Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Kalo liat pola suhu DH... Kayanya apdetnya 2 minggu sekali..
Bener ga suhu Pai..?
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Scene 45
Kakak



Ana dan Ani

“Kak Ana..” Panggil Adikku Ani

“Ya” Jawabku

“Kak Arta gimana kabarnya? Kok gak pernah kasih kabar sih? Huh! sebel ma kak Arta” ucap Ani yang memeluk bantalnya

“Eh, gak boleh gitu dik. Tapi ya benar juga, beberapa hari ini gak ada kabar dari kak Arta? Tahun baruan mungkin bareng sama temannya” jelasku

“Bener kan? Huh!” Adikku terlihat jengkel

“Sudah, nanti juga ada kabar dari kak Arta. Mungkin juga pulsanya habis, kan kak Arta gak pake sematpon. Mikir positif saja dik” jawabku

“Eh, iya ya hi hi hi... lucu kak Arta itu. jaman modern kok ya masih pake hape jadul hi hi hi” ejek Adikku

“Hush, gak boleh gitu. Gitu-gitu kakak kita dik” ucapku sedikit keras

“Eh, iya hi hi hi” jawabnya

Tahun baru ini aku jalani bersama adikku, Ani, di rumah Kak Raga. Beruntung rasanya kami bertemu dengan Kak Raga. Dan Beruntung pula ada seorang kakak lain bernama Arta yang menjadi kakak kami. Oia tidak lupa kak Alma, istri kak Raga, baik banget orangnya. Rasanya juga seperti punya kakak perempuan, buatku tapi kalau buat Ani ketambahan kakak perempuan mungkin.

Semenjak aku dan Ani keluar dari genggaman pak Pengu. Beberapa kali aku mendengar cerita tentang kak Arta. Yang culun, yang biasa, dan yang terakhir yang tidak terkendali. Walau begitu tetap saja aku tidak peduli. Dari sorot mata kak Arta, aku yakin dia akan melindungi kami berdua, adik-adiknya.

Sekalipun kami berdua sudah keluar dari genggaman pak Pengu. Tapi kami masih tetap berada dalam lingkup persaingan. Beruntung aku dan Ani berada di sisi yang baik, menurutku. Mungkin suatu saat nanti akan ada darah, akan ada pengorbanan tapi satu harapanku, bukan dari keluarga ini, keluarga baruku.

“Anaaaa... Aniiii.... Makaaaaan...” teriak Kak Alma dari luar kamar

“Iya kaaaaak...” jawabku,

Aku dan Ani kemudian keluar secara bersamaan. Menuju ke ruang makan. Disana sudah ada si mbok, Bobo dan Baba serta Kak Alma. Sedangkan Kak Raga berada di ruang TV sedang menelepon atau ditelepon seseorang. Dari Ruang makan terdengar suara pembicaraan Kak Raga.

“Bisa jadi Mas. Mungkin orang yang sama”

“Bagaimana cerita dari korban?”

“Berarti dia, pasti dia.. aku yakin”

“Coba mas ceritakan secara detail kejadian dari sudut pandang korban”

“Hmmm... ya... ya... ya....”

“Begini saja mas, kalau ada kabar dan benar dia orangnya, aku akan datang ke tempat mas. Tapi jika benar, apapun akan aku lakukan mas... dia orangku”

“Pokoknya kabari aku mas, itu semua dari sudut pandang korban. Dan mas belum tahu kan dari sudut pandang orang-orang disitu atau pelakunnya?! Pokoknya kabari aku!”

“Iya mas maaf, namanya juga adiknya mas. Kalau ketemu masnya ya gak mau kalah he he”

“Okay, bye”

Mata kami semua yang berada di ruang makan tertuju pada kak Raga. Kak Raga yang bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke arah kami. Mungkin karena penasaran, tanpa sadar kami semua berenti makan. Jelas saja, aku yang paling penasaran. Entah kenapa orang yang tadi dibicarakan kak Raga di telepon serasa dekat denganku, dan aku mengenalnya.

“Malam liatin kak raga, makan dulu” ucap kak Raga sembari duduk di kursi

“Penasaran mas, apalagi tadi mas pas telpon, suaranya keras” ucap kak Alma kepada mas Raga

“Kakak iparmu tadi yang telpon” jawab kak Raga

“Pantes, manjanya keluar kalau ketemu kakak lakinya” jawab kak Alma, yang sedang menyiapkan makanan di piring kak Raga.

“Eh kak Alma, kak Raga juga bisa manja ya sama kakak lelakinya??” tanyaku

“Ya bisa, namanya juga saudara. Sama seperti Ani manja sama kamu” jawab kak Alma

“Sudah makan dulu, gak selesai-selesai ini nanti” ucap kak Raga yang sudah bersiap menyantap makanan.

“Tapi kak, penasaran” ucap Ani

“Nanti habis makan, kak Raga cerita, makan dulu, ya?” bujuk kak Raga kami mengiyakan

Yup, kami semua selalu nurut sama kak Raga. Sama halnya kita nurut sama kak Arta, tapi kalau kak Arta masih bisa di bantah. Kalau kak Raga, takut kalau misalnya mau membantah. Secara kak Raga umur kak Raga diatas kami jauh banget.

Selama makan malam tak ada pembicaraan mengenai apa yang dibicarakan kak Raga di telepon. Hanya saja kita bicara hal yang lain, mengenai kuliah kami berdua. Jadi, topik pasa makan malam ini, aku dan Ani.

Selepas makan malam, kami semua biasa duduk bersama di pinggir kolam renang. Gak ada yang renang memang, tapi ya istilahnya nongkrong. Tapi disini gak ada yang ngrokok, setahuku sih kak Raga gak ngrokok. Takut paling sama kak Alma, hi hi hi.

Sejenak kami berbicara yang tidak jelas. Hingga akhirnya kak Alma membuka pertanyaan ke kak Raga mengenai pembicaraannya yang di telepon.

“Oia mas, yang ditelepon tadi? katanya mau cerita?” tanya kak Alma

“Oh iya, sampai lupa” jawab kaka Raga

“Iya, he’em... ayo kak cerita dong” bujukku, begitu pula dengan Ani

“Iya, iya, begini lho... tadi Masnya kak Raga telepon. Ada seseorang yang mengalami penganiyaan” jelas kak Raga terhenti

“Penganiyaan? Maksudnya mas?” tanya kak Alma yang duduk disamping kak Raga

“He’em jelasin dong kak, masa sepotong-sepotong?” bujuk Ani

“Lha ini mau jelasin malah kaliannya yang tanya-tanya terus. Lanjut gak nih?” ucap kak Raga dengan senyum khasnya. Kami semua mengangguk.

“Begini, ada seseorang yang mengalami penganiyaan dan melaporkan ke pihak polisi. Penganiyaan terjadi didaerah wisata yang biasa dijadikan kemping. Dan tepatnya pas malam tahun baru. Korban ada tiga orang, dan yang melaporkan adalah masing-masing dari orang tua korban. Mereka melapor secara bersamaan, begitu” jelas kak Raga

Aku kembali memandang kak Raga dalam sekali. Kurasakan Ani tiba-tiba memelukku dari belakang. Kak Raga tersenyum dengan Kak Alma yang bersandar pada bahunya. Aku semakin bertanya-tanya, kenapa tadi kak Raga bilang “pokoknya” kemudian “dia”. Siapa sebenarnya dia?

“Ana, Kalau mau tanya, tanya saja” ucap kak Raga

“Eh, itu kak... yang menganiyaya, kok kak Raga kelihatannya tadi....” suaraku merendah dengan kedua ujung telunjuk jariku aku sentuh-sentuhkan

“Penasaran ya? ha ha ha... kakak juga, tapi kalau dari keterangan Mas-nya kak Raga. Pasti kalian akan berpikiran sama dengan kak Raga” ucapnya, kami semakin terkejut.

“Cepet kak, cerita kak, cerita...” paksaku

“Ha ha ha... Iya...”

“Kalian tahu pelakunya?” tanya kak Raga duduk dengan kedua siku bertumpu pada lututnya. Kami berdua menggelengkan kepala

“Pelakunya, orang yang culun” jawab kak Raga

“Eh, B-beneran Bos?” tanya Bobo, bahkan baba mempertegas pertanyaan Bobo. Kak Raga mengangguk dan tersenyum.

Pikiranku seakan kembali ke masa dimana kak Raga menceritakan tentang kak Arta. Kalau aku ingat kak Raga pernah bercerita bagaimana kak Arta melumpuhkan Pak Pengu. Dan sisi dimana kak Arta tampil sangat berbeda dengan kak Arta yang kami lihat. Kak Raga pernah bercerita kalau kak Arta selalu berpenampilan aneh tidak sesuai dengan jati dirinya sendiri ketika diluar sana. Pertama kali kak Arta berkelahi dengan tiga anak buah bang Jali, dari cerita kak Raga, kak Arta bukan kak Arta yang kami lihat. Kak Arta berpenampilan culun.

“Kak Anaaaa...” rengek Ani, aku menenangkan Ani

“Kak Raga... itu... kak..” ucapku

“Bisa jadi...” ucap kak Raga,

Suasana menjadi hening.

“Sudaaaaah... kalian semua tenang, Arta tidak mungkin melakukan hal itu tanpa sebuah alasan. Semenjak aku bertemu dengan Arta, cerita dari Jali, dan juga ketika aku harus berhadapan dengan Pengu. Arta selalu melakukannya karena ada sebuah alasan yang harus dia lindungi. aku yakin, pasti ada alasannya...” ucap kak Raga, memandang kami berdua dengan senyuman khasnya

“Kalian yakin kan kalau kakak kalian itu orang baik?” tanya kak Raga ke arah kami. kami berdua langsung mengangguk tak ada keraguan dalam hati kami tentang kak Arta.

“Adek juga mas...” jawab Kak Alma. Kak Raga langsung mengelus kepala kak Alma. Wajar, kak Alma begitu percaya ke kak Arta sekarang.

“Sudaaah... belum tentu kan kalau memang benar Arta, bisa juga orang lain. Kalian tenang saja, kak Raga akan mencari tahu alasannya jika memang benar itu adalah Arta. Kalian tenang saja ya...” ucap kak Raga

Kami tersenyum. Aku dan Ani yakin benar kalau kak Arta tidak akan melakukan sesuatu hal buruk tanpa sebuah alasan. Masalahnya ya itu, kak Arta kalau di bantah dikit aja langsung mengkeret hi hi hi.

Selepas mengobrol santai di pinggir kolam renang, aku dan Ani kembali ke kamar. Ani memeluk bantalnya, tidur miring menghadapku. Tampak sekali kekhawatiran di wajah adikku ini. Apalagi setelah pembicaraan tadi.

“Kak... kalau benar itu kak Arta, dan itu... kak Arta masuk penjara bagaimana? Siapa yang bakal lindungi kita?” tanya Ani dengan wajah takutnya

“Yakin, kalau pun itu kak Arta, semuanya pasti akan baik-baik saja. tenang ya?” tenangku pada adikku

“SMS kak Arta cepetan kak, tanyain kak Arta lagi ngapain. Cepetan kaaaaak...” rengek Ani

“Iya.. Iya...” jawabku,

Aku kemudian bangkit dan mengambil sematponku.

To : Kak Arta
Kak, kok gak pernah kasih kabar Ana sama Ani sih?
JAHAT! :p

Lama tak ada balasan

To : Kak Arta
Kakak kemana sih?

Lama kemudian masih belum ada balasan

To : Kak Arta
Kak, Beneran nih kami khawatir sama kakak

Lama kemudian baru ada balasan.

From : Kak Arta
Maaf, kakak tadi sibuk
Gimana kabar kalian?

To : Kak Arta
Baik, kakak sendiri bagaimana?
Kakak gak kenapa-napa kan?

From : Kak Arta
Baik adikku...
Gak kenapa-napa :)

To : Kak Arta
Bener? Jujur?
Kakak udah janji lho sama Ana dan Ani, ingeeeet

From : Kak Arta
Iya, jujur :)

To : Kak Arta
Ya udah, Ana ma Ani mau bobo,
Ucapin met bobo kak,

From : Kak Arta
Met bobo Ana dan Ani adikku tercantik dan tersayang
Semoga selalu mimpi indah,
Kakak sayang kalian sebagai adik kakak :)
Kakak akan selalu melindungi kalian, adik-adikku :)

To : Kak Arta
Teria kasih kakakku yang jelek :p

From : Kak Arta
Ha ha ha... iya adikku yang cantik :)

“Kak itu beneran kak Arta gak kenapa-napa?” tanya Ani yang sedari tadi melihat isi smsku

“Beneran, percaya sama kak Arta. Dia kan kakak terbaik kita dik, bener kan?” tenangku. Ani mengangguk pelan.

“Sudah malem, bobo yuk?” ajakku, Ani mengiyakan.

Ku peluk Ani dengan sangat erat. Hanya dia yang tersisa dari keluargaku. Hanya dia yang selalu mengingatkan aku kepada Ibu. wajahnya mirip sekali dengan Ibu, sangat mirip. walau hanya ada Ani aku tidak merasa sendiri bersamanya. Kini aku memiliki keluarga yang lebih besar. Dan yang membuatku merasa tenang adalah kak Arta. Entah kenapa kehadiran dia sebagai kakakku memberikan kami rasa aman.

Kak, aku tahu dan yakin kalau kakak akan melindungi kami. Dan aku yakin, disana kakak sedang ada sesuatu yang tidak bisa kakak katakan kepada kami berdua. Karena kakak pastinya tidak ingin membuat kami bersedih. Kami janji kak, tidak akan membuat kak Arta merasa sedih. Tapi, aku harap kakak juga tidak membuat kami sedih. Selalu tersenyum untuk kami kak, sesulit apapun itu. Jaga kami, lindungi kami. Dan, Ana-Ani janji akan jadi adek yang baik untuk kakak.

Selamat tidur... selamat malam kakakku
 
Yes updet......
 
Scene 46
Karena Yang Lalu Bukan Yang Sekarang



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia

Aku duduk dipinggir kasur dalam kamarku. Merenung. Semalam Ana menanyakan kabarku. Hah, kenapa aku bisa melupakan kedua adikku? mungkin harusnya aku selalu berkomunikasi dengan mereka.

“haaaaahhhss....” kupejamkan mataku

“Ainun...” bathinku

To : Ainun
Terima kasih telah menemaniku
Kemarin

From : Ainun
Sama-sama :)
Jadi diri sendiri ya sayang...

To : Ainun
Iya, :)

From : Ainun
Hmm...

To : Ainun
Iya sayang...

From : Ainun
Iiih, ada anak muda godain bu RT-nya
Hi hi hi...
Dah, cepetan berangkat sayang :)

Benar-benar aneh sekali dengan kehidupanku. Ainun, baru saja aku mengenalnya tapi kenapa dia bisa sampai merasa nyaman sekali bersamaku. Padahal hanya teman ngorbol saja, bisa sampai sedalam ini. Apakah aku pantas untuk mengharapkannya? Sedangkan dia selalu mengatakan “tidak mungkin bersama”. Ahhh, aku tidak tahu jalan pikiran wanita.

Kulihat kembali atap kamar kontrakanku dari dalam kamarku. Genting-genting berjajar saling menumpuk. Berkerjasama untuk menutupi bagian dalam rumah ini. Agar tidak panas dan tidak terkena hujan. Begitupula dengan aku dan ketiga sahabatku dulu, bersama untuk menyongsong masa depan. Tapi jalan yang kami pilih salah. Hmm.. bukan salah tapi kurang benar. Tidak seperti genting-genting itu yang tertata rapi. Seandainya dulu kami tidak seperti saat itu, mungkin. Ah, itu hanya seandainya tapi semua sudah terjadi.

“Andri, Aku akan mewujudkan impian kita. Aku akan tetap disini untuk menuntut ilmu.” bathinku

Selepas aku ber-SMS dengan Ainun, aku kembali bersiap-siap untuk berangkat. Bangkit dari dudukku dan mengambil pakaian yang di belikan Ainun kemarin. Aku memakainya, pas. Ternyata dia memang benar-benar tahu ukuranku. Dasar wanita, sangat misterius.

Aku melangkah keluar dari kamarku. Terhenti sejenak ketika melihat ruangan kecil yang biasa aku gunakan untuk bercanda dengan kedua sahabatku. Lagi-lagi ingatan akan tawa muncul dalam pikiranku.

Titit titit...

From : Andrew
Kemari lu!
Atau gak kenal ama gue!

To : Andrew
Iya Ndrew, iya

Andrew, andrew, hah! Aku akan datang ke tempatmu sekarang. Kulanjutkan langkah... eh, aku kan belum ngrokok. Buat teh hangat dulu sajalah, sambil ngrokok, baru kemudian ke Andrew. Palingan disana sudah ada banyak orang. Sebenarnya gugup juga kesana dengan jati diriku yang asli. Sebentarlah. Sebatang atau dua batang atau tiga batang atau empat batang atau... terlalu lama. Sebatang saja.

Baru setengah batang sembari meminum teh hangat. Kembali sms dari Andrew masuk. Dan, sialnya dia sama cerewetnya dengan Andri. Benar-benar mengingatkan aku kepada Andri kamu Ndrew. Segera setelah SMS masuk aku melangkah keluar kontrakan.

Sssshhh... huuuufttthh....

Udara segar tidak seperti dalam kontrakanku yang penuuh dengan asap rokok. Kunyalakan satu batang dunhill kembali, dan kembali aku melangkah ke depan gang. Perasaan gugup masih menyertaiku tapi masa bodohlah. Aku harus tetap kesana dan harus melanjutkan kuliahku. Kalau aku tidak kesana, bagaimana aku akan menghadapi teman-teman ketika kuliah nanti? Aku ingin sekali mewujudkan mimpi-mimpiku.

Setelah menunggu beberapa saat didepan gang. Ku berhentikan taksi berwarna biru. Jujur saja kalau naik angkutan umum, aku tidak tahu harus turun dimana. Dengan berbekal sms, aku katakan tujuanku kepada sopir taksi. Aku mengira perjalanan akan memakan waktu yang lama. Tapi hanya sekitar 45 menit perjalanan aku sudah sampai di Rumah Sakit Kota.

Gedung yang megah, mungkin memang hanya ada dikota saja. Di desaku tidak mungkin ada Rumah Sakit yang bertigkat seperti ini. Aku masuk, pintu terbuka sendiri tanpa harus aku membukanya. Keren! Heran aku, heran. Hal pertama yang harus aku lakukan, bertanya ke bagian informasi. Setelah celingak-celinguk kanan dan kiriku untuk mencari bagian informasi. Dan tak harus menunggu lama, aku menemukannya.

Lhadalah, setelah aku dekati mbaknya cantiknya puol. Pake kerudung putih, senyumnya manis lagi. Aduh kenapa pikiranku malah tentang kecantikan mbaknya. Fokus Ar, fokus.

“Bisa saya bantu mas?” tanya mbaknya dengan sigap ketika aku mendekat ke meja bagian informasi

“Eh, anu mbak, itu... pasien bernama Andrew Nugraha dimana ya?” tanyaku gugup

“Oh ya mas sebentar saya ceknya dulu” ucap mbaknya

Setelah mengecek di komputer. Mbaknya kemudian menjelaskan kepadaku lantai beserta nomor kamar Andrew. Beberapa kali aku bertanya kembali karena memang masih asing bagiku. Setelah yakin aku mengucapkan terima kasih kepada mbaknya dan...

“Eh, mbak sebentar tanya lagi ndak papa kan mbak?” tanyaku kembali

“Iya mas” jawab mbaknya, dengan senyum manisnya. Sama sekali tidak kelihatan jengkel.

“Emm, gini mbak. Ada tempat buat ngerokok ndak ya mbak? tanya saja mbak, sapa tahu ada” tanyaku

“Haduh masnya ini, di rumah sakit kok malah merokok. Temen mas itu kan ada dilantai paling atas. Mas-nya bisa ke atap gedung mas lewat tangga disamping lift. Masnya coba nanti nengok ke samping kanan lift, itu kan ada tangga. Mas-nya naik saja, ada kok tempat buat merokok disana. Atau kalau gak, ya masnya waktu keluar dari lift nengok ke kiri, itu kan lorong. Mas-nya ikuti saja lorong itu, nanti ada tulisannya “Smoking Area”, gitu. Tapi inget tutup pintunya pas ngrokok! Biar gak masuk ke ruangan!” jelas mbaknya

“I-iya mbak” aku sedikit takut, mbaknya jadi sedikit galak

“Ngrokok gak baik mas, kasihan sama diri sendiri napa!” ucap mbaknya sedikit keras

“Eh, i-iya mbak, iya” jawabku

“Berhenti ngrokok!” sekali lagi mbaknya berucap keras

“I-iya mbak, iya... terima kasih mbak” aku langsung melangkah cepat meninggalkan mbaknya

Haduh bener deh, semua cewek apa memang ndak suka sama cowok yang ngrokok ya? eh, sebentar, tadi mbaknya bilang lift? Berarti sama dengan dulu ketika aku diajak mas Raga. Lha tapi dulukan yang mencet-mencet si Ana dan Ani. Aku bingung sendiri. aku diam sejenak didepan lift ini, tiba-tiba seorang Ibu-ibu dengan kerudung putihnya berada disampingku. Entah kapan dia datang. Dan aku masih disini, bingung cara membuka lift ini, hmm.

“Bu, bu... kalau mau ke lantai atas bagaimna caranya ya bu?” kuberanikan diriku bertanya kepada ibu-ibu tersebut. Sejenak ibu tersebut memandangku dari atas hingga bawah.

“Gak pernah naik lift ya mas?” tanya ibu itu kepadaku. Aku menggeleng.

“Mas nya mau ke lantai berapa?” tanyanya kembali, aku jawab sesuai dengan apa yang dikatakan oleh mbaknya informasi.

“Ya udah, sama saya. Saya juga mau kelantai atas” ucapnya,

“iya bu, terima kasih” jawabku

Ting...

Baru saja aku selesai berbicara dengan si Ibu. Tiba-tiba terdengar bunyi “ting” dan pintu besi itu terbuka. Sesaat kemudian, aku diajak masuk oleh si Ibu. Ibu itu sedikit mengajariku mengenai pengoperasiannya. Didalam lift, Si Ibu kembali bertanya-bertanya kepadaku. Si Ibu ini kelihatan penasaran denganku, sedari tadi selalu melihat wajahku. Kemungkinan besar dari logat daerahku yang terlalu ndeso ini. Selama didalam lift aku berbincang dengan si Ibu. Si Ibu dikasih cerita malah senyam-senyum sendiri ini.

“Masnya itu lucu ya?” tanya Ibunya

“Eh, ya begini ini saya bu. Memang dasarnya saya itu deso” jawabku

“Desanya mana mas? Saya itu dulu juga dari desa lho mas” lanjut ibunya

“Ya, desa pokoknya bu, desa he he he malu saya bu” jawabku kembali

“Iya, iya. Oia, dari manapun asalnya, masnya jangan minder saja kalau berada di kota, ya? tetep semangat belajarnya” ucap Si Ibu dan aku mengiyakannya

“Jujur saja saya itu familiar sama wajah mas-nya. Mas-nya itu mirip lho sama Ayah saya, tapi sudah lama saya itu gak pernah mengubungi Ayah saya. Jadi tidak tahu kabar mengenai beliau” lanjutnya

“Ah, masa sih bu? Kebetulan saja kali he he sama-sama orang ndeso bu” jawabku singkat

“Ya mungkin memang kebetulan saja, tapi kalau kebetulan, kenapa bisa ketemu disini ya mas?” kembali si Ibu bertanya kepadaku

“Namanya juga kebetulan ketemu bu, dan kebetulan mirip. Jodoh mungkin bu” jawabku sekenanya. Tapi kalau aku mirip Ayahnya, kalau aku saudaranya kenapa si Ibu ndak ada mirip-miripnya sama keluargaku ya? he he he... tambah konyol pikiranku ini

“Hi hi hi benar mas kebetulan mas hi hi hi” jawabnya, eh cara si Ibu ini ketawa...

Ting...

“dah sampai mas” ucap Ibu tersebut mengajakku keluar dari Lift. Buyar sudah lamunanku.

“Eh iya bu” jawabku, aku mengikuti Ibu tersebut keluar dari lift

“Nah, mas-nya kalau ke kamar nomor 17, lurus saja mas” ucap Ibu tersebut

“I-iya bu, terima kasih” aku membungkuk sembari mengucapka terima kasihku

“Iya sama-sama, Ibu seneng ketemu sama mas-nya. Sopan banget” Ibu itu menimpali

Sejenak kami mengobrol dan kemudian Ibu tersebut pamit terlebih dahulu. Si Ibu kemudian berjalan ke arah lorong kanan. Aku perhatikan dari belakang, Ibunya ternyata cantik juga. Dari percakapan dengan Si Ibu tadi, Ibunya ternyata mudah sekali akrab denganku. Mungkin memang kami berjodoh untuk bertemu. Mungkin.

Sejenak aku melihat ibu itu melangkah menjauh. Sembari melihat si Ibu, aku menengok ke kanan lift. Ternyata memang benar ada tangga disana. Berarti yang lorong kiri, ada ruang untuk merokok juga. Berarti aman, aku bisa merokok disini.

Dari lift aku melangkah maju, sesuai dengan apa yang dikatakan mbaknya. Setelah mencari-cari akhirnya aku menemukannya. Kamar nomor 17, aku sudah berada didepannya sekarang. Kuhela nafas panjang, agar rasa gugup ini hilang.

Tok... tok... tok....

“Permisi..” ucapku sedikit keras. Segera aku raih gagang pintu dan membukannya.

Kleeeek...

Aku masuk dan semua mata tertuju kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum untuk menutupi kegugupanku. Segera aku masuk, berbalik menutup pintu. Aku masih menghadap ke pintu. Ku hela nafas panjangku kembali. Sesaat kemudian, ku balik tubuhku perlahan.

“Ha-hai...” ucapku gugup. Tak ada balasan sama sekali.

Winda memeluk erat Desy. Desy tersenyum melihatku sembari memeluk Winda yang tampak ketakutan melihatku. Dina yang menjatuhkan sebagian tubuhnya di kasur Andrew, melihatku heran. Dini berdiri bersedekap memandangku heran juga. Kepalanya kadang miring ke kanan dan kekiri. Irfan dan Johan, yang duduk pada kursi dan bersandar pada tempat tidur Andrew. Bersedekap dan tersenyum melihatku. Salma, Tyas dan Dinda, mereka juga tersenyum ketika melihatku.

Helena, dia tersenyum. Sedangkan Andrew, bibirnya datar sembari geleng-geleng.

“Siapa ya masnya?” tanya Johan

“Eh...” aku sedikit terkejut

“Mau nengok siapa mas-nya?” lanjut Dinda

“Eh, siapa sih dia?” Dina menimpali

“Gak tahu gue, coba tanya Dini” jawab Salma

“Eh, kok gue. Coba gue ingat-ingat... hmm... gak ingat gue-nya. lu tahu yas?” jawab Dini

“Hmmm... sama Din, gue juga gak tahu siapa sebenarnya yang berdiri dihadapan kita ini. Han, Fan, kalian tahu?” balas Tyas

“Eh, ini a-aku... Ar...” ucapku terpotong

“Mana kita tahu, liat aja baru saja!” ucap mereka bersamaan

“Sebentar-sebentar, tante jadi bingung. Kalian tidak kenal sama dia?” ucap seorang Ibu-ibu yang tiba-tiba saja berdiri dari duduknya. Mereka semua kompak menggelengkan kepala ke arah Ibu tersebut. Ibu tersebut kemudian mendekatiku, aku semakin gugup.

“Saya ibunya Andrew, yang terbaring sakit itu. Nama kamu siapa?” tanya Ibu tersebut kepadaku

“Ar-arta bu...” jawabku

“Oh, lha Arta kenal sama mereka semua? Atau mungkin Arta salah kamar?” tanya Ibu Andrew

Ini kenapa malah tambah membingungkan. Apa benar-benar mereka tidak mengenaliku sama sekali ya? adakah yang benar-benar berubah dariku? Hufth, ya sudahlah. Tapi kalau kulihat wajah mereka, seperti orang yang sedang mengerjaiku.

“Ma-Maaf bu, i-ini kamar nomor 18 kan?” tanyaku berbalik ke Ibunya

“Ini nomor 17” ibu Andrew lembut sekali ketika menjawab.

“Be-Berarti saya salah kamar bu, maaf... saya ijin ke-keluar dulu bu” aku membungkuk ke Ibu tersebut

“Iyaaa, gak papa Ar” jawab Ibu tersebut

Aku berbalik dan menghada ke pintu. Ketika baru satu langkah dari tempatku berdiri.

“Mah, minggir dikit” aku mendengar Andrew berteriak sedikit keras dibelakangku

Praaak...

“Achh....” sebuah benda tepat mengenai belakang kepalaku. Aku lihat sebuah piring plastik jatuh didepanku. Kuraih kemudian bangkit dan langsung berbalik.

“Sakit, woi! Siapa tadi yang lempar!” ucapku sedikit keras. Dengan satu tanganku mengelus bagian kepala yang terkena piring tersebut

“Dasar Curut!” bentak Andrew

Sesaat, setelah aku mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Andrew. Aku terdiam, melihat Andrew yang tersenyum kepadaku. Kuliat bayangan Andri ada didalamnya. Aku menunduk, senyumku mengembang.

“Lho kalian sebenarnya saling kenal atau tidak?” tanya ibu Andrew

“Tidak mah, tidak kenal. Sama sekali tidak kenal. Kalau saja dia tidak kuliah bersama kami semua” jawab Andrew

Aku mengangkat kepalaku, kembali aku tersenyum.

“Maaf...” hanya itu yang keluar dari mulutku

Tiba-tiba saja, Dina. Mendekatiku. Kedua tangannya merangkul pundakku. Satu tangannya kemudian menaikan daguku.

“Arta ya?” tanya Dini, kedua tangannya kini menjalar merangkul leherku. Pandangannya bagaimana gitu, hmm.

“Eh, i-iya n-na’...” aku gugup

“Gantengnyaaaaa....” ucapnya, bibirnya digigit bagian bawahnya

“Eh, i-itu a-anu...” aku benar-benar gugup

“Arghh...”

“Sakiiit Naaaaa’...” suaraku menjadi cempreng, karena hidungkudi betet keras oleh Dina

“Ayo ngaku, lu kan yang ada di median malam itu, ayo ngaku! Ngaku!” Dina terus membetetku sangat keras

“I-iya... iyaa... maaf na’, maaf, sakit naaaa’...” Dina melepas. Aku memegangi hidungku yang terasa sangat saki setelah di betet Dina.

“Mmm... maaf Arta sayang, maaf ya hi hi hi” Dina kini berdiri dan bersandar pada kasur Andrew. Tawanya membuat seisi ruangan tertawa. Tapi Ibu Andrew tampak masih bingung.

“Ini kok gak ada yang jelasin ke tante?” tanya tante

“Maaf tante sebentar...” ucap Desy mendekatiku

“Kalau begini kalian dah kenal apa belum?” Desy memakaikan kembali kacamataku. Kulihat dia sudah tidak lagi jengkel denganku. Kini dia berada tepat disamping kananku.

“Ooooo Arta si culun... Ha ha ha ha...” teriak mereka bersama, kecuali Winda yang terlihat masih sedikit takut kepadaku

Aku menggaruk-garuk kepalaku. Kepalaku tertunduk dan hanya bisa tersenyum ketika mendengar tawa mereka. Irfan mendekatiku sebentar, memukul bahu kananku.

“Keren lu” bisiknya ditelingaku ditengah tawa mereka semua

“Eeeeh... ini malah pada ketawa kok gak ada yang cerita sama tante?” tanya tante membuat semua yang tertawa memperhatikannya

“Tuh Umi aja yang jelasin” kata Dini kepada Ibu Andrew, sembari menunjuk ke arah Desy

“Pah, temen-temen kakak aneh banget ya?” tanya seorang gadis kecil kepada seorang lelaki

“Coba kamu tanya mamah kamu itu atau kak Andrew” ucap Lekaki tersebut. Kalau dilihat dari kata-katanya, dia adalah Ayah dari Andrew. Sedangkan gadis kecil tersebut adik Andrew.

Desy kemudian menyela. Dia menjelaskan kepada Ayah, Ibu dan Adik Andrew tentang siapa aku ini. Memang benar jika Desy adalah perempuan yang dewasa seperti yang aku lihat. Dari setiap kata-kata yang dia ucapkan, sangat padat. Dia tidak menjelaskan terlalu detail kejadian malam itu. Sesekali dia melirik ke arahku, mungkin untuk memastikan emosiku. Bisa dibilang kata-kata yang keluar dia sesuaikan, agar tidak terlalu membuatku sedih.

Setelah penjelasan Desy, Ibu Andrew pun mengenalkan aku pada Ayah dan Adik Andrew. Dan benar sesuai dugaanku, Lelaki tersebut Ayah Andrew sedangkan gadis kecil itu Adik Andrew. Ibu Andrew tampak senang sekali karena aku telah menyelamatkan hidup Anaknya. Dipegangnya kepalaku dan dipeluknya.

“Mmmmh... makasih ya Ar. untung ada kamu, coba kalau tidak ada. Tante pasti kelimpungan” ucapnya tersenyum kepadaku.

“Iiih, mamah kok gitu. Peluk-peluk cowok didepan papah” cetus Ayah Andrew

“Eh, papah. Kan ini ucapan terima kasih mamah sama Arta, jangan cemburu dong” jawab Ibu Andrew

“Tidak pokoknya papah cemburu” balas Ayah Andrew

“Eeeeh, jangan marah dong pah” ucap mamah Andrew, mendekati Ayahnya sekaligus merayunya. Semua tertuju pada pasangan kekasih yang bisa dibilang seumuran dengan orangtua kami. Tampak mesra sekali, aku tersenyum melihatnya.

“Aaa... tante mesra sekali, aku jadi pengen kaya tante sama om kalau sudah menikah” ucap Dina yang tiba-tiba mendekati orang tua Andrew

“Pah, Mah... kalau mesra-mesraan jagan disini napa. Malu banyak temen Andrew” ucap Andrew

“Kan sudah sah, makanya Helen cepetan kamu nikahi. Dasar cowok, sukanya menunda-nunda hi hi“ canda Ibu Andrew

“Kan Anderw masih sekolah...” balas Andrwe tak mau kalah.

“Ha ha ha ha..” tiba-tiba tawaku pecah.

Aku benar-benar merasakan bahagia saat ini. tanpa kusadari hanya aku yang tertawa. Dan sesaat kemudian aku baru benar-benar sadar jika semua orang yang berada dalam ruangan memperhatikanku.

“ha... ha.... haha... ha... ha...”

“Eh, i-itu... a-anu... ma-maaf... anu itu... apa ta-tadi... anu” ucapku sembari kedua tanganku menunjuk ke arah kanan dan kekiri. Aku kemudian menengok ke arah Desy.

“Lu-lucu kan Des?” tanyaku. Desy menggeleng. Kembali aku mengarahkan pandanganku ke arah teman-temanku.

Dina mulai tertawa, diikuti yang lainnya. Suasana menjadi riuh dan ramai, menertawai kepolosanku atau mungkin kebodohanku. Kalau sudah begini, akupun cuma bisa mringis. Pelan aku menundukan kepala sembari menggaruk-garuk kepalaku. Merasa bodoh dan bahagia, itulah yang aku rasakan sekarang.

Tiba-tiba aku merasakan legan Desy menyenggol tubuhku.

“Tuh kesana jangan berdiri disini terus, itu teman-teman kamu. Sana samperin satu-satu” ucap Desy tanpa memandangku sama sekali. Namun sesaat kemudian dia melirikku dan tersenyum. Benar-benar sangat manis kali ini ketika aku melihatnya.

Aku mendekati mereka. Irfan dan Johan merangkulku. Sedikit pukulan pada perutku. Salma, Dinda dan Tyas satu persatu menyalamiku. Sedikit cubitan pada pipiku. Sakit juga ternyata cubitan mereka bertiga apalagi bersamaan. Dini mendekatiku, mengucek-ucek rambutku. Sedikit ada kenangan masa lalu ketika rambutku diucek-ucek Dini. Baru saja aku tersenyum, tiba-tiba Dina dengan kedua tangannya mencubit pipiku. Keras sekali, terasa sangat sakit sekali. Susah melepaskan cubitan Dina.

Dan yang paling aneh adalah Winda. Wajahnya sedikit ketakutan. Tiba-tiba Desy dari belakang mengatakan kepadaku kalau Winda sempat ketakutan beberapa hari ini. dipeluknya Winda dari belakang oleh Desy dan didorong kedepan. Kusalami Winda. Mungkin memang benar, malam itu aku seperti binatang buas. Yang terkhir Ibu, Ayah dan adik Andrew. Tak lupa aku salim ke orang tua Andrew.

Yang terakhir, Helena dan Andrew.

“Len..” ucapku mendekatinya. Dia bamgkit dari duduknya.

“Makasih ya Ar, sekali lagi terima kasih” lanjutnya sedikit matanya berkaca. Aku mengangguk.

“Sudah jangan lama-lama lu! Salaman lama banget!mau rebut Helen dari gue!” bentak Andrew

“Eh, mas apaan sih, enggak...” bela Helen. Aku tersenyum.

“Ngapain lu senyum-senyum!” ucapAndrew sedikit keras

“Ndak tahu ndrew he he he” ucapku dengan tangan menjulur ke arahnya

Kami berjabat. Mungkin dia memang mirip dengan Andri. Tapi ada perbedaan antara Andrew dan Andri. Berbeda. itulah yang aku rasakan.

“Yang, biar Arta duduk dulu di kursi ya?” tanya Andrew kepada Helena. Helena mengangguk. Kini aku yang berada di samping Andrew.

Aku hanya duduk. Mereka semua bercanda. Aku dan Andrew melihat mereka bersamaan. Tak ada tegur sapa antara aku dan Andrew.

“Mah, temen-temenku diajak makan napa? Ditraktir gitu, kasihan mereka belum pada makan” pinta Andrew kepada Ibunya

“Eh, iya... lha kamu mau ditinggal sendiri?” tanya Ibu Andrew

“Arta dibungkus saja. dia yang menemaniku di kamar” ucap Andrew. Ibunya tersenyum dan mengangguk pelan.

Sesaat kemudian mereka diajak oleh keluarga Andrew makan malam. Tak ada yang protes. Satu persatu mereka mulai meninggalkan ruangan.

“Woi, jangan pacaran ya! ingat, cewek masih banyak di dunia ini ha ha ha” teriak Johan ketika hendak menutup pintu

“Kampret!” teriakku bersamaan dengan Andrew

Suasana menjadi hening. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan riuh canda dari teman-temanku kini menjadi sepi. Suara AC dalam ruangan terdengar sangat jelas. Tiba-tiba pukulan ringan di lenganku.

“Elu lihat tadi?” tanya Andrew.

“Apa?” jawabku kembali bertanya

“Mereka, sahabatmu. Ramaikan? Masih punya pikiran mau pergi?” tanyanya. Aku tersenyum

“Tidak, aku akan tetap melanjutkan kuliahku. Dari mana kamu tahu aku akan pergi? Samo?” jawabku kembali bertanya kepada Andrew

“Tidak, dia tidak cerita. Hanya saja, Dini menceritakannya kepada kami semua sebelum dia pulang kemarin” jawabnya

Hening sesaat...

“Ar...” ucap dia seraya bangkit hendak duduk tegak

“Sandaran saja” ucapku menahan, tapi tangannya menepisnya dengan pelan. Kini dia duduk tegak didepanku. Aku berada disampingnya.

“Elu tahu kenapa lu ada sampai saat ini?” tanyanya, aku menjawab dengan menaikan kedua bahuku

“Karena masa lalu Ar...” jawabnya, dengan sedikit pukulan dikepalaku

“Karena masa lalau, lu ada dimasa sekarang. Karena masa lalu, setiap orang datang ke masa depan. Dan ketika dia berada dimasa depan, berarti dia berusaha untuk tetap tegar melanjutkan jalan yang dia pilih sekalipun masa lalunya sangat pahit. Dan salah satu dari orang itu adalah Elu, kampret! Ha ha ha...”

“Hufth... Aku yakin, Elu adalah orang yang sangat dibutuhkan sahabat-sahabatmu saat itu bahkan sampai sekarang. Aku dan yang lainnya, membutuhkanmu. Bukan sebagai sesorang yang bukan dirimu. Tapi yang kami butuhkan adalah dirimu Ar”

“Jika elu merasa bersalah pada Andri, di masa itu. Perbaiki...”

“Apakah dengan melihat gue, elu ngrasa kembali ke masa lalumu?” tanyanya. Aku sedikit mengangguk. Terus terang memang benar, aku sedikit kembali ke masa itu.

“Itukah sebabnya, elu sering menghindar ketika kita ngajak lu pergi?” lanjutnya bertanya. Dan aku menganggguk pelan.

“Takut kejadian itu terulang kembali?” pertanyaanya memberondongku dan aku hanya sanggup mengangguk menjawabnya.

“Elu bodoh Ar” ucapnya

Suasana menjadi hening. Aku tertunduk lesu. Beberapa kali pikiranku pergi, melayang entah kemana. Semua aku lakukan, menghindar memang sedari awal tujuanku agar aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Tapi kepolosanku, menunjukan jati diriku sebenarnya.

“Benar apa katamu, tapi semua aku lakukan agar tidak terjadi lagi Ndrew. Dan kenyataanya sekali aku bersama kalian, kejadian itu hampir terulang dan...” ucapku terhenti

“Gue bukan Andri Ar” ucapnya pelan memotong ucapanku. aku langsung menandang ke arah Andrew. Dia memandangku dan tersenyum.

“Lihat apa yang telah lu lakuin ke Helena” aku sedikit terkejut ketika mengatakannya

“Helen dah cerita banyak ke gue Ar. dan elu tahu, kalau saat malam itu lu gak ada disitu. Lu bakalan lebih nyesel dari yang sekarang” ucapnya

“Kristian nyari Helen. Dan... lu bisa bayangin kalau lu gak disitu?” aku kembali menunduk mendengar perkataan Andrew. Benar, awal kejadian itu adalah kejadian antara Kristian dan Helena.

“Mungkin, bukan lu aja yang nangis. Gue bakalan nangis lagi, dan ketika lu lihat gue nangis. Lu bakalan kejebak sama masa lalu lu lagi. Karena gue mirip Andri, dan lu gak bakalan bisa nyangkal itu” tak berani aku melihat mata lelaki yang berada didepanku. Aku tertunduk semakin lesu.

“Udah, itu kan seandainya. Dan keputusan yang lu ambil adalah tepat bro!” ucapnya menepuk kepalaku. Pelan aku mengangkat kepalaku.

“Benarkah?” tanyaku, dia mengangguk dengan acungan jempol ke arahku.

“Mulai sekarang jadi dirimu sendiri. kalau ada yang masih rusak, perbaiki. Kita semua disini keluarga, dan gue udah katakan sebelumnya kan? Kita bakal bantu lu” aku mengangguk menjawab pertanyaan Andrew

“Nah, tinggal sekarang bagaimana dengan lu, Ar?” tanyanya, matanya tajam meliatku

“Aku coba Ndrew” jawabku

“Siip! Gitu bro, jika ada yang berkaitan dengan masa lalumu dan membuatmu bersalah, perbaiki! Oke bro!” tangannya menjulur ke arahku dan aku langsung menangkapnya.

“Ingat Ar, Karena yang sekarang bukan yang lalu. Serpihan-seprihan itu, cobalah untuk direkatkan kembali.” Aku tersenyum dan mengangguk pelan ketika mendengar kata-katanya.

Sesaat kemudian terdengar tawa kerasnya. Aku pun ikut tertawa. Hingga kami tertawa bersamaan, semakin keras dan semakin keras. Membuat kesunyian ini menjadi sebuah keramaian. Walau tak seramai ketika teman-temanku, eh, sahabat-sahabatku berada dalam ruangan ini.

Selang beberapa saat mereka semua kembali ke dalam ruangan. Membawa bungkusan nasi.Desy memeberiku sebungkus nasi, terasa panas ketika aku memegangnya. Sedangkan mereka semua juga membawanya. Bukannya mereka makan di luar?

“Lho kok malah bawa makan sendiri-sendiri? mamahku gak nraktir kalian?” tanya Andrew

“Eh, enak saja. Papah yang traktir mereka, tapi pake uang saku kamu ha ha” canda AyahAndrew

“Lha? Kok gitu? Gak bisa to pah” protes Andrew

“Sudah, sudah... papah itu anaknya sakit masih saja diajak bercanda” ucap Ibu Andrew kepada Ayahnya

“Temen-temenn kamu itu yang gak mau makan disana. Ditambah lagi calon mantu mamah dari tadi sedih banget, mamah kan gak tega. Kaya mamah dulu, gak tegaan. Ya kan pah?” ucap Ibunya Andrew

“Iya mah, dulu mamah bener-bener malaikat papah. Sini mah, papah peluk dulu” ucap Ayah Andrew

“Iiiih papah, malu pah sama umur” sela adik Andrew

“Woi pacaran jangan disini!” ucap Andrew sedikit berteriak

Kami semua tertawa ketika mendengar adegan mesra orang tua Andrew dan tentunya Andrew yang sedikit malu karena tingkah orang tuanya.

“Makanya cepet lulus! Nikahi Helena, biar bisa pacaran di mana saja, tul gak mah?” tanya Ayah Andrew. Ibunya Andrew mengangguk.

“CIEEEE... dah dapet restu tuh, ciye....” teriak semua teman cewekku dan tentunya ditujukan ke Helena.

“Apaan sih” ucap Helena dengan rasa malu

Aku dan sahabat-sahabatku duduk dilantai bersama dengan Keluarga Andrew. Sedangkan Andrew disuapi Helena. Sejenak aku melihat tawa mereka. Tawa yang begitu aku rindukan. Apalagi ketika melihat Adik Andrew yang duduk ditengah-tengah Ayah-Ibunya. Tawa kebahagiaan ketika itu, ketika aku bersama Ibuku. Ah, benar-benar beruntung Andrew, masih lengkap.

Ku alihkan pandanganku ke sahabat-sahabatku. Tawa ini juga aku rindukan. Dulu hanya kami berempat. Tertawa sepanjang jalan pulang. Ada saja yang kami lakukan. Berjoged, melompat, bergaya layaknya seorang preman. Sudah lama aku merindukannya. Sudah teralu lama mereka berdua meninggalkanku sendiri di kontrakan. Seandainya ada mereka pulang seminggu sekali, aku tak akan begitu rindu akan semua tawa yang aku lihat sekarang.

“Ssst... kalau mau tertawa, tertawa saja, jangan ditahan” bisik Desy yang berada disampingku sembari menyendok nasi bungkusnya tanpa menoleh ke arahku. Aku memandangnya sejenak.

Benar. Aku punya mereka. Dan Aku juga punya Samo dan Justi. Mereka semua saling melengkapi. Tapi aku tetap harus berada diantara mereka. Tidak boleh lagi menjauh, tidak boleh lagi menyendiri. Aku, Samo dan Justi adalah satu. Aku dan mereka juga satu. Ya, aku adalah bagian dari mereka.

“Arta mau Dina, suapin? Sini sayang, Dina suapin” ucap Dina membuyarkan lamunanku

“Eh, A-anu, makan sendiri saja” jawabku spontan

“Hi hi... sudah gak papa kok, Dina rela kalau harus nyuapin Arta” goda Dina

Tawa mereka pecah seketika itu. Perlahan, aku mulai ikut tertawa. Tak ada yang salah kan jika aku ikut tertawa? Tidak ada salahnya kan jika aku ingin ikut bahagia? ya, benar tak ada yang salah. Yang salah hanya orang yang mundur dari dunia yang dia hadapai. Orang yan selalu menghindar dari kenyataan yang dia hadapi dan tidak mau menerima kenyataan pahit. Dan aku tidak ingin menjadi orang yang itu.

Acara makan malam yang indah. Tertawa bersama. Saling bercanda. Hingga malam semakin larut. Satu persatu tumbang. Ada dua tempat tidur. Satu diisi Salma, Dinda, dan Tyas sedangkan yang satunya Dini, Adik Andrew dan Winda. Desy dan Dina menggelar tikar sendiri, tikar tebal tepat di antara dua tempat tidur para wanita. Sedangkan Irfan, Johan dan Burhan tidur dilantai dengan tikar satunya lagi, tepatnya berada ujung ranjang. Sedangkan Ibu dan Ayah Andrew, sangat romantis. Ayah Andrew yang duduk bersandar memeluk sang istri.

Aku masih duduk sendiri. Tepat dipinggir pintu keluar kamar. Memandang mereka yang tertidur nyenyak sekali. Pelan aku berdiri dan keluar dari kamar menuju tangga untuk ke atap gedung. Langkahku masih segar, mataku masih menyala. Hingga diatas atap gedung aku melihat bintang-bintang didarat. Lampu-lampu itu menghiasi Ibu Kota.

Aku duduk dan bersandar pada pagar pembatas. Sebatang Dunhill aku sulut. Kuarahkan pandanganku melihat langit luas. Langit penuh bintang. Aku tersenyum, mereka masih saja sama. Indah untuk dipandang. Ya, ada salah satu cita-citaku disana. Sekalipun itu tidak bisa aku tunjukan kepadanya langsung, tapi aku bisa memperlihatkan kepadanya. Memperlihatkan kepadanya kelak, bahwa aku benar-benar bisa membahagiakan wanita terindahku. Ibu.

“Ehem....” Aku menoleh ke arah suara. Suara seorang perempuan yang aku kenal.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd