Kleeek...
Winda membuka pintu, dan langsung masuk ke kamar kos Dini dan Dina. Aku berada dibelakang Winda dengan tas berat, biasa si manja ini memang kalau lagi sebel pasti gak mau bawa tas. Kelihatan dari wajahnya, pasti gara-gara tidak Dina sama Dini tidak menyambut kedatangannya.
"Dasar, malah pada tiduran! Katanya kita disuruh tidur sini, gak ada penyambutan lagi, huh! Dasar!" bentak Winda ke Dini dan Dina yang sedang tiduran di karpet bulu putihnya. Geli rasanya lihat Winda ngambek, kena marah itu pasti si Galak sama si Periang.
"Iiih Winda cantiiiik...." Dina berdiri dan langsung berlari kecil ke arah Winda, dan memeluknya
"Maaf sayang, kan gak tahu kalau Winda cantik mau kesini" rayu Dina
"Huh! Bete, buatin minum dong aus nih" Winda, manja
"Iya Winda sayang, Dini buatin buat Winda" ucap Dini bangkit
"Desy... muach" setelah memeluk Winda, Dina langsung memelukku
Hari ini, kita berempat sepakat untuk tidur dikos Dini dan Dina. Besok libur, jadi ya tidak ada salahnya untuk ngerumpi bersama. Dini, membuatkan minuman hangat, sedang Dina menyiapkan camilan. Aku lepas kerudungku, berpakaian seperti halnya mereka semua. Kaos ketat dan celana selutut, Dina tang-top celananya hot pant, Dini dan Winda sama seperti aku.
"Wah, dah lama ya gak kumpul-kumpul bareng seperti ini?" ucapku
"He'em, pada sibuk ma cowok? Cowok yang gak perhatian gituuu" ledek Dina yang jelas sekali ditujukan ke aku dan Winda
"Daripada jomblo ngenes weeeeek" balas Winda tak mau kalah
"Mending jomblo ngenes, daripada gak dimanja-manja, hi hi hi" giliran Dini membalas Winda. Mereka kemudian saling mengejek satu sama lain.
"Sudaaaah, sudaaaaah, sudah dong, Winda sayang iiih gemes, sudah jangan ngambek gitu. Dini dan Dina kan bercanda" tenangku kepada Winda
"Huh! Tuh, Dini ma Dina, nyebelin weeeeek" ejek Winda ke Dina dan Dini
"Yeee... nyebelin, ngenes tapi bahagia kali hi hi hi" balas Dini
"Dina, Dini sudah!" ucapku
"Iya umiiiii... hi hi hi" ucap mereka bersama
"Auuw... Dina, apa-apaan sih kamu" bentakku, ketika tangannya meraba payudaraku
"Hi hi hi, punya umi tambah gede hi hi hi" ujar Dina
"Eh, bener juga tuh, gak lu sumpal ma kertas kan mi?" tanya Dini
"Huh! Dari sononya" balasku, sembari menyingkirkan tangan Dina
"Aaaa, pengen kayak punya Desy, gede" rengek Winda
"Yeee, operasi payudara sono" ucap Dini
"Eh, bener kata Dini, Wind. Mau juga aku, Biar suamiku kelak suka mainin payudaraku" ucap Dina
"Haduh, ini malah ngomongin susu. Hmmm..." ucapku
"Ya secara, aku kan penasaran banget sama punya Umi. Dari kita berempat punyamu paling maksimal" Jelas Dina, sembari mencoba memegang payudaraku lagi namun aku menghalanginya
"Gede tahu na' punyamu, tuh si Dini, juga gede, Winda juga" jelasku
"Tapi dari kita berempat ukuran bra-ku kan paling kecil" ucapnya dengan gaya sok nangisnya
"Iiih... ini apaan sih, kenapa malah jadi bahas ukuran payudara?" Dini dengan gaya galaknya,
"punya Dina B aja gak muat tuh" lanjut Dini
"Huu, maklum dong din, secara gue kan penampilan number one, jadi harus bahas penampilan kalau kumpul-kumpul gini" ucap Dina
Begitulah candaan kami, sama saja sejak SMA. Mungkin, apa yang dikatakan Dina benar, tapi punya Winda dan Dini juga sama, gedean dikit punyaku sih. Candaan kami berlangsung lama, sambil memakan snack camilan kami ngobrol. Sudah lama kami tidak ngumpul seperti ini. kami berempat teman satu SMA, sangat akrab. Bahkan hal paling pribadipun kadang kami ceritakan, ya hanya ketika kumpul empat orang ini. bahkan sampai ada istilah Winda si manja, Dina si perayu, Dini si galak, dan aku, Umi. Entah kenapa aku bisa mendapatkan sebutan itu.
"Oia des, Arta masih lu diemin?" tanya Dini, aku mengangguk
"Hanya karena reaksi ketika dia lihat foto cowok kamu?" Dina ikut manambahi
"Ya begitulah, ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Dan aku yakin, waktu aku tanya dia bohong" jelasku
"Tapi, Winda gak enak juga kalau diemin Arta terus des, kan dia yang selalu suplai tugas kuliah kita" ucap Winda manja sambil memeluk guling
"Ya, gimana ya, masih sebel aja ma dia. Tapi kasihan juga ya" ucapku
Mereka memandangku,
"Ciyeeee.... jatuh cinta ma Arta nih yeeeee...." teriak mereka bertiga,
"Aku? Bukannya kalian juga?" balasku santai,
"Ih malessssss..." jawab mereka bertiga
"Ih, kalau Winda masih nunggu si bocah itu, lu kan juga sama des?" ucap Winda,
"Yaelah, kalian pada gak nyadar kalau udah punya cowok?" ucap Dini
"Nyadarlah, kalau ketemu ma bocah itu, Winda mau kok walau jadi yang kedua" ucap Winda
"Umi?" ucap Dina
"Gak tahu, lagian dah lama kan? Gak mungkin bisa ketemu" jawabku
"Lha kalian, gimana? Masih teringat-ingat sama si lelaki malam itu yang pas, SMP itu ya? Benerkan SMP?" lanjutku bertanya pada Dini dan Dina, yang sedang ngemil
"Nyammm... iya SMP, masih sih, tapi kagak mungkin dah ketemu. Secara itu kan udah berberapa tahun yang lalu, tapi kalau ketemu gue bakal tembak dia duluan hi hi hi" ucap Dina sembari mengunyah camilan
"Lu din?" tanyaku berlanjut ke Dini
"Gak tahulah, mungkin sama dengan Dina" jawab Dini
"Kita barengan aja din, kalau kita ketemu ma dia ha ha ha" tawa Dina
"Bisa diatur hi hi hi" tawa Dini
Kami bercanda kembali melupakan si culun yang menjengkelkan itu. Dini, Dina, Winda dan aku, akan menggapai mimpi kami bersama.
---------------------
Kriiing... kriiing...
"Ya halo"
"Sini, main, lagi sendirian"
"Ta.. tapi"
"Cepetan, gak kangen?" tuuut...
Ah, tanpa menunggu jawaban, langsung main tutup telepon. Sudah malam seperti ini, disuruh main. Baru beberapa jam yang lalu aku sampai di kontarakan setelah pulang dari rumah mbak Arlena. Aku simpan kembali foto ibu didalam kotak kaleng, yang selalu aku pandangai setelah aku bertemu dengan mbak Arlena. Aku raih hapeku, kulihat angkat di sudut kanan layar, jam 10 malam. Hadeh, bagaimana ini jam 10 malam disuruh main.
Daripada kena marah, aku keluar dari kontrakan. Berjalan menyusuri jalanan kompleksku, terlihat dari kejauhan beberapa orang berada di pos ronda dan juga ada yang duduk santai di depan salah satu rumah warga. Aku ikut kumpul dengan warga, bercengkrama sejenak untuk menghilangkan penatku. Beberapa kali sms masuk, tapi tak ku gubris. Tepat pukul 10.30 malam, warga mulai berkumpul di pos ronda menyaksikan siaran sepak bola. Aku melangkah mundur, melewati jalan memutar. Sebenarnya kalau dari pos ronda rumah pak RT bisa dilihat, namun hanya terlihat pintu gerbang mobil saja. Setelah memutar, dan memastikan semua aman. Aku melompat melewati pagar, sial, benar-benar beresiko.
Mengendap-endap, tiba-tiba lampu teras padam. Aku terus bergerak, pintu tiba-tiba terbuka, dengan tiarap aku masuk ke dalam. Pintu kembali tertutup, dan aku terlentang. Tiba-tiba sajam, dia duduk diatas dadaku. Ugh, benar-benar berat.
"Lama banget, mau apel aja sok banget kayak orang mau perang!" ucapnya sedikit ketus
"Tuh, liat orang sebanyak itu, bisa-bisa aku digebukin" belaku karena memang situasi dan kondisi tidak memungkinkan
"Yeee... salah sendiri kali, macarin cewek punya suami" jawabnya, masih saja terdengar sedikit ketus
"Nembak saja belum, masa macarin sih bu?" tanyaku semakin heran
"Kan selingkuh... weeeeek" sedikit lidahnya menjulur
"Dah, duduk diminum, keburu dingin" ucapnya bangkit dari duduknya
"Bilang selingkuh lagi, aku pulang" ucapku, aku bangun dan duduk di kursi panjang, dan sudah ada bantal besar disana
"Marah?" tanyanya dengan mimik wajah yang tidak kalem lagi, sedikit ada rasa jengkel di wajahnya
"Iya, banget" ucapku, kusruput minuman hangatnya dan kuletakan lagi
Tiba-tiba saja, dia memegang kedua pipiku, dan mencium bibirku.
"Masih marah?" tanyanya pelan
"Eh, bu ainun, ngangetin saja, iya ndak marah, mau disebut apa saja boleh. Tapi kalau disebut yang tadi, yaaaaa, ndak mau" jawabku pelan
"Siapa yang kemarin nginap?" ucapnya, aku memandangnya dan tersenyum
"kok tahu? Ibu lihat kakak perempuanku ya?" ucapku
"Tidak sih, hanya waktu sekretarsi RT telepon pak RT. Tapi, Benar kakak perempuan kamu? bukannya kamu bilang kalau kamu disini sendirian dan hanya dengan kedua sahabatmu?" tanyanya heran, masih memegang kedua pipiku
"Dia pergi sewaktu aku masih dalam kandugan" ucapku lirih, dan menyandarkan tubuhku di sandaran kursi, mataku terpejam. Kedua tangannya lepas dari kedua pipiku. Dia duduk tepat disampingku.
Aku mulai bercerita tentang ibu, kakek, dan nenek. Sebuah cerita masa lalu dan tidak begitu detail kepadanya, cerita ketika aku bersama ibu, kemudian diasuh oleh kakek-nenek serta titipan ibu untuk kakak perempauanku. Tubuhnya mendekatiku, dan bersandar pada bahuku.
"
Feeling saudara memang kuat, jadi tidak mungkin salah." Suaranya lirih pelan, tubuhnya yang hangat sangat terasa olehku
"Tapi ya itu bu, kemarin mbak tiba-tiba saja datang, pas dia mennginap itu. Terus, itu, anu..." aku menceritakan kejadian dimana aku bangun dalam posisi mengulum susu kakak perempuanku
"Eh.. dasar, untung mbak kamu itu tidak marah, kamu suka?" dia beranjak dan langsung memandangku dengan wajah galaknya. Aku sedikit terkejut, ketika melihat wajahnya. Walau gelap, masih ada sedikit cahaya yang masuk dari ruang tengah.
"Dah bu ndak usah dibahas lagi? Keceplosan, ya itu salah satu kebiasaanku, dulu berhenti setelah ibu sakit" jelasku,
"Ha? Jadi kamu ngempeng sampai SD? hiii malu-maluin" mimik wajahnya berubah drastis, dari marah menjadi tertawa geli oleh kelakukanku.
"Yeee... namanya juga anak kecil, ndak tahu apa-apa bu, wong dulu juga sering dimarahi ibu kalau sudah posisi kaya gitu. Paling Cuma bentar terus digantiin jempol ibu, weeeek..." ucapku
Bu ainun melihatku, tersenyum, kerudung putih dengan kaos lengan panjang yang dihiasi rok berenda, benar-benar ayu. Dia mengatakan kepadaku, kalau dia sebenarnya sudah tahu kebiasan burukku itu, sewaktu tidur di ruang tamu rumahnya. Kami bercanda dalam suasana remang, itulah yang selalu aku lakukan dengannya. Tawa kami selalu tertahan dan pelan, karena jauh diluar sana masih banyak bapak-bapak yang menonton pertandingan bola di pos ronda.
Setelah tawa pelan kami, mata kami saling bertemu. Jarak itu merapat, nafas kami bersatu. Tangannya kami saling menggenggam, perlahan tangannya berpindah ke belakang kepalaku. Menarikku, kepalaku maju, bibir kami bertemu, tanpa rasa khawatir akan orang-orang yang berada tak jauh dari rumah ini. Aku memeluknya, aku semakin tak bisa mengendalikannya.
Bibir kami bersatu, tangan bu ainun semakin menarik kepalaku, erat. Tanganku semakin memeluknya erat, menarik tubuhnya hingga tak ada jarak diantara kami. sejenak dia melepaskan ciuman, punggung tangan kirinya mengelus pipi kananku.
"Aku cemburu... sangat cemburu" pelan, kata-katanya mengisyaratkan sebuah rasa kesal terhadapku
"Eh, kenapa? deng..." ucapku terhenti tatkala bibir itu menyentuh bibirku kembali
Ditariknya kuat kepalaku, hingga sebagian tubuhnya rebah di bantal besar, belakang tubuhnya. Tubuhku menindih tubuhnya, kedua tanganku menumpu tubuhku. Tanganya kemudian mendorong kepalaku, pelan.
"Adikmu, kakak perempuanmu, aku tidak tahu kenapa? tapi aku cemburu, aku tidak ingin kamu hilang dari pelukanku" ucapnya, sembari mendorong dadaku, dan aku kembali duduk
"Ta.. tapi bu?" ucapku gugup tak tahu, duduk menghadap kearahnya sedangkan dia duduk meghadap kedepan, tampak ayu dia dari samping.
"Maafkan aku, maafkan atas perasaan ini" ucapnya, sedikit terisak, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, aku tak sanggup jika melihatnya menangis,
Aku mendekat, dan kupeluk lembut wanita bersuami ini. Tangannya terbuka, terlihat wajahnya kembali dan memandangku dengan senyum, kembali bibir kami berpagutan. Tangannya mengelus pipi, leher dan dadaku, bergerak ke tangan kananku. Menggenggam erat pergelangan tanganku, dan menariknya. Dia bangkit, terus menarikku, ciuman kami terlepas dia menarikku, berjalan menuju kamarnya. Terus menarikku hingga masuk didalam kamar, kamar tengah yang dekat dengan ruang keluarganya.
Disamping tempat tidur, aku berdiri. Aroma wangi kamar ini tercium di hidungku. Membangkitkan romansa, lebih dari sekedar nafsu birahi semata, membuatku terbuai di dalamnya. Sembari tersenyum dia berbalik memandangku. Wajahnya nan ayu terlihat sangat jelas, bahkan lampu kamar terasa kalah terang dengan cahaya di wajahnya. Dalam satu hentakan, tangannya menarik tanganku cukup keras. Aku terkejut hingga hilang keseimbangan. Tepat ketika tubuhku tertarik ke arahnya, dia menangkap kepalaku hingga bibir kami bertemu. Lewat bibir, kami saling merangsang satu sama lain.
"Bu..." pelan disela ciuman kami
"Maaf, aku hanya cemburu..." pelan, setelah bibirnya terlepas dari bibirku
Aku masih sedikit bingung dengan suasana ini. Wajahnya sayu, terlihat sangat ayu. Membuat pikiranku berkecamuk antara pergi atau tidak. Ah entahlah, tapi tubuhku seakan tak ingin pergi dari sini, aku masih ingin disini. Dengan ragu kuputuskan itu. Dan itu terejawantahkan melalui bibirku, yang kini sudah memagut kembali bibirnya.
Matanya terpejam, mersapi setiap sentuhan bibirku di bibirnya. Kedua tangannya tak lagi memegang kepalaku, lemah, tangannya lemah berada disamping tubuhnya. Namun tangannya tiba-tiba mengepal, seakan menahan sesuatu atau mungkin, meginginkan sesuatu. Bibir tipisnya yang semula aktif kini pasif. Tubuhku terus maju mendorong tubuhnya, tanganku kini berada dipunggungnya, mengelus pelan. Ya, Pelan, seakan waktu berjalan sangat lambat, tubuhnya rebah kebelakang, tanganku menahannya dan aku merebahkannya pelan. Matanya terbuka, ciuman kami terlepas. Bibirnya tersenyum, ketika mata kami bertemu.
Kini tubuhnya memelukku, kepalanya berada disamping kepalaku.
"tetaplah disini, bersamaku, aku ingin bersamamu..." ucapnya lembut dari bibir tipisnya
Tangannya mendorong lembut tubuhku. Dia bergeser ke tangah tempat tidur. Aku ditariknya, dan rebah disampingnya. Dia miringkan tubuhnya dan menarik tubuhku. Sekali lagi bibir kami bertemu kembali. Kurasakan kenikmatan yang berbeda saat ini, kenikmatan dari sentuhan-sentuhan kulit kami.
"Aku milikmu... seutuhnya... " lembut dari bibir merah jambunya, tak ada yang bisa aku ucapkan, hanya dia yang mampu berucap, bibirnya selalu menempel kembali dibibirku
Lama kami berdua saling berciuman, tanganya perlahan merambat di tanganku. Tangannya menarik tangan kiriku, dengan lembut menyeretnya dan tepat di payudaranya. Di tuntunnya tanganku untuk meremas lembut payudaranya, payudara yang masih terbbungkus bajunya. Perasaan yang sama aku rasakan seperti sebelumnya, mataku terbuka lebar tapi matanya menyipit, tertutup.
"Bu.." pelan
"Aku milikmu..." ucapnya, kembali mencium bibirku. tanganku terasa kaku, baru kali ini dalam kondisi dewasaku aku meremas payudara wanita dalam keadaan sadar.
"Bu sudah..." ucapku pelan, sekali lagi logikaku menngalahkan nafsuku. Kasih sayangku yang berlebih terhadap wanita ayu ini menyadarkan aku. Tak seharusnya aku menuruti hawa nafsuku.
Namun, tak kusangka, mata indahnya yang semula memancarkan penuh kebahagiaan, kini memancarkan kesedihan. Kulihat dekat mata itu, genangan air membasahi pelupuk matanya.
"Pulanglah... jangan kembali..." ucapnya pelan, genangan air itu mulai mengalir ke samping matanya. Matanya terpejam, menghindari tatapan mata diantara kami berdua.
"Mungkin memang aku seharusnya sendiri saj..." kata-katanya aku hetikan dengan bibirku, aku tak tega melihatnya, aku ingin dia bahagia
Logikaku kini seakan terkubur dalam, rasa ingin selalu melihatnya bahagia tumbuh dan bangkit. Tangaku kembali meremas payudaranya, nafsuku bergejolak. Kasih sayangku terlalu besar untuk mengundurkan niatku meninggalkannya. Perasaan itu, membuatku ingin terus dan terus memeluknya. Tubuhku kini diatasnya, menindih dengan kedua siku sebagai tumpuan, tak ingin bebanku memberatkannya. Kedua tanganku kembali menggenggam payudaranya, menebarkan rasa nyaman dalam setiap remasan lembutnya. Bibirku lepas dari bibirnya, aku kemudian berlutut disamping pinggangnya dengan kedua tanganku berada disamping kepalanya. Aku melepas memandangnya, dia tersenyum manis.
"Bu, aku..." ucapku pelan,
"Sssstt, aku sayang kamu, cukupkan?" ucapnya, dan aku mengangguk, sebenarnya posisi ini membuatku benar-benar tegang.
Tangannya menggenggam kepalaku kembali, menariknya pelan dan kami berciuman. Pergumulan ini begitu panasnya sampai entah kapan ini terjadi, tahu-tahu celanaku terlepas begitu saja. Kain itu tergeletak berikut celana dalam yang sebelumnya aku kenakan.
"Bu.." lirih disela ciuman kami, mencoba mengingatkan agar tidak terlalu jauh melangkah
"Ssst, jadilah yang pertama, aku sangat menyayangimu" kata-katanya, membuatku takluk walau aku sebenarnya bingung, bingung untuk mencerna setiap kata-katanya
Dia bangkit dan duduk, aku mengikutinya dengan bibir masih saling berciuman. Tanganku memegang lengannya, sedangkan tangannya tampak sibuk dibawah sana. Sedikit aku meliriknya, aku melihat dia melepaskan celana dalamnya.
Ainun, dengan sangat lembut, memperlakukanku layaknya anak kecil, aku menurutinya. Kini bagian bawahku sudah tidak memakai apapun, tangan kirinya menggenggam dede Arta. Lembut, menegang, aku merasakan sesuatu yang benar-benar berbeda. Aku peluk dirinya, erat, aku tenggelamkan wajahku di lehernya. Menahan dan juga merasakan kenikmatan. Ah, perasaan yang sangat aneh, uh, benar-benar nikmat. Baru kali ini ada seorang wanita menggenggam dan sekarang malah mengelusnya, seperti mengocoknya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa geli yang tiba-tiba menyeruak dari satu titik saraf di batang itu, dan menjalar dengan cepat, menulari saraf-saraf yang lain. Hingga merata ke seluruh bagian tubuhku.
"Eghh... bu..." rintihku
"Kenapa?" ucapnya
"Aku... eghh... rasanya seperti kemarinhhh..." rintih nikmatku
"Keluarkan sayang" pelan, suaranya lembut, spermaku akhirnya keluar. Membasahi bagian tubuhnya.
"Eh, mmmmhhhh..." dia terkejut ketika spermaku keluar, aku memeluknya erat hingga dia rebah kembali
"Bu, maaf..." ucapku
"Ssssttt..." bisiknya agar aku tetap diam
Tangan kanannya kini yang mengelus pelan batang dede Arta, yang entah mengapa masih saja berdiri meskipun telah mengeluarkan sperma. Pelan, tangan kirinya meraih kepalaku dan mencium bibirku. Kubalas ciumannya dan melumatnya. Tangan kirinya bergeser, bergerak memegang pinggulku, mendorong ke kanan. Aku menurutinya dengan menggeser pinggulku, aku mengangkat sedikit kepalaku dan melihat kebawah sana. Pinggulku berada ditengah-tengah kedua pahanya, sedikit menengadah aku melihat kewajahnya, tersenyum manis. Matanya sayu, tapi masih tetap sama, terlihat sangat ayu.
"Aku ingin kamu yang pertama" lembut dari bibirnya
"Eh, apa maksudnya bummmmhhh" tangan kirinya menarik kepalaku, bibirku langsung bertemu dengan bibirnya lagi. Tangan kirinya beralih menuntun tangan kananku, masuk dari bawah bajunya, menuju payudaranya.
Perasaan yang tidak terkendali, membuatku menuruti semuanya. Entah apa yang aku rasakan kali ini, sebuah kenikmatan. Tangan kanannya masih mengelus lembut batang dede Arta. Ah, lembut sekali payudaranya, benar-benar lembut dan hangat.
"Ssssh... sayanghhh... mmmhhh..." rintihnya, disela-sela ciumannya ketika tanganku meremas lembut payudaranya
"Ashh ashhh ashhh.. bu... mmmmhh" aku kembali mencium bibir bu ainun, aroma spermaku dari tercium di tubuh wanita ini. Dilumatnya bibirku hingga pertanyaanku tak tersampaikan. Begitu aktif, agresif, nakal dan panas. Lidahnya menelusup ke dalam mulutku. Lidahku spontan memberikan respon yang sama.
Tubuhnya bergeser, kadang kedua tangannya mendorng tubuhku pelan, seakan memposisikan tubuh kami berdua agar tepat pada posisinya. Tangannya sedikit menarik batang dede Arta, pelan, ku lepas ciumanku tapi satu tangannya langsung menarik daguku, kembali bibirku dilumatnya. Kembali lidah kami saling menyapa dan saling bergesekan
Aku merasakan, ujung dede Arta menempel pada sesuatu.
"Tekan... sekaranghh..." ucapnya lembut,
"Eh..." aku sedikit gugup
"Tekan... ssshhh untukmu sayang..." ucapnya, sekali lagi, sedikit anggukan dan senyuman di wajahnya, membuat aku terhanyut
Aku menekan pelan, matanya terpejam. Dengan penuh perasaan kudorong perlahan Dede Arta. Semakin masuk ke dalam lubang itu. Dindingnya terasa lembut meremas batangku. Hingga pada satu titik, aku merasakan sesuatu mengganjal pada ujungnya. Kulihat wajah Bu Ainun meringis, matanya terpejam, mungkin kesakitan. Kuhentikan doronganku, tak tega meneruskannya.
"Jangan berhenti, lakukanlah, aku mohon..." pelan,
"Ta.. tapi.." tak tega aku melihatnya
"Kamu sayang aku kan? Kalau sayang lakukan, pelan..." ucapnya, bibirnya kembali memagut bibirku, memberikan keteguhan bagiku.
Peinggulku kembali menekan, terasa ada yang menghambat. Ah, benar-benar sebuah rasa yang tidak pernah rasakan sebelumnya. Semakin aku menekan, semakin aku tidak bisa menahan gejolak dalam diriku. Terasa berat masuk kedalam sana, aku menekan, menekan dan akhirnya, aku putuskan untuk menekan dengan keras. Terasa melewati sesuatu, seperti menerobos penghalang.
"Emmmmhhhh....." matanya terpejam, air matanya mengalir dari sisi matanya, tubuhnya sedikit melengking, aku berhenti
"Bu... bu ainun..." aku gugup benar-benar gugup. Kenapa? Kenapa bu ainun merasakan sakit, seakan dia masih perawan. Apakah benar bu ainun masih perawan? Bukankah dia sudah menikah? Tak mungkin seorang yang sudah menikah merasakan sakit yang berlebihan. Samo dan Justi, mereka pernah bercerita tentang semua ini. Tapi apakah benar? Tapi.. aku...
"Aaarghh... pelan, jangan pedulikan aku" ucapnya mencoba meyakinkan aku
"Ta... tapi" aku masih gugup, wajahnya memohon agar aku melanjutkan
Aku sedikit menggoyang, berlaku selembut mungkin kepada wanita ayu ini. Sekedar untuk berjaga-jaga seandainya saja perlakuanku terlalu kasar. Aku tak ingin menyakitinya, tak ingin, benar-benar tak ingin. Terasa gesekan antara kulit dede Arta dengan daging kenyal didalamnya, hangat. Hangat, nikmat. Dengan sangat perlahan, aku menarik, menekan, merasakan sesuatu yang berbeda, yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sangat nikmat, bahkan mungkin, terlalu nikmat kurasakan. Namun ekspresi yang ditampakkan Bu Ainun membuatku berhati-hati. Sedikit saja kugoyangkan pinggulku, dia masih merasa kesakitan..
"Egh, mmmmhhh... " kedua tangannya merengkuh kepalaku dan kami saling berciuman
Kini aku semakin berani, kedua tanganku kini berad didalam balik kaosnya. Meremas lembut payudaranya, hangat, lembut dan kenyal. Aku keluarkan tanganku dari balik baunya dan menumpu tubuhku. Namun tanganku tak lepas dari payudaranya, walau terbungkus aku tetap meremas lembut bukit kenyal itu. Bibirku mencumbu setiap mili wajahnya, memberikan kenyamanan bagi Bu Ainun.
Perasaaanku semakin tak terkendali, aku semakin menggoyang pinggulku dengan ritme lebih cepat. Kutemukan titik kenikmatan itu kembali muncul dari dalam dede arta. Dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh, membuatku gagal menguasai pikiran. Semakin mempercepat gerakanku. Membuat gerakan Bu Ainun semakin liar, tak terkendali.
"Erghh... mmmhh... mmmmh... Artaaaaaah.... mmmm sayaaaangghhh" rintihnya
"Bu erghhh erghhh... mmmhhh" racauku
Kini aku memeluk tubuhnya, pinggulku terus bergoyang. Kepalaku berada disamping kepalanya, tangannya memeluk tubuhku.
"Bu ainun... aku mauhhh..." ucapku
"Samaaah... jangan berhenti sayanghhhh..." balasnya
"Arta sayang bu ainun erghhh..." bisikku
"Mmmh... akhirnya kau katakan juga sayanghhh, aku juga sayang Artaahhh..." lembut dari bibirnya. Aku semakin cepat menggoyang pinggulku
"Mmmmhhh erghhhh... mmmhhh" desahnya
Semakin cepat dan aku hentakan hingga kedalama. Remasan kuat dari dinding itu mencengkram erat batangku, mengakibatkan sperma yang tersisa menyembur begitu saja ke dalam vaginanya. Menambahkan cairan pada lubang yang sudah sangat basah itu.
Begitu pula Bu Ainun. Tubuhnya sekali lagi mengejang. Punggungnya melengkung kaku. Tangannya mencengkeram erat tubuhku. Terasa dinding vaginanya berdenyut sangat kuat, seolah ingin menyedot seluruh sperma yang tersisa
Aku memeluknya erat, tubuhnya melengking. Aku mengejang bersama dia yang mengejang beberapa kali. Nafas kami tidak teratur, aku merasakan sesuatu mengalir dan membasahi batang dede Arta. Lama aku memeluknya, hingga nafas kami pulih kembali.
Aku masih memeluknya, aku angkat kepalaku. Keningku bertemu dengan keningnya.
"Aku sayang kamu, bu" lirih terucap dari bibirku dengan mataku menyapa mata yang tertutup itu
"Terima kasih sayang, terima kasih. Akhirnya kau katakan kembali, tetaplah bersamaku" ucapnya bersamaan dengan kelopak matanya yang terbuka. Pelukannya terasa lebih erat dari sebelumnya.
Kami saling berpelukan, mencoba meresapi apa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Aku, logikaku menjadi kaku bagai es, namun perasaanku mencair karena kehangatannya darinya. Aku terus memeluknya, matanya terpejam mencoba melepas lelah. Hembusan nafasku terus mengaliri sebagian wajahnya. Ku pejamkan mataku, mencari waktu yang tepat, untuk menyapanya kembali.
"Hmmm... hash.. tegang terus, kok gak tidur-tidur sayang itu adiknya? Mmm erghh..." ucapnya lembut, membuyarkan lamunanku. Aku membuka mataku, kembali bibirku mengecup bibirnya.
"Sudah mulaihh beranihh ya sekaranghhh... " nafasnya masih sedikit tersengal, aku ambruk lagi dan memeluknya
"Kenapa?" tanyanya
"Hangat" balasku
"Berat yang..." ucapnya
"Eh.." aku menggeser tubuhku dan terlepas dede Arta dari kehangatan
"Argh... pelan sayangghhh... sakit, mmmh..." bibir bawahnya digigit
"Eh, maaf..." ucapku
"Sudah, gak papa kok" balasnya, dia memejamkan matanya, menutup pahanya dan memiringkan tubuhnya kearahku
"Maaf..." ucapku, dengan tubuh miring ke arahnya
"Gak papa, sakit dikit, adiknya besar" ucapnya
Ketika aku ingin berucap, tubuhnya maju dan bibir kami berciuman. Tangannya menuntun tanganku, meremas payudaranya. Tubuhnya naik, dadanya kini tepat berada di depan wajahku, perlahan dia membuka kaosnya. Sepasang payudara kini didepanku, dedek arta kini menempel pada pahanya.
"Kamu pasti lelah kan sayang, tidurlah..." ucapnya,
"Eh, bu..." jawabku
"Jagan jempol kamu lagi, ini..." dia mendekatkan payudaranya ke wajahku
Tanpa pikir panjang aku mengulumnya, dipeluknya kepalaku dan di usap denganlembut. Dede Arta, masih tetap berdiri, entah kenapa. namun suasana ini, membuatku merasakan kantuk. Mataku terpejam hingga akhirnya aku terlelap.
---------------------
"Ah, cepat sekali dia terlelap sama seperti adiknya juga sudah tidur" bathinku, merasakan batang kemaluannya yang ikut melemas di pahaku.
Pelan, agar dia tidak bangun, aku melepas kerudungku dan kaos yang aku kenakan. Rok berendaku pun aku lepaskan, tanpa harus melepaskan kulumannya di puting susuku. Dengan posisi miring ke arah Arta, dapat kulihat bagian belakang pantatku, terlihat bercak merah di sprei putih. Ugh, masih terasa sakit sekali, begini rasanya jika batang kemaluan laki-laki masuk. Besar lagi jika dibandingkan dengan suamiku. Aduh, bagaiman kalau dia bangun dan meminta lagi? Apa aku masih bisa? Ah, masa bodoh, mau sakit atau tidak asalkan dia...
Aku mengelus kepalanya, kini aku telanjang untuk kedua kalinya dihadapan seorang lelaki. Kuelus pipinya dengan punggung tanganku. Pelan aku tarik kaosnya, ke atas, tangan kanannya bisa keluar. Tiba-tiba dia terbangun...
"Dilepas dulu kaosnya..." ucapku, setengah sadar dia mempermudahku melepas kaosnya
Langsung aku tarik lagi kepalanya untuk menyusu ke payudaraku. kuelus lembut, tubuhnya begitu hangat, aku memeluk kepalanya. Ah, benar-benar lembut dan hangat tubuhnya. Kini, aku benar-benar merasakan diriku sebagai seorang wanita yang mencintai seorang pria. Mungkin, lebih tepatnya menjadi seorang wanita yang bisa menyerahkan semua yang dia punya untuk yang dicintainya. Aku mencintainya, aku tidak peduli jika suatu saat nanti harus berpisah dengannya, aku tidak peduli. Sekarang, aku bisa bersamanya.
"Eerghh.. mmmnyamm..."
Hi... hi... lucu banget ini anak, eh laki-laki ini. Aku peluk lembut kepalanya, berkali-kali aku mengecup ubun-ubun kepalanya. Wangi aroma rambutnya, membuatku merasa nyaman. Ketelanjangan kami, untuk saling mengahangatkan dan untuk saling menyayangi. Dan aku juga berharap, semoga, juga untuk saling...
"Errrgh... masih sakit, semoga besok pagi tak terasa lagi" bathinku, ikut terlelap dalam tidurnya