Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

cerita khas suhu DH, tapi rollback storynya agak banyak ya hu porsinya jadi agak terasa berat ini cerita. kayanya greyside of brain suhu DH bakal dikeluarin dicerita ini.
 
Denger - denger Om DH katanya mau update nih...

Om DH...

Indri, Om.

Pilih Indri...eh salah kamar...

Maksudnya,,,justi Om...
 
Justi udah, kayaknya abis ini cerita soal si samo, jadi penasaran momen justi ma samo ke gep arta kalo mereka udah punya "cewek baru"

*ketawajahat*
 
3x sehari mampir ke thread ini berharap udah update, tp harapan g sesuai kenyataan :galau:
 
Suhu DH nich dh a siapin rokok kesukaan suhu biar cepet update..........
 
Ini bener bener cerita TOP BANGETT suhuuu ... Membuat nubi rela ninggalin kerjaan nubi sejenak bahkan demi baca cerita suhu DH,

Pliss update pliss :(
 
Sabr ajh deh tunggu . ane pantengin nih thrade nih. Selesaikan dlu suhu dh urusan RLx.
Pokoe :jempol:
 
arta yang culun tapi disukai banyak wanita
ati2 loh nanti malah gak kuat klu semua cewek lo embat ˚*•.☆нǟ◦нǟ◦нǟ◦нǟ☆¸.•*˚
 
Scene 8
Angel? On Earth?




Ainun ... ...



Hadeeeeh.... dasar mereka berdua benar-benar membuatku sangat bingung. Kelihatannya mereka mempunyai sesuatu yang benar-benar mereka sembunyikan dariku. Jika aku mengingat kejadian dulu, mungkin menjadi salah satu alasan mereka takut untuk membuka diri kepadaku. Kalau dibilang aku salah ya iya, aku memang salah, sampai menghajar mereka tapi yang mereka lakukan kan juga salah, lha wong menjalin hubungan sama istri orang, edan!. Ya sebenarnya aku tidak masalah, tapi mereka hadeeeh, pacaran sama istri orang kok terang-terangan, edan!. Masa bodoh! kalau mereka tetap menyembunyikannya aku tidak peduli selama mereka tidak bercerita, aku akan diam saja.

Sabar Ar, sabar. Mencoba sabar kok susah banget, kata orang tua, sabar itu soalnya Cuma satu, tapi mengerjakannya seumur hidup, hah!. Ini sebenarnya bingung juga aku, tapi mau tidak mau, aku tetap harus melakukannya. Jadi orang culun, ide dari mereka berdua, tapi ide ini datangnya dari si mesum, penjus. Aku kira ya semuanya bakal jalan baik-baik saja, eh, lha kok malah jadi seperti ini, ada bang Jali, ada mas Raga. Yang aneh lagi adalah mas jiwa, seakan-akan sebuah garis sudah tertulis agar aku bertemu dengan mereka.

Hari ini, aku mulai bantu-bantu pak RT di Festival, Justi dan Samo tidak ikut bantu. Pak RT tidak masalah, wong ini juga sukarela kok. Kini, aku, ya, hanya aku dan sebungkus dunhill. Sebuah acara maraton, jadwal sudah terpampang, dari hari pertama hingga hira akhir sudah ada didepan mataku. Mirip sebuah festival tahunan yang selalu digelar mendekati akhir tahun. Di tempat ini, pak RT menjadi ketua dari RT-RT seluruh kota untuk menjalankan roda kepanitiaan.

Festival mirip sama pasar malam di tempatku, Cuma bedanya ini acaranya lebih besar dibanding dengan acara pasar malam di desakku. Tugasku hanya memantau jalannya kegiatan, lebih tepatnya setiap jam 12 siang ketika semua berisitirahat aku mengumpulkan sampah dari tiap-tiap pedagang dan orang-orang yang mengadakan kegiatan, alias tukang sampah. Pakaian yang aku kenakan warna kuning yang dilengkapi kerudung dan juga topi untuk menghindari panas yang masuk ke mata. Acara digelar hingga malam hari pukul 11 malam dan dimulai pukul 8 pagi. Well, menguras tenaga bukan? bagi panitia khusuunya tapi bagi pedagang adalah sebuah lahan mangais "Emas".

Tak terasa sudah masuk ke hari kedua, capek juga, hari pertama dah ngos-ngosan rasanya. Malam ini, di hari kedua, pukul 8 malam waktu hapeku, ketika itu aku sedang berjalan di belakang tenda-tenda yang berdiri mengambil sampah yang dikumpulkan dari jam 12 siang hingga malam ini.

"Sayang... main itu yuuk" ucap seorang cewek, ah, enaknya punya pacar

"Iyaa... " ucap seorang laki-laki yang aku kenal suaranya, dari balik tenda aku mengintip

"Lha? Kok si Ronald, tapi kenapa bukan dengan Winda? Terus kok manggilnya Sayang?" bathinku

Selang beberapa saat terdengar suara tembakan mainan...

"Sayang kamu hebat, bebeknya kena tiga... sayang ganteng deh nanti Misa beri hadiah deh..." ucap perempuan yang menyebut dirinya misa, memeluk ronald

"Jelas dong kan pacar sayang, muach..." ucap ronald memberikan kecupan pada pipi misa.

"Lha? Kok mesra sekali?" bathinku

Otakku berpikir keras, sekeras batu kali, batu akik dan batu lainnya. Berpikir, tapi sebenarnya tidak perlu terlalu keras, sudah kelihatan, kalau si Ronald. Selingkuh!

Ting tung ting tung ting tung.

Sebuah bunyi dari tempat ronald dan misa.

"Sayang sebentar yah, temenku telepon nih. Gak tahu mungkin, kalau aku lagi sama sayang" ucap ronald

"Iya sayang, aku tunggu disini" ucap misa, aku masih di belakang tenda. Tiba-tiba ronald datang melangkah ke arah belakang tenda dimana aku berada disana. Gelagapan aku, aku tutup kepalaku dengan penutup dari jaket kuning, dan kupakai topi. Sedikit melirik ke arah ronald, yang menelepon dengan arah menghadap ke misa.

"Halo wind..."

"Iya, maaf ini kan dijalan bareng temen, gak enakkan kalau sayang-sayang di telepon"

"Lagi jalan-jalan sama temen-temen, tadi diajak ke festival, gak enak kan kalau nolak"

"Iya deh besok, kalau ada waktu ya"

"Sayaaaaaaaaaaang aku berhasil nembak satu" teriak misa ke arah ronald

"Sama temen beneran, yaelah, itu orang pacaran didekatku masa gak boleh sayang-sayangan. Kan bukan polisi juga aku"

"Bener Winda sayang..."

"Met bobo Winda..." ceklek...

"Sialan ganggu saja!" gumam ronald

"Ngapain mas disitu? Nyari wangsit?" ucap ronald kepadaku

"Sampah" jawabku, tiba-tiba dia bergerak mendekatiku, bodohnya aku, suaraku tidak aku ubah

"Ada apa mas?" ucapku, membesarkan nada suaraku

"Gak da papa mas, cuma kaya kenal suara kamu saja mas. Lagian gak mungkin juga orang yang aku kenal bisa angkat-angkat sampah. Ya udah mas, duluan" ucapnya, aku hanya mengangguk

Kudengar pecakapan mereka walau pelan tapi tetap terdengar. Suara dentuman musik dari speaker-speaker yang bertengger di tiang-tiang besi membuatnya semakin pelan. Kulihat ronald pergi dan memeluk pinggang misa.

"Bagaimana caranya aku bilang ke kamu winda. Lha? Kenapa aku harus ikut-ikutan urusan mereka, yang ada aku malah tambah susah nantinya, bodohlah!" bathinku

Pukul 10 malam tepat sudah banyak tenda-tenda yang tutup. Aku kemudian beres-beres dan lapor ke pak RT yang masih berada ditempat itu. ketika aku hendak pulang, Pak RT kembali memanggilku.

"Ar, ini tolong nanti kasihkan ke rumah bapak ya, dan sampaikan ke ibu kalau bapak pulang agak larut" ucap pak RT

"Oke pak" jawabku, aku iyakan saja yang disuruh pak RT

Segera aku menebeng seorang panitia yang pulangnya lewat depan gang kontrakan. Sesampainya disana aku langsung bergerak cepat menuju ke rumah pak RT, tapi sialnya rumahnya sudah gelap. Aku malah ndak enak sendiri kalau mengganggu, kemungkinan penghuni rumah pastinya sedang tertidur. Aku hanya berdiri dan mematung didepan pintu gerbang rumah yang lumayan mewah ini.

Kleeeeeeeeek....

Suara pintu terbuka, aku sendiri sedikit kaget.

"Ada apa mas Arta? Masuk mas" ucap seorang ibu-ibu yag belum pernah aku melihatnya, punggung kulit tangannya putih dan memakai kerudung menutupi bahunya. Terdiam sejenak, mencoba mencari kesadaran.

"Eh, maaf bu RT ada?" ucapku,

"Beneran aku ndak mimpi kan? Masa ada bidadari malam-malam?" bathinku, segera aku membuka pintu gerbang yang tak terkunci ini

"Iya saya sendiri, didalam saja mas" ucapnya,

Aku megangguk dan tersenyum, benar-benar seperti bertemu bidadari dimalam hari. Aku masuk, membuka pagar pintu. Dari pagar pintu ada jalan setapak yang kemudian sedikit tangga kecil menuju teras depan rumah. Bu RT yangmenungguku, kemudian masuk, aku mengikutinya dari belakang. Dinyalakannya lampu ruang tamu, sekarang tampak terang. Di dekat pintu masuk tadi ada pintu gerbang, khusus untuk mobil.

"Silahkan duduk... sebentar ya..." ucapnya tersenyum, dan kemudian masuk ke dalam

"Iya bu..." jawabku, duduk melihat ruang tamu pak RT

Ruang tamu yang lumayan enak, beda dengan ruang tamu di kontrakan. Eh, itu bukan ruang tamu tapi ruang serba guna. Ruangan lumayan luas yang terhubung dengan ruang keluarga tanpa pintu, hanya korden yang memisahkan ruang. Letak kursi di ruang tamu, dengan kursi panjang yang bisa untuk tiga orang berada di kiriku, kursi untuk dua orang berada dihadapanku, sedangkan aku berada di kursi untuk dua orang dekat dengan pintu. Belakangku persis adalah jendela ruang tamu. Sedikit bingung, karena kemungkinan jendela terbuka minim sekali.

Selang beberapa saat, bu RT kembali keluar...

"Ini mas diminum..." ucapnya, sembari duduk tepat dihadapanku

"I-iya bu... " ucapku langsung menyeruput dan menikmati manisnya perempuan dihadapanku ini. Benar-benar beruntung pak RT.

"Begini bu, ini ada titipan dari pak RT. Sekalian pesan dari pak RT kalau malam ini pak RT pulang larut malam" ucapku memberi bingkisan ke bu RT, tangan putihnya menerima

"Hmmm..." gumamnya pelan, meletekan bingkisan dari pak RT di meja depanku

"kebiasaan bapakmu (Pak RT) itu" suara lembutnya kembali keluar, ketika melihat bingkisan yang aku berikan

"Kebiasaan gimana bu?" tanyaku, penuh dengan pertanyaan, sembari meletakan gelas

"Ya pulang malam kan mas, terus begini dan begitu kan, hufth..." ucapnya, tangannya bersedekap, tubuhnya rebah di sandaran kursi

"Lha kan memang ada tugas bu?" ucapku, dengan sedikit heran

"Iya tugas jadi panitia festival, tapi setelahnya itu, yang kadang bikin gregetan, nakalnya belum ilang-ilang. Benar begitu bukan? Harus bagaimana coba?" ucapnya, terlihat sedikit ada sesuatu yang bagaimana gitu.

Aku sedikit mengamati wajah perempuan dihadapanku ini. Putih, kalem, lembut, tapi sekarang sedikit ada guratan jengkel.

"Eh anu saya ndak tahu bu... beneran..." ucapku, dengan kesadaran penuh, karena jika dilanjut pastinya akan ada pernyataan-pernytaan tambahan lagi.

"haaaaah...." sembari memegang lututnya, dia kembali duduk tegak.

"Mungkin karena masa lalunya, dia jadi seperti ini. Padahal, aku ya mau-mau saja sama dia. Tapi bapakmu saja yang malah sering keluar-keluar terus. Apa sebenarnya yang kurang dirumah? semuanya ada, mungkin anak saja yang belum" curhatnya

"Eh maaf, malah curhat sama kamu ar, keceplosan lha mau bagaimana lagi. Bapakmu itu memang seperti itu Ar, hufth..." ucap bu RT, kedua tangannya menyangga dagunya

"Ndak papa bu, mungkin itu salah satu cara untuk mengurangi beban pikiran" ucapku, dia tersenyum melihatku, kini satu tangannya menyangga pipinya. Kepalanya miring, melihatku dengan tatapan teduhnya

"Umur berapa sekarang kamu ar?" ucapnya

"18 bu"

"lha ibu eh ndak jadi bu..." ucapku, tak pantas menanyakan umur kepada seorang wanita, untung saja aku bisa mengehntikan ucapanku

"Hi hi.. kamu itu lucu, 24, tua ya?" ucapnya, aku sedikit terkejut, kupegang daguku bak seorang pemikir

"Lho kenapa kamu ar?" ucapnya, kedua tangannya menumpuk di pahanya, tubuhnya sedikit maju

"Eh, anu bu, sedikit ndak percaya bu, saya kira 20 bu,..." ucapku benar-benar terkejut

"Hi hi hi.... Ibu nikah pas lulus, malah dua bulan setelah lulus kuliah Ar. dua tahun sudah, ibu menjalani hidup sama bapak kamu itu " ucap bu RT tersenyum, melihatku. Aku tersenyum kaku, benar-benar tidak percaya.

"Em, Orang kota itu berbeda ya bu... awet muda" ucapku

"Hi hi hi ya gak gitu juga kali, tinggal bagaimana merawat tubuh saja. aku... mmm... ibu pakai aku kamu saja ya, biasanya sih lu-gue tapi sudah jadi ibu RT kayaknya gak pantes hi hi hi"
"Kalau mau pakai kata ibu kelihatannya ketuaan deh kalau berhadapan sama kamu. Kalau dilihat, kamu seumuran adik aku yang paling kecil. Sekarang di luar negeri, pinter sih dia dapat beasiswa setelah lulus SMA dan nantinya kalau sudah lulus kuliah ceritanya mau diambil sama perusahaan yang nguliahin dianya"

"Eh, kok malah ngomongin adikku. Oia, manggilnya bu ainun saja ya..." ucapnya

"Oh, eh, iya bu...." aku mengangguk

"Adiknya bu ainun, hebat ya bu..." lanjutku

"Iya, tapi kelihatannya kamu pintar juga ar..." mengambil minuman hangat dan sedikit menyeruputnya, terdengar nada halus ketika dia menyeruputnya. Memang beda, kalau lekai dan perempuan ketika menyeruput minuman hangat.

"Ar..." lanjutnya, pandangannya tajam ke arahku

"I.. iya bu... eh anu bu kok ibu ndak pernah kelihatan keluar rumah?" tanyaku, mencba mencairkan suasana

"Kamu itu, aku mau nanya malah nanya duluan. Iya aku jawab, aku males Ar, lha ibu-ibu disini semuanya karyawan pabrik dan karyawan kantoran, ketemu paling minggu. Kamu saja yang gak pernah keluar kalau minggu, tidur terus pastinya" ucapnya, aku tersenyum dan menggaruk-garuk kepala bagian belakangku, sedikit menunduk. dari sudut mataku, dapat kulihat dia meletakan minumannya di meja

Kudengar sedikit tawanya, sejenak kami tertawa pelan, entah apa yang kami tertawakan. Ketika aku mengangkat wajahku, aku sedikit membeku, kulihat pandangan matanya sedikit tajam ke arahku.

"Kenapa kamu selalu berdandan aneh ketika hendak berangkat kuliah?" ucapnya tatapan matanya tajam, seperti sebuah cangkul yang hendak menggali. Kekakuanku semakin terasa, entah kenapa.

"Eh ndak papa kok he he he" aku mencoba selengekan dan menunduk. dari seberang tempatku duduk, tiba-tiba ujung telapak tangannya menaikan daguku

"Eh..." aku terkejut

"Ada masa lalu yang buruk dalam dirimu" ucapnya, aku terkejut melihatnya

"Egh..." suara tekejutku tapi matanya tetap melihatku

"Kamu tidak bisa berbohong kepadaku, aku bisa melihat semuanya, aku bukan peramal yang memiliki ilmu gaib tapi aku bisa merasakannya. Aku juga tahu kenakalan suamiku, tapi aku hanya diam dan bertahan..." ucapnya, dia menarik kembali tangannya dan menyilangkan kakinya, tumpukan kakinya sebagai sandaran siku tangan yang menyangga dagunya.

Aku menatapnya, tatapan mata itu tajam mengingatkan aku kepada seseorang ya sama seperti wanita yang aku lihat dijalan. Hanya tatapan mata itu yang sama dengan tatapan mata seseorang di masa laluku. Bulu kudukku berdiri, mata itu terus menatapku... tajam, walau bibirnya bisa tersenyum.

"S-Saya..." jawabku,

Seketika, aku teringat akan masa dimana aku telah melewatinya. Kepalaku menunduk pelan, dan air mulai menetes dari kedua mataku. Sebuah tetesan-tetesan penyesalan akan masa yang telah terlewati, tetesan ketakutan yang tak kunnjung hilang dari dalam otakku.

Sreeekh...

"Maaf, Sudah Ar, jangan menangis... maafkan aku"

"Tak perlu kamu mengatakannya, Seandainya suatu saat nanti kamu ingin bercerita, datang kesini saja..." ucapnya, duduk di sandaran tangan kursiku dan menarik kepalaku yang rebah di dadanya

Kepalaku menggeleng, isak tangisku mulai terdengar pelan. Pelan, tapi aku menangis malam ini.

"Maafkan aku..." tangannya lembut mengelus kepalaku

"Mau aku antar pulang?" ucapnya, aku menarik kepalaku dan menggeleng

"Saya pulang dulu bu..." aku berdiri tanpa memandangnya, aku melangkah menuju pintu gerbang rumahnya

"Arta..." ucapnya, aku berdiri dan diam sejenak

"Maafkan aku kalau tadi membuatmu ingat yang telah lalu" ucapnya, pelan

Aku berbalik sesaat dan tersenyum lalu kulanjutkan langkah kakiku menuju kontrakan. Pintu aku buka dan tak kudapati kedua sahabatku di ruang tamu kecil ini, hanya dengkuran keras mereka dari dalam kamar mereka masing-masing. Ku buat segelas wait kofie, masuk ke dalam kamar berganti pakaian. Aku duduk di pinggir kasur kapuk, dan sebatang dunhill nemaniku. Tangisku pecah kembali, aku menahannya dan tak berani bersuara keras.

"Maafkan aku... maafkan aku.... maafkan aku.... maafkan aku..."

Berbatang-batang dunhill menjadi abu, tak sanggup aku menahan tangisku ini. terus-menerus hinga kurasakan mataku mengering dan tak sanggup lagi aku bertahan. Sebuah dering sms HP menyadarkan aku dari tangisku. Aku raih...

From : 085012345678
Arta, ini Bu Ainun
Maafkan aku ya kalau tadi buat kamu nangis
Sudah lupakan percakapan tadi ya

(kok tahu nomorku? Langsung aku save nomornya...)

To : Bu Ainun RT
Iya bu, saya juga minta maaf
He he he ndak papa kok bu
Ibu dapat nomor saya darimana?

From : Bu Ainun RT
Dari hape pak RT
Ya sudah, jangan sungkan-sungkan ngobrol sama ibu RT ya?
Sekarang kamu istirahat, besok masih banyak yang harus kamu kerjakan

To : Bu Ainun RT
Iya bu, terima kasih

From : Bu Ainun RT
Sama-sama :)

Aku rebah dan terlelap dalam lelah tangisku hingga pagi menjelang...

.
.
.

Kembali aku bangun tepak pukul 4 pagi, kubangunkan sahabatku yang molor itu. Tetunya dengan ketukan keras pada pintu mereka. satu persatu mereka keluar dengan wajah kusut, mata masih merem, air liur pada netes. Aku hanya tertawa, walau malam sebelumnya aku menangis semalaman.

"Woi, ar, ntar kamu jaga di festival lagi?" ucap Samo, saat matahari sudah mulai bangkit dan bersinar kurang lebih pukul 7 pagi

"Ndak, lagi males..." ucapku berbohong, dengan segelas wait kofi ditanganku, aku duduk di ruang tamu kecilku, bersama kedua sahabatku.

"Ouwh..." jawab samo, menyulut dunhill putih

"Ada apa? Mau ikut kerja po?" ucapku, sembari meraih sebungkus dunhill didepan samo

"Ndaaak, males hari ini mau keluar ke kampus lagi bareng sama penjus" ucapnya, denga bibir mengeluarkan asap. Kulihat sesutau dibelakang mereka, aku diam saja.

"Yoi bro... tapi kamu dak usah ikut ya ha ha ha..." ucap Justi

"Ah, raimu gopak tai! (wajahmu kena tinja)" ucapku

"Ya udah aku berangkat dulu, jaga rumah, pel lantainya yo" ucap Samo, berdiri bersama justian menuju pintu keluar kontrakan

"Matamu su!" jawabku, mereka hanya tertawa cengengesan dan pergi begitu saja

Aku biasa datang terlambat ke festival, karena memang tugasku hanya bersih-bersih saja. yang terpenting adalah pukul 12 siang harus sudah mulai bersih-bersih. Dengan pakaian kuningku, aku berjalan menuju halte untuk menuju ke tempat festival. Akhirnya setelah sekian menit aku naik bis sampai juga ditempat festival, kulihat jam di hapeku menunjukan pukul 11.00, lumayanlah terlambat beberapa jam dari hari kemarin.

Menunggu pukul 12, aku duduk di bawah pohon dan meminum kopi putih dari panitia. Semilir angin, panas, kukibaskan topi yang aku pakai. Kulihat sekelilingku, dari tempatku berteduh, dari sini aku bisa melihat mereka semua walau sedikit terhalang oleh tenda-tenda orang berjualan.

Alarm hapeku berbunyi, sebagai tanda sudah tepat disiang hari. Aku bangkit, ku tutupkan kerudung pakaian kuning dan kupakaian topi tak lupa masker, dan bersiap mengambil sampah-sampah. Ketika mulai mengambil sampah-sampah, aku tersenyum melihat seseorang.

"Dasar!" bathinku

Aku melangkah dan mendekati orang tersebut, tampak orang tersebut sedang menunggu seorang wanita yang sedang memesan makanan. Aku dekati hingga dibelakang tubuhnya, dia tidak menyadari keberadaanku.

"Yang penting tidak seperti dulu saja ya" ucapku sedikit keras

"Egh!" dia terkejut dan membalikan badan

"He he he..." ucapku dan langsung bergerak menjauh

"Ar, kosek... ojo mikir elek sek (tunggu, jangan mikir jelek dulu)" ucap Samo, memegang tanganku

"Yang mikir jelek itu siapa, aku Cuma bilang jangan seperti dulu he he he" ucapku

"Ora bro tenan (tidak bro beneran), dia habis cerai sama suaminya 1 tahun yang lalu" ucapnya

"Sudah, tuh cewek kamu datang" ucapku, Samo melepaskan tangannya

Sebenarnya sih terserah mereka tapi kalau sampai mereka bareng sama istri orang. ah, tak tahulah, aku hanya bisa berdoa saja mereka tidak mengulangi hal yang sama dengan yang terjadi di masa lalu mereka. aku kembali ke pekerjaanku, menjadi tukang bersih-bersih festival. Setelah semua pekerjaan selesai aku kembali ke posku dan beristirahat sejenak di bawah pohon yang melindungiku dari paparan panas sinar mentari.

Tulit tulit...

From : Samo Hung
Bro, maafnya ya bro
Tapi ini beneran ndak seperti yang dulu

To : Samo Hung
Tenang saja bro,
Aku yakin kamu ndak bakal mengulanginya
Tapi jangan buat main-main

From : Samo Hung
Pasti..

Aku tersenyum ketika melihat sms berbalas dari Samo. Saatnya untuk istirahat dan tidur sja kalau begini ini. aku rebahkan tubuhku melihatke daun-daun yang mencoba untuk saling melindungiku dari sinar mentari. Tampaknya mereka selalu bersama dengan yang lainnya menjaga apapun yang dibawahnya terlindungi. Mereka tumbuh pada dahan yang sama, dari kecil hingga menjadi daun yang lebar, bertahan sejenak dan kemudian menguning. Kuning yang dari ujung hingga ke pangkal daun, kemudian coklat dan jatuh ke tanah. Terhempas dan hilang oleh bakteri pengurai, semua yang hidup pasti akan seperti itu.

"Hei ar..." ucap seseorang yang aku kenal. Aku menengok ke samping kanan dan kemudian bangkit.

"Eh pak RT, ada apa pak?" ucapku

"Ha ha ha kamu itu kaya tidak tahu bapak saja, ini" pak RT memberikan segelas miuman, aku bangkit dan menerimanya. Pak RT duduk disebelahku.

"Ndak papa Ar, cuma bapak mau nganter kopi buat kamu, kopi wait kesukaan kamu" ucapnya

"Makasih pak, kok repot-repot segala bapak itu" ucapku

"Ha ha ha, ndak papalah, dari sekian banyak yang ngurusi sampah cuma kamu yang selalu aktif. Tuh lihat yang lainnya, hadeeeeh... kalau tidak dikumpulkan nanti kita yang rugi bayar jasa truk sampah" ucapnya

"Maklumlah pak siang, panas... yang penting semua beres" ucapku sembari mnyeruput kopi putih buatannya

"Nanti malam ada cara kamu ar?" ucapnya

"Ndak ada pak, paling setelah dari sini, ya pulang ke kandang (kontrakan)" ucapku

"Gimana kalau kamu ikut bapak saja, seneng-seneng?" ucapnya

"Seneng-seneng apa pak?" ucapku

"Tapi jangan bilang sama ibu (bu RT) ya" ucapnya, dahiku berkrenyit

"Wah bahaya ini bapaknya..." ucapku bercanda

"Ya... biasalah, dirumah monoton Ar, butuh refreshing juga kan... lagian ibu kamu itu gitu-gitu doang" ucapnya, semakin aku tahu kemana arah pembicaraan ini

"Iya pak ndak bilang sama ibu, tapi maafnya pak, ini kelihatannya arah pembicaraaannya saya tahu ni pak. Jadi saya ndak ikut ya pak he he he takut... he he he" ucapku

"Wah pinter juga kamu, buat pengalaman saja ar. Nyoba-nyoba buat kamu" ucapnya

"Ndak lah pak, ntar ketagihan" ucapku sembari menyeruput wait kofie

"Kelihatannya dipaksa pun kamu juga ndak bakalan mau ar ha ha ha... ya sudah, nanti malam kalau kamu pulang titip pesen sama ibu ya ha ha ha..." ucapnya

"Bapak ndak takut kalau ketahuan ibu?" ucapku

"Ya takut juga tapi biarlah, biar dia tahu kalau suaminya bosen dirumah" ucapnya, entah kemana pandangan matanya aku tak bisa menangkap apa yang dia lihat

"Pak, pak... saya itu masih kecil pak, jangan diajak ngomong 'main', apaan sih main? Main kelereng ya pak?" sedikit bercanda, walau tahu kemana arah pembicaraan ini

"Ha ha ha kamu tu sok culun, seculun dandanan kamu pas berangkat kuliah ha ha ha..." ucapnya

"Maklumlah pak... sayanya malas pak, ntar keperosok dalam banget susah keluarnya pak. Lagian, enah dirumah kan pak?"

"Pulang saja pak, pulang, pulang bareng saya, nanti saya nebeng, lumayan dapat gratisan. Lagian Ibu kasihan kan pak dirumah sendirian?" aku sedikit melirik ke arah pak RT, dia memandangku

"Dah, pokoknya kamunya jangan bilang sama Ibu, oke? Nanti bapak kasih hadiah tambahan" orang tua ini berdiri dengan wajah tanpa rasa bersalah sedikitpun

"Ya sudah, bapak balik ke pos dulu, kamu nyante dulu saja" wajahnya tersenyum, aku mengangguk

Beneran ini pak RT, cewek secantik bu RT masih saja di tinggal pergi. Maunya cewek yang kaya gimana coba? Kalau aku sih betah-betah saja. main-main? Kontol saja dipikirin, tuh yang dirumah. tapi bagaimanapun dia tetep RT-ku, orangnya kalem juga ganteng. Supel dan ramah, hanya saja kelakuan dia diluar itu yang hadeeeeh. Tapi penasaran juga, bodoh ah besok saja kalau sudah gede.

Malam hari...

"Benerkan apa yang aku pikirkan?" bathinku,

Setelah melihat seseorang yang aku kenal. Dengan pakaian yang lengkap aku mendekati pasangan yang masih main lempar bola ke dalam ember itu. tepat dibelakang laki-laki itu.

"Cantiknyaaaa..." ucapku, seketika itu dia menoleh kebelakang tanpa sepengetahuan si cewek

"Eh, ar.. Eh, Ar... ka-katanya tadi ndak datang" ucapnya

"Makaaan makan... he he he" ucapku

"Anu, itu ar, ini, anu, sudah cerai kok..." ucapnya, aku melangkah menjauh

"Siapa jus?" ucap wanita itu

Aku langsung ngeloyor pergi tanpa mendengarkan percakapannya. Hari ini aku sudah mengetahui kelakuan dua sahabatku. Mungkin saja mereka takut mengakuinya di hadapanku. Aku tersenyum geli, tapi kalau dilihat lagi masa orang culun ada yang mau? Wah ada yang tidak beres!

Malam hari setelah semua aku bereskan, aku pamit kepada panitia. Seperti malam hari sebelumnya, aku datang ke rumah pak RT terlebih dahulu, membawakan bingkisan kepada bu RT. Dengan senyum ramah, dia menyambutku membuatkan aku minuman hangat. Sebenarnya aku menolak, terlalu lelah, ingin rasanya segera pulang tapi tetap saja tidak diperbolehkan.

"Maaf soal kemarin ya.. " ucapnya

Aku duduk di kursi panjang, kursi untuk tiga orang. Sedangkan dia, wanita cantik ini, duduk di tempat seperti kemarin.

"I-iya bu. Santai saja he he he" ucapku, tapi kali ini pandangannya sangat teduh dibangingkan kemarin

"Ada apa bu? kok lihatnya seperti itu?" ucapku, memandang kedua bola mata indahnya

"Gak boleh? Pak RT main lagi?" pertanyaannya sepele, pandangan matanya juga terlihat tidak begitu peduli dengan orang yang dia tanyakan

"Ndak tahu bu" balasku, meraih segelas minuman hangat di depanku

"Hi hi hi, gak usah bohong, nyatanya nyuruh kamu kemari" dia tersenyum manis, manis sekali

"Beneran, ndak tahu saya bu" jawabku dengan kedua tangan memberi isyarat ketidak tahuanku

"Tenang saja, kalau aku santai kok ngadepinya... kamu bohong pun aku tahu, lha wong cewek yang dia mainin temen kuliahku" ucapnya, dan membuatku terkejut

"Eh... itu anu, eh, itu bu"

"Saya pulan dulu ya bu, sudah malam, capek" gugup, aku bangkit dari tempat duduk

"Eits!" wanita ini berdiri dan menahan dadaku, aku terdiam, dengan wajah bingungku

"Gak boleh pulang! Temeni ngobrol dulu" sedikit maju, menekan bahuku turun. Ah, mau tak mau, aku kembali duduk

"Bener kan?" ucapnya, aku mengangguk, duduknya kian dekat denganku walau berbeda kursi

"Haaaaash... sudah biarkan saja, yang penting aku tahu temanku bersih... Dia temanku, wanita yang selalu disinggahinya, teman kuliahku dan sekarang menjadi istri sirinya"

"Aku tahu semua tentang bapakmu itu, juga dari temanku. Memang bapakmu, gak bilang kalau nikah siri sama temenku. Biarlah yang penting gak sembarangan" ucapnya sambil meregangkan kedua tangannya

"Kok ndak dicegah... atau bagaimana bu?" pandanganku sedikit herand dengan tingkah ibu satu ini

"Kan sah itu, jadi gak masalah, benarkan?" dengan mimik wajah meminta persetujuan kepadaku, aku mengangguk pelan

"hi hi... dia mau nikah siri sampe puluhan kali gak masalah buatku. Yang penting satu, ingat istri saja, dan sampe sekarang juga inget. Nafkah juga cukup buatku" wajaya tersenyum lembut, selembut pakaian yang baru saja diberi pewangi

"Oia lha kamu sendiri apa gak cari pacar?" dengan dagu disangga tangannya, dia memandangku tersenyum

"Mana ada yang mau sama saya buuuu bu" aku sendiri sebenarnya masih penasaran dengan cerita tentang bapak RT-ku itu, tapi mau bagaimana lagi kelihatannya harus dihentikan.

"Banyak, asal kamu jadi diri sendiri dan tidak membohongi orang lain, enak tahu gak ngobrol sama kamu" kelihatannya wanita ini sedikit ingin mengetahui jati diriku,

"Enak bagaimana bu? Lha wong saya itu selalu ngangguk-ngangguk doang dari tadi" balasku, aku benar-benar tak tahan melihat wajah manisnya. ku palingkan sejenak melihat pintu rumah yang masih terbuka

"Makanya ngomong... dasar kamu itu hi hi hi" aku meliriknya, melihat kedua tangannya menutupi bibirnya yang terkekeh-kekeh

"Dasar itu... dulu bu, habis TK..." ucapku

"Itu sekolah dasar dodol... dasar!" ucapnya, sambil telunjuknya mendorong pipiku

Hening sesaat...

"Kenapa malah diem?" ucapnya

"Ndak bu, cuma lagi mikir saja tadi kedua sahabatku dapat janda, katanya pas ketahua sama saya bu" ucapku

"Hah?! Beneran itu?" wajahnya terkejut, aku mengangguk

"Ha ha ha... sudah gak papa, kamu iri ya mereka sudah punya gandengan?" ucapnya

"Antara iya dan tidak..." jawabku, dengan kedua bahuku naik.

Kami berdua berpandangan dan tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang kami tertawakan, tapi wanita ini, perempuan ini tampaknya sama sekali tidak lagi mencoba mengusik masa laluku. Tak ada pembicaraan setelahnya, aku kemudian pamit pulang. Sesampainya aku dikandang, aku membuka pintu kandang dan...

"Ampuuuuuuuuuuun bossssss!" teriak mereka

"Asu! Matamu! Diancuk! Kampret!" ucapku kaget

"Suwer susu kewer-kewer dia sudah menjanda sejak awal kita kuliah" ucap Justi

"Kalau yang sama aku tadi, sudah setahun" ucap Samo

"Diancuk, kampret, asu, sikilku ojo mbok gujengi ndes! (Kakiku jangan kamu pegangi ndes)" ucapku, mereka langsung melepaskan kakiku

"Monggo raden, kopinipun (kopinya)" ucap Samo memberikan aku kopi

Kami duduk di ruang tamu kecil ini...

"Woi poro patihku, lungguh sing genah aku ameh ngomong karo dapuranmu (woi para menteriku, duduk yang benar aku mau bicara dengan kamu)" ucapku berlagak bak raja

"Inggih prabu..." ucap mereka yang berlagak kaya menteri didepan rajannya

"Poro patih, Poro menteriku, Diancuk! Wasu!"bantakku

"Waaa.. lha kok malah misuh-misuh? Ojo nesu ar (Lha kok mencaci maki? Jangan marah ar)" mereka serempak,

"Bukan kalian cuk, semut, aduh..." kedua tanganku masuk ke dalam kaos belakangku, menggaruk-garuk mencari sesuatu yang menggigit dipunggungku

"Owalaaaaah..." ucap mereka bersamaan

"Hadeeeeh.... akhirnya..." aku memandang mereka

"Sudah lah bro, seandainya saja dia masih punya pun aku juga ndak bakal larang kalian. Wong kalian sudah pada gede" ucapku

"Takutnya nanti kamu seperti dulu lagi, uaku to takut ar. sakit tahu ndak to mbok pukuli" ucap Justi dengan mimik takutnya

"Ya ndak lah bro, kecuali kalian dalam bahaya, mungkin he he" aku sedikit tertawa selengekan, mecoba mencairkan suasana

"Kok lunak banget? Jangan-jangan kamu sudah ada gandengan istri orang ya ar?" Samo memandangku heran, dalam hatiku, terlintas Bu Ainun

"Kalaupun ada ndak bakal aku omongin ke kalian, mana ada yang mau sam" aku menyulut satu dunhill

"Aseeeeek... kalau gitu kita juga bisa nyari istri orang nih" ucap Justi

"Terserah kalian lah, yang penting cari aman saja" ucapku

"Eh, Lha kalian dimana dapatnya cewek-cewek kalian itu?" lanjutku

"Kalau aku..." ucap Justi menceritakan kejadiannya dengan sangat antusias dan menggebu-gebu (seperti yang sudah di ceritakan di part sebelumnya)

"Gara-gara copet nih yeeeee ha ha ha..." ucapku dan Samo tertawa

"Ya begitulah..." ucap Justi

"Kalau kamu sam?" ucapku

"Waktu itu sepulang kuliah, aku pulang duluan lha Justi malah BAB. Kejadiannya kalau di sesuaikan sama Justi ketemu si embaknya ya 1 bulan sebelumnya. Justi maniak banget BAB di kampus. Ha ha ha..."

"Nah, terus aku pulang kuliah duluan. Melewati taman dekanat, ada mbak-mbak Dinakali sama orang gitu, aku ndak terima. Ya aku belain saja mbaknya, nah sejak saat itu aku dekat sama mbaknya" cerita Samo

"Wuih, kereeeen... kalau di dekanat? Mahasiswi dong?" ucapku

"Bukaaan... mbak lisa, atau aprilia lisa nama lengkapnya, itu dia itu lulusan situ juga. Tapi sudah beberapa tahun yang lalu, lulus nikah satu tahun jalan dicerai. Dia kesitu sebenarnya habis ambil legalisir ijazah, wong umurnya sekarang masih 24 kok" ucapnya

"Wuih enak tuh sam..." ucap Justi

"Tempik wae pikiranmu su (vagina saja pikiranmu njing)" ucap Samo kepada Justi

"Iya, embrotnya itu lho yang ughhhh..." ucap Samo

"Sudah?" ucapku

"Belum..." jawab Samo

"Sudah apanya?" ucap Justi

"Kenthu jus kenthu, wuasu memang dapuranmu, diancuuk.... utekmu ki asline mbok selehke ndi to? Dijak omong ora tahu nyambung! (ngentot jus ngentot, anjing kamu itu, diancuk... otak kamu itu aslinya kamu taruh dimana? Diajak ngomong ndak pernah nyambung!)" bentak Samo

"Wah lha kamu itu ****** sam, ya jelas dikepala to ya" ucap Justi tanpa merasa bersalah

"Daaaah, ini kalau dibahas bisa sampai subuh, intinya kamu sudah kenthu belum Justi ganteeeeng" ucapku

"Belum to ya, edan po? Gualaknya kaya gitu owk... tapi kayaknya terlaluuuuuu cintaaaaaa" ucap Justi

"Matamu sowek (sobek) jus, dulu saja bilang terlalu sayang nyatanya juga diembat juga itu selangkangan" ucapku

"Heh? Oh yang dulu ar, itu dianya yang minta owk" ucap Justi jujur, tepuk jidat kami berdua

"Tapi kalau susu udah dapat ha ha ha" ucap Samo

"Tapi ingat ya bro..." ucapku

"Tenang saja... aku selalu ingat kata-katamu bro... kamu tu paling emosian, tapi kata-katamu selalu bijak ar" ucap Samo

"Ha ha ha ha... bijak sana bijak sini, bajak sawah ya iya ha ha ha..." candaku, kami tertawa bersama.

Kami bercanda sejenak kemudian kembali ke kamar masing-masing. Ah, aku dulu sangat tidak ingin mereka berhubungan dengan istri orang tapi situasi sekarang sangat berbeda semenjak aku bercakap-cakap dengan bu RT. Artaaaa... dia istri orang Artaaa... hadeeeeeh...
 
Terakhir diubah:
Scene 9 : Mas... Muach...


Ainun ... ...

Hari sebelum terakhir, aku memulai hari seperti biasa tak ada yang aneh selama ini. panas terik matahari aku terjang menuju hari terakhirku dan menanti gaji satu mingguku. Lelah terasa hari ini setelah semalam aku harus begadang mendengar cerita dari sahabat-sahabatku dengan panjang kali lebar kali tinggi.

“Eh sayang makan siang dulu yuk?” ucap seorang lelaki pada perempuannya

“Iya sayang, suapin ya nanti?” balas sang perempuan itu

Benar-benar sungguh menyesakan dadaku ketika melihat beberapa pasang kekasih yang sedang memadu kasih. Dengan balutan kerudung kuning dan topi di bawah pohon yang teduh ini mataku terus memandang sepasang kekasih yang baru saja lewat didepanku. Sedikit rasa iri ketika melihat mereka apalagi ada sahabat-sahabatku sekarang sudah memilikinya. Ah, beginikah rasanya sendiri di usia muda?

Hanya hembusan asap dunhill keluar dari bibir keringku ini. Mereka bertebaran diatasku kadang turun menemaniku, apa asap-asap ini tahu akan kesnedirianku ya? ah, benar-benar ngenes nasibku ini. setiap kali aku berada disini sedikit banyak adalah sepasang kekasih, sepasang suami istri dan anaknya, bahkan panitianya pun ada beberapa yang bawa keluarganya, kecuali pak RT. Hanya aku, hadeeeh, kapan punya pacar? Ha ha ha.. bodoh ah belajar saja, nilai bagus, lulus kerja ha ha ha.

Malam ini aku pulang bersama pak RT, dan tak perlu mengobrol dengan bidadari itu lagi. Ah, sial kenapa malah kepikiran bu RT ya aku. Cantik banget sih orangnya, hmmm... padahal di kampusku ada Dini, Desy, Dina, dan Winda cantik-cantik juga.

“HEI HEI HEI... WAIT A MINUTE!” bathinku

“Kenapa sekarang malah berpikir tentang cewek? Argh! Sial!” bathinku

Fokusku terganggu, aku harus kembali fokus ke kuliahku, fokus.... fokus.... fokus...

FOKUS!

.
.
.

Hari terakhir, dengan berbekal dunhill satu bungkus aku berangkat ke festival. Dengan langkah riang menuju ke tempat dimana aku akan bekerja kembali. Membersihkan apa yang belum bersih dan membuangnya ke tempat pembuangan terakhir. Aku adalah mahasiswa berprestasi, prestasi apaan? Prestasi sentul kenyut? Ha ha ha...

Tulit tulit. Ringtone. Sms.

From : Bu Ainun RT
Semangat anak muda :D

To : Bu Ainun RT
Ha ha ha ya bu

From : Bu Ainun RT
(y)

Tumben dapat sms dari bu RT pagi-pagi seperti ini. tanpa pikir panjang mulai dari festival berjalan aku terus berputar dengan dunhill di bibirku. Semangat 45 kalau kata pejuang kemerdekaan. Hari ini adalah hari terakhir dan aku akan membersihkan semuanya sebersih-bersihnya. Memakai kerudung, topi dan juga masker. Memutari semua tenda, ha ha ha...

“Sial, capek juga kampret!” bathinku, melihat di jam digital hapeku “13:00”

Langkah kaki semakin lama semakin melambat. Semakin lama semakin tidak kuat, panas terik matahari benar-benar aku rasakan. Dengan berjongkok di jalanan penuh orang yang masih saja mereka berlalu lalang. Tiba-tiba...

“Mas...” ucap seorang perempuan

“Suaranya... ah aroma ini... “ bathinku dan aku tetap menunduk, aku hanya diam saja

“Kamu Arta ya?” ucap Winda,

“Bukan mbak, salah orang...” ucapku dengan nada suara aku perbesar

“Ada apa sih wind?” suara Desy terdengar kemudian

“Enggak papa des, ni orang mirip banget ma Arta” terdengar percakapan antara Desy dan Winda, aku hanya menunduk dan tak berani menunjukan diriku

“Tadi aku ngiranya juga gitu, tapi gak mungkin kan Arta kerja berat secara dia orangnya culun” ucap Desy

“Benar juga... ”

“Ya sudah mas, maaf salah orang” ucap Winda

Aku tidak menyangka kalau mereka akan datang kemari. Benar-benar beruntung mereka tidak mengenaliku. Aku tidak tahu kenapa mereka bisa mengetahuinya, karena dilihat dari manapun aku tertutup dari semua pakaian. Hanya mataku, tapi mereka tidak melihat mataku. Kalau dilihat lagi kan aku tertunduk tadi? darimana mereka berdua tahu ya?

Segera aku berjalan santai dan memutari tenda dengan pandangan tidak lepas dari mereka. sekumpulan teman-teman perempuan di kampusku, memang tidak semuanya tapi sudah cukup membuatku deg-deg’an. Mereka ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Eh, Tumben bareng mereka, biasanya juga bareng. Kali ini harus hati-hati bisa-bisa ada panitia yang menyapaku dengan namaku. Sembunyi, harus sembunyi...

Tik tok tik tok tik tok...

Sial, itu Desy, Winda, dan yang lain, apa mereka ndak pulang ke kos mereka? dari siang sampe hampir maghrib begini mereka tetaaap saja berada di tempat ini? apa tidak bosan mereka? aku melihat ke arah sebuah baliho besar.

“Pantes mereka betah, malam ini ada penutupan dengan band ternama ibu kota” bathinku

Aku kembali ke pos pohon istimewaku, ini adalah tempat keramat bagiku. Terhalang dari beberapa tenda namun masih bisa melihat ke arah luas. Dengan dunhill aku berteman dengan sepi ditempat yang ramai ini. sejenak bersama dunhill,..

“Ar, ini kopinya” ucap pak RT tiba-tiba datang

“Eh pak, buat kaget saja” ucapku, menerima segelas kopi wait

“Bentar lagi penutupan, ada band ternama, ndak mau lihat?” ucapnya

“Ah, ndak pak... ndak begitu suka band-band lokal jaman sekarang. Kalau band lokal jaman dulu mungkin aku suka pak, apa lagi band Rock ‘n Roll 70-90an pak, keren pak. Menghentak!” ucapku

“Weh weh weh kamu suka band luar to, emang kamu tahu band luar itu apa saja di antara athu itu?” ucap pak RT

“Wah, banyak pak ada Bon Jovi, Scorpion, Led Zepelin, white lion, Mr. Big, Helloween, Iron Maiden, Dep Purple, Deff Leppard banyak pak... kalau bagi saya ya itu yang bagus pak” ucapku

“Tahu banyak ternyata, bapak malah ndak tahu, tahunya ya band-band lokal. Gak begitu suka musik bapak itu” ucapnya

“Kok bapak tiba-tiba datang? Mau nitip pesen mestiii...” candaku

“Ha ha ha kamu tahu saja ar... nitip ya?” ucapnya

“Iya pak... santai saja..” jawabku

“Ya sudah itu saja, nanti pulangnya ini malam sekali. Karena acara bisa molor sampai tengah malam ar. Bapak mau ke pos panitia dulu ya” ucapnya, aku acungkan jempol tanda setuju

Iseng-iseng aku mengikuti pak RT ke pos panitia, disana ada seorang wanita tengah baya seumuran dengan bu RT. Aku amati dari jauh, pak RT langsung memeluk pinggangnya. Kalau dari bodi ndak begitu tahu perbedaannya, kan bu RT pakai kerudung kadang panjang. Kalau dari face, hmmm... 9-12 lah. Artaaaaaaa... kenapa sekarang kamu menjadi penilai perempuan?

“Ada yang salah ini pasti?!” batinku, dan aku langsung kembali ke pohon idamanku

Dari siang sampai malam ini aku selalu memakai kerudung dan topiku, tak berani aku lepas karena takut ke tujuh gadis manis itu mengetahui keberadaanku. Hanya masker yang kadang aku copot hanya untuk sekedar makan, minum dan ngedunhill.

Malam larut dalam dingin, malam berreaksi dengan rasa lelah dari para pengunjung. Tampak juga endapan kejenuhan sudah mulai terlihat. Acara berakhir dengan kembang api yang tertawa riang penuh cahaya di langit. Kulihat ketujuh gadis bak bidadari itu mulai berjalan ke tempat parkir dan menghilang ditelan mobil yang melaju karena rasa lelahnya. Aku punguti sampah-sampah bersama panitia lain, membereskan apa yang belum beres. Kulihat jam ditanganku menunjukan pukul setengah satu malam. Aku temui pak RT karena tidak mungkin aku ke rumah malam-malam seperti ini. Pak RT pun mengiyakan karena dia ternyata juga akan pulang malam ini. jadi, aku bersamanya pulang dengan mobilnya.

“Nih ar, gaji kamu seminggu” ucap pak RT memberikan amplop putih dan bingkisan

“Terimmakasih pak” ucapku

“Dibuka, kurang tidak” ucapnya, aku mengangguk dan membukannya

“Lebih dari cukup pak” ucapku

Mobil melaju dengan sangat pelan...

“Ibu kamu itu sebenarnya cantik dan manis ar, tapi karena ya monoton kalau dirumah” ucapnya

“Bapak curhat?” candaku

“Dasar kamu itu, dicurhati baru sadar. Ya begitulah ar ibu kamu, jadinya ya cari istri diluar” ucapnya

“Ibu tahu, pak?” ucapku

“Ya gak tahulah, wong istri baru bapak itu temannya dia. Ya gak mungkin bilang kan?” jelasnya

“Bapak tiba-tiba curhat sama saya, ntar saya sebarin lho pak he he he” ucapku

“Gak mungkin orang kaya kamu setega itu aaaaar ar...” ucapnya

“Masalah orang dewasa pak, saya belum begitu ngerti he he he” ucapku

“Beneran kamu masih perjaka?” ucap pak RT

“Masih pak...” ucapku

“Ha ha ha... kalau yang dua (Samo dan Justi) itu sudah enggak kan? Ha ha ha” ucapnya

“Mungkin pak...” ucapku

Kami bercanda dan kemudian aku diturunkan di depan rumah. Pak RT melaju kembali ke rumahnya. Sepi, mereka berdua sudah molor sedangkan aku masih berada disini sendiri berteman dengan hening malam. Menunggu pagi yang masih malas untuk merayap naik. Segelas kopi wait aku buat dari bingkisan yang diberikan pak RT. Hampir satu jam aku berada dihalaman rumah, kulihat hapeku menunjukan pukul 3 pagi. Masih malas rasanya matahari untuk bangun pada pukul sekian.

Kriiing...kriiing...

“Halo bu.. kok telepon pagi-pagi”

“Halo Arta... hoaaam... pengen ngobrol saja sama kamu”

“Yeee... istri orang kok ngobrol sama laki-laki bukan suaminya to bu, ndak enak saya sama pak RT”

“Dia sudah tidur, gak mungkin bangun wong tidur jam dua tadi. Lha gimana, gak mau aku telepon?”

“Ya mau sih bu... ada apa bu?”

“cuma pengen ngobrol saja, lagi ngapain?”

“Ngrokok sama ngopi bu, ibu?”

“Lagi telepon kamu, hi hi hi”

“Yaelah, anak kecil saja tahu kalau itu bu”

“Hei ar...”

“Ya bu...”

“Kenapa kamu tidak mencoba untuk menjadi diri kamu sendiri? berpenampilanlah seperti kamu sebenarnya”

“Eh... itu anu...”

(aku benar-benar terkejut, dan bingung, kenapa pertanyaannya langsung to the point)

“Kenapa? semakin kamu menyembunyikannya semakin apa yang ada dalam dirimu tertekan dan ketika keluar akan menjadikanmu tidak bisa mengontrolnya”

“Ta ta tapi bu... ah... menjadi diri sendiri memang baik bu, tapi ada kalanya kita tidak menjadi diri sendiri”

“But you should to do that...”

“aku hanya ingin tersenyum, dan menyelematkan hariku... bu”

“Wrong turn...”

“But... ah... saya tidak tahu bu untuk sekarang ini, masa bodohlah...”

“Hmm... tapi ingat jangan menyesal, karena aku yakin kamu memiliki dua kepribadian pada tempat berbeda”

“Maksud ibu?”

“Di kampus mungkin kamu dikenal culun tapi di tempat lain tidak, dan ketika kamu ditempat lain kamu bisa santai menjalani hidup kamu, tapi di kampus kamu adalah seorang pembohong”

“Huuuh...”

“Eh eh eh, jangan nangis lho”

“Ngantuk bu”

“Hm... mau subuh kok ngantuk, tidur nanti saja setelah subuh”

“Iya memang, tapi kalau ditelepon ibu jadi malas nunggu subuh”

“Segitunya... ”

“Lha ibu selalu gitu owk...”

“Hi hi hi iya iya... ya sudah, lanjutin aja santai kamu, tapi ingat setelah subuh tidurnya ya”

“Iya ibu RT-ku” tuuut...

Kembali menyulut dunhill, akhirnya subuh datang bersama kokok ayam jago. Serasa aku kembali ke pedesaan. aku melangkah masuk dan sejenak melakukan apa yang harus aku lakukan. Setelahnya, ku kunci kamarku dan terlelap dalam lelahnya pagi.
 
Terakhir diubah:
---------------------


Linda White Heart




Hari ini, aku itu dapat sms dari mbak Linda, suenenge puol pokoknya. Serasa dunia milikku yang lain suruh pergi saja. Samo dah pergi dulu tadi, kasmaran sama kaya aku. halah, daripada ngomong yang ndak penting, saatnya berangkat. Mau ijin keluar sama Arta, dianya lagi tidur ndak jadi saja, biarkan saja, tidur saja ya arta saja, eh.

He he he, aku langsung jalan cepet menuju halte, dengan jaket hitam bertuliskan nama calon kepala daerah di kota dekat dengan desaku. Kepala Daerah yang ndak kepilih, dah keluar banyak uang bukan peju lho, tapi ndak kepilih, kasihan he he he. Sampai di halte, Ndak perlu waktu lama, aku baru berdiri sebentar saja, mobil idamana para lelaki sudah ada. Uh, seksinya, ngaceng rasanya aku.

“Mau kemana mbak?” dengan senyum khas Justian, wanita bersuami pasti juga akan takluk di kontolku, eh, di tanganku

“Dah lu ikut gue saja, kita belanja” memandangku, aneh, apa ada yang aneh ya?

“Be-belanja? Belanja buat rumah ya mbak? Rumah mbak linda? Terus mbak, Kita itu mau belanja kemana ya mbak ya?” tanyaku,

“huh! Elu itu, hmm... Sudah ngikut saja, nanya terus kaya kuliah saja” kelihatan galaknya dan membuatku takut,

“I-iya mbak, i-iya..” kepalaku asal ngangguk-ngangguk saja, daripada kena marah lagi

Weh, ternyata ada bangunan gede juga selain kampusku. Katanya mbak Linda, ini namanya, Mol tapi tulisannya ndak tahu aku, ndak dikasih tahu sama mbak Linda. Ugh, lumayan duingin disini, mirip-mirip sama kampus. Banyak banget orang-orang, wasem, kok ya pada pakai yang pendek-pendek ya roknya, apa ndak pada kedinginan. Wah, imanku, imanku bisa roboh disini, seandainya aku boleh coli disini, aku mau coli didepan mbak-mbaknya itu.

Weeeh, susunya, itu pada mau tumpah. Lha itu, waduh, ngaceng aku disini, itu kok, argh, aduh. Salah tingkah sendiri aku kalau melihat susu-susu pada jalan. Apa ndak pada malu ya? Lho? Lha itu? kok lanang sama lanang (laki-laki sama laki-laki) jalan gandengan, mesra banget?

“Mbak, mbak...” aku yang dari tadi celingukan, sambil ngikuti mbak Linda

“Ya,” jawabnya singkat

“Mbak, lha itu kok, cowok sama cowok jalan bareng? Gandengan, mesra banget mbak?” aku heran, bener, tenan yo (beneran yo), heran aku itu owk.

“itu tu, pasangan guy jus, lu mau jadi kaya mereka?” tanya mbak Linda,

“emoh, aku emoh mbak, aku masih normal. Aku masih doyan cewek mbak, emoh aku, emoh mbak” tak geleng-gelengkan kepalaku

“hi hi hi... ya iyalah, bini orang aja lu embat, hi hi hi...”

“lagian, emoh itu apaan sih?” tanyanya

“Lha kok mbak Linda bisa jawab? Tapi kok gak tahu artinya emoh?” ucapku

“Hadeeeeh... karena lu bilang masih doyan cewek, jadinya aku tahu lu normal! Yang gak gue tahu Cuma kata emoh, emoh itu apa?” lhadalah, lha kok malah mendelik matanya

“e, itu mbak, emoh itu, anu, ndak mau mbak...” jawabku,

“ouwh, ya udah jalan...” wuih, mbak Linda itu sebenarnya ndak kalah seksi

Aku tu, ah, masih ndak percaya. Ini sebenarnya di surga apa masih di dunia. Kok, aduh, itu susunya, aduh, mbak-mbak yang disana. Waduh, gede, gede banget! Itu paha, kalau boleh aku mbok minta satu to, tak kasih saos, nanti tak jilatinya. Haduh, ngaceng aku, ngaceng!

Plak!

“Aduh mbak, sakit mbak, sakit!” ucapku

“Heh! Punya mata dijaga!” mendelik lagi matanya,

“eh, lha kan aku jaga mbak, nyatanya masih dikepalaku mbak” jawabku, bener-bener takut aku

“itu liat apa dari tadi? biasa aja! Jangan malu-maluin!” bentaknya, ndak keras banget tapi aku,

Mending nunduk ngikuti mbaknya, yang Cantik, manis, kulit putih dan juga rambut yang panjang. Riasannya saja khas riasan orang kaya, lha aku? Ketika melihat ke kaca yang memantulkan wajahku. Eh, setan...

Males aku jadinya, gitu aja kok dimarahi. Namanya juga baru pertama main ketempat kaya gini, dibentak-bentak. Jengkel aku sama mbaknya, tapi yo wislah. Mbak Linda ngajak aku masuk ke tempat yang banyak pakaiannya.

“Coba ini...” ucap mbak linda. Aku terima dan kulihat harga pakaiannya

“Waduuuuuuh mbak mahal sekali, masa baju saja sampai 400 ribu” ucapku

“Sssstttt ih lu itu! sudah coba saja ndak sudah ngomongin harga malu-maluin tahu!” ucapnya,

Deg...

Rasanya, gimana gitu, sahabat-sahabatku saja ndak pernah ngatain aku malu-maluin. Aku tahu, aku malu-maluin, api mbok yaho jangan diperjelas. Jengkel aku, jengkel.

“Dah dicoba sana...” ucapnya, sembari jalan didepanku, nganter aku ke kamar pas, kalau didesa, ya dicoba ditempat

“Mbak..” panggilku, aku keluar dari kamar pas

“Ssiiiipz! Bagus tuh buat lu... tambah ganteng hi hi hi” ucapnya

Masih sedikit jengkel, tapi ndak papalah, kata samo dan arta, aku ini memang malu-maluin. Ya sudah, jalan aja, ngikuti mbaknya. Tak ikuti terus mbaknya, aku dikasih banyak banget pakaian, dari celana, baju, hingga kaos, aku disuruh mencoba semuanya. Tapi aku ndak tahu, ini pakaian buat siapa?capek banget, aku duduk disamping mbak Linda.

“Mbak... ini buat siapa mbak?” ucapku

“Buat lu, biar modis dikitlah ndak malu-maluin. Secara lu kampungan banget sih, kaya pembantu hi hi hi” ucapnya,

Kalau aku lihat dia ketawanya puas banget, bener-bener krasa banget ketika dia ngomong. Mau aku pembantu, mau aku malu-maluin, kenapa mbaknya ngajak aku, kalau dah tahu aku kaya gitu. Lha malah ngecuekin aku, tak pandang, tak lihat. Memang kayaknya aku ini ndak pantes ngarepin mbak Linda. Ngarepin bulan purnama, bulan purnama yang asyik sama kotakan-kotakan yang disentuh-sentuhnya.

“Hei kenapa lu malah diem gitu...” bahunya nyenggol bahuku, aku cuma senyum bentar.

Sudah terlanjur males aku, tak liat lagi barang yang mau dikasihkan ke aku. Buanyak’e puol, tiba-tiba, aku jadi inget waktu itu. hampir mirip, aku malah takut sendiri.

“Eh, mbak anu...” ucapku mengangkat kepalaku dan menoleh ke arahnya

“Sudah sante saja, besok kalau lu jalan bareng dipake ya? biar gak kampungan, biar lu-nya itu ya gimana ya, kelihatan keren, gak kaya pembantu. Kali ini okelah, gue tahan malu gue, besok gak boleh lagi kaya gini oke?”

“Malu gue kalau jalan, kalau pakaian lu kaya gini, dandanan lu kampungan banget sih. Pokoknya lu harus nurut kata gue,harus!” ucapnya, balik lagi mainan sematpon. Aku kembali menundukan kepalaku. Mataku melirik kearahnya, katanya, katanya wanita itu pake perasaan tapi ini kok.

“Eh, mbak ini anu, itu di taruh di sini ndak papa kan?” tak taruh tas berisi pakaian,

“Gak papa... taruh saja, ntar dibayar pas sudah selese ja”

“masih capek gue, istirahat dulu” Kelihatan santai mbak Lindanya, tak taruh saja disamping kursi

Sssh... Hufthhh...

“Mbak... anu aduh mbak cepetan... ke mobil mbak dulu ayo cepeeeet...” langsung tak tarik tangannya

“Eh ada apa? Itu pakaiannya belum dibayar... eh...” cuma senyum akunya, sambil jalan cepet, aku terus tarik tangan mbak Linda

Tujuannya ke tempat parkir, lha jujur aku sendiri bingung dimana tempatnya

“Mobil mbak dimana cepeeeeet...” ucapku

“Eh lu napa sih? Itu pakean belum dibayar, lu itu...” ucapnya

“Eh anu itu... anu nanti bisa balik lagi cepeeeet mbak dimana ayooooo...” gayaku mirip orang lari, joging ditempat

“Eh... ya ya ya sana...” wajahnya bingung, tanganya menunjuk ke arah tempat parki

Langsung saja aku lari ke arah situ, tak tarik lagi tangan mbak Linda. Sambil senyum, sambil ketawa, pas larinya, wajah mbak Linda saja sampai heran liat aku.

“Eh... Justi pelaaaan!” ucapnya sedikit keras, aku noleh, tak jawab pakai senyum pokoknya

Walah untung, aku ketemu mobilnya pas ditempat parkir.

“Cepetaaaan buka mbak...” ucapku

“Iya iya bentaaaar... lu itu ada pa sih? Ugh... bentar bentar, kuncinya nah ini...” ucapnya

Titut...

Tak buka langsung pintu mobilnya, tak ambil barang-barangku. Mbak linda malah bingung, aku dekati mbak Linda. Aku tersenyum...

“Mbak aku disini saja tadi ada yang menghubungiku jadi aku harus cepat he he he...”

“Terima kasih untuk hari ini” ucapku sambil membungkukan badanku

“Heh! Dasar! Lu itu aneh tahu gak?! Gue ngajak lu itu mau beliin lu baju biar lu itu tampil beda, cuma gara-gara ada yang sms lu aja, lu ninggalin barang! Malu tahu ga gue! Dasar lu itu malu-maluin!” marahnya, aku hanya tersenyum

“Maaf mbak... akunya minta maaf, sebanyak-banyaknya tapi aku pergi dulu ya mbak... daaaaaah” aku langsung lari kecil, tak tinggal saja mbak Linda

“Kalo lu pergi sekarang mending lu gak usah kenal gue saja!” ucapnya membuang muka

“Maaf mbak...” aku tersenyum

“Mungkin itu malah baik buat mbak.... aku duluan ya mbak” aku senyum saja, daripada tambah lebar, sambil lari mundur berlari meninggalkannya

“HEI! JUSTI! TUNGGU!” teriaknya aku hanya mengangkat tanganku dan pergi

Keluar, keluar dari gedung. Pokoknya jangan sampai mbak Linda ketemu aku lagi. Apa aku yang terlalu gampang tersinggung, tapi kata-kata mbak Linda. Ah, ndak tahulah aku, daripada sama mbak Linda terus dimaki-maki terus, di hina-hina terus, mending ndak usah jalan sama mbak Linda. Bukanya nyesel, tapi ya gimana, masa gitu aja dibesar-besarkan.

“Hash hash hash hash....”

Tapi, seingatku, semuanya hampir mirip diawal, mirip banget pas aku sama mbaknya yang didesa. aku emoh kalau itu terjadi lagi, emoh aku, emoh. Aku harus pergi.

Tak tengok kanan-kiriku, lha aku malah bingung . Aku dimana ini? ya sudahlah, aku jalan saja, nanti pasti ya ketemu sama pos polisi, tanya disana saja. Bener kata Arta, memang sama wanita itu harus hati-hati, Aku emoh kalau terjebak lagi.

Lhadalah, itu Bis yang sering nganter aku kuliah, untung, bener-bener beruntung aku.

Ciiiiiiiiiiit....

Lha mobil mbak Linda, berhenti pas didepanku.

Klek... jeglek...

Mbak linda tampak marah sekali, mendatangiku dan aku hanya diam.

PLAK!

“Bajingan ya lu! Udah dibaikin malah ninggalin gue seenaknya! Mau lu apa sih! Seharusnya lu itu bersyukur udah gue baikin! Lu itu argh emang sialan! Gue malu gak tadi, barang belum dibayar dan lu pergi gitu saja!” marahnya, aku terdiam menunduk

“Heh! Lu sama aja ya ma mantan suami gue! Munafik!” bentaknya

PLAK!

“Ngomong lu SETAN!” bentaknya keras, aku angkat kepalaku dan kemudian melebarkan senyumku

“Ma-maaf... mbak...” takut aku, takut

“Kalo lu gak seneng ama pakaian yang gue pilihin ngomong! Jujur aja gue seneng jalan ama lu, karena lu orangnya asyik gak neko-neko! Tapi lu pergi gitu aja, lu ingetin gue ke mantan suami gue! Sama-sama bajingan lu!” marahnya, tampak nafasnya terengah-engah, matanya mendelik tajam banget

“Haaaassh....”

Mau dimaki, mau di tampar terserah sama mbak Linda. Dah ndak tahan aku, mending duduk di pinggir jalan saja. tiba-tiba saja, mungkin jengkel, aku ditendanginya.

“Arta, Arta, biasanya Arta bakal ngomong apa. Aduh, ayo mikir njus, mikir” bathinku

“Mbak... mbak kan ndak perlu marah... ugh” tanganku menahan kakinya, aku ditendangi terus

“Lagian aku bukan siapa-siapanya mbak. Aku juga setuju dengan mbak, kalau kita ndak perlu ketemu lagi. Tapi kenapa mbak yang tiba-tiba mengejarku hingga tempat ini...” ucapku pelan

“Egh, itu karena lu bikin gue kesel! Gue kalo udah kesel, pengennya maki-maki tuh orang! kayak lu!” ucapnya

“Oke, dah... gue dah puas maki-maki lu bajingan! Mulai sekarang lu gak usah kenal gue lagi!” bentak marahnya

Kulihat dia berbalik badan dan melangkah menuju pintu kemudi...

“Mbak...” aku tekuk kedua lututku dan memluknya, daguku ku letakan diantara kedua lututku

“Maaf kalau selama ini.. he he he...”

“Maaf kalau mbak jalan bareng aku buat mbak malu”

“Maaf ya mbak, memang aku dari sananya kaya pembantu he he he...”

“Memang lebih baik ndak usah kenal kok mbak he he he” ucapku

“Apa maksud lu!” ucapnya sedikit keras

“Maaf mbak, sekali lagi maaf” aku berdiri, mbungkuk-bungkuk badan beberapa kali,

“Makasih ya mbak... Aku pamit dulu, aku mau jalan lagi, nyari rokok” ucapku, aku berdiri dan berjalan menjauh

“Justi! Sebentar!” suaranya keras,

“Aduh mbak, jangan ditarik mbak” aku kaget, lha wong orang jalan kok tiba-tiba ditarik

“Gue gak ngerti maksud lu!” teriaknya

“Aduh mbak, sakit mbak...”

“Bu-bukan begitu mbak, Cuma, anu itu mbak sendiri yang bilang kalau jalan sama aku kaya pembantu, malu-maluin. Daripada malu-maluin mbak, kan mending ndak usah jalan sama aku mbak”

“eh mbak mobil mbak ngalangin jalan tuh kasihan yang mau lewat” nyoba ngebohongin mbak Linda, biar bisa lari

“Oke.. oke... gue ngerti... hmmm...”

“Gue minta maaf...” ucapnya,

“Ndak perlu minta maaf mbak, aku yang seharusnya minta maaf... em, anu mbak, ini, itu, anu.... aku tak pulang ya mbak?”aku ngomong gitu, mbak Lindanya malah diem

lha mbak Lindanya malah menunduk dan tangnku kaya diremes. Kepalanya nggeleng-nggeleng. Lha, lho, kok malah nangis.

“Eh...mbak... mbak linda...” ucapku, salah satu tangannya kemudian mengusap matanya dengan wajah masih tertunduk

“Ayo jalan-jalan...” ucapnya

“Eh, anu mbak aku mau pul..” ucapku terhenti

“Jalan-jalan...” ndak jelas, lha pelan banget suaranya, nangis, bibir bawahnya digigit, ngelihat ke arahku, waduh.

Ya udah, ngikut, lha mbak Lindanya malah nangis owk. Walah, malah deres banget air matanya, mau tak lap, lha nanti aku dimarahi. Mending diam saja, daripada nanti kenapa-kenapa. lhadalah, bibirku kecut, tapi mbaknya nangis. Boleh ngrokok ndak ya? tapi... halah, ndak tahu aku, dah ah, diam saja.

Pas ditempat parkir, ndak tahu dimana ini, mbak linda malah njatuhkan kepalanya di setir.

“Tenang Justi, tenang... Arta, iki piye ar? aku bingung ar(Arta, ini bagaimana Ar?)...” bathinku

“Mungkin dulu gue kehilangan suami juga karena sifatku ini” ucapnya pelan

“Eh, mbak, kok kehilangan? Lha cerita sebenernya gimana to mbak? kan mbak ndak njatuhin suami mbak to?” aku bingung sendiri, aduh, harusnya ada arta sama samo kalau suasana seperti ini. lha kok malah senyum mbaknya?

“lu lucu ya?” walah, dia senyum, manis banget, nyenggol lengangku lagi. Haduuuuh.. kok malah deg-deg’an

“Ya, benarkan? gue terlalu pemarah, egoisku tinggi, semua harus sesuai keinginanku... dulu suamiku juga gue perlakukan sama, ketika dia memakai sesuatu yang tidak gue sukai, gue selalu memarahinya” waduh, kok senasib mas (Mantan suami Linda-red) sama aku, cuma kamu lebih beruntung mas, dah dapet gandengan baru, aku masih sama mbak Linda.

“Eh... ndak juga mbak, nyatanya mbak baik kok” ucapku

“Baik? Lu saja gak betah kenal sama gue, mungkin suamiku juga gak betah waktu itu” ucapnya

“Kalau kata sahabatku ‘semua ada alasannya’, ndak bisa semudah itu meninggalkan tanpa memberitahu, dan jika memang mau pergi kenapa harus membawa pergi yang bukan miliknya?”

“Dulu aku juga merasa bersalah ketika aku harus jatuh cinta pada perempuan bersuami mbak, bahkan aku merasa, karena aku, perempuan itu harus menanggung malu dan marah dari suami. Tapi Arta mengatakan kepadaku ‘semua ada alasannya, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, kalau benar cinta pasti tidak akan berbohong dan kalau benar sayang pasti akan berjuang bersama’ begitulah kata-katanya” Lho, aduh, kok keluarnya kaya gini?

“gue beruntung ketemu ma elu jus, beruntung banget... bisa ngobrol sama elu” mbak Linda terisak setelah mendengar kata-kataku. Aduuuuh, bingung, terus bagaimana ini?

Hegh...

Tiba-tiba saja mbak Linda memelukku, anget banget pelukan mbak Linda

“Eh mbak... mbak ndak enak dilihat orang mbak, aku ndak kemana-mana mbak yakin suer, kewer-kewer mbak” ucapku, waduh, kok malah lama banet meluknya. Jadi pengen meluk, tapi, emoh aku, ntar dimarahi lagi

“Maem yuk...” suara mbak Linda, matanya sembab,

“Eh... anu ndak usah mbak, dirumah masak beras kok” ucapku

“Plis...” wah, benar-benar ndak bisa aku menolaknya.

Di sebuah... sebuah... sebuah... ini warung makan atau apa sih? Kalau warteg aku tahu, tapi ini kok, tempat pemesanan sama duduknya jauh banget? Kaya di pemancingan dekat rumahku dulu?

“Mbak ini namanya apa?” ucapku

“Rumah makan apung, tuh nanti kita makan di sana” ucapnya, menggandeng tanganku. Eh, digandeng, alus banget tangannya.

“Eh... mbak iya, jangan ditarik” dia menoleh ke arahku, walah, senyumnya manisnya.

Kami berdua duduk disebuah apa ini namanya? Kalau didesa ya namanya gubuk, maklumlah ndak tahu istilah orang kota. Tapi dibawahnya ada air lautnya, keren bener ini tempat, kemarin nongkrong dipinggir pantai saja sudah senang sekarang di atasnya. Eh, mbak Linda senyum lagi, sambil lihat aku. Aduh, kayaknya memang aku dilahirkan untuk jadi ganteng.

“Mbak, mbak... mbak Linda sering makan disini?” ucapku

“Gak, dulu kalau makan ya direstoran... pengen dari dulu makan disini, tapi ortuku maunya makan di resto terus” ucapnya

“Ouwh... lha sama suami mbak dulu” ucapku

“Gak pernah, makan ya di restoran, dari tadi gue lihat lu lihat-lihat bawah terus kenapa?” ucapnya

“Takut nyemplung mbak, ini kuatkan?” ucapku

“Hi hi hi ya kuatlah masa gampang jatuh, gimana konsumennya nanti?” ucapnya

“Ya namanya ndak pernah makan ditempat seperti ini, kalau di pemancingan dekat rumah makan ya tempatnya dekat kolam ndak diatas kolam mbak” ucapku

“Kapan-kapan ke desa kamu yuk, jadi penasaran sama desa kamu” ucap mbak linda

“Jelek mbak, bisa-bisa mobil mbak rusak kalau kesana” ucapku

“Ya pakai mobil lain dong, mmmm... lu ndak marah ma gue kan?” ucapnya tiba-tiba, matanya merah, tapi kok ya tetep manis ya?

“Egh, ya ndak lah mbak, ndak marah aku sama mbak...” ucapku

“Makasih...”

“Aku kira lu bakal marah waktu denger makian gue tadi...” ucapnya

“Dah mbak ndak usah dibahas lagi...” ucapku, weleh senyumnya, manisnya

Aku sama mbak Linda, ngobrol, terus makanan datang. Nah, pas makan to, mbak Linda tanya-tanya tentang Desaku. Bahagianya aku, wah, apalagi dari tadi mbak Linda senyam-senyum terus.

Nah, setelah makan malam di rumah apung, aku diantar pulang olehnya hingga didepan gang yang sepi, maklum habis maghrib. Aku turun, dan membungkukan tubuhku.

“Terima kasih ya mbak” ucapku

Klek... jeglek...

Mbak linda, keluar berputar menghampiriku. Berdiri dan tersenyum kecil dihadapanku. Tiba-tiba tubuhnya melompat dan memeluk leherku.

“Egh.. mbak... mbak linda... eh eh eh....” ucapku kaget dan hampir terjatuh, dilepaskannya pelukanku

Cup...

Sebuah kecupan di bibirku

“Terima kasih... mmmmm... jangan bosan untuk menasehatiku ya... Justi...”

“Mas Justi...” ucapnya

“Eh, iya sama-sama...”

“Eh, kok mas? Mudaan aku kan mbak?” ucapku

“Dah dulu ya mas, Linda pulang dulu” ucapnya sambil menutup sebelah matanya dan mendadaiku dengan tangan kanannya, langsung dia berputar dan masuk ke dalam mobil

Bunyi klakson beberapa kali dan mobil itu menjauh, tanganku terus bergoyang mengantar kepergian mobil itu. Aku bener-bener ndak paham, ini kenapa aku terus dadah sama mbak Linda, padahal mobilnya sudah ndak kelihatan.

“Jangan bosan untuk menasehatiku ya mas Justi ganteng, muach muach...” ucap seseorang laki-laki dari belakangku dengan suara menirukan suara cewek, aku terkejut dan membalikan badanku. Aku malu sendiri... Arta

“Mas Justi... mas Justi muach...” ucap Arta

“Cempe kowe ar! Ngaget-ngageti aku wae ( anak kambing kamu ar! Menganggetkan aku saja)“ ucapku, mulai berjalan kembali ke kontrakan

“Mas Justi gitu deh” ucap Arta, wasem pasti aku dijadikan bahan ledekan.

“Cuih! Rak doyan lanang su aku! (ndak doyan cowok aku njing)” ucapku

“Ha ha ha... gila bener, semesteran belum ujian aja sudah dapat satu kecupan” ucap Arta

“Meri kan kowe cuk! (iri kan kamu cuk!)” ucapku

“Iri?” ucapnya

“Iya iri!” ucapku ketus

“Emang bener aku iri bro ha ha ha... tapi ndak lah kalau sama mbaknya, ntar di cincang sama sahabatku sendiri ha ha ha” ucapnya, aku menunduk dan berjalan

“Sudah jalani dulu saja..”

“Jodoh ndak akan kemana... yang penting belajar bro, kalau kamu serius dengannya. Macari anak orang, apalagi nikahi anak orang, ndak cuma pake modal kuliah, harus kerja bro..” ucapnya

“Heeeh... maksudmu?”

“Eh, iya bener katamu ar, tapi otakku ndak mumpuni ar” ucapku

“Hei jus, kamu pernah lihat besi di rumah Pak Pandai di dekat rumah kita dulu?” ucapnya

“Eh, iya pernah...” ucapku

“Itu apa yang dirumahnya?” ucapnya

“Besi...” ucapku tetap sambil berjalan beriringan bersamanya, Arta merangkulku sembari merokok dunhill

“Yang dijual?” ucap Arta

“Bendo (pisau besar), arit, cangkul, keris yah pokoknya sejenis pedang-pedang gitu” ucapku

“Tambah pinter ya kamu kalau dah ketemu cewek ha ha ha” ucapnya

“Cangkemu! (mulutmu)” ucapku

“Lha dah tahu gitu masih nanya” ucapnya, semakin aku tidak mengerti

“Maksudmu ki piye to cuk?! (maksud kamu itu bagaimana to cuk?!)” bentakku dan dia tetap berjalan, sedangkan aku berhenti melangkah karena jengkel. Arta berhenti dengan dunhill di mulutnya, kedua tangannya memegang kepalanya bagian belakang. Dia membalikan badannya sedikit, memandangku...

“Pak Pandai, dia mengolah besi menjadi bendo, keris dan lainnya, mengolahnya pun butuh waktu yang lama. Bahkan ketika menempa besi itu harus tepat waktu, karena besi yang dipanaskan pada tungku kemudian ditarik dan harus langsung ditempa karena pada saat itu besi sedang lunak-lunaknya. Tapi terlambat sedikit saja besi itu akan mengeras dan sulit ditempa, kalau sudah mengeras ya dimasukan tungku lagi. Dari besi menjadi pisau dan sejenisnya, tidak hanya sekali masuk dalam tungku dan sekali tempa. Butuh beberapa kali, bahkan puluhan mungkin ratusan seperti halnya membuat pedang atau baju besi ada jaman perang kerajaan dahulu kala.”

“Sssshh... fyuuuuh....” asap keluar dari mulut Arta, dahiku semakin berkrenyit

“Jadi kalau kamu merasa tumpul seperti besi, maka olahlah otak kamu bro. Masukan ke dalam tungku dan tempat pada saat yang tepat!” ucapnya

“Maksudmu kepalaku dimasukan ke dalam tungku? Lha jadi kepala bakar to cuk!” ucapku benar-benar tidak mengerti

“Dasar otak tempik... otak kalau udah kecret di tempik ya kaya gitu itu!” ucapnya dengan nada datar dan senyum di bibirnya sembari mengambil rokok di mulutnya. Aku diam melihatnya.

“Cuk, masukan otak kamu ke dalam tungku... mulailah berpikir untuk menjadi orang yang berilmu. Tempa pada saat yang tepat, belajarlah agar kamu menjadi pintar, dan waktu belajar paling bagus adalah ketika kamu bangun subuh atau sebelum subuh. Buka buku dan mulailah belajar. Itu adalah waktu yang tepat untuk menempa otak” ucapnya

“... ar....” ucapku

“Yo...” jawabnya

“Terima kasih... “ aku tersenyum dan mulai melangkah, melewatinya dan dia menatapku dengan kepala yang seakan mau jatuh kebelakang dengan kedua tangan menjaga kepalanya.

“Bangunkan aku ketika subuh nanti... aku ingin menjadi pintar, lulus dan memiliki pekerjaan” ucapku saat melewatinya

“Bukannya aku selalu membangunkanmu?” ucapnya dengan langkah tepat dibelakangku

“Aku ingin berubah... agar aku bisa memilikinya” ucapku

“Memiliki itu mudah, mempertahankan itu sulit” ucapnya, kembali aku berhenti dan dia melewatiku

“Jangan hanya mengatakan ‘ya’ diawal terus mlempem berikutnya. Keyakinan dibutuhkan, usaha juga...” dia berbalik seperti diawal tadi. Pandangannya tajam ke arahku.

“Jangan cuma omong... kalau memang kamu ingin berubah ya berubah, pertahankan itu. bangun pagi, belajar, dan kalahkan rasa malasmu agar ketika kamu mendapatkannya, dia tetap bersamamu. Kalau kata Guru BK kita, cinta bukan sekedar rasa tapi juga ada materi didalamnya, tapi tergantung dari si cinta kan, mau mengerti keadaan atau tidak...” dia berbalik dan kemudian pergi

“Aku tidak mengerti cinta jus, bahkan aku tidak pernah merasakannya kecuali ibu dan kakek-nenekku serta kalian berdua dan juga dia...” kembali setelah mengucapkan itu dia berjalan menjauh

Aku ngerti ar, ngerti siapa dia. Aku tahu kamu itu masih merasa bersalah tapi aaahh... kampret kamu ar. Aku lari, menghampirinya. Kupukul kepalanya dan tertawa terbahak-bahak bersamanya. Tak ambil rokok dimulutnya dan langsung berlari. Dia mengejarku dan melemparku dengan sandal yang dia pakai.

Arta... aku itu ******, tapi kamu selalu sabar denganku, kamu dulu selalu memiliki emosi tinggi setelah kita berpisah dengan “Dia”, tapi akhir-akhir ini kamu menjadi lebih sabar. Mungkin kamu masih merasakan rasa bersalahmu kepada “Dia” yang tak kunjung hilang yang menyebabkan emosimu selalu meluap ketika sesuatu terjadi pada sahabatmu tapi mungkin sekarang kamu sudah bisa meredam emosimu sedikit demi sedikit.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
sial nih net,jadi telat gue
ijin baca suhu,makasih apdetnya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd