Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Scene 29
Gelisah



Arlena Kayaningtyas


Ainun ... ...

Byur... byur...

“haaaah...”

Tik.. tik...

Suara tetesan air, terdengar jelas. Menetes dari tubuhku yang masih tertutup kaos, celana panjangku pun masih menempel. Dinginnya air tak membuatku beranjak dari tempat ini. Kupandangi langit kamar mandi tanpa ternit. Mataku terpejam, mengingat apa yang telah terjadi. Semalam, begitu lembut dan hangat tubuhnya. Tubuhnya bersatu denganku, hal yang salah namun aku menganggapnya benar. Dasar bodoh, aku memang bodoh tapi aku tak bisa menolak mata itu. Mata sayu dengan wajah yang ayu itu.

Tubuhku merosot, berbalik, dan bersandar pada dinding bak mandi. Pintu kamar mandi masih terbuka, sedikit air membasahi lantai luar kamar mandi. Aku benamkan wajahku di tumpukan tangaku, aku benar-benar bingung dengan semua ini. Tapi, jika aku mengingat matanya lagi. Hanya satu yang aku inginkan, memilikinya.

Tik... tik...

Suara tetesan air, aku masih mendengarnya dengan jelas. Aku telah merenggut mahkotanya, bukan, bukan merenggutnya namun menerimannya. Sebuah logika pembelaan diri sendiri, dengan mengabaikan kesalahan yang aku perbuat. Sebuah logika yang selalu menyerah pada perasaan. Mungkin inilah kenapa Adam turun dari surga bersama Hawa. Logika yang terabaikan karena adanya sebuah perasaan. Jika yang aku alami seperti halnya Adam dan Hawa, apakah dia tercipta untukku?

Dia mencintaiku, tapi aku belum bisa mencintainya. Namun tembok itu terlalu tebal. Buruk bagiku ketika harus mencintainya. Dia bukan milikku, tapi miliknya. Sakit ketika aku harus tahu itu semua, sakit, benar-benar sakit. Inikah racun persaan? Inikah yang membuat orang membunuh dirinya sendiri? Mungkin memang nasibku, ini jalan hidupku, menjadi seseorang yang selalu berada diantara.

Apapun yang terjadi, aku harus tetap menjaganya. Dan jika lelaki itu menyakitinya, aku pasti orang pertama akan menghancurkan hidup lelaki itu. Tapi lelaki itu terlalu baik kepadaku. Kesalahanku adalah berada diantara mereka berdua. Tapi, itu juga kesalahannya mencintai yang lain. Maaf, sungguh maaf jika aku sayang kepadanya. Mungkin lebih dari kata sayang.

Entah sampai kapan semua yang telah terjadi ini terus bertahan. Jika suatu saat nanti aku harus meninggalkannya, apa aku bisa menemukan seseorang yang bisa memberikan kenyamanan sepertinya. Adakah seseorang yang seperti dia tapi bukan dia? Aku benar-benar bingung. Segera aku menyelesaikan mandiku. Membuat segelas kopi putih untuk aku nikmati di waktu menjelang malam sekarang ini.

Ku bawa ke depan kontrakanku, Aku duduk di depan jendela bukan didepan pintu kontrakanku. Sekedar mencari aman agar bisa bersandar. Karena jika bersandar pada pintu, yang aku takutkan pintu bisa saja sewaktu-waktu terbuka dan aku terjengkang kebelakang. He he he.

Masih di teras rumah, berteman dengan Dunhill dan juga kopi putih. Suasana awalnya sepi, namun semakin waktu berjalan. Tampak beberap warga pulang dari tepat mereka mencari sebongkah berlian. Mereka saling menyapa ketika bertemu, sejenak bercengkrama dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah. Tak lupa mereka menyapaku walau sebentar. Ah benar-benar masih kental suasana kebersamaan disini.

Deg...


“Ar! Jangan melamun terus” teriak Pak RT. Aku terdiam sejenak, pandanganku mengarah ke pak RT namun fokus mataku ke arah perempuan yang disampingnya.

“Iya pak, ini lagi santai kok” jawabku dengan suara tak kalah keras dengannya. Perempuan itu tidak memandangku seperti ketika aku bersamannya. Masih tetap terlihat Ayu walau dia tidak disampingku.

“Kuliah yang bener! Biar sukses” teriak Pak RT lagi. Perempuan itu memandang ke arah lain, kadang menengok ke arahku walau sebentar. Senyumnya pun hanya sebentar yang bisa aku lihat. Sebentar dia menoleh, sebentar dia membuang muka.

“Iya pak pasti” jawabku, tersenyum bukan karena pertanyaan pak RT. Karena dia, Ainun, senyumnya mahal untukku malam ini.

“jangan banyak merokok” ucap ainun. Seketika itu pula aku langsung mematikan rokokku. Memandang mereka yang berlalu dan hanya memperlihatkan punggung mereka. Aku memandangnya, terus memandang punggung wanita berkerudung putih itu.

Tubuhnya berada beberapa langkah di belakang pak RT. Kepalanya menoleh kebelakang, tersenyum dan kemudian menjulurkan lidah. Satu tangan yang tidak digandeng Pak RT menutupi bibirnya yang tersenyum. Entah apa yang aku rasakan, namun hatiku rasanya terbang walau akhirnya harus kembali lagi. Kembali lagi ke dalam dadaku, memandang yang indah menghilang. Mungkin, memang harus seperti ini. Seperti seorang pencuri dan selalu bersembunyi. Bersembunyi untuk saling menyayangi.

Aku raih segelas kopi putih dan kuhabiskan. Kembali ke dalam kontrakan, menuju ke dunia mimpi. Berharap aku bisa bertemu dengannya didalam mimpi, walau sesaat, walau hanya dalam khayalan. Ah, aku lelah. Cukup sudah, aku ingin menenangkan pikiranku.

.
.
.

Kuliah adalah hal yang membosankan. Bukan karena aku tidak ingin menuntut ilmu, tapi pikiranku tidak sedang berada dikampus. Bagaimana aku bisa berkonsentrasi dengan perkuliahan sedangkan otakku sedang dimabuk oleh bayangannya. Sulit untuk menghilangkan bayangan itu. Sangat sulit.

“Sekarang lu kok sering gak masuk ar?” tanya andrew, setelah perkuliahan selesai. Dia menghampiriku, duduk kursi sebelahku. Terkejut aku dibuatnya.

“A-ada kerjaan ndrew, bb-bb-bantu pak RT, lu lu” ucapku terhenti,

“Lumanyun ha ha ha... ngomong santai kenapa? gak ada setan bro!” ucap andrew keras

“Eh... i-iya, lumayan bu buat uang saku” ucapku, kembali menundukan wajahku dan bayangan wanita itu muncul kembali. Aku bisa gila, bisa gila.

Andrew kembali bertanya beberapa hal, namun aku menjawab seperlunya saja. Pikiranku tidak sedang dalam kondisi menjawab pertanyaan. Akhirnya dia meninggalkan aku dan berjalan bersama helena. Sedikit aku memandang mereka berdua. Begitu beruntungnya lelaki yang bernama andrew ini, sudah punya gebetan yang benar-benar jelas. Jelas bisa digandeng, dan jelas tidak akan menumbulkan resiko.

“Hai ar..” ucap Dini

“I.. iya din” balasku

“Jangan melamun” jawabnya, aku mengangguk, dia meninggalkan aku dan bergabung bersama Dina, Winda, Desy. Untuk menyusul Andrew dan Helena yang terdengar suaranya memanggil nama mereka berempat. Desy, wajahnya masih sama saja. Memandangku dengan datar. Ah, aku tak tahu mengapa. Masa bodoh dengan semuanya.

Aku benamkan kembali wajahku ditumpukan tanganku. Pikiraku melayang di malam itu, masih terbayang hal itu dipikiranku. Teringat kejadian-kejadian yang entah benar atau tidak, namun ada sebuah kesalahan disana. Ah, Bu Ainun, putih, bersih, dan lumayan besar. Eh, besar? Itu anu, aduh kenapa malah bayangannya itu terus. Haduuuh...

60 menit, satu jam, terasa sangat cepat sekali. Baru saja aku menundukan kepalaku, teman-teman sudah berada di dalam ruang kuliah. Menjalani kuliah dengan pikiran yang tidak tenang dan selalu terbayang-bayang akan dirinya. Sungguh membuatku tak bisa berkonsentrasi.

Kuliah selesai, semua pulang, aku masih berada dalam kelas. Menjadi penghuni terakhir kelas. Setelah yakini semua sudah sepi, giliranku melangkah pulang. Bis yang sama setiap kali aku pulang. Pohon-pohon berjalan menjauhiku ketika aku melihat keluar jendela. Pikiranku benar-benar masih melayang menuju bayang-bayang dirinya. Ku langkahkan kakiku cepat menuju kontrakan. Kurebahkan tubuhku, mataku terpejam. Bayangan itu masih saja tergambar jelas. Aku bangkit duduk dan mengambil hape jadulku. Aku benar-benar ingin segera menuju rumah itu.

To : Bu Ainun
Nun, Aku mau main kerumah?

From : Bu Ainun
Jangan sekarang,
Keluarganya sedang berada dirumah

To : Bu Ainun
Aku mohon, sebentar saja

From : Bu Ainun
Jangan sayang,
Mereka menginap lama disini

To : Bu Ainun
Kalau begitu,
Kamu keluar dari rumah
Aku pengen lihat kamu

From : Bu Ainun
Iya, tapi ingat gak boleh mampir
Demi kebaikan, ya?

Aku mengiyakannya. Memang benar, bisa jadi jika aku mampir, perasaanku tak bisa terbendung. Aku keluar rumah, berjalan mengitari kompleks. Tepat didepan rumah pak RT, aku melihatnya. Tersenyum manis, aku menyapanya. Selang beberapa saat pak RT keluar dan kami saling berbincang. Dia, Ainun, hanya diam berada dibelakang pak RT, sembari melempar senyum kepadaku. Hanya sesaat tapi sudah cukup bagku. Aku kembali ke kontrakanku lagi. Senyumnya begitu hidup didalam pikiranku, sangat hidup. Senyuman itu masih saja sama.

Kini aku menjalani hari-hariku, tanpa bisa ke rumahnya. Terlalu bahaya. Terkadang aku mengirimkan sms terus-menerus kepadanya, dan hasilnya dia sedikit marah dengan ulahku.

“Jangan sering sms, hapeku sering dibawa keponakan”

“ta-tapi...”

“Tata hatimu, kamu harus tahu posisiku”

Dia menutup teleponnya. Benar aku harus tahu posisiku. Selingkuhannya, sebuah kata yang sebenarnya tidak aku ingin dengar. Tapi memang benar adanya, aku ini siapa? Ngaca Ar, ngaca! Eh, di kontrakanku kan ndak ada kaca.

Sadar akan posisiku. Ya, aku hanya selingan dari keluarga yang utuh. Aku harus kembali menata semuanya. Menata hati dan pikiranku, menenangkannya agar tidak terlalu hanyut dalam ingatan itu. Semangat darinya juga membuatku lebih bisa menata hati dan pikiranku. Ya, kembali menjadi diriku sendiri. Aku masih bisa kesana tapi nanti, setelah semua menjadi sepi. Aku adalah pencuri, mungkin itu sebutan yang benar. Pencuri yang menunggu pemiliknya lengah. Karena tak mungkin menemuinya dikala keluarga pak RT berada di rumahnya.

Pencuri... ah, sungguh ironis nasibku. Sepandai-pandainya kutu meloncat pasti akan tertangkap juga. Dasar kutu bodoh.

Eh, adikku. Ana dan ani, bagaimana kabar mereka? ah, karena kondisiku sekarang ini membuatku seperti orang yang tidak bisa pergi kemana-mana. Kadang ada rasa sesal kenapa aku harus bersembunyi di tubuh culun ini. Seandainya saja dulu aku memakai tubuhku yang asli, mungkin tidak akan seperti ini. Aku hanya bisa menemui mereka sesekali saja, tak bisa mengajak mereka jalan-jalan. Karena memang tidak mungkin mengajak mereka jalan-jalan.

Mbak Arlena, aku mendapat kabar darinya. Dia sekarang bekerja bersama orang yang entah harus aku panggil ayah atau tidak. Katanya ingin memberi contoh yang baik buat adiknya, agar kelak ketika aku sudah lulus, aku langsung mencari pekerjaan. Ah, kakakku ini, benar-benar mirip sekali dengan Ibu, galaknya, senyumnya. Terkadang ketika aku mengingat mbak Arlena, aku selalu teringat Ibu. kadang setiap beberapa hari sekali, aku diajak makan malam bersama mbakku yang cantik ini. Aku belum bisa jujur kepada kakak perempuanku, entah mengapa aku belum bisa. Mungkin belum saatnya, karena pasti dia juga akan bersedih.

Mas Raga, kini lebih sering berada dirumah. Menurut kabar dari Ana dan Ani, untuk mencari aman. Itu saran dari anggota keluarga yang lain. Karena situasi sedang tidak bagus, apalagi kejadian dengan pak Pengu memicu sesuatu yang lain di Ibu Kota. Dan aku sendiri tidak tahu apa itu.



---------------------​

Mulai saat ini, aku meminta ayah untuk bekerja di perusahaanya. Aku ingin memulainya dari bawah, agar aku bisa memahami perusahaan ini dari bawah. kebanyakan agak sedikit sungkan dengan kehadiranku, namun ketika aku sudah beberapa hari disana. Mereka sudah mulai terbiasa denganku. Karena mungkin sifatku yang mudah bergaul, mereka bisa menerimaku sebagai karyawan biasa di perusahaan ayahku.

Aku tidak lagi memerkan lekuk tubuhku, semua pakaianku lebih tertutup. Entah kenapa, setiap kata-kata dari adikku benar-benar membuatku berubah. Ayahku saja tidak pernah memprotes cara berpakaianku, dan juga ibu angkatku. Tapi kehadiran adikku yang dulu pernah aku tunggu, membuat semuanya berubah. Walau hanya 8 tahun kebersamaanku dengan ibuku, aku selalu mengingat apa saja yang pernah kami lakukan bersama.

Bangun pagi, tepat waktu ketika makan, tepat waktu ketika berisitirahat. Aku juga membuat taman kecil di belakang rumahku yang sebelumnya adalah sebuah taman yang tak pernah terurus. Aku membuat sebuah taman sesuai ingatan masa kecilku. Dan juga, omen, aku membeli kelinci-kelinci mungil nan lucu. Aku buatkan mereka rumah di belakang rumah, ku beri pagar agar tidak mengotori kolam renang. Hm, aku merasakan perubahan setelah bertemu dengan adikku. aku kalah jauh, terlalu jauh dengan adikku sendiri.

Mungkin, orang pertama yang akan aku kenalkan dengan calon suamiku kelak adalah adikku, bukan ayahku. Dia terlalu sibuk dengan urusannya, kesibukannya juga yang akhirnya membuatku lupa untuk menjenguk ibu. Sakit, jika aku mengingat kalau aku sama sekali tidak menjenguk ibu setelah kepergianku. Bahkan hanya sekedar memberi kabar juga tidak, Ibu maafkan aku, maafkan anak perempuanmu ini.

“Halo”

“Adikku culuuuuun”

“Yeee, mbak”

“Mbak udah kerja, besok kalau kamu lulus kuliah, langsung cari kerja ya”

“Eh... yaelah, mbaaak, mbaaak, mbok nanya kabar adiknya dulu”

“Ouwh iya ya, tapi kelihatannya baik deh”

“Yeee... suram mbak”

“Kok suram?”

“Iya suram, seharian makan terus di kontrakan ha ha ha”

“Tambah ndut dong hi hi hi, oh iya lha gak kuliah dik?”

“Ndak mbak, bangun kesiangan”

“Ya udah mulai besok mbak telepon adik ya, biar bangun pagi terus?”

“Eh, iya mbak tapi kalau sabtu atau minggu jangan mbak, biar bisa tidur panjang he he”

“Iya... iya...”

Setiap saat aku mengririmkan sms ke adikku, terkadang meneloponnya juga. seskali aku mampir kekontrakannya, hanya untuk mengajaknya makan malam. Bukan untuk mengingat masa lalu, karena kalau teringat bisa menangis kami berdua. Adikku sekarang kuliah semester tiga, lebih baik aku tidak mengganggunya dulu. Aku ingin dia fokus dengan kuliahnya, dan tepatnya aku harus mencari tahu kenapa adikku berada disini tanpa aku ketahui.



---------------------​

Kuliah, kuliah dan kuliah.... itulah pekerjaanku sekarang.

Sore hari ketika setelah selesai kuliah, aku masih didalam kelas. Kelas sepi dan hanya aku yang berada didalam. Malas sekali pulang. Aku keluar ruang kelas, kutengok kanan-kiri, sepi. Aku masuk lagi dan kuambil sebatang Dunhill. Pertama kalinya aku merokok di kampus. Sembari memainkan game ular di hape jadul, aku merokok dengan santainya. Dua batang rokok habis, hufth, lega rasanya, saatnya pulang.

Aku keluar ruang kelas terdengar suara riuh anak-anak organisasi di bawah sana. Masa bodoh, mereka tidak akan bisa melihatku jika aku berjalan biasa. Kelasku di lantai dua, jadi sulit bagi mereka melihatku. Ditambah lagi, mereka sibuk dengan urusan mereka.

Aku menuju tangga turun yang berada di tengah-tengah gedung perkuliahan. Tepat ketika aku hendak meletakan kakiku ke anak tangga. Terdengar suara aneh di lantai tiga, seperti percakapan seorang lelaki dan seorang wanita. Seperti aku mengenal suara si wanita tapi yang laki-laki tampak asing. Aku jadi penasaran dengan suara diatas, naik tidak ya? ah, masa bodoh, lebih baik tidak usah menambah masalah saja.

“Aaaah...” terdengar suara teriakan kecil dari lantai tiga, tepat ketika aku sudah menuruni 5 anak tangga. Bukan teriakan tapi lebih seperti sebuah jeritan mendesah. Langkahku berhenti, kepalaku menengadah keatas.

Perlu tidak aku naik keatasya? haduh, kalau aku ke atas pasti aku akan ambil bagian di masalah ini. Kudengar lagi suara perempuan itu, eh, itu kan suaranya. Haduuuh, naik tidak, naik tidak, naik tidak. Tidak aku tidak naik saja. Tapi sial, kakiku malah mundur dan melangkah perlahan menuju ke lantai tiga. Kampret!

Segera aku naik, langkahku pelan. Aku tidak ingin mereka mendengarnya. Pelan aku naik keatas. Suara lelaki itu terdengar jelas tapi bukan, bukan dia. Tepat dilantai tiga gedung kuliah, aku berdiri. Aku menoleh ke ujung kelas paling kiri. Suaranya berasal dari sana. Pelan aku melewati satu kelas kosong, kemudian aku menunduk tepat ketika aku menuju pintu kelas paling ujung ini. Jendela terlallu rendah, jika aku tetap berdiri mereka bisa saja melihatku.

Disamping pintu kelas aku jongkok. pintu ruang kuliah terdiri dari dua pintu yang bisa dibuka bersamaan. Satu pintu paling ujung tertutup rapat. Pintu yang disebelahku setengah tertutup. Pelan aku mengintip diantara sela kusen dengan pintu. Seorang lelaki membelakangiku, terlihat lutut seorang perempuan. Jika aku gambarkan, perempuan ini sedang duduk dimeja dosen dengan paha terbuka. Sedangkan lelaki berdiri, tapi entah apa yang dia lakukan. Kini aku dapat melihat mereka dengan jelas, tepat ketika lelaki itu menarik kursi dosen, dan duduk. Mataku terbelalak, terkejut.

“Tidak mungkin” bathinku, terkejut
 
Terakhir diubah:
pertamax kah ane.. Hehehe.. Thanks udah update suhu.. Mantaf.. Lanjut baca dulu
 
Akhirnya..Siallll..:galak: Keduluan kan...

Ninggalin jejak dulu ya suhu DH...Baru lanjut :baca:...
 
Tak kan lari gunung dikejar
Kalau sudah waktunya suhu DH update juga
Ijin membacu dulu, komeng belakangan
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
eh, ah itu di ruangan dosen kok.. Eh.. Duh.. Mungkinkah bu dosen.. Hmmm.. Suhu DH mantaf banget ngegantung ceritanya.. Kentang goreng dah.. Makin penasaran
 
Don, typo mu don :ngupil:

Sama penulisan nama, awali pake huruf kapital ya, masih banyak yg kelewat soalnya.. :papi:

Itu dulu aja deh, nunggu proofreader yg lain ______:ngacir:
 
Hadewhhh...Arta mulai kelimpungan gara gara Ainun...

Hati memang tidak bisa dibohongi..
Tak peduli ada yang punya..
Yang penting bisa memiliki..
Kalo bisa untuk selamanya..

" Aku rela...Oh..Aku rela..
Bila aku hanya menjadi..
Selir hatimu untuk selamanya..
Oh..Aku rela..Ku rela..
"


Jadi inget lirik lagunya kang Dhani..
Salut lah suhu DH...Dalem banget..
:ampun:
 
eh, ah itu di ruangan dosen kok.. Eh.. Duh.. Mungkinkah bu dosen.. Hmmm.. Suhu DH mantaf banget ngegantung ceritanya.. Kentang goreng dah.. Makin penasaran

Kok ruang dosen?
Ruang kelas, kan ada meja dosen dan kursi untuk dosen?

Itu yang nubie maksud
 
Update nya 1 chapter doank,,kurang suhu...😭😭😭😭😭😭😭
 
Bimabet
Seorang lelaki membelakangiku, terlihat seorang lutut seorang perempuan. Jika aku gambarkan, perempuan ini sedang duduk dimeja dosen dengan paha terbuka.

Mungkin ini yang agak janggal ya hu...:ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd