Uughh... erghhh.....
Aku terbangun. Kurasakan hangat di tangan kiriku.
Eh...
Lho sejak kapan Desy dan aku saling meremas tangan? btahinku. aku heran ketika kedua tangan Desy menggenggam erat tangan kiriku
Aku sedikit menunduk. Kulihat wajahnya masih tenang, yang berarti dia masih tidur. Cantik banget, eh salah, tenang banget tidurnya. Eh, ternyata kalau aku lihat lagi dia manis ya. Eh, kok, lho.... aduh. Artaaaa... sadar Arta dia sudah ada yang punya. Kenapa aku selalu dihadapkan dengan seorang wanita yang mempunyai pasangan? Hah!
Ku kucek mataku dengan tangan kananku. Mencoba mengembalikan kesadaranku. Sesaat setelahnya, aku selonjorkan kaki kananku. Segera ku ambil hape dalam saku kananku perlahan. Takut kalau Desy terbangun dari tidurnya. Hmm, pukul 04.00WIB. Masih terlalu pagi. Masih terlalu dingin udara di atap gedung, walau tak sedingin pagi hari di desaku.
Haduh, kalau posisi seperti ini mana mungkin aku merokok. Apalagi nyari minuman buat teman rokok. Bangunkan Desy, tetep seperti ini, bangunkan Desy, tetep seperti ini. Ah, Rokok aku pengen ngrokok. Tapi kasihan Desy masih nyenyak tidurnya. Dia pastinya kelelahan, malam tadi dia menemaniku berbincang. Kata-katanya, hmmm, pantas kalau dia tampak lebih dewasa dari teman-teman sebayanya.
Nah, kelihatannya aku harus bangunkan dia. Terus aku ajak keluar rumah sakit. Siapa tahu ada yang jualan minuman hangat he he he bathinku, aku senyum-senyum sendiri
Ku hirup nafas panang. Ku lepaskan. Menyiapkan diri untuk membangunkan Desy. Ta-tapi bagaimana cara membangunkan cewek? Eh, dulu Ibu tidak suka kalau dibangunkannya keras-keras, harus lembut. Ta-tapi, aku kan selalu gagal kalau membangunkan Ibu saat itu. ah, masa bodohlah, aku coba saja. Siapa tahu bisa.
Eh, Ibu... lirihku.
Aku kembali termenung. Mengingat percakapanku dengan Ibu semalam. Benar-benar indah sekali semalam. Bisa kembali bercakap-cakap dengan Ibu dalam waktu yang lama. Dapat kecupan lagi, setelah sekian lama aku tidak pernah mendapatkannya.
Terima kasih bu bathinku.
Aku kemudian melirik ke arah Desy. Aku tersenyum ketika melihat perempuan ini tertidur. Tenang dan terlihat sekali tanpa beban. Pelan aku pegang lengan kirinya dengan tangan kiriku. Tangan kananku aku tarik perlahan dari genggamannya untuk memegang lengan kanannya. Pelan aku meggoyang tubuhnya.
Deeees.... Desy... bangun Des lembut sekali suaraku. Berdasarkan pengalaman ketika membangunkan Ibu.
Beberapa kali aku menggoyang tubuhnya tapi dia tetap tertidur. Akibat kelelahan semalam ini pastinya. Tapi aku sudah tak tahan akan haus dan keinginan merokok. Ku dekatkan wajahku. Dan sekali lagi aku membangunkannya. Menggoyang tubuhnya. Suaraku sedikit lebih keras dari sebelumnya.
Erghh... masih ngantuuuuk.... manjanya
Dan tubuhnya tiba-tiba bergerak dan memelukku.
Nyuuut...
Heghhh.... De-Des... suaraku masih pelan tertahan.
Tubuhku duduk tegak karena pelukan eratnya. Aku semakin terdiam. Nafasku semakin pendek. Kalau saja aku bernafas panjang pasti dia akan sadar dengan posisinya. I-itunya kok, aduh, ini bagaimana?
Tangan kiriku memegang lengan kirinya.
Des... bangun Des, sudah pagi... cari kopi yuk lembut dari bibirku.
Beberapa kali aku mengucapkan kata-kata yang sama untuk membangunkannya. Setiap kali mencoba membangunkannya suaraku lebih keras dari sebelumnya. Sebagai hasil kalau aku tidak sabar menunggunya bangun.
Egh... Jam berapa? Uuughhh.... Ucap tampak begitu malas dan manja. Matanya masih terpejam.
Jam empat lebih Des jawabku pelan dan lembut
Jam empat? Eugh... masih pagi bentar lagi Ar ucapnya lembut dan manja.
Fyuuuh... ternyata dia sadar kalau aku yang ada disampingnya coba saja kalau...
ARTA??! tiba-tiba Desy terbangun dan melepas pelukannya. Dia tampak terkejut sekali ketika sadar kalau yang disampingnya adalah aku.
AAAA... teriaknya
PLAAAK!
Auch... sebuah tamparan keras di pipiku kiriku. Membuatku kepalaku terdorong ke samping.
Aduh Des, sakit Des protesku
Ka-kamu kok bisa, ta-tadi kok aku bisa... ARTA! teriaknya sekali lagi
Des-Desy, tenang Des, jangan teriak-teriak... tenang... tenang ya? tenangku kepada Desy
Ka-kamu ngapain tadi, ayo jawab jujur, kenapa aku bisa i-itu ka-kamu? tanyanya dengan posisi memeluk tubuhnya sendiri. Duduknya bergerak sedikit mundur. Menarik jaket yang dia pakai semalam. Wajahnya sedikit terlihat begitu malu dan ada sedikit rasa kesal.
Des... tenang dulu, itu gini aduh... aku bingung sendiri untuk menjelaskannya
Ayo, kamu pasti tadi ngapa-ngapain! Iya kan?! bentaknya sedikit keras.
Wajahnya kesal. Benar-benar berbeda dari semalam. Padahal semalam yang duduknya mepet-mepet ke aku juga dia. Bukan akunya.
Ya-ya kan gini Des... huuufth... semalam kan, kamu sendiri yang datang kesini. Terus tidur sambil narik tanganku. Tadi waktu aku bangunkan kamu tiba-tiba kamu meluk aku. Aku bingung. Maaf kalau tadi ngebanguninnya kasar. Aku ndak pernah bisa bangunin cewek, Ibuku saja dulu marah. Haaaah... aku melenguh panjang setelah menjelaskan semuanya. Aku menunduk dan menggaruk-garuk kepalaku
Terserah kamu sekarang Des memandangnya dengan bibir melengkung kebawah
Eh, gitu ya... Tapi kamu gak ngapa-ngapain aku kan? tanyanya
Enggak Des, Enggaaaaak... beneran jawabku dengan menunjukan dua jari membentuk huruf V
Ya sudah... beruntung aku berarti. Maafnya, namanya juga cewek. Wajarkan kalau pikirannya macam-macam. Huh! dia melengos membuang muka, dan membelakangiku.
Aku menghela nafas panjang. Melihat Desy yang masih membelakangiku. Membenarkan jaketku yang dia kenakan untuk menutut tubuhnya. Sesekali dia merapikan kerudungnya. Walau aku tak melihatnya secara langsung, aku bisa menebaknya. Tapi aneh juga ya, dia tidak seperti kesehariannya sekarang. Lebih manja kalau menurutku. Apa karena denganku ya? Eh, wajar juga sih cewek kalau dia manja. Bener kan?
Iya Des maaaf ucapku sekali lagi
Huh.. Keluhnya
Aku tersenyum ketika melihat Desy yang sangat berbeda pagi ini.
Des, sebagai permintaan maaf kita keluar yuk. Cari warung, nanti aku traktir makan kalau sudah ada. Atau kalau ndak ya ngopi ajakku dengan niat terselubung dalam hatiku. Merokok he he.
Dia membalikan tubunya. Memandangku sejenak dan mengiyakan ajakanku. Aku kemudian berdiri terlebih dahulu. Menarik kaosku, merapikannya sejenak. Setelah aku berdiri dan rapi, kulihat Desy tampak sedikit kesulitan untuk berdiri. Aku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri.
Dilepaskannya jaketku yang hanya menutupi punggung dan pundaknya. Dengan sedikit wajah kesalnya, dia kembalikan jaketku. Semakin lama aku semakin tidak mengerti perempuan. Ku kira Desy tidak akan kesal seperti ini. Eh, dia masih terlihat kesal setelah menyerahkan jaket. Didepanku dia membenarkan pakaiannya dan membersihkan celana bagian belakangnya.
Aku terus memperhatikannya, dan sesaat kemudian dia melihat ke araku. Tepat ketika mata kami bertemu, dia langsung membalikan badannya dan bersedekap. Apa aku melakukan sesatu yang aneh? Aku kan cuma memperhatikannya? Haruskan aku merayunya agar dia tidak lagi kesal?
Eh, jangan-jangan ketika tadi aku memperhatikannya merapikan pakaian. Dia berpikir aku melihat ke arah yang lain? Waduuuuh... bathinku.
Ku tepuk jidatku sendiri karena kecerobohanku. Kenapa bisa aku tadi melihatnya dengan sangat fokus? Aku yakin dia berpikira yang tidak-tidak karena ulahku tadi. satu-satunya cara agar suasana mencair memang aku harus mendekatinya.
Aku dekati Desy dan berdiri disampingnya. Ku senggol lengannya dan dia menoleh sedikit ke arahku. Matanya tampak kesal terhadapku.
Maaf, beneran aku gak ngapa-ngapain kamu Des. Jangan marah to Des, ntar aku dimarahi sama Ibu kamu candaku
Biar, biarin dimarahin sama Ibu aku. Biar dikutuk kamu jadi cewek! Huh... biar tahu rasanya jadi cewek itu lebih susah ketimbang jadi cowok ucapnya sembari membuang muka
I-iya maaf, jangan sampai dikutuk-kutuk seperti itu Des. Ntar kalau aku jadi cewek beneran, siapa yang jagain kamu? entah kenapa kata-kata ini tiba-tiba keluar begitu saja
Eh... dia tampak sedikit tertegun dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu. Matanya tajam memandangku sedangkan aku hanya memandangnya dengan tatapan bodohku.
Huh... ya udah, ayo cepet! ucapnya dengan nada kesal dan berjalan mendahuluiku
Aku segera menyusulnya. Kami kemudian berjalan beriringan menuju ke lantai bawah. Ketika berada di tangga, tangga yang menghubungkan lantai atas dengan Atap gedung. Aku tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kejadian tadi. Antara geli dan geli saja sebenarnya tadi.
Kenapa senyum-senyum sendiri Ar? tanya Desy
Empuk... Eh... jawabku spontan
ARTA! bentak Desy
PLAAAK!
Auch... sekali lagi tamparan di pipiku. Aku terdiam dan mengelus-elus pipiku.
Maaf Des, Maaf... pintaku
Arta sekarang mesum! bentaknya dengan kedua tangan sejajar dengan tubuhnya. Wajahnya memerah antara malu dan marah.
Sekali lagi sebuah pukulan mendarat di perutku, membuatku sedikit membungkuk. Seketika dia langsung berjalan mendahuluiku, aku mencoba meraih tangannya tapi tak dapat. Segera aku aku berlari menyusulnya. Tepat dilantai atas gedung. Aku meminta maaf kembali. Dia bersedekap dan kesal sekali tampaknya. Membuang muka. Tak sedikit pun menoleh ke arahku. Kalau aku lihat wajahnya sedikit memerah.
Maaf Des... ucapku disampingnya.
Dasar cowok! Huh! kesal Desy kepadaku. Aku hanya menunduk sambil megelus-elus pipiku.
Oke, tapi nanti bayari semuanya. Dari minum, makan dan jajan ucap Desy. Beda, Desy berbeda pagi ini.
I-iya Des ucapku. Hah, salahku juga kenapa tadi aku asal ngomong. Tapi memang benarkan apa yang aku omongkan? Hufth!
Aku dan Desy kemudian menuju Lift. Menunggu sejenak dan sesaat kemudian pintu terbuka. Kami berdua masuk. Desy berada di sebelah kiriku. Disuruhnya aku memencet tombol angka 1. Tepat ketika pintu lift hendak tertutup. Sebuah tangan meghentikan pintu tersebut. pintu kembali terbuka.
Boleh ikut kan? tanya Seseorang yang aku kenal. Dini.
Bo-boleh Din jawab kami berdua bersamaan
Ye... gak usah gugup kaya gitu kali, kaya maling ketahuan aja hi hi hi canda Dini yang hendak melangkah masuk ke dalam lift. kami berdua menundukan kepala, malu.
Iiih, umi pacaran sendiri sama Arta canda Dini kembali, yang kemudian berdiri di samping kananku, sedikit kedepan. Didepan tombol lift. Sedangkan Desy berada di sebelah kiriku, sedikit kebelakang. Pintu lift tertutup dan kemudian lift bergerak turun.
Ini tadi Arta ngajak cari kopi, mau ngrokok palingan jawab Desy. Eh, kok tahu kalau aku mau ngrokok?
Masa siiih... Dari semalem lho canda Dini.
Desy terdiam. Aku menoleh kebelakang dan kulihat dia tampak bingung untuk menjawab. Wajahnya sedikit memerah.
Semalam aku sms Desy, Din. Mau tanya-tanya. Ya, banyaklah ucapku mencoba menutupi kebingungan Desy.
Owh... beneran Cuma cerita-cerita. Nangis lagi gak? goda Dini dengan menyenggol tubuhku
Din, jangan di omongkan lagi, malu aku ucapku
Sampai nangis Din, berarti kemarin ucap Desy yang entah dia sudah tahu apa belum.
Iya Umi, kan Dini dah cerita hi hi hi... nangis gitu deh mi, pokoknya iiih gak laki banget deh jawab Dini
Emang dasarannya kan gak laki si Arta canda Desy kembali
Heem umi, kaya anak kecil pengen permen tapi gak keuturutan umi balas Dini. dan mereka tertawa terbahak-bahak. Dengan tubuh lesu, aku menundukan kepalaku kembali.
Sekali lagi aku menjadi bahan tertawaan mereka berdua. Aku cuma bisa meringis saja didalam lift. Sesekali aku menghela nafas panjang, melepas maluku. Setelah mereka puas menertawaiku, keadaan menjadi hening. Lift bergerak pelan menuju kebawah. Entah, seakan waktu berjalan sangat lambat.
Tiba-tiba, Kurasakan pergelangan tangan kiriku diepegang oleh Desy. Aku terhenyak, berdiriku menjadi tegak. Aku melirik ke arah Dini yang sedang asyik menunggu lift sampai di lantai bawah. hanya untuk memastikan kalau Dini tidak menoleh ke arahku. Ku hela nafas panjangku. Dengan pelan, Aku menoleh ke arah Desy tapi dia membuang muka. Tapi tangannya menggenggam peregelangan tanganku dengan sangat erat. Kutarik tanganku ke belakang, agar Dini tidak melihatnya. Kembali aku memandang pintu besi kembali. Menghela nafas panjangku.
Benar-benar aneh kedua cewek ini bathinku
Sesampainya di lantai bawah. Desy langsung berjalan melewatiku, menarik tangan Dini. Kedua temanku kini berjalan terlebih dahulu. Aku melihat mereka berjalan didepanku. Benar-benar perempuan kota berbeda dengan perempuan di Desa.
Tiba-tiba pintu lift tertutup.
Lho eh... aku sedikit terkejut. Reflek, aku segera melompat keluar dan fyuh akhirnya.
Hi hi hi... tawa mereka berdua ketika melihatku
Gak segitunya kali Ar, cukup kamu majukan tanganmu saja. Pintunya juga bakal kebuka kembali jelas Dini
Bener katamu Din, gak laki banget canda Desy.
Sekali lagi mereka tertawa, menertawaiku. Dengan langah gontai aku mengikuti mereka dari belakang. Berjalan menyusuri depan gedung rumah sakit. Sulit untuk menemukan warung dipagi hari. Tapi kami beruntung ada warung tenda yang sudah buka. Selain minuman, juga menyediakan sarapan pagi.
Warung tenda dengan terpal warna biru sebagai payungannya. Aroma udara masih segar terasa, masih terlalul pagi untuk di cemari dengan gas karbon. Udara juga lumayan dingin namun tak sedingin ketika aku bangun tadi. Mentari pun masih malah untuk menyapa. Hanya langit yang mulai terang namun tak ada sinar yang terlihat. Ketika masuk kedalam tenda sudah ada beberapa orang disana. dengan segelas kopi dan rokok yang menyala. Mungkin mereka juga jenuh ketika harus menunggu sanak saudara yang menginap di rumah sakit. Sama seperti aku. Tanpa berlama-lama, kami memesan makanan.
Setelah selesai makan, sambil menunggu para wanita ini menyelesaikan makan. Aku keluar untuk merokok. Segaaar, Enak ternyata kalau merokok habis makan. Apalagi ada dua bidadari yang menemani. Aku yakin, kebanyakan orang akan merasa iri dengan posisiku saat ini. Mungkin memang benar kata Ibu, kalau aku ini orang yang ganteng. He he... Dan...
Ar, tuh bayarin semuanya ucap Desy yang keluar bersamaa Dini.
Ini sekalian buat temen-temen sama keluarga Andrew ucap Dini, sembari memperlihatkan bungkusan makanan dan minuman dalam dua katong plastik hijau transparan
lho kok aku? aku heran sendiri
Tadi kata Umi, kamu yang bayar ucap Dini
Lha i-itu kan Cuma Desy protesku
Gak usah protes! Cepet bayar! ucap Dini, galak. Desy hanya senyum-senyum sendiri.
Mati aku. Hanya itu yang terucap di hatiku. Mau bagaimana lagi. Kenapa juga tadi Dini ikut-ikutan ke bawah. Kalau aku sama Desy kan uangnya ndak habis banyak. Sudahlah, aku bayar saja daripada kena semprot dua bidadari ini.
Semuanya 135 ribu mas ucap Ibunya yang jualan.
Hah?! aku terkejut.
Terdengar suara cekikikan perempuan dibelakangku yang semakin menjauh. Mereka meninggalkan aku sendiri. Beruntung aku membawa uang. Setelah membayar aku menyusul mereka. Dengan wajah galaknya, Dini, menyerahkan dua buah tas plastik kepadaku. Kemudian mereka berjalan terlebih dahulu. Mereka tampak cuek, tidak menganggapku sama sekali. Seperti pembantu saja, pikirku.
Sesampainya di ruangan Andrew, semua sudah terbangun. Wajah mereka masih memperlihatkan raut muka yang malas dan ngantuk. Tapi setelah tahu ada makanan datang mereka langsung bersemangat. Semua menyantap makan pagi mereka.
Arta gak makan? ucap lembut dari Dina
Sudah Na.. jawabku
Bohong, sini Dina suapin ucap Dina
Beneran sudah tadi sama Desy dan Dini ucapku
Iiih, Desy sama Dini curi start deh canda Dina
Yee... lu kali yang bangunnya kelamaan. Makanya bangun pagi weeek ejek Dini
Ya udah, kalau gitu Arta yang nyuapin Dina saja. mau kan Ar? tanya Dina
Eh, i-itu a-anu... aku gugup
Gak ada anu-anuan, dari masuk kuliah anuuuu terus. Cepet! bentak Dina
Aku langsung meraih bungkusan di tangannya dan mulai menyuapinya dengan sendok plastik. Dengan gugup aku menyuapi Dina.
Iiih, makasih Arta ganteng manja Dina
Pacaran nih yeeee... teriak Irfan
Kali ini aku benar-benar malu. Apalagi aku mengar tawa cekikikan dari Dini dan Desy. Winda? Dia sedang disuapi sama Desy. Sedangkan yang lainnya makan sendiri.
Kalian cocok, bener kan pah? ucap Ibu Andrew
Hahaha... nikahin saja itu mas, daripada kelamaan hahaha tawa Ayah Andrew yang ikut meramaikan rasa maluku
Tapi tak apalah, malu-malu gini juga nyuapi perempuan cantik. Kadang ada juga yang memintaku untuk disuapi. Dinda, Salma dan juga Tyas, mereka silih berganti menggodaku. Bahkan Irfan dan Johan juga. Hanya sebatas menggoda, kalau menyuapi tetap ke Dina. Ah, ini sebenarnya aku yang tidak mengerti candaan mereka atau aku yang terlalu polos jadi bahan ejekan mereka.
Eh, Winda sayang mau gak disupain sama Arta? Tanya Dina kepada Winda.
Winda langsung saja menggelengkan kepalanya. Dia masih tampak takut kepadaku.
Woi Ar, lu ya, dikerjain habis-habisan mau saja. hadeeeeh... dasar ndeso! Ha ha ha aduh... teriak Andrew dari pembaringannya
Mas, sudah deh... manja Helena kepada Andrew
Eh, dikerjain? tanyaku
Enggak kok Arta ganteng, enggak... masa ayang Dina ngerjain Arta rayu Dina dengan sedikit mencubit pipiku
Dah na, kasihan Arta ucap Desy
Hi hi hi... sini Dina mengambil kembali bingkisannya
Makasih ya udah disuapin hi hi hi canda Dina
Aku hanya meringis saja sambil garuk-garuk kepala. Tak ayal membuat mereka semua kembali tertawa. Kadang Dini menjewer telingaku dan mengatai aku gampang dibodohi. Hah, masa bodohlah. Aku benar-benar ndak ngerti pergaulan orang kota. Atau memang benar ya aku saja yang kurang beradaptasi? Sebenarnya pergaulannya sama, tapi mungkin hanya caranya saja yang berbeda.
Kami berkumpul dan bercerita. Beberapa teman-teman perempuanku ada yang sedang bersih-bersih. Namanya juga wanita, kalau kotor dikit harus segera bersih. Berbeda kami yang para lelaki, sedari tadi pagi ndak ada yang bersih-bersih. Ke kamar mandi paling cuma buang air.
Aku hanya diam dan senyum-senyum sendiri mencoba menyesuaikan dengan mereka. Sulit juga ternyata beradaptasi dengan tipe pergaulan mereka. Sesekali dari mereka ada yang mengajakku berbicara tapi tetap saja aku hanya menjawab seperlunya. Maklumlah, ini adalah awal aku bertemu dengan mereka menggunakan tubuhku yang sebenarnya.
Ketika mereka sedang asyik bercanda. Pandanganku terpaku pada Ibu, Ayah dan Adik Andrew yang senantiasa menemani Andrew di pinggir ranjangnya. Helena juga ada disana. Beruntung sekali Andrew, tidak sepertiku. Ibunya, begitu lembut walau di awal aku melihat Ibu Andrew tak selembut yang aku lihat sekarang.
Bayangan Ibu kembali di mataku. Sebuah bayangan yang sekarang berada didepan mataku. Dimana Ibu sedang menyuapiku dan aku yang terbaring di tempat tidur itu. Ibu yang dengan telaten dan senyumannya menyuapi sesuap demi sesuap. Hatiku terasa trenyuh sendiri ketika bayangan itu hadir.
Sssst... jangan sedih, Beliau sekarang melihatmu bisik Desy
Eh..
Aku langsung menoleh ke arahnya. Seakan dia tahu apa yang ada dipikiranku. Sejenak aku melihatnya yang sedang bercanda dengan Dini disampingnya. Aku tersenyum, sama seperti malam tadi. Dia berbicara, terus membuang muka. Hmmm...
Tepat pukul 08.30 rasa kantuk mulai menyerang. Maklumlah, tadi pagi bangun jam empat pagi. sedang asyiknya bermalas-malasan, tiba-tiba seorang dokter datang bersama satu orang suster ke dalam ruangan. Kedatangan mereka untuk melakukan pemeriksaan rutin pagi hari. Setelah diperiksa oleh dokter, Andrew sudah bisa pulang besok dan melakukan rawat jalan. Kami semua tersenyum, bersyukur luka Andrew cepat sembuhnya.
Selang beberapa saat, dokter tersebut keluar dari ruangan. Aku kembali melihat kebahagiaan sebuah keluarga. Ibu Andrew tampak bersyukur sekali karena keadaan Andrew membaik ditambah lagi Andrew bisa pulang kerumah. Andrew tampak bahagia sekali. Apalagi Ibu Andrew meyuruh Helena untuk menginap dirumahnya, biar Andrew cepet sembuh katanya. Beruntung si Andrew.
Tok... tok...
Kleek...
Selamat pagi ucap seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Suaranya tegas.
Kami semua menoleh ke arah pintu. Satu orang lagi kemudian masuk. Semua tampak heran. Dua orang dengan jaket hitam, wajah garang dan pandangannya tajam. Orang kedua yang baru saja masuk tampak sekali lebih muda dari yang berada di depannya. Diantara wajah heran teman-temanku, hanya aku yang tersenyum. Perasaan ini pernah aku rasakan sebelumnya.
Ayah Andrew kemudian maju kedepan. Mendekati kedua orang yang baru saja datang.
Ada yang bisa dibantu pak? tanya Ayah Andrew
Sebelumnya, Benar ini kamar saudara Andrew Nugraha? tanya seorang dengan kumis tebalnya. Tatapan matanya tajam sekali.
Ya benar jawab Ayah Andrew, kami semua terdiam.
Kami dari kepolisian lanjutnya. Semua mata terkejut mendengar ucapan dari bapak tersebut. Kedua Polisi tersebut kemudian menyalami Ayah Andrew.
Mmm... Maaf pak, Bisa dijelaskan maksud kedatangan bapak kemari? Karena sebenarnya saya ingin ke kepolisian juga tapi belum ada waktu. Jadi saya merasa beruntung bapak datang kemari ucap Ayah Andrew
Begini, kami mendapat laporan tentang kejadian penganiyaan di tempat perkemahan jelas bapak polisi dengan kumis tebal
Ya pak, Lho kok sudah ada yang lapor? Saya saja belum membuat laporan ke pihak kepolisian mengenai anak saya yang menjadi korban tanya Ayah Andrew heran
Orang tua dari korban yang lain membuat laporan ke kepolisian. Dan kami kemari menjalankan tugas untuk melakukan penangkapan pak jelas bapaknya
Lho, kok malah anak saya yang mau ditangkap? Anak saya itu korban pak?! Saya kan sudah bilang tadi, saya tida terima ini! ucap ayah Andrew sedikit keras
Bukan anak bapak. Karena dalam laporan kami anak bapak bukan sebagai pelaku. Hanya saja, menurut laporan anak bapak ada pada saat kejadian. ucap Pak Polisi
Benar, anak saya memang ada disitu tapi sebagai korban. Dan ini kenapa bapak kesini untuk melakukan penangkapan? ucap Ayah Andrew
Begini bapak. Kami kesini, mendapat laporan dari rumah sakit terdekat dengan perkemahan. Setelah sebelumnya kami mengecek ke perkemahan. Dari keterangan yang kami dapat, pelaku bersama teman-temannya berada di rumah sakit kota. jelas bapak polisi
Sebentar pak, sebenarnya siapa yang membuat laporan? Dan disini tidak ada yang melakukan tindak penganiyaan di perkemahan. Yang ada disini semua teman anak saya yang menolong anak saya pada saat kejadian jelas Ayah Andrew
Tapi dari laporan, kami mendapatkan keterangan bahwa yang melakukan tindak penganiyaan adalah teman dari saudara Andrew, yaitu Arta tegas pak Polisi. Semua terkejut, terdiam, menoleh ke arahku. Sedangkan aku, hanya tersenyum saja.
Apakah ada yang bernama Arta disini? tanya bapak itu sekali lagi
Ya, pak saya. Arta, Arta Byantara Aghastya lengkapnya pak aku menjawab dengan senyuman, melangkah ke depan, mendekati pak polisi.
Baik mas, sekarang mas ikut kami ke kantor polisi. Anda menjadi tersangka penganiyaan. dari laporan anda menganiaya Frans, Bernard dan Kristian ucap pak polisi tegas
Ya pak saya akan ikut bapak ke kantor polisi ucapku maju mendekati pak polisi
Sebentar! bentak Ayah Andrew menarikku ke arahnya
Arta ini yang menyelamatkan nyawa anak saya! Kenapa malah ditangkap! Seharusnya yang bajingan-bajingan itu yang ditangkap, bukan malah teman anak saya! bentak Ayah Andrew
Pak polisi! Bukan Arta yang menganiaya saya, tapi mereka bertiga yang datang arghhh... teriak Andrew
Mas jangan bergerak dulu ucap Helena
Maaf bapak, kami hanya menjalankan tugas! Kami juga membawa surat penangkapan. Jika bapak menghalangi kami akan melakukannya dengan paksa! tegas pak Polisi
Eh, jangan pak. Saya ikut, saya tidak akan melawan pak ucapku tersenyum
Bagus, kalau begitu sekarang ikut kami ucap pak polisi
Desy dan Dini tiba-tiba saja menarikku kebelakang dan kemudian berdiri didepanku. Memprotes polisi tersebut. Berbagai penjelasan dari Desy dan Dini mencoba untuk membuat polisi mengerti. Bahkan yang lain juga ikut berargumen untuk membelaku.
Mbak! Kami disini menjalankan tugas. Jika mbak menghalangi berarti mbak juga ikut kami bawa ke kantor polisi! tegas dari pak polisi
Iya, pak, saya ikut Menarik pundak Desy dan Dini kebelakang.
Ta-tapi Ar... bukan kamu yang... ucap Dini
Sudaaaah... aku menjawabnya dengan tersenyum
Bapak tidak bisa seenaknya seperti itu. Anak saya juga korban dan yang menyelamatkan hidup anak saya itu Arta, bukan malah Arta yang melakukan penganiyaan. Protes ayah Andrew
Bapak, nanti ada anggota kami sedang datang kemari. Bapak bisa memberikan kesaksian kepada anggota kami nanti. Kalau perlu bapak bisa membuat laporan sekarang juga di kepolisian, dan nanti kami akan memprosesnya tegas pak polisi
Kami semua akan ikut ke kantor polis.. ucap Irfan terhenti
Sudah fan, biar aku sendiri yang kesana. Kalian jaga Andrew ya
Om tenang saja ucapku tenang
Ayah Andrew menatapku dengan tajam. Kemudian tersenyum.
Baiklah... ucap Ayah Andrew
Papah, kenapa papah malah... protes Ibu Andrew
Sudah mah... nanti kita bisa buat laporan tandingan. Biar hukum tahu siapa yang salah. Papah pasti bisa selamatkan Arta, tenang saja mah. tenang Ayah Andrew. ibu Andrew langsung menurut dan diam.
Aku ikut kamu Ar ucap Desy diikuti Dina dan Dini yang mengucapkan hal yang sama. Aku menggeleng. Bahkan Irfan memaksa untuk ikut.
Sudah, kalian jaga itu komting kita. Ya? haha tawaku
Mas Arta bisa ikut kita sekarang? tanya bapak polisi
Bisa pak ucapku
Kedua tanganku kemudian diborgol dan ditutupi oleh saputangan. Aku berjalan keluar ruangan bersama kedua polisi tersebut. Terdengar keributan dalam ruangan Andrew mengiringi kepergianku. Sedikit aku menoleh Ayah Andrew menenangkan mereka semua. Bahkan aku mendengar Andrew berteriak. Tiba-tiba sesaat setelah aku keluar ruangan, aku menoleh ke arah kamar Andrew. Kulihat Irfan dan Johan keluar ruangan dan berlari mendekatiku.
Aku dan Irfan ikut kamu ucap Johan yang sebelumnya berlari kecil dan mendekatiku. Tepat dibelakangku.
Maaf pak sebentar... ucapku kepada Polisi.
Kampret kalian, jaga itu Andrew! nanti kalau aku masuk penjara ya sudah, masuk saja. ndak masalah. Sudah kalian ndak usah ikut, nanti kalian malah ikut-ikutan masuk! ucapku sembari mendorong mereka
Ta-tapi Ar... ucap Irfan
Kabari aku kalau ada apa-apa dengan Andrew ucapku sembari berjalan mundur dan mendekati pak polisi.
Aku mengepalkan tanganku ke arah mereka berdua, kemudian tersenyum dan berbalik berjalan bersama kedua polisi yang menungguku. Kami berjalan menuju lift. Sedikit menoleh kesamping memastikan mereka tidak mengikutiku. Dan untungnya, mereka hanya berdiri memandangku pergi. Baguslah kalau begitu he he.
Langkahku kini menuju tempat pengadilan nasibku. Seakan semua cita-citaku lebur dihari ini. Tak akan lagi aku melihat kampusku. Dan tak akan lagi aku melihat senyum dan tawa mereka untuk beberapa tahun kedepan. Ah, mungkin saja ketika aku keluar nanti mereka sudah menjadi orang-orang sukses. Semoga.
Ting...
Sebuah bunyi yang aku dengar dari kejauhan. Lift terbuka, seorang lelaki hendak keluar. Matanya tak melihatku tapi aku melihat lelaki itu. Jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba sebuah amarah muncul dari dalam diriku. Mataku menjadi tajam memandang lelaki tersebut. Hatiku serasa terbakar. Aku kemudian melangkahkan kakiku cepat untuk mendekati lelaki tersebut.
Begh...
Baru satu langkah, lengan kananku menabrak pundak pak polisi.
Ada apa mas? tanya pak polisi
Eh, ndak ada pak aku tersenyum
Sial, kenapa pada saat seperti ini aku malah berada dalam masalah hukum. Eh, lelaki itu. Aku melihat lelaki itu berbelok ke kiri setelah keluar dari lift. Mataku kembali tajam, dan hatiku kembali marah. Ingin aku berlari ke arahnya dan menghajarnya sekarang juga tapi aku adalah tahanan. Jika aku melakukannya sekarang bisa jadi aku semakin lama didalam penjara sana. tapi, kelihatannya aku akan menemuinya jika aku keluar dari penjara.
Aku berjalan mendekati Lift, salah seorang dari polisi terlebih dulu berlari untuk menghentikan pintu lift yang akan tertutup. Mataku terus melihatnya walaupun anya punggunya yang aku lihat. Aku tidak bisa melupakan wajah itu. Bahkan ketika aku ditarik pak polisi masuk ke dalam lift, mata ini tak mampu untuk lepas dari lelaki itu. Hatiku benar-benar terbakar ketika melihat lelaki itu. Terbakar.
Seharusnya, seharusnya, argh! Bodoh! bathinku dengan kepala kini menunduk marah.
Ketika didalam lift, saat pintu hendak tertutup. Aku mengangkat kepalaku. Kulihat beberapa temanku berdiri jauh dari lift. Seketika amarahku surut. Aku kembali tersenyum ke arah mereka. Kujulurkan lidahku. Hanya sebagai tanda bahwa aku akan baik-baik saja. Semoga mereka mengerti he he. Pintu lift tertutup.
Lelaki tadi argh! Kenapa aku bertemu dengannya disaat seperti ini? Aku tak akan pernah melupakan hari itu. Tak akan pernah sekalipun. Kamu benar-benar harus menerima apa yang telah kalian berdua lakukan.
Yang aku rasakan adalah sebuah amarah. Amarah yang terbawa kembali. Mungkin memang benar ini jalanku berada di ibukota. Mendekatkanku dengan mereka berdua kembali. Mungkin memang ini jalanku, menjadi diriku sendiri. Agar kelak nanti aku bisa...
Lepas saja borgolnya... ucap pak polisi berkumis tebal tiba-tiba. Membuyarkan lamunanku.
Siap ndan! balas polisi muda
Mas, mas tenang saja. yang penting nanti mas ikut saja ke kantor polisi. Dan mas akan tahu kebenarannya. Yang penting mas gak usah lari-lari, nanti malah saya tembak. Siap mas? tanya pak polisi berkumis tebal
I-Iya pak... jawabku
Aku heran sendiri. Kenapa sikap mereka menjadi lebih lunak? Terlihat lebih santai dibanding sebelumnya. Sesaat kemudian aku keluar dari lift, dan dirangkul oleh polisi muda. Aku berjalan santai layaknya pengunjung yang lain. Aku dibawa ke dalam mobil yang berada di tempat parkir rumah sakit. Aku duduk dibelakang bersama polisi berkumis tebal. Sedangkan polisi muda berada di bagian kemudi mobil. Disampingnya ada seorang polisi lagi.
Kamu naik ke atas sekarang. Terus, katakan pada mereka untuk tetap tenang, karena si Arta ini tidak akan kenapa-napa. Paham? ucap polisi berkumis tebal kepada seorang polisi yang duduk disamping polisi muda. Sama muda sebenarnya dengan yang berada dikemuid, menurutku.
Siap ndan, terus apa perlu dari pihak Andrew membuat laporan tanya polisi muda kedua
Perlu, untuk mempermudah si Arta bebas. Sudah ada datanya kan? tanya polisi berkumis tebal
Sudah pak, Orang tua dari Andrew. Sesuai prediksi pak. Semua sudah siap sesuai instruksi atasan jawab polisi muda kedua
Bagus, katakan pada mereka, beri penjelasan sejelas-jelasnya! perintah polisi berkumis tebal
Siap Ndan! ucap polisi muda kedua. Yang kemudian keluar dari mobil dan berjalan cepat.
Aku menjadi bingung. Dan penuh pertanyaan.
Sudah, kamu tenang saja mas. Semua akan baik-baik saja ucap polisi berkumis tebal
I-iya pak, i-iya... ta-tapi pak... jawabku
Semua demi kebaikanmu, ikuti saja nanti jawabnya kembali
Benar-benar aneh, aku kok merasa ada dalam sebuah permainan. Kini aku hanya diam tanpa berani bersuara. Mobil sedan hitam ini kemudian berjalan menuju ke arah kepolisian. Tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Sesekali aku melirik ke arah polisi berkumis tebal dan dia tampak santai dalam perjalanan. Haaaaah, ada apa sebenarnya?
Rokok? pak polisi berkumis menawariku.
Sedikit aku merasa lega ketika aku mendapatkan rokokku. Apalagi, rokok yang aku hisap adalah Dunhill Mild. Dunhill dengan bungkus putih. Setiap rasa yang aku hisap terasa sangat halus. Rasa tidak terlalu berat seperti rokok kretek atau rokok filter. Rasa lembut dari teman lama yang selalu menemaniku. Disetiap kesendirian, hanya sebatang ini yang selalu menemaniku. Walau, hanya sesaat tapi cukup membuatku merasa tenang.