Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Bimabet
Sabar ya. Sang dono masih ngedit kiri kanan kie. Gak perlu berdesakan gitu. Tempatnya masih luas kok. Lapak yang belom kepake masih banyak.

Yang sabar ya kalian semua. Hari ini dua belas scene seperti yang dijanjikan kemarin siap disajikan :hore:
 
Scene 27
You Bring Heaven on Earth



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari


Winda shirina ardeliana


Ainun ... ...

Kleeek...

Winda membuka pintu, dan langsung masuk ke kamar kos Dini dan Dina. Aku berada dibelakang Winda dengan tas berat, biasa si manja ini memang kalau lagi sebel pasti gak mau bawa tas. Kelihatan dari wajahnya, pasti gara-gara tidak Dina sama Dini tidak menyambut kedatangannya.

"Dasar, malah pada tiduran! Katanya kita disuruh tidur sini, gak ada penyambutan lagi, huh! Dasar!" bentak Winda ke Dini dan Dina yang sedang tiduran di karpet bulu putihnya. Geli rasanya lihat Winda ngambek, kena marah itu pasti si Galak sama si Periang.

"Iiih Winda cantiiiik...." Dina berdiri dan langsung berlari kecil ke arah Winda, dan memeluknya

"Maaf sayang, kan gak tahu kalau Winda cantik mau kesini" rayu Dina

"Huh! Bete, buatin minum dong aus nih" Winda, manja

"Iya Winda sayang, Dini buatin buat Winda" ucap Dini bangkit

"Desy... muach" setelah memeluk Winda, Dina langsung memelukku

Hari ini, kita berempat sepakat untuk tidur dikos Dini dan Dina. Besok libur, jadi ya tidak ada salahnya untuk ngerumpi bersama. Dini, membuatkan minuman hangat, sedang Dina menyiapkan camilan. Aku lepas kerudungku, berpakaian seperti halnya mereka semua. Kaos ketat dan celana selutut, Dina tang-top celananya hot pant, Dini dan Winda sama seperti aku.

"Wah, dah lama ya gak kumpul-kumpul bareng seperti ini?" ucapku

"He'em, pada sibuk ma cowok? Cowok yang gak perhatian gituuu" ledek Dina yang jelas sekali ditujukan ke aku dan Winda

"Daripada jomblo ngenes weeeeek" balas Winda tak mau kalah

"Mending jomblo ngenes, daripada gak dimanja-manja, hi hi hi" giliran Dini membalas Winda. Mereka kemudian saling mengejek satu sama lain.

"Sudaaaah, sudaaaaah, sudah dong, Winda sayang iiih gemes, sudah jangan ngambek gitu. Dini dan Dina kan bercanda" tenangku kepada Winda

"Huh! Tuh, Dini ma Dina, nyebelin weeeeek" ejek Winda ke Dina dan Dini

"Yeee... nyebelin, ngenes tapi bahagia kali hi hi hi" balas Dini

"Dina, Dini sudah!" ucapku

"Iya umiiiii... hi hi hi" ucap mereka bersama

"Auuw... Dina, apa-apaan sih kamu" bentakku, ketika tangannya meraba payudaraku

"Hi hi hi, punya umi tambah gede hi hi hi" ujar Dina

"Eh, bener juga tuh, gak lu sumpal ma kertas kan mi?" tanya Dini

"Huh! Dari sononya" balasku, sembari menyingkirkan tangan Dina

"Aaaa, pengen kayak punya Desy, gede" rengek Winda

"Yeee, operasi payudara sono" ucap Dini

"Eh, bener kata Dini, Wind. Mau juga aku, Biar suamiku kelak suka mainin payudaraku" ucap Dina

"Haduh, ini malah ngomongin susu. Hmmm..." ucapku

"Ya secara, aku kan penasaran banget sama punya Umi. Dari kita berempat punyamu paling maksimal" Jelas Dina, sembari mencoba memegang payudaraku lagi namun aku menghalanginya

"Gede tahu na' punyamu, tuh si Dini, juga gede, Winda juga" jelasku

"Tapi dari kita berempat ukuran bra-ku kan paling kecil" ucapnya dengan gaya sok nangisnya

"Iiih... ini apaan sih, kenapa malah jadi bahas ukuran payudara?" Dini dengan gaya galaknya,

"punya Dina B aja gak muat tuh" lanjut Dini

"Huu, maklum dong din, secara gue kan penampilan number one, jadi harus bahas penampilan kalau kumpul-kumpul gini" ucap Dina

Begitulah candaan kami, sama saja sejak SMA. Mungkin, apa yang dikatakan Dina benar, tapi punya Winda dan Dini juga sama, gedean dikit punyaku sih. Candaan kami berlangsung lama, sambil memakan snack camilan kami ngobrol. Sudah lama kami tidak ngumpul seperti ini. kami berempat teman satu SMA, sangat akrab. Bahkan hal paling pribadipun kadang kami ceritakan, ya hanya ketika kumpul empat orang ini. bahkan sampai ada istilah Winda si manja, Dina si perayu, Dini si galak, dan aku, Umi. Entah kenapa aku bisa mendapatkan sebutan itu.

"Oia des, Arta masih lu diemin?" tanya Dini, aku mengangguk

"Hanya karena reaksi ketika dia lihat foto cowok kamu?" Dina ikut manambahi

"Ya begitulah, ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Dan aku yakin, waktu aku tanya dia bohong" jelasku

"Tapi, Winda gak enak juga kalau diemin Arta terus des, kan dia yang selalu suplai tugas kuliah kita" ucap Winda manja sambil memeluk guling

"Ya, gimana ya, masih sebel aja ma dia. Tapi kasihan juga ya" ucapku

Mereka memandangku,

"Ciyeeee.... jatuh cinta ma Arta nih yeeeee...." teriak mereka bertiga,

"Aku? Bukannya kalian juga?" balasku santai,

"Ih malessssss..." jawab mereka bertiga

"Ih, kalau Winda masih nunggu si bocah itu, lu kan juga sama des?" ucap Winda,

"Yaelah, kalian pada gak nyadar kalau udah punya cowok?" ucap Dini

"Nyadarlah, kalau ketemu ma bocah itu, Winda mau kok walau jadi yang kedua" ucap Winda

"Umi?" ucap Dina

"Gak tahu, lagian dah lama kan? Gak mungkin bisa ketemu" jawabku

"Lha kalian, gimana? Masih teringat-ingat sama si lelaki malam itu yang pas, SMP itu ya? Benerkan SMP?" lanjutku bertanya pada Dini dan Dina, yang sedang ngemil

"Nyammm... iya SMP, masih sih, tapi kagak mungkin dah ketemu. Secara itu kan udah berberapa tahun yang lalu, tapi kalau ketemu gue bakal tembak dia duluan hi hi hi" ucap Dina sembari mengunyah camilan

"Lu din?" tanyaku berlanjut ke Dini

"Gak tahulah, mungkin sama dengan Dina" jawab Dini

"Kita barengan aja din, kalau kita ketemu ma dia ha ha ha" tawa Dina

"Bisa diatur hi hi hi" tawa Dini

Kami bercanda kembali melupakan si culun yang menjengkelkan itu. Dini, Dina, Winda dan aku, akan menggapai mimpi kami bersama.





---------------------​
Kriiing... kriiing...

"Ya halo"

"Sini, main, lagi sendirian"


"Ta.. tapi"

"Cepetan, gak kangen?" tuuut...

Ah, tanpa menunggu jawaban, langsung main tutup telepon. Sudah malam seperti ini, disuruh main. Baru beberapa jam yang lalu aku sampai di kontarakan setelah pulang dari rumah mbak Arlena. Aku simpan kembali foto ibu didalam kotak kaleng, yang selalu aku pandangai setelah aku bertemu dengan mbak Arlena. Aku raih hapeku, kulihat angkat di sudut kanan layar, jam 10 malam. Hadeh, bagaimana ini jam 10 malam disuruh main.

Daripada kena marah, aku keluar dari kontrakan. Berjalan menyusuri jalanan kompleksku, terlihat dari kejauhan beberapa orang berada di pos ronda dan juga ada yang duduk santai di depan salah satu rumah warga. Aku ikut kumpul dengan warga, bercengkrama sejenak untuk menghilangkan penatku. Beberapa kali sms masuk, tapi tak ku gubris. Tepat pukul 10.30 malam, warga mulai berkumpul di pos ronda menyaksikan siaran sepak bola. Aku melangkah mundur, melewati jalan memutar. Sebenarnya kalau dari pos ronda rumah pak RT bisa dilihat, namun hanya terlihat pintu gerbang mobil saja. Setelah memutar, dan memastikan semua aman. Aku melompat melewati pagar, sial, benar-benar beresiko.

Mengendap-endap, tiba-tiba lampu teras padam. Aku terus bergerak, pintu tiba-tiba terbuka, dengan tiarap aku masuk ke dalam. Pintu kembali tertutup, dan aku terlentang. Tiba-tiba sajam, dia duduk diatas dadaku. Ugh, benar-benar berat.

"Lama banget, mau apel aja sok banget kayak orang mau perang!" ucapnya sedikit ketus

"Tuh, liat orang sebanyak itu, bisa-bisa aku digebukin" belaku karena memang situasi dan kondisi tidak memungkinkan

"Yeee... salah sendiri kali, macarin cewek punya suami" jawabnya, masih saja terdengar sedikit ketus

"Nembak saja belum, masa macarin sih bu?" tanyaku semakin heran

"Kan selingkuh... weeeeek" sedikit lidahnya menjulur

"Dah, duduk diminum, keburu dingin" ucapnya bangkit dari duduknya

"Bilang selingkuh lagi, aku pulang" ucapku, aku bangun dan duduk di kursi panjang, dan sudah ada bantal besar disana

"Marah?" tanyanya dengan mimik wajah yang tidak kalem lagi, sedikit ada rasa jengkel di wajahnya

"Iya, banget" ucapku, kusruput minuman hangatnya dan kuletakan lagi

Tiba-tiba saja, dia memegang kedua pipiku, dan mencium bibirku.

"Masih marah?" tanyanya pelan

"Eh, bu ainun, ngangetin saja, iya ndak marah, mau disebut apa saja boleh. Tapi kalau disebut yang tadi, yaaaaa, ndak mau" jawabku pelan

"Siapa yang kemarin nginap?" ucapnya, aku memandangnya dan tersenyum

"kok tahu? Ibu lihat kakak perempuanku ya?" ucapku

"Tidak sih, hanya waktu sekretarsi RT telepon pak RT. Tapi, Benar kakak perempuan kamu? bukannya kamu bilang kalau kamu disini sendirian dan hanya dengan kedua sahabatmu?" tanyanya heran, masih memegang kedua pipiku

"Dia pergi sewaktu aku masih dalam kandugan" ucapku lirih, dan menyandarkan tubuhku di sandaran kursi, mataku terpejam. Kedua tangannya lepas dari kedua pipiku. Dia duduk tepat disampingku.

Aku mulai bercerita tentang ibu, kakek, dan nenek. Sebuah cerita masa lalu dan tidak begitu detail kepadanya, cerita ketika aku bersama ibu, kemudian diasuh oleh kakek-nenek serta titipan ibu untuk kakak perempauanku. Tubuhnya mendekatiku, dan bersandar pada bahuku.

"Feeling saudara memang kuat, jadi tidak mungkin salah." Suaranya lirih pelan, tubuhnya yang hangat sangat terasa olehku

"Tapi ya itu bu, kemarin mbak tiba-tiba saja datang, pas dia mennginap itu. Terus, itu, anu..." aku menceritakan kejadian dimana aku bangun dalam posisi mengulum susu kakak perempuanku

"Eh.. dasar, untung mbak kamu itu tidak marah, kamu suka?" dia beranjak dan langsung memandangku dengan wajah galaknya. Aku sedikit terkejut, ketika melihat wajahnya. Walau gelap, masih ada sedikit cahaya yang masuk dari ruang tengah.

"Dah bu ndak usah dibahas lagi? Keceplosan, ya itu salah satu kebiasaanku, dulu berhenti setelah ibu sakit" jelasku,

"Ha? Jadi kamu ngempeng sampai SD? hiii malu-maluin" mimik wajahnya berubah drastis, dari marah menjadi tertawa geli oleh kelakukanku.

"Yeee... namanya juga anak kecil, ndak tahu apa-apa bu, wong dulu juga sering dimarahi ibu kalau sudah posisi kaya gitu. Paling Cuma bentar terus digantiin jempol ibu, weeeek..." ucapku

Bu ainun melihatku, tersenyum, kerudung putih dengan kaos lengan panjang yang dihiasi rok berenda, benar-benar ayu. Dia mengatakan kepadaku, kalau dia sebenarnya sudah tahu kebiasan burukku itu, sewaktu tidur di ruang tamu rumahnya. Kami bercanda dalam suasana remang, itulah yang selalu aku lakukan dengannya. Tawa kami selalu tertahan dan pelan, karena jauh diluar sana masih banyak bapak-bapak yang menonton pertandingan bola di pos ronda.

Setelah tawa pelan kami, mata kami saling bertemu. Jarak itu merapat, nafas kami bersatu. Tangannya kami saling menggenggam, perlahan tangannya berpindah ke belakang kepalaku. Menarikku, kepalaku maju, bibir kami bertemu, tanpa rasa khawatir akan orang-orang yang berada tak jauh dari rumah ini. Aku memeluknya, aku semakin tak bisa mengendalikannya.

Bibir kami bersatu, tangan bu ainun semakin menarik kepalaku, erat. Tanganku semakin memeluknya erat, menarik tubuhnya hingga tak ada jarak diantara kami. sejenak dia melepaskan ciuman, punggung tangan kirinya mengelus pipi kananku.

"Aku cemburu... sangat cemburu" pelan, kata-katanya mengisyaratkan sebuah rasa kesal terhadapku

"Eh, kenapa? deng..." ucapku terhenti tatkala bibir itu menyentuh bibirku kembali

Ditariknya kuat kepalaku, hingga sebagian tubuhnya rebah di bantal besar, belakang tubuhnya. Tubuhku menindih tubuhnya, kedua tanganku menumpu tubuhku. Tanganya kemudian mendorong kepalaku, pelan.

"Adikmu, kakak perempuanmu, aku tidak tahu kenapa? tapi aku cemburu, aku tidak ingin kamu hilang dari pelukanku" ucapnya, sembari mendorong dadaku, dan aku kembali duduk

"Ta.. tapi bu?" ucapku gugup tak tahu, duduk menghadap kearahnya sedangkan dia duduk meghadap kedepan, tampak ayu dia dari samping.

"Maafkan aku, maafkan atas perasaan ini" ucapnya, sedikit terisak, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, aku tak sanggup jika melihatnya menangis,

Aku mendekat, dan kupeluk lembut wanita bersuami ini. Tangannya terbuka, terlihat wajahnya kembali dan memandangku dengan senyum, kembali bibir kami berpagutan. Tangannya mengelus pipi, leher dan dadaku, bergerak ke tangan kananku. Menggenggam erat pergelangan tanganku, dan menariknya. Dia bangkit, terus menarikku, ciuman kami terlepas dia menarikku, berjalan menuju kamarnya. Terus menarikku hingga masuk didalam kamar, kamar tengah yang dekat dengan ruang keluarganya.

Disamping tempat tidur, aku berdiri. Aroma wangi kamar ini tercium di hidungku. Membangkitkan romansa, lebih dari sekedar nafsu birahi semata, membuatku terbuai di dalamnya. Sembari tersenyum dia berbalik memandangku. Wajahnya nan ayu terlihat sangat jelas, bahkan lampu kamar terasa kalah terang dengan cahaya di wajahnya. Dalam satu hentakan, tangannya menarik tanganku cukup keras. Aku terkejut hingga hilang keseimbangan. Tepat ketika tubuhku tertarik ke arahnya, dia menangkap kepalaku hingga bibir kami bertemu. Lewat bibir, kami saling merangsang satu sama lain.

"Bu..." pelan disela ciuman kami

"Maaf, aku hanya cemburu..." pelan, setelah bibirnya terlepas dari bibirku

Aku masih sedikit bingung dengan suasana ini. Wajahnya sayu, terlihat sangat ayu. Membuat pikiranku berkecamuk antara pergi atau tidak. Ah entahlah, tapi tubuhku seakan tak ingin pergi dari sini, aku masih ingin disini. Dengan ragu kuputuskan itu. Dan itu terejawantahkan melalui bibirku, yang kini sudah memagut kembali bibirnya.

Matanya terpejam, mersapi setiap sentuhan bibirku di bibirnya. Kedua tangannya tak lagi memegang kepalaku, lemah, tangannya lemah berada disamping tubuhnya. Namun tangannya tiba-tiba mengepal, seakan menahan sesuatu atau mungkin, meginginkan sesuatu. Bibir tipisnya yang semula aktif kini pasif. Tubuhku terus maju mendorong tubuhnya, tanganku kini berada dipunggungnya, mengelus pelan. Ya, Pelan, seakan waktu berjalan sangat lambat, tubuhnya rebah kebelakang, tanganku menahannya dan aku merebahkannya pelan. Matanya terbuka, ciuman kami terlepas. Bibirnya tersenyum, ketika mata kami bertemu.

Kini tubuhnya memelukku, kepalanya berada disamping kepalaku.

"tetaplah disini, bersamaku, aku ingin bersamamu..." ucapnya lembut dari bibir tipisnya

Tangannya mendorong lembut tubuhku. Dia bergeser ke tangah tempat tidur. Aku ditariknya, dan rebah disampingnya. Dia miringkan tubuhnya dan menarik tubuhku. Sekali lagi bibir kami bertemu kembali. Kurasakan kenikmatan yang berbeda saat ini, kenikmatan dari sentuhan-sentuhan kulit kami.

"Aku milikmu... seutuhnya... " lembut dari bibir merah jambunya, tak ada yang bisa aku ucapkan, hanya dia yang mampu berucap, bibirnya selalu menempel kembali dibibirku

Lama kami berdua saling berciuman, tanganya perlahan merambat di tanganku. Tangannya menarik tangan kiriku, dengan lembut menyeretnya dan tepat di payudaranya. Di tuntunnya tanganku untuk meremas lembut payudaranya, payudara yang masih terbbungkus bajunya. Perasaan yang sama aku rasakan seperti sebelumnya, mataku terbuka lebar tapi matanya menyipit, tertutup.

"Bu.." pelan

"Aku milikmu..." ucapnya, kembali mencium bibirku. tanganku terasa kaku, baru kali ini dalam kondisi dewasaku aku meremas payudara wanita dalam keadaan sadar.

"Bu sudah..." ucapku pelan, sekali lagi logikaku menngalahkan nafsuku. Kasih sayangku yang berlebih terhadap wanita ayu ini menyadarkan aku. Tak seharusnya aku menuruti hawa nafsuku.

Namun, tak kusangka, mata indahnya yang semula memancarkan penuh kebahagiaan, kini memancarkan kesedihan. Kulihat dekat mata itu, genangan air membasahi pelupuk matanya.

"Pulanglah... jangan kembali..." ucapnya pelan, genangan air itu mulai mengalir ke samping matanya. Matanya terpejam, menghindari tatapan mata diantara kami berdua.

"Mungkin memang aku seharusnya sendiri saj..." kata-katanya aku hetikan dengan bibirku, aku tak tega melihatnya, aku ingin dia bahagia

Logikaku kini seakan terkubur dalam, rasa ingin selalu melihatnya bahagia tumbuh dan bangkit. Tangaku kembali meremas payudaranya, nafsuku bergejolak. Kasih sayangku terlalu besar untuk mengundurkan niatku meninggalkannya. Perasaan itu, membuatku ingin terus dan terus memeluknya. Tubuhku kini diatasnya, menindih dengan kedua siku sebagai tumpuan, tak ingin bebanku memberatkannya. Kedua tanganku kembali menggenggam payudaranya, menebarkan rasa nyaman dalam setiap remasan lembutnya. Bibirku lepas dari bibirnya, aku kemudian berlutut disamping pinggangnya dengan kedua tanganku berada disamping kepalanya. Aku melepas memandangnya, dia tersenyum manis.

"Bu, aku..." ucapku pelan,

"Sssstt, aku sayang kamu, cukupkan?" ucapnya, dan aku mengangguk, sebenarnya posisi ini membuatku benar-benar tegang.

Tangannya menggenggam kepalaku kembali, menariknya pelan dan kami berciuman. Pergumulan ini begitu panasnya sampai entah kapan ini terjadi, tahu-tahu celanaku terlepas begitu saja. Kain itu tergeletak berikut celana dalam yang sebelumnya aku kenakan.

"Bu.." lirih disela ciuman kami, mencoba mengingatkan agar tidak terlalu jauh melangkah

"Ssst, jadilah yang pertama, aku sangat menyayangimu" kata-katanya, membuatku takluk walau aku sebenarnya bingung, bingung untuk mencerna setiap kata-katanya

Dia bangkit dan duduk, aku mengikutinya dengan bibir masih saling berciuman. Tanganku memegang lengannya, sedangkan tangannya tampak sibuk dibawah sana. Sedikit aku meliriknya, aku melihat dia melepaskan celana dalamnya.

Ainun, dengan sangat lembut, memperlakukanku layaknya anak kecil, aku menurutinya. Kini bagian bawahku sudah tidak memakai apapun, tangan kirinya menggenggam dede Arta. Lembut, menegang, aku merasakan sesuatu yang benar-benar berbeda. Aku peluk dirinya, erat, aku tenggelamkan wajahku di lehernya. Menahan dan juga merasakan kenikmatan. Ah, perasaan yang sangat aneh, uh, benar-benar nikmat. Baru kali ini ada seorang wanita menggenggam dan sekarang malah mengelusnya, seperti mengocoknya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa geli yang tiba-tiba menyeruak dari satu titik saraf di batang itu, dan menjalar dengan cepat, menulari saraf-saraf yang lain. Hingga merata ke seluruh bagian tubuhku.

"Eghh... bu..." rintihku

"Kenapa?" ucapnya

"Aku... eghh... rasanya seperti kemarinhhh..." rintih nikmatku

"Keluarkan sayang" pelan, suaranya lembut, spermaku akhirnya keluar. Membasahi bagian tubuhnya.

"Eh, mmmmhhhh..." dia terkejut ketika spermaku keluar, aku memeluknya erat hingga dia rebah kembali

"Bu, maaf..." ucapku

"Ssssttt..." bisiknya agar aku tetap diam

Tangan kanannya kini yang mengelus pelan batang dede Arta, yang entah mengapa masih saja berdiri meskipun telah mengeluarkan sperma. Pelan, tangan kirinya meraih kepalaku dan mencium bibirku. Kubalas ciumannya dan melumatnya. Tangan kirinya bergeser, bergerak memegang pinggulku, mendorong ke kanan. Aku menurutinya dengan menggeser pinggulku, aku mengangkat sedikit kepalaku dan melihat kebawah sana. Pinggulku berada ditengah-tengah kedua pahanya, sedikit menengadah aku melihat kewajahnya, tersenyum manis. Matanya sayu, tapi masih tetap sama, terlihat sangat ayu.

"Aku ingin kamu yang pertama" lembut dari bibirnya

"Eh, apa maksudnya bummmmhhh" tangan kirinya menarik kepalaku, bibirku langsung bertemu dengan bibirnya lagi. Tangan kirinya beralih menuntun tangan kananku, masuk dari bawah bajunya, menuju payudaranya.

Perasaan yang tidak terkendali, membuatku menuruti semuanya. Entah apa yang aku rasakan kali ini, sebuah kenikmatan. Tangan kanannya masih mengelus lembut batang dede Arta. Ah, lembut sekali payudaranya, benar-benar lembut dan hangat.

"Ssssh... sayanghhh... mmmhhh..." rintihnya, disela-sela ciumannya ketika tanganku meremas lembut payudaranya

"Ashh ashhh ashhh.. bu... mmmmhh" aku kembali mencium bibir bu ainun, aroma spermaku dari tercium di tubuh wanita ini. Dilumatnya bibirku hingga pertanyaanku tak tersampaikan. Begitu aktif, agresif, nakal dan panas. Lidahnya menelusup ke dalam mulutku. Lidahku spontan memberikan respon yang sama.

Tubuhnya bergeser, kadang kedua tangannya mendorng tubuhku pelan, seakan memposisikan tubuh kami berdua agar tepat pada posisinya. Tangannya sedikit menarik batang dede Arta, pelan, ku lepas ciumanku tapi satu tangannya langsung menarik daguku, kembali bibirku dilumatnya. Kembali lidah kami saling menyapa dan saling bergesekan

Aku merasakan, ujung dede Arta menempel pada sesuatu.

"Tekan... sekaranghh..." ucapnya lembut,

"Eh..." aku sedikit gugup

"Tekan... ssshhh untukmu sayang..." ucapnya, sekali lagi, sedikit anggukan dan senyuman di wajahnya, membuat aku terhanyut

Aku menekan pelan, matanya terpejam. Dengan penuh perasaan kudorong perlahan Dede Arta. Semakin masuk ke dalam lubang itu. Dindingnya terasa lembut meremas batangku. Hingga pada satu titik, aku merasakan sesuatu mengganjal pada ujungnya. Kulihat wajah Bu Ainun meringis, matanya terpejam, mungkin kesakitan. Kuhentikan doronganku, tak tega meneruskannya.

"Jangan berhenti, lakukanlah, aku mohon..." pelan,

"Ta.. tapi.." tak tega aku melihatnya

"Kamu sayang aku kan? Kalau sayang lakukan, pelan..." ucapnya, bibirnya kembali memagut bibirku, memberikan keteguhan bagiku.

Peinggulku kembali menekan, terasa ada yang menghambat. Ah, benar-benar sebuah rasa yang tidak pernah rasakan sebelumnya. Semakin aku menekan, semakin aku tidak bisa menahan gejolak dalam diriku. Terasa berat masuk kedalam sana, aku menekan, menekan dan akhirnya, aku putuskan untuk menekan dengan keras. Terasa melewati sesuatu, seperti menerobos penghalang.

"Emmmmhhhh....." matanya terpejam, air matanya mengalir dari sisi matanya, tubuhnya sedikit melengking, aku berhenti

"Bu... bu ainun..." aku gugup benar-benar gugup. Kenapa? Kenapa bu ainun merasakan sakit, seakan dia masih perawan. Apakah benar bu ainun masih perawan? Bukankah dia sudah menikah? Tak mungkin seorang yang sudah menikah merasakan sakit yang berlebihan. Samo dan Justi, mereka pernah bercerita tentang semua ini. Tapi apakah benar? Tapi.. aku...

"Aaarghh... pelan, jangan pedulikan aku" ucapnya mencoba meyakinkan aku

"Ta... tapi" aku masih gugup, wajahnya memohon agar aku melanjutkan

Aku sedikit menggoyang, berlaku selembut mungkin kepada wanita ayu ini. Sekedar untuk berjaga-jaga seandainya saja perlakuanku terlalu kasar. Aku tak ingin menyakitinya, tak ingin, benar-benar tak ingin. Terasa gesekan antara kulit dede Arta dengan daging kenyal didalamnya, hangat. Hangat, nikmat. Dengan sangat perlahan, aku menarik, menekan, merasakan sesuatu yang berbeda, yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sangat nikmat, bahkan mungkin, terlalu nikmat kurasakan. Namun ekspresi yang ditampakkan Bu Ainun membuatku berhati-hati. Sedikit saja kugoyangkan pinggulku, dia masih merasa kesakitan..

"Egh, mmmmhhh... " kedua tangannya merengkuh kepalaku dan kami saling berciuman

Kini aku semakin berani, kedua tanganku kini berad didalam balik kaosnya. Meremas lembut payudaranya, hangat, lembut dan kenyal. Aku keluarkan tanganku dari balik baunya dan menumpu tubuhku. Namun tanganku tak lepas dari payudaranya, walau terbungkus aku tetap meremas lembut bukit kenyal itu. Bibirku mencumbu setiap mili wajahnya, memberikan kenyamanan bagi Bu Ainun.

Perasaaanku semakin tak terkendali, aku semakin menggoyang pinggulku dengan ritme lebih cepat. Kutemukan titik kenikmatan itu kembali muncul dari dalam dede arta. Dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh, membuatku gagal menguasai pikiran. Semakin mempercepat gerakanku. Membuat gerakan Bu Ainun semakin liar, tak terkendali.

"Erghh... mmmhh... mmmmh... Artaaaaaah.... mmmm sayaaaangghhh" rintihnya

"Bu erghhh erghhh... mmmhhh" racauku

Kini aku memeluk tubuhnya, pinggulku terus bergoyang. Kepalaku berada disamping kepalanya, tangannya memeluk tubuhku.

"Bu ainun... aku mauhhh..." ucapku

"Samaaah... jangan berhenti sayanghhhh..." balasnya

"Arta sayang bu ainun erghhh..." bisikku

"Mmmh... akhirnya kau katakan juga sayanghhh, aku juga sayang Artaahhh..." lembut dari bibirnya. Aku semakin cepat menggoyang pinggulku

"Mmmmhhh erghhhh... mmmhhh" desahnya

Semakin cepat dan aku hentakan hingga kedalama. Remasan kuat dari dinding itu mencengkram erat batangku, mengakibatkan sperma yang tersisa menyembur begitu saja ke dalam vaginanya. Menambahkan cairan pada lubang yang sudah sangat basah itu.

Begitu pula Bu Ainun. Tubuhnya sekali lagi mengejang. Punggungnya melengkung kaku. Tangannya mencengkeram erat tubuhku. Terasa dinding vaginanya berdenyut sangat kuat, seolah ingin menyedot seluruh sperma yang tersisa

Aku memeluknya erat, tubuhnya melengking. Aku mengejang bersama dia yang mengejang beberapa kali. Nafas kami tidak teratur, aku merasakan sesuatu mengalir dan membasahi batang dede Arta. Lama aku memeluknya, hingga nafas kami pulih kembali.

Aku masih memeluknya, aku angkat kepalaku. Keningku bertemu dengan keningnya.

"Aku sayang kamu, bu" lirih terucap dari bibirku dengan mataku menyapa mata yang tertutup itu

"Terima kasih sayang, terima kasih. Akhirnya kau katakan kembali, tetaplah bersamaku" ucapnya bersamaan dengan kelopak matanya yang terbuka. Pelukannya terasa lebih erat dari sebelumnya.

Kami saling berpelukan, mencoba meresapi apa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Aku, logikaku menjadi kaku bagai es, namun perasaanku mencair karena kehangatannya darinya. Aku terus memeluknya, matanya terpejam mencoba melepas lelah. Hembusan nafasku terus mengaliri sebagian wajahnya. Ku pejamkan mataku, mencari waktu yang tepat, untuk menyapanya kembali.

"Hmmm... hash.. tegang terus, kok gak tidur-tidur sayang itu adiknya? Mmm erghh..." ucapnya lembut, membuyarkan lamunanku. Aku membuka mataku, kembali bibirku mengecup bibirnya.

"Sudah mulaihh beranihh ya sekaranghhh... " nafasnya masih sedikit tersengal, aku ambruk lagi dan memeluknya

"Kenapa?" tanyanya

"Hangat" balasku

"Berat yang..." ucapnya

"Eh.." aku menggeser tubuhku dan terlepas dede Arta dari kehangatan

"Argh... pelan sayangghhh... sakit, mmmh..." bibir bawahnya digigit

"Eh, maaf..." ucapku

"Sudah, gak papa kok" balasnya, dia memejamkan matanya, menutup pahanya dan memiringkan tubuhnya kearahku

"Maaf..." ucapku, dengan tubuh miring ke arahnya

"Gak papa, sakit dikit, adiknya besar" ucapnya

Ketika aku ingin berucap, tubuhnya maju dan bibir kami berciuman. Tangannya menuntun tanganku, meremas payudaranya. Tubuhnya naik, dadanya kini tepat berada di depan wajahku, perlahan dia membuka kaosnya. Sepasang payudara kini didepanku, dedek arta kini menempel pada pahanya.

"Kamu pasti lelah kan sayang, tidurlah..." ucapnya,

"Eh, bu..." jawabku

"Jagan jempol kamu lagi, ini..." dia mendekatkan payudaranya ke wajahku

Tanpa pikir panjang aku mengulumnya, dipeluknya kepalaku dan di usap denganlembut. Dede Arta, masih tetap berdiri, entah kenapa. namun suasana ini, membuatku merasakan kantuk. Mataku terpejam hingga akhirnya aku terlelap.





---------------------​

"Ah, cepat sekali dia terlelap sama seperti adiknya juga sudah tidur" bathinku, merasakan batang kemaluannya yang ikut melemas di pahaku.

Pelan, agar dia tidak bangun, aku melepas kerudungku dan kaos yang aku kenakan. Rok berendaku pun aku lepaskan, tanpa harus melepaskan kulumannya di puting susuku. Dengan posisi miring ke arah Arta, dapat kulihat bagian belakang pantatku, terlihat bercak merah di sprei putih. Ugh, masih terasa sakit sekali, begini rasanya jika batang kemaluan laki-laki masuk. Besar lagi jika dibandingkan dengan suamiku. Aduh, bagaiman kalau dia bangun dan meminta lagi? Apa aku masih bisa? Ah, masa bodoh, mau sakit atau tidak asalkan dia...

Aku mengelus kepalanya, kini aku telanjang untuk kedua kalinya dihadapan seorang lelaki. Kuelus pipinya dengan punggung tanganku. Pelan aku tarik kaosnya, ke atas, tangan kanannya bisa keluar. Tiba-tiba dia terbangun...

"Dilepas dulu kaosnya..." ucapku, setengah sadar dia mempermudahku melepas kaosnya

Langsung aku tarik lagi kepalanya untuk menyusu ke payudaraku. kuelus lembut, tubuhnya begitu hangat, aku memeluk kepalanya. Ah, benar-benar lembut dan hangat tubuhnya. Kini, aku benar-benar merasakan diriku sebagai seorang wanita yang mencintai seorang pria. Mungkin, lebih tepatnya menjadi seorang wanita yang bisa menyerahkan semua yang dia punya untuk yang dicintainya. Aku mencintainya, aku tidak peduli jika suatu saat nanti harus berpisah dengannya, aku tidak peduli. Sekarang, aku bisa bersamanya.

"Eerghh.. mmmnyamm..."

Hi... hi... lucu banget ini anak, eh laki-laki ini. Aku peluk lembut kepalanya, berkali-kali aku mengecup ubun-ubun kepalanya. Wangi aroma rambutnya, membuatku merasa nyaman. Ketelanjangan kami, untuk saling mengahangatkan dan untuk saling menyayangi. Dan aku juga berharap, semoga, juga untuk saling...

"Errrgh... masih sakit, semoga besok pagi tak terasa lagi" bathinku, ikut terlelap dalam tidurnya
 
Terakhir diubah:
Scene 27
Semoga ...



Ainun ... ...


“Uughhh... hoaaaammm....”

Aku terbangun, rasanya nikmat sekali tidur kali ini. Aku bentangkan kedua tanganku dan bangkit untuk duduk. Ah, dari pintu kamar terlihat sedikit ada cahaya matahari. Pertanda aku bangun kesiangan. Seharusnya aku bangun lebih pagi dan tidak boleh bangun siang seperti ini. Aku tarik nafas dalam-dalam, ku hembuskan. Kulihat dalam kamar ini, masih tetap ada aroma wangi yang menari disekitarku. Aku menunduk, mataku terpejam, mengingat kejadian tadi malam. Ah, benar-benar telah terjadi antara aku dan ainun, bu ainun. Ku buka mataku pelan...

“Lho aku kok telanjang?” bathinku, baru tersadar akan ketelanjanganku, dan juga tak ada bu Ainun di dalam kamar.

“Eh, bercak merah?” gumamku, Ketika hendak menuju pinggir ranjang. Aku sentuh, sedikit aku bau.

“Darah...” bathinku

Aneh sekali, seharusnya tak ada bercak merah. Bu Ainun sudah menikah dan pernah bercerita padaku bahwa pak RT selalu memberi nafkah lahir batin. Tapi memang semalam, tampakanya memang ada sesuatu yang berbeda, dia tampak sekali kesakitan. Ada sesuatu yang disembunyikan bu ainun kepadaku, kulihat kerudung, kaos, dan rok yang dikenakan bu ainun masih berada diatas kasur. Di roknya juga ada sedikit bercak merah, aku benar-benar bingung. Dia sudah menikah tapi kenapa? aku teringat akan ucapan Samo dan Justi, kalau pertama kali melakukan pasti akan ada bercak merah, dan itu tandanya wanita itu masih perawan.

Ting... ting... ting...

Terdengar bunyi seseorang sedang membuat minuman. Aku bangkit, keluar dari kamar, dari ruang keluarga aku sibak korden. Terlihat seorang wanita, dengan rambut sebahunya, rambutnya sedikit bergelombang. Aku melangkah mendekatinya...

“Capek ya?” tanyanya tanpa menoleh

“Eh, sedikit...” jawabku, terkejut karena dia mengetahui kehadiranku. Jujur saja, aku masih sedikit gugup dengan situasi ini.

“Sedikit? Ehem.. gak baik kalau ada cewek gak pakai pakaian dibiarkan saja, kasihan ceweknya kedinginan” ucapnya, tak menoleh namun kata-katanya sedikit melelehkan suasana

“Eh, ta.. tapi” walau suasana sedikit meleleh tetap saja masih ada rasa gugupku

“Kenapa? menyesal?” tanyanya pelan, sediki dia menoleh ke arah samping. Aku maju dan memeluknya, diatas pinggulnya, dede Arta tegang dan terasa hangat

“Egh, hmmm... kok bangun?” tanyanya

“Eh, iya baru saja, makanya aku kesini bu” ucapku

“Iya, kalau kamu, aku sudah tahu, itu lho adikmu” ucapnya, semabri mendorong pelan pantatnya kebelakang

“Eh, itu anu... hufth.. normal kan?” belaku

“Hi hi hi... dasar, sakit tahu” sedikit candanya menghilangkan kegugupanku

Aku memeluknya, kepalaku berada disampig kepalanya. Ku kecup pipi kanannya, dia tersenyum manis. Dia tampak cuek dengan apa yang aku lakuka. Masih saja dia tampak ayu di mataku. Di tutupnya dua gelas teh hangat itu, terlihat jelas dari warna minumannya.

“Sudaaaah, kalau peluk terus bagaimana bawa minumannya?” ucapnya lembut, tubuhnya sedikit bersandar pada tubuhku

“Eh, iya... maaf...” ucapku

“Hmmm.. aku tahu kita melakukannya, entah itu kesalahan atau bukan, aku tak tahu, yang jelas aku bahagia dan...” ucapnya terhenti

“Dan?” ucapku pelan

“Sudahlah, kita bahas nanti, minum dulu atau kamu bersihkan dulu tubuhmu, bau acem hi hi hi” candanya

“Hmmm... bu ainun suka kan?” tanyaku, dia mengangguk dan menoleh ke arahku, bibir kami berpagutan

“Sudah, bersih-bersih dulu sana” ucapnya, aku mengangguk dan tersenyum

Aku berjalan ke arah kamar mandi, aku masih menoleh melihatnya. Dia memandangku dengan wajah ayunya, eh...

“Bu, itu, pak...” ucapku terhenti dan dia tahu maksudku

“Gak bakalan balik sekarang, paling sore kalau gak, malam” jawabnya, santai dengan senyum indah pada bibirnya

“Eh, bu itu yang disprei...” masih saja aku bertanya, karena masih penasaran dengan yang kulihat tadi

“Bersih-bersih dulu” ucapnya, mengahadap ke arahku, pandanganku tertuju pada payudara yang seakan terpasang dan tak turun sedikitpun

“Hush! Malah liat-liat, mandi dulu, acem tau gak” wajahnya sedikit memperlihatkan mimik galaknya

“Eh, iya bu...” aku masuk ke dalam kamar mandi

Jika aku mengingat semalam, jika aku terus mengingatnya, kenapa ini tegang terus ya? haduuuh, dede Artaaku sayang, hmmm... mandi ah





---------------------

Kletek... kletek...

Kuletakan dua gelas teh hangat, aku duduk dengan tubuh telanjangku. Aku tahu ini salah, tapi aku merasakan hal berbeda ketika dia mengatakan tentang adik-adiknya dan kakak perempuannya. Ah, kenapa malah cemburu dengan seseorang yang tidak seharusnya aku cemburui. Mungkin yang jelas, aku harus cemburu pada kedua adiknya, untuk kakaknya seharusnya tidak. Tapi, aku merasa sangat cemburu ketika dia bercerita tentang kakak perempuannya.

“Biarlah, mungkin aku benar-benar cinta kepadanya” bathinku
, aku menyandarkan tubuhku di kursi panjangku

Kupandangi tubuhku, ku elus lembut payudaraku. ah, semalam dia meremasnya lembut sekali. Dua orang lelaki, yang kucinta sekarang dan dia, yang tinggal bersamaku. Namun, lebih hangat dan lembut yang kucinta. Aku tersenyum sendiri, hufth, sekarang aku harus lebih menjaga diriku diluar agar aku bisa selalu bersama yang kucinta. Dan untuk si dia, sudah kesepakatan bukan? Jadi tidak ada masalah.

Aku memandang ruang tamuku, ruang tamu dimana dulu aku pertama kali bertemu dengannya. Selang beberapa saat, Terdengar langkah kakinya,, akau menunggunya. Kini dia berdiri di menghadapku, di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Hanya dengan memakai handuk yang melilit dipinggangnya, dia menggaruk-garuk belakang kepalanya. Aku tersenyum, penisnya masih saja berdiri, terlihatlah dari tonjolan handuk kecilnya.

Aku dan dia saling memandang, di ruang tamu yang masih tertutup rapat. Cahaya matahari masuk melalui ventilasi udara yang ada di atas pintu dan jendela. Perasaanku saat ini, entah, kenapa aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sangat bahagia, dan yang membuatku heran, kenapa aku lebih bahagia ketika dia disini.

“Sini sayang, minum teh hangat dulu” ucapku, membuka kedua tanganku

“Eh, iya bu...” dia melangkah mendekatiku, perhatiannya tidak lepas di payudaraku

“Hush! Lihat-lihat mulu, dah cepetan duduk” ucapku, dengan tersenyum kepadanya, aku menutupi payudaraku dengan kedua tanganku. Dia duduk dan mengambil teh hangatnya, matanya sedikit melirik ke arahku. Melirik wajahku kemudian turun, turun dan...

“Ada apa?” tanyaku pelan, aku membuka kedua tanganku. Agar dia bisa melihat lebih dekat dan lebih jelas

“Eh, uhuk... ehm... ndak papa bu” ucapnya, meletekan gelas. Tersedak karena melihat yang sudah dia pegang, dan wajahnya terlihat lucu ketika mencoba membuang mukanya. Terlihat wajahnya sedikit memerah, tapi aku suka akan sikapnya.

Aku merapat ketubuhnya, ku tarik tangan kanannya kebelakang pinggangku dan aku peluk tubuhnya. Dadanya begitu luas, hangat, aku rebahkan kepalaku di bahunya. Ku peluk erat, sangat erat hingga tubuhku rapat. Tangan kanannya, merengkuh pinggangku sedangkan tangan kirinya mengelus pundak kananku.

“Bu...” lembut sekali

“Hmmm...” jawabku

“Itu, anu... hufth.. aku bolos lagi bu” ucapnya, dengan nada suara biasa, mencoba menghilagkan kegugupan

“Hmmm.. iya, Maaf ya..” ucapku, benar-benar lelaki yang pintar. Walau dalam suasana seperti ini masih saja ingat kewajibannya.

“Eh, ndak papa ko bu, he he he... itu, bu, anu...” kata-katanya terlihat gugup, detak jantungnya kurasakan semakin berdebar kencang.

“anu kenapa? Memang anu itu apa?” ucapku pelan, masih dalam posisi yang sama dengan mataku terpejam

“Aku, aku... aku hanya ingin melihat ibu bahagia” jawabnya, tubuhnya menghadap ke tubuhku, tangan kirinya kini juga memeluk tubuhku

“Hasssh...” desah nafasnya panjang, tubuh kami kini saling menopang dalam pelukan

“Terima kasih, aku benar-benar bahagia ketika kamu berada disini. Tetaplah bersamaku, sampai nanti ketika...” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Cepat atau lambat, pasti akan ada yang benar-benar bisa mengisi hatinya. Namun, aku ingin menjadi satu diantaranya. Hanya itu harapanku.

“Semoga...” jawabnya, memelukku erat.

Hening dalam suasana pagi. Walau aku tak tertutup kain, namun tubuhnya sudah cukup menghabangatkan aku. Setiap detak jantung aku mendengarnya, setiap nafasnya aku merasakannya. Kecupannya lembut di ubun-ubun kepalaku. Sesekali, dengan ujung jari-jarinya dia mengelus punggungku. Geli, nyaman, dan aku merasakan sesuatu yang ingin aku ulangi lagi.

“Kenapa? masih bangun adiknya?” tanyaku, mataku tetap terpejam merasakan kehangatan

“Dede Arta namanya bu” jawabnya,

“Eh, ada namanya ya?” tanyaku heran, aku mengangkat wajahku. kupandangi wajahnya

“Dari SMA, Samo dan Justi yang mulai, akhirnya aku kasih nama sendiri saja” jawabnya, polos sekalli.

“Hi hi... lucu kalian, tapi aku maunya dede Arta saja yang diceritain, yang lain gak usah” candaku,

“Hasssh...” desah nafas panjang

“Kenapa sih kok nyembur-nyembur gitu nafasnya” ucapku, dia kini memandang sedikit kebawah kearahku

“Bu, itu kenapa... anu itu...” dia sedikit gugup

“Anu kenapa?” tanyaku

“Yang di sprei..” ucapnya pelan

“Kamu kan yang pertama, dan selamanya, kalau kamu masih mau denganku” jawabku

“Tapi kenapa masih ada bekasnya, kan ibu sudah menikah, dan kata temen-temenku, itu...” ucapnya, aku bangkit dan aku naik ke kursi, aku peluk dia dari belakang

“Aku dan dia, menikah bukan keinginan kami. dia mencintai orang lain. Setelah aku tahu, dia adalah sahabatku sendiri yang akhirnya menjadi istri sirinya. Dia ungkapkan itu semua ketika malam pertama”

“Ketika kenyataan itu dia ungkapkan, itu semua tanpa mempertimbangkan perasaanku, aku sedih. Bahkan dia berjanji tak akan menyentuh tubuhku sama sekali, pernah sekali aku menggodanya agar dia melupakan yang dicintainya itu, tapi dia hanya tergoda sebentar. Sebatas memasukan jarinya ke dalam vaginaku, ada sedikit darah tak banyak”

“Tapi ketika dia sadar, dia malah marah besar. Dan setelah malam dimana aku menggodanya, kami sepakat untuk tetap mempertahankan pernikahan ini tanpa...” ucapku terhenti

“Eh...” dia menoleh kebelakang

“Tanpa berhubungan suami istri, mungkin sejauh ini semua orang melihat kami harmonis. Aku melayaninya bak seorang istri, tapi sebenarnya, kalau malam aku selalu tidur sendirian. Meneleponmu saja aku bebas, aku bisa bilang dia sudah tidur, dan lain sebagainya itu semua karena aku tidak pernah sekamar dengannya”

“Video yang aku tunjukan ke kamu, itu aku mendapatkannya ketika dia terlelap. Diamnya, aku tahu kemana. Bahagianya, aku tahu dimana. Jujur aku sempat sedih, tapi ketika aku pertama kali mengobrol denganmu, semua tergantikan dan aku merasa senang, nyaman. Aku tidak pernah punya pacar, karena aku memang tidak ingin pacaran. Dan seseorang yang aku katakan mirip kamu itu, hanya sekedar teman” jelasku kepadanya

“Eh, bu... ta... tapi... waktu itu bu ainun pernah mengatakan kepadaku, kalau pak eh, dia, memberi nafkah lahir batin ke ibu” ucapnya

“Tidak pernah sama sekali, lahir aku mencari sendiri, dan batin... malam tadi kamu yang memberikan” ucapku, aku semakin memeluknya erat

“Kenapa bisa bertahan selama ini?” tanyanya

“Hmm... untuk menjaga perasaan kedua orang tua kami” jawabku

“Kenapa denganku?” tanyanya kembali

“Karena...” aku bangkit, aku memeluk lehernya, bibirku mengecup pipinya

“Aku cemburu, kepada dua adik angkatmu dan juga kakak perempuanmu. Entah mengapa aku cemburu, kedua adikmu itu tampaknya sangat memberikanmu kebahagiaan, sedangkan aku tidak, makanya aku ingin memberimu kebahagiaan. Dan kakak perempuanmu, aku tidak ingin kamu jatuh dalam lubang yang salah. Dia kakak perempuanmu, kamu melakukan itu, aku tidak ingin kamu kebablasan.” Jelasku kepadanya

“Tidak, tidak akan kebablasan bu... hufth, hanya sekali itu dan setelahnya aku akan menjaganya selayaknya adik menjaga kakak perempuannya” ucapnya

“Berjanjilah kepadaku...” ucapku

“Aku berjanji..” jawabnya. Aku kecup kembali pipi kananya.

“Tapi kenapa aku yang harus...” ucapnya terhenti

“Aku mencintaimu...” jawabku

“Eh,... bu...” dia terkejut, kurasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat

“Biarkan aku mencintaimu, tak kau balaspun, aku tetap akan mencintaimu. Aku tidak tahu kedepan sana, apakah aku tetap akan bersamamu atau tidak, tapi untuk sekarang. Selama aku masih bisa bersamamu, aku ingin bersamamu... walau hanya sesaat..” aku beranjak kembali memeluk tubuhnya dibelakang, air mataku meleleh

“Aku tahu, pasti kamu akan menemukan jodohmu kelak. Tapi selama masih bisa bersama, aku mohon untuk tetap bersamaku. Aku tidak butuh janjimu untuk selalu bersamaku, tapi bersamakulah ketika masih bisa” ucapku, aku tak bisa menahan tangis

Dia berbalik, melepas pelukanku. Dia memelukku erat, tubuhnya jatuh di bantal yang sedari malam berada di kursi ini. Matanya memandang dalam ke mataku. Jari-jarinya menyisir lembut jari-jariku. Terdengar kata-kata hangat dari bibirnya, pelan, namun membuatku tegar. “jangan menangis, tersenyumlah” aku merasakan kata-katanya. Bibirku tersenyum, dibalasnya senyumanku dengan lengkungan bibir manisnya.

“Aku tidak tahu apa aku bisa bersamamu, bu. Aku tak tahu yang didepan sana, yang jelas, jika aku bisa, aku akan menjagamu. selama aku bisa. Aku menyayangimu, tapi aku tidak berani mencintaimu, dan kamu tahu kan bu...” ucapnya, kata-katanya memang bukan yang aku harapkan tapi sudah cukup membuatku bahagia. Selama aku bisa, ya mungkin itulah yang seharusnya. Dia masih muda, kuliah, banyak wanita disekelilingnya bahkan beberapa ada yang sudah terpaku padanya. Ah, aku tidak boleh sedih jika suatu saat nanti harus kehilangan dia.

“walau sebenarnya aku.... ingin” lanjutnya, membuatku sedikit terbelalak. Ada penghalang diantara kami, dan itu tidak mungkin bisa dirobohkan. Jika itu roboh karena kecerobohan kami, dia yang akan dipersalahkan atas semuanya. Aku tidak ingin, tidak.

“Jangan berpikir macam-macam bu, didepan tidak ada yang tahu. Aku juga tidak tahu, aku tidak bisa berjanji, tapi percayalah padaku” ucapnya

“He’em...” jawabku

Dalam hatiku, aku berharap selalu bersamamu, selalu.

Aku meringkuk dalam pelukannya, tak kukira dia lebih bisa memposisikan dirinya. Sebagai seorang lelaki, aku meras terlindungi. Terasa hangat, terasa nyaman. Aku ingin membuatnya lebih nyaman bersamaku. Perlahan tanganku turun, membuka lilitan handuknya. Penisnya terlihat sangat keras, begitu gagah dibandingkan dengan punya suamiku. Aku pernah memegangnya, aku pernah mengelusnya tapi dibandingkan dengan Arta, jauh berbeda. sebuah pertanyaan timbul dalam benakku, apakah sahabatku itu merasakan kebahagiaan ketika bersama suamiku? Hm, masa bodohlah.

“Eh, bu...” pelan, aku mendongakkan kepalaku ke atas, wajahnya turu memandangku Kepalaku naik, dan bibirku mengejar bibirnya.

“Pulanglah sore nanti, aku masih ingin bersamamu” bujukku, dia mengangguk

Aku menarik handuknya, hingga benar-benar tidak menutupi kemaluannya lagi. Tubuhnya beranjak ke atasku, ugh, dia langsung menindihku.

“Ke kamar saja yang, sakit...” manjaku,

“Eh, maaf...” jawabnya

“Gendong yang..” manjaku

Aku digendongnya, bibir kami terus berciuman, hingga kami berada dikamar semalam tadi. Dengan lembut dia merebahkan tubuhku, aku langsung membuka pahaku, ugh, sedikit perih sebenarnya. Kupaksa tetap terbuka, aku arahkan tubuhnya agar berada di antara pahaku. Tubuhnya menunduk, bibir kami bercumbu. Ah, tangannya sudah mulai nakal.

Sekali lagi aku melakukannya. Rasanya, tak dapat aku melukiskannya dengan kata-kata. Sepertinya kini dia lebih berhati-hati. Sentuhannya pun semakin lembut. Walau terkadang masih sedikit kasar. Mungkin karena dia masih pertama kalinya.

Berbeda dengan semalam, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Lebih dari yang tadi malam, hampir tiga kali aku mengalami puncak kenikmatanku. Hampir aku menyerah karena tubuhku sudah tak mampu lagi untuk bertahan. Tapi, hati kecilku seakan berontak untuk tetap sadar dan membahagiakannya. Seperti halnya dia, aku juga ingin melihatnya bahagia. Aku mencoba bertahan hingga akhirnya rasa lelahku, sudah tak bisa lagi diajak berkompromi. Aku mengeluh kepadanya, walau sebenarnya aku tak ingin.

Wajahnya menjadi sedikit takut, ketika mendengar keluhanku. Selang beberapa saat, akhirnya dia mencapai puncaknya. Kini dia berada dibelakangku, memelukku dengan sangat erat, sangat erat. Entah, kenapa lelaki ini bisa lebih kuat dari semalam. Seperti ada tenanga lain dalam dirinya, namun masa bodoh yang penting aku masih bisa membuatnya rebah dan lemas. Tiga kali aku harus lemas dan baru kemudian dia yang merasakannya.

Pelukannya sangat era. Setelah nafas kami teratur, dia masih tetap mencium rambutku. Tangannya yang semula memelukku, kini mulai mengelus lembut payudaraku, mengusap tanganku dan membelai rambutku. Mataku terpejam, kembali mengatur nafasku. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ada.

“Yangh... terima kasih” ucapku

“Eh, jangan bilang terima kasih, seakan mau pisah” jawabnya, membuatku mengankat kepalaku dan menoleh kebelakang

“Emang mau sama cewek udah nikah ini?” sedikit candaku

“Mau...” ucapnya, memebenamkan wajahnya di balik tengkuk leherku

“Erhh... geli sayang...” jawabku

“Selama masih bisa bareng, bareng terus ya?” tanyaku, terasa anggukan kepalanya

“Janji lho” aku mencari keyakinanku sendiri atas dirinya, kembali dia mengangguk

“Hm, kok sembunyi terus? Itu dede Arta ya? kok gak tidur-tidur?” tanyaku

“Byum cyapek” kata-katanya sedikit tidak jelas, karena wajahnya masih terbenam. Namun, aku masih bisa mengerti maksudnya. Aku membalikan tubuhku, hingga bagian tubuhnya yang berada dalam tubuhku lepas sudah.

“Besok lagi sayang, sakit...” ucapku, memegang kedua pipinya. Dia mengangguk.

“Aku ingin tidur bareng bu... sampai sore” ucapnya, memandangku

“Iyaa, aku juga terlalu lelah gara-gara hi hi hi..”sedikit candaku membuatnya tersenyum

“Tapi jangan sampai sore ya, ntar gak maem, ya?” ucapku, dia mengangguk

Sekali lagi kami berciuman, tangan kanannya merengkuh tubuhku. Dadanya begitu terasa hangat, ketika dadaku menempel di dadanya. Tubuhnya melindungiku dari dinginnya pagi ini, pagi dimana biasanya aku selalu mengurusi rumah ini. Pelan terasa, tangan kanannya membelai rambutku, mengelusnya. Kesadaranku mulai hilang, hilang dalam kehangatannya.

.
.
.


Aku terbangun dan membentangkan tanganku, dia tertidur pulas sekali. Terasa sakit dibagian vaginaku. Hm, untung saja tidak bangun lagi si dede Artanya. Tanganku mulai mengelus dadanya, leher hingga pipinya. Aku dekatkan wajahku, dan ku kecup wajahnya beberapa kali.

“Ergh...” dia membalikan tubuhnya membelakangiku

“Eeeh... bangun sayang, sudah siang” ucapku,

“Hm... erghhh.... hoaaaam...” dia membalikan tubuhnya dan memandangku dengan mata ngantuknya

“He’em...” jawabnya dan kembali tertidur

“Kalau tidur lagi, besok-besok, aku gak mau lagi lho” ucapku, dia langsung menarikku, dan mengecup bibirku

“Iya... iya...” dia bangun

“Dah, sana mandi dulu” ucapku

Dia kemudian mandi, aku tata rapi lagi pakaiannya. Setelahnya aku bereskan tempat tidurku, mengganti sprei, aduh, terasa sakit. Hufth, aku paksakan untuk tetap beraktifitas. Dengan melilitkan selimut putih, aku membuatkannya teh hangat. Ku tunggu dia keluar dari kamar mandi dan aku memberikan teh hangat tersebut kepadanya. Ku suruh dia menungguku di ruang tamu.

“Boleh ngrokok, tuh dah aku siapin tapi jangan banyak-banyak ya” ucapku, dia mengangguk tersenyum. Bibirnya maju, aku menghindar. Pipinya kemudian menggelembung, aku merasa geli dibuatnya. Aku raih dagunya dan kami kembali berciuman, walau sesaat.

Didalam kamar mandi. Aku merasakan sakit di vaginaku. Beberapa kali aku selalu membandingkannya dengan kepunyaan suamiku, yang saat itu pernah aku memegangnya walau sebentar. Sembari mandi, aku tersenyum-tersenyum sendiri, bayangin dia yang romantis banget pas tidur. Sesekali aku berhenti mandi, hanya untuk senyum-senyum sendiri. Dibalik kepolosannya, ternyata ada romantisnya juga.

Selepas mandi, dengan pakaian yang biasa aku kenakan. Tapi entah, kenapa hari ini aku menambahkan di dandananku, biar kelihatan lebih cantik. Kutemui dia, dia memandangku melongo. Kepalaku miring dan memandangnya, aku sendiri heran melihat matanya yang memandangku.

“Eh, ada apa?” tanyaku heran,

“Ibu, cantik banget... eh, gak papa maaf bu” ucapnya sedikit gugup, aku duduk didekatnya

“Tehnya manis?” tanyaku, aku masih tersenyum-senyum sendiri

“Banget” ucapnya

“Eh, kemanisan ya?” sambil mendekatkan tubuhku ke tubuhnya

“Tehnya manisnya cukup bu, Cuma yang disamping buat tambah manis. bisa kena diabetes akunya bu” ucapnya sembari meletekan gelas

“Ooo... gitu? Jadi aku jadi penyebab diabetes ya? ya sudah, aku tak masuk saja” aku memalingkan wajahku dan hendak berdiri

“E.. endak begitu maksudnya sayaaaaang Ainun sayaaaang” ucapnya, aku duduk kembali dan membelakanginya

“Maksudnya ibu manis banget, dah itu saja” jelasnya, aku berbalik dan kembali tersenyum. Aku berdiri, membuka pintu ruang tamu hanya untuk berjaga-jaga agar dia tidak minta lagi. setelahnya, aku kembali lagi duduk disebelahnya

“Pulang ntar sore ya?” ucapku

“Pak RT?” ucapnya

“Ntar kalau dia dateng kamu pulang, bilang saja bantu-bantu ibu ngetik” ucapku

“Ngetik apaan?” tanyanya

“Mmm... artikel, kan aku sering pos tuh di blog.” jawabku

“aku kira ngetik hati Ainun” jawabnya dengan mimik bercandanya. Aku sedikit memukul lengannya, sedikit malu aku dibuatnya. Rayuannya datar tapi gak tahulah.

“Posting di blog buat apa?” tanyanya

“Aku kan masih kuliah sayaaaang, buat tugas” jelasku, sedikit manja kepadanya

“Kuliah?” dia heran

“He’em, ambil S2, makanya bisa lihat kamu dianter si itu, si ini” jelasku

“Oooo... hmmm... cemburu?” tanyanya

“Enggak, ngapain cemburu, kan kalau disini kamu sama aku” aku tersenyum, dan dia tersenyum kepadaku

Menunggu sore, aku selalu rebah di dadanya. Tak akan ada yang bisa melihat walaupun pintu terbuka, karena tempat duduk kami tertutup oleh korden. Pelukannya lembut, walau aku dan dia sudah bersatu dua kali. Tangannya tetap sopan kepadaku dalam suasana seperti ini, padahal bisa saja dia membelai bagian tubuhku yang lain. Aku hanyut, benar-benar hanyut dalam kehangatannya.

Hingga sore tiba, dia pulang. Dari rumahku aku melihat punggungnya. Sesekali dia menoleh kearahku dan tersenyum. Aku balas senyumannya dan sedikit membungkukan tubuhku. Tepat setelah dia menghilang dari pandanganku, suamiku pulang. Ya begitulah, setelah dia pergi, suram semuanya. Tapi aku tetap melayaninya seperti perjanjian kami. Suamiku masuk rumah, langsung ke kamarnya dan aku kembali ke kamarku. Kupeluk bantal yang dia pakai semalam, ah, aroma wangi keringatnya masih tercium.

Kamu lelaki yang sangat polos, benar-benar polos. Namun, sulit bagiku untuk melukiskan tinta di kanvas putihmu. Ada sebuah penghalang dikanvasmu. Hanya yang kamu perbolehkan saja, yang bisa melukis disana. Aku tahu dan aku sadar akan hal itu. Namun aku berharap, aku bisa melukis di kancas putihmu, sekalipun aku yang menjadi tinta kesekian kalinya. Semoga ...

Aku bahagia
Ketika dia memandangku
Ketika dia tersenyum kepadaku
Ketika dia memelukku

Aku tidak peduli
Ketika kamu hilang nanti
Ketika kamu bersama yang lain

Yang jelas,
Aku akan tetap seperti ini
Hingga kelak,
aku sudah tak mampu bernafas lagi
walau hanya memilikimu sesaat
walau hanya sesaat bersamamu
namun aku tidak ingin kamu melupakanku

jika memang masih ada waktu
aku berharap, aku bisa berada disampingmu
 
Mohon maaf baru bisa update,
ini sabtu juga masih sibuk...

Buat para reader, monggo di baca updatenya
mohon maaf kalau telat lamaaaaa sekaliiiiiii...
banyak kesibukan, :galau:
dan terima kasih sudah meramaikan trit nubie ini
terima kasih... kamsia... matur tengkyu... arigato...

special thanks :
hokage entah dari desa ninja mana saya tidak tahu, tapi dia adalah seorang hokage
Paidikage

tapi itu, anu, updatenya, itu...
anu...
argh...
susah banget ngomongnya...


kritik dan saran ya hu...

:ngupil:

:ngacir:
 
HurAaaaa......... Suhu DH release update. Benar2 di luar perkiraan ceritanya hu. Ada ya.... Orang yg biarin istri sahnya tetap perawan. Maturr suwun hu. Tetap di tunggu updatenya meski lama. Grp send suhu.
 
Gw mau comment...

Gw mau kasih saran n kritik...

Tapi TS nya ga ngasih...

Ya udah gw numpang ngedeprok aja...
 
UPDATED
thanks suhu, jadi ingat bu dian yg sempat ditolong arya, beberapa tahin sebelumnya apakah keempat sahabat itu bakalan seperti bu dian? Who knows

Btw total cewek yg mengelilingi arta dg potensi romance udah 5, bakalan ada yg tereliminasi kah? Bu ainun jadi dg temannya yg mirip arta? Atau ada yg lain?
 
:jempol:
Terima Kasih Banyak Ya Suhu Atas Update nya..
Untuk Kritik Saya Serahkan Sama Suhu" Yg Udah Pada Master,
Ga Bakat Kritik,:D :D,
Klo ada yg nuntut" lebih update nye Kiloin Aje.. ! =))
 
Bimabet
Arta yg beruntung dpt perawannya bu ainun,atau bu ainun yg beruntung dpt perjaka arta ya :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd