Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Para semproters diramein lgi ni thread biar suhu DH segera UP,sayang ni klo sampe mampet certanya..
 
Loh katanya Update hari ini...

Katanya juga triple orgasm...

Eh triple update katanya...

Katanya juga mau masukin Indri...

Katanya juga gw bohong. :p

___ ngacir sebelum di :bata:
 
Loh katanya Update hari ini...

Katanya juga triple orgasm...

Eh triple update katanya...

Katanya juga mau masukin Indri...

Katanya juga gw bohong. :p

___ ngacir sebelum di :bata:

Hush....dicariin Putri noh, minta kelonan
 
Scene 14
Angel and witcher... hadeeeh...



Ainun ... ...


Iliana Desy Prameswari

"Woi oleh-oleh nih..." teriak samo dari luar kontrakan, terlihat dari dalam karena pintu kontrakan terbuka lebar dan aku didalam, bersandar membaca buku

"Lho Justi mana ar?" lanjutnya, aku melirik situbuh besar bak gorila ini

"Keluar tadi" aku bangkit dan membenarkan dudukku yang semakin merosot ini

"Lha kamu itu dari mana saja to? Kok ndak pulang?" tanyaku, Samo kemudian duduk menghadapku, tubuhnya sudah cukup untuk menutupi sebagian pintu kontrakan

"He he he..." tawanya, ah, aku sudah tahu kemana dia akan mejawab

"Kamu ndak keluar-keluar ar?" tanya Samo, sembari meletakan oleh-oleh dari perjalanannya

"Ndak, lagi males... paling ntar bantuin pak RT lagi" tanganku meraih bungkusan berisi gethuk

"Aku ndak ikut ya mau istirahat dulu... habis he he he" tawanya sudah terlihat kalau dia lelah karena sebuah pertempuran.

"Terseraaaaah... nyammm... penting jangan lupa mmm belajarmu, ini kesempatan satu kali seumur hidup kuliah itu nyammmm..." kataku disela-sela makan gethuk goreng

"Hasyah, kalau makan-makan, ngomong-ngomong ha ha ha ..." tawanya masuk ke dalam kamarnya

Tadi pak RT menyuruhku kerumahnya setelah lewat tengah hari, dan aku siap untuk membantu pekerjaannya lagi. Tadi pagi juga, bang jali datang setelah Justi pergi kalau besok aku disuruh ke warung, mas raga ada perlu. Ah, aku jadi bingung dengan diriku sendiri, menyembunyikan diriku tapi diluar aku tetap sama. Tapi jika menjadi diriku dulu lagi, ah tidaklah...

Telan langsung saja oleh-oleh dari si Samo, Justi sudah ada makanan dia sama si Linda palingan. Ah, kampret kenapa aku sendiri yang jomblo ya. Paling tidak dah pernah ngrasain ciuman, sama ibu-ibu tapi hadeeeh.

Lewat siang hari...

"Gimana pak ada yang bisa saya banting eh bantu?" ucapku duduk diruang tamu bersama pak RT

"Bisa komputer?" ucapnya dengan wajah serius bercandanya

"Ndak bisa pak, kalau mengoperasikannya bisa" jawabku dengan gaya gogon

"Koplak kamu itu ar..." telapak tanganya mendorong kepalaku

"Wadiah... Dari dulu pak he he" dengan gaya terjengkang

"Ya, sudah ayo malah tiduran di kursi..." ucapnya mengajakku masuk, aku tertawa selengekan. Ini RT ternyata lumayan bocor juga.

Melewati ruang keluarga tempat nonton TV, kulihat tak ada seorang pun disana. Antara ruang TV dan ruang kerjanya bersekat bifet saja dan disamping bifet ada korden yang menutupi bukan pintu. Pak RT kemudian memberikan sebuah tumpukan lembara kepadaku.

"Ini ketik ulang ar, dah nanti ada uang makan" aku melihat tumpukan itu,

"Wah, ini tugas sekretaris RT pak" ucapku menujuk tumpukan kertas yang tak tahu apa isinya

"Iya memang, tapi dianya gak bisa ngetik, bisanya nulis" ucapnya sambil menarikku duduk di depan komputer

"Iya pak..." ucapku dengan hormat ke arah pak RT

"Aku tinggal, mau tidur dulu" ucapnya santai

"Yaelah paaaak pak. Masa ditinggal" ucapku

"Kalau gak kuat lambaikan tanganke arah kamera ha ha ha" ucapnya sembari meninggalkan aku

Duduk disebuah kursi yang membelakangi korden. Mulai mengetik, tapi biasa aku langsung menghitung jumlah lembar ketikan. 33 lembar dan full tulisan, tidak ada tabel dan tidak ada gambar.

"Hadeeeeh... sudah tempat duduk ndak ada sandarannya lagi" bathinku

Terdengar suara dengkuran keras dari pak RT yang telah tertidur pulas didepan televisi. Dan suara pencetan keyboard menemaniku. Rasanya memang aneh kalau lagi serius tapi ndak ada rokoknya sama sekali.

Nyuuut...

"Aku temani ar..." ucap suara perempuan dan membuatku menegakkan tubuhku

"Bbh bbh bu... ada pak RT" ucapku

"Kan lagi tidur, aku lebih tahu daripada kamu ar, dia kalau tidur mau gempa juga gak bakalan bangun" ucapnya

"Bbh bu... nemani gak papa bu tapi jangan gini..." aku gugup

"Aku enaknya gini kok... udah tenang saja, dengerkan dia lagi ngorok" ucapnya

Nafasku seakan mau berhenti, pelukannya erat pada leherku. Kepalanya tepat disamping kanan kepalaku, aku sedikit melirik kearahnya. Kerudung lengkap, nan panjang itu. wajahnya kelihatan lebih cantik hari ini.

"Bbbh bu... gak bisa konsen ngetik bu..." ucapku,

"Ya sudah pindah deh..." ucapnya, dia melepas pelukannya, aku bisa bernafas lega.

"Bbbh bu ibu ini ada apa? lha malah semakin ndak bisa ngetik" ucapku ketika dia duduk dipangkuanku

"Hi hi hi... iya iya maaf, gitu aja marah ya sudah... huh..." ucapnya ngambek, dan pergi

"Hufthhh... bodoh amat" bathinku

Aku kembali mengetik... sreek...

"Gini gak ganggu kan?" ucapnya, sebuah kursi tanpa sandaran disampingku, dia duduk dan memelukku dari belakang, seperti memboceng di atas dua roda yang berputar

"Terserah ibu maunya gimana" ucapku, aku sudah putus asa untuk memprotes perempuan in

Segera aku berkonsentrasi pada ketikanku tapi aku rasakan sesuatu yang aneh. Bu RT, malah semakin nyaman sepertinya dengan posisi ini. Dia diam dan memelukku dari samping, kepalanya bersandar pada bahuku. Tak ada suara darinya, tapi aku tetap mengetik. Dengkuran keras pak RT masih terdengar jelas, tubuhnya juga semakin bersandar di tubuhku.

Save as... file name : ketikan pak RT... OK

"Bu, sudah aku mau pulang" ucapku

"Jangan dulu masih PW ini" ucapnya, dengan posisi masih memelukku dari belakang

"Apaan bu PW?" tanyaku, sedikit aku membalikan tubuhku

"Posisi wenak hi hi hi" ucapnya, kini dagunya berada di pundakku

"Bu ndak enak bu sama pak RT, pak RT sudah baik sama aku" ucapku, dengan nada memelas dan dahi mngrenyit memohon kepadanya

"Tapi dia bohong sama aku, gimana coba?" ucapnya

Huuuuufffffthhh....

"Ibu cuma ingin cari pelampiasan saja kan?" ucapku, memandang komputer didepanku, ku cari gambar jendela dan "shut down"

"Kok ngomongnya gitu?" ucapnya, sedikit wajahnya berubah cemberut, terlihat ketika aku sedikit menoleh kebelakang

"Ya, kan ibu sudah punya suami. Kalau ndak puas, berarti cari pelampiasan kan? Maaf kalau menyinggung perasaan ibu, tapi jujur aku merasakan ketidak enakan" ucapku

"Sebenarnya pengen marah tapi karena bahasa kamu lembut, jadi males marah, apalagi sama cowok ganteng kaya kamu ar" ucapnya, tangannya meraih daguku

"Jangan mengalihkan isu bu" ucapku, menghindari tangannya yang untuk kedua kalinya ingin menyentuh daguku

"Kalau aku ketemu kamu dulu, pasti aku nikahnya ma kamu ar" ucapnya, memelukku semakin erat

"Ibu itu ngomong jangan sembarangan..." ucapku

"Siapa yang sembarangan... makanya, kemarin ibu bilang sayang saja gak usah cinta... kalau kamu cinta beneran sama aku, aku terus cinta beneran sama kamu gimana?" ucapnya

"Aaaah... bu, bingung sayanya... tak pulang dulu gih bu?" ucapku

Groook groook groook....

"Selama bapak belum bangun, gak boleh pulang" dia memaksaku, terasa paksaaanya dalam pelukannya

"Hadeeeeh... bu, ntar ketahuan..." ucapku, jelas saja aku ketakutan apa lagi di balik bifet ini ada pak RT yang sedang tertidur pulas

"Iya... ya sudah, pulang hati-hati gih..." dengan lembut bu ainun melepas pelukannya, lembut sekali

Aku berdiri dan dengan ditemaninya, melewati pak RT yang sedang tertidur pulas. Ketika sampai diruang tamu.

"Minum dulu tuh, gak menghargai banget udah dibuatin" ucapnya, ketika baru saja aku masuk ke dalam ruang tamu

"Lho kapan buatnya bu?" ucapku, melihat dua cangkir minuman

"Makanya kalau kerja jangan serius-serius amat, amat saja gak serius..." ucapnya, melangkah meewatiku dan duduk terlebih dahulu

"Iya deeeeh...." ucapku dan duduk di kursi rang tamu. Kami duduk bersebelahan, dari sini dapat terlihat pak RT yang sedang tertidur pulas, karena korden yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga di buka lebar

"Slurrrp..."

"Coba lihat bapak kamu" ucapnya sambil menyerahkan sematponnya

"Eh..." aku terkejut ketika bu ainun memperlihatkan gambar-gambar mesra antara pak RT dengan seorang cewek yang aku pernah lihat di festival

"Nih videonya..." ucapnya

Aku semakin terkejut lagi, dan jelas disitu pak RT sedang melakukan kegiatan seksnya tanpa ada suaranya. Aku hanya bengong, baru pertama kali aku melihatnya dan sudah membuat dedek Arta semakin berkembang. Darahku sedikit berdesir ketika melihat adegan yang tampak dari samping, memang video tersebut terlihat sangat jauh dari posisi kedua orang yang bersetubuh itu.

"Kk kk kok ibu bisa punya?" ucapku

"Ngopy dari hapenya tadi malam" ucapnya, tapi wajahnya santai saja

"Jangan ngambek bu, kan sah..." ucapku, mencoba, ah, entah aku itu menenangkannya atau malah membuat semakin runyam

"Sah sih sah... ngomongnya itu yang gak enak" ucapnya

"Apa bu?" ucapku

"Ya, kamu istriku, satu-satunya istriku"

"Ainun bukan istriku, gitu tuh ngomongnya" ucapnya menirukan ucapan pak RT

"Bersyukur banget kalau aku bukan istrinya" lanjutnya

"Yeee... mungkin ibunya yang harus aktif" ucapku

"Sok tahu kamu, emang kamu pernah?" tanyanya, aku menggeleng

"Eh, bentar kok tahu istilah aktif atau tidak? Kelihatannya kamu tahu banyak ya?" pandangannya terarah ke arahku, penuh kecurigaan

"Dari Samo dan Justi bu, mereka kan sudah pernah" ucapku polos, sambil meletakan gelas yang ada di tanganku

"Tapi aku pernah aktif, tapi dianya dingin banget..." ucapnya

"Meneketehek bu... curhat kok sama yang belum pernah" ucapku, dia menoleh dan memandangku

"Yeee... jangan mikir macem-macem bu" ucapku

"Kamu tu yang ngeres" ucapnya

Hening sesaat... aku keluarkan bungkus rokokku dan meminta ijin untuk merokok. Pertama dia menolaknya tapi kemudian memperbolehkannya. Aku kemudian duduk di kursi yang sebelahnya ada pintu masuk rumah. Jadi asap bisa langsung aku buarng keluar, tapi percuma anginnya masuk ke dalam.

"Kamu tahu kenapa aku ingin deket sama kamu?" ucapnya, aku tertegun

"Ibu kok jadi terbuka banget sih bu? Ati-ati lho bu, aku dulu lihatnya ibu itu kalem banget lho" ucapku

"Emang aku kalem, tapi setiap ketemu kamu gak bisa kalem akunya" ucapnya

"Terserah ibu saja, aku nurut bu" ucapku

"Kamu mirip banget sama seseorang, sangat mirip. Cara bicaranya, cara kamu ngrokok, cara kamu minum teh, semuanya mirip... wajah kamu saja mirip, makanya waktu pertama kamu kesini aku kaget.." ucapnya

"Eh... bu, yang berlalu biarlah berlalu... sekarag masa depan ibu sama pak RT" ucapku dan tiba-tiba dia meneteskan air mata

"Kamu ndak tahu perasaanku sih ar... Males banget sekarang ini, dulu dia baiiiik banget sekarang berubah total semenjak dia nikah siri ma temenku" ucap sesengukan, terdengar lirih isak tangisnya

"Eh bu... jangan nagis aduh... bu..." ucapku kebingungan,

Aku lempar dunhill dan kemudian aku duduk disebelah kirinya dan memegang bahunya. Benar-benar bingung kalau lihat cewek nangis. Ketika bahu aku pegang, dia langsung merebahkan tubuhnya ke dadaku. Kucoba satu tanganku menahannya tapi malaha tangan kirikku di tariknya dan digenggamnya. Tangan kananku memegang sandaran kursi tamu ini.

"Semenjak kamu datang, ah, aku merasa hidup lagi..." ucapnya sembari memelukku

"Bbhh bhhh bu... jangan bu... aduuuh..." ucapku kebingungan

"Kamu mau kan menyayangi aku? gak perlu cinta ar... cukup sayang ar..." ucapnya

"Eh anu aduh... bu kalau sayang semua orang juga aku sayangi tet tet tapi ini beda bu... aduh" aku semakin tidak karuan

Pelan, pandangan mata berairnya itu membuat berhenti sejenak. Seluruh tubuhku tak bisa bergerak, wajah itu semakin dekat, dekat dan bibirnya menempel di bibirku. Bibirnya melumat bibirku, bibir yang diam ini. Lama sekali dan aku hanya bisa diam saja dengan bibir tetap tertutup.

"Eghhh hoaaaammmmhhh..... uuuuuuughhh...." pak RT bangun dan dengan cepat bu RT melepaskan ciumannya dan mundur. Kami kemudian bersikap biasa-biasa saja.

"Uuughh kamu disitu to ar..." ucapnya, bangun dan berjalan ke arah ruang tamu

"Di-di dibuatin teh hangat sama ibu pak" ucapku

"Ouwh.... kirain umi tadi tidur" ucap pak RT

"Abah itu yang aneh, masa Arta disuruh ngetik abah malah tidur" ucap bu RT

"Habis ngantuk banget..." ucapnya sambil duduk di salah satu kursi khusus satu orang, sedangkan aku berada di kursi panjang dengan posisi aku di ujung dan bu ainun di ujung satunya lagi

"Ni bah, di minum..." ucap bu RT dengan senyum manisnya

"Tuh Arta dikasih uang jajan, kasihan sudah bantu abah" ucap bu ainun

"Iya tapi nanti, ini abah mau keluar dulu, mau servis mobil dulu" ucapnya

"Oia pak, lha bapak ndak berangkat kerja?" ucapku

"Kerjaan bapak santai kok ar... jadi masih bisa pulang" ucapnya

"Yang penting pulangnya kesini saja" ucap bu ainun mulai sedikit ngambek wajahnya

"Ya pulang sini dong umi, kan sini rumah abah sama umi ha ha ha" ucap pak RT

Kami berbincang sejenak dan kemudian pak RT keluar dengan mobilnya. Aku diantarnya sampai ke depan kandang, dalam perjalanan singkat itu pak RT bercerita kalau dia hendak ke cewek barunya itu. aku hanya diam dan tersenyum selama perjalnan pulang. Setelah sampai, Kulihat mobilnya mulai menghilang dari hadapanku, aku langkahkan kakiku ke kandang. Justi pergi, Samo molor, aku langsung bergerak ke kamar dan merebahkan tubuhku.

Kriiiing kriiiing... bu RT

"Halo..."

"Terima kasih..."

"Eh, bu tet tetapi kan itu salah..."

"Gitu ya sekarang?"

"Jujur ja bu, aku selalu menasehati Samo dan Justi, dan ibu tahu kan... tapi sekarang aku..."

"Ingat, sayang bukan cinta, kalau mereka kan cinta... kalau kamu hindari ibu, awas! dan terserah kamu mau pacaran sama siapa, pokoknya sampe hatiku tenang kembali baru kamu boleh pergi"

"Pelampiasan ya bu?"

"Atau aku perlu cerai suamiku dan nikah sama kamu sekarang?!" (keras suaranya! Aku terkejut,)

"Iya, iya bu iya..."

"Met istirahat ya Arta..."

"Iya bu..." tuuut

Titit titit. Sms.

From : Bu Ainun RT
Ucapin sayang dong

To : Bu Ainun RT
Aduh bu, jangan ya

From : Bu Ainun RT
Gitu ya?

To : Bu Ainun RT
Lha gimana? Aku kan gak tahu?

From : Bu Ainun RT
Met istirahat sayangku
Gitu saja gak bisa, huh!

To : Bu Ainun RT
Selamat istirahat bu ainun sayangku

From : Bu Ainun RT
:)
Met istirahat juga sayangku

"ARGHHHHHHH! Ini bagaimana???! Kenapa malah jadi begini hidupku?!" bathinku berteriak

Pusing, aku benar-benar pusing 7 keliling. Pindah kontrakan? Apa Samo dan Justi mau? Kalau aku pindah sendiri, bagaimana ongkosnya? Salto? Kayang? Mati mati akuuuuu... pilihan berat! Aku harus sembunyikan ini semua dari Justi dan Samo. Haaaah... kenapa jalannya malah semakin parah? Sudah kemarin aku berkelahi lagi, ini malah ketambahan bu RT yang membuatku melanggar ucapanku sendiri. Pusing benar-benar pusing.

Semuanya tampak membingungkan bagiku, aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Kepalaku dipenuhi dengan kenyataan-kenyataan yang bertentangan dengan apa yang aku inginkan. Semuanya, culunku tak bisa menyembunyikannya sedikit demi sedikit Desy, Winda ,Dini dan Dina mulai mengusiknya. Aku takut... benar benar takut...

.

.

(Suara lelaki tua)

"Jadilah berani..."

"Kenapa?"

"Karena kamu lelaki, hadapi semuanya dan akan ada jawabanya"

"Jawaban?"

"Karena tak ada pertanyaan yang diberikan sekaligus jawaban. Kamu harus mencarinya"

"Mencari dimana?"

"Carilah..."

"Aku tidak mengerti"

"Suatu saat kamu akan mengerti"

"Katakan kepadaku!"

.

.


Brak... Brak... Brak...

"Woi ar, bangun!" teriak Samo

"Hah!"

"Hash hash hash hash..."

Aku terbangun dan terperanjat karena teriakan samo, kulihat sudah maghrib, segera aku bangkit dan menuju ke kamar mandi. Ketika aku keluar, sudah ada dua wanita yang tidak aku kenal.

"Lho ar mau kemana? ni kenalin dulu toooo, ini Linda" ucap Justi

"Arta" kataku

"Ini Lisa" ucap Samo

"Arta" kataku

"Aku mandi dulu, dah maghrib..." ucapku langsung melangkah meninggalkan mereka

Sambil buang air besar, pikiranku masih terngiang-iang oleh ciuman tadi. Rasanya aneh, kaya gitu ya kalau ciuman. Dadaku bergemuruh, terasa sangat aneh ketika aku kembali mengingatnya. Bersih-bersih mandi, dan segera kembali ke kamar dan melewati mereka. setelah kewajiban selesai aku kembali keluar dan duduk bersama mereka. Samo dan linda di kananku, sedangkan Justi dan lisa di kiriku.

"Maem dulu ar..." ucap lisa

"Eh, iya makasih..." jawabku dengan pikiran masih melayang

"Kamu mikir apa sih ar?" kudengar suara Justi

"Ar..." suara Samo

"Ar..." suara Justi

"WOI AR!" teriak Justi dan Samo tepat di telingaku

"Eh eh eh iya bro woi... iya...." jawabku

"Kamu kenapa? makan ya makan, yang dilihat makanan bro. Bukan tembok!" ucap Samo

"Yang, jangan bentak-bentak gitu.." ucap Linda kepada Samo

"Oh iya...maaf bro maaf.... he he he..." ucapku

"Kalau ada yang kamu pikirkan, bagi dengan kita jangan di miliki sendiri" ucap Justi

"Aaaah... sudahlah... makan" ucapku dan langsung melahap makanan yang mereka bawakan

Mereka tampak kebingungan dengan sikapku yang benar-benar tidak aku mengerti. Segera kau berdiri setelah makanku selesai. Membuat tiga gelas kopi hitam, dua gelas aku letakan di depan Justi dan Samo serta satu gelas aku bawa ke luar rumah.

"Aku keluar dulu bro, sis... ngrokok" ucapku

"Yaa..." ucap mereka bersama

Dunhill mild, kembali menemaniku. Rokok ini aku kenal sejak kelas 1 SMA. Jari-jari tangan kiriku mengelus lembut bibirku kembali, benar-benar sebuah mimpi di siang bolong. Kupandangi jalan didepan kandangku ini. Sebuah jalan yang selalu aku lewati, tak ada jalan lain. Mungkin jika ada jalan lain, aku akan memilih jalan lain itu. Terlalu, terlalu cepat bagiku untuk merasakan ini semua, tapi benarkah ini semua terlalu cepat? semua tak pernah ada dalam benakku sama sekali.

"Kenapa kamu ini ar? Ndak biasanya kamu kacau" ucap Samo yang kemudian duduk disampingku

"Eh, ndak ada sam" ucapku

"Kalau ndak ada, ndak bakal kamu melamun kaya gitu ar... aku kan tahu..." ucap Justi dengan gaya sok bijaknya, biasa sampingnya ada cewek, otak pasti muter

"Iya tuh kelihatan aneh..." ucap lisa

"He'em..." ucap linda, aku berada ditengah-tengah dua pasang kekasih. Ngenes!

"Semua pasti..." ucap Justi, dengan gaya bijaksananya

"Ada alasannya, memang jus... dan sedang aku cari tahu..." ucapku memotong Justi

"Terus..." ucap Samo

"Ada sesuatu yang tidak aku mengerti, jadi ya dicari dulu kan?" ucapku santai dan tersenyum

"Tapi aneh kamu itu ar... ndak biasanya kamu seperti ini" ucap Justi, tampak lisa dan linda memandang ke arahku dengan posisi memeluk pasangan mereka masing-masing

"Kamu tahu kenapa daun bisa jatuh ke tanah?" ucapku

"Ya tahulah..." ucap Samo dan Justi bersamaan

"Semua orang tahu alasannya, karena daun itu sudah menua jika terjatuh alami. Tapi kalau itu belum tua dan tiba-tiba datang hujan, kenapa harus jatuh ke tanah? Kenapa tidak terbang? Dulu orang menganggap hal remeh, tapi ada seseorang yang mengatakan itu dikarena gaya tarik bumi. Tapi sebelum orang itu menemukan jawaban, dia mencarinya dan butuh waktu bro... begitupula aku..." ucapku

"Ceramaaaaaah..." ucap mereka berdua

"Hi hi hi bener yang dikatakan mas jus, kamu kaya filsuf ya ar..." ucap linda

"Bener, kaya ilmuwan saja..." ucap lisa

"Haaaaash...." ku apit rokokku dengan kedua mulutku dan kedua tanganku menyangga tubuhku dari belakang

Hening sesaat... aku kembali lagi membungkuk dan ku apit rokokku dengan jari-jari tangan kananku. Semakin lama semakin aku tidak mengerti...

"Ar..." ucap lisa, aku menoleh

"Ya..." balasku

"Apa pendapatmu tentang pasangan beda umur?" ucapnya

"Lho kok tanya aneh-aneh sama si ar, ntar ceramah lho..." ucap Justi, aku hanya tersenyum. Mungkin dengan menjawab pertanyaannya aku bisa melupakan beban pikiranku

"Cinta?" ucapku, mereka berdua mengangguk

"Ya sudah, kalian kan lebih dewasa dari aku, seharusnya kalian tahu. Hoooaaaaam... bodohlah..." ucapku, berdiri dan bangkit menuju jalan didepan kontrakanku

Berdiri ditengah-tengah, kemudian mengangkat wajahku melihat langit yang penuh dengan awan itu. aku duduk, kemudian berbaring di tengah jalan. Kulebarkan tanganku dan kakiku, sembari menghisap hisapan terakhir dunhill mildku.

"Kalau gila jangan di sini ar..." ucap Justi, aku menoleh ke arahnya dengan posisi terbaring

"Kalian tahu tidak?" ucapku

'bodoh..." ucap mereka

"Aku mengira semua jalan akan selalu lurus dan halus, tetapi ternyata tidak... padahal aku selalu membayangkan aku bisa melewatinya dengan usaha kerasku dan tidak akan membuatku bingung... itu jalanku..."

"Jangan mengira semua jalan, akan selalu halus dan lurus bro... kalian harus bersiap... dengan segala resikonya... aku harap kalian selalu bersama hingga akhir cerita hidup kalian..." ucapku dengan mata terpejam.

Tak ada suara...

Hening...

"Kamu menemukan kerusakan jalanmu?" ucap linda

"Mungkin..." balasku

"Kenapa mungkin?" ucap lisa

"Karena aku belum tahu jawabannya" ucapku

"Sebenarnya apa to masalahmu?" ucap Justi

"Aku tidak tahu..." ucapku

"Kenapa kamu tidak tahu?" ucap Samo

"Karena aku tidak tahu ini sebuah masalah atau bukan" ucapku

"Aku bingung denganmu ar" ucap Samo

"Aku juga..." jawabku

Aku bangkit, dan melangkah ke arah temapatku duduk tadi. Dengan arah duduk berlawanan dengan mereka berempat. Kunyalakan dunhill mildku.

"Apa kalian tahu yang kalian rasakan sekarang? Cinta atau sayang?" ucapku

"Lho, itu kan sama artinya" ucap Justi

"Kalau sama mengapa memiliki susunan huruf yang berbeda?" ucapku

"Sinonim ar, persamaan kata, woi arta kampret..." ucap Samo

"Kalau itu persamaan kata, kenapa cinta memiliki kedudukan lebih tinggi daripada sayang? Dan kalau sama, kenapa kita bisa menyayangi sahabat kita entah itu laki-laki atau perempuan? pernahkan kalian mengucapkan 'aku sayang kepada kalian sahabat-sahabatku', pernah kan? Dan tanggapan mereka biasa saja..."

"Tapi coba saja kamu mengucapkan cinta kepada sesama jenismu sekalipun itu sahabatmu, pasti kalian akan dikatakan tidak normal... benar bukan?" ucapku, mereka memandangku dan aku memandang mereka yang berada disamping kanan kiriku

"Eh, aku sungguh tidak mengerti, sekalipun aku pernah menikah sebelum..." ucap lisa terpotong karena Samo menghentikan ucapan lisa

"Jika apa yang aku katakan benar... berarti sayang dan cinta berbeda bukan?" ucapku

"Memang bedanya sedikit, tapi itu terkait perasaan..." ucap linda

"Ya, memang perasaan bukan logika... mungkin memang benar seperti apa yang pernah aku baca, semua memiliki perbedaan. Walau sedikit, seperti benci dan cinta..."

"Aaashhh... aku ingin tidur awal hari ini... mungkin malam nanti aku akan menemukannya" ucapku bangkit dan berjalan menuju kamarku.

Aku matikan lampu, kurebahkan tubuhku dan mulai menata posisi untuk menenangkan hati dan pikiranku. Mencoba untuk tertidur setelah kelelahan hari ini, aku benar-benar bingung. Ah, entah kenapa semua itu bisa keluar dengan sendirinya. Keluar tanpa aba-aba, mungkin ini bisa jadi sebagai ajang pembelaan atas perasaan yang aku rasakan saat ini. Sebuah pembelaan, agar kelak aku tidak dipersalahkan. Atau mungkin sebuah pembelaan dipengadilan otakku, yang dulu pernah mengadli kedua sahabatku tapi kini melakukan apa yang... argh! Kampret. Tidur!



---------------------​

Diluar kontrakan, Arta yang sebelumnya sudah memulai mimpinya. Samo dan Justi masih berada diluar, bersama dengan pasangannya. Justi dengan Linda sedangkan Samo dengan LIsa. Mereka berempat, tampak sedikit aneh dengan sikap Arta malam ini, jelas saja, karena Arta tidak pernah sebingung dan segelisah ini.

"Sahabat kamu itu butuh cewek yang ngerti pikirannya mas" ucap linda kepada Justi

"Heh gimana? Eh apa tadi, oia.. kok adek tiba-tiba bilang gitu?" ucap Justi

"Kenapa cemburu? Hi hi hi... kalau aku sama dia, hancur hidupku gak ada bahagianya... dia butuh cewek pinter..." ucap linda

"Bener tuh kata mbak linda, cariin yang kasihan tuh..." ucap lisa

"Lha? Tipe dia kayak apa saja aku ndak tahu" ucap Samo

"Lho masa sayang gak tahu?" ucap lisa kepada Samo

"Kamu juga gak tahu mas?" ucap linda kepada Justi

"Lho kalian kan sahabatnya kok malah gak tahu" ucap linda

"Karena dia ndak pernah dekat sama cewek, pas SMA-nya" ucap Justi dan Samo bersamaan

"Dah ndak usah dibahas lagi... puyeng, ntar dia juga ngomong sendiri kok tenang saja" ucap Samo

"Ya udah, yang yuk..." ucap lisa

"Eh, jus aku nginep.." ucap Samo

"Oke.." ucap Justi

Samo dan lisa kemudian pergi meninggalkan Justi serta linda sendiri didepan kontrakan. Samo dan Lisa beranjak pergi dengan mobil Lisa, menuju rumah Lisa. Setelah mobil Lisa, yang membawa beserta Samo meninggalkan Justi dan Linda, suasana menjadi sangat sepi.

"Kamu sayang..." ucap linda ketika hanya tinggal mereka berdua di tempat ini

"Cinta..." ucap Justian

"Iiih... mas lucu deh..." ucap linda sambil memeluk justi dari samping

"A-adek, belum kebiasa mbak, ka-kalau manggil, Adek" jawab Justi, terlihat otaknya sedikit berputar karena adanya pelukan

"Ntar juga biasa sendiri..." ucap Lisa yang bersandar pada bahu Justi

"em-mbak..." terlihat justi gugup

"Iya?" jawab Linda, menoleh ke arah justi

"Be-begini mbak, itu, anu, eee... kata Arta itu" sangat gugup Justi ketika berbicara kepada Linda

"Ada apa sih? Biasanya juga gak gagu kaya gini, iya sih dulu, tapi kemarin-kemarin kan udah enggak" ucap Linda tampak sedikit jengkel. Justi menunduk ketakutan, tapi tangan Linda menaikan dagu Justi.

"anu, gini, itu, mmm... aku kan ma-masih kuliah mbak. kata Arta, ka-kalau kelamaan kuliah, nanti mbak di ambil orang" ucap Justian

"eh, maksudnya?" selidik Linda, tapi terlihat Linda tahu arah pembicaraanya

"Gini, mbak, mbak nunggu aku ya? nanti kalau aku lulus to mbak, aku mau kerja terus lamar mbak" ucap Justi, kelihatan sekali kepolosan Justi. Ketika mata Justi melirik ke arah Lnda, Linda memandangnya dengan wajah tenang

"4 tahun lagi ya? Hmmm... 29 dong umurku" jawab Linda, Justi mengangguk

"Emang situ mau sama aku? Banyak mahasiswi kok milih yang janda?" ledek Linda, tapi Justi kelihatan lebih serius saaat ini

"Mau nunggu aku?" Justi, mencoba memberanikan diri, memandang Linda.

"Eh... maksudnya?" ucapnya sedikit bingung

"Mau nunggu aku bu-buat nikahin kamu"

"Ta-Tapi aku ndak tahu, bisa langsung dapat kerja atau tidak" Seketika itu, Linda memndahkan dagunya tepat dibahu justi, memandangnya.

"Nembak saja belum asal nyuruh..." ucapnya, Justi kaget, memang selama ini belum pernah Justi mengungkapkan rasa cintanya

"Eh... itu anu... mmm..." salah tingkah justi ketika ditanya hal seperti itu

"Apa?" ucap Linda, sedikit tersenyum. Justian membalikan tubuhnya, menghadap tepat ke Linda

"Mau kan jadi pacar aku?" dengan tegas

"Mau... tapiiii.. situ mau gak punya pacar galak kaya aku?" ucap Linda, mengubah pandangannya ke depan, sedikit dia melirik ke arah Justi

"Mau... mau bangeeet..." Jawab Justi

Tampaknya, Justi, walau otaknya tidak bisa berpikir normal seperti Arta dan Samo, dia ingin memiliki Linda. Jujur dalam hati Linda sedikit ada rasa ragu, ya, karena masa kuliah adalah masa dimana ruang lingkup hidup seseorang sangat luas. Menemukan seorang wanita, itu cukup mudah bagi Justi, keraguan itu sedikit sirna untuk malam ini. Dengan kemantapan hati, Linda yang sadar akan dirinya yang penuh dengan ego, memantapkan hati kepada lelaki o'on-nya. Ya, karena dia yang paling bisa jujur terhadap tingkah lakunya yang sok.

Malam ini, Justi mengantarkan Linda hingga dirumahnya. Dengan mobil Linda, Justi kembali ke kontrakan, masih belum berani Justi untuk menginap. Arta? Sepulangnya Justi dari tempat Linda, dia masih terlelap dalam lelahnya malam. Justi segera menutup pintu kontrakan, dan merebahkan tubuhnya. Sedikit ada tujuan dalam hidupnya, tujuan yang sudah diautarakan kepada Linda. Dengan catatan, ketika otaknya berputar.




---------------------​

Kriiing... kriiing....

"Egh... agh.... hoaaaam..."

"Ya halo Des... egh hoaaam..."

"Sudah bobo ar?"

"He'em... ngantuk banget des..."

"Oh ya sudah, aku kira belum bobo, Met bobo ya... "

"Egh, iya, ada apa?..."

"Cuma pengen ngobrol saja..."

"Ugh hoaaaammmmhhh... ya aku temenin des"

"Makasih ya, kamu kalau habis bangun tidur beda ya cara bicara kamu"

"Eh eh itu a-anu des... ka-kalau habis bangun ti-tidur mesti gitu"

"Hi hi hi... kaya tadi saja enak dengernya"

"Eh..."

"Kok malah diem, aku tu masih penasaran tahu gak ama yang kamu omongin waktu itu. bangun dulu deh, buka mata duduk, ngrokok juga gak papa"

"Anu itu aku ndak ngrokok kok.... te-terus ma-maksud kamu a-apa?"

"Jujur dan bersama... dan yang paling heran waktu dipantai sehabis kamu lihat foto cowokku kok kelihatannya kamu tahu sesuatu deh tentang cowok aku"

"Li-lihat saja baru saja des"

"O ya sudah ar, sambung kapan-kapan lagi saja. aku mau diajak temen kosku nyari cemilan kali aja ada yang buka jam 12 gini. Daaaah" tuuut

Semakin kesini aku semakin penasaran dengan kata-kata Arta. Kalau aku ingat-ingat lagi, memang benar kata Arta. Kalau sayang harusnya jujur dan akhir-akhir ini mas rian tampak sedikit aneh.

"Say, nih ada kacang rebus enak" ucap teman kosku setelah aku dan dia berhenti dipedagang kaki lima

"Ya, satu, kamu beli berapa?" ucapku

"Lima bungkus, yayang lagi dikos, pasti makan banyak tuh" ucapnya

"Tambah ndut lho ntar" ucapku

"Biarin, biar cewek-cewek jadi gak suka ma dia ha ha ha" ucapnya

Selang beberapa saat, setelah mencari camilan di pinggiran jalan. Aku pulang dengan mobil milik teman kosku ini. Aku dan teman kosku ini sudah seperti keluarga sendiri, tak ada yang dirahasiakan. Malam ini dalam perjalanan pulang, aku beranikan diriku untuk bertanya hal yang privasi kepadanya, tapi takut juga.

"Napa lu diem Des?" tanya temanku yang mengemudi

"Eh, gak papa, santai aja" ucapku, pikiranku masih menerawang mengenai sikap arta setelah melihat foto pacarku dan sikap pacarku sendiri yang akhir-akhri ini aneh.

"Ha ha ha, belum dijatah lu sama cowok lu?" ucapnya, satu tangannya mendorong lenganku

"Jatah-jatah, jatah apaa?" aku balik bertanya

"Yaelah, lu belum pernah Des? Gituan ama cowok lu?" tanyanya, sesekali menoleh ke arahku, aku menggeleng

"Kamu udah gituan ma cowok kamu?" tanyaku

"Yaelah, biasa kali kaya gitu. Jaman modern kaya gini Des, lagian udah sejak SMA, dia kan kakak kelas gue" ucapnya santai

"Kamu gak nyesel?" tanyaku, aku semakin memburunya, karena memang aku benar-benar penasaran tentang pemikiran-pemikiran seperti ini

"Awalnya sih iya, semakin kesini semakin biasa saja. aku juga semakin cinta ma dia" santai sekali dia,

"Hmmm..." aku hanya bergumam dan mengangguk-angguk saja, dia menoleh ke arahku sejenak. Mata kami saling berpandangan, temanku kemudian berbalik melihat ke jalan didepannya

"Kalau lu belum yakin ma cowok lu, ya jangan... " aku semakin bingung dengan temanku satu ini

"Jujur gue kasih tahu lu, ngelakuin kaya gitu resikonya gede. Kalau cowok lu beneran setia oke aja sih, tapi kalau setelahnya dia pergi? Nah, berarti kita sebagai cewek dijadiin permen karet ha ha ha" tawanya lepas dan santai sekali, aku malah semakin aneh dengan sikapnya

"Lha kamu santai banget..." ucapku

"Ha ha ha... .... ...." tawanya semakin pelan dan semakin tak terdengar

"Gue juga dulu takut, tapi udah terlanjur kepalang basah. Gue juga dulu mikir kalau seandainya dia ilang gue gak tahu harus gimana. Karena belum tentu semua laki-laki udah make batangnya, kalau dia ilang terus gue dapet yang alim dan gue cinta, susah di guenya. Takutnya, cowok baru gue, gak mau nerima gue. Tapi itu dulu, sekarang... gue dah gak mau mikir lagi, dia mau pergi, mau salto, mau kayang, terserah dia. Dan kalau dia pergi, gue gak tahu harus gimana... moga aja, beneran dia suami gue tapi kalau gak? gue pikir belakangan"

"Gue juga dah tahu kalau dia main sama cewek lain dari sematponnya, tapi dianya gak tahu kalau gue tahu. Gue ikutin aja permainannya, dan disitu gue sedang nyusun rencana, biar dia nyesel banget waktu kehilangan gue. Gue pasti bisa, masa kita cewek yang harus kalah mulu" ucap temanku yang sedang menyetir mobil ini, matanya terlihat santai ketika menceritakan semuanya kepadaku

"Hei say..." ucapnya

"Egh ya..." jawabku

"Jangan lu kasih tu cowok lu... jaga tuh selaput, kasih ma orang yang bener-bener ketika lu kasih dia gak bakalan bisa nglepas lu. Ya suami lu ha ha ha...."

"Jaga des... jangan lu tiru temen-temen kos lu, terutama jagan tiru gue, oke?" ucapnya

"Eh iya say..." jawabku

"Udah jangan dipikirin... jalanin dulu, kalau emang dia gak cocok buat lu pastinya bakal ada cowok yang sudah disiapin buat ngejagain lu, okay? Smile dung say" ucap teman kosku ini

"Eh iya..." aku tersenyum

Sekembalinya dikos, aku merasa memang ada sesuatu yang aneh dengan pacarku. Ah, padahal tadi udah ada teman ngobrol, kalau aku telepon lagi pasti ganggu dia. Sudahlah, aku telepon mas-ku saja.

To : Yayang
Mas, lagi apa? dimana?

From : Yayang
Lagi di kos yang
Udah malem bobo yang

To : Yayang
Iya, Cuma kebangun saja ini barusan
Kangen sama mas

From : Yayang
Iya sayang, ams juga kangen
Bobo yuk, mas juga udah ngantuk

To : Yayang
Iya masku,
Love You :*

From : Yayang
Love You too :*

Bohong lagi, bohong lagi... huh! Tadi aku sms pacar teman kosnya katanya lagi pergi. Pacar teman kos masku itu memang baik banget sama aku, sering dia nginap di kos pacarnya yang juga kos pacarku. Kamu bilang dikos, tapi pacar teman kosmu bilang lagi pergi, padahal tadi pesanku dibales pas aku telepon Arta.

Aku rebahkan tubuhku di tempat tidur, kulepas semua pakaianku dan hanya mengenakan tank-top dan celana payet. Kutarik selimut...

"Kenapa aku jadi kangen diselimuti sama... ah, bodoh-bodoh... aku dah punya pacar malah mikir yang lain huh!" bathinku
 
Terakhir diubah:
Scene 15
Aku tidak ingin terjadi lagi...



Ana dan Ani


Alma


From : Bang Jali
Ditunggu Raga di halte

To : Bang Jali
Siap!
Itu adalah sms dari bang jali subuh tadi. Aku sekarnag sudah berada di halte tempatku biasa mencegat bis ketika hendak kuliah. Tak lama kemudia sebuah mobil yang sangat pendek datang.

“Hai Ar... sini” ucap mas raga

Aku segera berlari ke arahnya, aku lihat mobil ini sangat keren. Kaca mobil turun sendiri seperti kepunyaan Desy dan Winda.

“Malah berdiri ayo...” ucapnya

“Eh, iya mas...” ucapku, aku melihat sebentar, kubuka pintu mobil dan kutarik

“Diangkat ke atas ar...” ucap mas raga seakan dia tahu kegelisahan hatiku, karena tak bsa membuka pintu mobil

Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh mas raga, aku bisa membukannya. Aku terheran-heran dengan semua yang ada dikota, benar-benar tidak sama dengan didesa. Tempat duduknya saja pendek banget tapi sangat nyaman. Ketika pintu tertutup, serasa di kulkas kalau menurutku. Sama kaya di mobil Desy, Winda dan Dini. dingin. Dibelakang ku ada satu tempat duduk lagi, hanya satu biasanya ada dua atau berapa gitu tapi ini hanya satu dan cukup untuk satu orang.

“Kenapa ar?” ucap mas raga beriringan dengan mobil yang mulai melaju

“Aneh saja mas, orang kota mobilnya aneh-aneh...” aku bersandar di sandaraan tempat duduk ini, ah, terasa sangat empuk sekali

“Ha ha ha, kamu ini ar, mobil sport ini namanya...” ucapnya, aku meliriknya, ah, dasar orang kaya

“Boleh ngrokok?” sambil bangkit dan mengeluarkan rokok dari saku celanaku

“Buka saja, pencetannya ini.. dah santai saja ar...” tangannya meraih pencetan yang ada dipintu mobil dan terbukalah kaca mobil

Mobil melaju dengan tenang tanpa suara bising dari mesin mobil. Sebatang rokok dunhill menemani keheningan diantara aku dan mas raga. Kelihatannya memang orang ini adalah orang baik, tidak ada wajah jahat didalamnya.

“Mas kita mau kemana?” ucapku

“Ke kota sebelah, ada bisnis disana” ucapnya tersenyum

“Kok malah ngajak aku mas?” ucapku

“Pengen saja...ha ha ha” ucapnya

“Yah... emang bisnis apa mas?” ucapku

“Mau tahu?” ucapnya

“Ya kan... mas ngajak aku, mase mbingungi owk (mas-nya membingungkan)” ucapku

“Yo wes tak critani wes (ya sudah aku ceritakan)” ucapnya, dalam mobil berjalan aku jadi bingung dengan bahasa mas raga

“Kenapa? bingung aku bisa bahasa daerah kamu? ha ha ha aku Cuma bisa tapi dikit, ha ha” ucapnya

“Aku kira mas dari daerah tengah atau timur juga mas...” ucapku

“Ha ha ha... gak juga Cuma punya temen saja dari daerah-daerah sana pernah di ajari” ucapnya

“Terus, bisnis apa mas?” ucapku

Mas Raga kemudian bercerita, keluarga yang dia seslalu sebut, entah itu kelompok atau apa, aku tidak tahu. Dari setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya, dia selalu mengatakan bahawa kita bukan mafia, bukan sebuah kelompok yang mengutamakan kekerasan. Keluarga ini, keluarga yang telah dibentuk oleh kakeknya, memiliki beberapa usaha dan dikenal juga sampai diluar kota. Keluarga yang besar, dengan jaringan yang sangat luas, menjauhi semua jenis tindakan kriminal, karena keluarga ini adalah keluarga yang bersih.

Keluarga ini berdiri bersama dengan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Kakeknya. Banyak perusahaan lain yang menjalin kerjasama dengan perusahaan milik keluarga ini. Sekalipun memiliki usaha yang besar, ketika bersaing pun selalu sportif, malah selalu mengajak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak pada bidang yang sama. Tapi dengan ada kerja sama, kadang ada perusahaan rekanan yang memanfaatkan nama keluarga ini untuk hal yang lain, pemerasan pada pihak-pihak tertentu sebagai permisalan.

Tujuan keluar kota bersama mas raga, untuk menemui salah satu rekanan. Dari informasi yang didapat dari anggota keluarga, perusahaan tersebut melakukan tindakan pemerasan kepada pihak tertentu, dan itulah yang membuat mas raga turun tangan.

“Dari penuturan anggota, dia melakukan pemersanan atas nama kita. Itu yang tidak aku suka, dan tidak ada dalam kamus kita. Aku kesana selain meminta kejelasan, juga ingin memutuskan hubungan saja” jelas mas raga panjang lebar dan sebatang dunhill telah habis kembali

“Hei, malah diam saja...” menyenggol lenganku, aku menoleh ke arahnya

“Bukan begitu mas, kalau mereka ingin melakukan pemberontakan kenapa mas hanya datang denganku saja? ini berbahaya mas... mereka juga membuat kelompok baru dan pasti itu sangat berbahaya” ucapku

“Ha ha ha, tenang saja ar, mereka tidak akan berani” tawanya keras, hingga wajahnya sedikit terdongak ke atas

“Mas, mungkin itu pemikiran mas. Lihat saja kondisi sekarang, jika mereka membuat kelompok baru, bisa saja mereka mencoba mencelakai mas. Mas tidak ada, mereka akan mengambil alih keuntungan dari perjanjian. Dan kemudian bisa saja menobatkan diri sebagai kelompok pengganti. Ingat mas, di ibu kota mas pemimpinnya dan kalau mas tidak ada pasti akan ada kerusuhan di keluarga kita. Itu akan dimanfaatkan oleh mereka yang menjadi musuh kita” jelasku, menyulut sebatang dunhill kembali

“Lebih baik hubungi yang lain...” lanjutku

“Tenang ar... sudah ada pengganti jika terjadi sesuatu padaku, tapi santailah... we will be fine” ucapnya

“Up to you lah mas...” jawbaku, dan dalam hati aku merasa sedikit ada rasa takut, tawanya kembali terdengar

Kukeluarkan sebagian tubuhku, dan merokok dengan laju mobil yang sangat cepat. laju angin membelai rambut cepakku ini, angin serasa ingin menamparku dan menyuruhku kembali pulang. Hingga sebuah gapura besar bertuliskan “selamat datang”, menyapaku. Mobil kemudian melaju dengan santai.

“Disini ceweknya cantik-cantik lho ar, mau gak?” ucapnya

“Ndak bakalan ada yang mau mas ma aku, kalau sama mas raga mungkin pada keppincut” ucapku

“Ha ha ha, akunya yang gak mau ar, sudah punya satu... gak lah...” ucapnya

‘tapi sebelum punya pasti sudah...” godaku

“Ha ha ha... gak juga ar, Cuma sama dia, dia pertama sampai terakhir” ucapnya memandangku dengan wajah tersenyum,

Matanya tampak jujur, ah, seandainya ada seorang wanita yang benar-benar bisa menjadi milikku. Menjadi seorang pendampingku, dari sekarang hingga nanti. Tapi, mustahil, kuliah saja malah diributkan dengan urusan “keluarga”, halah, malah kayanya aku ini seperti tukang pukul disini.

“Mas, mbok beli minuman kenapa? haus mas, haus” ucapku, mengelus tenggorokanku

“Makanya ngomong, mana ada yang tahu maksud orang bisu ha ha ha” sekali lagi dia tertawa, kampret

“Ini juga sudah ngomong mas, woi! Mas, beli minuman!” teriakku keras dalam mobil, dia menoleh ke arahku. Sekali lagi, tawa keras terdengar di telingaku.

Mas raga berhenti, di sebuah toko bertulilkan “K-Mart”. Sebelumnya aku ditawari minuman yang aku inginkan, aku hanya meminta kopi, kopi instan siap minum. Orang ngrokok suruh minum air mineral, mau kiamat apa? Selang beberapa saat mas Raga kembali dari tokok itu.

“nih” membuka pintu mobil dan melemparkannya ke arahku,

Sekali lagi aku menyulut dunhill, ditemani dengan angin yang kembali berhembus seiring laju mobil. Ah, memang benar, ciptaan Tuhan paling indah di dunia ini adalah Wanita. Beberapa kali aku melihat wanita-wanita yang cantik, seksi, ada juga yang berpakaian terutup. Ah, seksi... Ah, cantik... Ah, manis... Ah, aku jomblo. Kampret!

Selang beberapa saat, mobil memasuki sebuah gedung yang sangat besar, dengan tembok terbuat dari kaca-kaca. Aku turun bersama mas raga dan memasuki gedung, kami disambut oleh dua orang gadis belia, mereka kemudian memeperkenalkan diri mereka. ani dan ana, kakak beradik, ana adalah kakaknya dan ani adalah adiknya. Ana berumur 16 tahun dan ani berumur 15 tahun, hanya terpaut satu tahun. Mereka berjalan didepan kami dan mengarahkan kami menuju ke lantai atas dengan menggunakan sebuah kotak yang tiba-tiba bergerak ke atas. Entah kenapa, ada sesuatu yang aneh ketika aku melihatnya. Ayolah, jangan sampai aku harus berurusan dengan perempuan lagi.

Memasuki sebuah kotak besi, pintu terbuka dan tertutup sendiri.

“Mas ini apa? Gempa?” kedua tanganku menekan dinding kotak

“Ini lift... lebih modern daripada tangga berjalan ha ha” Ah, sial sekali lagi tawa mas Raga merendahkan aku, aku ini ndeso mas, ya bener ndeso. Lha? Wajarkan?

“Anda belum pernah naik?” ucap Ana, dan aku menggelengkan kepala

“Hi hi hi...” mereka berdua tertawa, sial, mereka juga menertawaiku.

Mas raga mengedipkan mata kearahku, dengan gerak tangan meremas tepat dibelakang pantat Ana. Aku menggelengkan kepala, dan membuang mukaku. Mas raga malah tertawa terbahak-bahak ketika melihat tingkah anehku. Sial, kenapa aku tidak bisa seperti Justi dan Samo, atau siapa saja, yang sekiranya ketika melihat cewek bisa pdekate atau apalah. Ngenes juga nasibku ternyata.

Lift berhenti, Ana dan Ani berjalan didepan kami, kami memasuki ruangan. Disana ada meja makan, sebuah ruangan dengan meja bundar yang berhadapan dengan lilin ditengah-tengah dua meja tersebut. Ruangan berbentuk persegi panjang, kanan kiri tidak ada jendela hanya ada satu jendela besar yang berhadapan dengan pintu masuk. Sebelum jendela terdapat dua buah tiang besar, di kanan kiri. Ada dua buah pot besar yang berada di antara jendela dan tiang besar tersebut, tetapi letak pot tersebut masih bisa dilihat dari pintu masuk dan berada di kanan kiri tiang besar. Mas raga kemudian diarahkan untuk duduk kursi di salah satu meja bundar, Meja yang terdekat dengan jendela. Aku berdiri dibelakang mas raga, benar kan? Aku mirip tukang pukul.

“Ditunggu sebentar ya pak raga” ucap Ana, membungkukan tubuhnya

“Kami akan memanggilkan pak pengu” ucap Ani, tak kalah sopan dengan Ana

Selang beberapa saat, orang yang disebut pak pengu datang dengan dua orang berbadan besar. Pak pengu kemudian menyalami mas raga, dan aku. Orangnya sama seperti Mr. Penguin yang pernah aku baca di komik, pendek dan gemuk. Selepasnya dia duduk di kursi meja bundar satunya. Mas raga kemudian meminta tambahan satu kursi untukku, dan aku duduk disebelah mas raga. Wajah mas raga tampak tenang dan santai.

Selang beberapa saat, makanan datang tapi aku tak langsung memakannya. Aku menunggu mas raga makan, karena yang ada di meja adalah pisau dan garpu, tak ada sendok. Kuperhatikan cara mas raga makan dan dengan santai dia melihat ke arah pak pengu. Aku ikuti cara makan mas raga benar-benar sesuatu yang aneh, masa makan pakai garpu dan pisau saja.

“Aku tidak tahu kenapa selama ini tak ada pembagian hasil sesuai dengan perjanjian?” ucap mas raga membuka suara ketika dia sedang menyantap makanannya. Datar tanpa awalan apapun.

“Ha ha ha... tenang raga, kita bisa bicara sehabis makan bukan?” jawab pak Pengu yang telrihat santai juga menjawab pertanyaan dari Mas Raga

“Kita bisa melakukannya dengan makan, hal yang mudah bukan?” dengan gaya seorang pemimpinnya,

Haduh, aku malah bingung sendiri, mereka mirip orang mau perang.

“Okay, okay... perusahaan sedang dalam masalah keuangan jadi kita belum bisa mengirim” jeas pak pengu, datar dan pandangannya sedikit tajam ke mas Raga

“Tapi itu sudah enam bulan, seandainya tidak ada, kenapa tidak mengabari keluarga di ibu kota?” ucap mas raga, yang kemudian melihat pak pengu dengan sangat tajam

“Dan ada laporan perusahaan ini melakukan pemerasan atas nama keluarga” ucap mas raga mulai serius

“Ha ha ha... masa? Kami tidak pernah melakukannya” ucap pak pengu, dengan tawa yang keras

“Aku tidak tahu, apa kamu masih bisa dipercaya atau tidak, tapi nampaknya kita harus memutuskan hubungan. Tak masalah jika pembagian hasil tidak diberikan” ucap mas raga sedikit jengkel

“Ayolah kita bisa bicarakan ini, tak perlu emosi” ucap pak pengu, aku masih diam dan memakan makananku. Tatapanku tak lepas dari kedua pengawal pak pengu

“Lebih baik kita buat perjanjian pemutusan kerjasama. Kita akan mendapatkan keuntungan, yang penting nama keluarga di ibu kota tidak tercoreng hanya itu saja” ucap mas raga

“Kau bodoh raga, kau bermain api kawan... itu terlalu berbahaya...” ucap pak pengu

Dua pengawalnya kemudian bergerak dengan cepat...

DOORRRRRR....

Aku terkejut, sebuah tembakan mengenai mas raga. Aku menoleh dan langsung mengangkat meja bundar tersebut. Aku tubruk mas raga, agar tiarap. Aku tarik tubuh mas raga, sedikit memapahnya, dan menariknya ke arah tiang. Aku bersembunyi di tiang besar sebelah kanan dan mas raga berada di sebelah kiri.

“Ha ha ha... kamu mau kemana raga. Pintunya ada disini, kamu terlalu berani datang sendiri ke kandang macan. Aku sudah bosan jika harus berbagi hasil, kami yang bekerja tapi kalian semua bajingan hanya mengambil keuntungan. Aku sudah hafal sikapmu yang selalu ingin menyelesaikan sendiri, jadi aku memang tidak membagikan hasil beberapa bulan ini, agar kamu datang kemari. Dan seperti yang aku duga, kamu datang sendiri” ucap pak pengu, aku melihat mas raga kesakitan, bahu kanannya tertembak

“SIALAN KAMU PENGU! Kau manfaatkan keluarga kakek untuk memeras! Dasar bajingan!” teriak mas raga, dengan tangan memegang bagian bahu yang tertembak

“Ha ha ha ha... oia? Jelas itu menguntungkan bagi kami, semua tampak ketakutan ketika mendengar nama kakek sialanmu itu ha ha ha... itulah sebabnya dulu aku bekerjasama dengan kakek sialanmu itu” teriaknya, yang tak terlihat ekspresi wajahnya

“Bajingan kamu jangan sekali-kali menghina kakekku! Arghhh...” teriak mas raga

“Oia, lihat sekarang kakekmu sudah mati ha ha ha... tujuanku memang tercapai, jika kamu mati aku bisa memanfaatkan ketidak adaanmu untuk menguasai ibu kota. Kalian berjalan terlalu lurus, padahal kalian bisa mengambil semua yang kalian inginkan!” ucap pak pengu

“Keluarga kakek tidak sebajingan kamu!” teriak mas raga

“Berteriaklah... berteriaklah... karena hari ini adalah hari terakhirmu menghirup udara segar” teriaknya keras, semua kondisi disini menguntungkan pak pengu, benar-benar sialan!

Aku melihat mas raga, nafasku benar-benar ketakutan. Kulihat dia merintih kesakitan, darahnya mengalir. Aku tidak ingin dia mati... tidak ingin... rintihannya menyayat relung dadaku. Rasa takut akan kematiannya, matakku terbelalak tatkala dia menahan sakitnya.

“Ar... tenang, aku akan membawamu keluar dari tempat ini arghhh...” ucapnya lirih dengan nada kesakitannya

Dia tidak bisa... dia tidak bisa... aku menoleh ke tembok yang berada didepanku... jantungku berdebar, memompa darah dengan cepat ke seluruh tubuhku.

Deg...

Deg...

Deg...

“Ar, lindungilah semuanya...”

“Kamu sayang kan dengan orang-orang disekitarmu...”

“Berjanjilah, lindungilah semuanya... aku mohon....”



--------------------
Raga yang berada di salah satu tiang, memandang ke kanan melihat seorang yang dia bawa dari ibu kota. Mata raga tak lepas dari sesosok tubuh yang sedang menatap kosong di tembok didepannya. Tiba-tiba, raga melihat sesuatu yang berubah di dalam sesosok tubuh itu, mlihat sesuatu yang berubah di dalam tubuh Arta. Arta, kemudian memukul vas bungan besar di samping kanannya, yang bentuknya sama persis dengan yang ada disebelah kiri tubuh raga terluka. Arta kemudian mengambil pecahan vas bungan tersebut, dengan pandangan masih memandang tembok itu.

“Ar... bersiaplah aku akan menembaki mereka dan kamu segera lari” ucap raga, tapi yang dilihat raga sekarang berbeda, Arta menoleh ke arah raga.

“Mata itu... matanya...” bathin raga

“Ha ha ha raga, keluarlah, mau sampai kapan? Akan aku tunggu sampai kau mati kelaparan ha ha ha ha” teriak penuh tawa pengu, rekan bisnis raga

Mata raga dan mata Arta berpandangan, mata yang membuat takut raga. Seakan semua yang ada dalam ruagan ini merasakan aura ketakutan, ya, aura itu keluar dari dalam diri Arta. Arta mengubah posisinya menjadi berjongkok.

“Tetap disitu...” ucap Arta, datar, tegas dan aura Arta membuat bulu halus dalam tubuh Raga berdiri

Arta kemudian memandang kaca di jendela, melihat posisi pengawal yang menembak mas raga tadi. Dengan cepat sangat cepat, gerakannya diluar batas normal seseorang. Arta keluar dari tiang besar, berlari ke arah belakang tiang dimana raga bersembunyi sembari melempar pecahan kaca. Pengawal tersebut terkejut dan salah satu tangan dari pengawal terkena pecahan keramik itu. sebuah suara tembakan terdengar namun Arta langsung melompat kembali ke arah yang berlawanan sembari melempar sebuah pecahan kaca lagi dan tepat terkena pada tangan pengawal satunya lagi, pistol terjatuh. Pengu tampak terkejut.

Tubuh Arta, jatuh dan dia langsung bangkit berdiri. Berlari ke arah pengawal yang baru saja terkena pecahan kaca. Dia melompat dan mendaratkan dua kakinya secara bersamaan di dada pengawal tersebut. Pengawal tersebut dijadikan sebagai pijakan untuk melompat diatas pengu yang sedang terduduk, terkejut seakan tidak percaya dengan gerakan cepat Arta. Arta yang semula kedua kakinya menendang pengawal pertama, melompat diatas pengu dengan kaki kanannya terangkat ke atas sedang kaki kirinya sedikit tertekuk. Arta melayang dan langsung kaki kanannya melakukan tendangan sabit kebawah tepat di kepala pengawal kedua. Dua pengawal jatuh, pengu berdiri dan mengambil pistolnya hendak menembak Arta. Arta yang mendarat dengan sempurna kemudian menunduk dan bergerak cepat seperti ular menuju kebawah pengu.

DORRR... sebuah tembakan yang meleset...

UPPER CUT!

Tepat di dagu pengu hingga dia terangkat ke atas, cepat Arta mendarat dan menendang pistol pengu, begerak kebelakang menendang pistol pengawal kedua, dan kemudian bergerak lebih cepat ke arah pistol pengawal pertama yang tergeletak. Pengu yang terangkat ke atas jatuh, dan langsung ditarik oleh Arta. Di banting sebagian tubuh pengu ke meja, sebuah pisau ditancapkan oleh Arta di tangan kiri pengu.

“ARGHHHH!” teriak pengu

Tangan kanan pengu dipiting kebelakang dan ditarik ke atas. tangan kanan pengu kemudian diikatkan ke dasi pengu, sehingga ketika tangan itu menarik kebawah pastilah lehernya tercekik.

“Heghhh.... ampppeuennssst....” ucap pengu yang kesulitan berbeicara

Arta, mengambil sebuah piring dan dihantamkan ke kepala pengu. Raga berdiri, tepat didepan jendela seakan tak percaya akan gerakan Arta. Gerakan yang lebih cepat dari yang pernah dia lihat sebelumnya. Dua pengawalnya tidak berdaya, karena sudah tidak bisa lagi bergerak ketika melihat raga membawa senjata dan menodong ke arah mereka.

“PYAARRR...”

“ARGHHH....!” teriak pengu

Arta mengambil vas bunga, dan...

“ARTA HENTIKAN! KIT BUKAN PEMBUNUH!” teriak raga

Arta terbelalak ketika mendengar kata-kata raga. Tiba-tiba tubuh Arta, layu hendak roboh kebelakang tapi kakinya bisa menahan tubuh itu. Matanya terpejam, aura menakutkan itu hilang... entah... kemana perginya



---------------------
“Kalian semua berdiri, dan menghadap ke tembok!” teriak mas raga terdengar, mengacungkan moncong pistol ke arah dua pengawal Pengu

“HAH! Hash hash hash hash hash....” aku tersadar...

Kenapa aku ini? kenapa bisa terjadi lagi?

“Arta...” ucap mas raga mendekatiku dengan tubuh berlumuran darah

“Mas raga?!” teriakku dan langsung aku mendekatinya memapahnya, tapi tangan kiri mas raga masih tetap mengacungkan pistolnya

“Raga lepaskan aku.. aerghh...” rintih pak pengu dengan tangan kirinya tak bisa lepas dari tusukan pisau

Mas raga mengacuhkannya, kemudian mas raga memberikan aku telepon untuk menelepon salah satu keluarga yang ada di kota tetangga ini. Selang beberapa saat Ana dan Ani datang, aku sempat khawatir, kalau-kalau ana dan ani memberikan perlawanan tapi ternyata tidak mereka malah menolong kami terutama mas raga.

“Biarkan kami menolongmu” ucap ana, tatapan mata perempuan ini tampaknya

“Ergh... Arta, bagaimana? Dia mau datang?” ucap mas raga, yang kini duduk di salah satu kursi

“Iya mas” ucapku

“Benar kalian mau menolong kami?” ucap mas raga, Ana dan Ani mengangguk

Mas raga menyuruh ana dan ani mengambil sebuah laptop dan printer. Selama Ana dan Ani keluar, aku melumpuhkan kedua bodyguard tersebut.

“Mas ini laptop dan printernya” ucap Ana yang masuk, membawa sebuah printer, sedangkan Ani membawa sebuah laptop, entah darimana dia mendapatkan

“Letakan dan ketika sesuai kata-kataku” ucap mas raga yang menahan sakit di bahunya

“Iya...” ucap ani

Sebuah perjanjian, pengambil alihan perusahaan. Pak Pengu yang mendengar itu mencoba meronta tapi selalu terdiam kembali setelah leher itu tercekik dan rasa sakit di tangan kanannya. Beberapa anggota keluarga kemudian datang, tangan kanan pengu kemudian dilepaskan untuk menandatangani surat perjanjian tersebut. Semua kekayaan Pengu diambil alih dan akan dikembalikan kepada siapapun yang pernah diperasnya.

Entah siapa mereka yang baru saja datang, dari telepon saja tadi, aku tidak mengenalkan diriku. Mungkin saking gugupnya, hanya berbicara seperlunya dan meminta mereka untuk datang ke perusahaan Pak Pengu. Untung mereka tahu perusahaan pak Pengu.

“Anto, kamu urusi perusahaan ini” ucap mas raga, sambil memegang bahu kanannya

“Mas itu sudah dibilang bawa orang masih saja sendirian, coba kalau tadi mas tidak melakukan perlawanan. Sudah mas pulang, aku akan mengubah perusahaan ini” ucap orang yang dipannggil mas Anto oleh Mas Raga

“Oia, siapa nama kamu, untung kamu disini dan mas raga tidak marah besar tadi, kalau marah besar bisa jadi ini ruangan berantakan” ucap Mas Anto yang langsung mengalihkan pandangannya ke arahku

“Arta, namanya Arta dan dia yang melumpuhkannya. Aku tertembak terlebih dahulu...” ucap mas raga, mas anto tampak terkejut dengan ucapan mas raga. Kembali mas Anto melihat ke arahku dengan tajam.

“Mas... dia...” ucap mas anto sambil memandang mas raga, dan mas raga mengangguk

“Hei kalian cepat bawa mas raga kerumah sakit” ucap mas anto kepada anggota lain yang datang bersamanya

Mas raga kemudian dibawa keluar, pengu kemudian diamankan oleh mas anto. Beberapa tembakan diarahkan ke paha pengu dan tangan pengu hingga pengu tak bisa berkutik lagi dan hanya bisa merintih. Kemudian ujung pistol mas anto mengarah pada kening pak pengu.

“Mas, kita bukan pembunuh” ucapku memegang tangan mas anto, sejenak kami berpandangan dan dia tersenyum kepadaku

“Arta... terima kasih, aku tidak akan mengecewakan Rga dan kamu. Sekarang pulanglah, aku akan mengurus raga dan bajingan satu ini. aku jamin, setelah ini hidupnya akan berantakan” ucapnya

“Mmmhhh... mhhhh... mmmppphh...” teriak pak pengu yang tertututp lakban pada mulutnya

“Diam kau bajingan! Istri dan anakmu kau telantarkan sekarang mereka pasti akan tertawa terbahak-bahak melihatmu hancur!” bentak Mas Anto

“Apa maksud mas?” ucapku

“Tak perlu aku ceritakan sekarang, mungkin besok ketika raga sudah berada dirumah, sekarang pulanglah” ucap mas Anto

“Biar aku antar mas pulang...” ucap Ana, menyela pembicaraan aku dan mas Anto

“Aku juga ikut...” ucap Ani dengan suara manjanya

“Kalian siapa?” ucap mas anto

“Aku Ana dan ini adikku Ani. Biarkan kami mengantar mas... mas Arta...” ucap ana, sejenak mas anto memandang ke ana

“Baiklah, kalian antar Arta pulang ke rumah mas Raga” ucap mas anto

“Eh... aku naik bisa saja...” selaku

PLAK...!

“Gila kamu, mau naik bis? Mau naik bis apa? Sudah biar diantar mereka...” ucap mas anto

“Tapi mas janji, jangan bunuh dia” ucapku, mas anto mengangguk

Aku dan ana serta ani kemudian berjalan menuju tempat parkir. Gedung perusahaan sudah riuh oleh anggota keluarga dari mas raga yang sama sekali belum mengenalku. Tapi mereka kemudian tahu entah dari mana dan mengawal kami hingga tempat parkir. Aku berada ditempat dudukku semula dan ana menyetir mobil sedangkan ani berada di jok belakang.

“Mas ini kemana?” ucap ana, dengan menyetir dia melihatku, aku menoleh ke arahnya

“Ke ibu kota, kerumah mas Raga” ucapku

“Tapi dimana rumahnya?” sambungnya hanya sesekali dia menoleh ke arahku

“Sebentar...” ucapku mencoba mengirim sms ke mas Raga, namun belum sempat sms sudah ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

From : 08109876554
Ar, Perumahan Megah dan Tropis no. 123 pusat kota
Anto

(aku save nomornya)

To : Mas Anto
Iya mas...

“Ana, ke perumahan Megah no.123 pusat kota” ucapku, ana mengangguk

Mobil melaju dengan kecepatan seperti ketika mas raga mengemudikannya. Keluar dari gerbang yang bertuliskan selamat jalan, aku membuka kaca jendela. ah, kenapa aku ini, kenapa bisa terulang kembali. Sebuah garis yang ingin aku tinggalkan namun kini aku kembali lagi. Aku ambil sebatang dunhill mild, aku gigit ujung dunhill dan kemudian filternya. Ku sulut sebatang dunhill mild...

“Mas... terima kasih..” ucap Ana, lirih namun aku dapat mendengar suaranya, aku menoleh ke arahnya, asap dunhill masih saja berada disekitar wajahku

“Egh, buat apa?” ucapku

“Karena dengan adanya kejadian tadi kami bisa lepas dari pengu” aku menoleh ke arah Ani, yang berada di jok belakang. Wajahnya manis dan terlihat sedikit manja dibandingkan dengan Anna

“Iya sama-sama, tapi emang kalian diapakan?” ucapku

“Orang tua kami dulu pernah bekerja sama dengan pak Pengu, tapi entah kenapa berita terakhir dari Ayah dan Ibu, mereka punya hutang besar kepada pak pengu” ucap ana

“Jadi kalian dijadikan sandra, kemana orang tua kalian sekarang??” ucapku

“Mereka meninggal... mereka kecelakaan, dan kemudian kami diambil oleh pengu 6 bulan yang lalu. Selama 6 bulan kami dijadikan pesuruh disana. Dan selama 6 bulan ini, baru kami ketahui kalau orang tua kami meninggal karena ulah pengu” ucap ani, waduh, malah nangis ini anak.

“Adiiik, sudah jangan nangis...” pelan, tapi suara Ana terlihat dewasa

“Eh... maaf... maaf... jangan nangis lagi, ya, ya, ya??” ucapku, ani mengangguk

“He’em... makasih ya mas...” ucap Ani, senyumnya melebar

“Mmm terus setelah kalian bisa lepas kalian mau kemana?” ucapku

Mereka menggelengkan kepala, aku sendiri juga bingung. Kalau saja aku punya uang, mungkin aku akan menampung mereka. ah, coba nanti kalau mas Raga sudah sampai dirumah, aku coba obrolkan. Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan mas Raga. Tiba-tiba, lengan kananku ditarik oleh Ani dan dipeluknya dari belakang.

“Makasih... mas...”

“Mas, Mas Arta kan namanya mas?” aku mengangguk ketika Ani menanyakan namaku.

“Jadi kakakku ya?” ah, sial, mata Ani terlalu lembut jika aku melihatnya

“Eh, itu anu aduh... anu a-aku ini cuma orang biasa. Jangan kalian pikir aku sekaya mas raga, aku cuma mahasiswa yang dapat beasiswa, kalau kalian jadi adikku... aku ndak bisa hidupi kalian nanti..” ucapku

“Kami bisa kerja mas, yang penting kami punya kakak seperti mas yang mau lindungi kami. kami takut mas...” ucap Ana, membuat hati ini trenyuh

“I-Iya...” aku mengiyakannya saja, bingung au berhadapan dengan mata-mata yang berkaca-kaca seperti ini

“Hore.... aku punya kakak laki-laki” teriak Ani, sedikit berlonjak di jok belakang. Ana juga terlihat gembira sekali

Aneh, dasar aneh dua anak manusia ini. Kenapa malah seneng dapat kakak seperti aku? Apa mereka tidak takut denganku? Sial, kenapa malah nambah masalah begini sih? Mendigan tadi aku awab tidak saja, kampret!

Setelah perjalanan sedikitnya dua jam, aku merasa lapar. Tapi uang didompet tinggal 100 ribu, bagaimana ini? apa cukup untuk makan dipinggir jalan? Kalau satu orang mungkin cukup, tapi aduh, aku jadi pusing. Sialnya tadi makan di meja bundar itu aku tidak makan semuanya.

Kryuuuukkk... bunyi suara perutku

“Mas lapar?” ucap ani, aku mengangguk dan tersenyum lebar

“Kita mampir makan mas?” ucap ana

“Eh itu anu, aduuh... kita mampir di warung pinggir jalan saja. uang ku Cuma 100ribu” ucapku, mereka tersenyum dan mengangguk

Mobil keren, dan sporty berhenti di sebuah warung makan ala kadarnya. Aku dan mereka masuk, kupesankan mereka makanan dan aku memesan nasi putih saja plus kecap. Yah, takut kalau uang tidak cukup. Mereka melahap makanan dengan lahapnya.

“Berapa bu?” ucapku setelah makan selesai

“57500 mas” ucap ibunya

“Sial, kalau tahu habisnya segini aku makan seperti mereka saja tadi” bathinku

Mobil kembali melaju...

“Mas kok tadi makan nasi putih sama kecap? Apa kenyang?” ucap ana

“Sudah biasa kok, yang penting kenyang he he he” ucapku mencoaba menutupi ketakutan akan kurang bayar tadi

“Ooooh... “ ucap mereka berdua

Mobil kembali melaju menuju ke alamat yang dituju....



------------------------​

PYARRRR.....

“Aduh non alma, hati-hati...” ucap bibi mencoba membereskan pecahan gelas yang aku jatuhkan

“Eh, sudah bi, biar alma saja yang beresin bibi masak saja lagi” ucapku

Ah, ada apa ini? apakah terjadi sesuatu dengan suamiku? Mas raga, kenapa kamu tidak memberiku kabar? Hatiku benar-benar risau menunggumu disini mas, cepatlah pulang. Aku benar-benar merasakan kangen.

Setelah semua aku bereskan aku kembali ke ruang televisi, memandang sebuah gambar bergerak dan berganti. Pikiranku tak bisa tertuju pada acara tersebut tapi melayang memikirkan berbagai macam hal yang kurang mengenakan tentang suamiku mas raga. Berjam-jam aku dihadapan televisi dan makan pun aku tak mau sebelum mas raga pulang. Setelah berjam-jam aku menunggu, ada laporan dari penjaga gerbang jika mobil mas raga telah kembali. Aku segera berlari keluar, dan ketika aku membuka pintu rumah.

Kleeeek....

“Egh, kamu?!” ucapku sedikit keras, aku benar-benar tidak melihat Mas Raga bersamanya

“Mana mas raga?! apa yang kamu lakukan sama mas raga!” aku beteriak, hendak memukul lelaki yang dulu pernah diajak berkelahi oleh mas raga, kalau tidak salah dia bernama Arta, seingatku

“Mbak... mbak sebentar aku jelaskan, mbak tenang dulu” ucapnya menahan pukulanku

“Bagaimana bisa tenang, kamu datang bersama mobil mas raga tapi kenapa tak ada mas raga bersamamu. Pasti kamu telah mencederainya!” teriakku, sebuah tamparan dan tak ada gerakan sedikitpun darinya untuk menghindar

Plak! Dia diam... apakah benar terjadi sesuatu dengan mas raga?

“Telepon mas anto mbak, dia bersama mas raga sekarang” ucap Arta

Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung masuk ke dalam rumah dan menelepon mas anto yang berada di kota sebelah. Aku tidak habis pikir kenapa mas anto tidak meneleponku jika mas raga bersamanya. Mas anto kemudian menjelaskan perihal tentang mas raga yang sekarang menjalani operasi pengambilan peluru dari bahunya. Tangisku pecah, bibi datang dan memelukku. aku jatuh dan menangis sejadi-jadinya. Kulirik ke arah Arta yang masuk ke dalam rumahku. Langsung, dengan penuh amarah aku melempar sebuah vas yang berada ditelepon rumah. Lagi-lagi dia hanya menunduk dan tak menghindar sama sekali.

“Mbak hentikan mbak, mas Arta tidak melakukan apapun?” ucap seorang perempuan

“Apa?! Kalian pasti sekongkolkan melukai mas raga?” ucapku kepada perempuan tersebut, satu perempuan lagi bersembunyi di belakang tubuh Arta

“Aku Ana dan ini adikku Ani, mas Arta-lah yang menyelamatkan hidup mas raga. Aku mohon tenangkan diri mbak dulu” ucap ana, aku menangis dan kembali jatuh terduduk dengan bibi memelukku

Baba dan bobo datang dari pintu masuk rumah, mereka asisten mas raga. Mereka melewati Arta dan kemudian jongkok didepanku, menjelaskan semuanya.

“Kenapa baru sekarang kalian bicara kalau mas raga tertembak?!” bentakku marah

“Begini mbak itu...” ucap baba, tertunduk

“Baiklah... kalian boleh masuk, kalau sampai terjadi apa-apa aku tidak akan memaafkanmu Arta!” bentakku

Kulihat lelaki ini hanya tertunduk dengan darah yang keluar dari salah satu keningnya. Darah yang mengalir karena lemparan vas bunga kekeningnya. Aku masuk ke dalam kamarku dan menangis sejadi-jadinya.

“Mas ragaaaa...” tangisku, bibi datang memelukku hingga aku tertidur dalam pelukan bibi karena lelah menangis
 
Scene 16
Aku benar-benar takut



Ana dan Ani


Alma

“Ar, lebih baik kamu tetap disini dan ana, ani kalian sementara bisa tinggal disini dulu menunggu mas raga kembali” ucap lelaki yang dipanggil Bobo oleh istri mas raga

“Kita akan menunggu mbak alma tenang dulu, baru kalian bisa bicara dengannya” ucap lelaki yang dipanggil Baba oleh istri mas raga

Alma, itu nama istri mas raga. Kami kemudian diajak mereka menuju sebuah ruang yang sangat luas, mirip dengan ruang keluarga. Disampingnya ada teras yang menyambung dengan sebuah kolam renang. Ana dan ani duduk di ruang keluarga, kemudian dibuatkan minuman oleh baba. Aku duduk di pintu yang menghubungkan ruang luas ini dengan teras kolam renang.

“Oia, ana, ani kalian tidur dulu diruang tamu ya. tenang saja disini aman, aku sudah tahu cerita kalian berdua dari anto. Tadi juga anto bilang, kata mas raga kalian boleh tinggal disini” ucap baba

Malam datang, aku masih tetap duduk disni. Tak kupedulikan percakapan mereka, bahkan Ketika Ana dan Ani pamit ke kamar tamu aku masih diam saja. Segelas teh hangat kemudian diletakan disampingku.

“Rokok?” ucap baba menawariku rokok, untung saja rokoknya sama denganku

“Santailah, tadi Anto bilang mas raga tidak apa-apa. Mungkin besok dia akan kembali” ucap bobo

“Terima kasih, ini semua salahku...” aku mengambil sebatang dunhill, dan mnyulutnya

“Kalau itu salahmu dan kamu merasa, seharusnya kamu tidak perlu ikut kesana. Kamu malah akan semakin bersalah jika kamu tidak ikut, kamu telah menyelamatkan nyawa raga” ucap baba, aku sedikit menunduk, menghebuskan asap putih

‘tenanglah ar...” bobo menpuk punggungku

Aku menoleh ke arah mereka dan tersenyum. Namun senyuman ini hanya untuk meyelamatkan diriku dari kekhawatiranku. Aku melihat diseberang kolam renang ada sebuah papan tembak, teras yang luas dan sebuah tempat latihan beladiri.

“Siapa kamu sebenarnya! Kalau saja mas raga tidak bertemu kamu, pasti dia tidak akan pergi sendiri seperti ini! ini semua gara-gara kamu!” teriak perempuan yang sudah aku kenal, mbak alma. Aku menoleh ke arahnya dan berdiri, kemudian membungkukan badanku

“Maafkan aku...” ucapku

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipiku...

“Dasar kamu bajingan!” teriaknya, kerudungnya sudah tidak bisa menutupi amarahnya

Aku hanya diam dan diam. Hatiku menjerit seakan ingin kembali ke tempatku semula, desa bajak tani. Ah, aku hancur... benar-benar hancur malam ini. kulihat amarahnya belum reda, dan dia kembali meninggalkan aku bersama Baba dan Bobo.

“Sabar ya Ar, namanya juga seorang istri kalau sudah mengenai suami pasti marah” ucap bobo menenangkan aku

“Eh, iya...” ucapku

“Kalau kamu mengantuk, tidurlah di kamar tamu. Masih ada satu lagi...” ucap baba

“Terima kasih...” ucapku

Aku kembali ke tempatku, duduk di pintu dan merokok. Malam semakin larut, kulihat jam udah menunjukan jam 3, baba dan bobo sudah terlebih dahulu meninggalkan aku. Aku sudah tak mampu lagi menahan mataku untuk tetap terbuka. Aku sulut satu lagi duhill mild, ini yang terakhir. Dengan perlahan aku menghisapnya, sejenak aku masih bisa menahan. Sebatang itu telah habis... aku bangkit dan berjalan ke arah karpet depan sofa... aku rebahkan tubuhku... dan terlelap dalam tidurku....

.
.
.

aaaaaaaaaaaaaa“Ar, lindungilah semuanya...”

aaaaaaaaaaaaaa“Kamu sayang kan dengan orang-orang disekitarmu...”

aaaaaaaaaaaaaa“Berjanjilah, lindungilah semuanya... aku mohhon....”

“Tidak aku mohon...” tangisku mengalir

aaaaaaaaaaaaaa“Berjanjilah ar.. kepadaku...”

“Tidak...” semakin deras aliran air mataku

aaaaaaaaaaaaaa“Kamulah sang pelindung.... ”

“Jangan aku mohon...” air mata ini semakin deras

.
.
.

“TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK!”

Mataku terbuka, terkejut... Aku bangun dan langsung berteriak sekeras-kerasnya. Berdiri dan melangkah maju, menghantamkan sebuah pukulan di pintu kaca yang menghubungkan ruang keluarga ini dengan teras kolam renang.

PYAAARRRRRRR!

Aku tarik tangan kiriku, yang berlumuran darah. Aku berdiri menatap kaca yang telah pecah berkeping-keping. Air mataku mengalir, sebuah memori yang tidak ingin aku ingat. Tak sadar akan apa yang telah aku lakukan, aku munduk dan berlutut.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAARGHHH!” teriakku sekali lagi

“Arta...” ucap seorang lelaki, mas raga.

“Egh.... “ aku menoleh ke arah arah asal suara, betapa terkejutnya aku melihat mas raga berdiri dibelakangku

“Mas...” ucapku pelan

“Hei, tenanglah...” ucapnya tersenyum

“Hash hash hash hash... maaf...” ucapku, air mataku mengalir sendiri dan kutahan isak tangisku

Aku melihat mbak alma sudah bersamaanya, bobo, baba, ana, ani dan seorang wanita yang dipanggil bibi. Pandanganku sedikit rabun karena air mata yang terlalu banyak mengembang di mataku. Kutarik kaosku dan aku usapkan, mencoba menghilangkan rasa maluku. Aku mendekati mas raga dan langsung memeluknya. Aku menagis, entah menangis karena apa.

“Sudahlah, kamu mimpi buruk ar?” ucap mas Arta, aku melepaskan pelukan

“Aaaaaasssh... tidak mas, hanya mimpi yang selalu datang” ucapku sedikit terisak

“Ar... maafkan mbak kemarin” ucap mbak alma, menyela pembicaraanku, aku tersenyum

“Iya mbak, aku juga yang salah” ucapku

“Kak Arta, tangannya berdarah ana obati ya?” Ana meraih tanganku, dia tampak sedih melihat tanganku berdarah

“Ah, sudah An, ndak papa sudah biasa” ucapku

“Kamu ingin bercerita?” ucap mas raga, aku menggeleng

“Makan dulu sana, apa mandi... kalau mau merokok tuh dah dibelikan Ani tadi pagi, katanya kamu rokoknya dunhill mild ya?” ucap mas raga, aku mengangguk

Aku hanya tersenyum dan duduk dilantai. Kutekuk kakiku dan kupeluk, kumasukan wajahku ke dalamnya. Rasa dalam diriku benar-benar tidak sangat menyenangkan, ingin segera pulang dan kembali ke kehidupanku semula.

“Aku ingin pulang ke kontrakan...” ucapku

“Makan dulu baru pulang, lagi pula kamu belum mandi. Pakai pakaianku, mungkin cocok. Lagi pula tangan kamu berdarah seperti itu, diobati dulu sajalah...” ucap mas raga

“Bi, antar Arta ke kamar tamu dan sediakan pakaian” ucap mas raga

“Ndak us...” ucapku terpotong

“Sudah ayo...” ucap mbak alma, menarik pergelangan tanganku dan mengantarku bersama bibi ke kamar tamu

“Oia, adik-adik kamu mulai sekarang tinggal disini jadi kamu tidak usah khawatir, okay” ucap mbak alma sebelum meninggalkan aku. Ah, mungkin Ana dan Ani sudah bercerita tentang diri mereka kepada mbak Alma

Didalam sebuah kamar tamu yang cukup luas, benar-benar berbeda jauh dengan kontrakanku. Mungkin bisa dibilang kalau tempat ini bisa digunakan untuk bermain bola ping pong. Langkahku sedikit malas, aku duduk di tepian tempat tidur yang bisa naik turun ini. kupandangi lagi kamar yang benar-bena rmembuatku kagum. Kuremas rambutku dan menunduk sejenak.

Sejenak setelah menikmati indahnya kamar ini, aku berdiri dan munju ke sebuah pintu yang terbuat dari kaca yang buram. Ah, kamar mandi ternyata... segera aku mulai mandi dan bersih-bersih badan. Setelah keluar dari kamar mandi, kulihat tumpukan pakaian ada di tempat tidur. Segera aku memilih salah satu kaos dan memakainya, kulihat jam di dinding menunjukan pukul 13.00. lama sekali aku tertidur, selepanya aku keluar dari kamar. kulipat pakaian kaos kotorku, ketika aku keluar dari kamar...

Semua mata tertuju kepadaku...

“Ar....” ucap mas raga



--------------------
Arta, ya, anak itu terbangun dengan teriakan keras, lebih keras dari siapapun. Tampaknya dia sedang mimpi buruk, atau ada sebuah kejadian dimasa lalu yang datang dalam mimpinya. Wajahnya sangat marah, dan ketakutan tadi. Selepasnya dia masuk ke dalam kamar. bibi membereskan pecahan kaca itu.

“Mas, benar-benar tidak apa-apa?” Alma tampak sekali khawatir denganku

“Ndak papa sayang, sudah kamu tenang saja” aku mengelus tangannya yang berada dipundakku

“Bukannya gitu, kan mas harusnya menginap dulu” ucap alma

“Ah, males kalau harus istirahat di rumah sakit. Perawatnya gak enak, enak dirumah perawatnya kan cantik” godaku

“Ih, mas...” ucapnya sambil memelukku

“Ih masa raga sama mbak alma pamer kemsraan... ana dan ani kan belum boleh lihaaaaaat...” ucap ana, kami tertawa terbahak-bahak.

Seketika tawa kami berhenti, ketika medengar pintu kamar tamu terbuka. Benar-benar mengingatkan aku kepadanya, cara dia memakai kaos itu. mataku sedikit terbelalak ketika mata ini melihat ke arah Arta yang keluar dari pintu. Benar-benar mirip dengan gaya kakek. Alma istriku juga terkejut ketika melihat kaos yang dipakai oleh arya. bibi pembatuku, Baba dan Bobo yang juga asistenku tampak terkejut. Mirip sekali ketika langkah kakinya keluar dari kamar tamu itu.

“Eh, ada yang salah?” ucap Arta

“Eh... gak ada ar, gimana tangan kamu?...” aku menggelengkan kepala

“Ndak papa mas Cuma lecet, sudah biasa kok mas” dia melangkah ke arahku, wajahnya tenang

“Obati dulu, bi, obati tangan Arta...” ucapku kepada bibi

Arta duduk di ruang keluarga, aku duduk disofa dengan istriku menemaniku disamping. Istriku melihat terus ke arah Arta, dan aku sedikit menyenggolnya. Kupandangi sejenak wajahnya dengan senyumanku, kulihat baba dan bobo juga sama. Kaos hitam itu, kenapa bibi membawanya kesana? Ah, mungkin aku yang lupa menaruh kaos hitam itu.

“Mirip sekali bos” bisik Baba

“Apanya yang mirip?” Arta memandangku dan Baba, ternyata telinganya sangat awas

“Ha ha ha... gak ada, yang maksudnya mirip itu ana dan ani itu lho mirip” ucapku, mencoba mengalihkan perhatian Arta

“Ya kan mereka kakak adik wajarkan kalau mirip” ucap Arta tersenyum

“Kok kamu pilih kaos itu ar?” tanya istriku, aku meliriknya, terlihat sekali apa yang dia rasakan ketika melihat Arta memakai kaos itu

“Ya, pada dasarnya aku suka kaos warna hitam...” ucap Arta

“Ouwh... kan ada banyak kaos hitam disana tadi?” selidik istriku

“Yang lain kelihatannya mahal, yang ini saja mbak. Murah tapi enak dipakai dan kelihatannya berkualitas” ucap Arta, semua orang kecuali ana dan ani tampak terkejut dengan apa yang diucapkan Arta

“Ya, pakai saja. kamu boleh memilikinya...” ucapku

Caranya memakai kaos itu sama persis dengan cara kakek memakainya. Sedikit dicincing karena kaos itu memang besar, cara dia keluar dengan sedikit membungku. Bagian belakang kaos yang dimasukan ke dalam celana jeansnya itu.

“Kok celana kamu gak ganti ar?” tanyaku

“Masih bersih mas, ndak usah lah...” ucapnya, jawaban yang singkat namun, ah, benar-benar jawabannya selalu saja mirip dengannya

“Ya sudah makan dulu sana, ana dan ani temani kakak baru kamu itu... kalau perlu disuapi sekalian” candaku kepada tiga kakak beradik ini,

Arta, ani dan ana berjalan ke ruang makan yang sedikit jauh dari ruang keluarga. aku menatapnya heran, benar-benar heran apalagi ketika dia menyelematkanku kemarin. Aku dan istri juga baba dan bobo ke teras kolam renang.

“Benar-benar mirip ya mas...” ucap alma

“Iya, bos mirip sekali” ucap baba

“Mungkin malah kembaran mudanya” ucap bobo

“Ha ha ha... kalian itu bisa saja... tapi memang benar...” tawaku mereda, dan sungguh aku benar-benar melihatnya kembali terlahir

“Kata mas anto, dia yang menyelamatkan mas?” ucap istriku yang cantik ini, aku mengangguk

“Untung saat itu, aku tidak melanjutkan perkelahian dengannya. Entah dia siapa, aku juga tidak tahu tapi yang jelas dia lebih dari kakek. Tapi gerakannya, cara dia memandang hampir sama dengan kakek... cepat, dan tepat... bahkan lebih dari kakek” ucapku

“Hmmm....” istriku bergumam

“Ada apa?” ucapku

“Masih ingat cerita kakek? Tentang seseorang...” ucap istriku terhenti

“Mas aku sudah selesai dan tanganku sudah baikan, boleh aku pulang?” ucap Arta tiba-tiba

“Oia mas, itu kacanya...” ucapnya sambil menunjuk ke kaca pintu yang pecah

“Sudah tenang saja, kalau sudah pulang jangan sungkan main kesini ya?” ucapku

“Eh... itu...” wajahnya sedikit menunduk

“Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku...” ucapku, mengulurkan tanganku

“Jujur mas, aku sebenarnya hanya ingin kuliah saja...” jawabnya

“Aku tahu, tapi jika jalanmu mempertemukanmu dengan ku. Jika kamu pergi, berarti kamu menentang jalanmu. Jalan ini sudah kamu pilih ar...” ucapku

“Baiklah...” ucapnya pelan menyambut tanganku

“Haaaaaaash....”

Arta menghembuskan nafasnya, melihat ke atas dan kemudian melihat kesamping kiri teras. Tangannya berpinggang, melihat sekitar tempat ini.

“Eh...” dia sedikit terkejut

“Ada apa ar?” tanyaku, aku sedikit heran dengan gelagat Arta

“Ndak papa mas?” ucapnya

Dia kemudian melangkah ke dua kursi tua, kursi dari kayu apa entahlah karena itu adalah peninggalan kakekku. Dia berdiri didepan kursi itu, dan melihat kebawah. Ada tanda kotak dengan garis hitam yang menandakan bahwa kaki kursi semula berada disitu, ada 8 tanda kotak, kotak hitam itu di buat dengan menggunakan tinta hitam permanen. 4 kotak milik kursi pertama dan 4 kotak milik kursi satunya. Tapi karena kursi itu digeser dan disatukan maka 8 tanda kotak hitam sudah tidak berada tepat di bawah kaki kursi lagi. Tapi tiba-tiba dia tersenyum...

“Eh, ar kamu tahu sesuatu?” tanyaku, heran

“He he he...” dia hanya tertawa dan kemudian mendekatiku

“Mas aku pulang dulu ya...” ucapnya tersenyum

“Hei tunggu, kamu tahu sesuatu tentang kursi itu? itu kursi kakek...” teriakku

“Hmmm... kalau itu kursi kakek mas, berarti itu tanda untuk mas, bukan untukku...”

“Aku pulang mas...” ucapnya

“Arta! Kamu itu di tanyain mas raga malah ngacir saja?!” teriak istriku

“Ndak tahu mbak, ndak tahu...” ucapnya cengengesan

“Hei tunggu kamu mau pulang pakai apa? Biar Ana mengantarmu...” sekali lagi aku berteriak

“Eh ndak usah mas... naik bis saja” ucapnya

“Kamu jalan dari rumah ini menuju ke jalan raya itu hampir kiloan meter! Dah biar ana yang mengantar” ucapku

“Ya anu itu ya sudahlah...” ucapnya

Arta pergi bersama ana dan ani,

“Argh... dia tahu sesuatu mengenai kursi itu...” ucapku

“Dia pintar kelihatannya bos” ucap baba

“Cerdas, kelihatannya lebih cerdas dari kakek...” ucap istriku

“Suatu saat nanti... pasti dia akan mengatakannya” ucapku

“Kita tunggu saja bos” ucap bobo

“Kalian itu, dah makan siang dulu sana... itu penjaga-penjaga sudah pada makan, kalian belum” ucap bibi pembantu

“Eh, iya bi...” ucapku dan mengajak istri beserta bobo dan baba

Bibi, adalah satu-satunya yang masih berada disini setelah kakek tiada. Nenek pergi terlbih dahulu sebelum kakek, sedangkan ayah dan ibu sudah tiada semanjak aku kecil. Arta, bisakah kamu menjadi harapan keluarga besar ini. aku harap kamu ada disini selalu, bersama kami.




-------------------------
“Kak Arta ganteng deh...” dengan kedua tangan memegang kemudi, Ana tersenyum

“Iya kan kak Arta kakak kamu, kalau jelek kamu mau jadi adikku?” godaku

“Mau jelek, mau ganteng, bodo amat yang penting kakakku, ya... kak Arta” ucapnya tersenyum

“Kenapa sih kalian seneng banget kalau aku jadi kakak kalian?” ucapku heran

Ciiiit.... mobil berhenti mendadak

“Aduh... pelan-pelan kalau mengerem” ucapku

“Karena kakak... orang yang baik... kata papa dulu waktu masih hidup...” Ana berbicara dengan wajah menunduk kebawah, ketika menyebutkan kata papa

“Sejak pertama kali melihat kak Arta, Ani bisa ngerasain kalau kak Arta adalah orang yang baik. Buktinya kakak menyelamatkan mas raga dari pak pengu” ucap ani mencoba tersenyum

“Ouwh... karena itu... Ana kamu kenapa? kok diam?” ucapku karena ana

“Karena kata papa... Ana kangen papa kak...” Ana kemudian terisak, aku malah kebingungan tampak ani juga ikut menangis sejadi-jadinya dibelakang walau sebelumnya mencoba menahan tangisnya

“Kalian tenang ya, jangan nangis...” ucapku dengan gerak tangan terbuka kebawah, seperti seorang pelatih sepak bola yang mencoba menenangkan pemainnya

Mereka semakin menangis menjadi-jadi, suara tangis mereka pecah didalam mobil yang dingin ini. aku kebingungan belum pernah aku dalam posisi seperti ini. ketika tanganku menyentuh pundak kanan ana dan pundak kiri ani mencoba menenangkan mereka, mereka malah melompat memelukku.

“Lindungi kami kak... kami takut...” Ana terisak, ah, sial kenapa selalu saja aku berada dalam posisi buruk seperti ini

“Bener-bener takut kak...” ini juga, si Ani, malah menangis

Kematian orang tua mereka, terpisah dengan orang tua mereka dan pastinya membuatmereka merasakan kesepian selama ini. Aku memang tidak pernah tahu cerita mengenai mereka. tapi paling tidak aku merasakan kesedihan mereka saat ini. aku laki-laki, mungkin masih bisa tegar dan bisa menyembunyikan kesedihanku tapi mereka, terlalu lemah.

“Sudah tenaaaaang... kan ada kakak disini?” ucapku mencoba menenangkan

“Kak janji jaga ana dan ani kak hiks...” tangis ana

“Kakaaaak hiks hiks...” Sekali lagi teriakan dengan tangis aku dengar dari Ani

“Iya pasti iya... adik-adikku... pasti...” jawabku, mereka melepaskan pelukan dan mengusap air mata mereka

“Kakak sering-sering main ke mas Raga, jengukin kita” ucap ana yang masih terisak

“Iyaaa adik kecilku...” ucapku tersenyum

“Yuk jalan lagi, kakak kan belum pulang dari kemarin” lanjutku

Mereka tersenyum dan mobil kembali berjalan, nampak ani masih memeluk lengan kananku. Kepalanya bersandar dibahuku, kuelus lembut kepalanya. Ah, aku sekarang mempunyai seorang adik. Dua adik kecil, entah mereka manja atau tidak tapi yang jelas, yang sekarang memeluk bahuku adalah adik yang sangat manja. Mobil awalnya bergerak ke kampus, karena aku tidak tahu jalan. Kalau dari kampus aku paham benar, karena aku ingat jalan bis. Bagaimana kekampus? Jelas sudah ada plang penunjuk jalan, karena kampusku termasuk kampus terkenal di ibu kota negara antah berantah ini.

“Stop... stop, nah disini gang rumah kontrakan kakak” ucapku

“Ouwh... kapan-kapan ana dan ani main ya kak?” ucap mereka

“Eh, itu anu ya deh ndak papa” ucapku yang tidak mungkin menolak permintaan adikku sendiri

“Kak...” ucap ani sambil membuka tangannya

“Eh, ada apa?” ucapku

“Aaaaa... tadi dik ani di elus terus akunya enggak...” ucap ana manja

“Aduh... iya... i iya...” ucapku, ana memelukku erat tapi aku kaku tak berani memeluknya

Bergantian dengan ani juga, setelahnya aku keluar dari mobil. Aku berdiri melihat ani pindah tempat duduk di kursi depan. Aku suruh mereka mengikuti jalan berangkat tadi, selang beberapa saat mobil kembali menghilang. Aku pandangi mobil berlampu merah dibelakang itu hingga menghilang, ku keluarakan sebatang dunhill mild dan kusulut.

“Sial! aku kangen...” desahku dalam tangis

Aku melangkah dan kuusap air ata yang mengalir di pipiku. Aku benar-benar tidak tahu mengapa kalau aku bisa kembali seperti ini lagi. Dalam langkah pulangku aku menjadi semakin gelisah dan snagat gelisah.

TIIIIIN...

“Eh...” aku terkejut

“Woi ar, kalau jalan makannya lihat jalan, ada mobil kok gak tahu. Kamu ini gimana?” teriak pak RT dari pintu kaca mobil yang terbuka

“Eh, pak, maaf...” ucapku

“Ya udah, bapak mau pergi dulu mau ada urusan” ucapnya

“Urusan apa pak?” tanyaku

“Biasa.... kamu tahu kan, oia kamu habis nangis?” dengan alis yang naik turun, aku tahu kemana pak RT akan pergi

“Ah, ini tadi kena hewan kecil masuk kedalam mata pak” ucapku

“Ouwh... ya sudah, titip komplek ya ha ha ha” ucapnya dan mobil melewatiku menghilang

Malam, ini sudah malam itulah yang ada dipikiranku. Aku kembali ke kandang, ya ini yang selama ini aku kangeni sewaktu aku berada di kota tetangga. Pintu terkunci, ah, mereka pasti sedang keluar mana hapeku mati juga. Dengan kunci serep, aku masuk ke dalam dan ku charge sebentar hapeku. Aku buat wait kofi, tapi hatiku benar-benar merasa gelisah. Kulihat jam pada hapeku menunjukan pukul 8 malam.

“Ah, aku harus keluar...” bathinku

Tak tahu kenapa langkah kaki ini menuju ke tempat itu...
 
Scene 17
I'm With You



Ainun ... ...


LInda White Heart
Dasar, sudah punya istri dirumah masih saja keluar main. Dasar lelaki hidung belang, tapi masa bodohlah, dia mau pergi dan tak kembali juga gak masalah buatku. Yang pneting hidupku tenang dan damai, kalau tidak ada dia dirumah.

Kriiit...

Eh, bunyi pintu gerabang pasti dia lupa tutup pintunya, huh. Kalau pintu gerbang lupa pasti pintu rumah juga lupa ditutupnya. Dengan hati-hati, aku melangkah menuju ruang tamu, ketika korden aku buka kulihat sesosok lelaki yang sudah tidak asing lagi untuk mataku, Arta. Eh, tapi wajahnya tampak sedih sekali, aku bisa melihat kegelisahan ada dalam dirinya. Sesegera mungkin aku tutup korden dan kurapikan. Kupasang wajah tersenyum kepadanya, segera aku mendekatinya.

Hugh...

Aku terkejut, lampu ruang tamu masih menyala dan dia langsung memelukku. lho ini kenapa si Arta? Eh, saklar, mana saklarnya... aku mundurkan kakiku, tangan kiriku meraba tembok mencoba mencari saklar lampu. Rabaanku pada tembok akhirnya menemukan saklar lampu ruang tamu, aku menekannya dan akhirnya lampu akhirnya padam. Untung saja tidak ada orang yang lewat didepan, apapun yang terjadi antara aku dan dia, saat ini aku harus berhati-hati. Entah kenapa pelukannya begitu erat, walau aku belum mendengar kisahny, namun aku sudah bisa merasakan kegelisahan hatinya.

"Ada apa sayang?" ucapku lirih pelan, mencoba menelisik kegelisahan hatinya

"Aaku tidak tahu..." jawabnya, sedikit terisak,

Egh, kenapa dia menangis? Ada apa sebenarnya yang terjadi? Aku mengelus punggungnya dengan lembut, tubuhnya terlalu tinggi bagiku. Aku hanya sebatas bahunya, kelihatannya sangat tidak mungkin untuk mencari jawaban atas apa yang dia rasakan sekarang. Aku harus bisa menenangkannya terlebih dahulu, terlalu sayang kebersamaanku hanya diisi dengan air mata.

"Duduk dulu yuk..." ucapku, menuntunnya untuk duduk

Tapi dia malah semakin memelukku erat, lebih erat dari sebelumnya. Perasaan hangat mulai aku rasakan, semakin erat dia memelukku, semakin aku bisa merasakan kegelisahan dalam hatinya. Tak ingin aku melewatkan momen ini, aku berganti memeluknya erat, seakan tak ingin aku melepaskannya. Tanganku bergerak mengelus kepalanya hingga sebagian punggungnya.

"Duduk dan tunggulah sebentar ya" ucapku sembari tersenyum

Ah, perasaan yang sudah lama tidak aku dapatkan. Dia begitu hangat hari ini, benar-benar hangat. Aku tinggalkan dia ke dapur, membuatkannya teh manis yang hagat. Segera aku keluar dan menuju ruang tamu, kulihat dia mengangkat kakinya keatas dan memasukan kepalanya didalamnya. Aku mendekatinya secara perlahan, aku letakan teh hangat dan ku duduk disebelahnya.

"Kenapa?" ucapku, mengelus lembut kepalanya

"Tidak tahu..." ucapnya, langsung tubuhnya miring dan jatuh kembali dalam pelukanku

"Tenanglah... tenangkan hatimu jika belum ingin bercerita... dan jika kamu tidak ingin bercerita, cukuplah kamu disini, aku akan menemanimu..." lirih, perasaan sebagai seseorang yang sangat dibutuhkan. Ya, aku merasakannya sekarang, belum pernah perasaan ini hadir sebelumnya

Ku dengar tangis pelannya, kuturunkan kakinya. Kupeluk kepalanya dan ku rebahkan di bahu kananku, tangannya memeluk tubuhku. Entah, kenapa aku bisa merasa senyaman ini ketika bersamanya, mungkin memang dalam diriku aku membutuhkan seseorang yang benar-benar membutuhkanku.

"Sudah jangan menangis..." ucapku mencoba menenangkannya, tanganku masih mengelus lembut kepalanya. Pipi kananku aku tempelkan di kepalanya

Tangisnya terus terdengar walau bukan tangis yang keras, nafasnya tampak terisak. Mungkin dia membutuhkan seorang wanita. Kubelai rambut pendeknya dan kucium lembut, wangi sampo masih tercium dari rambutnya.

"Jika kamu lelah... tidurlah disini, aku akan menemanimu..." ucapku

Isak tangisnya mulai hilang, nafasnya mulai teratur, pelukannya melemah...

"Minum dulu... eh..." ucapku terkejut ketika mendapati dirinya tertidur dalam pelukannku

Aku rebahkan tubuhnya pelan, menjaga dia agar tidak terbangun. Segera kututup pintu gerbang dan juga pintu rumahku. Komplek ini tampak sepi sekali, mungkin nanti akan ada orang ronda tapi biasanya mereka semua akan bangun terlambat untuk ronda. Dan biasanya pula pulang mereka cepat karena hanya ronda sebentar saja. segera aku ambil bantal besar dan kuletakan pada ujung kursi panjang. Aku duduk dan kuangkat tubuhnya secara perlahan agar kembali dalam pelukanku. Lembut sekali dia malam ini, wajahnya tenang dalam keheningan.

"Eh... lho... hi hi hi... dasar kamu, kaya anak-anak saja" bathinku

Aku terlelap dalam tidurku... entah kenapa aku kini merasakan nyaman dalam diriku. Memeluknya sudah membuatku merasakan kenyamanan. Padahal dia seumuran dengan adikku.

.

.

"Hoaaaam.... eghhh..."

Aku terbangun tengah malam, samar-samar aku lihat jam didinding menunjukan pukul 3 pagi. Dia masih tertidur dengan hi hi hi... sudahlah, aku kembali memeluk kepalanya dengan erat. hmmm... mungkin diluar sana banyak cewek yang kesengsem sama kamu sayang hi hi hi. Ku elus pipinya dengan lembut, dan kucium kembali kepalanya.

"Egh... hoaaaam..." dia terbangun

"Ssssst..." desisku dngan jari menyilang di bibirku

"Eh, bu... eh, aku anu... ah aku ketiduran disini?!" ucapnya sedikit keras dan langsung bangkit duduk

"Ssssttt.. nanti tetangga denger ssssttt... kamu ini!" bisikku sedikit membentak

"Ma... maaf..." bisiknya, kupandangi sejenak

"Tehnya dingin itu... mau dibuatkan lagi?" ucapku

"Eh ndak usah bu, aduuu maaf bu ketiduran..." ucapnya

"Sudaaah gak papa, tapi nanti pulangnya sebelum subuh ya. takut kalau bapak pulang pas pagi hari, atau nanti tetangga tahu" ucapku, dia mengangguk. Diambilnya teh dingin itu dan meminumnya.

"Jam berapa bu?" ucapnya

"Kelihatannya sih jam 3" ucapku, dia bangkit dan mendekati dinding melihat ke atas

"Jam setengah empat kok bu, aku pul egh..." ucapnya terhenti, aku sudah tidak bisa menahan diriku untuk memeluknya. Tubuhnya yang tegap dan punggungnya yang tampak lapang.

"Eh bu..." ucapnya, tidak seperti yang pertama saat itu

"Kenapa?" ucapku

"Gak papa..." ucapnya, aku tersenyum

Aku lepas pelukanku, dan bergerak kedepannya. Aku kembali memeluknya dari depan, dan kali ini dia memelukku. aku memeluknya dengan erat, hingga aku angkat kepalaku memandangnya. Kutarik kepalanya, dan bibir kami bersentuhan. Kini tubuhnya mendorongku lebih kebelakang dan membuatku bersandar pada tembok.

"Mmmppph..." aku benar-benar meraskan hal yang lain, kulepas ciumanku

"Belum pernah sama sekali sayang?" ucapku, dan mencoba memandangnya dengan lembut. Hmmm... wajahnya tampak sedikit lebih kekanak-kanakan sekarang, bahkan ketika dia mengangguk tampak sangat seperti anak kecil

"Ikuti nalurimu sayang..." bisikku pelan, ah, malunya aku harus mengajarinya

Dia sedikit bingung, kembali aku tarik kepalanya pelan dan dia mengikuti dorongan tanganku. Bibir kami bersatu, bibirku terbuka dan melumat bibirnya, lidahku mulai keluar. Tak kusangka dia akan membuka bibirnya, lidahnya juga ikut keluar. Kedua tanganku memegang kepalanya, seakan tak ingin melepaskan ciuman ini. Nafas kami saling memburu... lidahnya bertemu dengan lidahku, bibirnya kini mulai melumat bibirku. Dadaku bergemuruh, seakan darahku mulai panas. Tangannya menarik pinggangku semakin erat dan melekat ditubuhnya.

"Ah, sayang sudah... hampir jam 4" ucapku, mencoba mengontrol diriku. Kuusap bibirku dengan jariku, masih terasa kehangatan bibirnya.

"Ma... maaf bu..." ucapnya sedikit kebingungan atas apa yang terjadi barusan, aku pegang kedua kepalanya sejenak

"Sssttt... ini rahasia kita" ucapku, dia mengangguk dan terlihat sangat polos sekali

"Pulanglah... kamu bisa kesini kapan saja" ucapku, dia tersenyum maniiiiis sekali

"Terima kasih maaf jika aku lancang..." ucapnya

"Aku menyukainya..." ucapku, kembali aku menarik kepalanya dan menciumnya

"Jaga rahasia kita..." ucapku, sekali lagi. Pandangan matanya kini menyiratkan sebuat pertanyaan

"Egh... maaf..." balasnya, sekali lagi matanya teduh untuk dilihat, membuatku semakin ingin menahannya disini.

"Bukan maksudku mempermainkanmu, tapi kehadiranmu membuatku sungguh berbeda..." ucapku

"Aaaash..." dia tersenyum, manis sekali walau matanya tidak sejalan dengan bibirnya

"Aku tidak tahu bu, kenapa langkah kakiku menuju kemari" ucapnya dengan wajah menunduk ke bawah

"Mungkin kamu memang butuh sosok seorang wanita yang bisa menenangkanmu" ucapku, mengangkat dagunya... dia melihatku sejenak dan aku balas dengan senyumanku tersenyum

"Tapi aku yakin yang kita lakukan salah... " ucapnya melepaskan tangannya yang berada dipinggangku

"Sssstttt... aku saja tidak tahu, kenapa kamu bisa mengatakan seperti itu?" ucapku mencoba untuk menenangkan pikirannya karena semenjak dia datang pikirannya sudah kalut, wajahnya kembali menunduk

"Jagalah hatimu, anggap aku seperti kakak atau temanmu, walau aku tahu yang kita lakukan lebih dari apa yang kamu anggap. Aku nyaman ketika kamu datang kesini" ucapku sembari tersenyum.

"Kenapa?" ucapku kuangkat dagunya kembali

"Mungkin benar apa yang dikatakan ibu, aku membutuhkan sosok yang bisa menangkan aku tapi ini lebih dari itu..." ucapnya

"Lebih santailah, aku tahu ini salah... datanglah kepadaku. Jujur aku ingin selalu menenangkanmu" ucapku

"Ta-tapi kenapa?" ucapnya, dia bukan orang yang mudah menyerah dalam meminta penjelasan

"Karena rasa nyaman bukan? Aku tahu aku punya keluarga, tapi didekatmu aku merasa lebih nyaman, terserah kamu menganggapku apa" ucapku

Dia mendekatiku dan memelukku kembali, aku yang sebelumnya begitu agresif kini kaku tak berdaya. Bibirnya menciumku sebentar dan kemudian melepaskan aku. Dia berbalik dan melangkah meninggalkan aku.

"Aku mohon, jangan pernah, hanya karena kekalutan pikiranmu kamu menjauh, aku juga butuh seseorang yang mau menemaniku saat ini, sampai semua yang terjadi padaku selesai..."

"Aku terlalu lemah menjalani ini semua..." sedikit air mataku keluar

"Aku juga bingung bu..." ucapnya, tanganku meraih tangannya

"Apakah karena ketakutanmu akan membuatmu menghilang dariku?" ucapku

"Tidak tahu bu.. aku juga bingung dengan yang kita lakukan"Ucapnya

"Ehem... kamu bisa kesini kapanpun, aku akan menemanimu. Aku hanya ingin menemanimu, bersamalah denganku. Aku tidak akan mengekangmu, asal jujurlah kepadaku aku bosan dibohongi" ucapku

"Apa berarti aku selingkuhan ibu?" tanyanya

"Aku tidak tahu... tapi aku terlanjur sayang kepadamu" ucapku

"Bagaimana dengan bapak? Aargh... aku jadi bingung bu, sebenarnya kita itu tahu ini salah tapi kenapa selalu berasumsi untuk menjadi benar???!" ucapnya dan berjongkok membelakangiku, tangannya menggosok-gosok kepalanya, aku tersenyum dan langsung aku peluk tubuhnya dari belakang

"Jalani aja yuk... santai, dan gak ada istilah kamu selingkuhanku... kalau kamu ada disini, ya berarti antara aku dan kamu, gak usah mikir yang lain. Gitu, gimana?" ucapku sedikit bercanda karena suasana menjadi lumer setelah dia kebingungan. Tangisku terhenti, aku sendiri bingung kenapa aku tidak ingin dia hilang begitu saja.

"Sama saja aku selingkuhan ibu kan?" ucapku

"Hmmm... benar juga ya? kalau kita akhiri, siapa yang ndiemin kamu coba kalau kamu nangis?" godaku

"Aah, ibu jangan bilang kaya gitu to... malu aku, tambah bingung akunya bu..." ucapnya, sedikit menoleh kebelakang. Karena aku juga tahu dia tidak bisa begitu saja melepasku, dia juga membutuh seorang wanita untuk menenangkannya

"Ya sudah, kamu jangan mikir kamu selingkuhanku atau tidak, dah jalani saja. kamu kesini mau anggap aku kakak kamu atau apapun itu terserah... yang penting, kita jaga rahasia kita okay sayang?" ucapku dengan tersenyum

"Enak situ susah sini bu..." ucapnya

"Lho kok bisa?" ucapku, suasana yang semula tegang semakin mencair dan sedikit penuh canda

"Ya situ enak punya suami dekat ma aku, lha aku dekat sama istri orang..." ucapnya

"Ya kamu cari pacar dong..." ucapku

"Ntar ibu cemburu..." ucapnya

"Hi hi hi gak deh, janji... kan aku tempat curhat kamu hi hi hi... kalau kamu menikah nanti berarti selesai, gitu aja kali, gimana?" ucapku

"Aneh, kalau aku benar-benar jatuh cinta sama ibu?" ucapnya

"Mau sama cewek yang bersuami? Nyesel lho..." ucapku

"Benar juga ya bu... he he he" ucapnya, wajahnya terlihat luwes sekarang

"Huh! Dasar laki-laki kalau sudah sama yang brsuami aja langsung " ucapku bercanda sambil mencubit pipinya

"Aucchhhh... sakiit, huh... lha kan ibu sendiri yang bilang..." ucapnya

"Huffffhhh... kadang aku tidak peduli dengan keberadaan pak RT setelah tahu bagaimana pak RT diluar sana bu. Ketidak pedulianku itu mungkin yang menuntun langkahku kemari, menemui ibu. kalau aku sayang ibu, aku jawab iya bu..." lanjutnya sembari mengelus pipi kanannya yang aku cubit

"Aku juga sayang kamu kan ar, aku sudah pernah mengatakannya. Kamu dan aku punya kehidupan masing-masing, sudah jangan kamu pikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. jika benar kamu jatuh cinta denganku dan aku jatuh cinta denganmu. Kita saling mengingatkan agar selalu tetap pada kehidupan masing-masing. Hubungan kita untuk saling bertukar pikiran dan saling menenangkan, walau suatu saat nanti kita tidak tahu akan hal-hal yang akan terjadi"

"Lagian kasihan tuh dua cewek yang sering anterin kamu, eh tiga ya lupa aku" ucapku

"Ha? Kok ibu tahu semua to?" tanyanya heran, dia sedikit terkejut

"Bener gak? Sayang kan ada tiga cewek cantik di lepasin begitu saja hi hi hi..." ucapku mencandainya

"Iya bu iya... aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi didepan nanti bu..." ucapnya,

"Datanglah jika kamu merasa gelisah, dan datanglah pula ketika aku merasa gelisah..." ucapku, sambil tangaku mebetet hidungnya

"Ewwwww... baiklah bu... aku tidak tahu mengenai sayang dan cinta. Tapi jaga aku, maka aku akan menjada ibu" ucapnya

"Iyaaaa..." ucapku memeluknya semakin erat

"Kamu tahu... memelukmu, seperti sekarang ini. aku merasa nyaman. Jadikan aku tempat berkeluh kesahmu" ucapku lirih

"Jangan sampai ibu jatuh cinta, karena hanya aku mirip dengan seseorang" ucapnya, dia kemudian berdiri dan aku melepaskan pelukanku. Kini aku dan dia saling berhadapan.

"Iya sih mirip tapi gantengan dia tahu, kamu itu pede banget hi hi hi" ucapku

"Jika semuanya harus berakhir, kita tetep harus baik lho..." ucapku

"Iya bu iya, mana mungkin aku jadi jahat sama ibu..."

"No love ya bu" lanjutnya

"Iya no love..." ucapnya

Jari kelingking kami bertautan tanpa menunggu, tubuhku maju lalu kucium bibirnya sekali lagi, bibirnya memang indah dan pelukannya hangat. Kulepas pelukanku dan tersenyum kepadanya

"Dadah ibu cantik, Arta pulang dulu ya, ndak boleh jatuh cinta ma Arta lho bu he he he" ucapnya

"Dasar! Kamu, hati-hati pulangnya, cepet dah mau subuh keburu ada orag keluar rumah" balasku kepada lelaki muda ini, lelaki yang lebih muda dariku

Segera dia keluar dari rumahku dan aku berada didalam rumah. Pintu gerbang ditutupnya dan dari balik jendela ruang tamu aku melihatnya melangkah menuju jalan ke kontrakannya. Terus aku memandang tubuh itu, hingga hilang dari pandanganku. Sebuah garis, garis yang menghubungkan aku dengannya, entah sebagai seseorang yang harus menemaninya atau bukan, tapi aku selalu merasa dia lebih berarti daripada teman hidupku sekarang.

"Huh, tapi aneh dia laki-laki aneh, sekalipun ini pertama baginya biasanya cowok kalau sudah dapat bibir pasti kebawah tapi dia tidak... hmmm... kamu menarik ar, dan kamu membuatku jatuh hati kepadamu. Ups... maaf ar, no love... hi hi hi... asal bisa bersamamu sebentar saja itu sudah cukup bagiku, jika semua harus berakhir aku masih punya anak-anakku yang bisa aku urusi. Abah, mau salto mau kayang bodoh amat... mau kasih uang bulanan bodoh amat, aku punya bisnis sendiri... "

"Dan setelah denganmu, aku siap untuk... lho kok jadi melow sih aku hi hi hi" bathinku

To : Arta
Met bobo sayang, jangan lupa
Bobonya habis subuh ya :*

From : Arta
Iya ibu RT-ku sayang :*

Aku tersenyum, entah apa yang akan terjadi setelah ini. Entah apa yang akan ku alami, aku tidak mau tahu. Aku akan menemaninya hingga dia menemukan apa yang dia cari. Dulu hanya ayahku dan adik lelakiku yang bisa memelukku, suamiku juga bisa memelukku setelah dia menjadi suamiku, mantanku? Dia pun sama tak bisa menyentuh semudah ini, tapi kamu, hmmm... bukan kamu yang mencoba menyentuhku tapi malah aku. Hmmm....



---------------------​

"Mas kesana yuk..." ucap Linda, aku mengangguk. Yes! otakku selalu berputar dan selalu bisa menjawab pertanyaan dari lisa yang sekarang menjadi kekasihku ini. bahkan otakku juga mulai berputar cepat, ayo Justi jadilah laki-laki bijaksana, jaga omongan kamu!

Akunya sama Linda pergi ke sebuah tempat wisata selama beberapa hari ini. Arta sendirian di kontrakan, ya karena memang Samo juga pergi dengan Lisa. Semakin hari aku semakin sayang dan cinta terhadap janda muda ini. Wajahnya periang dan juga kini dia telah berubah tidak mbentak-mbetak kaya dulu itu. Lebih kalem, lebih lembut, ya pokoknya itu lebih enak deh kalau diajak ngomong.

Kemarin Arta pergi, lha aku ya ikut pergi to, ngikuti ajakan mbak Linda. Dah terlanjur sayang owk, akunya. Aku diajak liburan bareng mbak Linda, katanya lagi ndak enak hati. Seharian aku terus menelusuri tempat wisata ini dari mulai air terjunnya, warungnya, dah pokoknya banyak yang aku datangi sama mbak Linda.

"Aduuuh..." teriak kesakitan mbak eh adek Linda, pas naik ditangga,

"Weeeh, hati-hati mbak eh, ade..." aku kaget, langsung aku tangkap tubuhnya. Lha pas nangkap tubuhnya, si tanganku ini megang sesuatu, empuk banget.

"Aaagghh... sakit mas..." lhadalah, Linda sudah ndak bisa lagi berdiri, terus bagaimana ini?

"bentar ya, tak lihatnya, duduk dulu..."

"disini to ya? oooh ini terkilir, ya sudah..." tak cek, memang terkilir, aku balikan tubuh.

"Eh, mas mau apa?" ucapnya

"Ya digendong to, gendong dibelakang, ndak mungkin jalan dengan kaki seperti itu, nanti kalau sampe penginapan tak pijet..." ucapkku

"Gak papa mas?" ucapnya, aku menoleh kebelakang

"Ya ndak papa to ya, sudah ayo, sudah mendung lho. Nanti sampai penginapan aku pijet, bisa kok aku" ucapku, dengan perlahan dia meraih pundakku dan hup...

"Emmghh..." aku mengangkat tubuhnya

"Berat ya?" ucapnya

"Ndak enteng kok... nanti aku pijit. Aku dan kedua sahabatku itu pernah belajar mijet, mau jadi tukang pijet, lha dlu masalahnya dulu ndak kepikiran kalau bakal kuliah" weidian, lumayan berat tubuhnya

"Untung mas kuliah.." ucapnya

"Iya, untung banget..." ucapku

"He'em... aku bisa ketemu mas..." jawabnya

"Eh..." aku tersenyum, malu-malu gimana gitu

"Iiih mas wajahnya meraaaaah..." godanya

"Merah? Aku itu ndak pake bedak merah lho ya..." jawabku

"Iya iya... hi hi hi" dia malah ketawa bingung aku

Aku menggendongnya menuju ke atas, masih terlalu jauh. Karena tangga yang kelihatannya pendek ini terasa menjadi sangat panjang ketika tubuhku mengangkat tubuhnya. Dia memeluk leherku erat, kadang mencium leherku.

"Baru kali ini... aku merasa aman bersama seorang lelaki..." ucapnya, aku tersenyum

"Kalau mas capek bilang ya, istirahat, nanti biar adek jalan sendiri... gak papa" ucapnya

"Ndak capek ya, aku itu kalau sudah sama Mbak eh adek Linda, ya ndak pernah capek to ya" tak jawab sekenanya. Eh, lha kok malah dia tiba-tiba mencubit pipiku

"Iiih sok romantis deh..." ucapnya, aku hanya tersenyum. He he he... terima kasih wahai otak pintarku

Sesampainya di penginapan, aku merebahkannya di tempat tidur. Dua bantal aku letakan di belakang tubuhnya sehingga dia bisa bersandar dengan nyaman. Aku naikan sedikit celana pensilnya itu, segera aku bertanya kepadanya hand body lotionnya. Setelah semua siap, aku mulai mengurutnya, terdengar rintih kesakitannya tapi aku coba meyakinkannya kalau sakitnya hanya sebentar. Aku tarik kembali celana pensil yang terangkat yang hanya sedikit itu dengan posisi masih berlutut.

"Sudaaaah... eghhh..." ucapku

Tiba-tiba dia bangkit dan tangannya meraih krah kaosku. Ditariknya hingga aku mengikuti tarikannya. Kedua tanganku tepat berada di samping kanan kiri perutnya. Wajah kami saling berdekatan.

"Cium aku..." ucapnya

"Eh..." aku terkejut

"Cium aku!" bentaknya

"Lho kok suruh nyium?" ucapku

"Cepetaaaan!" ucapnya keras

"Jangan dibentak toooo... aku kan takut" ucapku

"Ma'aaaaaf..." bibirnya tertekuk kebawah, bibir bagian bawahnya digigitnya

"Lho..." ucapku sambil tersenyum

"Gak pernah cium aku mas itu... mmmmpppphhh...." ucapnya tertutup oleh bibirku

Dengan hati-hati aku mulai memeluknya, kududukan dia sempurna begitupula aku. Aku duduk tepat disampingnya, bibir kami saling melumat. Hanya ciuman saat itu yang membuatku tertegun tetapi kini aku melakukannya. Pelukanku semakin erat, bibir kami saling melumat. Lidahku keluar dan masuk kedalam mulutnya. disana lidahku menemukan lidahnya.

"Ashh... mas... adek benar-benar sayang mas... adek janji gak bentak mas lagi, kalau mas bener-bener nyayangi adek" ucapnya

"Ya jelas sayang to ya...." ucapku kembali menciumnya sebentar

"Massssshhh..." desahnya disela ciuman kami

Tangannya mengarahkan tanganku ke susunya, susu! Kenyal dan lembut sekali walau masih tertutup kaos ketatnya itu tapi hanya sesaat remasan tanganku didadanya.

"Buat mas... pokoknya adek maunya mas..." ucapnya, aku sebenarnya sedikit gugup

"Kenapa?" lanjutnya

"Eh anu itu... aduuuh.... bingung... apa itu... mmmmppphhh" ucapku terhenti ketika bibirnya mencium bibirku lagi

Tubuhku yang berada disampingnya langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Kedua tanganku berada disamping bahunya, dan bibirku mencium bibir manisnya, uuughhh. Pelan-pelan, kedua tanganku mulai bergerak masuk melalui kaosnya. Mulai meremas susu yang tertutup kaos dan BH-nya.

"Bukaahh ajahhh massshh,... mmpppphh..." ucapnya ketika kami berciuman, tangannya memgang kepalaku untuk berciuman kembali.

Pelan-pelan, kaosnya aku naikan keatas hingga terlihat BH-nya dan juga BH tersebut aku naikan. Susu putih, indah dan kenyal hmmm... bibirku lepas dari bibirnya langsung aku sambar susunya itu. mengulumnya, ah benar-benar pengalaman keduaku dengan wanita kedua. Masalah sudah jebol atau tidak, yang penting nikmat dan cinta.

"Eemmmm... errgghhhh... pelan ngulummmhhhnyaaah..." ucap lisa

"Slurrrp... habis bagus yang..." ucapku

"Mmmhhh... ssshhhhh" desahnya

Tangannya mulai mengelus penisku, dan perlahan meremasnya. Tanganku mulai nakal turun kebawah, hingga tepat diselangkangannya. Kuelus, kuelus dan langsung aku masukan melalui celah celananya menuju ke vaginanya.

"Eggh.... " tubuhnya menekuk keatas

Tak sabar, aku membuka celana lisa dengan cepat. lisa mempermudahku membuka celananya dengan sedikit mengangkat pinggulnya ke atas. celananya lolos dan juga celana dalamnya, aku duduk bersimpuh disampingnya dan melihat tubuh yang bugil bagian bawahnya dan bagian atas masih menyisakan kaos dan BH yang terangkat ke atas.

"Jelek ya?" ucapnya aku menggeleng

Aku menunduk dan langsung menciumnya, jariku pelan-pelan memainkan vagina lisa. Lisa berteriak tapi tertutup dengan mulutku. Aku berterima kasih pada wanita bersuami itu karena dulu pernah mengajariku berbagai cara memuaskan wanita. Jariku masuk dan mulai mengocok vagina lisa, jariku ku tekuk keatas menyentuh daerah sensitifnya.

"Arghh... pelan massshhh erghhh mmmpppph.... massshhhh erghhh...."

"Arghh... mmmmggghhh..." desahnya, kedua tangannya memegangi tanganku yang mengobok-obok vaginannya tanpa meahan, cuma memegang

"Enakan?" ucapku

"Erghhh... he'em.... shhhh mashhhhh... eghhh... " desahnya, diantara desah dia mengangguk

Aku turunkan tubuhku, tanganku masih mengocok vaginannya. Aku bergerak ke tengah-tengah selangkangannya, bibirku langsung maju dan memakan daging segar ini. Hap, kulahap vaginanya dan lidahku menjilati itil lisa.

"Arghh... masssh.... ahhh yah enak banget mashhh terussss massshh mmmhhh... teruuusssshhh... linda... argh gak pernah digituin erghhhhh..." racaunya, aku semakin bersemangat menjilati vaginanya, sementara jariku masih mengocok lubang vagina linda

"Arghh linda.... mau kelaur arghhh... mmmmhhh... yah terussshhh mashhhh erghhh..." racaunya

"Linda keluaaaaaaarhhhh....." teriaknya

Tubuhnya menekuk ke atas dan bibirku masih berada divaginanya. Terasa cairan hangat mengalir dari vagina lisa. Tubuhnya jatuh ke tempat tidur, dan nafasnya tersengal-sengal. Aku angkat tubuhku dan duduk bersimpuh diantaradibuatnya selangkangannya.

"Hash hash hash... mas pinter bangethhh... lisah gak pernah digituinhhh..." ucapnya

Aku langsung memluknya dan mencium keningnya. Semua pelajaran dari sang mantan aku praktekan kepada lisa. Tangannya langsung meraih kepalaku dan mencium bibirku. Tangannya lalu turun dan membuka resleting celanaku, dan menurunkan celanaku. Dielusnya lembut penisku perlahan dan ketika meremas sang penis.

"Eh... mas..." ucapnya terkejut

"Eh.. ada apa?" aku malah terkejut

"Sebentar..." ucapnya mendorong tubuhku hingga duduk bersimpuh, tapi disela-sela ketika aku hendak duduk dia tarik celana dalam

"Iiiiiiiiiiih... mas ini apa?" ucapnya

"Ini burung... penis..." ucapku malah bingung dengan sikapnya

Pelan, dia elus penisku...

"Besar banget mas... beda sama mantan suamiku... gemukan ini panjangnya sama... seingatku" ucapnya

"Eh... kok dibanding erghhh... auuuchhhh mmmhh... enak yang.." desahku ketika mulutnya mulai mengulum kepala penisku

Terasa kulumannya sangat sempit, apalagi kalau lidahnya sudah mulai menjilat-jilat kepalanya. Kalau dilihat dia sangat menikmatinya, pelan-pelan dia memajukan kepalanya kemudian mundur lagi. Bahkan dia menjilatinya kaya es krim, percaya ndak percaya.

"Slurrrp.... mmmmmhhh... enak mas, bener-bener mateb kalau ini hi hi hi" ucapnya, memandangku ke atas dan tersenyum

"Eh, itu punya linda..." ucapku

"Iya dong, gak boleh dikasih sama siapa-siapa ya..." ucapnya

Dia kemudian bangkit tetap sambil mengocok penisku. Bibirku langsung disambar bibirnya dan tangannya menarik kaosku ke atas. aku ndak mau kalah, ya aku tarik juga kaosnya ke atas. dia telanjang aku masih ada celana yang turun sampai dipahaku. Naaah, aku pegang bahunya dan aku rebahkan di atas kasur lagi tubuhnya. Terus, aku lepas celanaku tanpa dikasih tahu lisa langsung membuka pahanya. Wuiiih... vagina aaaah....

"Cepeetan mas,sudah gak tahan pengen ngrasain itu..." ucapnya

Aku Cuma senyum-senyum saja, bangga dengan pujian dia kepada penisku. Aku dekatkan penisku ke vaginanya yang sudah basah itu. aku tekan perlahan...

"Effttttthhhh... pelan mashhhh eghhh... aduuuuh. Besar bangettthhhh..." ucapnya

"Yang sempith punya lindaahhh ugggh..." ucapku

"Pelannhhh... erghhhh itu besarhhhhhh..." racaunya

Aku itu sudah benar-benar tidka tahan, kecepit, sakit bodohlah. Aku tekan keras saja pinggulku dan masuk semua, lindsa langsung menjerit dan meremas kedua lenganku. Sakitnya, apalagi kuku lisa yang panjang-panjang membuatku semakin mengaduh kesakitan.

"Aduuh... sayang jangan dicakar..." ucapku

"Erghhh... " matanya mendelik keatas pas kepalanya mendongak

"Ahh jangan digoyang dulu massshhh... masih kerasa sakit..." ucapnya, aku mengangguk

"Hufth hufth hufth... besar banget massshhh..." ucapnya, aku tersenyum bangga

"Yang, digoyang ya, sudah ndak tahan aku..." aku bener-bener sudah kebelet, enak banget rasanya

"He'em... erghhh pelanhhh duluhhh uftttthhhh...." ucapnya

"Aah enak yang, sempit bangettthhh erghhhh... enak banget divagina kamu..." weidian, aku bener-bener keenakan

"Aku juggahhh enakkkhhhh erghhhhh kerasa bangethhh mashhhh" racaunya

Aku menggoyangya dan kelihatan susu linda yang lumayan besar itu naik turun, kalau dibandingkan dengan wanita bersuami itu besaran punya lisa. Aku menundukkan tubuhku dan langsug menciumnya. Linda menciumku tapi tidak bisa terus-terusan karena dia kadang membuka mulutnya dan mendesah terus-menerus. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan desahan-desahan khas wanita.

"Arghh... aaaaaaaaaaaaarkkhh ya... terushhh... ahhhhh... erghhhhh... mmmpppffthhhhh..."

"Aaaaaarghhh massssshhh... enak bangettth kontol masssshhh..." racaunya

"Vagina kamu juga enak, kecepit bangettthhhhh... semppiiiiitthhh ughhh..." balasku

"Teruusssshhh mashhhh terusssshh..." racaunya

Aku semakin menggoyang cepat, sempitnya vagina lisa membuatku semakin bersemangat. Dibandingkan dengan vagina yang pernah aku rasakan, rasanya beda, ini lebih yahuuud. Uugh, benar-benar sempiiithhh...

"Yang, aku mau negcrooothhh..." ucapku

"Ade juga masssshh... keluarin dalem sajahhhhh" jawabny

Tanpa komanda darinya aku langsung menggoyang dengan cepat dan sangat cepat. tubuh lisa memelukku dan bibir bawahnya digigit, matanya terpejam.

"Ade... adek.... adek keluarrrrrrrrrrrrrrhhh..." teriaknya

"Aku jugaah... agh agh agh..." teriakku

Croot croot croot croot croot croot croot

Aku memeluknya dengan sangat erat, tubuh lisa menekuk-nekuk dan mengejang beberapa kali. cairan pejuhku dan cairan hangatnya bersatu padu, terasa sekali di penisku. Aku memeluknya terus hingga nafasnya teratur. Matanya yang terpejam, perlahan terbuka dan terus aku pandangi. Kucium keningnya dan dia tersenyum kepadaku. Kubelai rambutnya sejenak...

"Hash hash... pinter banget.." ucapnya

"Aku kan sudah pernah bilang, kalau sudah pernah beginian hasssshhh..." ucapku

"Sama aku terus ya.." ucapnya

"Pastii..." balasku

"Kokon mas buat adek seorang ya..." ucapnya, aku mengangguk

"Itu si vivi buat mas seorang ya..." balasku, dia menjawabnya dengan anggukan

Aku saja ndak ngerti kenapa aku bisa kasih nama vaginanya si vivi. Lha itu lisa juga tiba-tiba kasih nama penisku si kokon. Kelihatanya linda capek, jadinya dia mejamin mata lagi. Kuciumi saja kening linda yang manis nan menawan ini.

"Masss... kalau mau nambah lagi besok-besok lagi ya, capek... beneran" ucapnya tiba-tiba

"Eh, laaah... kan masih tegang..." ucapku merajuk

"Plis yang, besok ya... capek banget, pengen tidur sambil dipeluk mas" ucapnya

"He he he iya..." jawabku

Aku merebahkan tubuhku disamping linda, terus aku peluk dia, eh dianya miring ke arahku dan ada dalam dekapan kekasihnya yang ganteng ini. hmmm... aku benar-benar mencintainya, semoga saja akhir perjalananku sama lisa, semoga.

"Gak nyangka mas pinter banget, kelihatannya saja kalau di depan teman-teman mas itu, mas kelihatan o'on sekali... tapi hi hi hi diranjang pinter" ucapnya dalam pelukanku

"Heee? O'on lagi? Mas kan Justi kok o'on.." ucapku

"Aku tunggu kamu mas, kalau sudah jadi bapak, jangan o'on lagi ya..." ucapnya

"Justi sayang, Justi, hadeeeeh... adek itu salah sebut nama terus" ucapku bingung

"Dah tidur hi hi hi..." ucapnya

Aku peluk kembali si Linda dengan erat, masa bodoh dia mau manggil aku o'on atau Justi terserah dia. Yang penting dia sekarang milikku seorang.



---------------------
Ah, kampret mereka berdua! Aku tinggal dua hari, malah mereka menghilang sampai tiga hari. Dasar pecinta vagina, kampreeet...! hah, sudah malam tapi tak ada teman, aku ambil gitar di kamar Justi. Ya, Justi yang mempunyai gitar, selama 1 semester ini tak pernah dipakai, biasanya kalau di desa aku dan mereka berdua bermain gitar pada malam hari. Ah, mungkin karena kesibukan-kesibukan mereka dengan mainan baru mereka. Lagu lawas, yang hanya aku dengar dari radio setiap sabtu malam. Aku cari-cari kort dan liriknya ketika sekolah dulu. Aku kangen rumah... aku kangen desa...

You know I'm a dreamer
But my heart's of gold
I had to run away high
So I wouldn't come home low
Just when things went right
It doesn't mean they were always wrong
Just take this song, and you'll never feel
Left all alone

Take me to your heart
Feel me in your bones
Just one more night
And I'm comin' off this
Long & winding road

I'm on my way
I'm on my way
Home sweet home...
Tonight, tonight
I'm on my way
I'm on my way
Home sweet home...
You know that I've seen
Too many romantic dreams
Up in lights, fallin' off
The silver screen

My heart's like an open book
For the whole world to read
Sometimes nothing
Keeps me together
At the seams

I'm on my way
I'm on my way
Home sweet home...
Tonight, tonight
I'm on my way
Just set me free
Home sweet home..
 
Terakhir diubah:
mohon maaf, RL benar-benar menyita waktu
cuma bisa online via hape jadi ndak bisa update kalau via hape...

yang udah asih GRP dll
terima kasih banyak,

mohon maaf jika tulisan nubie jelek dan tidak enak dibaca,
semoga ada kritik dan saran


perpindahan POV memang sengaja tidak nubie beri,
mau cari suasan baru he he he


:ngupil:

:ngacir:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd