Scene 8
Angel? On Earth?
Ainun ... ...
Hadeeeeh.... dasar mereka berdua benar-benar membuatku sangat bingung. Kelihatannya mereka mempunyai sesuatu yang benar-benar mereka sembunyikan dariku. Jika aku mengingat kejadian dulu, mungkin menjadi salah satu alasan mereka takut untuk membuka diri kepadaku. Kalau dibilang aku salah ya iya, aku memang salah, sampai menghajar mereka tapi yang mereka lakukan kan juga salah, lha wong menjalin hubungan sama istri orang,
edan!. Ya sebenarnya aku tidak masalah, tapi mereka hadeeeh, pacaran sama istri orang kok terang-terangan, edan!. Masa bodoh! kalau mereka tetap menyembunyikannya aku tidak peduli selama mereka tidak bercerita, aku akan diam saja.
Sabar Ar, sabar. Mencoba sabar kok susah banget, kata orang tua, sabar itu soalnya Cuma satu, tapi mengerjakannya seumur hidup, hah!. Ini sebenarnya bingung juga aku, tapi mau tidak mau, aku tetap harus melakukannya. Jadi orang culun, ide dari mereka berdua, tapi ide ini datangnya dari si mesum, penjus. Aku kira ya semuanya bakal jalan baik-baik saja, eh, lha kok malah jadi seperti ini, ada bang Jali, ada mas Raga. Yang aneh lagi adalah mas jiwa, seakan-akan sebuah garis sudah tertulis agar aku bertemu dengan mereka.
Hari ini, aku mulai bantu-bantu pak RT di Festival, Justi dan Samo tidak ikut bantu. Pak RT tidak masalah, wong ini juga sukarela kok. Kini, aku, ya, hanya aku dan sebungkus dunhill. Sebuah acara maraton, jadwal sudah terpampang, dari hari pertama hingga hira akhir sudah ada didepan mataku. Mirip sebuah festival tahunan yang selalu digelar mendekati akhir tahun. Di tempat ini, pak RT menjadi ketua dari RT-RT seluruh kota untuk menjalankan roda kepanitiaan.
Festival mirip sama pasar malam di tempatku, Cuma bedanya ini acaranya lebih besar dibanding dengan acara pasar malam di desakku. Tugasku hanya memantau jalannya kegiatan, lebih tepatnya setiap jam 12 siang ketika semua berisitirahat aku mengumpulkan sampah dari tiap-tiap pedagang dan orang-orang yang mengadakan kegiatan, alias tukang sampah. Pakaian yang aku kenakan warna kuning yang dilengkapi kerudung dan juga topi untuk menghindari panas yang masuk ke mata. Acara digelar hingga malam hari pukul 11 malam dan dimulai pukul 8 pagi. Well, menguras tenaga bukan? bagi panitia khusuunya tapi bagi pedagang adalah sebuah lahan mangais "Emas".
Tak terasa sudah masuk ke hari kedua, capek juga, hari pertama dah ngos-ngosan rasanya. Malam ini, di hari kedua, pukul 8 malam waktu hapeku, ketika itu aku sedang berjalan di belakang tenda-tenda yang berdiri mengambil sampah yang dikumpulkan dari jam 12 siang hingga malam ini.
"Sayang... main itu yuuk" ucap seorang cewek, ah, enaknya punya pacar
"Iyaa... " ucap seorang laki-laki yang aku kenal suaranya, dari balik tenda aku mengintip
"Lha? Kok si Ronald, tapi kenapa bukan dengan Winda? Terus kok manggilnya Sayang?" bathinku
Selang beberapa saat terdengar suara tembakan mainan...
"Sayang kamu hebat, bebeknya kena tiga... sayang ganteng deh nanti Misa beri hadiah deh..." ucap perempuan yang menyebut dirinya misa, memeluk ronald
"Jelas dong kan pacar sayang, muach..." ucap ronald memberikan kecupan pada pipi misa.
"Lha? Kok mesra sekali?" bathinku
Otakku berpikir keras, sekeras batu kali, batu akik dan batu lainnya. Berpikir, tapi sebenarnya tidak perlu terlalu keras, sudah kelihatan, kalau si Ronald. Selingkuh!
Ting tung ting tung ting tung.
Sebuah bunyi dari tempat ronald dan misa.
"Sayang sebentar yah, temenku telepon nih. Gak tahu mungkin, kalau aku lagi sama sayang" ucap ronald
"Iya sayang, aku tunggu disini" ucap misa, aku masih di belakang tenda. Tiba-tiba ronald datang melangkah ke arah belakang tenda dimana aku berada disana. Gelagapan aku, aku tutup kepalaku dengan penutup dari jaket kuning, dan kupakai topi. Sedikit melirik ke arah ronald, yang menelepon dengan arah menghadap ke misa.
"Halo wind..."
"Iya, maaf ini kan dijalan bareng temen, gak enakkan kalau sayang-sayang di telepon"
"Lagi jalan-jalan sama temen-temen, tadi diajak ke festival, gak enak kan kalau nolak"
"Iya deh besok, kalau ada waktu ya"
"Sayaaaaaaaaaaang aku berhasil nembak satu" teriak misa ke arah ronald
"Sama temen beneran, yaelah, itu orang pacaran didekatku masa gak boleh sayang-sayangan. Kan bukan polisi juga aku"
"Bener Winda sayang..."
"Met bobo Winda..." ceklek...
"Sialan ganggu saja!" gumam ronald
"Ngapain mas disitu? Nyari wangsit?" ucap ronald kepadaku
"Sampah" jawabku, tiba-tiba dia bergerak mendekatiku, bodohnya aku, suaraku tidak aku ubah
"Ada apa mas?" ucapku, membesarkan nada suaraku
"Gak da papa mas, cuma kaya kenal suara kamu saja mas. Lagian gak mungkin juga orang yang aku kenal bisa angkat-angkat sampah. Ya udah mas, duluan" ucapnya, aku hanya mengangguk
Kudengar pecakapan mereka walau pelan tapi tetap terdengar. Suara dentuman musik dari speaker-speaker yang bertengger di tiang-tiang besi membuatnya semakin pelan. Kulihat ronald pergi dan memeluk pinggang misa.
"Bagaimana caranya aku bilang ke kamu winda. Lha? Kenapa aku harus ikut-ikutan urusan mereka, yang ada aku malah tambah susah nantinya, bodohlah!" bathinku
Pukul 10 malam tepat sudah banyak tenda-tenda yang tutup. Aku kemudian beres-beres dan lapor ke pak RT yang masih berada ditempat itu. ketika aku hendak pulang, Pak RT kembali memanggilku.
"Ar, ini tolong nanti kasihkan ke rumah bapak ya, dan sampaikan ke ibu kalau bapak pulang agak larut" ucap pak RT
"Oke pak" jawabku, aku iyakan saja yang disuruh pak RT
Segera aku menebeng seorang panitia yang pulangnya lewat depan gang kontrakan. Sesampainya disana aku langsung bergerak cepat menuju ke rumah pak RT, tapi sialnya rumahnya sudah gelap. Aku malah ndak enak sendiri kalau mengganggu, kemungkinan penghuni rumah pastinya sedang tertidur. Aku hanya berdiri dan mematung didepan pintu gerbang rumah yang lumayan mewah ini.
Kleeeeeeeeek....
Suara pintu terbuka, aku sendiri sedikit kaget.
"Ada apa mas Arta? Masuk mas" ucap seorang ibu-ibu yag belum pernah aku melihatnya, punggung kulit tangannya putih dan memakai kerudung menutupi bahunya. Terdiam sejenak, mencoba mencari kesadaran.
"Eh, maaf bu RT ada?" ucapku,
"Beneran aku ndak mimpi kan? Masa ada bidadari malam-malam?" bathinku, segera aku membuka pintu gerbang yang tak terkunci ini
"Iya saya sendiri, didalam saja mas" ucapnya,
Aku megangguk dan tersenyum, benar-benar seperti bertemu bidadari dimalam hari. Aku masuk, membuka pagar pintu. Dari pagar pintu ada jalan setapak yang kemudian sedikit tangga kecil menuju teras depan rumah. Bu RT yangmenungguku, kemudian masuk, aku mengikutinya dari belakang. Dinyalakannya lampu ruang tamu, sekarang tampak terang. Di dekat pintu masuk tadi ada pintu gerbang, khusus untuk mobil.
"Silahkan duduk... sebentar ya..." ucapnya tersenyum, dan kemudian masuk ke dalam
"Iya bu..." jawabku, duduk melihat ruang tamu pak RT
Ruang tamu yang lumayan enak, beda dengan ruang tamu di kontrakan. Eh, itu bukan ruang tamu tapi ruang serba guna. Ruangan lumayan luas yang terhubung dengan ruang keluarga tanpa pintu, hanya korden yang memisahkan ruang. Letak kursi di ruang tamu, dengan kursi panjang yang bisa untuk tiga orang berada di kiriku, kursi untuk dua orang berada dihadapanku, sedangkan aku berada di kursi untuk dua orang dekat dengan pintu. Belakangku persis adalah jendela ruang tamu. Sedikit bingung, karena kemungkinan jendela terbuka minim sekali.
Selang beberapa saat, bu RT kembali keluar...
"Ini mas diminum..." ucapnya, sembari duduk tepat dihadapanku
"I-iya bu... " ucapku langsung menyeruput dan menikmati manisnya perempuan dihadapanku ini. Benar-benar beruntung pak RT.
"Begini bu, ini ada titipan dari pak RT. Sekalian pesan dari pak RT kalau malam ini pak RT pulang larut malam" ucapku memberi bingkisan ke bu RT, tangan putihnya menerima
"Hmmm..." gumamnya pelan, meletekan bingkisan dari pak RT di meja depanku
"kebiasaan bapakmu (Pak RT) itu" suara lembutnya kembali keluar, ketika melihat bingkisan yang aku berikan
"Kebiasaan gimana bu?" tanyaku, penuh dengan pertanyaan, sembari meletakan gelas
"Ya pulang malam kan mas, terus begini dan begitu kan, hufth..." ucapnya, tangannya bersedekap, tubuhnya rebah di sandaran kursi
"Lha kan memang ada tugas bu?" ucapku, dengan sedikit heran
"Iya tugas jadi panitia festival, tapi setelahnya itu, yang kadang bikin gregetan, nakalnya belum ilang-ilang. Benar begitu bukan? Harus bagaimana coba?" ucapnya, terlihat sedikit ada sesuatu yang bagaimana gitu.
Aku sedikit mengamati wajah perempuan dihadapanku ini. Putih, kalem, lembut, tapi sekarang sedikit ada guratan jengkel.
"Eh anu saya ndak tahu bu... beneran..." ucapku, dengan kesadaran penuh, karena jika dilanjut pastinya akan ada pernyataan-pernytaan tambahan lagi.
"haaaaah...." sembari memegang lututnya, dia kembali duduk tegak.
"Mungkin karena masa lalunya, dia jadi seperti ini. Padahal, aku ya mau-mau saja sama dia. Tapi bapakmu saja yang malah sering keluar-keluar terus. Apa sebenarnya yang kurang dirumah? semuanya ada, mungkin anak saja yang belum" curhatnya
"Eh maaf, malah curhat sama kamu ar, keceplosan lha mau bagaimana lagi. Bapakmu itu memang seperti itu Ar, hufth..." ucap bu RT, kedua tangannya menyangga dagunya
"Ndak papa bu, mungkin itu salah satu cara untuk mengurangi beban pikiran" ucapku, dia tersenyum melihatku, kini satu tangannya menyangga pipinya. Kepalanya miring, melihatku dengan tatapan teduhnya
"Umur berapa sekarang kamu ar?" ucapnya
"18 bu"
"lha ibu eh ndak jadi bu..." ucapku, tak pantas menanyakan umur kepada seorang wanita, untung saja aku bisa mengehntikan ucapanku
"Hi hi.. kamu itu lucu, 24, tua ya?" ucapnya, aku sedikit terkejut, kupegang daguku bak seorang pemikir
"Lho kenapa kamu ar?" ucapnya, kedua tangannya menumpuk di pahanya, tubuhnya sedikit maju
"Eh, anu bu, sedikit ndak percaya bu, saya kira 20 bu,..." ucapku benar-benar terkejut
"Hi hi hi.... Ibu nikah pas lulus, malah dua bulan setelah lulus kuliah Ar. dua tahun sudah, ibu menjalani hidup sama bapak kamu itu " ucap bu RT tersenyum, melihatku. Aku tersenyum kaku, benar-benar tidak percaya.
"Em, Orang kota itu berbeda ya bu... awet muda" ucapku
"Hi hi hi ya gak gitu juga kali, tinggal bagaimana merawat tubuh saja. aku... mmm... ibu pakai aku kamu saja ya, biasanya sih lu-gue tapi sudah jadi ibu RT kayaknya gak pantes hi hi hi"
"Kalau mau pakai kata ibu kelihatannya ketuaan deh kalau berhadapan sama kamu. Kalau dilihat, kamu seumuran adik aku yang paling kecil. Sekarang di luar negeri, pinter sih dia dapat beasiswa setelah lulus SMA dan nantinya kalau sudah lulus kuliah ceritanya mau diambil sama perusahaan yang nguliahin dianya"
"Eh, kok malah ngomongin adikku. Oia, manggilnya bu ainun saja ya..." ucapnya
"Oh, eh, iya bu...." aku mengangguk
"Adiknya bu ainun, hebat ya bu..." lanjutku
"Iya, tapi kelihatannya kamu pintar juga ar..." mengambil minuman hangat dan sedikit menyeruputnya, terdengar nada halus ketika dia menyeruputnya. Memang beda, kalau lekai dan perempuan ketika menyeruput minuman hangat.
"Ar..." lanjutnya, pandangannya tajam ke arahku
"I.. iya bu... eh anu bu kok ibu ndak pernah kelihatan keluar rumah?" tanyaku, mencba mencairkan suasana
"Kamu itu, aku mau nanya malah nanya duluan. Iya aku jawab, aku males Ar, lha ibu-ibu disini semuanya karyawan pabrik dan karyawan kantoran, ketemu paling minggu. Kamu saja yang gak pernah keluar kalau minggu, tidur terus pastinya" ucapnya, aku tersenyum dan menggaruk-garuk kepala bagian belakangku, sedikit menunduk. dari sudut mataku, dapat kulihat dia meletakan minumannya di meja
Kudengar sedikit tawanya, sejenak kami tertawa pelan, entah apa yang kami tertawakan. Ketika aku mengangkat wajahku, aku sedikit membeku, kulihat pandangan matanya sedikit tajam ke arahku.
"Kenapa kamu selalu berdandan aneh ketika hendak berangkat kuliah?" ucapnya tatapan matanya tajam, seperti sebuah cangkul yang hendak menggali. Kekakuanku semakin terasa, entah kenapa.
"Eh ndak papa kok he he he" aku mencoba selengekan dan menunduk. dari seberang tempatku duduk, tiba-tiba ujung telapak tangannya menaikan daguku
"Eh..." aku terkejut
"Ada masa lalu yang buruk dalam dirimu" ucapnya, aku terkejut melihatnya
"Egh..." suara tekejutku tapi matanya tetap melihatku
"Kamu tidak bisa berbohong kepadaku, aku bisa melihat semuanya, aku bukan peramal yang memiliki ilmu gaib tapi aku bisa merasakannya. Aku juga tahu kenakalan suamiku, tapi aku hanya diam dan bertahan..." ucapnya, dia menarik kembali tangannya dan menyilangkan kakinya, tumpukan kakinya sebagai sandaran siku tangan yang menyangga dagunya.
Aku menatapnya, tatapan mata itu tajam mengingatkan aku kepada seseorang ya sama seperti wanita yang aku lihat dijalan. Hanya tatapan mata itu yang sama dengan tatapan mata seseorang di masa laluku. Bulu kudukku berdiri, mata itu terus menatapku... tajam, walau bibirnya bisa tersenyum.
"S-Saya..." jawabku,
Seketika, aku teringat akan masa dimana aku telah melewatinya. Kepalaku menunduk pelan, dan air mulai menetes dari kedua mataku. Sebuah tetesan-tetesan penyesalan akan masa yang telah terlewati, tetesan ketakutan yang tak kunnjung hilang dari dalam otakku.
Sreeekh...
"Maaf, Sudah Ar, jangan menangis... maafkan aku"
"Tak perlu kamu mengatakannya, Seandainya suatu saat nanti kamu ingin bercerita, datang kesini saja..." ucapnya, duduk di sandaran tangan kursiku dan menarik kepalaku yang rebah di dadanya
Kepalaku menggeleng, isak tangisku mulai terdengar pelan. Pelan, tapi aku menangis malam ini.
"Maafkan aku..." tangannya lembut mengelus kepalaku
"Mau aku antar pulang?" ucapnya, aku menarik kepalaku dan menggeleng
"Saya pulang dulu bu..." aku berdiri tanpa memandangnya, aku melangkah menuju pintu gerbang rumahnya
"Arta..." ucapnya, aku berdiri dan diam sejenak
"Maafkan aku kalau tadi membuatmu ingat yang telah lalu" ucapnya, pelan
Aku berbalik sesaat dan tersenyum lalu kulanjutkan langkah kakiku menuju kontrakan. Pintu aku buka dan tak kudapati kedua sahabatku di ruang tamu kecil ini, hanya dengkuran keras mereka dari dalam kamar mereka masing-masing. Ku buat segelas wait kofie, masuk ke dalam kamar berganti pakaian. Aku duduk di pinggir kasur kapuk, dan sebatang dunhill nemaniku. Tangisku pecah kembali, aku menahannya dan tak berani bersuara keras.
"Maafkan aku... maafkan aku.... maafkan aku.... maafkan aku..."
Berbatang-batang dunhill menjadi abu, tak sanggup aku menahan tangisku ini. terus-menerus hinga kurasakan mataku mengering dan tak sanggup lagi aku bertahan. Sebuah dering sms HP menyadarkan aku dari tangisku. Aku raih...
From : 085012345678
Arta, ini Bu Ainun
Maafkan aku ya kalau tadi buat kamu nangis
Sudah lupakan percakapan tadi ya
(kok tahu nomorku? Langsung aku save nomornya...)
To : Bu Ainun RT
Iya bu, saya juga minta maaf
He he he ndak papa kok bu
Ibu dapat nomor saya darimana?
From : Bu Ainun RT
Dari hape pak RT
Ya sudah, jangan sungkan-sungkan ngobrol sama ibu RT ya?
Sekarang kamu istirahat, besok masih banyak yang harus kamu kerjakan
To : Bu Ainun RT
Iya bu, terima kasih
From : Bu Ainun RT
Sama-sama
Aku rebah dan terlelap dalam lelah tangisku hingga pagi menjelang...
.
.
.
Kembali aku bangun tepak pukul 4 pagi, kubangunkan sahabatku yang molor itu. Tetunya dengan ketukan keras pada pintu mereka. satu persatu mereka keluar dengan wajah kusut, mata masih merem, air liur pada netes. Aku hanya tertawa, walau malam sebelumnya aku menangis semalaman.
"Woi, ar, ntar kamu jaga di festival lagi?" ucap Samo, saat matahari sudah mulai bangkit dan bersinar kurang lebih pukul 7 pagi
"Ndak, lagi males..." ucapku berbohong, dengan segelas wait kofi ditanganku, aku duduk di ruang tamu kecilku, bersama kedua sahabatku.
"Ouwh..." jawab samo, menyulut dunhill putih
"Ada apa? Mau ikut kerja po?" ucapku, sembari meraih sebungkus dunhill didepan samo
"Ndaaak, males hari ini mau keluar ke kampus lagi bareng sama penjus" ucapnya, denga bibir mengeluarkan asap. Kulihat sesutau dibelakang mereka, aku diam saja.
"Yoi bro... tapi kamu dak usah ikut ya ha ha ha..." ucap Justi
"
Ah, raimu gopak tai! (wajahmu kena tinja)" ucapku
"Ya udah aku berangkat dulu, jaga rumah, pel lantainya yo" ucap Samo, berdiri bersama justian menuju pintu keluar kontrakan
"
Matamu su!" jawabku, mereka hanya tertawa cengengesan dan pergi begitu saja
Aku biasa datang terlambat ke festival, karena memang tugasku hanya bersih-bersih saja. yang terpenting adalah pukul 12 siang harus sudah mulai bersih-bersih. Dengan pakaian kuningku, aku berjalan menuju halte untuk menuju ke tempat festival. Akhirnya setelah sekian menit aku naik bis sampai juga ditempat festival, kulihat jam di hapeku menunjukan pukul 11.00, lumayanlah terlambat beberapa jam dari hari kemarin.
Menunggu pukul 12, aku duduk di bawah pohon dan meminum kopi putih dari panitia. Semilir angin, panas, kukibaskan topi yang aku pakai. Kulihat sekelilingku, dari tempatku berteduh, dari sini aku bisa melihat mereka semua walau sedikit terhalang oleh tenda-tenda orang berjualan.
Alarm hapeku berbunyi, sebagai tanda sudah tepat disiang hari. Aku bangkit, ku tutupkan kerudung pakaian kuning dan kupakaian topi tak lupa masker, dan bersiap mengambil sampah-sampah. Ketika mulai mengambil sampah-sampah, aku tersenyum melihat seseorang.
"Dasar!" bathinku
Aku melangkah dan mendekati orang tersebut, tampak orang tersebut sedang menunggu seorang wanita yang sedang memesan makanan. Aku dekati hingga dibelakang tubuhnya, dia tidak menyadari keberadaanku.
"Yang penting tidak seperti dulu saja ya" ucapku sedikit keras
"Egh!" dia terkejut dan membalikan badan
"He he he..." ucapku dan langsung bergerak menjauh
"
Ar, kosek... ojo mikir elek sek (tunggu, jangan mikir jelek dulu)" ucap Samo, memegang tanganku
"Yang mikir jelek itu siapa, aku Cuma bilang jangan seperti dulu he he he" ucapku
"
Ora bro tenan (tidak bro beneran), dia habis cerai sama suaminya 1 tahun yang lalu" ucapnya
"Sudah, tuh cewek kamu datang" ucapku, Samo melepaskan tangannya
Sebenarnya sih terserah mereka tapi kalau sampai mereka bareng sama istri orang. ah, tak tahulah, aku hanya bisa berdoa saja mereka tidak mengulangi hal yang sama dengan yang terjadi di masa lalu mereka. aku kembali ke pekerjaanku, menjadi tukang bersih-bersih festival. Setelah semua pekerjaan selesai aku kembali ke posku dan beristirahat sejenak di bawah pohon yang melindungiku dari paparan panas sinar mentari.
Tulit tulit...
From : Samo Hung
Bro, maafnya ya bro
Tapi ini beneran ndak seperti yang dulu
To : Samo Hung
Tenang saja bro,
Aku yakin kamu ndak bakal mengulanginya
Tapi jangan buat main-main
Aku tersenyum ketika melihat sms berbalas dari Samo. Saatnya untuk istirahat dan tidur sja kalau begini ini. aku rebahkan tubuhku melihatke daun-daun yang mencoba untuk saling melindungiku dari sinar mentari. Tampaknya mereka selalu bersama dengan yang lainnya menjaga apapun yang dibawahnya terlindungi. Mereka tumbuh pada dahan yang sama, dari kecil hingga menjadi daun yang lebar, bertahan sejenak dan kemudian menguning. Kuning yang dari ujung hingga ke pangkal daun, kemudian coklat dan jatuh ke tanah. Terhempas dan hilang oleh bakteri pengurai, semua yang hidup pasti akan seperti itu.
"Hei ar..." ucap seseorang yang aku kenal. Aku menengok ke samping kanan dan kemudian bangkit.
"Eh pak RT, ada apa pak?" ucapku
"Ha ha ha kamu itu kaya tidak tahu bapak saja, ini" pak RT memberikan segelas miuman, aku bangkit dan menerimanya. Pak RT duduk disebelahku.
"Ndak papa Ar, cuma bapak mau nganter kopi buat kamu, kopi wait kesukaan kamu" ucapnya
"Makasih pak, kok repot-repot segala bapak itu" ucapku
"Ha ha ha, ndak papalah, dari sekian banyak yang ngurusi sampah cuma kamu yang selalu aktif. Tuh lihat yang lainnya, hadeeeeh... kalau tidak dikumpulkan nanti kita yang rugi bayar jasa truk sampah" ucapnya
"Maklumlah pak siang, panas... yang penting semua beres" ucapku sembari mnyeruput kopi putih buatannya
"Nanti malam ada cara kamu ar?" ucapnya
"Ndak ada pak, paling setelah dari sini, ya pulang ke kandang (kontrakan)" ucapku
"Gimana kalau kamu ikut bapak saja, seneng-seneng?" ucapnya
"Seneng-seneng apa pak?" ucapku
"Tapi jangan bilang sama ibu (bu RT) ya" ucapnya, dahiku berkrenyit
"Wah bahaya ini bapaknya..." ucapku bercanda
"Ya... biasalah, dirumah monoton Ar, butuh refreshing juga kan... lagian ibu kamu itu gitu-gitu doang" ucapnya, semakin aku tahu kemana arah pembicaraan ini
"Iya pak ndak bilang sama ibu, tapi maafnya pak, ini kelihatannya arah pembicaraaannya saya tahu ni pak. Jadi saya ndak ikut ya pak he he he takut... he he he" ucapku
"Wah pinter juga kamu, buat pengalaman saja ar. Nyoba-nyoba buat kamu" ucapnya
"Ndak lah pak, ntar ketagihan" ucapku sembari menyeruput wait kofie
"Kelihatannya dipaksa pun kamu juga ndak bakalan mau ar ha ha ha... ya sudah, nanti malam kalau kamu pulang titip pesen sama ibu ya ha ha ha..." ucapnya
"Bapak ndak takut kalau ketahuan ibu?" ucapku
"Ya takut juga tapi biarlah, biar dia tahu kalau suaminya bosen dirumah" ucapnya, entah kemana pandangan matanya aku tak bisa menangkap apa yang dia lihat
"Pak, pak... saya itu masih kecil pak, jangan diajak ngomong 'main', apaan sih main? Main kelereng ya pak?" sedikit bercanda, walau tahu kemana arah pembicaraan ini
"Ha ha ha kamu tu sok culun, seculun dandanan kamu pas berangkat kuliah ha ha ha..." ucapnya
"Maklumlah pak... sayanya malas pak, ntar keperosok dalam banget susah keluarnya pak. Lagian, enah dirumah kan pak?"
"Pulang saja pak, pulang, pulang bareng saya, nanti saya nebeng, lumayan dapat gratisan. Lagian Ibu kasihan kan pak dirumah sendirian?" aku sedikit melirik ke arah pak RT, dia memandangku
"Dah, pokoknya kamunya jangan bilang sama Ibu, oke? Nanti bapak kasih hadiah tambahan" orang tua ini berdiri dengan wajah tanpa rasa bersalah sedikitpun
"Ya sudah, bapak balik ke pos dulu, kamu nyante dulu saja" wajahnya tersenyum, aku mengangguk
Beneran ini pak RT, cewek secantik bu RT masih saja di tinggal pergi. Maunya cewek yang kaya gimana coba? Kalau aku sih betah-betah saja. main-main? Kontol saja dipikirin, tuh yang dirumah. tapi bagaimanapun dia tetep RT-ku, orangnya kalem juga ganteng. Supel dan ramah, hanya saja kelakuan dia diluar itu yang hadeeeeh. Tapi penasaran juga, bodoh ah besok saja kalau sudah gede.
Malam hari...
"Benerkan apa yang aku pikirkan?" bathinku,
Setelah melihat seseorang yang aku kenal. Dengan pakaian yang lengkap aku mendekati pasangan yang masih main lempar bola ke dalam ember itu. tepat dibelakang laki-laki itu.
"Cantiknyaaaa..." ucapku, seketika itu dia menoleh kebelakang tanpa sepengetahuan si cewek
"Eh, ar.. Eh, Ar... ka-katanya tadi ndak datang" ucapnya
"Makaaan makan... he he he" ucapku
"Anu, itu ar, ini, anu, sudah cerai kok..." ucapnya, aku melangkah menjauh
"Siapa jus?" ucap wanita itu
Aku langsung ngeloyor pergi tanpa mendengarkan percakapannya. Hari ini aku sudah mengetahui kelakuan dua sahabatku. Mungkin saja mereka takut mengakuinya di hadapanku. Aku tersenyum geli, tapi kalau dilihat lagi masa orang culun ada yang mau? Wah ada yang tidak beres!
Malam hari setelah semua aku bereskan, aku pamit kepada panitia. Seperti malam hari sebelumnya, aku datang ke rumah pak RT terlebih dahulu, membawakan bingkisan kepada bu RT. Dengan senyum ramah, dia menyambutku membuatkan aku minuman hangat. Sebenarnya aku menolak, terlalu lelah, ingin rasanya segera pulang tapi tetap saja tidak diperbolehkan.
"Maaf soal kemarin ya.. " ucapnya
Aku duduk di kursi panjang, kursi untuk tiga orang. Sedangkan dia, wanita cantik ini, duduk di tempat seperti kemarin.
"I-iya bu. Santai saja he he he" ucapku, tapi kali ini pandangannya sangat teduh dibangingkan kemarin
"Ada apa bu? kok lihatnya seperti itu?" ucapku, memandang kedua bola mata indahnya
"Gak boleh? Pak RT main lagi?" pertanyaannya sepele, pandangan matanya juga terlihat tidak begitu peduli dengan orang yang dia tanyakan
"Ndak tahu bu" balasku, meraih segelas minuman hangat di depanku
"Hi hi hi, gak usah bohong, nyatanya nyuruh kamu kemari" dia tersenyum manis, manis sekali
"Beneran, ndak tahu saya bu" jawabku dengan kedua tangan memberi isyarat ketidak tahuanku
"Tenang saja, kalau aku santai kok ngadepinya... kamu bohong pun aku tahu, lha wong cewek yang dia mainin temen kuliahku" ucapnya, dan membuatku terkejut
"Eh... itu anu, eh, itu bu"
"Saya pulan dulu ya bu, sudah malam, capek" gugup, aku bangkit dari tempat duduk
"Eits!" wanita ini berdiri dan menahan dadaku, aku terdiam, dengan wajah bingungku
"Gak boleh pulang! Temeni ngobrol dulu" sedikit maju, menekan bahuku turun. Ah, mau tak mau, aku kembali duduk
"Bener kan?" ucapnya, aku mengangguk, duduknya kian dekat denganku walau berbeda kursi
"Haaaaash... sudah biarkan saja, yang penting aku tahu temanku bersih... Dia temanku, wanita yang selalu disinggahinya, teman kuliahku dan sekarang menjadi istri sirinya"
"Aku tahu semua tentang bapakmu itu, juga dari temanku. Memang bapakmu, gak bilang kalau nikah siri sama temenku. Biarlah yang penting gak sembarangan" ucapnya sambil meregangkan kedua tangannya
"Kok ndak dicegah... atau bagaimana bu?" pandanganku sedikit herand dengan tingkah ibu satu ini
"Kan sah itu, jadi gak masalah, benarkan?" dengan mimik wajah meminta persetujuan kepadaku, aku mengangguk pelan
"hi hi... dia mau nikah siri sampe puluhan kali gak masalah buatku. Yang penting satu, ingat istri saja, dan sampe sekarang juga inget. Nafkah juga cukup buatku" wajaya tersenyum lembut, selembut pakaian yang baru saja diberi pewangi
"Oia lha kamu sendiri apa gak cari pacar?" dengan dagu disangga tangannya, dia memandangku tersenyum
"Mana ada yang mau sama saya buuuu bu" aku sendiri sebenarnya masih penasaran dengan cerita tentang bapak RT-ku itu, tapi mau bagaimana lagi kelihatannya harus dihentikan.
"Banyak, asal kamu jadi diri sendiri dan tidak membohongi orang lain, enak tahu gak ngobrol sama kamu" kelihatannya wanita ini sedikit ingin mengetahui jati diriku,
"Enak bagaimana bu? Lha wong saya itu selalu ngangguk-ngangguk doang dari tadi" balasku, aku benar-benar tak tahan melihat wajah manisnya. ku palingkan sejenak melihat pintu rumah yang masih terbuka
"Makanya ngomong... dasar kamu itu hi hi hi" aku meliriknya, melihat kedua tangannya menutupi bibirnya yang terkekeh-kekeh
"Dasar itu... dulu bu, habis TK..." ucapku
"Itu sekolah dasar dodol... dasar!" ucapnya, sambil telunjuknya mendorong pipiku
Hening sesaat...
"Kenapa malah diem?" ucapnya
"Ndak bu, cuma lagi mikir saja tadi kedua sahabatku dapat janda, katanya pas ketahua sama saya bu" ucapku
"Hah?! Beneran itu?" wajahnya terkejut, aku mengangguk
"Ha ha ha... sudah gak papa, kamu iri ya mereka sudah punya gandengan?" ucapnya
"Antara iya dan tidak..." jawabku, dengan kedua bahuku naik.
Kami berdua berpandangan dan tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang kami tertawakan, tapi wanita ini, perempuan ini tampaknya sama sekali tidak lagi mencoba mengusik masa laluku. Tak ada pembicaraan setelahnya, aku kemudian pamit pulang. Sesampainya aku dikandang, aku membuka pintu kandang dan...
"Ampuuuuuuuuuuun bossssss!" teriak mereka
"
Asu! Matamu! Diancuk! Kampret!" ucapku kaget
"
Suwer susu kewer-kewer dia sudah menjanda sejak awal kita kuliah" ucap Justi
"Kalau yang sama aku tadi, sudah setahun" ucap Samo
"
Diancuk, kampret, asu, sikilku ojo mbok gujengi ndes! (Kakiku jangan kamu pegangi ndes)" ucapku, mereka langsung melepaskan kakiku
"
Monggo raden, kopinipun (kopinya)" ucap Samo memberikan aku kopi
Kami duduk di ruang tamu kecil ini...
"
Woi poro patihku, lungguh sing genah aku ameh ngomong karo dapuranmu (woi para menteriku, duduk yang benar aku mau bicara dengan kamu)" ucapku berlagak bak raja
"
Inggih prabu..." ucap mereka yang berlagak kaya menteri didepan rajannya
"
Poro patih, Poro menteriku, Diancuk! Wasu!"bantakku
"Waaa..
lha kok malah misuh-misuh? Ojo nesu ar (Lha kok mencaci maki? Jangan marah ar)" mereka serempak,
"Bukan kalian cuk, semut, aduh..." kedua tanganku masuk ke dalam kaos belakangku, menggaruk-garuk mencari sesuatu yang menggigit dipunggungku
"Owalaaaaah..." ucap mereka bersamaan
"Hadeeeeh.... akhirnya..." aku memandang mereka
"Sudah lah bro, seandainya saja dia masih punya pun aku juga ndak bakal larang kalian. Wong kalian sudah pada gede" ucapku
"Takutnya nanti kamu seperti dulu lagi, uaku to takut ar. sakit tahu ndak to mbok pukuli" ucap Justi dengan mimik takutnya
"Ya ndak lah bro, kecuali kalian dalam bahaya, mungkin he he" aku sedikit tertawa selengekan, mecoba mencairkan suasana
"Kok lunak banget? Jangan-jangan kamu sudah ada gandengan istri orang ya ar?" Samo memandangku heran, dalam hatiku, terlintas Bu Ainun
"Kalaupun ada ndak bakal aku omongin ke kalian, mana ada yang mau sam" aku menyulut satu dunhill
"Aseeeeek... kalau gitu kita juga bisa nyari istri orang nih" ucap Justi
"Terserah kalian lah, yang penting cari aman saja" ucapku
"Eh, Lha kalian dimana dapatnya cewek-cewek kalian itu?" lanjutku
"Kalau aku..." ucap Justi menceritakan kejadiannya dengan sangat antusias dan menggebu-gebu (seperti yang sudah di ceritakan di part sebelumnya)
"Gara-gara copet nih yeeeee ha ha ha..." ucapku dan Samo tertawa
"Ya begitulah..." ucap Justi
"Kalau kamu sam?" ucapku
"Waktu itu sepulang kuliah, aku pulang duluan lha Justi malah BAB. Kejadiannya kalau di sesuaikan sama Justi ketemu si embaknya ya 1 bulan sebelumnya. Justi maniak banget BAB di kampus. Ha ha ha..."
"Nah, terus aku pulang kuliah duluan. Melewati taman dekanat, ada mbak-mbak Dinakali sama orang gitu, aku ndak terima. Ya aku belain saja mbaknya, nah sejak saat itu aku dekat sama mbaknya" cerita Samo
"Wuih, kereeeen... kalau di dekanat? Mahasiswi dong?" ucapku
"Bukaaan... mbak lisa, atau aprilia lisa nama lengkapnya, itu dia itu lulusan situ juga. Tapi sudah beberapa tahun yang lalu, lulus nikah satu tahun jalan dicerai. Dia kesitu sebenarnya habis ambil legalisir ijazah, wong umurnya sekarang masih 24 kok" ucapnya
"Wuih enak tuh sam..." ucap Justi
"
Tempik wae pikiranmu su (vagina saja pikiranmu njing)" ucap Samo kepada Justi
"Iya, embrotnya itu lho yang ughhhh..." ucap Samo
"Sudah?" ucapku
"Belum..." jawab Samo
"Sudah apanya?" ucap Justi
"
Kenthu jus kenthu, wuasu memang dapuranmu, diancuuk.... utekmu ki asline mbok selehke ndi to? Dijak omong ora tahu nyambung! (ngentot jus ngentot, anjing kamu itu, diancuk... otak kamu itu aslinya kamu taruh dimana? Diajak ngomong ndak pernah nyambung!)" bentak Samo
"Wah lha kamu itu ****** sam, ya jelas dikepala to ya" ucap Justi tanpa merasa bersalah
"Daaaah, ini kalau dibahas bisa sampai subuh, intinya kamu sudah kenthu belum Justi ganteeeeng" ucapku
"Belum to ya, edan po? Gualaknya kaya gitu owk... tapi kayaknya terlaluuuuuu cintaaaaaa" ucap Justi
"
Matamu sowek (sobek) jus, dulu saja bilang terlalu sayang nyatanya juga diembat juga itu selangkangan" ucapku
"Heh? Oh yang dulu ar, itu dianya yang minta owk" ucap Justi jujur, tepuk jidat kami berdua
"Tapi kalau susu udah dapat ha ha ha" ucap Samo
"Tapi ingat ya bro..." ucapku
"Tenang saja... aku selalu ingat kata-katamu bro... kamu tu paling emosian, tapi kata-katamu selalu bijak ar" ucap Samo
"Ha ha ha ha... bijak sana bijak sini, bajak sawah ya iya ha ha ha..." candaku, kami tertawa bersama.
Kami bercanda sejenak kemudian kembali ke kamar masing-masing. Ah, aku dulu sangat tidak ingin mereka berhubungan dengan istri orang tapi situasi sekarang sangat berbeda semenjak aku bercakap-cakap dengan bu RT. Artaaaa... dia istri orang Artaaa... hadeeeeeh...