Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Scene 48
Empuk



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia

“Uughh... erghhh.....”

Aku terbangun. Kurasakan hangat di tangan kiriku.

“Eh...”

“Lho sejak kapan Desy dan aku saling meremas tangan?” btahinku. aku heran ketika kedua tangan Desy menggenggam erat tangan kiriku

Aku sedikit menunduk. Kulihat wajahnya masih tenang, yang berarti dia masih tidur. Cantik banget, eh salah, tenang banget tidurnya. Eh, ternyata kalau aku lihat lagi dia manis ya. Eh, kok, lho.... aduh. Artaaaa... sadar Arta dia sudah ada yang punya. Kenapa aku selalu dihadapkan dengan seorang wanita yang mempunyai pasangan? Hah!

Ku kucek mataku dengan tangan kananku. Mencoba mengembalikan kesadaranku. Sesaat setelahnya, aku selonjorkan kaki kananku. Segera ku ambil hape dalam saku kananku perlahan. Takut kalau Desy terbangun dari tidurnya. Hmm, pukul 04.00WIB. Masih terlalu pagi. Masih terlalu dingin udara di atap gedung, walau tak sedingin pagi hari di desaku.

Haduh, kalau posisi seperti ini mana mungkin aku merokok. Apalagi nyari minuman buat teman rokok. Bangunkan Desy, tetep seperti ini, bangunkan Desy, tetep seperti ini. Ah, Rokok aku pengen ngrokok. Tapi kasihan Desy masih nyenyak tidurnya. Dia pastinya kelelahan, malam tadi dia menemaniku berbincang. Kata-katanya, hmmm, pantas kalau dia tampak lebih dewasa dari teman-teman sebayanya.

“Nah, kelihatannya aku harus bangunkan dia. Terus aku ajak keluar rumah sakit. Siapa tahu ada yang jualan minuman hangat he he he” bathinku, aku senyum-senyum sendiri

Ku hirup nafas panang. Ku lepaskan. Menyiapkan diri untuk membangunkan Desy. Ta-tapi bagaimana cara membangunkan cewek? Eh, dulu Ibu tidak suka kalau dibangunkannya keras-keras, harus lembut. Ta-tapi, aku kan selalu gagal kalau membangunkan Ibu saat itu. ah, masa bodohlah, aku coba saja. Siapa tahu bisa.

“Eh, Ibu...” lirihku.

Aku kembali termenung. Mengingat percakapanku dengan Ibu semalam. Benar-benar indah sekali semalam. Bisa kembali bercakap-cakap dengan Ibu dalam waktu yang lama. Dapat kecupan lagi, setelah sekian lama aku tidak pernah mendapatkannya.

“Terima kasih bu” bathinku.

Aku kemudian melirik ke arah Desy. Aku tersenyum ketika melihat perempuan ini tertidur. Tenang dan terlihat sekali tanpa beban. Pelan aku pegang lengan kirinya dengan tangan kiriku. Tangan kananku aku tarik perlahan dari genggamannya untuk memegang lengan kanannya. Pelan aku meggoyang tubuhnya.

“Deeees.... Desy... bangun Des” lembut sekali suaraku. Berdasarkan pengalaman ketika membangunkan Ibu.

Beberapa kali aku menggoyang tubuhnya tapi dia tetap tertidur. Akibat kelelahan semalam ini pastinya. Tapi aku sudah tak tahan akan haus dan keinginan merokok. Ku dekatkan wajahku. Dan sekali lagi aku membangunkannya. Menggoyang tubuhnya. Suaraku sedikit lebih keras dari sebelumnya.

“Erghh... masih ngantuuuuk....” manjanya

Dan tubuhnya tiba-tiba bergerak dan memelukku.

Nyuuut...

“Heghhh.... De-Des...” suaraku masih pelan tertahan.

Tubuhku duduk tegak karena pelukan eratnya. Aku semakin terdiam. Nafasku semakin pendek. Kalau saja aku bernafas panjang pasti dia akan sadar dengan posisinya. I-itunya kok, aduh, ini bagaimana?

Tangan kiriku memegang lengan kirinya.

“Des... bangun Des, sudah pagi... cari kopi yuk” lembut dari bibirku.

Beberapa kali aku mengucapkan kata-kata yang sama untuk membangunkannya. Setiap kali mencoba membangunkannya suaraku lebih keras dari sebelumnya. Sebagai hasil kalau aku tidak sabar menunggunya bangun.

“Egh... Jam berapa? Uuughhh....” Ucap tampak begitu malas dan manja. Matanya masih terpejam.

“Jam empat lebih Des” jawabku pelan dan lembut

“Jam empat? Eugh... masih pagi bentar lagi Ar” ucapnya lembut dan manja.

Fyuuuh... ternyata dia sadar kalau aku yang ada disampingnya coba saja kalau...

“ARTA??!” tiba-tiba Desy terbangun dan melepas pelukannya. Dia tampak terkejut sekali ketika sadar kalau yang disampingnya adalah aku.

“AAAA...” teriaknya

PLAAAK!

“Auch...” sebuah tamparan keras di pipiku kiriku. Membuatku kepalaku terdorong ke samping.

“Aduh Des, sakit Des” protesku

“Ka-kamu kok bisa, ta-tadi kok aku bisa... ARTA!” teriaknya sekali lagi

“Des-Desy, tenang Des, jangan teriak-teriak... tenang... tenang ya?” tenangku kepada Desy

“Ka-kamu ngapain tadi, ayo jawab jujur, kenapa aku bisa i-itu ka-kamu?” tanyanya dengan posisi memeluk tubuhnya sendiri. Duduknya bergerak sedikit mundur. Menarik jaket yang dia pakai semalam. Wajahnya sedikit terlihat begitu malu dan ada sedikit rasa kesal.

“Des... tenang dulu, itu gini aduh...” aku bingung sendiri untuk menjelaskannya

“Ayo, kamu pasti tadi ngapa-ngapain! Iya kan?!” bentaknya sedikit keras.

Wajahnya kesal. Benar-benar berbeda dari semalam. Padahal semalam yang duduknya mepet-mepet ke aku juga dia. Bukan akunya.

“Ya-ya kan gini Des... huuufth... semalam kan, kamu sendiri yang datang kesini. Terus tidur sambil narik tanganku. Tadi waktu aku bangunkan kamu tiba-tiba kamu meluk aku. Aku bingung. Maaf kalau tadi ngebanguninnya kasar. Aku ndak pernah bisa bangunin cewek, Ibuku saja dulu marah. Haaaah...” aku melenguh panjang setelah menjelaskan semuanya. Aku menunduk dan menggaruk-garuk kepalaku

“Terserah kamu sekarang Des” memandangnya dengan bibir melengkung kebawah

“Eh, gitu ya... Tapi kamu gak ngapa-ngapain aku kan?” tanyanya

“Enggak Des, Enggaaaaak... beneran” jawabku dengan menunjukan dua jari membentuk huruf V

“Ya sudah... beruntung aku berarti. Maafnya, namanya juga cewek. Wajarkan kalau pikirannya macam-macam. Huh!” dia melengos membuang muka, dan membelakangiku.

Aku menghela nafas panjang. Melihat Desy yang masih membelakangiku. Membenarkan jaketku yang dia kenakan untuk menutut tubuhnya. Sesekali dia merapikan kerudungnya. Walau aku tak melihatnya secara langsung, aku bisa menebaknya. Tapi aneh juga ya, dia tidak seperti kesehariannya sekarang. Lebih manja kalau menurutku. Apa karena denganku ya? Eh, wajar juga sih cewek kalau dia manja. Bener kan?

“Iya Des maaaf” ucapku sekali lagi

“Huh..” Keluhnya

Aku tersenyum ketika melihat Desy yang sangat berbeda pagi ini.

“Des, sebagai permintaan maaf kita keluar yuk. Cari warung, nanti aku traktir makan kalau sudah ada. Atau kalau ndak ya ngopi” ajakku dengan niat terselubung dalam hatiku. Merokok he he.

Dia membalikan tubunya. Memandangku sejenak dan mengiyakan ajakanku. Aku kemudian berdiri terlebih dahulu. Menarik kaosku, merapikannya sejenak. Setelah aku berdiri dan rapi, kulihat Desy tampak sedikit kesulitan untuk berdiri. Aku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri.

Dilepaskannya jaketku yang hanya menutupi punggung dan pundaknya. Dengan sedikit wajah kesalnya, dia kembalikan jaketku. Semakin lama aku semakin tidak mengerti perempuan. Ku kira Desy tidak akan kesal seperti ini. Eh, dia masih terlihat kesal setelah menyerahkan jaket. Didepanku dia membenarkan pakaiannya dan membersihkan celana bagian belakangnya.

Aku terus memperhatikannya, dan sesaat kemudian dia melihat ke araku. Tepat ketika mata kami bertemu, dia langsung membalikan badannya dan bersedekap. Apa aku melakukan sesatu yang aneh? Aku kan cuma memperhatikannya? Haruskan aku merayunya agar dia tidak lagi kesal?

“Eh, jangan-jangan ketika tadi aku memperhatikannya merapikan pakaian. Dia berpikir aku melihat ke arah yang lain? Waduuuuh... ” bathinku.

Ku tepuk jidatku sendiri karena kecerobohanku. Kenapa bisa aku tadi melihatnya dengan sangat fokus? Aku yakin dia berpikira yang tidak-tidak karena ulahku tadi. satu-satunya cara agar suasana mencair memang aku harus mendekatinya.

Aku dekati Desy dan berdiri disampingnya. Ku senggol lengannya dan dia menoleh sedikit ke arahku. Matanya tampak kesal terhadapku.

“Maaf, beneran aku gak ngapa-ngapain kamu Des. Jangan marah to Des, ntar aku dimarahi sama Ibu kamu” candaku

“Biar, biarin dimarahin sama Ibu aku. Biar dikutuk kamu jadi cewek! Huh... biar tahu rasanya jadi cewek itu lebih susah ketimbang jadi cowok” ucapnya sembari membuang muka

“I-iya maaf, jangan sampai dikutuk-kutuk seperti itu Des. Ntar kalau aku jadi cewek beneran, siapa yang jagain kamu?” entah kenapa kata-kata ini tiba-tiba keluar begitu saja

“Eh...” dia tampak sedikit tertegun dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu. Matanya tajam memandangku sedangkan aku hanya memandangnya dengan tatapan bodohku.

“Huh... ya udah, ayo cepet!” ucapnya dengan nada kesal dan berjalan mendahuluiku

Aku segera menyusulnya. Kami kemudian berjalan beriringan menuju ke lantai bawah. Ketika berada di tangga, tangga yang menghubungkan lantai atas dengan Atap gedung. Aku tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kejadian tadi. Antara geli dan geli saja sebenarnya tadi.

“Kenapa senyum-senyum sendiri Ar?” tanya Desy

“Empuk... Eh...” jawabku spontan

“ARTA!” bentak Desy

PLAAAK!

“Auch...” sekali lagi tamparan di pipiku. Aku terdiam dan mengelus-elus pipiku.

“Maaf Des, Maaf...” pintaku

“Arta sekarang mesum!” bentaknya dengan kedua tangan sejajar dengan tubuhnya. Wajahnya memerah antara malu dan marah.

Sekali lagi sebuah pukulan mendarat di perutku, membuatku sedikit membungkuk. Seketika dia langsung berjalan mendahuluiku, aku mencoba meraih tangannya tapi tak dapat. Segera aku aku berlari menyusulnya. Tepat dilantai atas gedung. Aku meminta maaf kembali. Dia bersedekap dan kesal sekali tampaknya. Membuang muka. Tak sedikit pun menoleh ke arahku. Kalau aku lihat wajahnya sedikit memerah.

“Maaf Des...” ucapku disampingnya.

“Dasar cowok! Huh!” kesal Desy kepadaku. Aku hanya menunduk sambil megelus-elus pipiku.

“Oke, tapi nanti bayari semuanya. Dari minum, makan dan jajan” ucap Desy. Beda, Desy berbeda pagi ini.

“I-iya Des” ucapku. Hah, salahku juga kenapa tadi aku asal ngomong. Tapi memang benarkan apa yang aku omongkan? Hufth!

Aku dan Desy kemudian menuju Lift. Menunggu sejenak dan sesaat kemudian pintu terbuka. Kami berdua masuk. Desy berada di sebelah kiriku. Disuruhnya aku memencet tombol angka 1. Tepat ketika pintu lift hendak tertutup. Sebuah tangan meghentikan pintu tersebut. pintu kembali terbuka.

“Boleh ikut kan?” tanya Seseorang yang aku kenal. Dini.

“Bo-boleh Din” jawab kami berdua bersamaan

“Ye... gak usah gugup kaya gitu kali, kaya maling ketahuan aja hi hi hi” canda Dini yang hendak melangkah masuk ke dalam lift. kami berdua menundukan kepala, malu.

“Iiih, umi pacaran sendiri sama Arta” canda Dini kembali, yang kemudian berdiri di samping kananku, sedikit kedepan. Didepan tombol lift. Sedangkan Desy berada di sebelah kiriku, sedikit kebelakang. Pintu lift tertutup dan kemudian lift bergerak turun.

“Ini tadi Arta ngajak cari kopi, mau ngrokok palingan” jawab Desy. Eh, kok tahu kalau aku mau ngrokok?

“Masa siiih... Dari semalem lho” canda Dini.

Desy terdiam. Aku menoleh kebelakang dan kulihat dia tampak bingung untuk menjawab. Wajahnya sedikit memerah.

“Semalam aku sms Desy, Din. Mau tanya-tanya. Ya, banyaklah” ucapku mencoba menutupi kebingungan Desy.

“Owh... beneran Cuma cerita-cerita. Nangis lagi gak?” goda Dini dengan menyenggol tubuhku

“Din, jangan di omongkan lagi, malu aku” ucapku

“Sampai nangis Din, berarti kemarin” ucap Desy yang entah dia sudah tahu apa belum.

“Iya Umi, kan Dini dah cerita hi hi hi... nangis gitu deh mi, pokoknya iiih gak laki banget deh” jawab Dini

“Emang dasarannya kan gak laki si Arta” canda Desy kembali

“He’em umi, kaya anak kecil pengen permen tapi gak keuturutan umi” balas Dini. dan mereka tertawa terbahak-bahak. Dengan tubuh lesu, aku menundukan kepalaku kembali.

Sekali lagi aku menjadi bahan tertawaan mereka berdua. Aku cuma bisa meringis saja didalam lift. Sesekali aku menghela nafas panjang, melepas maluku. Setelah mereka puas menertawaiku, keadaan menjadi hening. Lift bergerak pelan menuju kebawah. Entah, seakan waktu berjalan sangat lambat.

Tiba-tiba, Kurasakan pergelangan tangan kiriku diepegang oleh Desy. Aku terhenyak, berdiriku menjadi tegak. Aku melirik ke arah Dini yang sedang asyik menunggu lift sampai di lantai bawah. hanya untuk memastikan kalau Dini tidak menoleh ke arahku. Ku hela nafas panjangku. Dengan pelan, Aku menoleh ke arah Desy tapi dia membuang muka. Tapi tangannya menggenggam peregelangan tanganku dengan sangat erat. Kutarik tanganku ke belakang, agar Dini tidak melihatnya. Kembali aku memandang pintu besi kembali. Menghela nafas panjangku.

“Benar-benar aneh kedua cewek ini” bathinku

Sesampainya di lantai bawah. Desy langsung berjalan melewatiku, menarik tangan Dini. Kedua temanku kini berjalan terlebih dahulu. Aku melihat mereka berjalan didepanku. Benar-benar perempuan kota berbeda dengan perempuan di Desa.

Tiba-tiba pintu lift tertutup.

“Lho eh...” aku sedikit terkejut. Reflek, aku segera melompat keluar dan fyuh akhirnya.

“Hi hi hi...” tawa mereka berdua ketika melihatku

“Gak segitunya kali Ar, cukup kamu majukan tanganmu saja. Pintunya juga bakal kebuka kembali” jelas Dini

“Bener katamu Din, gak laki banget” canda Desy.

Sekali lagi mereka tertawa, menertawaiku. Dengan langah gontai aku mengikuti mereka dari belakang. Berjalan menyusuri depan gedung rumah sakit. Sulit untuk menemukan warung dipagi hari. Tapi kami beruntung ada warung tenda yang sudah buka. Selain minuman, juga menyediakan sarapan pagi.

Warung tenda dengan terpal warna biru sebagai payungannya. Aroma udara masih segar terasa, masih terlalul pagi untuk di cemari dengan gas karbon. Udara juga lumayan dingin namun tak sedingin ketika aku bangun tadi. Mentari pun masih malah untuk menyapa. Hanya langit yang mulai terang namun tak ada sinar yang terlihat. Ketika masuk kedalam tenda sudah ada beberapa orang disana. dengan segelas kopi dan rokok yang menyala. Mungkin mereka juga jenuh ketika harus menunggu sanak saudara yang menginap di rumah sakit. Sama seperti aku. Tanpa berlama-lama, kami memesan makanan.

Setelah selesai makan, sambil menunggu para wanita ini menyelesaikan makan. Aku keluar untuk merokok. Segaaar, Enak ternyata kalau merokok habis makan. Apalagi ada dua bidadari yang menemani. Aku yakin, kebanyakan orang akan merasa iri dengan posisiku saat ini. Mungkin memang benar kata Ibu, kalau aku ini orang yang ganteng. He he... Dan...

“Ar, tuh bayarin semuanya” ucap Desy yang keluar bersamaa Dini.

“Ini sekalian buat temen-temen sama keluarga Andrew” ucap Dini, sembari memperlihatkan bungkusan makanan dan minuman dalam dua katong plastik hijau transparan

“lho kok aku?” aku heran sendiri

“Tadi kata Umi, kamu yang bayar” ucap Dini

“Lha i-itu kan Cuma Desy” protesku

“Gak usah protes! Cepet bayar!” ucap Dini, galak. Desy hanya senyum-senyum sendiri.

Mati aku. Hanya itu yang terucap di hatiku. Mau bagaimana lagi. Kenapa juga tadi Dini ikut-ikutan ke bawah. Kalau aku sama Desy kan uangnya ndak habis banyak. Sudahlah, aku bayar saja daripada kena semprot dua bidadari ini.

“Semuanya 135 ribu mas” ucap Ibunya yang jualan.

“Hah?!” aku terkejut.

Terdengar suara cekikikan perempuan dibelakangku yang semakin menjauh. Mereka meninggalkan aku sendiri. Beruntung aku membawa uang. Setelah membayar aku menyusul mereka. Dengan wajah galaknya, Dini, menyerahkan dua buah tas plastik kepadaku. Kemudian mereka berjalan terlebih dahulu. Mereka tampak cuek, tidak menganggapku sama sekali. Seperti pembantu saja, pikirku.

Sesampainya di ruangan Andrew, semua sudah terbangun. Wajah mereka masih memperlihatkan raut muka yang malas dan ngantuk. Tapi setelah tahu ada makanan datang mereka langsung bersemangat. Semua menyantap makan pagi mereka.

“Arta gak makan?” ucap lembut dari Dina

“Sudah Na’..” jawabku

“Bohong, sini Dina suapin” ucap Dina

“Beneran sudah tadi sama Desy dan Dini” ucapku

“Iiih, Desy sama Dini curi start deh” canda Dina

“Yee... lu kali yang bangunnya kelamaan. Makanya bangun pagi weeek” ejek Dini

“Ya udah, kalau gitu Arta yang nyuapin Dina saja. mau kan Ar?” tanya Dina

“Eh, i-itu a-anu...” aku gugup

“Gak ada anu-anuan, dari masuk kuliah anuuuu terus. Cepet!” bentak Dina

Aku langsung meraih bungkusan di tangannya dan mulai menyuapinya dengan sendok plastik. Dengan gugup aku menyuapi Dina.

“Iiih, makasih Arta ganteng” manja Dina

“Pacaran nih yeeee...” teriak Irfan

Kali ini aku benar-benar malu. Apalagi aku mengar tawa cekikikan dari Dini dan Desy. Winda? Dia sedang disuapi sama Desy. Sedangkan yang lainnya makan sendiri.

“Kalian cocok, bener kan pah?” ucap Ibu Andrew

“Hahaha... nikahin saja itu mas, daripada kelamaan hahaha” tawa Ayah Andrew yang ikut meramaikan rasa maluku

Tapi tak apalah, malu-malu gini juga nyuapi perempuan cantik. Kadang ada juga yang memintaku untuk disuapi. Dinda, Salma dan juga Tyas, mereka silih berganti menggodaku. Bahkan Irfan dan Johan juga. Hanya sebatas menggoda, kalau menyuapi tetap ke Dina. Ah, ini sebenarnya aku yang tidak mengerti candaan mereka atau aku yang terlalu polos jadi bahan ejekan mereka.

“Eh, Winda sayang mau gak disupain sama Arta?” Tanya Dina kepada Winda.

Winda langsung saja menggelengkan kepalanya. Dia masih tampak takut kepadaku.

“Woi Ar, lu ya, dikerjain habis-habisan mau saja. hadeeeeh... dasar ndeso! Ha ha ha aduh...” teriak Andrew dari pembaringannya

“Mas, sudah deh...” manja Helena kepada Andrew

“Eh, dikerjain?” tanyaku

“Enggak kok Arta ganteng, enggak... masa ayang Dina ngerjain Arta” rayu Dina dengan sedikit mencubit pipiku

“Dah na’, kasihan Arta” ucap Desy

“Hi hi hi... sini” Dina mengambil kembali bingkisannya

“Makasih ya udah disuapin hi hi hi” canda Dina

Aku hanya meringis saja sambil garuk-garuk kepala. Tak ayal membuat mereka semua kembali tertawa. Kadang Dini menjewer telingaku dan mengatai aku gampang dibodohi. Hah, masa bodohlah. Aku benar-benar ndak ngerti pergaulan orang kota. Atau memang benar ya aku saja yang kurang beradaptasi? Sebenarnya pergaulannya sama, tapi mungkin hanya caranya saja yang berbeda.

Kami berkumpul dan bercerita. Beberapa teman-teman perempuanku ada yang sedang bersih-bersih. Namanya juga wanita, kalau kotor dikit harus segera bersih. Berbeda kami yang para lelaki, sedari tadi pagi ndak ada yang bersih-bersih. Ke kamar mandi paling cuma buang air.

Aku hanya diam dan senyum-senyum sendiri mencoba menyesuaikan dengan mereka. Sulit juga ternyata beradaptasi dengan tipe pergaulan mereka. Sesekali dari mereka ada yang mengajakku berbicara tapi tetap saja aku hanya menjawab seperlunya. Maklumlah, ini adalah awal aku bertemu dengan mereka menggunakan tubuhku yang sebenarnya.

Ketika mereka sedang asyik bercanda. Pandanganku terpaku pada Ibu, Ayah dan Adik Andrew yang senantiasa menemani Andrew di pinggir ranjangnya. Helena juga ada disana. Beruntung sekali Andrew, tidak sepertiku. Ibunya, begitu lembut walau di awal aku melihat Ibu Andrew tak selembut yang aku lihat sekarang.

Bayangan Ibu kembali di mataku. Sebuah bayangan yang sekarang berada didepan mataku. Dimana Ibu sedang menyuapiku dan aku yang terbaring di tempat tidur itu. Ibu yang dengan telaten dan senyumannya menyuapi sesuap demi sesuap. Hatiku terasa trenyuh sendiri ketika bayangan itu hadir.

“Sssst... jangan sedih, Beliau sekarang melihatmu” bisik Desy

“Eh..”

Aku langsung menoleh ke arahnya. Seakan dia tahu apa yang ada dipikiranku. Sejenak aku melihatnya yang sedang bercanda dengan Dini disampingnya. Aku tersenyum, sama seperti malam tadi. Dia berbicara, terus membuang muka. Hmmm...

Tepat pukul 08.30 rasa kantuk mulai menyerang. Maklumlah, tadi pagi bangun jam empat pagi. sedang asyiknya bermalas-malasan, tiba-tiba seorang dokter datang bersama satu orang suster ke dalam ruangan. Kedatangan mereka untuk melakukan pemeriksaan rutin pagi hari. Setelah diperiksa oleh dokter, Andrew sudah bisa pulang besok dan melakukan rawat jalan. Kami semua tersenyum, bersyukur luka Andrew cepat sembuhnya.

Selang beberapa saat, dokter tersebut keluar dari ruangan. Aku kembali melihat kebahagiaan sebuah keluarga. Ibu Andrew tampak bersyukur sekali karena keadaan Andrew membaik ditambah lagi Andrew bisa pulang kerumah. Andrew tampak bahagia sekali. Apalagi Ibu Andrew meyuruh Helena untuk menginap dirumahnya, biar Andrew cepet sembuh katanya. Beruntung si Andrew.

Tok... tok...

Kleek...


“Selamat pagi” ucap seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Suaranya tegas.

Kami semua menoleh ke arah pintu. Satu orang lagi kemudian masuk. Semua tampak heran. Dua orang dengan jaket hitam, wajah garang dan pandangannya tajam. Orang kedua yang baru saja masuk tampak sekali lebih muda dari yang berada di depannya. Diantara wajah heran teman-temanku, hanya aku yang tersenyum. Perasaan ini pernah aku rasakan sebelumnya.

Ayah Andrew kemudian maju kedepan. Mendekati kedua orang yang baru saja datang.

“Ada yang bisa dibantu pak?” tanya Ayah Andrew

“Sebelumnya, Benar ini kamar saudara Andrew Nugraha?” tanya seorang dengan kumis tebalnya. Tatapan matanya tajam sekali.

“Ya benar” jawab Ayah Andrew, kami semua terdiam.

“Kami dari kepolisian” lanjutnya. Semua mata terkejut mendengar ucapan dari bapak tersebut. Kedua Polisi tersebut kemudian menyalami Ayah Andrew.

“Mmm... Maaf pak, Bisa dijelaskan maksud kedatangan bapak kemari? Karena sebenarnya saya ingin ke kepolisian juga tapi belum ada waktu. Jadi saya merasa beruntung bapak datang kemari” ucap Ayah Andrew

“Begini, kami mendapat laporan tentang kejadian penganiyaan di tempat perkemahan” jelas bapak polisi dengan kumis tebal

“Ya pak, Lho kok sudah ada yang lapor? Saya saja belum membuat laporan ke pihak kepolisian mengenai anak saya yang menjadi korban” tanya Ayah Andrew heran

“Orang tua dari korban yang lain membuat laporan ke kepolisian. Dan kami kemari menjalankan tugas untuk melakukan penangkapan pak” jelas bapaknya

“Lho, kok malah anak saya yang mau ditangkap? Anak saya itu korban pak?! Saya kan sudah bilang tadi, saya tida terima ini!” ucap ayah Andrew sedikit keras

“Bukan anak bapak. Karena dalam laporan kami anak bapak bukan sebagai pelaku. Hanya saja, menurut laporan anak bapak ada pada saat kejadian.” ucap Pak Polisi

“Benar, anak saya memang ada disitu tapi sebagai korban. Dan ini kenapa bapak kesini untuk melakukan penangkapan?” ucap Ayah Andrew

“Begini bapak. Kami kesini, mendapat laporan dari rumah sakit terdekat dengan perkemahan. Setelah sebelumnya kami mengecek ke perkemahan. Dari keterangan yang kami dapat, pelaku bersama teman-temannya berada di rumah sakit kota.” jelas bapak polisi

“Sebentar pak, sebenarnya siapa yang membuat laporan? Dan disini tidak ada yang melakukan tindak penganiyaan di perkemahan. Yang ada disini semua teman anak saya yang menolong anak saya pada saat kejadian” jelas Ayah Andrew

“Tapi dari laporan, kami mendapatkan keterangan bahwa yang melakukan tindak penganiyaan adalah teman dari saudara Andrew, yaitu Arta” tegas pak Polisi. Semua terkejut, terdiam, menoleh ke arahku. Sedangkan aku, hanya tersenyum saja.

“Apakah ada yang bernama Arta disini?” tanya bapak itu sekali lagi

“Ya, pak saya. Arta, Arta Byantara Aghastya lengkapnya pak” aku menjawab dengan senyuman, melangkah ke depan, mendekati pak polisi.

“Baik mas, sekarang mas ikut kami ke kantor polisi. Anda menjadi tersangka penganiyaan. dari laporan anda menganiaya Frans, Bernard dan Kristian” ucap pak polisi tegas

“Ya pak saya akan ikut bapak ke kantor polisi” ucapku maju mendekati pak polisi

“Sebentar!” bentak Ayah Andrew menarikku ke arahnya

“Arta ini yang menyelamatkan nyawa anak saya! Kenapa malah ditangkap! Seharusnya yang bajingan-bajingan itu yang ditangkap, bukan malah teman anak saya!” bentak Ayah Andrew

“Pak polisi! Bukan Arta yang menganiaya saya, tapi mereka bertiga yang datang arghhh...” teriak Andrew

“Mas jangan bergerak dulu” ucap Helena

“Maaf bapak, kami hanya menjalankan tugas! Kami juga membawa surat penangkapan. Jika bapak menghalangi kami akan melakukannya dengan paksa!” tegas pak Polisi

“Eh, jangan pak. Saya ikut, saya tidak akan melawan pak” ucapku tersenyum

“Bagus, kalau begitu sekarang ikut kami” ucap pak polisi

Desy dan Dini tiba-tiba saja menarikku kebelakang dan kemudian berdiri didepanku. Memprotes polisi tersebut. Berbagai penjelasan dari Desy dan Dini mencoba untuk membuat polisi mengerti. Bahkan yang lain juga ikut berargumen untuk membelaku.

“Mbak! Kami disini menjalankan tugas. Jika mbak menghalangi berarti mbak juga ikut kami bawa ke kantor polisi!” tegas dari pak polisi

“Iya, pak, saya ikut” Menarik pundak Desy dan Dini kebelakang.

“Ta-tapi Ar... bukan kamu yang...” ucap Dini

“Sudaaaah...” aku menjawabnya dengan tersenyum

“Bapak tidak bisa seenaknya seperti itu. Anak saya juga korban dan yang menyelamatkan hidup anak saya itu Arta, bukan malah Arta yang melakukan penganiyaan.” Protes ayah Andrew

“Bapak, nanti ada anggota kami sedang datang kemari. Bapak bisa memberikan kesaksian kepada anggota kami nanti. Kalau perlu bapak bisa membuat laporan sekarang juga di kepolisian, dan nanti kami akan memprosesnya” tegas pak polisi

“Kami semua akan ikut ke kantor polis..” ucap Irfan terhenti

“Sudah fan, biar aku sendiri yang kesana. Kalian jaga Andrew ya”

“Om tenang saja” ucapku tenang

Ayah Andrew menatapku dengan tajam. Kemudian tersenyum.

“Baiklah...” ucap Ayah Andrew

“Papah, kenapa papah malah...” protes Ibu Andrew

“Sudah mah... nanti kita bisa buat laporan tandingan. Biar hukum tahu siapa yang salah. Papah pasti bisa selamatkan Arta, tenang saja mah.” tenang Ayah Andrew. ibu Andrew langsung menurut dan diam.

“Aku ikut kamu Ar” ucap Desy diikuti Dina dan Dini yang mengucapkan hal yang sama. Aku menggeleng. Bahkan Irfan memaksa untuk ikut.

“Sudah, kalian jaga itu komting kita. Ya? haha” tawaku

“Mas Arta bisa ikut kita sekarang?” tanya bapak polisi

“Bisa pak” ucapku

Kedua tanganku kemudian diborgol dan ditutupi oleh saputangan. Aku berjalan keluar ruangan bersama kedua polisi tersebut. Terdengar keributan dalam ruangan Andrew mengiringi kepergianku. Sedikit aku menoleh Ayah Andrew menenangkan mereka semua. Bahkan aku mendengar Andrew berteriak. Tiba-tiba sesaat setelah aku keluar ruangan, aku menoleh ke arah kamar Andrew. Kulihat Irfan dan Johan keluar ruangan dan berlari mendekatiku.

“Aku dan Irfan ikut kamu” ucap Johan yang sebelumnya berlari kecil dan mendekatiku. Tepat dibelakangku.

“Maaf pak sebentar...” ucapku kepada Polisi.

“Kampret kalian, jaga itu Andrew! nanti kalau aku masuk penjara ya sudah, masuk saja. ndak masalah. Sudah kalian ndak usah ikut, nanti kalian malah ikut-ikutan masuk!” ucapku sembari mendorong mereka

“Ta-tapi Ar...” ucap Irfan

“Kabari aku kalau ada apa-apa dengan Andrew” ucapku sembari berjalan mundur dan mendekati pak polisi.

Aku mengepalkan tanganku ke arah mereka berdua, kemudian tersenyum dan berbalik berjalan bersama kedua polisi yang menungguku. Kami berjalan menuju lift. Sedikit menoleh kesamping memastikan mereka tidak mengikutiku. Dan untungnya, mereka hanya berdiri memandangku pergi. Baguslah kalau begitu he he.

Langkahku kini menuju tempat pengadilan nasibku. Seakan semua cita-citaku lebur dihari ini. Tak akan lagi aku melihat kampusku. Dan tak akan lagi aku melihat senyum dan tawa mereka untuk beberapa tahun kedepan. Ah, mungkin saja ketika aku keluar nanti mereka sudah menjadi orang-orang sukses. Semoga.

Ting...

Sebuah bunyi yang aku dengar dari kejauhan. Lift terbuka, seorang lelaki hendak keluar. Matanya tak melihatku tapi aku melihat lelaki itu. Jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba sebuah amarah muncul dari dalam diriku. Mataku menjadi tajam memandang lelaki tersebut. Hatiku serasa terbakar. Aku kemudian melangkahkan kakiku cepat untuk mendekati lelaki tersebut.

Begh...

Baru satu langkah, lengan kananku menabrak pundak pak polisi.

“Ada apa mas?” tanya pak polisi

“Eh, ndak ada pak” aku tersenyum

Sial, kenapa pada saat seperti ini aku malah berada dalam masalah hukum. Eh, lelaki itu. Aku melihat lelaki itu berbelok ke kiri setelah keluar dari lift. Mataku kembali tajam, dan hatiku kembali marah. Ingin aku berlari ke arahnya dan menghajarnya sekarang juga tapi aku adalah tahanan. Jika aku melakukannya sekarang bisa jadi aku semakin lama didalam penjara sana. tapi, kelihatannya aku akan menemuinya jika aku keluar dari penjara.

Aku berjalan mendekati Lift, salah seorang dari polisi terlebih dulu berlari untuk menghentikan pintu lift yang akan tertutup. Mataku terus melihatnya walaupun anya punggunya yang aku lihat. Aku tidak bisa melupakan wajah itu. Bahkan ketika aku ditarik pak polisi masuk ke dalam lift, mata ini tak mampu untuk lepas dari lelaki itu. Hatiku benar-benar terbakar ketika melihat lelaki itu. Terbakar.

“Seharusnya, seharusnya, argh! Bodoh!” bathinku dengan kepala kini menunduk marah.

Ketika didalam lift, saat pintu hendak tertutup. Aku mengangkat kepalaku. Kulihat beberapa temanku berdiri jauh dari lift. Seketika amarahku surut. Aku kembali tersenyum ke arah mereka. Kujulurkan lidahku. Hanya sebagai tanda bahwa aku akan baik-baik saja. Semoga mereka mengerti he he. Pintu lift tertutup.

Lelaki tadi argh! Kenapa aku bertemu dengannya disaat seperti ini? Aku tak akan pernah melupakan hari itu. Tak akan pernah sekalipun. Kamu benar-benar harus menerima apa yang telah kalian berdua lakukan.

Yang aku rasakan adalah sebuah amarah. Amarah yang terbawa kembali. Mungkin memang benar ini jalanku berada di ibukota. Mendekatkanku dengan mereka berdua kembali. Mungkin memang ini jalanku, menjadi diriku sendiri. Agar kelak nanti aku bisa...

“Lepas saja borgolnya...” ucap pak polisi berkumis tebal tiba-tiba. Membuyarkan lamunanku.

“Siap ndan!” balas polisi muda

“Mas, mas tenang saja. yang penting nanti mas ikut saja ke kantor polisi. Dan mas akan tahu kebenarannya. Yang penting mas gak usah lari-lari, nanti malah saya tembak. Siap mas?” tanya pak polisi berkumis tebal

“I-Iya pak...” jawabku

Aku heran sendiri. Kenapa sikap mereka menjadi lebih lunak? Terlihat lebih santai dibanding sebelumnya. Sesaat kemudian aku keluar dari lift, dan dirangkul oleh polisi muda. Aku berjalan santai layaknya pengunjung yang lain. Aku dibawa ke dalam mobil yang berada di tempat parkir rumah sakit. Aku duduk dibelakang bersama polisi berkumis tebal. Sedangkan polisi muda berada di bagian kemudi mobil. Disampingnya ada seorang polisi lagi.

“Kamu naik ke atas sekarang. Terus, katakan pada mereka untuk tetap tenang, karena si Arta ini tidak akan kenapa-napa. Paham?” ucap polisi berkumis tebal kepada seorang polisi yang duduk disamping polisi muda. Sama muda sebenarnya dengan yang berada dikemuid, menurutku.

“Siap ndan, terus apa perlu dari pihak Andrew membuat laporan” tanya polisi muda kedua

“Perlu, untuk mempermudah si Arta bebas. Sudah ada datanya kan?” tanya polisi berkumis tebal

“Sudah pak, Orang tua dari Andrew. Sesuai prediksi pak. Semua sudah siap sesuai instruksi atasan” jawab polisi muda kedua

“Bagus, katakan pada mereka, beri penjelasan sejelas-jelasnya!” perintah polisi berkumis tebal

“Siap Ndan!” ucap polisi muda kedua. Yang kemudian keluar dari mobil dan berjalan cepat.

Aku menjadi bingung. Dan penuh pertanyaan.

“Sudah, kamu tenang saja mas. Semua akan baik-baik saja” ucap polisi berkumis tebal

“I-iya pak, i-iya... ta-tapi pak...” jawabku

“Semua demi kebaikanmu, ikuti saja nanti” jawabnya kembali

Benar-benar aneh, aku kok merasa ada dalam sebuah permainan. Kini aku hanya diam tanpa berani bersuara. Mobil sedan hitam ini kemudian berjalan menuju ke arah kepolisian. Tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Sesekali aku melirik ke arah polisi berkumis tebal dan dia tampak santai dalam perjalanan. Haaaaah, ada apa sebenarnya?

“Rokok?” pak polisi berkumis menawariku.

Sedikit aku merasa lega ketika aku mendapatkan rokokku. Apalagi, rokok yang aku hisap adalah Dunhill Mild. Dunhill dengan bungkus putih. Setiap rasa yang aku hisap terasa sangat halus. Rasa tidak terlalu berat seperti rokok kretek atau rokok filter. Rasa lembut dari teman lama yang selalu menemaniku. Disetiap kesendirian, hanya sebatang ini yang selalu menemaniku. Walau, hanya sesaat tapi cukup membuatku merasa tenang.
 
Terakhir diubah:
Scene 49
Someone... Behind The Scene



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia

Aku marah dengan diriku sendiri tapi lebih ke papahku. Kenapa seorang sahabatku yang menyelamatkan aku, menyelamatkan anaknya malah tidak dibela mati-matian oleh papah. Aku diam dan kesal terhadap papahku sendiri. beberapa sahabatku merasa sedih, bahkan ada yang menangis. Helena saja sedih ketika Arta ditangkap pihak kepolisian.

“Pah, kenapa sih arghh... papah arh..” aku merasakan sakit didadaku ketika aku berteriak atau membentak

“Sudah kamu istirahat saja. papah sudah ada rencana sendiri. dan kalian tetap tenang, kalau Arta sampai masuk kedalam penjara mereka bertiga juga harus masuk. Apalagi kalian semua adalah saksi dari kejadian yang sebenarnya” jelas papahku

Semua terdiam, tak ada raut bahagia diwajah mereka semua. Termasuk aku. Helena dengan lembut menahanku, menenangkan aku. Bagaimana bisa tenang kalau sahabat sendiri yang menyelamatkan nyawaku saja malah ditahan! Argh, aku benar-benar kesal.

Tok... tok...

Kleeek...

“Selamat pagi” tegas seorang dengan pakaian rapi dan berjaket hitam

“Ya, selamat pagi” balas Ayahku yang langsung mendekati orang itu dan menyalaminya

“Ada keperluan apa?” tanya Ayah

“Saya dari pihak kepolisian” jawab polisi muda

Kaget? Jelas saja, dua kali ada polisi datang ke kamarku. Tapi kali ini tampak sekali lebih santai ketimbang yang tadi. Dia kemudian dipersilahkan duduk sama Irfan. Senyumnya ramah dan menenangkan. Seakan-akan ada sesuatu yang akan membuat kami menjadi lebih tenang.

“Begini...” ucap polisi muda

Polisi muda ini terus menjelaskan duduk perakaranya. Dimana, ketiga orang tua dari Kristian, frans, dan Bernard melaporkan Arta dengan pasa penganiayaan. Tapi anehnya mereka menghilangkan kami sebagai bagian dari kejadian tersebut.

“Sebentar pak, tapi kenapa kami tidak ada dalam berita acara laporan tersebut?” tanyaku.

Dengan santai polisi itu menjelaskan. Setelah mendapat laporan, pihak kepolisian bergegas menuju TKP. Disana mereka menemukan bukti senjata dan beberapa kesaksian dari saksi mata. Ada saksi mata yang melihat kejadian tersebut, tapi tidak diketahui oleh kami. Saksi itu salah satu penjaga perkemahan. Karena kesaksian dengan berkas laporan berbeda, pihak kepolisian kemudian membuat sebuah perangakap kepada pihak pelapor, yaitu dengan memberikan arahan kepada semua pekerja ataupun karyawan yang ada di perkemahan untuk tidak memberitahukan kepada siapapun yang mencari tahu mengenai kejadian pada malam tahun baru tersebut.

“Eh, maaf pak menyela, kenapa pihak kepolisian sampai mengarahkan para petugas perkemahan segala?” tanya Dini

“Karena laporannya berbeda dengan kejadian. Dan, untuk menghindari kalau saja pihak pelapor melakukan intimidasi terhadap para petugas. Dan ternyata memang benar, salah satu dari anggota kami yang menyamar menemukan bahwa ada orang suruhan dari pelapor melakukan penghasutan terhadap beberapa petugas. Untungnya para petugas mematuhi arahan kami, jelas kan mereka tidak ingin kehilangan pekerjaan hanya karena tidak jujur. Dan saya harapkan kalian tenang sudah kami amankan, orang dari pihak mereka itu” jelas pak polisi

“Mmm.. pak, kenapa tidak langsung saja menangkap pelapor, kan sudah ada saksi, kami siap, petugas perkemahan siap, bahkan orang dari mereka juga sudah ditangkap” Desy menyanggah dan aku membenarkannya

“Semua harus sesuai prosedur. Mereka menggunakan pengacara, dan kami membutuhkan bantuan dari bapak dari Andrew Nugraha, jadi akan semakin jelas kalau Bapak tidak terima dan melawan pelapor” ucap polisi

“Kan bisa polisi sendiri, polisi kan sudah punya bukti. Tidak perlu menangkap Arta” sekali lagi aku memprotes

“Kami hanya menghindari kalau pihak kepolisian terlalu berpihak ke Arta, ingat, Arta memang benar-benar melakukan penganiayaan walau itu adalah sebuah pembelaan diri untuk menyelamatkan kalian. Sudah jelaskan? Kami disini fungsinya untuk menengahi agar teman kalian tidak berada dalam penjara. Intinya kami ingin memukul balik pelapor dengan prosedur yang tepat agar kami tidak terlalu memihak. Salah satu cara adalah dengan membuat laporan tandingan” jelas polisi muda. Memang benar apa kata polisi tersebut.

“Dan disini kita membutuhkan orang yang mau melawan pelapor. Agar, sama keadaan menjadi seimbang”

“Silahkan bapak baca dulu, kemudian tanda tangani” ucap pak polisi sembari menyerahkan secari kertas

“Lho kok sudah jadi, eh, sebentar, ini bener kejadiannya dan ini bener kaya gini?” tanya papahku

Desy meminta kertas itu dan membacanya sehingga kami mendengarnya. Semuanya tepat sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Papahku langsung saja menanda tangani kertas laporan tersebut. Semua sudah ada cap, dan tanda tangan kepala polisi. Heran aku. Papahku saja tinggal tanda tangan.

“Ini pak...” ucap papahku menyerahkan secarik kertas tersebut

“Maaf pak, sebelumnya, tapi kenapa polisi sebegitunya itu... eee...” ucap Desy bingung

“Semuanya aman. Oia saya minta nomor bapak yang bisa dihubungi” balas pak polisi tanpa menjawab pertanyaan dari kami. Papah langsung memberikan nomor hapenya.

“Kalau begitu saya undur diri dulu, Terima kasih” ucap pak polisi

Polisi muda ini dengan sopan menyalami kami semua. Tak lupa mengucapkan harapan kepadaku agar lekas sembuh dan daat beraktifitas seperti sedia kala. Setelahnya, polisi itu keluar dari ruangan.

Setelah kepergian polisi tersebut, kami semua terheran-heran. Pasti ada sesuatu dengan Arta. Siapa sebenarnya Arta? Hmmm...

“Des, Din, Win, Na’... kalian kan yang dulu pernah belajar bersama Arta. Kalian pasti tahu siapa Arta kan?” tanyaku heran

“Kita memang pernah belajar bersama. tapi, tak tahulah, misterius ini anak” ucap Dini

“Benar-benar misterius, sampai pihak kepolisian saja berusaha mati-matian mencari pembelaan untuknya” ucap Irfan

Semua berpikir, berpikir dan berpikir.

“Sudah, sekarang kita cari makan siang. Urusan Arta biar pihak kepolisian yang menangani, Om tadi sudah memberikan nomor hape om ke polisi muda tadi. jadi kalau ada apa-apa sama Arta, pihak kepolisian akan menghubungi om” ucap Ayahku.

“Sekarang, Helena jaga Andrew, Om akan ajak kalian makan enak, oke?” Lanjutnya, dan mereka semua mengiyakan.

Suasana menjadi lebih tenang dan lebih rapi kembali. Aku yakin Arta akan baik-baik saja. entah keyakinan darimana, yang jelas, aku yakin. Tampaknya teman-temanku juga. Tapi tetap saja si anak ndeso itu, misterius.



--------------------​

“Mas, silahkan duduk. Sudah anda disini dulu” ucap polisi berkumis yang kemudian meninggalkan aku

Aku duduk didepan seorang polisi dengan seragam formal tapi bukan seragam dinas. Dia tersenyum ketika melihatku dan kemudian bersedekap, bersandar sembari melihatku. Malah tambah bingung akunya. Ditambah lagi bapaknya yang ada didepanku itu, geleng-geleng kepala sambil senyum-senyum. Heran aku.

“Mas, masuk keruangan itu” perintahnya

“Eh, sa-saya pak?” tanyaku. Dia mengangguk.

Aku berdiri dan berjalan ke sebuah ruangan. Ku ketuk pintu dan kudengar suara yang mempersilahkan aku masuk. Ku buka pintu pelan, aku masuk dan kemudian dipersilahkan duduk. Didalam ruangan ini ada seorang polisi laki-laki dan perempuan.

“Mas, langsung saja”

“Pernah lihat ini?” tanyanya memperlihatkan foto sebuah pistol

“Pe-pernah pak” jawabku

“Jangan gugup, jawab dengan tenang” tenang polisi perempuan. aku kemudian menghela nafas panjang.

“Iya pak, saya pernah melihatnya” jawabku kembali

“Siapa yang memegang?” tanyanya kembali

“Eh, i-itu waktu saya berkelahi di perkemahan” jawabku

“Saya tanyanya siapa yang memegang?” tanya pak polisi tersebut

“Eh, itu namanya Kristian pak” jawabku

“Dah cukup, sana balik lagi” perintah bapaknya. Itu polisi perempuannya juga senyum-senyum sendiri malahan

Aku keluar ruangan dan kembali duduk di tempat semula. Aku menunggu dan melihat bapak yang tadi menyuruhku masuk ke ruangan sebelumnya, sedang mengetik. Benar-benar aneh semuanya, harusnya aku merasakan rasa takut. Tapi ini kenapa semuanya tampak acuh sekali denganku?

Selang beberapa saat kemudian muncul tiga orang lelaki bersama seorang dengan menggunakan jas yang sangat formal. Tepat ketika dia datang langsung mendorong kepalaku hingga kepalaku terbentur meja. Polisi yang berada didepanku mencoba menghalangi namun terlambat. Kepalaku sudah terbentur.

Bentakan. Makian. Kata-kata kotor keluar dari mulut ketiga lelaki setengah baya ini. beberapa polisi kemudian menenangkan mereka. setelah beberapa saat kemudian, baru aku tahu jika mereka bertiga adalah orang tua Kristian, Frans dan Bernard. Seorang lagi adalah pengacara dari mereka bertiga.

Akhirnya, selesai sudah. Selesai sudah perjalananku. Semua akan berakhir. Setiap perkataan dari pengacara tersebut membuatku semakin tersudut. Tak ada pembelaan dariku. Bagaimana caraku membela diri, sedangkan aku berada dalam pihak yang memang bersalah. Dasar kamu Ar, selesai sud...

“Maaf... saya menolak segala laporan dari ketiga pelapor tersebut” suara yang aku kenal. aku mengangkat kepalaku dan menoleh ke arahnya.

“O-om...” ucapku lilrih, dia tersenyum kepadaku. Ayah Andrew.

“Saya tidak setuju, karena pada malam kejadian, menurut anak saya, ketiga anak bapak yang melakukan penyerangan, Kristian, Frans dan Bernard. Sedangkan Irfan, Johan, dan Andrew membela diri begitu pula Arta!” tegas Ayah Andrew

“Anda siapa?! berani-beraninya anda membela bajingan ini” Bentak Ayah Tian

“Saya Ayah Andrew! Dan saya datang kesini untuk membela sekaligus melaporkan anak kalian atas tuduhan penganiyaan!” bentak Ayah Andrew

Perdebatan semakin panas. Ayah Andrew tidak mau kalah dengan apa yang di utarakan oleh keempat lawannya. Bahkan suasana semakin memanas, masing-masing mempertahankan pendapat mereka. Ketiga orang tua yang melapor, mengatakan bahawa anaknya dianiaya ketika sedang melakukan pesta tahun baru. Dari pihak Ayah Andrew mengatakan kalau Andrew dan teman-teman yang sedang merayakan malam tahun baru diganggu oleh ketiga anak pelapor hingga Andrew mengalami luka yang serius. Ayah Andrew juga mengataka kalau Arta yang menyelamatkan anaknya dan teman-temannya.

“Apa buktinya? Sedangkan kami punya saksi dimana Arta melakukan penganiayaan terhadap ketiga klien saya?” tanya pengacara

“Mana saksi anda. Saya juga punya saksi bahkan bukti yang menguatkan!” bentak Ayah Andrew

Polisi menenangkan mereka berlima. Salah satu dari Ayah pelapor kemudian menelepon seseorang. Sesaat kemudian, seorang datang.

“Nama anda Poniran, benar kan?” tanya kembali polisi tersebut. Dan dengan tegas orang tersebut membenarkannya.

Dengan tenang orang tersebut melakukan kesaksian. Semuanya kesaksiannya berbeda dengan kejadian. Saksi merupakan salah satu pengunjung dari perkemahan tersebut. dan kesaksiannya membuatku semakin tersudut.

“Benar anda orang yang berada di perkemehan saat kejadian?” tanya polisi yang duduk di depanku. Orang menjawab dengan tegas bahawa dia berada di perkemahan tersebut dengan keluarganya.

“Tidak benar itu pak! Dia tidak berada di perkemahan karena perkemahan melarang dia untuk datang kembali. Poniran ini orang yang tinggal didaerah sekitar perkemahan, dia pernah membuat onar perkemahan!” teriak seorang yang menyeret seorang lelaki berjaket hijau. Ada empat orang yang datang bersama orang tersebut.

“Anda siapa?” tanya pak polisi

“Ini saksi saya pak” ucap Ayah Andrew

“Saya saksi dari bapaknya ini, bapaknya ini bapaknya dari anak yang waktu itu terluka.” Ucapnya setelah berdiri dekat denganku

“Saya juga membawa bukti pak, ini daftar orang yang bermalam di bumi perkemahan kami dan... kang kasihkan pak polisi kang” ucap orang tersebut yang sebelumnya berbicara dengan pak polisi kemudian menyuruh seorang temannya menyerahkan sesuatu kepada pak polisi

“Ini pak” seorang dari mereka menyerahkan pistol

“itu bukan pistol anak saya!” teriak Ayah tian

“Sebentar bapak, biarkan saksi menjelaskan” ucapnya

“Ini pistol kami temukan pak di perkemahan, saya sendiri berada ditempat kejadian sewaktu melakukan pengecekan. Dan melihat kalau seorang dengan mobil yang datang ke tenda milik anak bapaknya ini dan juga masnya ini mengacungkan pistol ini” ucapnya sembari menunjuk dengan sopan ke arah ayah Andrew dan ke arahku.

“Bajingan kamu! jangan asal menuduh anak saya!” teriak Ayah Tian

“Bapak! Kalau bapak tidak bisa tenang, bapak akan keluarkan dari kantor polisi!” bentak seorang polisi. Pak polisi berkumis tebal datang kembali, entah dari mana. Ayah Tian langsung diam, pengacaranya pun diam.

“Saya sempat disana sebentar pak, dan yang terakhir saya lihat. Anak bapaknya ini kena pisau belati pak didadanya, terus saya lari pak karena ketakutan” ucap penjaga yang menyerahkan pistol dalam bungkusan plastik bening yang tertutup rapi

“Dan dia tambahan lagi pak, itu si poniran itu tetangga saya pak. dia dilarang masuk ke perkemahan pak, tanya saja sama warga disana. Hafal semua sama ini orang” ucapnya, membuat poniran terdiam

“Terus siapa lelaki berjaket hijau ini?” tanya pak polisi

“Ini pak, saya serahkan ke kepolisian juga. Ini orang kemarin ngomong dan nyuruh para petugas, kalau nanti ada polisi datang atau siapapun yang menanyakan kejadiaan di perkemahan, untuk berbicara ke polisi kalau pemuda bernama Arta yang melakukan penganiayaan. Kita gak terima pak, makannya kita tangkap bareng-bareng pak. Lha seenaknya saja, pakai mau ngasih uang segala pak” ucap seorang dari petugas perkemahan dan mendorongnya maju

“Enak sebentar susah terus, ini orang kaya orang mau nyalon jadi kepala daerah saja pak. Kasih uang tempel, enak sehari bisa buat belanja tapi lima tahun di injak-injak, sama saja. makannya kami yang ada diperkemahan gak suka orang-orang kaya gini pak. Kalau bapak butuh saksi mengenai perbuatan lelaki ini, silahkan bapak ke petugas dan penjual di perkemahan”

“Lha semuanya itu ikut meringkus dia pak” jelasnya kembali

“Hmmm....” gumam pak polisi.

Polisi tersebut duduk dan bersandar. Melihat ke arah pelapor. Aku sedikit melirik ke arahnya dan tampak sekali wajah mereka menjadi pucat. Tak ada suara. Kurasakan pundakku mendapat pijatan ringan. Aku kembali melirik ke arah pijatan itu, Ayah Andrew. Dia tersenyum dan mengacungkan jempol ke arahku dengan cara sembunyi-sembunyi.

“Ada yang bisa menjelaskan dari pihak pelapor? Atau kasus saya tutup? Jika ingin dlanjutkan, berarti Arta, Kristian, Frans dan Bernard saya penjarakan dengan masa hukuman berbeda. Arta, memang melakukan penganiayaan tapi itu karena disini, menurut laporan pihak Ayah dari Andrew, Arta hanya melakukan pembelaan untuk melindungi teman-temannya”

“Dan dilihat dari sisi penganiayaan bisa, tapi ini membela diri tapi memang terlalu berlebihan. Dan akan kami penjarakan. Kemudian ketiga anak dari bapak” sembari melihat dan mengangguk ke arah pelapor

“Karena kepemilikan senjata api, benda tajam, tuduhan penganiayaan kepada Andrew, Irfan, Johan. Serta telah melakuan tindakan berbahaya yang bisa merenggut nyawa seseorang... juga akan kami penjarakan dengan masa penahanan dua kali lipat bahkan bisa tiga kali lipat dari Arta. Bagaimana bapak? Dilanjutkan?” jelas pak polisi

“Kalau dilanjutkan, anak bapak akan keluar pada saat teman-teman kuliahnya sudah menggendong bayi.” penjelasan yang membuat semua orang terdiam

“Jadi...” lanjut pak polisi

“Kami dari pihak kepolisian menawarkan cara kekeluargaan antara Anda dengan keluarga Andrew. Tapi, untuk kepemilikan senjata api anda tetap berurusan dengan pihak kepolisian” jelas pak polisi

Kami semua diam. Kulirik senyum kemenangan dari Ayah Andrew. Tapi tak kulihat senyum dari para polisi tersebut. Sebuah ke anehan, pistol yang aku lihat ketika diserahkan kepada polisi tadi, benar-benar terbungkus rapi. Kalau seorang penjaga mengambil pistol itu pasti ada sidik jari yang tercetak disitu. Tapi kalau aku amati lagi, benar-benar bersih.

Setelah lama terdiam, akhirnya dari pihak pelapor menawarkan penyelesaian yang cukup mudah. Mengganti semua biaya Andrew dan juga mengganti semua kerugian yang sampai saat ini menjadi beban Ayah Andrew beserta teman-temanku. Dan aku... BEBAS!

Entah, semua seakan berjalan mudah bagiku. Tapi dalam benakku ada seseorang yang mengatur ini semua, entah itu seseorang dari pihak kepolisian atau seseorang dari luar. Aku tidak tahu. Yang aku tahu sekarang aku bebas.

Setelah perbincangan sangat lama dan aku hanya tertunduk bersyukur. Sebuah kesepakatan telah didapatkan antara Ayah Andrew dan juga pelapor. Tetapi pelapor dengan pihak kepolisian tetap ada, dimana tiga mahasiswa Tian, Benard, dan Frans berada dalam pengawasan polisi untuk beberapa bulan kedepan. Jika terjadi apa-apa dengan kami semua, aku dan teman-temanku, maka mereka bertiga yang akan dicari ataupun ditangkap.

Dengan rasa sedikit kesal dan marah, para pelapor meninggalkan kantor polisi dan akan kembali untuk esok hari. Aku yakin, luka yang didapat oleh mereka bertiga tidaklah ringan. Sadar ataupun tidak sadar ketika aku menghajar mereka, yang aku tahu, semua yang pernah berkelahi denganku pasti terluka parah.

“Sekarang kamu ikut pulang om, Ar” ucap Ayah Andrew

“Eh... i-iya om” jawabku

“Maaf pak, untuk Arta tetap tinggal” ucap Pak Polisi berkumis

“Lho kenapa?” tanya Ayah Andrew heran

“Tenang pak, tadi kan sudah saya jelaskan?” balas pak polisi berkumis

“Oh, iya, lupa saya...”

“Ya sudah Ar, kamu tinggal disini, nanti om akan sampaikan berita ini ke teman-teman kamu” ucap Ayah Andrew

“Eh, i-iya om, tapi... itu kenapa om bisa-bisa berada di kantor polisi?” tanyaku heran

“Tadi pas mau makan bareng sama teman-teman kamu, om di telpon pihak kepolisian kesini. Kalau kamu nanti ada pertanyaan, tanya saja sama pak polisi ya?” jelas Ayah Andrew

“I-iya om...” jawabku

Sesaat kemudian om pulang, bersama dengan rombongan petugas perkemahan. Hanya aku yang kini berada dalam kantor penegak hukum negeri ini. sendiri, eh, ada pak polisi berkumis. Masih duduk di depan pak polisi yang sedari tadi menjadi penengah antara pihak pelapor dengan ayah Andrew.

“Nih...” ucap pak polisi berkumis tebal menawariku rokok Dunhill Mild

Aku tersenyum dan mengambilnya. Selagi menghisap rokok kegemaranku ini, ku dengar pak polisi berkumis sedang menerima telepon dari seseorang. Jawabannya hanya “iya pak”, “siap komandan” hanya itu yang aku dengar. Sesaat kemudian dia melihatku tersenyum geli, kelihatannya.

“Dah dihabiskan dulu, setelah itu kamu masuk ke ruangan yang ada di pojok lorong ini ya? paling pojok dan berada disebelah kanan” perintah pak polisi berkumis dan aku mengiyakannya

“Bapak mau keluar dulu cari makan. Kalau ada pertanyaan tanya bapaknya” sembari menunjuk ke arah bapak polisi berseragam formal ini.

Pak polisi berseragam formal ini kemudian mengajakku mengobrol. Sedikit menertawakan aku karena logatku yang sangat “ndeso”. Lumayan mendapat teman untuk menghabiskan rokokku. Setelah bercengkrama ngalor-ngidul (Utara-Selatan). Aku kemudian disuruh untuk menuju ruangan yang sudah ditunjukan oleh polisi berkumis.

Dalam langkahku menuju ke ruangan itu, aku berpikir. Keluar dari ruangan Andrew, tanganku diborgol tapi sampai di lift borgol dilepas. Didalam mobil aku ditawari rokok. Sampai di kantor polisi yang awalnya aku berpikir untuk dipenjara, ternyata aku malah bebas. Dan saksi berdatangan dengan gampang sekali. Kapan sebenarnya Ayah Andrew mencari saksi dan bukti itu? aku memang tidak tahu dimana keberadaan Ayah Andrew, tapi secepat itukah?

Aku berada didepan ruangan, aku ketuk pintu. Tak ada suara. Ku ketuk kembali.

“Masuk...” ucap seseorang. Tapi kenapa suaranya begitu aku kenal.

Aku masuk kedalam ruangan. Di kiriku ada meja dengan dua kursi didepannya. Didepan meja sedikit jauh, ada seseorang yang sedang membaca koran di atas sofa. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya. Tepat di kananku ada kamar mandi, ku dengar dari arah kamar mandi gemericik air. Berarti orang lagi didalam kamar mandi.

“Duduk...” ucap seseorang yang duduk di sofa depan meja. Suara ini berbeda dengan yang tadi mempersilahkan aku masuk. Tapi kelihatan sedikit aku kenal walau suaranya sedikit dibuat-buat.

Aku duduk membelakangi kamar mandi. Duduk disebuah kursi dan didepanku sebuah meja tak ada nama. Ku coba mencari identitas nama pemilik meja ini tapi tetap saja tak kutemukan. Bahkan meja yang dibelakangnya saja bersih. Aku menunduk sembari melirik ke kanan dan kekiriku. Dibelakangku ada seorang yang membaca koran tapi tak menyapa sedikitpun.

Kleeek...

Suara pintu kamar mandi terbuka. Aku semakin menunduk.

Trap... trap... trap....

“Kamu mencari ini?” ucap seseorang yang begitu aku kenal

Kletek...

Aku mendongakkan kepalaku terpampang papan nama di atas meja, JIWA KANDA GUNA SAHAJA. Ku dongakan kepalaku ke atas lagi. Seorang yang aku kenal.

“Mas Jiw....”

Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku. Kurasakan telapak tangan mendorong kepalaku hingga keningku terbentur di meja. Tangannya begitu kuat membuatku tak bisa mengangkat kepalaku lagi.

“Hukum saja dia!” bentak seseorang yang aku kenal
 
Terakhir diubah:
Scene 50
Change



Arlena Ayuningtyas


Keningku masih melekat diatas meja. Aku sangat kenal suara mereka, kedua orang ini. Jangan-jangan...

Dengan cepat ku raih tangan itu dengan kedua tanganku. Sedikit aku menoleh ke kiri.

“M-mas Ra-raga... sa-sakit mas” ucapku

“Hukum saja dia mas! Dasar kakak tidak tahu diri! Punya dua adik dititip-titipkan gak diurus lagi!” bentak mas Raga.

“Mas sakit mas... yakin mas ini sakit!” ucapku sedikit berteriak.

Dilepaskan tangan mas Raga. Aku langsung bangkit. Tetapi mukaku malah kelihatan bengong.

“HA HA HA HA...” Tawa mereka begitu keras dan menyumpal telingaku. Tawa mereka semakin keras, kelihatan sekali kalau dalam tawa, mereka merasa geli.

Semakin heran aku dibuat oleh manusia didepanku. Dua orang lelaki yang aku kenal. Satu orang kulitnya sedikit gelap dibandingkan satunya lagi. Seorang dengan pakaian hitam dan celana hitam formal. Sedangkan seorang lagi memakain pakaian yang hampir sama, hanya saja yang satunya lagi bajunya tidak dimasukan. Terlihat lebih santai. Mereka tertawa bersendekap memandangku.

PLAKKK...

“Dasar! Itu adik-adikmu khawatir sekali! Dodol!” bentak Mas Raga sembari memukul kepalaku dengan telapak tangannya. Mas Raga kemudian duduk disampingku.

“Dihukum apa enaknya si Arta ini dik?” tanya Mas Jiwa

“Penjara seumur hidup saja mas ha ha ha” tawa mas Raga

Aku masih bingung. Kenapa dua orang ini bisa begitu akrab? Eh, kok mirip ya dua orang ini? Hanya saja mas Raga lebih tinggi dan kulitnya lebih cerah dibandingkan mas Jiwa.

“Apa?!” bentak mas Raga masih dalam tawanya. Mas Raga menangkap kebingunganku.

“Kenapa Ar? ada yang aneh?” tanya mas Jiwa

“I-itu ke-kenapa kalian kok ini itu... di-di sini?” tanyaku gugup

“Perkenalkan...” mas Raga mengulrkan tangannya dengan gugup aku menyalami mas Raga

“Raga Adi Guna Pangayom” ucap Mas Raga.

Parah! Sejak sekian lama aku bertemu dengannya, baru kali ini aku mengetahui nama lengkap mas Raga.

“Mak-maksudnya mas?” tanyaku

“Aku adiknya mas jiwa dodol!” bentak mas Raga

PLAAAK...

Sekali lagi kepalaku menjadi sasaran telapak tangan mas Raga hingga aku menunduk. sesaat kemudian aku mengangkat kepalaku. Melihat kembali ke arah mereka.

“Ka-kakak adik??” tanyaku

“Iya, ini adikku raga. Dilihat dari namanya saja hampir sama. itu nama dari kakekku. Jiwa-Raga. Yang artinya kami berdua itu adalah satu kesatuan, Ar” jelas mas Jiwa yang tampakebih bijaksana daripada mas Raga.

Sedikit aku melamun setelah mendengar penjelasan mas Jiwa. Benar-benar aneh hidupku ini. Ingatanku kembali ke masa dimana aku pertama kali bertemu dengan mas Raga. Selang beberapa hari, kalau tidak salah, aku bertemu dengan mas Jiwa. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengan kedua orang ini secara berurutan? Apakah memang ada sesuatu antara aku dan mereka berdua?

PLAAAK...

“Aduh mas sakit mas. Jangan di pukul terus kenapa?” protesku

“Kamu lagi mikir kan? Pasti heran kan kenapa kamu bisa bertemu dengan kami berdua di kantor ini? iya kan?” tanya mas Raga.

Aku mengangguk menjawab pertanyaan mas Raga. Walaupun bukan itu pertanyaan utamaku.

Mas Raga kemudian menjelaskan kepadaku mengenai laporan penganiayaan. Laporan itu diceritakan mas Jiwa kepada Mas Raga. Pada laporan tersebut, dijelaskan mengenai seorang lelaki culun yang menganiaya ketiga anaknya. Dan wajah pertama yang muncul dalam benak pikiran mas Raga adalah aku. Mas Raga kemudian meminta mas Jiwa untuk tidak tergesa-gesa terlebih dahulu.

Mas Raga kemudian menyuruh orang untuk menyelidiki kasus tersebut ke perkemahan bersama seorang dari pihak kepolisian atas perintah mas Jiwa. Dari semua kesaksian yang ada di perkemahan, kejadian berbeda dengan apa yang dilaporkan oleh pihak pelapor. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata benar orang yang culun itu adalah aku. Dan semua tetek bengek dari saksi dan bukti, semua adalah usaha dari mas Jiwa dan mas Raga agar aku terbebas.

“Rupanya Arta yang aku ceritakan kepada kakakku ini adalah Arta yang sama dengan Arta yang menolong kakakku menyelesaikan kasus pembunuhan di tebing” jelas Mas Raga

“Eh... i-itu kan sudah lama” ucapku

“I-iya sudah lama, dulu Raga juga pernah cerita mengenai laki-laki yang berkelahi dengannya dan juga yang menolongnya ketika berhadapan dengan Pengu. Dulu ngomongnya anaknya culun. Nah pas ada laporan itu aku gak inget sama kamu Ar, ingetnya cuma cerita Raga mengenai anak yang culun. Karena pas itu baca laporannya Cuma numpang lewat saja dan gak begitu aku pikirkan”

“Pas, diselidiki sampai ketemu identitasmu. Dan menyamakan ciri-ciri kamu sama Raga, ya yakin kalau itu kamu ha ha ha dasar detektif jadi-jadian” canda mas Jiwa

Aku cuma cengengesan saja. Pertanyaan dalam pikiranku bukan masalah kasus ini sebenarnya. Tapi lebih menjurus ke kenapa aku bisa bertemu dengan dua orang ini. Entah dari mana pikiran ini tiba-tiba saja datang. Seakan semua sudah ada yang mengatur.

Entah kenapa, aku teringat kata-kata kakek. Sore itu, sebelum keberangkatanku, sebelum kepergian kakek dan nenek...


oOo​

“Le, sini” panggil kakekku. Ketika itu aku sedang menyiapkan pakaianku.

“Gih kek, ada apa?”

“Duduk sini, ini dirokok juga. Sama itu kopi buatan nenekmu, diminum”

“Inggih kek”

Aku menyulut rokok kretek kesukaan kakek. Kemudian aku sruput minuman kopi hitam itu perlahan. Sesaat kemudian nenek datang dan duduk disebelah kakekku.

“Dihabiskan, besok-besok kamu dah ndak bisa nikmatin kopi nenek kamu” ucap kakek.

“Kakek itu, ya masih bisa nanti kan Arta juga pulang ke Desa kek” jawabku, tapi kakek dan nenek hanya tersenyum

“Besok kamu akan ke kota le”

Aku mengangguk

“Disana akan ada banyak manusia yang berbeda dengan manusia di Desa. Jangan minder, se-ndeso-ndesonya kamu, kamu juga manusia seperti mereka. Yang membedakan manusia satu dengan manusia yang lain adalah Akal. Orang yang berakal adalah orang yang tidak mengumbar keangkuhan, kesombongan, nafsunya. Jadilah kamu manusia yg berakal”

Aku kembali mengangguk.

“Jadilah kamu manusia yang kuat. Tapi kuat untuk melindungi, kuat untuk menolong dan membantu sesama. Bukan kuat yang ingin menindas yang lemah. Dalam diri kamu ada manusia yang kuat, kendalikan dirimu. Dan jika kamu menjadi kaya penuh harta, jangan lupakan orang-orang yang kurang. Bantu mereka ya le”

Sekali lagi aku kembali mengangguk. Terbersit rasa haru dalam hatiku.

“Di kota nanti kamu bakal ketemu banyak orang, bisa jadi dari orang-orang itu akan menjadi pendamping kamu. bisa jadi dari orang-orang itu akan menjadi keluarga kamu. iso ugo (bisa jadi) mereka adalah orang yang selama ini kamu cari.” Aku mengangguk kembali, entah kenapa aku tidak bisa berkata-kata. Hanya mampu menghisap batang rokok kretek ini.

“Diantaranya kakek pernah cerita ke kamu, le. Jadi eling-eling dewe yo (ingat-ingat sendiri ya) apa yang kakek ceritakan ke kamu pas kemarin-kemarin. Yang jelas sekarang kakek mau cerita ke kamu untuk besok itu.” aku kembali mengangguk

“Besok, bakalan ana wong sing adil bakal mbok temoni (bakal ada seseorang yang adil yang akan kamu temui). Manusia yang bersahaja. Lan kowe bakal ketemu wong sing ngayomi (dan kamu bakal ketemu orang yang mengayomi). Dua orang itu adalah keluarga kamu, keluarga yang bakal menjadikanmu sebagai bagian dari keluarga kamu. Jaga mereka le. Perang tidak bisa dihindarkan” ucap kakekku

“Wes iku wae, kono adus lek dang turu. Mbahe wes kesel pengen leren, wes ora iso ngurusi awakmu maneh. Ngko wengi tulung ya le, nek mbahe katisen, tulung jipukno selimut ning lemarine mbahe. Mbah kakung karo mbah yayi meh turu sek. Ojo mbok ganggu (Sudah itu saja, sana mandi dulu dan segera tidur. Kakek sudah capek ingin tidur, sudah tidak bisa ngurusi kamu lagi. Nanti malam tolong ya nak, kalau kakek dan nenek kedinginan, tolong ambilkan selimut di almari kakek. Kakek dan nenek mau tidur dulu. jangan kamu ganggu)” perintah kakek

“Inggih mbah” jawabku.

Aku kemudian menghabiskan rokokku dan juga kopi buatan nenek. Kulihat kakek dan nenek mulai tidur di kursi kayu. Perang? Perang dunia? Kakek mengada-ada saja. Dan lagi aku juga merasa semakin aneh, masih sore sekitar jam 3, aku disuruh mandi dan segera tidur. Tapi entah kenapa aku langsung menuruti kata-kata kakekku.

Malam harinya aku terbangun. Tepat jam 7 malam. Aku keluar dari kamarku dan melihat kakek-nenek tertidur pulas. Tanpa aku mendekati mereka, aku langsung mengambil selimut di lemari kakek. Heran, selimut ini berwarna putih bersih tanpa motif. Seketika aku tersadar.

“Kakek... nenek...” aku memeluk kain itu dan segera kembali keluar

Aku mendekati mereka perlahan. Wajah mereka tersenyum. Kakek memeluk nenek dengan sangat erat. Bibir kakek menyentuh kening nenek. Nenek memeluk kakek dengan erat. rambut putih mereka terayun oleh angin yang masuk ke dalam rumah. Aku mendekati mereka. kusentuh tangan kakek. Dingin.

“KAKEEEEEEEK.... NENEEEEEEEEK!” teriakkku keras

Semua warga berbondong-bondong masuk ke dalam rumahku. Inikah yang dimaksud kakek tidak bisa mengurusiku kembali? Inikah yang dmaksud kakek tidak bisa menikmati lagi kopi nenek? Aku menangis sejadi-jadinya. Tak lama kemudian terdengar tangisan dan teriakan histeris dari warga. Malam itu aku mengalami sebuah peristiwa tragis. Malam sebelum keberangkatanku, aku harus berpisah kembali dengan orang yang aku cintai. Kakek dan nenekku.

Malam itu juga, aku makamkan kakek dan nenekku dibantu warga. Hingga semua warga pergi aku masih berada di tempat makam kakekku. Disana sudah ada makam ibuku. dan dua yang tidak pernah aku tahu makam siapa. Karena memang aku tidak pernah diberitahu oleh kakek dan nenekku. Mereka dimakamkan di tempat pemakaman yang berbeda dengan orang-orang di desa. Hanya aku dan orang desa yang tahu makam ini.

Aku duduk dan bersimpuh. Menangis sejadi jadinya. setelah berjam-jam menangis aku akhirnya kembali. Didalam rumah, rumah yang biasanya terdengar teriakan kakek yang marah-marah, nenek ya kadang tertawa. Kini sepi, sama sepinya dengan hatiku.

Kulihat bungkus rokok di meja, masih tersisa sebatang. Aku mengambilnya. Kusimpan. Sebagai bekal aku berangkat ke kota. Ya, besok aku akan kekota.

oOo

“Woi! Melamun saja” teriak mas Raga

“Eh, mas maaf he he he” aku tetap mencoba tertawa walau hatiku sedang dilanda sedih ketika ingatan itu kembali.

“Ada apa?” tanya mas Jiwa.

Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Mungkin mereka yang dimaksud kakek. Mereka berdua. Ini mungkin baru awal bagiku menemukan mereka. Menemukan kakak perempuanku. Dan bertemu dengan dua orang perempuan yang menjadi adikku. Tentunya, juga sahabat-sahabaku.

“Ar...” ucap mas Raga. Aku mendongak dan melihat ke arahnya

“kamu sudah menjadi bagian keluarga kami. kamu juga sudah berada dalam situasi yang bukan lagi sebagai seorang pendatang”

Aku sedikit berpikir mengenai kata-kata mas Raga.

“Maksudnya mas?” tanyaku

“Kamu masih ingat kejadian dengan Pengu?” tanyanya dan aku mengangguk

“Jaga dirimu, dan teruslah berkomunikasi dengan kami semua” sela mas Jiwa

“Eh...” aku sedikit bingung

“Jangan bingung, karena posisi kamu sebenarnya sudah dalam keadaan tidak aman. Jadi kalau kamu mau, tinggal bersama Raga. Atau kalau kamu mau tinggal tetap pada tempat tinggalmu sekarang, kamu harus selalu waspada” jelas mas Jiwa

“Dan... mulai besok kamu harus mengenali kota ini dengan baik. Putari kota ini, pahami!” ucap mas Raga

“Ta-tapi minggu depan aku ujian mas” jawabku

“Gampaaaang... bisa diatur, kamu ikut ujian susulan saja. Nanti biar aku yang hubungi universitasmu, dan mereka pasti akan memberi kamu keringanan” jelas mas Jiwa

“Ar... peristiwa dengan Pengu sudah menyebar di ibu kota ini. terutama orang-orang yang mau menjatuhkan keluarga kita. Walau mereka belum tahu identitasmu yang sebenarnya, paling tidak mereka pasti akan mencari tahu. Kenali kota ini, agar kamu lebih tahu dan lebih paham mengenai kota ini” jelas mas Raga

“Eh, a-aku... a-anu mas” jawabku terbata

“Tidak ada anu-anuan, Ar. ini serius. Bisa jadi nyawa kamu taruhannya” ucap mas Jiwa

Seketika itu aku tertegun. Bagaimana bisa seorang desa seperti aku menjadi incaran manusia-manusia di Ibu kota? Sebuah jalan hidup yang aneh, jalan hidup yang tidak pernah aku pahami. Pertemuan dengan mereka berdua, telah membuatku melangkah ke jalan ini. Tapi aku tetap tidak bisa menyalahkan mereka.

Perang? Apakah ini yang dimaksud dengan kakek? Entahlah...

Setelah perbincangan serius, kami bercanda sejenak. Dari situ aku baru tahu ternyata mas Raga juga bisa manja sama mas Jiwa. Selang beberapa saat, aku diajak mas Raga untuk pulang kerumahnya. Tapi aku menolak, aku ingin bertemu dengan mbakku. Aku dan mas Raga kemudian keluar dari kantor mas Jiwa.

Di luar kantor polisi, mas Raga hendak memesankan aku taksi. Tapi aku menolaknya, aku katakan kepada mas Raga kalau nanti akan ada yang menjemputku. Sembari menepuk bahuku, dia kemudian pergi dengan mobil yang sama dengan ketika dia mengajakku ketika bertemu dengan pak Pengu.

To : mbak Arlena
Mbak, jemput aku.
Sekarang adik ada di kantor polisi pusat

Seketika itu aku mendapat telepon dari mbak Arlena. Dia khawatir dengan keadaanku tapi tetap saja marah. Aku senyum-senyum sendiri kalau dengar atau lihat mbak Arlena marah. Teringat Ibu.

“Mbak, nanti adik ceritakan tapi adik jemput dulu. adik mohon”

“Mobil mbak sedang di bengkel, ya sudah nanti mbak jemput kamu pakai taksi saja”

“Iya mbak”

“Dan cerita! Jangan main rahasia-rahasiaan sama mbak”

“Iya mbak”

“Tunggu mbak”

“Iya mbak”

“Dari tadi iya-iya terus”

“Lha adik harus jawab apa mbak?”

“Awas kamu nanti kalau dah ketemu!”

“Iya mbak”

“Huh!”

Terdengar dengus kesal mbak Arlena dari dalam telepon genggamku. Hah, sekali lagi aku membuat seorang perempuan kesal terhadapku. Eh, kalau mbak Arlena kesal terhadapku berarti kan tandanya dia sayang. Eh, lha Desy? berarti? He he he... dasar jangan besar kepala dulu kamu Ar?!

Aku melangkah keluar dari kantor polisi. Duduk di sebuah bangku yang terbuat dari batu bata, di trotoar depan kantor polisi. Aku tidak menyangka jika waktu berganti dengan begitu cepatnya. Padahal, baru tadi pagi aku berangkat ke kantor polisi dan sekarang aku keluar lpetang.
Kendaraan beralalu lalang didepanku. Seakan mengejar waktu agar cepat sampai dirumah. udara pagi tadi yang bersih kini sudah begitu kotor. Bau gas yang dikeluarkan dari knalpot kendaraan membuat udara menjadi tidak segar kembali. Lampu-lampu jalanan mulai menerangi jalanan. Aku masih disini memandang kendaraan-kendaraan yang selalu berganti di depan pandanganku.

Sebatang Dunhill mengisi kesenderianku lagi. Asapnya mulai berkumpul dengan udara, membuatnya lebih kotor dari sebelumnya. Beberapa orang berjalan di depanku, tak ada tegur sapa diantara kami. Mungkin inilah yang membedakan kehidupan kota dan desa. Disana, ketika aku nongkrong saja, setiap orang yang berjalan pasti menyapa. Entah kenal ataupun tidak. Ah, Bodohnya aku, kota ini besar lebih besar dari desaku. Ditambah lagi kota ini penuh dengan kesibukan. Tak seperti desa, dimana pekerjaan orang hanya sebatas bertani, berternak, berkebun, bahkan ada beberapa yang hanya mengurusi rumahnya.

Kota, yang sangat besar. Penuh dengan kesibukan-kesibukan. Entah kenapa aku bisa sampai disini. Entah kenapa aku bisa bertemu dengan mereka. Bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenal sebelumnya. Hingga aku harus berada dalam situasi sekarang ini. Pendamping? Apa benar aku akan menemukan pendamping di kota ini? Pendamping hidupku kelak? Bisa jadi, bisa juga tidak.

Sebuah taksi berhenti didepanku. Pintu kaca belakang terbuka. Terlihat kakakku yang berteriak memanggilku. Aku tersenyum, segera aku mendekatinya dan masuk ke dalam taksi. Pelukan hangat, pelukan kekhawatiran. Ciuman di keningku dan kucekan di kepalaku. Mengingatkan aku pada Ibu. Ya jelas, karena kakak perempuanku yang cantik ini memang benar-benar mirip dengan Ibu. Tak lupa, jitakan keras di kepalaku. Benar-benar, ini perempuan lahir dari rahim Ibu. Sama galaknya, lebih galak dari teman-temanku. Sesekali kakakku melihatku heran dengan penampilanku. Aku hanya tersenyum saja.

Tak ada kisah yang kuceritakan kepada mbak Arlena. Semua aku tahan hingga sampai dirumah kakakku. Selain itu terlihat sekali kakak perempuanku ini kelelahan. Mungkin pekerjaannya menyita waktunya, dan juga aku menyita pikirannya. Tiba-tiba kakakku mulai bercerita mengenai kegiatan di kantornya. Pekerjaannya di kantor menumpuk dan selama beberapa hari ini dia harus menyelesaikannya. Untingnya sekarang semua telah selesai. Kakakku bisa beristirahat. Mungkin sedikit keberuntungan juga bagiku, disaat aku membutuhkannya, kakakku sedang bebas dari tugas kantornya

Sesampainya di rumah, aku langsung duduk di sofa putih. Sedang kakak perempuanku membuatkan aku minuman hangat. Sesaat kemudian, dia mendekatiku dan menyerahkan segelas minuman hangat, kemudian duduk disampingku, rapat. Dengan senyum khas, dia mulai membuka percakapan mengenai kejadian yang aku alami. Satu per satu pertanyaan mulai menyerangku.

“Hufth... dari pada mbak tanyanya banyak banget. Mending adik cerita yang sebenarnya dari awal sampai akhir ya?” ucapku

“Iya, harus!” jawabnya dengan nada sedikit tinggi

Aku mulai bercerita tentang malam tahun baru. Malam dimana semua orang bergembira untuk menyambut malam pergantian tahun. Kami semua datang ke perkemahan dengan tawa dan canda. Hanya aku yang pendiam. Sesekali kakakku menghela nafas panjang ketika mendengar ceritaku.

“Ada apa kak?” tanyaku

“Culun lagi?” tanyanya, aku mengangguk dan tersenyum.

Dengan isyarat tangannya, kakakku menyuruhku melanjutkan cerita. Ku usap gelas minuman hangat ini, hanya sesekali untuk merasakan hangat dari minuman. Aku kemudian melanjutkan ceritaku, dari mencari kayu, hingga kedatangan tiga orang itu. Perkelahian antara Johan, Irfan, Andrew dengan Tian, Bernard, Frans. Hingga aku yang lepas kendali, seakan-akan aku tak punya kontrol terhadapa tubuhku sendiri.

Aku bisa melihat apa yang aku lakukan namun untuk mengendalikan tubuhku aku tidak bisa. Hingga semua menjadi tenang dan akhirnya aku mendapatkan kembali kendali terhadap tubuhku. Ketika mendengar rintih sakit Andrew yang mendapat luka goresan dalam pada dadanya dan juga Tangis teman-temanku.

“Terus?” tanya kakakku menaruh dagunya dipundakku. Menatapku tajam.

“Adik mencari obat yang sering digunakan di desa, waktu itu aku melihatnya pas mencari kayu. Setelahnya, Andrew, adik bawa lari ke parkiran dan terus ya... dibawa kerumah sakit” ceritaku sembari menyeruput minuma hangat

“Lengkap... dan detail” kata-kata lembut dari kakakku, aku meliriknya sambi menjulurkam lidahku

“Auch... i-iya kak, iya...” cubitannya sakit sekali dipinggangku. Sorot matanya jengkel dan bibirnya memperlihatkan kalau dia geram kepadaku

Aku kembali menceritakan kejadian di tempat parkir ketika bersama Dini, hingga Dini mengantarkan aku pulang ke rumah. Tak ada cerita tentang aku dan Ainun, karena aku tahu pasti kakakku tak akan menyukainya. Aku hanya bercerita beberapa hari dirumah untuk menenangkan diri dan kemudian berangkat ke rumah sakit. Sampai aku dan Desy, hingga kantor polisi.

“Kok bisa bebas?” tanya mbak Arlena

“Ayah Andrew, telah menyiapkan semuanya”

Aku sedikit berbohong. Bukan Ayah Andrew sebenarnya tapi Mas Jiwa dan Mas Raga. Aku tidak menceritakannya, dengan pertimbangan karena ini Ibu Kota. Aku tidak ingin kakak perempuanku dalam bahaya.

“Teruuuuuus Dini, Desy pilih yang mana tuuuuuuh...” tiba-tiba Mbak Arlena bercanda

“Eh, ndak ada mbak” jawabku

“Oh iya.. hmmmm..”

“Adiiiik beeeeluuuum ceeeeriiiita cewek-cewek dikampus!” ucap mbak Arlena geram sembari mencubitku

“Arghhhh.... atah atah atah.... sakit mbak, sakiiiiiiittt.... iya adik ceritaaaaaa...” tubuhku menegak ketika cubitan di pinggangku semakin keras

Sembari aku mengelus-elus pinggangku, aku kembali bercerita. Aku yang diajak Winda, kemudian Dini, dan Dina. Semua aku ceritakan secara detail, itu juga waktu nangis-nangis dengan Dini juga aku ceritakan. Apalagi waktu di atap gedung, pas sama Desy. Aku ceritakan kembali secara detail.

“Empuk ya?” canda mbak Arlena dengan wajah candanya

“Eh, i-itu kan anu mbak, anu... hufth... maaf, namanya juga cowok mbak” aku menghela nafasku, panjang.

“Hi hi hi... pilih yang mana tuh, yang manja, galak, periang, apa yang dewasa?” tanya mbakku sembari menyangga dagunya

“Apaan mbak itu, ndak ada yang mau sama aku” jawabku

“I-iya s-sih m-mbak ju-juga ti-tidak ta-tahu hi hi hi” balas mbak Arlena menirukan gaya culunku

Aku melengos membuang muka dari mbak Arlena. Tawa mbak Arlena semakin terdengar keras, menertawaiku. Bahkan dia saja belum laku sudah ngejek adiknya. Dasar, huh. Ndak pas ketemu temen-temen kuliah, ndak sama mbakku sendiri, sama saja. Jadi bahan tertawaan.

“Siapapun nanti yang jadi pendampingmu, mbak akan terima. Asal dia baik buat adik mbak, dan...” aku memandangnya

“Jangan pernah menyembunyikan sesuatu dari mbak, karena mbak akan selalu tahu apa yang terjadi pada adik mbak” ucapnya

Aku sedikit tertegun ketika mendengarnya. Apakah mbakku mengetahui semua yang terjadi padaku? Tatapan matanya tajam, setajam Ibu. Dulu setiap aku berbohong kepada Ibu, Ibu selalu tahu. Apakah aku harus menceritakan tentang Ainun, Mas Raga, Mas Jiwa, Ana dan Ani? Tidak, aku tidak boleh menceritakannya sekarang. Tidak boleh. Sekalipun kakak perempuanku tahu, aku tidak peduli. Yang jelas, aku ingin menyimpannya dulu.

“Sudah, gak ada lagi yang mau diceritakan?” tanyanya. Aku menggeleng.

“Jangan pernah jadi culun lagi mulai sekarang” ucapnya dengan kedua tangan lurus menekan pada sofa. Kakakku kemudian menghela nafas panjangnya.

“Tunggu disini” ucap kakakku

Mbak Arlena kemudian berjalan, masuk kekamarnya. Sembari menunggunya aku menyeruput kembali minuman yang sudah mulai dingin ini. Sesaat kemudian aku mendengar pintu kamar mbak Arlena terbuka. Dia kembali duduk di sampingku, merapat ke tubuhku.

“Ini, baca yang lembar kedua” ucap kakakku menyerahkan lembara kertas.

Aku sedikit tertegun, melihat kembali kertas dari Ibu. Lembar kedua memang belum aku baca.
Tanganku sedikit gemetar ketika aku menerima kertas itu.

“Baca...” kembali mbak Arlena menyuruhku

Aku membukannya. Lembar pertama aku balik dan kuletakan di belakang lembar kedua.

Saat itu...
Aku mengandung janin dalam rahimku, Kehadirannya sangat ditunggu oleh kakak perempuannya, juga Ayahnya
Tapi mereka berdua pergi, karena Ayahnya lebih memilih jalan lain. Walau sebenarnya sang kakak perempuan tak menginginkannya.
Akhirnya aku sendiri berada dalam rumah ini, rumah yang dulu penuh dengan kebahagiaan

Hingga akhirnya anak itu lahir
Bayi laki-laki, tangisnya keras, membuat semua orang yang datang tertawa. Hanya aku yang menangis bahagia dan juga ada sedikit tawa
Begitu cepat bayi itu menyusu, pasti dia sangat kehausan, kehausan sekali. Kini aku tak sendiri lagi dirumah, ada tangis bayi yang aku sayangi
Kulihat dalam lelapnya, kadang dia tersenyum, manis sekali. Sedikit aku bisa melihat kemiripanku dengannya.
Dari mulai dia bisa tengkurap, merambat, berdiri hingga berjalan, aku menyaksikan semuanya,
nakalnya, pintarnya, sedihnya, tawanya, aku juga menyaksikan semuanya

Aku bahagia, bahagia sekali.
Kebahagiaan yang seharusnya bisa aku bagikan kepada Ayahnya dan kakak perempuannya. Itulah yang kadang membuatku merasa sedih karena tak bisa berbagi.
Tak ada yang salah dengan putraku ini, nakal adalah hal yang wajar. Tapi ingatan akan putriku kadang membuatku membandingkan putraku dengannya. Dan itu adalah hal yang salah, hal yang seharusnya tidak aku lakukan.

Arta, Arta Byantara Aghasthya, itulah namamu nak, nama anak Ibu.
Ada sesuatu yang terpendam dalam diri kamu dan itu kadang membuat Ibu terkejut.
Masih ingatkah kamu ketika kamu berumur 6 tahun?
Saat itu tiba-tiba seekor anjing mencakar Ibu? Kamu marah nak, sangat marah.

Samar-samar, aku teringat akan kejadian itu. Kejadian yang membuatku sedikit tertegun ketika mengingatnya. Aku membunuh anjing itu dengan sangat kejam.

Anjing itu lebih besar dari kamu, tapi kamu telah menyelamatkan Ibu dengan cara yang tak dapat Ibu duga, dan seharusnya anak seusia kamu tidak bisa melakukannya.
Ibu sempat ketakutan ketika melihatmu, nak. Sangat ketakutan.
Amarahmu tak bisa redam saat itu, membuat bagian tubuh anjing itu tercerai berai.
Ibu hendak mendekatimu tapi Ibu melihat matamu penuh dengan kemarahan.
Dan ketika ibu memanggilmu dengan lirih, kamu menoleh dengan wajah ketakutanmu.
Kamu menangis, tak sadar atas apa yang kamu lakukan.

Ketika kamu marah, hanya satu dalam pikiran Ibu, yaitu Ayahmu.

Nak, Anakku sayang, Anakku yang paling gagah dan ganteng.
Jadilah diri kamu sendiri, kendalikanlah dirimu.
Kamu harus sebisa mungkin menjadi diri kamu sendiri, jangan menjadi orang lain.

Jika suatu saat nanti kamu bertemu dengan Ayahmu ataupun keluargamu yang lain. Semarah apapun kamu, Ibu mohon, Ibu memintamu.
Tetap lah tenang, jadilah anak Ibu yang selalu tersenyum
Yang selalu tersenyum dan selalu membuat Ibu tenang
Setenang ketika kamu mengatakan tentang bintang

Masih ingatkan sayang?
Bintang itu akan selalu ada bersamamu, melihatmu, menemanimu dan menyayangimu.
Jadilah lelaki pelindung, penjaga dan juga penyayang
Ya Sayangku,
Arta, Anak Ibu
Arta Byantara Agasthya

Ibu yang selalu mencintaimu,
Arlina Ayuningtyas

Air mataku menetes...

“Sini...”

Terdengar suara mbak Arlena. Aku menoleh ke arah mbak Arlena. Wajahnya tersenyum, tangannya terbuka lebar. Aku yang menangis, memeluk tubuhnya. Aku terisak dalam pelukannya. Tangannya lembut mengelus kepalaku. Kehangatan tubuhnya memberikan keteduhan dalam kegelisahan hatiku. Suaranya, ketika tersenyum, memberiku ketenangan dalam jiwaku.

“Seperti kata temen kamu, Desy. Bintang itu selalu ada dan dia akan lebih bersinar, jika adik meraih bintang yang lain” ucap mbak Arlena. Kecupan di kepalaku membuatku merasa lebih nyaman.

“Mbaaaak...” tangisku

“Iiih, udah gede nangis mulu... maem dulu, ya?” candanya. Aku masukan wajahku dalam pelukannya.

“Eeeeh... adiiiik, maem yuk” ucapnya kembali

“Adik mau dipeluk sampe tidur” jawabku

“Iya, nanti tapi maem dulu ya? ntar mbak peluk sampe kamu tidur” balasnya. Aku kemudian bangkit dan duduk kembali. Mengangguk kemudian tersenyum.

“Mbak...” ucapku

“Iya?” balasnya

“Gini mbak, Besok aku ndak ikut ujian semester dulu ya mbak” ucapku tersenyum memandangnya

PLAAAAK....

Sebuah tamparan keras di kepalaku

“Dasar! Hrrgh!” aku mengelus kepalaku, menahan sakit

“Suasana haru kaya gini, tenang-tenangnya, malah adik buat nyleneh, hrrgh!” geram mbak Arlena dengan tangan mengepal

“Eh, be-bentar mbak, sakit ini tadi... A-adik jelaskan dulu, mbak jangan asal pukul dulu to” protesku sambil mengelus kepalaku

“Jelasin apa?!” bentak mbak Arlena dengan mata mendelik, mirip banget sama Ibu.

Aku menghelas nafas panjang. Pelan aku ceritakan alasanku kenapa aku tidak ingin ikut ujian semester besok, tapi ikut ujian susulan. Itu dikarenakan pihak kepolisian sedang melakukan pengawasan kepadaku selama satu minggu besok. Dan selam satu minggu besok, aku ingin keliling ibu kota. Untuk mengenal lebih dekat ibu kota. Ditambah lagi, aku menceritakan kalau pihak kepolisian bersedia menghubungi pihak universitas agar aku bisa ikut ujian susulan.

“Owh gitu, tapi emang bisa pihak kepolisian membujuk univ adik?” tanyanya dengan satu jari menyangga dagunya.

“Katanya bisa mbak” jawabku

“Ooooh.... ya sudah, maaf tadi kalau mbak mukulnya keras hi hi hi” candanya, tapi aku bisa melihat ada sedikit wajah heran dari mbak Arlena

“Huh, udah galak, jelek lagi” lirihku

“Apa tadi adik bilang?!” bentaknya

Aku langsung bangkit dan berlari sambil menjulurkan lidahku ke arahnya. Mbak Arlena kemudian mengejarku dengan teriakan marahnya. Aku tertawa, berlari menghindar. Teriakannya semakin keras, tapi ada gelak tawa disela teriakannya. Galaknya sama persis dengan Ibu. Mungkin memang mudanya Ibu, sama dengan Mbak Arlena.

Aku mnegitari ruang tengah dengan tawa riangku. Beberapa kali aku hampir tertangkap, tapi masih bisa menghindar. Dan, akhirnya aku tertangkap, sudah sangat lelah sekali. Tangan kananku sudah berada dalam genggamannya. Mata kami beradu.

“Hi hi hi ha ha ha ha..” tawa kami berdua

“Dasar” ucap mbak Arlena disela tawa kami

Perlahan tanganku ditariku, kepalaku dipeluknya. Kecupan pada keningku, ucek-ucek rambut. Membuatku semakin teduh dalam senyumannya. Senyumnya begitu menentramkan bathinku, pelukannya begitu mengahangatkan rasa beku dalam hatiku. Sesekali, hidungku kena betet jarinya. Dengan lembut, aku ditariknya ke meja makan. Makan malam bersama mbakku, tapi aku merasa malam ini, kami bertiga sedang makan malam bersama.

“Sudah di maem, jangan melamun terus” ucapnya dengan senyum khasnya

Malam semakin larut, aku tidur dalam pelukan satu orang yang selalu aku cintai. Kakak yang telah lama berpisah. Di sofa putih, tubuhku dipeluk dari belakang. Nyanyian lembut dari bibirnya membuatku semakin tentram dalam nyamanku. Bintang itu tak pernah menghilang, bintang itu selalu ada. Ada satu bintang yang begitu dekat dengan bintang utamaku, yaitu kakak perempuanku. Bintang yang tetap harus terang, dan aku berjanji akan selalu membuatnya terang.

Dalam peluknya, dalam hangatnya. Aku terlelap. Terlelap dalam kehidupan kota yang bagiku masih baru aku kenal. Tak pernah dalam benakku, jika semua akan berjalan seperti ini. Seperti halnya katalis, yang dapat mempercepat reaksi kimia, Mas Jiwa dan Mas Raga seakan-akan menjadi katalis dalam kehidupanku di kota ini. Bereaksi sangat cepat dengan hiruk pikuk sisi lain dari Ibu Kota.

Samo dan Justi, warna lama yang selalu menghiasi kehidupanku. Dini, Dina, Winda, dan Desy entah dari mana mereka datang. Tapi sudah mewarnai kehidupanku, juga sedikit mewarnai hatiku. Begitupula dengan Andrew, Irfan, Burhan, Johan, Helena, Tyas, Salma, dan juga Dinda. Ainun? Ah, sampai sekarang aku juga tidak mengerti mengapa dia bisa hadir dalam kehidupanku, menyita sisi hatiku. Ana dan Ani, dua malaikat kecilku, dengan sayap yang sedang terluka. Memberiku kedewasaan menjadi seorang kakak.

Ayah? Entah, apa arti kata Ayah bagiku? Aku belum bisa menemukannya.

Walau banyak kejanggalan yang akhirnya aku sadari. Dari mulai beasiswa, Keluarga Mas Jiwa-Raga. Entahlah, aku belum bisa menemukan cahaya dalam misteri ini. Sang Lelaki itu, lelaki yang keluar dari lift. Aku pasti akan menemukannya! Aku pasti akan membuatnya menyesal. Pasti!

Aku terlelap...

Dalam kehangatan...

Cinta kasih dan sayang...

Keluargaku,

Ibu...

Mbakku....

Aku tidak tahu akan takdirku disini, tapi aku akan menjalaninya. Melindungi semua yang aku sayangi dan aku cintai.


---------------------​

Step out of hell. (Ringtone by Helloween)

“Ya, dik”

“Mas, tadi mas lihat yang jemput Arta?”

“Iya, taksi”

“Tapi didalamnya seperti ada seseorang”

“Perempuan tepatnya, dik. Ada apa?”

“Aku hanya khawatir mas”

“Kenapa tidak kamu buntuti tadi?”

“Lha mas sendiri? aku tadi sudah masuk ke jalan satu arah, mana mungkin putar balik”

“Ha ha, sudahlah tenang saja, ingat kata-kata kakek”

“Iya, tapi kalau malah berbalik?”

“Tidak, tidak akan pernah. Percaya pada mas. Jika sesuai dengan perkiraan mas, timbangan dia lebih berat ke arah kita”

“Ta-tapi, itu kan perkiraan mas”

“Ha ha ha... dik, lihat semua yang telah dia lakukan di awal. Ada keluarga yang harus dia lindungi. Dia memang lemah dalam perasaannya, tapi kuat dalam menentukan. Yang jelas, dia bukan orang jahat”

“Baiklah mas, aku percaya sama mas. Tapi perempuan itu?”

“Mana aku tahu, yang jelas, perempuan yang berada dalam taksi itu sepertinya aku mengenalnya. Dan sama sepertinya, timbangannya lebih berat ke arah kita”

“Ta-tapi...”

“Sudaah sana Tidur! Sudah malam!”

“Iya, mas... eh, mas kok nyuruh-nyuruh aku? Aku dah punya istri, mas. Woooo”

“Ha ha ha... namanya juga kakak lelaki, pengennya ya keras sama adiknya ha ha ha”

“iya, iya mas he he”

Tuuut...

Arta. Arta Byantara Agasthya, kamu seorang prajurit dan juga seorang pelindung. Lindungilah semuanya Ar, kamu sudah maskuk terlalu dalam. Dalam sekali Ar, bahkan ada nyawa yang akan menghilang didepan matamu kelak.


oOo​

“Sahabatku, pernah berkata padaku. Akan datang ke kota ini, seorang prajurit. Dengan hati yang lemah. Tapi tak ingin melihat kebencian. Tariklah prajurit itu dalam keluarga ini sebelum tertarik pada yang lain. Jiwa, kamu bisa mengajarinya keadilan dan Raga, kamu bisa mengayominya”

“Agar kelak kota ini tak ada lagi kejahatan yang membuat orang merasakan takut yang berlebihan, jagalah kota ini, bersama dia sang prajurit”

oOo​

“Kakek, aku akan selalu mengingat kata-katamu. Aku dan Adikku, Raga, pasti bisa membuat semuanya menjadi lebih aman dan lebih indah. Terima kasih telah mempercayai kami, kedua cucumu yang kurang ajar ini”

Bathinku tersenyum ketika mengingat kata-kata kakek. Kupandangi langit malam ini, begitu indah. Semoga langit ini akan selalu indah selamanya. Semoga langit ini selalu melindungi jiwa-jiwa yang lemah dan raga-raga yang membutuhkan pertolongan. Semoga semuanya kembali bersinar seperti halnya ketika kakek masih ada. Semoga...
 
Terakhir diubah:
Semua terlihat begitu cepat untuk dilalui
Waktu akan selalu melangkah kedepan, roda waktu akan selalu bergerak kedepan
Tak seperti roda bermesin yang dapat kembali kembali berputar ke belakang

Setiap waktu yang berlalu
Selalu ada mentari yang menawarkan sebuah hari baru
Setiap waktu yang berlalu
Selalu ada senyum yang kan selalu menghiasi hari yang baru

Tak akan ada yang tahu di masa depan nanti
Tak akan ada yang tahu terjadi nanti

Hari yang telah berlalu adalah sebuah perhiasan yang menghiasi kehidupan
Sebuah coretan pada kanvas yang akan selalu teringat
Hari esok adalah sebuah misteri yang tak bisa untuk diramalkan
Hari ini, hari yang sedang kita lalui
adalah sebuah hari yang akan selalu kita kenang di masa depan
adalah usaha terbesar bagi kita untuk mengubah masa depan

Belum, belum selesai
Belum saatnya untuk berakhir
Sebuah perubahan, perubahan untuk menjadi lebih baik telah
Perubahan untuk menyadari kemampuan sendiri
Kadang kita lupa, kalau kita bisa
Kadang kita tidak mau tahu, kalau kita bisa

Belum berakhir
Tapi perubahan ini harus berakhir
Ya, perubahan ini harus berakhir
Masih ada sebuah perjalanan setelah perubahan
Perjalanan untuk menuju akhir

Entah,
Akhir yang menyedihkan
atau
Akhir yang bahagia

Tak ada satupun yang tahu


Change?

TAMAT
 
Terakhir diubah:
Woow, 4 apdetan di atas, sangat mengesankan. :jempol:

Di tnggu apdetan season 2 nya Masta. Pasti bakal kangen banget ama Ainun.

#eh :pandaketawa:

Trimakasih telah meNYEMPROTkan cerita yang selalu membuat pembaca merasakan sensasi :kentang: yang amat sangat lezat. :hore:

Tetap :semangat: suhu DH.
:cup: :cup: :cup:
 
Terakhir diubah:
wow... kayaknya bakalan puanjang nih... siapin gorengan dulu ah...
 
sampai ketemu lagi yah Suhu dan Agan :sayonara:

Mau rehat dulu sambil ngimajinasi cerita lanjutannya :dansa::panlok2::panlok3::panlok4::panlok1:

sabar ya, bai bai :galau:

Ciao dulu ya...

Downhill...


Naik bukit lagi ah,
Karena semua selalu indah jika di awali dari bukit,

apalagi bukit kembar :alamak::remas:
Aiiiiiiisssssshhhhhhhh :pandapeace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd