nah, bentar lagi ketemu sama temen kecil mama."
"Udah Dana bilang gak perlu pake temen kecil segala. Kayaknya Dana mesti terapi atau apalah – apalah."
"Gak usah sok ngomongin harga diri. Coba ingat, berapa orang temanmu sekarang yang lagi sama wanita telanjang."
"Jadi inget, lu pernah liat anaklu telanjang gak?"
"Kalahin gw dulu dong."
"Udah, sini kartunya." Kata Dana sambil mengambil kartu lalu mengocoknya.

Kali ini Dewi kalah.

"Hahaha... lepas lagi nih." Diana bertepuk tangan.
"Haha... lu mesti malu sama diri lu." Kata Dewi sambil meraih punggungnya sendiri. Dewi tersipu malu melihat mata Dana yang menapat tubuhnya. Dewi melepas bh dan melemparkanya ke dekat Diana yang sedang berseringai. "Gw muak liat seringai lu."

"Hati – hati, kalau lu banyak gerak, bakal bikin susulu naik turun. Kasiah si Dana."

Namun, Dewi malah meletakan tangan di bawah susunya, lalu mengguncang – guncang susunya dengan tangannya sendiri, "nih, biar makin tersiksa."

Dana hanya bisa melihat sambil menelan ludah. Diana dan Dewi hanya tertawa. Pada putaran berikutnya, Dana kalah.

Dana berdiri, "jangan sampai Dewo dengar tentang ini." Dana melepas cdnya. DI wajahnya terlihat betapa ia malu. Kontolnya sudah agak tegang. Setelah telanjang, Dana kembali duduk.

"Salut tante, kamu udah Dewasa," kata Dewi menatap Dana sambil tersenyum.
"Iya makasih."

Tiba – tiba telepon berbunyi. Diana bangkit dan meraihnya. "Wi, ini dari Widia nih."

Dewi pun bangkit. Saat berjalan, susunya memantul bergerak liar.

"Duh, gw inget baju basket si Widia belum di cuci."
"Lu sengaja ya rencanain bilang gitu."
"Sengaja? Gw malah pingin tanding ulang lagi minggu depan. Juga, Dana..."

Dana telah membawa pakaiannya dan akan ke kamarnya saat dia dipanggil. Dana lalu berbalik.
Dewi meraih cdnya, lalu menurukan hingga lepas. "Jangan dengarkan kata – kata mamamu." Dewi berdiri dengan tangan di pinggulnya.

Dana melongo melihat sahabat mamanya berdiri telanjang di hadapannya. "Makasih tante, tenang saja, Dana takkan dengar ucapan mama kok." Setelah itu Dana melihat Dewi mulai memungut pakaiannya dan memakainya kembali.

Diana kembali memakai pakaian, lalu ke pintu mengantar Dewi. Dewi lalu berbalik dan memeluk Diana.

"Makasih. Abis gw cuci baju Widia, si Jefri gak bakalan tau apa yang ntar terjadi."

Diana tertawa hingga Dewi hilang dari pandangannya.
 
Terakhir diubah:
"Yes" Diana berteriak sambil bergoyang. Di tangannya tergenggam remot wii. Goyangan tubuhnya membuat kedua susunya yang basah dipenuhi peluh berguncang tak mau diam.



Dana menjatuhkan diri ke sofa hitam di belakang mereka. Kepalanya menunduk sambil duduk.



Diana membungkuk menyentuh jemari kaki sambil melemaskan perut dan ototnya. Sedang di belakangnya, anaknya sedang disuguhi pemandangan indah, berupa pantat montoknya yang ditutupi celana biru muda. Namun, dari sela kakinya Diana melihat anaknya hanya melempar remot wii dan menyandarkan kepala ke sofa.



Pun Diana mendekati anaknya lalu ikut bersandar di sebelahnya.



"Ada apa sih? Tumben cuekin pantat mama."

"Entahlah mah. Rasanya kesal banget nih.?"

"Kesal kenapa?"

"Bener mama mau tau?"

"Iya dong sayang," kata Diana sambil melingkarkan lengannya di bahu anaknya.

"Dana seneng mau liburan sama mama, juga sambil ngajakin temen. Tapi di sisi lain, Dana merasa gak seneng juga temen Dana ikut."



Semakin hari Diana merasa anaknya semakin Dewasa, semakin berpandangan terbuka. Kesepakatan ini sepertinya hal yang sangat disukuri Diana.



"Kok gitu?"

"Mama kan mama kandung Dana. Akhir – akhir ini Dana bener – bener seneng main sama mama. Tapi, tentu ini gakkan selamanya. Apa pun yang terjadi, Dana tetap anak mama, gak akan pernah jadi pria, atau bahkan suami mama. Tapi tentu teman Dana gak akan seperti Dana. Apalagi saat kita liburan nanti."

"Emang kamu mau mulai ngerayu mama ntar pas liburan?"

"Ya enggak dong. Dana juga kan tau batas. Meski kadang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi. Cuma, Dana akui, dan juga meski sama – sama kita akui, rasanya sangat berat dilarang menyentuh apalagi membicarakannya kepada seseorang. Meski kini bu Dewi tahu, tapi itu kan temen mama."

"Memang kenapa? Hanya karena mama bisa dengan mudah hidup tanpa sehelai benang di sini, bukan berarti di tempat lain juga sama. Lagian, tubuh ini telah mengalami pelbagai macam cobaan hidup. Tubuh mama kini tak seindah tubuh mama yang dulu."

"Omong kosong. Justru mama sangat seksi. Coba perhatikan. Tiap kali kita jalan, pasti banyak mata lelaki menatap mama. Apalagi temen Dana pasti juga suka."

"Kamu mau mama batalin ngajak temenmu gak?"

"Entahlah. Kalau batal ngajak mereka, mungkin Dana jadi bakal terlihat brengsek di mata mereka. Tapi kalau jadi, mungkin bisa memulai ke hal – hal lain."



Hening. Keduanya menghela nafas berbarengan meski tak pernah membuat janji. Menyadari itu keduanya pun saling menatap.



"Gimana semalam, kamu seneng kan liat dua wanita telanjang?"

"Yang satu sih gak telanjang. Apa bu Dewi bener – bener pingin ngulang lagi?"

Diana memukul anaknya, "Kamu gak pernah puas ya?"

"Dana hanya gak enak sama Dewo," kata Dana sambil menunduk.

"Tinggal kamu pikir aja sama Dewi. Memang gak enak nutupin sesuatu dari seseorang. Bahkan pada titik tertentu, bisa membuat seseorang kecewa dan atau marah. Meski kamu tak bisa disebut curang. Mending kamu biarkan bu Dewi menanganginya. Lagian, dia lebih paham hal ginian disbanding kamu. Mama yakin kalau memang sudah pada waktunya, dia bakal memberi tahu Dewo. Tinggal kamu siapin aja mentalmu setelah Dewo tahu. Siapa tahu dia malah bersyukur."

"Main kartu lagi, cuma ditambah Dewo. Dana sih seneng, kecuali liat Dewo telanjang. Najis tralala..."

"Mama yakin bu Dewi juga bakalan kembali seperti dulu. Kayak mamamu ini."

"Maksud bu Dewi tentang ganti pasangan tuh apaan sih mah?"

"Ya beberapa pasangan bersetubuh bersama, kadang saling berbagi pasangan. Namanya swinger."

"Emang di sekitaran kita ada mah?"

"Iya dong. Kami kadang melakukannya. Anggap saja hiburan orang dewasa."

"Trus kira – kira ke depan bakal ngelakuin kayak gitu lagi gak?"

"Mama ragu. Kita gak semuda kayak dulu lagi. Sekarang udah pada sibuk sama keluarga masing – masing. Mama kira kamu hanya akan melihat hal kayak semalam aja, serta yang kita sering lakuin."

"Kalau bu Yanti gimana mah?"

"Haha... Kamu gak puas ya cuma liat dua wanita..."

"Gaya hidup dia udah bikin dia bahagia. Mama ragu dia mau ngikuti mama sama Dewi. Dewi sama Jefri mungkin saja bisa diajak tukar pasangan. Kalau sampai terjadi, emang kamu mau?"

"Apa? Dana sama bu Dewi? Entahlah mah, bisa – bisa Dana dimutilasi Dewo. Tapi tak mungkin, ku tak berdaya, hanya mampu menunggu jawabnya."

"Mari berandai – andai. Kita anggap tiada yang namanya Dewo. Setau mama, Dewi bahkan kemungkinan besar gak keberatan."

"Entahlah mah, aneh juga kalau Dana pikir. Terlalu ganjil. Bu Dewi memang masih menarik, tapi rasanya pasti aneh. Mungkin juga mama bakalan marah, iya kan?"

"Pertanyaan yang bagus. Yang pasti mama gakkan cemburu. Mama masih menunggu seseorang yang tepat untuk mengisi hidup mama. Mumpung kamu masih perjaka, sebaiknya wanita yang bakal jadi istrimulah yang jadi yang pertama dan satu –satunya bagimu. Biar lebih intim. Itulah alasannya mama sama ayahmu tak pernah berbagi pasangan. Meski ayahmu bukanlah yang pertama, tapi dialah satu – satunya lelaki mama. Tapi kalau kamu memang mau sama bu Dewi, mama takkan melarang kamu. Bukan juga berarti mama menyuruh kamu. Mesti kamu ingat, dia itu masih punya suami juga ibu dari temenmu. Meski kamu pikirkan Dewo jika kamu ingin pertemanan abadi."

"Itulah yang bikin Dana bingung."

"Mama bangga sama kamu nak. Apa yang telah kita lalui kamu lakukan tanpa melanggar aturan awal kita."



Tangan Diana kini bergerak membuat anaknya kini berada dalam pelukannya. Namun setelah beberapa saat, anaknya berontak hingga pelukan itu pun lepas.



Diana menatapnya.



"Dana juga normal mah. Dana gak bisa lama – lama bersentuhan sama susu kembar mama tanpa didinginkan dulu. Mandi misalnya."



Dana tertawa mendengar penjelasan anaknya lalu menatap payudaranya sendiri. Meski tidak besar, namun terlihat pas proporsional. Sambil melihat putingnya, Diana melirik benjolan di celana anaknya yang baru saja disadarinya kini muncul.



"Nih special buat kamu lihat,' kata Diana sambil mengangkat susu dengan tangannya lalu mengarahkannya ke anaknya. "Emang kamu rela berbagi pemandangan ini ntar?"

"Udah ah. Mending maen lagi yuk."



Keduanya bangkit lalu mengambil remot wii masing – masing. Keduanya kembali bermain voli sambil jingkrak – jingkrak.



Namun Dana terus kehilangan point karena matanya tak bisa berkonsentrasi. Mata muda itu terpecah perhatiannya antara boli voli di monitor dengan bola daging di dada mamanya yang berkilauan karena penuh peluh bercucuran. Diana tahu anaknya sedang memperhatikannya. Namun, bukannya risih, Diana malah sengaja bergerak kian kemari supaya susunya ikut bergerak – gerak.



Pertandingan menjelang detik – detik terakhir. Saat Dana akan melakukan upaya terakhir, tiba – tiba mamanya memanggil membuat Dana menoleh. Saat Dana menoleh, terlihat mamanya sedang nungging dimana celana dalamnya melorot sebatas lutut sehingga nampaklah pantat mamanya yang basah oleh keringat itu bergerak – gerak ke kiri kanan sambil bergoyang. Disuguhi pemandangan seperti itu maka buyarlah sudah konstentrasi Dana.



"Yes, mama menang lagi," teriak Diana kegirangan sambil menggoyangkan pantatnya.

"Mama doyan bener nampilin asset mama. Bikin Dana mesti kerja keras nih di kamar," kata Dana sambil melangkah meninggalkan mamanya.

"Tunggu nak."



Dana menghentikan langkah lalu berbalik menatap mamanya.



"Mama paham betapa kerasnya," kata Diana sambil menatap gundukan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya, "kamu mencoba menahan diri. Mama tahu kamu gak mau melewati batas perjanjian ini, baik itu perjanjian lama maupun perjanjian baru, apalagi melewati batas cakrawala. Tapi mama justru bangga dengan sikapmu yang tak kenal kompromi, keras hati dan setegar besi."



Diana menghentikan dulu ocehannya sebentar, nampak berhati – hati sebelum memulai lagi.



"Maka, atas dasar keteguhanmu itu membuat mama ingin memberi hadiah. Suatu hadiah yang secara teknis tidak melanggar atau bahkan menembus batas – batas yang telah kita sepakati bersama. Kalau kamu mau, kamu boleh mengolah ragakan tanganmu di sini sambil melihat mama yang mencoba memberi inspirasi."



Setelah berkata – kata, Diana lalu membalikan badan hingga membelakangi anaknya. Setelah itu tangannya mengelus – elus pantat dan sesekali meremasnya.



Mata Dana membesar dan tangannya reflek mengelus selangkangannya yang masih terbungkus celana.



"Udah gak usah malu, lepas aja tuh celananya. Kayak mama gak pernah lihat aja," kata Diana sambil terus meremas pantat. Namun kini tangan kanan Diana mulai bergerak ke arah susunya dan terus bermain di situ sementara tangan kirinya tetap di pantatnya.



Dana menggeleng sambil melepas celananya hingga nampaklah teman kecil mamanya itu.



Diana menatap kontol anaknya lalu berlutut di depannya. Dana terlihat sekali ingin menyentuh tubuh mamanya namun berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melakukannya.



"Dasar kamu nakal. Sekarang hadiah yang tadi mama janjikan. Ingat gak kesepakatan kita. Kamu sama sekali gak boleh menyentuh. Tapi gak ada poin yang melarang mama. Jadi dengan kata lain, kamu gak boleh menyentuh sedang mama boleh. Paham?"

"Enggak mah, Dana gak paham. Tapi terserah mama dah."

"Dasar kamu kalau udah nafsu otaknya mendadak buntu. Nih liat, tangan mama gak menyentuh kamu."



Diana lalu memengan susu kanan dengan tangan kanannya. Serta susu kiri dengan tangan kirinya. Lalu belahan susunya itu dimajukan hingga kini menempel ke kontol anaknya. Tak hanya itu, kini ditekannya susu itu hingga kontol anaknya berada di antara susunya. Setelah berada di antara susu itu, tangan Diana bergerak – gerak seolah menekan membuat kontol itu seperti diremas – remas oleh susunya.



Gosokan serta remasan susu mama pada kontolnya membuat Dana serasa melayang. Meski Dana sadari dia tak pernah melayang. Ingin tangan Dana mengelus dan meremas rambut mamanya, namun Dana tak ingin menembus batas. Alhasil, tangan itu kini meremas rambutnya sendiri menahan kenikmatan tak tertahankan yang dihadiahkan mama kepadanya.



Diana terlihat bersemangat saat memainkan kontol anaknya dengan susunya. Suara anaknya makin tak jelas namun nalurinya sebagai seorang ibu membuat Diana paham bahwa anaknya akan segera orgasme. Begitu muda, begitu penuh semangat, batin Diana. Diana merasakan kontol anaknya mengejang, lalu sekejap kemudian menyemburlah lahar panas dari kontol anaknya yang langsung mendarat di rambut serta pipinya. Namun di saat – saat akhir lahar itu mengalir pelan dari kontol hingga membasahi susunya.



Diana mundur sedikit hingga lepaslah kontol anaknya dari susunya. Diana menyentuh peju anaknya lalu meratakannya hingga seluruh susunya terolesi. Diana agak lama mengusap – usap putingnya. Diana lalu menyeka peju yang ada di pipi dan rambutnya dengan jemari. Setelah jemari itu dipenuhi peju, jemari itu lantas dijilatinya hingga bersih.



"Mama suka banget ya peju Dana?"



Diana menatap kontol anaknya yang masih bergetar. Diana lalu kembali membungkuk mendekatkan kepalanya ke kontol anaknya. Diana lalu menjilat kontol anaknya sebentar lalu menatap anaknya.



"Yah, kamu orang ketiga yang pernah mama cicipi rasanya tapi, mama ya suka aja."



Kontol Dana tekejut hingga kembali tegang dibuatnya setelah mendapat kejutan jilatan meski hanya sekejut saja.



Akhirnya Diana menyenderkan tubuh ke sofa sambil melihat kontol anaknya yang kembali tegang dan berkedut – kedut. Diana lalu memberi ciuman lembut di bibir anaknya. Setelah itu Diana bangkit menuju kamarnya.



"Udah ah mama mau mandi dulu. Ntar mau ngumpul sama temen mama. Kalau kamu belum puas, lanjutin aja sendiri."



Mamanya pun hilang dari pandangan. Kini pandangan itu beralih ke kontolnya sendiri. Dana langsung duduk di sofa.



Hm... Meski hanya berdua dengan mama, namun sepertinya takkan sampai bosan hidup.



***



"Gimana penampilan mama?" kata Diana sambil berdiri di pintu kamar anaknya.

"Tergantung. Kalau mama ingin menggaet lelaki, pasti banyak yang tertarik sama penampilan mama. Tapi kalau mau ngumpul sama temen, mungkin ya biasa aja."

"Tapi kan mama hanya pake blus dan jin," kata Diana sambil melihat tubuhnya yang berbalut blus dan celana jin.

"Kalau pake jaket tambah cantik deh."

"Dasar kamu. Eh, lagi liat apa tuh?"



Dana menggeser tubuhnya sehingga mamanya bisa melihat dirinya sendiri di monitor sedang masturbasi.



"Kok kamu gak bosen sih nonton gituan terus?"

"Bosan? Liat mama kayak gini? Tentu tidak."

"Ntar malam kamu mau ngapain?" Diana berjalan dan duduk di kasur.

"Munkin maen sama temen mah, kan mama juga mau ngumpul sama temen mama. Makan mungkin, kan Dana gak bisa masak. "

"Kayaknya kamu mesti nikah sama yang pintar masak dan suka beres – beres." Diana diam saat menatap adegan kursinya penuh dengan baby oil di monitor. "Bahkan gak keberatan sering beres – beres."

"Lho, itu kan ulah mama, bukan Dana."

"Ya selama kamu mau bantu beres – beres, mama gak keberatan bikin ulah lagi."

"Besok Dana gak ada acara mah."



Diana tertawa mendengarnya.



"Ya udah. Selamat bersenang – senang mah," kata Dana sambil menepuk pantat mamanya.



#####



Beberapa saat kemudian, Dana sedang berada di jalan, di luar sebuat restoran. "Cari yang lain aja yuk!"

"Yang lain gimana? DI sini enak makanannya."

"Lagian, pelayannya bening – bening di sini."



Akhirnya mereka memutuskan duduk di sudut. Pelayan datang membawa menu. Ternyata yang melayani merupakan pelayan yang dulu melayani Dana dan mamanya.



"Tuan celana. Pacarnya mana?" kata pelayan kepada Dana.



Dana menatap pelayan itu, melotot sambil menggeleng.



"Eh, maaf. Saya kira teman saya." Rupanya pelayan itu paham arti tatapan Dana. "Mau pesan apa?"

"Mau pesan no hp anda boleh?" kata Cipto bersemangat.

"Tidak boleh, maaf. Silakan dipilih, menunya ada di daftar, bukan di dada saya." Kata pelayan sambil menatap Cipto. Setelah itu pelayan itu pergi.

"Pantes lu gak pernah punya pacar," kata Dewo pada Cipto.

"Lu bikin masalah aja. Ntar gw ngomong dulu sama dia minta maaf." Kata Dana sambil berdiri, lalu pergi.



Agak jauh dari mejanya, Dana mendapati pelayan itu dekat dapur.

"Makasih tadi udah bilang gitu."

"Jadi, yang dulu binor ya? Bahaya..."

"Binor, apaan tuh?"

"Bini orang."

"Oh, enggak dong. Dia janda."

"Oh, kamu punya pacar, jadi kamu gak mau temenmu kasih tau ini ke pacarmu ya."

"Gak juga. Saya masih lajang kok."

"Trus, wanita yang kemarin?"

"Dia itu spesial. Hubungan kami memang rumit. Lagian dia gak mau mereka tahu." Kata Dana sambil menunjuk ke mejanya.

"Jadi, biar gak ada kesalah pahaman diantara kita. Kamu punya hubungan dengan wanita cantik berumur, namun kamu gak mau temanmu tahu. Jujur saya akui saya terkesan. Biasanya cowok suka koar – koar omong kosong sama temennya. Tenang saja, saya gak akan buka mulut.

***

Cipto dan Dewo menatap Dana saat kembali.

"Gimana?"

"Gw udah minta maaf. Gw takut dia nambahi sesuatu ke makanan kita kalau gak minta maaf."



***



Sementara itu, Diana sedang bersenang – senang di sebuah tempat hiburan malam bersama teman – temannya.



"Lu kok keliatan seneng sih, kayak Diana?" Tanya Yanti ke Dewi.

"Ya seneng dong. Kita kumpul lagi kayak dulu."

"Hanya saja, sekarang kayaknya gakkan ada yang sampai teler," kata Lisa.



***



"Lu ngerti gak maksudnya celana kata si pelayan?"

"Mungkin dia kira petinju."

"Gak bakal ada yang percaya lu bisa tinju," kata Cipto tertawa.

Dewo menunjuk pintu, menatap Dana, "Lu mau gw bawa dia keluar, biar kita tentuin siapa yang lebih jago kelahi?"

"Ntar, kalau dia ngomong aneh lagi ke cewek saat liburan ntar."

"Bahkan, gw bisa bantuin pegangin dia nanti."

"Gw masih gak percaya kita bakal liburan bareng. Apalagi sama mamanya Dana. Seksi bro."

"Kayak mama lu pada jelek aja."

"Serius, ruginya kita." Dewo tertawa. "Lagian lu pikir, mamamu bakal bebasin kita gak?"

"Maksudlu?"

"Ya, misalnya cewek, minum. Kan lagi liburan."

"Kayak bakal dikasih aja."

"Gw gak tau gimana mama. Tapi kayaknya mama gakkan larang selama kita gak bikin kacau."



Pelayan tadi mendekat dan memberi bill. Anak – anak itu mengumpulkan uang, lalu Dana pergi ke kasir. Dewo dan Cipto keluar. Setelah membayar, pelayan tadi sedang berdiri diam. Dana menghampiri. Dia melihat tag nama bertuliskan Sendi di dada pelayan itu.



"Makasih ya atas pelayanannya. Sendi ya."

Sendi tersenyum. "Iya, sama – sama." Sendi lalu menarik bon dari tangan Dana. Mengambil pulpen dari sakunya dan menuliskan sesuatu di bon itu.



"Jangan sampai temenmu dapat nomor ini. Kalau kapan – kapan bosen main sendirian, hubungi aja nomer ini."



***





"Dah malem nih. Gw mesti pulang dulu." Kata Dewi.

"Iya, setuju. Kalian sih enak gak punya laki." Yanti menimpali.

"Ya udah, sekali lagi aja." Kata Lisa lalu bangkit.



Rupanya Lisa memesan minuman lagi. Namun saat minuman siap, dia mengambil sesuatu dari tasnya dan memasukan ke minuman. Lisa kembali, memberikan minuman itu ke Dana. Dana langsung menelannya.



"Gw juga mau cabut ah." Kata Diana.



Lisa panik. Lisa gak menyangkan Diana bakal langsung pulang. "Jangan dulu don Na, temenin gw dulu."

"Lain kali aja."



Yanti mulai membenahi pakaiannya, Dewi menatap Lisa yang kebingungan. Sedang Diana sudah mulai melangkah keluar.



"Sialan."

"Lu kenapa sih?" tatap Dewi ke Lisa.



Lisa mengabil botol yang sudah setengah isi dari tasnya, lalu menyerahkan ke Dewi. "Gw udah kasih Diana ini. Biar dia bisa agak relaks. Eh malah pulang duluan."

"Lu bener – bener sial ya. Sengaja lu bawa ginian? Pantes aja lu sendirian terus. Lu bener – bener butuh bantuan. Gw cabut dulu."



Dewi ingat, Diana akan pulang. Dewi tahu kesepakatan mereka. Kini Dewi juga tahu Diana sedang dibawah pengaruh sesuatu. "Sial. Kacau." Bisiknya.



***



Dana menutup telepon saat mendengar pintu dibuka.



"Gimana acaramu nak?" kata Diana berseri – seri.

"Dana dapet cewek mah. Barusan abis telepon – telponan." Dana berhenti bicara saat melihat mamanya berjalan sempoyongan. "Mama kenapa nih? Mama mabuk ya?"

"Enggak. Mama cuma minum tiga sloki. Tapi mama merasa aneh, melayang bagaikan terbang ke awan."

"Apa mama ditraktir minum pria?" Dana menghampiri mama dan memegangnya.

"Gak ada yang nyamperin mama. Mereka pecundang, gak kayak kamu. Mungkin mama cuma capek. Anter mama ke kamar sayang."



Diana dibimbing anaknya ke kamar. "Makasih nak."



Dana duduk di kasur mengamati mamanya. Diana menatap dan tersenyum. "Kamu cemas ya? Jangan khawatir, mama gak apa – apa kok." Kata Diana sambil berputar.

"Mama bener – bener cantik."

"Makasih sayang," kata Diana sambil melepas pakaiannya. Kini bhnya pun dilepas. "Para wanita pasti seneng liat kamu." Diana terus tersenyum hingga telanjang.



Diana menghampiri anaknya lalu mendorongnya hingga terlentang di kasur. Diana lalu menaiki tubuh anaknya. Lengan Dana bergetar menahan hasrat untuk menyentuh mamanya. Diana merasakan getaran tubuh anaknya.



Ibu dan anak itu tak mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.



Dana melingkarkan tangan untuk memeluk mamanya. Dapat Dana rasakn sisa – sisa al – qohol di bibir mamanya. Dana berguling sambil tetap mencium mamanya.



"Dana sangat mencintai mama. Tapi Dana gak bisa gini. Gak sekarang."

"Gak apa – apa nak. Mama gak teler. Mama ingin ini." Tangan Diana mengelus tubuh anaknya yang penuh peluh.



Dana melepas pelukan dan berguling hingga berbaring di samping mamanya. Tangan Dana memegang pundak mama, lalu turun hingga mengelus – elus susu mama. Dana mendekatkan mulut lalu mencium mamanya, "sebaiknya kita bicara mah."

"Kenapa nak?" kata Diana sambil tetap mengelus – elus tubuh anaknya.

"Apa yang kita lakukan merupakan sebuat langkah besar mah. Sebaiknya kita nikmati dulu momen ini. Mama juga dulu gak langsung gini dengan papa kan?"



Tangan Diana berhenti mengelus, "Tentu tidak. Butuh waktu lama bagi kami." Diana tersenyum. "Mama kasih tahu rahasia ini, sebenarnya papamu bersikeras agar mama menunggu hingga kami menikah."



Dana melihat mama mulai menangi, "Mama bener – bener rindu papamu nak."



Dana merangkul mama hingga kepala mama berada di bahunya. Air mata mama menghangatakn bahu Dana seiring dengan isak tangisnya. Dana hanya memeluk mamanya. Saat Dana menggerakan kepala, Dana melihat Dewi sedang berdiri di ambang pintu menatap mereka.



Dewi melihat mereka dengan keprihatinan yang mendalam. Namun Dewi memutuksan untuk tidak berkata "Saya prihatin." Dewi hanya menggeleng sambil mengacungkan jempol ke arah Dana. Setelah itu Dewi tersenyum, mundur lalu menutup pintu kamar.



Sebelum Dewi keluar dari rumah itu, Dewi menulis catatan untuk Dana. Dia menjelaskan apa yang terjadi serta merasa bangga akan sikap Dana.



Dana diam di kasur hingga mama berhenti menangis dan tertidur. Setelah itu Dana bangkit dan keluar kamar. Namun, hingga Dana ke kamarnya sendiri, Dana tak menemukan catatan yang dibuat Dewi.



***



Dana terbangung esok paginya. Beberapa saat kemudian, mama datang sambil tersenyum. "Mama baik – baik saja?"



Diana mendekati Dana. Diana memakai daster pendek sambil memegang kertas. Tangan satunya membelai rambut anaknya. Diana menatap anaknya yang khawatir akan dirinya. "Mama gak apa – apa kok. Makasih kamu udah peduli sama mama."



Diana memutuskan untuk duduk di kasur anaknya, "kamu baca catatan bu Dewi?"

"Catatan apa? Enggak tuh mah."

"Sepertinya semalam mama dalam pengaruh sesuatu."

"Sebaiknya kita segera ke dokter mah."

"Gak perlu. Dewi udah nanya Lisa. Katanya tanpa efek samping. Tidak seperti efek rumah kaca.

"Kenapa bu Lisa ngelakuin itu mah?"

"Maksudnya biar mama relaks dan bersenang – senang. Mama jadi kecewa dibuatnya."

"Maafin Dana mah."

"Kamu hebat nak, gak perlu minta maaf. Kamu benar – benar dewasa, lebih dewasa daripada mama. Mama bangga padamu."



Dana melihat daster mamanya. "Tau gak mah. Mama mending pake baju kok. Kita sebaiknya gak ngelakuini ini. Liat akibatnya ke mama. Apa yang hampir mama lakuin. Memang menyenangkan, tapi harus kita hentikan sebelum menembus batas."



Diana berdiri dan tersenyum ke anaknya. "Mama senang dengan pikiranmu. Tapi mama pake baju bukan karena itu. Mama takut Dewi masih di sini."



Diana melepas daster hingga telanjang, lalu naik ke kasur.



"Mah?"



Diana tertawa. "Liat ekspresimu. Mama serius kok, mama udah gak dibawah pengaruh lagi. Lagian ini hampir siang. Kamu aja yang suka malem bangun."

"Iya deh. Tapi, mama ngapain sih?"

"Kamu benar – benar luar biasa, selain papamu. Kamu selametin mama dari kemungkinan rasa bersalah. Kini mama benar – benar bisa mempercayai kamu. Kita tak lagi butuh aturan dan kesepakatan. Apa pun yang terjadi, mama yakin kamu bisa mengatasinya. Apalagi yang kita lakukan ini penuh cinta dan kepercayaan."



Diana menatap mata anaknya dalam – dalam. "Maka dari itu, gak usah lagi ada kesepakatan." Setelah itu Diana menindih tubuh anaknya lalu menciumnya.



Dana balas mencium. Namun kira – kira satu menit kemudian, Dana menghentikan ciumannya. "Udah dulu mah. Mama jangan marah ya, tapi Dana rasa Dana belum siap untuk seks mah. Kayaknya terlalu cepet."

Diana menatap anaknya sambil tersenyum, "udah mama duga kamu bakal ngomong gitu. Kamu bener – bener mirip papamu. Bukan berarti kamu mesti jadi penggantinya. Kamu harus jadi diri sendiri.



Diana merebahkan kepalanya di dada Dana sambil mengusap tubuh anaknya. "Banyak hal yang bisa kita lakukan nak."



Dana meletakan kepala di bantal sambil menikmati sensasi berbaringnya mama ditubuhnya. Dana sangat menikmati elusan tangan mama.



Pelan saja, Diana berbisik, "mama suka elusan tanganmu semalam nak."



Dana terkejut, tangannya langsung bergerilya mencari susu mama. Setelah dapat, dieluslah susu mamanya itu. Sambil mengelus, Dana menggerakan kepala hingga kembali mencium mamanya. Kali ini lidahnya disambut lidah mama. Sedang kontolnya dielus tangan mama.



Diana merasakan anaknya mulai bergetar, maka dia hentikan ciumannya. Diana lalu menatap anaknya, "ini caranya biar kita gak mesti beres – beres lagi." Setelah itu Diana mengangkat kepalanya hingga mendekat ke selangkangan anaknya.



Diana langsung memasukan kontol ke mulutnya sambil mengelus peler anaknya. Saat itu juga Diana merasakan semburan peju di mulut yang langsung dia telan.



Setelah itu, Diana kembali berbaring di tubuh anaknya. Kepalanya di dada hingga bisa merasakan detak jantung anaknya. "Jadi, hari ini kamu mau ngapain?"

"Gak tau mah. Tapi Dana udah gak sabar nih."
 
Cerita yg bener2 bikin imajinasi bangkit nih :mantap: :mantap:
Ijin bookmarks ya mas bro.
Lanjutin trs cerita nya
:semangat:
Gw dukung nih jd bagian dari cerita fenomenal di forum ini.
Nakal tapi gk asal ngewe itu baru yg bikin bosen-bosen.
 
Bimabet
Absen malem sekalian mas bro
:semangat:
:semangat:
:semangat:
Di tunggu kelanjutan karya imajinasi mendebarkan nya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd