Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Bimabet
Suhuuuuuu DH, motongnya kebangetan, hikz.. Asli ini mesti bangun rumah disini biar gak penasaran sama ceritanya, goodjob suhu DH
 
Jujur,pai ngerasa kok tempo di part terakhir terlalu cepet. Mungkin ini perasaan pai aja ya. Atau suhu yang lain ada yang mau menambahkan?

Mungkin emang mau time skip aja, tp emang rasanya kayak beberapa scene yg (dipaksa untuk) dijadiin satu sih Pai, mungkin ada suhu lain yg beda pendapat..


emang sengaja nubie skip, kalau gak di skip kelamaan suhu
he he he...


Heeeeeeeeeh!
Ngapain nongol dimari, sana balik ketempat sendiri, lanjutin tuh cerita

Ngookkk ngookk ngookk
 
Scene 25
I've Found You



...............

Perasaan aneh dan hangat, menjadi semakin kuat, semakin menghangatkan dinginnya angin laut ini. Sejenak aku terbuai, terbuai akan hangatnya perasaan itu, namun, aku kembali tersadar. Aku lepaskan pelukannya, dan kudorong dia hingga terjatuh terlentang. Masih terdengar isak tangis yang semakin bertambah keras darinya.

Ketika aku memakinya, aku terhenti ketika melihat sebuah kotak yang ikut terjatuh bersamanya, saat aku mendorongnya...

"Kotak itu..." bathinku,

Kualihkan pandanganku ke arah si brengsek yang kini mencoba bangkit, kedua tangannya menumpu tubuhnya. Kembali aku memandangi kotakitu, kotak yang berada disampingnya. Dua langkah aku bergerak maju ke arah kotak itu, aku berlutut. Tanganku gemetar ketika hendak meraih kotak itu, kotak yang tergeletak. Gemetarnya tanganku berhenti, seakan tangan ini sudah tak asing lagi dengan benda ini. Ya, aku pernah memegang kotak ini, pernah, kotak ini pernah aku pegan.

Kedua tanganku memutar-mutar kotak ini, memandangnya, hatiku bergetar. Dari dalam hatiku, lubuk yang paling dalam, seakan mengirimkan sesuatu kepada otakku. Sedikit berair mata ini, tapi aku masih bisa menahannya. Kembali aku memutarnya, kupandangi detail kotak yang sekarang berada di tanganku. Perlahan, aku membuka kotak ini, kotak yang dibuat dari anyaman bambu dengan dua buah huruf "A.A", pada penutup kotak. Tepat setelah kotak ini aku buka, mataku terbuka lebar, sebuah ingatan masa lalu kembali...

oOo​

"Ibu, Ibu... kalung ibu bagus sekali... antingnya juga" ucapku ketika aku masih berumur 7 tahun. Dikamar ibuku, ketika itu ibu hendak mandi dan melepas perhiasannya. Aku terkesima dengan kalung dan anting yang selalu dipakai ibuku.

"Kamu suka?" tanya ibuku, sangat lembut sekali, saat itu tangannya halus mengusap rambutku

"Suka ibu, kotak wadahnya juga bagus" ucapku penuh riang, aku tersenyum dengan mata yang terpejam

"Nanti, kalau kamu sudah dewasa dan menikah, ibu hadiahkan buat kamu sayang. Mau?" tawar ibuku kepadaku

"Iya, aku mau, janji ya bu?" ucapku

"Iya, ibu janji" ucap ibuku, kedua tangannya memainkan pipiku. Aku tersenyum dan memeluk ibuku

oOo​

Air mata, yang sebelumnya aku tahan untuk tidak menghiasi mataku, kini kembali lagi. Kotak ini, kotak yang ada ditanganku ini, adalah milik ibuku. Aku yakin kotak ini adalah milik Ibu. Tapi kenapa bisa berada ditangan lelaki ini? Aku alihkan pandanganku ke arah lelaki yang bernama Arta, lelaki yang sebelumnya culun namun berubah drastis seketika aku membersihkan telinganya. Aku melihiatnya masih masih menangis, kakinya tertekuk dengan kedua tangannya bertumpuk diatas lututnya. Keningnya dijatuhkannya diatas tumpukan tangannya. Siapa lelaki ini? Kenapa dia menangis?

"Siapa kamu?" ucapku, seketika itu juga, sedikit keras. Sempat dia memandangku walau sebentar, kembali dia menunduk. Air matanya semakin deras, mencoba mencari sela diantara tangisnya untuk berbicara.

"A-Aku, bu-bukanhh, si-siapa-siapa... mbak" suaranya parau, terdengar isak tangisnya, dengan wajah yang masih dia sembunyikan. Aku semakin tidak mengerti akan ini semua. Amrahku kembali lagi bangkit.

"Katakan, siapa kamu!" bentakku, aku meraih lengannya, dan menggoyang tubuhnya. Tapi dia tidak menghiraukan pertanyaanku, kemudian membuang muka. Menyembunyikan tangis di matanya.

"A-aku pu-pulang dulu mbak..." ucapnya dengan suara yang masih terdengar terisak, seraya berbalik dan melangkah. Setiap kata-katanya keluar di sela isak tangisnya.

Aku bangkit secepatnya, mengejarnya, ku raih tangannya dan kutarik dengan kuat, hingga dia berbalik. Dia tetap menunduk, isak tangisnya semakin keras. Kami berhadapan, kedua tangannya mencoba menghapus air matanya...

"Katakan padaku siapa kamu? kenapa kotak ini bisa berada ditanganmu, cepat jawab!" bentakku, keras, seketika itu air mataku mengalir. Perasaan aneh itu kembali, semakin hangat, entah perasaan apa ini.

"A-aku..." disela isak tangisnya

"A-aku hanya kurir saja mbak, aku disuruh memberikan itu kepada wanita yang tidak aku tahu... Hanya nama, hanya nama saja yang diberitahukan kepadaku" ucapnya dengan isak tangis, air matanya mengalir, ada sebuah kebohongan disana

"A-apa maksudmu?" aku semakin terbawa emosi oleh jawaban-jawaban yang tidak logis, amarahku memuncak seiring dengan air mataku yang mencari jawaban

"CEPAT KATAKAN YANG JUJUR! KENAPA BENDA INI BISA BERADA DITANGAN KAMU!" bentak yang sangat keras

"Aku hanya kurir, hanya mbak, aku disuruh memberikan kotak itu kepada wanita bernama Arlena Karyaningtyas, Cuma itu yang aku tahu, aku tidak tahu yang mana orangnya!..." sedikit dia menguatkan suaranya, kata-katanya keluar bersama dengan tangis yang semakin keras. Aku sedikit tertegun, nama yang dia ucapkan, itu adalah nama lengkapku. Dia masih menangis, menangis sembari menjawab pertanyaanku.

"Ha-Hanya itu yang aku tahu mbaaak, aku melihat mbak mirip dengan wanita yang memberikan kotak itu kepadaku" tangisnya semakin tak terbendung, air matanya keluar deras. Sebenarnya siapa lelaki ini.

Dihadapannya, melihat lelaki ini, kini yang aku rasakan adalah perasaan hangat itu lagi. Perasaan apa ini sebenarnya. Aku semakin terbawa oleh emosiku, dia kurir, berarti dia tahu keberadaan Ibuku.

"Lalu dimana dia sekarang? Dimana?!" bentakku, kedua tanganku menarik bajunya dan menggoyangnya, kotak itu jatuh

"Per.. Pergi" air matanya mengalir lebih deras sebelumnya

"Da... da-dan tak akan pernah kembali..." disela isak tangisnya dia menjawab, tangannya mengusap air matanya yang mengucur deras. Sebuah jawaban yang tidak aku inginkan, hatiku tak bisa menerima kata-kata yang keluar dari bibirnya.

"Bohong! Kamu bohong! Katakan kepadaku dimana dia! kotak ini milik ibuku!" teriakku, menggoyang tubuhnya

"Kamu apakan ibuku?! kamu apakan ibuku?!" aku mendorng tubuhnya, langkahku menjauhinya

"Si-Siapa..."

"Siapa?! Siapa kamu sebenarnya?!" tanganku kembali memegang bahunya, aku menggoyang tubuhnya, air mataku mengalir. Tangisku pecah, pandanganku buram karena air yang mengumpul di mataku. Aku hanya butuh jawaban, butuh jawaban.

Sebuah kenyataan pahit, kenyataan yang tak pernah aku inginkan...

"Kamu bohongkan iya kan?! kamu bohooooong iya kan, jawab kamu bohong kan" desakku dengan tangis, dia menggeleng

"Bohoooong... JAWAB KALAU KAMU BOHONG!"

"Bohooong kamu bohoooooong..." tangisku, melangkah mundur menjauhinya, kedua tanganku menutup mulutku. Serasa tidak percaya dengan jawabannya, kepalaku menggeleng, aku tidak percaya dengan jawabannya, aku tidak percaya, sungguh aku tidak percaya.

"Kamu pasti telah melakukan sesuatu pada ibuku, iya kan?" wajahku tertunduk, aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini, kenyataan tentang ibu kandungku

Aku jatuh bersimpuh, kedua tanganku tepat berada di depan lututku. Tidak, tidak mungkin, pasti lelaki ini telah membunuh ibuku. Aku memandangnya dengan penuh kebencian, namun perasaan hangat itu selalu ada. Tapi aku membencinya, dia, lelaki ini pasti telah melakukan sesuatu kepada Ibuku, pasti. Aku bangkit, mataku tajam, amarah menguasaiku. Aku mendekatinya...

"Kamu pasti telah membunuhnya! pasti telah membunuhnya!"

"Kamu pembunuh!"

"PEMBUNUH!" teriakku keras, pukulan-pukulanku mendarat di dadanya

Dia berdiri tegak, tak menghalangi tangan-tanganku memukulinya.

"Aku tidak membunuhnya!" bentaknya, aku terdiam, air matanya mengalir

"Aku tidak munkgin membunuhnya mbaaaak" belanya, dengan tangis yang tak kalah dariku, lebih dari tangisku, suaranya sendu, terisak.

"Kenapa? kenapa dia menangis? Kenapa tangisnya lebih deras dariku?" bathinku

"Si... siapa kamu?" ucapku pelan, dengan satu tangan menutupi mulutku

"Siapa kamu? kenapa kamu menangis? Kamu pasti tahu tentang ibuku? katakan kepadaku, siapa kamu? apa yang terja..."

Kata-kataku terhenti, aku sudah tak bisa lagi berucap. Tubuh itu kembali memeluk tubuhku. Hangat, sangat hangat, tangisnya dipundak kiriku, lebih haru ketimbang tangisku. Tubuhku lemas, tak bisa aku menolak pelukannya. Perasaan yang sangat aneh kembali lagi. Siapa, siapa kamu sebenarnya?

"Mbaaaak.." suaranya parau, terisak

"Mbak... benar... benar... mirip dengan... Ibu" sebuah tangis yang membuat mataku terbelalak, memandang lurus kedepanku. Sebuah ingatan masa lalu kembali menyapaku.

oOo​

"Ibu, kok perut ibu besar? Katanya kalau perut besar ada adiknya ya?" ucapku ketika aku tepat berumur 8 tahun, diawal tahun itu

"Iya, ini adik kamu, 2 bulan lagi akan lahir. Nah, nanti kalau sudah lagi, kamu jadi kakak yang baik ya buat adikmu ya, sayang" ucap ibuku, sambil mengelus-elus perut besarnya

"Iya bu, pasti aku akan merawat dan menjaga adikku. Nanti aku ajak adik jalan-jalan, main dan akan aku ajari semuanya" ucapku tampak riang, karena dua bulan lagi adikku akan lahir

"Iya, jagain adik kamu ya" ucap ibuku, aku mengangguk dan memeluk perut ibu

oOo​

Perlahan tanganku memeluknya, aku masih sedikit ragu tapi perasaanku mengatakan dia adikku. Air mataku kembali mengalir....

Perasaan hangat itu menguat...

Apakah dia adikku? adik yang dulu berada dalam kandungan ibu?

Adik yang aku tunggu-tunggu kelahirannya, namun karena ayahku, 1 bulan sebelum kelahirannya kami harus berpisah?

Apa benar dia adikku?


"Mbak mirip ibu... mirip sekali mbaaaak..." disela tangisnya yang tidak berhenti. Tangisnya, masih berada dalam pelukanku. Entah kenapa tanganku tak bisa berhenti untuk memeluknya, terlalu hangat untuk aku lepaskan.

"Ca-cara mbak... mem-membersihkan telinga... samaaa..." kata-katanya, disela isak tangisnya

Kini aku mencoba menyadarkan diriku dari perasaanku. Tanganku yang sebelumnya memeluknya, aku melepaskannya. Kupegang pundaknya, turun ke dadanya, kudorong pelan tubuhnya, agar lepas pelukannya. Tangisnya, air matanya, mambanjiri wajahnya. Tanganku, merambat dari dada, bahu, kepipinya. Kupegang kedua pipinya, air mataku mengalir. Perasaan hangat itu, perasaan persaudaraan kami. aku yakin itu,

"Wajah mbak... suara mbak... semua yang ada di hiks hiks sama dengan ibu..." tangisnya

Aku menangis, air mataku keluar lebih deras dari sebelumnya.

"Adik?" ucapku pelan, dengan sedikit anggukan. Dia mengangguk

Entah, benar atau tidak, tapi perasaan yang mengatakan dia adik kandungku kuat. Lebih kuat dari apapun. Aku memeluknya kembali, lebih erat sebelumnya.

"Ibu benarkah dia adikku? benarkah dia yang dulu aku tunggu kelahirannya?" bathinku menagis mengingat semua kejadian dimasa lampau

"Ibu.. Ibu.. selalu cerita tentang mbaaaak" terdengar tangisnya, mengingatkanku tentang Ibu.

"Ibu.. Ibu... bilang kalau mbak . Anak yang pintar dan aku harus seperti mbak, harus pintar, pintar sekolahnya, merawat kebun belakang rumah, merawat omen-omen juga" lanjutnya, dengan isak tangis yang tak berhenti. Aku mendengarnya, mendengar setiap kata-katanya dengan jelas, walau tangisnya semakin haru.

"Ya, dia adikku, aku yakin dia adikku. Hanya ibu yang tahu omen, omen adalah nama untuk semua kelinciku" bathinku ikut menangis, air mataku mengalir lebih deras dari sebelumnya

Bahagia, mungkin itu satu kata untuk saat ini. Dahulu, kebun belakang rumah selalu aku tanamami dengan berbagai jenis sayuran dan juga aku memelihara kelinci. Kelinci-kelinci itu aku beri nama, Omen, dan hanya Ibu yang tahu. Ingatanku sedikit kembali ke masa kecilku,, terbayang senyum Ibu yang selalu menemaniku dengan senyuman. Menemaniku ketika aku berada di kebun belakan rumah.

Arta, dia adalah adikku, aku masih ingat jelas ketika Ibu megandungnya. Namun, tak pernah aku bayangkan jika aku harus meninggalkannya karena Ayah. Aku sudah berjanji kepada Ibu, bberjanji untuk selalu menjaga adikku. Aku ingin sekali menangis keras malam ini, berteriak karena aku telah bertemu kembali dengan keluargaku. Bertemu, setelah sekian lama aku tak pernah bisa menjenguknya. Walau sedikit terlambat, Ibu, sudah tidak bisa lagi aku lihat senyumannya.

Tidak, aku tidak boleh menangis lagi. Aku tidak ingin adikku terlalu hanyut dalam kenangannya, aku ingin dia tersenyum. Aku masih bisa menangis, tapi tidak saat ini. Aku harus terlihat tegar dihadapannya, agar adikku, ya, adikku menjadi seorang yang tegar.

"Sudah dik, sudah maafkan mbak, maafkan mbak, yang tidak menjagamu" isak tangisku masih tak bisa kuhentikan, aku memeluknya dengan erat. Perlahan, aku angkat lagi kepalanya, kupandangi wajahnya yang terus menangis. Mata itu, sama dengan mata Ibu, sama dengan mataku.

"Sudaaah... jangan nangis lagi ya, mbak sekarang disini, maafkan mbakmu ya..." ucapku disela isak tangisku, aku terus mencoba untuk tidak mengalirkan air mata. Tapi tetap saja, aku tidak bisa.

"Mbaaaak... maafkan aku, dulu... dulu... gara-gara aku lupa kasih makan, omen mati semua" masih saja dia mengingatnya, aku yang seharusnya merawatnya bukan kamu adikku. Sedikit aku tersenyum, begitu jujurnya dia. Sudah, aku tidak boleh menangis lagi, aku sudah berjanji untuk menjaganya, aku harus tetap tegar. Aku tidak ingin adikku menjadi lelaki yang cengeng.

"Sudaaah sayang, sudah ya, jangan menangis lagi... kita bisa beli omen yang lain" ucapku, sembari menyatukan keningku dengan kening adikku. Masih saja ada air mata mengalir di pipiku.

Tangis dua saudara yang lama tidak bertemu...

Tubuhnya kembali memelukku, erat sekali...

"AKU KANGEN IBU MBAK, KANGEN IBUUUU!" teriaknya, keras sekali. Sedikit aku terkejut, ku peluk erat tubuhnya. Aku juga kangen, rindu ibu, sama seperti yang dia rasakan.

"Peluk mbak, peluk yang erat... mulai sekarang mbak akan gantikan ibu, untuk selalu menjagamu.." ucapku,

Tubuhnya lemas, beban tubuhnya jatuh kepadaku, aku jatuh bersimpuh. Pelukannya lemah, hingga kepalanya jatuh dalam pangkuanku. Wajahnya terbenam di pahaku, tangisnya terus, dan terus terdengar...

"Kangen ibu mbaaak... kangen ibu..." dia masih saja menangis

"Sudah, sayang, hiks hiks mbak juga kangen..." ucapku mencoba menenangkannya, kuelus kepalanya, mungkin aku akan menangis lebih haru lagi jika aku sendiri. Aku harus kuat, lebih kuat darinya, aku adalah kakaknya.

Kulihat kotak yang terjatuh tadi, tanganku meraihnya.

"Ini buat mbak ya?" ucapku mencoba mengalihkan perhatian

"iya..."

"Kata hiks ibu hadiah untuk pernikahan mbak nanti" jawabnya, masih dalam isak tangisnya

Ibu.. masih selalu mengingatku, masih selalu ingat akan janjinya...

"He'em..." jawabku, aku mengelus kembali kepalanya dengan lembut.

Suara ombak membentur bebatuan, terdengar keras. Angin malam yang kencang membawa butiran-butiran kecil air laut, membasahi kami berdua. Aku tersenyum, wajahnya tampak sekali masih menyiratkan sebuah kerinduan kepada Ibu. Garis-garis wajahnya, perpaduan dari Ayah dan Ibu. Aku telah melewatkan banyak sekali waktu bersamanya, banyak sekali, banyak yang terlewatkan. Seharusnya aku bisa mengganti popoknya ketika dia menangis, menggendongnya berkeliling desa. Tertawa bersamanya, mungkin juga, seandainya saja aku bersamanya, aku bisa memarahinya.

"Mbaaak.." suaranya pelan masih dengan sedikit isak tangis yang terdengar

"Eghhh..." dia mencoba menenangkan tangisnya

"iya adikku sayang?" ucapku lembut, aku ingin memanjakannya

"Bersihkan telingakuuu..." ucapnya, manja sekali,

"Eh, iya adikku sayang, iya..." ucapku, aku tersenyum mendengarnya

Kuletakan kotak itu disampingku, kubersihkan telinganya sembari mengelus kepalanya.

"Eghh... mbak diajari ibu?" ucapnya, sedikit terisak, walau tidak sekeras sebelumnya

"He'em, ibu yang mengajari mbak membersihkan telinga" ucapku, mencoba menahan tangisku teringat kembali masa dimana Ibu, selalu mengajariku banyak hal

"Ternyata adikku tidak culun ya? ganteng, gagah" ucapku, memang itu kenyataannya setelah dia melepas keculunannya dihadapanku. Aku mencoba bercanda, mengalihkan perhatiannya agar tidak selalu teringat masa lalu.

"Katanya culun mbak" ucapnya, suaranya masih parau

"Iya culun, sukanya ngerusuhin mbaknya kan hi hi" candaku, teringat pertama kali dia muncul dihadapanku, ketika aku bersama Jefri di taman. Dan gara-gara adikku juga, aku putus dengan jefri. Tiba-tiba dia bangkit, dengan kedua tangannya berada di samping kedua pahaku, menyangga tubuhnya.

"Mbak, pokoknya mbak jangan sama lelaki itu, aku tidak suka. Lelaki itu ndak baik buat mbak" ucapnya tiba-tiba, aku sedikit bingung tapi ketika aku melihat matanya. Ya, mata itu, terlihat sekali dia ingin melindungiku.

"Eh, iya, sudah putus kok dik"

"Kok adik tahu kalau dia gak baik?" ucapku, sembari memainkan kedua pipinya

"Ndak tahu mbak, tapi aku tidak suka..."

"Hanya perasaanku saja mungkin, mbak, aku cumaa..." ucapnya terhenti dan menunduk

"Cuma kenapa?" ucapku, mengejar wajahnya

"Aku tidak ingin mbak... seperti ibu" jawabnya, kata-katanya, membuatku sedikit merasakan sakit akan masa yang telah lalu.

"Cari yang lebih baik mbak..." lanjutnya

"Iya adikku sayang, iya..." ucapku, aku tersenyum, kini aku harus menuruti feeling adikku

"Sini, mbak bersihkan lagi telinganya, tuh masih kotor..." ucapku, dia tersenyum manis, benar-benar seorang adik yang ganteng. Kembali dia benamkan wajahnya di pahaku, ah, dia benar-benar rindu ibu. ibu selalu membersihkan telingaku dulu dengan posisi yang sama. Aku miringkan tubuhnya pelan, ku bersihkan telinga kananya. Setelahnya, kumiringkan tubuhnya, dia mengikutinya dan kini giliran telinga kiri aku bersihkan.

Telinganya sudah bersih, ku arahkan kepalanya agar aku bisa melihat wajahnya utuh. Kuelus kepalanya, jari-jariku mengelus pipinya, wajahnya yang terlihat lelah. Matanya terpejam, masih ada bekas-bekas air matanya walau sudah mengering. Nafasnya masih sedikit tersengal. Aku, aku memang mirip dengan ibu, kalau saja saat itu aku diizinkan bisa pulang menjenguk ibu. Mungkin pertemuan kita, tak perlu ada tamparan dipipi kamu.

Kaze ga yoseta kotoba ni
Oyoida kokoro
Kumo ga hakobu ashita ni
Hazunda koe
Tsuki ga yureru kagami ni​

"Sutike da ne, egghh... ibu sering nyanyi itu, ketika menemaniku tidur" ucapnya, membuat nyanyianku terhenti, matanya masih terpejam

"Ibu dulu juga, sering menyanyikannya, ketika mbak mau tidur" ucapku, entah kenapa air mataku sudah tidak bisa tertahan.

Satu tanganku langsung mengusapnya, mencoba agar tidak jatuh ke wajah polos adikku. matanya masih terpejam, sebuah kehangatan dari wajahnya. Dia mungkin lebih beruntung dariku, lebih beruntung karena bisa bersama ibu, dan menyaksikan kepergianya. Teringat rencana jahat yang sudah aku susun sebelumnya, beruntung tidak terlaksana, coba saja kalau memang benar-benar terlaksana dan kemudian aku mengetahui dia adalah adikku sendiri. Aku angkat tubuhnya pelan, matanya terbuka, kupeluk kepalanya dari belakang.

"maafkan mbak, sekali lagi maafkan mbakmu ini ar, maafkan mbak" isak tangisku, memeluknya.

"Mbak jangan nangis lagiii... aku nanti nangis lagi hiks hiks" ucapnya, kedua tangannya menggenggam tanganku yang memeluk kepalanya

"He'em..." begitu jawabku, tapi air mataku tak henti mengalir

Tubuhku menggoyang ke kanan dan kekiri tubuhnya sembari memeluknya, kepalaku berada dipundak kirinya. Kukecup tipis tipis adikku, kutempelkan pipiku ke pipinya. Kini, aku telah menemukannya, menemukan yang saat itu hanya tinggal 1 bulan saja, 1 bulan saja aku bisa melihatnya. Mungkin ini sebuah takdir yang harus aku jalani. Tangisku reda, begitu pula tangisnya.

Terasa udara semakin dingin, butiran air laut semakin membasahi tubuh kami berdua. aku memang tidak ingin melepaskannya, namun aku ingin bersamanya saat ini. Aku tidak akan melepaskan perhatianku lagi darinya.

"Pulang yuk sayang..." ucapku pelan, dia mengangguk

Kami berdiri bersama, ku ambil kotak anyaman bambu, kami saling berhadapan. Terlalu tinggi bagiku, namun tanganku masih bisa meraih kepalanya. Ku ucek-ucek rambutnya, kulihat dia tersenyum. Ibu dulu selalu melakukannya ketika aku mendapat ranking satu dikelas, bahkan setelah aku membantunya.

"Aaaagh..." adikku mengatur nafasnya,

"Ketika aku ranking satu, sehabis membantu ibu, ibu selalu mengucek-ucek rambutku" ucapnya, tersenyum, ku balas dia dengan senyuman. Kuraih kepalanya dan kukecup keningnya.

"Ssssttt..." aku menyilangkan jari telunjukku di bibirnya

"Sama kan? Jangan bersedih lagi" ucapku menenangkannya, kecupan kening sehabis mengucek rambut, selalu dilakukan oleh Ibu. Dia mengangguk pelan, kemarin atau mungkin tadi, aku sangat membencinya tapi sekarang, berbeda.

Aku ambil tasku yang berada dibangku, dan juga kaca matanya. Segera kuhampiri adikku, ku peluk tangnnya kirinya, dan kami berjalan bersama.

"Ini kacamatanya" aku serahkan kacamata culunnya, dan dimasukannya ke dalam saku bajunya.

Satu tangannya masih terus mengusap matanya, tangan kiriku membantu menghapus air atanya. Aku menggandengnya berjalan menuju mobil, ku rebahkan kepalaku di lengan kirinya. Dia masih saja menangis, aku juga masih ingin menangis.

Di dalam mobil, adikku duduk disampingku, memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Pandangannya keluar ke jendela mobil disampingnya...

"Ada apa dik?" ucapku pelan, mobil berjalan lambat, tangan kiriku meraih kepalanya, mengelus rambutnya

"Eh, ndak papa mbak" ucapnya,

"Sudaaaah, kan sudah ada mbak" aku mencoba menenangkannya

Dia menoleh ke arahku, pipinya di rebahkannya di kedua lututnya. Senyumnya mengembang memandangku, aku balas senyumannya.

"Mbak mirip, sama dengan ibu, banget" ucapnya, aku betet hidungnya

"Sudah, nanti kamu sedih lagi" ucapku, dia terus memandangku

Senyumannya, aku bahagia malam ini...

"Sampun maem dereng? (sudah makan belum)" ucapku kepada adikku ini

"Eh, mbak?" dia sedikit terkejut

"Wonten napa? (ada apa?)" ucapku, sembari menjaga pandangan ke jalan yang dilalui mobilku

"Kok taseh saged ngagem boso daerah? (kok masih bisa menggunakan bahasa daerah)" ucapnya

"Yeee, mbak itu ranking satu terus kali. lagipula dari dulu kalau bicara sama ibu juga pake bahasa daerah juga, tapi tingkatannya tidak tinggi banget" ucapku, tersenyum

"..." dia tersenyum, kemudian dia menggeleng

"Sudah makan?" ucapku, dia menggeleng

"Makan gih?" ucapku, dia menggeleng

"Harus makan, mbak gak mau nanti kalau kamu sakit" ucapku, memaksa

"Suapin..." ucapnya,

"Eh, iya nanti mbak suapin. Huuu, dasar adikku manja" ucapku, kulihat kembali senyumannya

Mobil melaju pelan, aku arahkan mobilku ke sebuah rumah makan lesehan. Aku turun, ku gandenga adikku masuk ke dalam rumah makan tersebut. setelah memesan makanan, aku mencari tempat lesehan yang jauh dari pengunjung lain. Sebuah tempat berbentuk gubuk kecil berada di samping, disana ada beberapa gubuk lainnya juga. Aku bercanda dengan adikku, namun yang ada dia terus memandangiku dengan senyum bahagianya.

"Dari tadi liatin mbak terus? Kenapa?" ucapku, mencubit kedua pipinya

"Nd.. ndak mbak, Cuma..." ucapnya, kuhentikan dengan jari telunjukku

"Sudah ya... dah liatin mbak gak papa kok, kan emang dasarnya mbak kamu ini kan cantik, manis, baik hati dan tidak sombong" candaku,

"Jelek mbak..." ucapnya, sembari membuang mukannya

"Huh! Iiiihhh..." aku cubit keras saja pahanya

"Auuuuuuuuuchh... sakit mbaaaak..." teriaknya

"Bilang jelek lagi awas..." ancamku,

"Ugh, jelek mbak, jelek, kalau bukan mbak yang disini" ucapnya sembari mengelus pahanya

"Ups, hi hi hi... kecubit deh, salah sendiri ngomongnya gak diterusin" ucapku

"Huuuu..." ucapnya,

Makanan datang, pesanan ayam goreng beserta lalapan dan nasi. Segera aku persiapkan makanku dan juga adikku. Dia diam saja, dalam diamnya dia memperhatikan aku. Aku ambil nasi dengan tangan kananku, dan kusuapi adikku yang manja. Hm, air matanya keluar lagi, pasti dia ingat sama Ibu lagi. Aku usap air matanya dengan tangan kiriku, makannya sangat lahap, bahkan mulutnya selalu maju terlebih dahulu sebelum aku menjulurkan tanganku.

Setelah selesai kami pulang...

"Mulai sekarang, adik bobo dirumah mbak ya? nanti mbak kenalkan dengan..." ucapku

"Tidak, adik ingin dikontrakan saja. Adik tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa" wajahnya menjadi muram, mungkin dia sudah menebak kata-kataku

"Eh, bobo dirumah mbak saja, ya?" bujukku, dia menggeleng

"Mbak dirumah sendirian, mbak kan punya rumah sendiri sekarang" jelasku, agar dia mau, tapi tetap menggeleng

"Adik gak sayang sama mbak ya?" ucapku merayunya, dengan memasang wajah cemberut, aku meliriknya dia memandangku

"Adik tidak mau bertemu dengan..." terhenti sejenak, hening diantara kami. Aku memandangnya, wajahnya tampak sedikit ada amarah disana.

"Adik ingin sendiri dulu" lanjutnya

"Mbak kan sudah bilang, mbak tinggal sendiri, adikku sayang" jelasku kembali, agar adikku ini tahu kalau aku tidak bersama siapa di rumah, dia tetap menggeleng. Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya, aku tahu itu.

"Biarkan aku dikontrakan dulu mbak, teman-temanku hari ini pulang. Tidak enak rasanya jika meninggalkan mereka, besok aku main kerumah mbak" ucapnya,

"Hmm... baiklah, kalau begitu mbak yang menginap dikontrakan kamu" balasku

"Jangan mbak, sekalipun kita kakak-adik, kita tidak ada bukti, bisa digrebek sama warga komplek"

"Biarkan aku sendiri dulu, mbak" ucapnya, tangannya memeluk kedua kakinya yang ditekuk, pandangannya lurus kedepan. Mungkin, sekarang dia ingin sendiri, tapi aku masih rindu dengannya. Hm, baiklah...

"Tapi mulai besok, kamu tinggal bareng sama mbak" paksaku

"Tidak, kalau main iya mbak. Tapi untuk tinggal tidak mbak, adik belum siap. Karena adik bisa bertemu dengan... lupakan mbak" terlihat hatinya begitu lemah, namun ada sesuatu yang tersimpan dalam matanya. Entah itu amarah atau kasih sayang.

"Adik, sudah tahu?" ucapku, dia menggeleng. Aku yakin dia telah mengetahui sesuatu,

Setelah percakapan panjang, dan perdebatan kakak-adik ini, akhirnya aku mengalah. Dari setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya, tersirat keinginan hatinya untuk sendiri dan tidak ingin bertemu dengan seseorang. Mobil melaju menuju Komplek gemah ripah loh jinawi, sebuah komplek yang memang berada dipinggiran ibu kota. Aku mengantarnya hingga didepan gang gang masuk, sejenak dia memandangiku. Aku tersenyum, kucubit pipinya.

"Wonten napa malih? (ada apa lagi?)" ucapku

Tiba-tiba tubuhnya memelukku erat, aku peluk tubuhnya lebih erat lagi. Pelukan hangat dari adikku, seakan tak ingin aku lepaskan.

"Aku pulang dulu mbak, besok aku main ketempat mbak" ucapnya, aku mengangguk, ku kucek-kucek kepalanya lalu kucium keningnya

Adikku turun, dan aku ikut turun. Kami berpisah, adikku kemudian berjalan menjauh dari mobil. Sesekali dia menoleh ke arahku dan tersenyum manja. Cara dia berjalan, tinggi tubuhnya, mirip dengan seseorang tapi aku sedikit lupa. Setelah jauh adikku melangkah, aku kembali ke dalam mobilku.

Mobil berjalan dengan suasana bahagiaku, kulihat kotak anyaman bambu. Mobil aku hentikan sejenak, kubuka dan ku ambil perhiasan itu. Air mataku mengalir kembali, benar-benar milik ibu.

"ibuuuuuu hiks" tangisku keras didalam mobil, menangis lebih keras dari sebelumnya. Kukeluarkan semua rasa rinduku bersama dengan air mata ini. Aku benar-benar bodoh, benar-benar bodoh, lelaki yang aku panggil brengsek adalah adikku sendiri. Kenapa bisa aku memiliki niat jahat kepada adik yang selalu aku tunggu kelahirannya. Kenapa dulu aku juga tidak mencarinya, kenapa? Aku memutar balik mobilku, aku masih rindu dengan adikku. Aku tak ingin menignggalkannya lagi. Aku ingin bersamanya, aku ingin memeluknya.



---------------------​
Aku usap air mataku, mengatur nafasku. Kembali berjalan menuju kontrakanku. Aku harus bersikap biasa.

Klek...

"Kulonuwuuuuuun (permisi), woi" teriakku, senyumku mengembang

"Wasu! Buat kaget saja kamu, permisi itu sebelum buka pintu cuk! Kampret!" bentak Samo dengan pakaian rapinya

"Lha mau kemana?" ucapku, yang kemudia duduk bersama mereka berdua

"Bentar lagi mau ke rumah yayang ar, biasa main kuda-kudaan" ucap Samo dengan meajukan pinggulnya

"Cempeeee... ndak usah di praktekan juga! Kampret kamu!" bentakku

"Hlha kamu ndak nyari owk ar, ya ndak bisa main kuda-kudaan" ucap Justi

"Emang kamu tahu kuda-kudaan jus?" tanyaku,

"Kenthu bro, kenthu. Ah, kamu ar, ndak gaul!" ucap Justi

"Gundulmu cuk! Kalau cuma arti kenthu semua orang ya tahu, ndak perlu gaul untuk tahu arti kenthu" ucapku, sambil mengapit kepala Justi di ketiakku

"Ha ha ha, Ar, Ar, kayak kamu ndak tahu Justi saja. dia gaulnya di dunia perlendiran, kamu tanya masalah reproduksi dia nomor satu. Kalau masalah yang lain, mendingan jangan. Sampai kucing bertelur pun dia ndak bakalan mudeng" ucap Samo

"Ndak usah mbok jelasin, aku juga sudah tahu sam" ucapku, melepaskan kepala Justi

"Lho? Kucing itu beranak kan? Masa bertelur?" ucap Justi

"Kucing itu punya paruh jus, jengger, jalu di kakinya, juga punya sayap tapi gak bisa terbang, bunyinya petok-petok" ucap Samo

"Hlho, bukannya itu namanya ayam?" ucap Justi

"Hayo pitik cuk! Kawit jaman sego ora enak yo jenenge pitik! (ya, ayam cuk! Sejak jaman nasi tidak enak ya namanya ayam!" bentak kami berdua, kami berdua tertawa, menertawakan Justi

Setelahnya aku ditanya-tanya oleh Samo dan Justi mengenai kepergianku, sedikit dia menanyakan mata merahku namun aku selalu mengalihkan pembicaraan. Selang beberapa saat, aku masuk ke dalam kamar untuk tidur. Tak ku ceritakan kepada siapa aku bertemu, tak perlu mereka tahu. Di dalam kamar, aku tutup pintu kamarku. Ku buka almari, ku ambil kotak kaleng itu. ku buka, kulihat kembali foto ibu. Air mataku mengalir,...

"Bu, aku sudah ketemu sama mbak Arlena, dia cantik seperti ibu. Mirip sekali bu, semuanya mirip. Aku berjanji, akan menjaga mbak arlena bu, Arta janji sama ibu" ucapku kepada foto yang aku pegang, satu-satunya foto ibu yang masih tersisa dan aku simpan. Aku letakan kotak itu dilantai kamarku, aku tidur, kuletakan foto ibu disamping kepalaku dan tidur.




---------------------
Mobilku masuk ke dalam gang, hingga akhirnya ku bertemu dengan sebuah perempatan jalan. Aku bingung dimana kontrakan adikku, tapi untungnya ada seorang lelaki yang sedang berjalan. Aku turun dan bertanya kepadanya, dia adalah sekretaris RT. Setelah bercakap-cakap, aku meminta ijin untuk menginap. Sebenarnya aku harusnya ke pak RT-nya tapi sekretaris RT bilang kalau pak RT tidak ada dirumah, akhirnya aku berikan KTP-ku kepadanya untuk meyakinkannya. Akhirnya Dia memperbolehkanku menginap, asal tidak melakukan hal yang tidak senonoh. Awalnya memang tidak diijinkan, tapi aku bersikeras kalau dia adalah saudaraku.

Aku sampai disebuah kontrakan yang sangat sederhana, ada dua mobil terparkir didepan. Kalau itu mobil adikku, kelihatannya tidak mungkin. Aku turun dari mobilku, dan membuka pagar pintu yang pas untuk satu motor dengan pelan. Kuhela nafas panjang didepan pintu kontrakan adikku, ku dengar suara percakapan dua orang lelaki didalam. Yang jelas, itu bukan adikku, mungkin teman yang sempat tadi disinggung oleh adikku.

Tok.. tok... tok... tok.. tok...

"Iya sebentar" suara seorang lelaki,

Kleeeeeeek...

"Hah..."

"Sss...sss...sss sam..."

"Ha..."

"Ha..."

"Ha...."
 
Terakhir diubah:
Aissh.....apdet pas liburan
 
Eh, maafkan nubi yang selalu membuat kentang,
karena, itu, anu... nubie itu suka...

:galau:

kentang goreng :D
kan enak buat nyemil pas nonton bola, apalagi sekarang mendekati even besar sepak bola dunia dan olah raga, persiapan kentang kan harus banyak :D

maafkan nubie, sungguh maafkan nubie...

eh, itu, anu... kalau ada saran dan kritik, disampaikan ya, terima kasih


:ngupil:

sampai ketemu kapan-kapan lagi ya, kalau ada waktu buat update :D
:sayonara:

:ngacir:
 
ijin baca dulu suhu,komennya nanti,dah penarasan nih.
 
Terakhir diubah:
Lagi....
Lagi....
Lagi....
:semangat:

Di wild love, arya incest dengan ibunya
Di change, arta incest dengan mbak nya
Mantap suhu, ente bener-bener master of incest
:jempol:
 
Masih banyak mistiri ya suhu...jdi bkin gregetan....hihihi
Thx udh ngisi long weekend dg update nya suhu
 
Typomu udah lumayan banyak berkurang suhu, tapi itu, hmm, nganu Don, hmm, yg 10 scene lagi mana? :ngupil:
 
krain ane somone y arta mbk y trnyta kakk y to ,mntbbb hu
 
makasih suhu wat apdetnya,jadi baper gue,kalo nggak lagi nongkrong ma temen2,dah ngalir nih arta(air mata).
 
baper hu baper... Nangis ane baca nya... Dduuhh.. Gag ku ku ku kuat ma baper ny hu.. update nya jangan lama2 ya suhu DH...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd