Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

=)) =)) =))
set dah kang nos bikin provokasi aje..
ga nanggung" 12 scene,yg ada Suhu DH otaknye bisa semrawut kaya tol cikampek
=))=))
 
ikutan antri apdetan,kangen ama Dina,Dini,Winda,Desy,terutama ama Arlena yg baru putus ama pacarnya.sorry bwat yg cowo2 nggak gue kangenin,emang gue cowo apapun!
 
suhu DH apdet donk!dah banyak yg nungguin nih apdet dari suhu,itupun kalo suhu ada waktu.
 
Masih setia menunggu update'n suhu DH nih..

Hmm..apa bkalan ada incest lagi ya..:pandajahat:
 
Scene 26
Kenangan



Arlena Kayaningtyas

“Sss...sss...sss sam...”

“Han...”

“Han...”

“Han....” ucapnya terbata-bata, dengan wajah ketakutannya. Aku malah bingung sendiri, dengan tingkah lelaki dengan tinggi tubuh yang hampir sama denganku ini.

“Hantu! Sam hantu, hantu” ucap lelaki kecil ini, dia melangkah mundur dan terjatuh disamping temannya yang gendut. Aku berdiri dengan kedua tanganku bersedekap. Merasa heran, akan tingkah mereka

“Jus, lho jus, lho jus, jus lho, lho jus, jus lho.... iku, kui, itu, ssss... sss... setan just, aku rung kawin, rung duwe anak, ojo dipateni (aku belum nikah, belum punya anak, jangan dibunuh)” ucap lelaki bertubuh gendut itu, mereka sangat ketakutan melihatku. Tingkah mereka sangat lucu, apalagi si gendut malah membekap si kecil. Sebenarnya aku merasa sedikit takut, aku menoleh ke belakang, dan ternyata hanya ada aku saja. Ya, barang kali mereka memang benar-benar melihat setan.

“Aku yo durung kawiiiiin saaaam, tuluuuuuuung... (aku juga belum nikah sam, tolong)” teriak lelaki kecil yang hampir menangis. Aku melangkah pelan, mendekati mereka lalu berjongkok tepat dihadapan mereka.

“Yo kawin to, ngopo semang nangis? (ya kawin, kenapa harus menangis?)” kepalaku sedikit miring ketika melihat ketakutan mereka, lucu tapi aneh.

“Artaaa... ibumu ar... ibumu ar.... saaaaam aku wedi tenan saaaaam, setane iso ngomong saaaaaaam, tulung saaaaam (aku takut beneran, hantunya bisa ngomong, tolong sam)” rengek lelaki kecil, memeluk teman gendutnya, tangannya meraih tangan teman gendutnya untuk menutupi wajahnya. Ibu, mereka menyebut “Ibu Arta”, yang berarti adalah Ibuku juga.

“Aku iyo jus, wediiiiiii... (takuuuuuut)” rengek si gendut

“Mbok pikir aku ki setan? Aku dudu setan, aku nepak lemah iki lho, delok’i sek! (kamu pikir aku itu hantu? Aku bukan hantu, aku menginjak tanah ini lho, lihat dulu!)” bentakku

Mereka berdua berhenti merengek, pandangannya turun dari wajahku ke kakiku. Aku ikut mengikuti arah mata mereka ketika memandang.

“Hehhh? Beneran kok jus bukan setan, nginjak tanah” kata si gendut, mencoba menenangkan temannya.

“Aku wediiii wediiii saaaaaamm tuluuuuuuung” rengek si kecil, yang masih saja takut kepadaku.

Plak, sebuah tamparan ringan dari si gendut kekepala si kecil

“Bukan hantu, sudah...” ucap si gendut, si kecil melihatku

“Fyuuuuuuh...” mereka menghela nafas panjang

“Aku mbaknya Arta” sedikit penjelasanku. Pandangan takut mereka masih ada, tapi mereka memberanikan diri untuk melihatku.

“Mirip banget sama bu arlina ya jus? Ibunya Arta” ucap si gendut, kembali aku terkejut ketika si gendut mengatakan nama ibuku

“Eh, kamu tahu ibuku?” ucapku, dengan tubuhku semakin mendekati mereka

“Haaaa!”Teriak mereka bersamaan

“Huh! Aku bukan hantu!” bentakku, dengan berlutut dan kedua tanganku berpinggang

“I-iya, mirip, mirip ibunya Arta” ucap si gendut, si kecil hanya bersembunyi terus di balik si gendut

“Dimana dia?” tanyaku,

“Su... sudah meninggal dunia” ucap si gendut, ternyata benar apa kata adik laki-lakiku

“Baiklah, kalau begitu... dimana kamar adikku? aku mau menginap disini” ucapku berdiri, si gendut menunjukan pintu kamar yang berada dekat dengannya, tangannya terlihat sangat gemetaran.

“Oke, terima kasih” ucapku, aku berdiri dan mendekati pintu kamar adikku. Aku balikan tubuhku dan memandang mereka.

“Kalian kalau tidak bobo cepat, aku makan kalian” ucapku menakuti mereka

“Haaa!” teriak mereka bersama

“Ayo sam, kita berangkat sekarang saja” teriak si kecil

Aku memperhatikan tingkah ketakutan mereka dengan senyum nakalku dan mereka keluar tunggang langgang. Dua mobil yang berada di depan kontrakan ternyata punya mereka. Setelah yakin mereka pergi dengan dua mobil didepan kontrakan adikku, aku tutup pintu kontrakan. Aku masu ke dalam kamar adikku, kulihat dia tertidur dengan bantal menutupi kepalanya. Lampunya terlalu terang, dulu Ibu selalu mengganti lampu terang dengan lampu redup. Hm, mungkin adikku lupa atau memang Ibu tidak pernah membiasakannya tidur dengan lampu redup.

Sreeek...

Kurasakan kaki menendang pelan sesuatu. Ketika aku melihat benda yang aku tendang, mataku kembali berair. Aku berlutut, mengambil kotak kaleng. Kotak kaleng bekas kue, ya, aku masih ingat...

oOo

“Ibuuuuu....” teriakku ketika aku masih berumur 6 tahun

“Iya sayang, ada apa?” ucap ibuku lembut

“Ini kotak buat ibu, bisa dijadikan wadah” ucapku sembari menyerahkan kotak kaleng, bekas kue yang sudah aku bersihkan

“Wadah apa yaaa?” ucap ibuku

“Wadah apa saja bu, bisa lipstik ibu, bedak, apa saja Ibuku sayaaang, dipakai ya bu, ya ya...” mohonku kepada ibu

“Iiiih, anak Ibu gemesin sekali. Pasti sayang... ibu pasti memakainya” ucapnya lembut, mengucek-ucek rambutku dan mencium keningku


oOo

Ibu...

Air mataku mengalir, kupandangi adik kecilku, suara dengkurnya halus. Aku duduk dipinggir kasur kapuknya, ku buka kotak kaleng. Kosong, hanya sebuah anyaman bambu sebagai alas didasar kotak. Bentuknya masih sama, dan masih bagus. Aku tutup dan aku letakan kembali, kuusap air mataku.

“Eh, foto itu” bathinku,

Aku menggeser dudukku, sebuah foto dibawah tangan kiri adikku. Pelan, aku mengambilnya. Tak bisa lagi aku menahan tangis, tak bisa lagi aku menahan air mataku. Mengalir dengan deras air dari mataku dipipiku. Wajah di foto ini, foto hitam putih yang aku pegang, wajahnya sangat cantik, dengan kebaya dan tas kecil di dalam genggamannya. Ku usap foto itu dengan jari-jariku, benar-benar cantik, aku kangen dengan ibu. Kuletakan foto itu diatas kotak kaleng. Ku angkat bantal yang menutupi kepala adikku.

“Dasar, sudah besar masih saja mengulum ibu jari” bathinku, aku tersenyum, jempol kanannya masuk ke mulutnya. Aku memandanginya sekejap, wajahnya polos, tapi entah benar polos atau tidak. Tapi, adikku ini, ah, dia sangat rapuh. Aku bisa merasakannya, mungkin karena, dia menyaksikan kepergiaan Ibu.

Kuletakan bantal itu dengan posisi lebih ke atas lagi, aku rebahkan tubuhku dan kupeluk kepala adikku. ku belai lembut rambutnya, kuelus kepalanya. Pelan, aku tarik tangan kanannya agar tidak mengulum jempolnya.

“Eh, lho adik jang...” ucapku, sedikit marah, tapi melihatnya masih terlelap, emosiku reda.

“Ah, masa bodoh. Mungkin ini kebiasaannya” bathinku

Aku membelai lembut kembali kepalanya, hm, baru kali ini ada cowok berani melakukan ini padaku. Aku tersenyum, biarlah, mungkin dia kangen dengan ibu, sepertiku. Semakin lama elusanku dikepalanya semakin lelah, dan aku iku tertidur.

.

.

.

Egh, Aku merasakan ada yang bergerak, tapi aku tak kuat untuk membuka mata. Sedikit aku membuka mataku yang masih enggan untuk terbuka.

“Aaaaa....” teriak terkejut adikku

“Mb-mbak...” suara adikku, dengan sangat berat aku membuka mataku kemudian aku duduk

“Eggh... hoaaam, adik, uuugh... kenapa teriak sih?” ucapku, sambil merenggangkan kedua tanganku. Sembari mengucek-ucek mataku, kulihat adikku sangat terkejut dengan kehadiranku.

“Ke-kenapa mbak ada disini?” nafasnya seperti cepat, seperti habis mimpi buruk. Aku hanya memandangnya dengan mataku yang masih berat untuk terbuka.

“Mb-mbak, itu, anu, maaf, adik tidak sengaja, anu mbak, mmm...” ucapnya gugup, menunduk tak berani memandangku

“Sudah, ndak papa, semalam mbak itu yang narik tangan kamu” ucapku,

“Itu, itunya di tutup dulu mbak” ucapnya, ups, aku langsung menarik kembenku dan menutupi payudaraku kembali

“Hi hi hi...” tawaku

“Maaf mbak, adik tidak sengaja” ucapnya

“Sudah, jangan merasa bersalah hoaam begitu dong. Lagipula mbak kok yang semalam narik tangan adik, lha adik bobo kok kayak anak kecil, ngulum ibu jari” ucapku menarik tubuhnya rebah kembali ke tempat tidur

“Dah bobo lagi yuk, mau lagi?” ucapku, dia menggeleng

“Semalam, pas jempol adik uuughh.. hoaam, mbak tarik tiba-tiba, tangan adik nakal, meraba-raba dada mbak, buka kemben mbak. Eh, malah nyusu” ucapku santai

“Eh, maaf mbak, dulu sebelum ibu sakit. Kadang adik masih nyusu sama ibu, itupun kalau Ibu memperbolehkan” ucapnya, wajahnya tampak merah

“Iya, gak papa kok. Makanya mbak biarkan saja, mau lagi?” tawarku, entah, biasanya ketika dadaku disentuh oleh pacar-pacarku sebelumnya, aku merasakan gairah. Tapi dengan adikku, tak ada gairah sama sekali, makanya aku berani menawarinya lagi.

“Enggak mbak...” ucapnya bangkit, dan duduk. Aku bangun dan kupeluk dari belakang

“Itu foto ibu ya?” tanyaku satu tanganku menunjuk ke arah foto yang aku letakan di atas kotak kaleng,

“Iya mbak” jawabnya pelan, suaranya tampak berat

“Boleh mbak minta?” tanyaku, kembali kedua tanganku memeluknya

“Jangan mbak, tinggal satu itu” ucapnya

“Nanti mbak gandakan, boleh ya?” paksaku

“Iya mbak, asal jangan sampai hilang” ucapnya

“Iya sayang, iya...” jawabku, aku mencoba menarik tubuhnya untuk tidur lagi

“Jam 3 mbak” ucapnya, tubuhnya menahan tarikanku

“Ya, bobo lagi kan?” tanyaku

Sebuah jawaban yang tidak biasa, katanya dia tidak ingin melewatkan subuh. Adikku kecilku berbalilk kebelakang dan memelukku dengan erat, menggoyangkan tubuhku ke kanan dan kekiri. Ketika dia bangkit dan berjalan keluar kamar, aku pun berdiri dan mengikutinya. Disampingnya, aku melihat dia membuat dua gelas teh.

“Buat mbak?” tanyaku, dia mengangguk, selama adikku membuat teh, aku sandarkan kepalaku di lengannya

“Mbak, kalau mbak mau bobo gak papa, nanti kalau tehnya dingin aku buatkan lagi” katanya dengan senyumannya, walau dia lelaki senyumnya mirip dengan Ibu

“Mbak pengen nemenin adiknya mbak” aku tersenyum, menggandeng lengannya, sedang dia membawa dua buah gelas berisi teh hangat

Kami duduk di teras kontrakan rumahnya, beralaskan tikar. Suasana malam, sekitar jam 3 pagi, suasana yang sudah lama sekali aku tinggalkan. Terlalu sering aku bersenang-senang, bersama teman-temanku. Aku lebih sering menghabiskan malamku hingga larut. Paginya selalu bangun kesiangan, berbeda dengan lelaki yang disampingku ini. Mungkin, selarut-latunya adikku tidur, dia pasti akan bangun malam harinya.

“Berarti umur kamu sekarang sudah 19 tahu ya dik?” tanyaku, sembari menyeruput teh hangat buatannya

“Iya mbak, mbak 27 kan?” dia berbalik bertanya kepadaku, aku mengangguk. Benar, aku meninggalkannya ketika aku berumur 8 tahun.

“Dari mana belajar merokok?” tanyaku, ketika tangannya mengambil sebatang rokok putih dan korek api

“Kakek mbak, dulu aku dilarang sama kakek, awalnya saja, tapi ya gitu” ucapnya dengan mimik wajah jengkelnya

“Eh, kakek, bagaimana kabar kakek?” aku sedikit kaget ketika dia bilang kakek, sudah lama aku tidak mendengar kabar kakek

“Bareng sama ibu, juga nenek. Aku, di asuh oleh kakek setelah Ibu... hufth...” ucapnya menghela nafas panjang. Aku mengelus pipinya sejenak, dia memandangku dan tersenyum. Ku balas senyumannya.

Aku memeluk kedua kakiku yang tertekuk, kupandangi langit malam. Ah, aku telah kehilangan semuanya, tinggal adikku yang berada disampingku dan, ah. Kupandangi kembali wajah adikku yang menyeruput teh hangatnya, tenang dan damai. Ya, dia mirip dengan kakek, seseorang aku lihat dalam dirinya. Kakek, bukan Ayah, mungkin karena dia lebih sering bersama kakek.

“Hm... kakek baik kan?” tanyaku, sedikit aku menoleh ke arahnya, dia memandangku, mencoba mengingat betapa baiknya kakek kepadaku

“Galak, dia sering memarahiku kalau pekerjaanku salah, sering”

“Mungkin kalau sama mbak, kakek baik ya? nenek pernah cerita, kalau sama mbak, mbak pasti disayang-sayang terus” ucapnya

“Hi hi hi cemburu niiih” godaku, sembari menyenggolkan bahuku ke bahunya.

“Enggak mbak, karena nenek pernah bilang. Kalau mbak sangat rajin, setiap kali pulang dari SD, mbak mampir kerumah kakek. Membuatkan kakek teh hangat, walau kakek belum pulang dari sawahnya. Dan juga, yang memebuat kakek sayang mbak, kata nenek, mbak penurut sama kakek” ucapku.

“Karena mbak takut dik, kakek itu galak, sama seperti yang kamu bilang. Tapi saat itu, memang kakek yang menyuruh mbak, katanya sih teh hangat mbak enak. Itu saja” ucapku.

“Galak untuk menempaku, kata kakek, laki-laki tidak boleh lemah. Harus kuat, karena yang dilindungi laki-laki bukan hanya keluarganya saja, tapi juga sahabat-sahabatnya. Kakek walau hanya petani, tapi sangat disegani seluruh desa, setiap orang yang bertemu dengannya pasti akan menundukan badan, bahkan seorang kepala desa juga melakukannya” jelasnya, setelah sesaat dia mendengarkan kata-kataku.

“Kakek itu katanya, dulu adalah orang paling jago sedesa” kataku, kembali aku mengambil gelas dan menyeruput teh hangatnya, enak.

“Ugh, dik, asepnya jangan sampai ke mbak. Mbak gak suka tahu asep rokok” protesku, tanganku menyibak-nyibakkan asap yang terbang ke arahku.

“Yeee... salah mbak sendiri dikananku, anginya kan ke arah kanan” belanya

“Gitu ya, dikasih tahu mbaknya bantah!” hardikku,

“Eh, iya... iya, adik yang pindah kanan mbak” dia berdiri dan berpindah ke kananku

“Bukan hanya jago, dia kayak preman desa mbak” ucapnya sembari duduk

“Dulu waktu aku ketahuan ngrokok sama kakek, aku diikat di tiang bendera dari pagi sampai sore, dilepas hanya untuk mandi dan makan, setelahnya aku diikat lagi sampai tengah malam. Guru dan orang sedesa tidak ada yang berani melarang, bahkan nenek, hanya bisa melihat. Karena emosi, aku tantang kakek berkelahi, tapi walau sudah tua, ternyata anak muda seperit kalah he he he...”

“Itulah kakek mbak, banyak mengajariku. Hingga aku, ah, lupakan...” ucapnya, seakan ada sesuatu yang tersembunyi

“Hingga apa? Ceritakan sama mbak” paksaku, dia menggeleng

Tampaknya, tidak bisa dipaksa, matanya sudah memperlihatkan kesedihan. Aku tidak ingin dia sedih lagi karena mengingat masa lalunya, masa dimana seharusnya aku menjaganya dan menyayanginya.

“Ibu pasti bangunkan adik malam-malam seperti ini ya? pasti ibu tidak ingin adik bangun kesiangan” ucapku

“Eh..” dia memandangku

“Ibu dulu sering bangunkan mbak jam 3 an seperti ini, waktu mbak sudah masuk SD. Ibu lembut sekali kalau membangunkan mbak, tapi sekarang mbak sudah tidak pernah lagi, mungkin karena jauh dari Ibu. Sering bangun kesiangan, kalau sekarang” ucapku, kupandangi wajahnya tampak sesuatu ketidak setujuan terhadap pernyataanku

“Mbak beruntung, mbak anak yang paling disayang ibu, cucu paling disayang kakek” ucapnya

“Eh,...” sebuah jawaban yang tidak aku inginkan, adikku kembali menyulut rokok putihnya, tulisan Dunhill tertera pada bungkus rokoknya

“Ibu sering marah-marah...” ucapnya berhenti, asap putih keluar dari bibirnya. Berterbangan seakan membawa rasa pedih dihatinya.

“Kenangan mbak dengan kenanganku ketika bersama ibu, mungkin mbak akan menceritakan betapa lembutnya ibu. kalau kenangan adik, ya, gitu lebih sering marahnya” ucapnya santai, tapi dia tetap tersenyum ketika menyebut kata Ibu. Bahkan, senyumannya sangat bahagia ketika menceritakan Ibu, tapi matanya tidak bisa memendam rasa rindu terhadap Ibu.

“Adik marah sama ibu?” tanyaku, aku benar-benar tak tahu masa lalu adikku. dia menggeleng

“Tidak pernah, sama sekali tidak pernah. Adik sayang sama ibu, tapi Adik tidak tahu kenapa ibu sering marah-marah sama adik.” Kedua kakinya ditekuk, dagunya berada diatas lututnya. Matanya terpejam.

“Laki-laki harus kuat, tidak boleh cengeng. Harus pintar dan sayang kepada semua orang, jangan egois. Harus berani, tidak boleh menjadi penakut. Tidak main hakim sendiri, aaahhh... banyak mbak” ucapnya, menegakkan tubuhnya, dan kedua tangannya menahan tubuhnya dari belakang

“Dulu rasanya tidak adil ketika selalu mendengar cerita dari nenek tentang mbak yang sangat disayang ibu dan kakek. Tapi nenek pernah bilang, mung kowe le sing ono ning kene, sing diarepke ibumu, mbah kakung lan mbah putri iku mung kowe. ben kowe ki dadi wong sing bener-bener diajeni, dadi wong sing iso nglindungi keluargamu iki. Sing sareh ojo nesunan, akeh sing bakal mbok lakoni. Yen kowe krasa seneng saiki bakalan ana sing luih nyenengke suk mben, yen kowe krasa lara saiki bakal ana sing luih lara suk mben. Siapno ati lan awakmu, urip ora mung Dina iki ( Cuma kamu nak yang ada disini, yang diharapkan ibumu, kakekmu, dan nenek itu cuma kamu. agar kamujadi orang yang benar-benar di segani, jadi orang yang bisa melindungi keluargamu. Yang sabar jangan gampang marah, banyak yang akan kamu jalani. Kalaukamu merasa senang sekarang akan ada yang lebih senang suatu saat nanti, kalau kamu merasa sakit akan ada yang lebih sakit suatu saat nani. Siapkan hati dan pikiranmu, hidup tidak hanya hari ini)” ucapnya menirukan ucapan nenek

“Eh...” aku benar-benar terkejut, sebuah kata-kata yang panjang dan mungkin benar, adikku dipersiapkan untuk kehidupan yang berat

“Dan hal yang menyakitkan dari rasa sedihku dulu, adalah kesenderianku ketika kehilangan mereka semua, tapi kini aku menemukan hal yang paling menyenangkan dari rasa senangku dulu, dan itu adalah bertemu dengan mbak” ucapnya, memandangku dengan senyuman, air mataku mengalir. Aku langsung peluk adik laki-laki yang menjengkelkan ini

“Mbak juga...” ucapku, sedikit terisak

“Mbaaak, udah dong, Arta lagi ngrokok” ucapnya, aku lepaskan

“Huh! Dasar mbaknya kalah sama rokok” ucapku, memalingkan wajahku, sambil bersedekap

“Ha ha... Ibu banget” ucapnya

“Eh,...” aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum tapi aku bisa lihat matanya sedikit berair

Kupandangi tawanya, tawa adik lelakiku. Hm, mungkin memang benar, ada banyak hal dariku yang mirip dengan Ibu, terutama wajahku. Dia tertawa sangat lepas, seakan dia berada kembali di desa. Tawanya, senyumnya, yang sebemunya seakan terhalang oleh sesuatu yang berat dalam hidupnya, kini bisa lepas. Mungkin, tawa itu adalah tawa akan rindu kepada Ibu. Aku sedikit mendekatinya.

“Arta? Cuma Arta saja nama adik?” tanyaku, membuatnya terhenti tertawa, karena memang aku belum tahu nama lengkap adikku, dia menggeleng

“Terus?” lanjutku, memiringkan sedikit

“Arta Arlina Ayuningtyas” sambil cenyum cengengesan

“Itu kan nama ibu?” tanyaku heran

“Ha ha ha...” dia malah ketawa sedikit keras

“Mbak? Mbak penasaran sama namaku ya? sama adiknya kok penasaran siiih” candanya

“Mbak kan belum tahu nama kamu” ucapku mencubit kedua pipinya kekanan dan kekiri

“Ough... sakit mbak” ucapnya

“Huh!” aku bersedekap dan memandangnya tajam

“Jangan marah mbak, jelek tahu he he he..” ucapnya, aku terus memandangnya tajam

“Iya, iya... Arta, Arta Byantara Agasthya, itu nama lengkap adikmu mbak he he he” ucapnya, dan aku terkejut dengan nama itu. Setelahnya aku tersenyum, aku duduk menghadap kedepan lagi, memandang depan kontrakan adikku.

“Mbak aneh, sudah dijawab malah ndak nanggepin” protesnya

“Arta, Arlina yang penuh cinta, Byantara adalah seorang prajurit, Agasthya adalah pelindung. Bukan Arta seorang prajurit pelindung, sebagian besar akan mengartikan itu tapi arti yang sebenarnya adalah, Arlina yang penuh cinta melahirkan seorang prajurit dan sang pelindung bagi keluarganya” ucapku lirih, sedikit haru ketika aku mengatakan hal itu

“Eh, mbak...” dia membuang rokoknya dan langsung berlutut dihadapanku, memegang kedua bahuku,

“Itu arti sebenarnya?” tanyanya, pandangannya tajam ke arahku. Aku tersenyum dan mengangguk

“Da-darimana mbak tahu itu?” ucapnya

“Darimana ya? kasih tahu gak ya? ah, kan mbaknya sudah gak penasaran lagi” ucapku membuang mukaku dengan wajah yang sok tidak peduli, sambil senyum pastinya

“Mbaaaaaaaaaaak....” manjanya, aku kembali memandanginya

“Karena mbak yang meminta ibu memberikan nama itu sebelum mbak pergi” ucapku, memandangnya lembut. Dia tersenyum kepadaku, aku tahu dia hendak memelukku.

“Eits, peluk mbaknya sekarang bayar” ucapku

“Huuu...” protesnya

“Tadi aja mbaknya kalah sama rokok” godaku, dia menggelembungkan pipinya

Tak perlu waktu lama, aku langsung memeluknya, kami kemudian bercanda hingga subuh datang. Setelah subuh, aku dibuatkannya mi instant. Benar-benar beruntung aku memiliki adik yang pengertian sama mbaknya. Kami kemudian bercerita tentang tempat-tempat indah di desa, sedikitnya membuatku teringat masa kecilku. Hingga mentari menyapa, kami kembali ke dalam kontrakan. Tepat jam 8 pagi, aku mengajaknya kerumahku. Rumah dimana aku tinggal. Awalnya ketika hendak keluar rumah dia memakai dandanan culun tapi aku melarangnya, sebuah pertanyaan kembali muncul di otakku. Kenapa dia culun? Padahal sebenarnya tidak.

Aku mengira, dia akan berdandan layaknya pemuda jaman sekarang. Hm, tapi tetap saja kelihatan culun, pakaiannya klasik banget. Dengan membawa tas hitamnya dia bersamaku. Tak apalah, segera aku berangkat menuju ke rumahku. Rumahku di kompleks perumahan indah sehat dan sejuk (PISS). Rumahku memeliki dua gerbang, satu gerbang untuk mobil dan satu lagi untuk orang keluar masuk tapi tidak pernah aku gunakan. Ketika masuk kedalam rumah, kelihatan sekali “ndeso”-nya adikku. Ruang tamu, dibatasi dengan bifet besar, setelahnya ruangan luas. Seluas lapangan badminton mungkin, sisi kiri dapur, dibatasi oleh meja saji, kanannya dapur meja makan, kanannya lagi tempat santai tanpa sekat diantaranya. Belakang rumah adalah taman dan juga kolam renang yang hanya dibatasi oleh pintu kaca saja. Kamarku sejajar dengan ruang tamu, sedangkan ada satu lagi kamar santaiku di lantai dua.

“Ini rumah mbak?” tanyanya sembari heran dengan isi rumahku. Matanya tak henti-hentinya menelusuri detail rumahku.

“Iya, kenapa?” tanyaku, meletakkan tas di sofa santai, dan merebahkan tubuhku diatasnya.

“Kaya bukan rumah, kalau didesa ndak ada rumah kaya gini” jelasnya,

“Sini duduk sebelah mbak, mbak pengen peluk adiknya” ucapku membuka kedua tanganku. Adikku malah melet dan mengejekku.

“Huh! Dasar!” aku bersedekap dan membuang muka. Dia duduk di karpet bulu depan sofa, memandangku dengan senyumannya.

“Mbak..” ucapnya lirih, aku menoleh ke arahnya

“Boleh adik kasih saran?” izinnya kepadaku

“Apa?!” ucapku keras, pura-pura ngambek

“Mbak cantik, lebih cantik lagi kalau mmm....” dia berhenti seakan takut melanjutkan

“Apa?” aku memandangnya, kedua tanganku disamping kedua pahaku

“Jangan marah ya?” ucapnya, aku mengangguk dan tersenyum

“Lebih cantik lagi kalau pakai pakaian yan ketutup, jangan kebuka seperti sekarang...” sedikit aku tersinggung tapi wajah polosnya membuatku tersenyum

“Ee... jangan marah mbak, karena gini... itu, anu... mmm...”

“Dulu ibu sering memakai kemben sama jarik, tapi kalau pas ada tamu mau itu pria atau perempuan, pasti masuk kamar dulu ganti pakaian, ya walau cuma memakai kaos. Kalau keluar juga sama, pakaiannya rapi, dan tertutup. Berbeda dengan tetangga yang lainnya.” Jelasnya, wajahnya memandangku dengan rasa sedikit takut

“Jadi mbak jelek kalau pakai pakaian seperti ini?” tanyaku, dia menggeleng

“Suka-suka mbak dong, kan yang punya tubuh mbak, bukan adik” ucapku datar, membat dia semakin tertunduk dan tak berani melihatku

“Gak usah ngatur-ngatur gitu, ibu ya ibu, mbak ya mbak” ucapku, dia semakin diam, canda tawanya hilang, wajahnya menunduk.

Hening, adikku sama sekali tidak berani berkata-kata lagi...

“Hi hi hi... iya adikku sayang iya, besok mbak pakenya gak kaya gini lagi deh” ucapku langsung melompat dan memeluknya

“Eh, mbak ndak marah?” tanyanya, aku menggeleng

“Oia, adik buatin mbak minuman lagi ya, enak buatan adik. Mbak ganti baju dulu” ucapku, dia mengangguk dan tersenyum kembali

Ketika aku hendak ke kamar,

“Mbak ini...” aku menoleh ke arahnya, dia sibuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kemudian menyerahkan kepadaku bungkusan koran yang besar sekali, mungkin tasnya tadi isinya hanya bungkusan ini

“Apa ini?” aku menerimanya

“Buka aja mbak, adik mau buat minuman dulu. Ada kopi ndak mbak?” ucapnya

“Gak ada dik, adanya teh tarik, sama susu instan. Oia ada juga coklat instant. Cari-cari sendiri saja dik, ini kan juga rumah adik” ucapku, membawa bungkusan koran ke kamarku. Dia mengangguk dan dia menuju dapur

Sampai didalam kamar, aku melepas semua pakaianku, mandi. Setelahnya, kupakai pakaian dalamku, sejenak aku penasaran dengan isi bungkusan itu. Aku duduk di pinggir kasur, ku buka bungkusan itu.

“Eh, ini kan...” bathinku,

Aku mengangkat pakian dari bungkusan koran itu. Air mataku mengalir, aku peluk kebaya dari dalam bungkusan itu. semua lengkap, lengkap dan ini adalah milik ibuku. sungguh cantik, dulu sekali aku menginginkan kebaya ini, kebaya hitam dengan jarik coklat, lengkap dengan pernik-perniknya dan pakaian dalam kebayanya. Kebaya ini pernah aku lihat dulu, hanya sekali ibu memakainya, dan itu ibu memakainya ketika aku melihat kebaya ini tergantung didalam almari ibu.

“Aku ingin mencobanya” bathinku, kupakai kebaya ini

Pas, benar-benar pas, walau sedikit longgar. Langsung Aku keluar kamar, memperlihatkan kepada adikku.

“Adikku yang culuuuuun...” pangiilku ke adikku yang duduk di teras belakang rumah

Dia berbalik, dia tersenyum, menangis lagi...

“Cantik gak kalau mbak pakai ini?” ucapku

“Itu juga hadiah dari ibu untuk pernikahan mbak nanti, ibu berharap mbak mau memakainya ketika mbak menikah” ucapnya, tak menjawab petanyaanku

“Cantik mbak, mbak memang duplikat ibu” ucapnya, aku berjalan kearahnya dan menghapus air matanya

“Sudah, nangis lagi, mbak aja tadi nangis ingat kebaya ini. dah, ah, mbak ganti dulu, biar tetep awet” ucapku, kembali dan berganti pakaian. Dia terus mengamatiku masuk ke dalam kamar, aku memang tidak melihatnya tapi bisa merasakannya

Selang beberap saat, aku kembali

“Ibu pernah memakainya di depan adik?” ucapku, duduk disebelahnya, kami duduk dipinggiran kolam renang. Kali ini, aku memakai pakaian lengan panjangku dan celana selututku

“Iya, dulu, waktu itu aku pulang sekolah dan melihat ibu memakainya. Tapi cuma sebentar, kata ibu, hanya ingin mencobanya masih pas atau tidak” ingatnya tentang kebaya Ibu.

“Sudaaaah... kapan-kapan lagi cerita tentang ibu, mbak gak mau kamu sedih-sedih terus” tenangku kepada adikku, dia tersenyum

Diambilnya sebatang rokok, dan duduk menjauhiku. Kini dia berada disebrang kolam renang, kami saling berahadapan. Kadang aku mencipratkan air kolam ke arahnya, dan dibalasnya. Kakak-adik, benar-benar bahagia kali ini, itu yang aku rasakan.

“Dik...” ucapku

“Ya mbak...” jawabnya

“Kenapa sih, kok adik suka dandan culun, tadi aja pas mau kerumah mbak, adik juga dandan culun. Bohong itu dosa tahu!” ucapku

“Eh...” dia hanya tersenyum, lalu menaikan kedua bahunya

“Adik itu kalau pakai pakaian biasa ganteng lho” pujiku, agar dia mau merubah penampilannya

“Kita ke toko pakaiana gimana? Nanti mbak belikan” ucapku, dia menggeleng. Ada sesuatu yang aneh dalam diri adikku. Aku berdiri dan duduk mendekatinya, rokok ditangannya aku ambil paksa dan aku matikan.

“Ada apa?” ucapku, bersandar pada tubuhnya, dia menoleh

“Ada hal yang tidak bisa adik ceritakan ke mbak” ucapnya, pelan

“Adakah sesuatu yang mengganjal?” tanyaku

“Ada, tapi tidak untuk diceritakan ke mbak saat ini” ucapnya

“Ya sudah, mbak gak maksa kalau adik gak mau cerita. Tapi ingat! Kalau ada apa-apa harus cerita ke mbak” ucapku, dia mengangguk

“Aku terlalu emosional mbak, kedua temanku takut. Hanya itu caranya agar aku tidak emosi-nan lagi” ucapnya,

“Si gendut dan si kecil itu?” ucapku

“Lho mbak kok tahu?” ucapnya

“Ya iyalah, semalam itu...” jelasku, menceritakan kembali cerita ketika pertama kali ketemu dengan kedua temannya

“Ha ha ha... pantas saja mereka tadi pagi ngilang, sebenarnya pagi itu mbak mau aku kenalkan sama mereka mbak, tapi aku cari mereka ndak ada. Ya paling sudah ngamar di rumah pacar mereka” ucapnya

“Lha adik? mana pacarnya?” tanyaku, dia menggeleng

“Makanya, jangan dandan culun terus biar dapat cewek” ucapku

“Belum siap... aku belum siap, belum bisa mengontrol amarahku... karena, aaaah, besok saja mbak kapan-kapan aku cerita sama mbak. Kali ini, aku mau bareng sama mbak dulu. Aku harap ibu bahagia disana, melihat kita bisa berkumpul kembali” ucapnya

“Pasti bahagia...” aku peluk tubuhnya dari samping

“Dik, kamu gak pengen ketemu sama ayah?” tanyaku pelan

“Eh... belum, belum ada keinginan” pandangannya menuju ke dasar kolam

“Kenapa? Apa adik benci ayah?” ucapku, dia menggeleng, aku bangkit dan menarik kepalanya ke bahuku, aku mengelus kepalanya

“Terus kenapa? adik pasti sudah tahu ceritanya kan?” ucapku

“Sedikit...” ucapnya

“Ingin tahu semuanya?” tanyaku

“Tidak, tidak ingin” balasnya, matanya terpejam, seakan menahan sebuah amarah

“Adik sudah tahu ayah?” ucapku

“Mungkin... jangan bahas lagi mbak, aku belum ingin membahasnya” pelan, kata-katanya berat ketika aku mendengarnya

“Baiklah, tapi mbak harap adik jangan marah kalau ketemu ayah” ucapku, dia mengangguk

“Janji ya?” ucapku

“Janji mbak, adik bakal nurut sama mbak, seperti adik nurut sama ibu” ucapnya, benar-benar terasa sangat dalam kata-katanya, kata-kata yang menyiratkan kerinduannya kepada ibu

Seharian kami bercanda, bergurau, kami melakukan banyak hal dirumahku ini. adikku menceritakan kehidupan dia di desa, jauh dari teknologi dan hidup yang sangat sederhana. Memang kehidupan sederhana selalu diajarkan ibu dan kakek, juga nenek. Selain mendengarkan adikku bercerita, Aku ajari dia berbagai macam hal yang belum dia ketahui di desa. Memperlihatkan video-video dari yutup, banyak sekali video-video yang aku lihat secara langsung bareng dengan adikku. Video lucu, video pembangunan gedung, video sepak bola, pokoknya banyak banget sesuai keinginan adikku.

Aku juga memperlihatkan semua perkembangan teknologi kepadanya, ya dari hape jadul sampai sematpon seperti yang sekarang kami berdua pegang dan juga perkembangan barang-barag elektronik lain. Dia seperti aku, ketika ada orang menjelaskan kepadanya selalu antusias dan memperhatikan. Dia pasti mahasiswa yang pintar dikelasnya. Disela-sela bercandaku dengannya, aku tidak lupa untuk menduplikat foto ibu dan yang asli aku kembalikan ke adikku.

“Dah hampir malam mbak, aku pulang dulu” ucapnya, bangkit dari sandaran sofa

“Gak nginep di rumah mbak saja?” tanyaku, menarik lengan tangannya

“Ndak mbak, besok saja pas libur. Lagian, mbak kan tahu, aku ndak mau ketemu” ucapnya, aku mengerti dia tidak ingin bertemu dengan siapa.

“Mbak kan disini sendiri” tegasku.

“Iya sendiri, tapi sewaktu-waktu bisa kan datang? Lagipula kontrkan siapa yang jaga? He he he...” dia tersenyum cengengesan, sedikit aku kecewa dengan jawabannya.

“Dia pasti sayang banget sama mbak, secara mbak kan pintar” ucapnya, aku tidak bisa melarangnya, dia tersenyum padaku. Aku bangkit dari bersandarku, duduk merapat ketubuhnya.

“Iya, iya... oh iya dik, sebelum adik pulang” dia menoleh ke arahku, ada satu hal yang membuatku bertanya tentang keberadaannya di kota.

“Masalah kuliah adik, kok adik tiba-tiba berada dikota?” aku sebenarnya heran juga, jika dilihat dari cerita adikku ketika di desa, rasanya tidak mungkin untuk kuliah di universitas terbang selam yang biayanya tinggi.

“Beasiswa mbak” ucapnya

“Kok adik bisa dapat beasiswa?” tanyaku

“Aku saja ndak tahu mbak, di suratnya cuma tertulis tiga nama, aku dan kedua temanku itu. asal-usulnya ndak tahu aku mbak” ucapnya, dia kemudian menjelaskan rincian beasiswanya, dari awal hingga akhir, biaya yang ditanggung oleh universitas. Semua ceritanya membuatku sedikit heran,

“Hmmm... kok bisa ya?” heranku, dia menaikan bahunya

Sebenarnya aku masih ingin bertanya lagi, namun aku urungkan niatku. Aku mungkin bisa mencari jawabannya sendiri nanti. Selepas sedikit bercanda, Aku kemudian mengantarnya pulang, sampai didepan gang.

“Adik bawa sematpon mbak saja ya, mbak masih ada satu dirumah” ucapku, menyerahkan sematponku ketika dia hendak keluar

“Ndak mbak, belum saatnya. Ntar malah pada heran aku pakai barang kaya gitu” ucapnya, menolak pemberianku

“Iya, iya, tapiiiii... mbak gak ingin kamu terus-terusan culun. Harus jadi diri sendiri suatu saat nanti, kalau bisa secepatnya” paksaku,

“Iya mbak iya, makasih ya mbak” ucapnya, aku mengangguk

Klek...

Pintu mobil dibukannya.

“Oia mbak, arlina itu penuh dengan cinta. Dan Arlena juga pasti penuh dengan cinta” ucapnya memandangku, senyumnya mengembang. Aku sedikit terharu oleh kata-katanya.

Sebuah pelukan terakhir di hari ini, dan akan ada perjalanan panjang yang aku rasakan bersama adikku. kelihatannya, dia berada disini bukan sebuah kebetulan tapi sudah direncanakan. Aku tinggalkan adikku didepan gang.

Beasiswa? Beasiswa apa dari universitas terbang selam yang menanggung hingga beban hidup si mahasiswa? Sampai kontrakannya juga dicarikan? Ada sesuatu yang aneh, ada yang mengatur semua ini, pasti ada, aku yakin ada...
 
hm, anu, itu,
kenapa pada komen nangis? padahal kan kentang di update 25
maafkan nubie suhu jika banyak yang menangis, karena, karena, kentang memang enak suhu he he he...

hufth...

maafkan nubie tidak bisa membalas satu persatu komen suhu semua, hanya sesekali ketika membuka dan bisa membalasnya

karen, itu, suhu, anu.... he he he...


sampai berjumpa kapan-kapan lagi suhu,
maafkan kalau update saat ini sama dengan update-update sebelumnya, tidak menarik


mohon kripiknya suhu, kripik ya, masalahnya enak kalau di pakai makan makanan pedas...
Oia suhu, maafkan nubie yang minim SS ini, benar-benar maafkan nubie suhu...
kemarin nubie mencari SS, tapi si-SS malah pergi, di SMS, BBM, Whatsapp-pun tak kunjung membalas suhu,
maafkan kalau belum ada SS :galau:

terima kasih


:ngupil:


:ngacir:
 
Bimabet
Pasti ini ada hubungan antara kakek mas raga dan ayahnya, jangan bilaaang....? :pandabelo:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd