Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Change?

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Makin lama makin menarik cerita nya.... Gak sabar nunggu update nya.... Masi banyak misteri yg disimpan suhu DH, walau dah mulai dibuka pelan2
 
Scene 39
Hai Kawan


Sendiri dan terisak. Semua keramaian yang penuh kebahagiaan kini menjadi sepi. Dini, setelah mengantarku, dia kembali ke Rumah Sakit. Aku lelah, aku ingin beristirahat, tapi... bayangan yang baru saja terjadi menghantuiku. Aku benar-benar kacau. Haruskah aku bertahan? Atau pulang ke kampung halaman?

Ku tarik tasku, bangkit dan masuk ke dalam kontrakan dengan langkah malasku. Mataku masih sedikit rabun oleh air di kelopak mataku.

Jeglek...

Aku duduk dan bersandar pada tembok. Di sebuah ruang dimana aku dan sahabat-sahabat desaku sering berkumpul. Teringat bayangan kegembiraan bersama mereka. Bercanda, tertawa, saling memaki, tapi semua itu hanya di awal, ketika aku menginjakan kaki di kota ini untuk pertama kalinya. Sekarang? Entah dimana mereka. Mereka yang selalu mengatakan kepadaku akan menjagaku.

Lambat, kini terasa hawa dingin di sekujur tubuhku, tapi aku tidak mempedulikannya. Masih terisak. Aku tariku tasku dan kubuka, kuambil sebungkus Dunhill putih. Aku menyulutnya. Selalu ada kenangan disetiap asap putih yang menari. Kulihat atap kontrakan, masih sama seperti pertama kali aku melihatnya. Tapi dadaku terasa sesak, tidak sama dengan sebelumnya. Asap kini memenuhi suangan, sebatang Dunhill habis terbakar.

Aku bersandar, kakiku lurus, kepalaku menengadah ke atas. Mataku terpejam. Lambat laun, aku hanyut dalam kantukku. Terlelap dalam lelahnya malam dan lelahnya hati serta pikiranku.

.
.
.

“Eh, kenapa gelap?”

“Dimana ini?”

“Cahaya” aku melangkah menuju seberkas cahaya yang tiba-tiba muncul dihadapanku

Jrshhh... Jrshhh... Jrshhh

“Eh, ini?”

Sebuah pemandangan yang sudah tidak asing lagi bagiku. Air terjun di desaku dengan pelangi yang melengkung bawah air terjun. Baru aku sadari kegelapan itu telah menghilang dan kini aku berdiri di atas tebing. Tebing yang biasa aku gunakan untuk melompat dan terjun ke genangan air dibawah air terjun.

“Kenapa aku bisa disini?”

aaaaaaa“Ar...”

“Eh, suara ini...” tubuhku kaku ketika mendengar suara memanggil namaku.

aaaaaaa“Arta Byantara Agasthya...”

“Eh...” aku semakin terperanjat, tubuhku semakin kaku. Ini adalah suara yang sangat dekat denganku.

aaaaaaa“Arta ta ta ta ta ta ta ta...”

“Benar suara ini...” pelan aku membalikan tubuhku

aaaaaaa“Woi curut kampret!” (curut, jenis tikus tanah)

“Andri!” mataku terbelalak melihat seorang lelaki, berdiri tersenyum kepadaku. Tangannya bersedekap, itu adalah gaya khasnya.

aaaaaaa“Wo..oi... ha ha”

“Ndri, benarkah itu kamu, Ndri? Andri?”

aaaaaaa“Bukan! Ha ha ha"

aaaaaaa“Kampret! ya benar ini aku to Ar, Lupa sama aku? Gak tak belikan dunhill lagi lho”

“Ndri” Air mataku mengalir, tanpa berpikir panjang aku berlari ke arahnya

Brakkk....

Tubuhku menabrak sesuatu yang tidak aku ketahui. Membuatku jatuh terjengkang kebelakang. Aku mengaduh dan kemudian bangkit, meraba penghalang yang baru saja aku tabrak.

aaaaaaa“Ha ha ha Dasar ****** kamu Ar”

“Ndri...”

Air mataku mengalir, kulihat sahabatku tersenyum kepadaku. Mataku seakan tak percaya, senyum yang telah lama hilang kini kembali dihadapan mataku. Kembali kedua tanganku meraba penghalang tadi, seperti dinding namun tembus pandang. Dan tak dapat aku menembusnya.

aaaaaaa“Ha ha ha... curuuuuut curut! ”

aaaaaaa“Kita itu sudah berbeda Ar. Tetaplah disitu kawan, yang penting kita bisa ngobrol”


Dia duduk bersila, memandangku dengan tetap tersenyum. Aku tahu duniaku berbeda dengan dunianya, namun aku tidak bisa menerimanya. Aku bangkit dan mencoba merobohkan dinding penghalang ini. Tapi sayang, setiap pukulanku tak memberikan efek apapun tembok penghalang ini. Tembok ini masih kokokh berdiri walau tak tampak.

aaaaaaa“******! Berhentilah!” bentaknya, seketika itu aku jatuh berlutut melihatnya.

aaaaaaa“Sudah Ar, percuma. Apakah kamu akan menghabiskan waktumu untuk itu?”

aaaaaaa“Aku bertemu denganmu karena aku kangen denganmu Ar”


Aku hanya ingin memeluknya, memukul kepalanya dan menginjak kakinya. Itu yang sering aku lakukan kepadanya, kepada sahabatku, Andri. Salah satu sahabat terbaikku selain Samo dan Justi. Pelan air mataku mengalir.

“Ndri maafkan ak...”

aaaaaaa“Aku yang seharusnya minta maaf, bukan kamu ar”

Aku menggelengkan kepalaku, ku usap air mataku. Sebagai pertanda ketidak setujuanku.

“Tapi, awalnya adalah ak...”

aaaaaaa“Ar...”

aaaaaaa“Bukan, bukan salahmu tapi salahku. Cobalah kau ingat, dari awal”


Kembali aku melihatnya, dia tersenyum dengan kedua tangannya menyangga dagu.

aaaaaaa“Aku yang selalu mencari masalah Ar, bukan kamu. Tak terhitung, berkali-kali kamu menyelamatkan hidupku. Dari sejak SMP, kamu yang membuatku tampak kuat, membuat semua tampak mudah. Aku terlena Ar, padahal bukan aku yang kuat”

“Tidak Ndri, kamu kuat, aku saja yang...”

aaaaaaa“Ar...”

aaaaaaa“Aku yang membuatmu menjadi seperti saat itu. Seandainya saja aku kuat Ar, aku pasti tidak akan melibatkanmu. Tapi aku lemah...”


“Ta.. Tapi aku yang membuatmu terbunuh Ndri, Aku yang salah! Seharusnya aku bisa melindungimu, seharusnya aku bisa dengan mudah mengalahan mereka semua! Ta-tapi aku bertele-tele, dan akhirnya kamu mejadi kor... ban” teriakku lantang disela tangisku berakhir dengan tangisan yang menjadi-jadi. Andri menggeleng dengan senyuman di bibirnya.

aaaaaaa“Jangan salahkan dirimu Ar. Kesalahan itu semua berawal dari diriku, bukan dirimu. Adanya kamu membuatku menjadi sosok manusia yang sombong, karena saat itu aku percaya bahwa kamu selalu ada untuk aku, Samo dan Justi. Coba ingat bagaimana lagakku setelah tahu kamu adalah orang hebat? Sok jagoan kan? Padahal jagoannya kamu, bukan aku he he”

Kulihat dia menunduk, sembari menggelengkan kepala.

“Tapi kalau bukan aku yang memulai kejadian itu Ndri, kamu pasti masih bersamaku”

aaaaaaa“Curut! Itu awalnya aku! Yang membuat orang-orang itu akhirnya berkelahi dengan kita itu aku bukan kamu! kenapa kamu selalu menyalahkan dirimu! Sudah! tenang! Lihat sekarang aku bersamamu kan? Aku akan selalu bersamamu Ar. karena aku merasa semua yang terjadi padamu adalah salahku. Dan Berhentilah menangis! Kamu itu jagoan kami!”

Mataku terbelalak. Suaranya keras, membentakku. Aku terdiam sejenak. Tubuhku ambruk kedepan dengan kedua tanganku menumpu tubuhku.

aaaaaaa“Hei Ar, terima kasih telah menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Dan maafkan aku, maafkan aku yang selalu merepotkanmu setiap hari”

Aku angkat kepalaku menengadah ke atas, kini sahabatku tepat berada didepanku. Hanya terhalang oleh tembok tak terlihat. Senyumnya masih sama.

“Ndri.. bukan kamu Ndri tapi aku”

aaaaaaa“Curut! Dasar orang ngeyelan (keras kepala). Ha ha ha ha”

Tangannya memukul kepalaku pelan diiringi tawa kerasnya.

aaaaaaa“Semua yang terjadi padaku, adalah ulahku. Ar...”

Tangannya mengucek-ucek rambutku. Kucoba raih tangannya tapi tanganku menembus tangannya.

aaaaaaa“Jangan pernah menyalahkan dirimu terus, kejadian saat itu memang keputusanku. Kamu adalah pelindung, penyelamat bagi semua teman-teman dan sahabatmu. Jujur saja semua tidak adil Ar, kamu berkali-kali selamatkan diriku. Tapi aku hanya bisa satu kali saja, sangat tidak adil”

“Ndri,,,”

Aku semakin menangis, berkali-kali tanganku mencoba meraih tangannya tapi tetap saja tak bisa. Aku putus asa, aku kembali menjatuhkan tubuhku, kepalaku kini menyentuh tanah.

aaaaaaa“Aku bersyukur memiliki sahabat sepertimu, Samo dan Justi. Aku bangga menjadi bagian dari kalian. Jaga mereka ya Ar, Samo dan Justi”

Aku masih menangis, air mataku semakin deras.

aaaaaaa“Sudahlah, aku tidak suka melihtmu menangis. Aku pergi dulu”

Dengan pukulan kecil dikepalaku, sebelum akhirnya dia melangkah pergi. Sesaat kemudian aku bangkit, dengan air mata terurai. Kusuap dengan pergelangan tanganku. Kulihat tubuhnya berbalik melangkah menjauhiku.

“Sekali lagi maafkan aku...”

Dia berhenti dan berbalik.

aaaaaaa“maafkan aku juga, Ar”

aaaaaaa“Ar... jaga mereka yang kamu sayangi. Kamu telah berjanji padaku dan satu hal lagi”

aaaaaaa“Kita punya cita-cita kan? Wujudkan itu Ar... argh...”


Dia melangkah menjauh

aaaaaaa“Kapan-kapan kita berjumpa lagi, pasti aku akan menemuimu lagi”

aaaaaaa“Sahabatku... sahabat sejatiku”


“Ndri...”

Suaraku parau dan pelan, aku yakin dia mendengarnya. Dan dia kemudian berhenti, sedikit berbalik dan menatapku.

“Terima kasih, terima kasih telah mengajariku tentang cinta dalam sebuah persahabatan. Kakek, Nenek, Ibu, Samo, Justi dan kamu, kalian yang mengajariku tentang cinta. Terima kasih”

Kini aku tersenyum menatap kepergiannya. Dia tersenyum melangkah mendekatiku. Mengepalkan tangannya kearahku. Spontan aku memukulnya pelan. Sebuah salam persahabatan di masa lalu. Kini aku bisa merasakan tangannya ketika aku memukul kepalan tangan itu. Mata kami saling memandang. Senyum kami mengembang. Air mata kami mengalir bersamaan. Pelan dia melangkah mundur dan menjauhiku.

Tiba-tiba dia berhenti, diangkatnya tangan kanannya yang mengepal ke atas.

aaaaaaa“KITA ADALAH KELUARGA. SEKARANG DAN...”

Aku terkejut ketika mendengar teriakannya.

aaaaaaa“Kamu lupa Ar?”

Tanpa menoleh ke arahku. Aku tersenyum. Ku kepalkan tanganku dan kuangkat.

“KITA ADALAH KELUARGA. SEKARANG DAN SELAMANYA!”

Teriak kami bersama. sebuah teriakan ketika kami berempat bersama.

aaaaaaa“Jaga mereka Ar, Samo, Justi, dan sahabat-sahabat barumu ya. dan juga para bidadari itu”

“Eh...”

aaaaaaa“Sudah ndak usah kaget kaya gitu. Mereka cantik-cantik, dan pecahkan rekor jomblo kamu Ar, ha ha ha”

Aku tersenyum memandangnya pergi.

“Ndri kita masih bisa bertemu kan?”

aaaaaaa“Masih”

Tubuhku kaku tak bisa bergerak, melihat Andri berjalan menjauh. Berjalan di jalan menuju pulang, dimana aku dan dia sering bercanda di jalan itu. Tubuhnya menjadi gelap, hitam, tangannya terangkat ke atas.

aaaaaaa“Sahabatku... sahabat sejatiku, tetaplah kuat Wahai Pelindung!”

Kata-katanya membuatku jatuh berlutut memandangnya. Air mataku semakin mengalir deras. Isak tangisku sudah tak bisa aku bendung lagi. Tiba-tiba sesosok perempuan, hanya terlihat bayangannya saja. Berdiri disamping Andri, Andri berhenti sejenak dan membungkuk. Bayangan Andri kemudian menghilang.

aaaaaaa“Jangan sering menangis,”

“Eh, tubuh itu... Suara itu...”

aaaaaaa“Tersenyumlah, Ibu akan selalu bersamamu”

“eh, I...”

Tiba-tiba sebuah cahaya putih menyilaukan mataku.

.
.
.

“IBUUUUUU!”

“HAH!”

Aku terbangun, tersadar dari mimpiku. Tapi bagiku itu adalah mimpi yang indah. Aku kembali bersandar pada tembok. Seakan tak percaya aku bisa bertemu dengannya lagi. Semua tampak nyata bagiku, walau itu hanya mimpi. Kupeluk kedua kakiku. Tersenyum mengingat kejadian-kejadian di masa laluku. Tapi selalu saja teringat penyesalanku.

“Kenapa jalan hidupku seperti ini” isak tangisku

Kembali aku menyulut sebatang Dunhill. Menerawang ke masa lalu, masa dimana aku adalah diriku. Masa dimana aku terlalu liar, terlalu bodoh, tak berlogika. Aku tidak boleh lagi bersedih, tak boleh. Sebuah SMS masuk, Dini, dia memberi kabar padaku kalau Andrew sudah berada di Rumah Sakit Kota.

“Pukul 1 siang, berapa lama aku tertidur” bathinku

Ceklek...

“Eh...” aku melihat ke arah pintu yang terbuka. Samo masuk bersama dengan Justi, Linda dan Lisa.

“Woi Arta! Sahabatku paling gan...”

“Ada apa ar?” tanya Samo heran melihat keadaanku

“Kamu berkelahi lagi? Tak bosan kamu berkelahi ar?” ucap Samo sedikit membentak, aku hanya tersenyum memandangnya. Mereka duduuk dihadapanku, melihatku dengan tatapan aneh yang hanya mengenakan celana tanpa kaos.

“Kamu berkelahi lagi?” ucap samo keras

“Iya, memang kenapa?” balasku, sinis

“Kita disini untuk menuntut ilmu Ar! kenapa kamu malah menjadi semakin menjadi-jadi!” bentaknya

“Dan dimana kamu ketika aku membutuhkanmu! Kalian berdua yang berjanji, tapi dimana kalian!” balasku tak kalah keras. Kulempar sebungkus rokok Dunhill ke wajah Samo. Tak ada yang berani menyela pembicaraan kami berdua. Bahkan Justi, yang sudah bersama kami sejak kecil.

“Bu-bukan begitu..” jawab Samo lirih

“Aku ingin pulang, menjadi diriku sendiri. tak perlu menjadi orang lain” ucapku lirih melihat ke arah pemandangan diluar pintu kontrakan yang terbuka

“Jangan, kamu harus tetap disini” ucap Samo

“Menjadi culun, membohongi orang lain dan diri sendiri. melihat orang yang disayangi mati. Begitu yang kamu inginkan?” ucapku lirih, dengan asap yang menyembur dari bibirku. Aku mulai bercerita, cerita tentang kejadian malam itu. Kejadian, kejadian yang, argh, hampir sama.

Hening sesaat, setelah cerita itu selesai aku ceritakan

“Ar...” ucap Samo, membuka pembicaraan, namun aku tetap terdiam

“Aku tahu semua ini salahku dan Justi, yang mengubahmu. Ya, aku tahu itu” ucap Samo

“Bukan salahmu, salahku” balasku

“Sudah, tetap disini” ucap Samo

“Aku tidak tahu” jawabku

“Kita kerumah sakit” balas Samo

“Aku ingin sendiri” jawabku

“Baiklah, aku akan membiarkanmu sendiri. tapi untuk pulang, tidak. mereka masih membutuhkanmu” ucap Samo

“Mereka tidak membutuhkanku” jawabku

“Ar, aku tahu. Kamu merasa bersalah atas kejadian yang telah lalu, tapi, dia juga tidak ingin kamu menyerah begitu saja. kalian berdua mempunyai cita-cita, cita-cita yang tidak bisa kamu wujudkan hanya dengan kamu hidup didesa” ucap Samo,

“Aku belum tahu” jawabku, menundukan wajahku

“Aku akan pergi ke rumah sakit kota, bersama Justi dan yang lainnya. Kamu tetap disini, aku akan kembali lagi” ucap Samo

“Aku ingin sendiri” ucapku

“Baiklah, jika ada apa-apa, segera hubungi aku” ucap Samo.

Seketika itu dia pergi bersama dengan yang lainnya. Justi tampak sedikit ketakutan melihatku, begitupula Lisa dan Linda. Hanya Samo yang berani berbicara sedari awal. Ah, aku lelah, aku ingin tidur. Aku tutup pintu kontrakan, dan menuju ke kamar. Merebahkan tubuhku, berharap aku bertemu dengan mereka lagi, orang-orang yang telah menghilang dari kehidupanku.
 
Scene 40
Jadi begini lho ceritanya...



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Helena Mauricia

"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" bathinku

Bagaimana ini coba? Tujuannya agar si Arta itu tidak main hakim sendiri, kalau di dandani culun kan dia mau berbuat apa juga tidak bakal kejadian. Maksud dan tujuannya, tapi haduh, lha kok malah semakin panas begini suasananya. Gara-gara membuat dia culun malah kejadian seperti ini, pusing aku. Hampir sama lagi kejadiannya, Andri dan Andrew, Arta tak akan seemosional ini. Pasti ada sesuatu didalam Andrew yang membuat Arta marah. Bukan hanya kejadiannya saja, menurutku.

Dari tadi mulai berangkat, si Lisa terus ngelus-ngelus lenganku. Ngademin aku kayaknya. Untung banget ada Lisa, coba kalau ndak ada. Kelahi tadi aku sama Arta. Kalau kelahi, waduh, mati akunya.

"Sudah mas, dah gak usah dipikir" ucap Lisa, aku ngangguk-angguk saja. Pening kepalaku.

Sesampainya dirumah sakit, keluar dari mobil cepet-cepet. Tanya bagian informasi mengenai pasien bernama Andrew. Semenjak turun dari mobil, Lisa saja diam terus, Linda dan Justi juga. Mbaknya resepsionis menunjukan ruang Andrew. Haduh, ini malah di lantai atas, dan harus naik lift lagi. Ragu aku, bisa gak itu lift ngangkat beban tubuhku.

"Ayo mas" ucap Lisa, narik aku masuk ke dalam lift

"Iya, tapi aku takut malah jatuh kebawah" ucapku

"Hi hi hi, lucu pacar kamu Lis" ucap Linda

"Udah sam, masuk saja. Nanti kalau liftnya jatuh aku yang narik Sam, tenang" ucap Justi

"Gundulmu! Kamu ketiban lenganku saja teriak-teriak, gitu kok mau narik" balasku

"Eh, iya ya, waduh bahaya juga" ucap Justi yang menepuk jidatnya. Memang bener-bener koplo si Justi ini.

"Maaaas..." ucap Lisa, ya mau tidak mau aku masuk Lift.

Dadaku deg-deg'an ndak karuan. Ya takut to ya, kalau-kalau ndak kuat, terus jatuh kebawah. Seandainya ini Lift ndak kuat, akan aku peluk Lisa. Biar kelihatan romantis kalau ada yang evakuasi. Lama didalam lift akhirnya ada bunyi ting sekali, pintu terbuka. Waduh, syukur syukur, liftnya kuat.

"Kamar berapa tadi jus? Aku lupa'e" tanyaku

"17" ucap Lisa

Sudah sore, berempat kami semua menuju ruang 17. Tepat diruang 17, aku berdiri dihadapan pintu. Sebuah keberuntungan, pintunya lebar, coba kalau sempit apa muat tubuhku masuk? Dengan helaan nafas panjang, aku mempersiapkan diriku.

"Kaya mau melamar cewek saja siiiih?" canda Lisa

"Grogi yang, huft..." balasku

"Hi hi... lucu mas, temen kamu itu" ucap Linda kepada Justi

"Lho kan dia badut, he he" canda Justi, aku langsung menoleh ke arah Justi dengan wajah seramku

"Enggak, enggak sam... yakin" ucap Justi, kedua tangannya diangkat ke atas, kepalanya menggeleng-geleng

Kleeek...

Pintu terbuka aku masuk, Semua memandangku, aneh, mungkin mikirnya ada "Buto ijo" bisa masuk ke ruangan. Aku melihat ke semua orang yang berada di dalam kamar 17. Aku tersenyum, dan setelah kusapu semua wajah orang-orang yang berada didalam. Tampak mereka sedikit takut dengan kedatanganku. Memang seharusnya pas masuk tadi aku bilang "Akulah buto ijo". Halah.

Pandanganku terhenti pada seorang yang terbaring di tempat tidur. Kaget rasanya, aku bener-bener kaget melihat laki-laki yang terbaring di tempat tidur itu. Benar-benar mirip, mrip sekali dengan sahabatku dulu, sangat mirip. Aku menoleh ke arah Justi, seakan tak percaya yang aku lihat. Kembali aku melihat ke arah lelaki itu.

"Andri..." lirih dari bibirku, tiba-tiba seorang perempuan berkerudung putih mendekatiku

"Temannya Arta?" lembut sekali mirip adonan donat.

"I-iya, kok tahu?" ucapku.

"Ehem" dia hanya tersenyum, benar-benar bingung aku. Kenapa dia bisa tahu Andri?

"Dini" salamnya kepadaku,

Aku kemudian berkenalan dengan mereka semua. Rasanya aku kembali ke masa-masa sekolahku dulu waktu di desa, Ketika tanganku menjabat tangan Andrew. Lelaki yang terbaring di tempat tidur. Aku kembali ke depan ranjang bersama Lisa yang langsung memeluk tanganku.

"Lu temennya Arta? Erghh.." ucap Andrew mencoba bangkit, yang masih berbaring di ranjang pesakitan

"Sayang sudah, gak usah banguuun..." ucap Helena, dia tampak khawatir sekali dengan keadaan Andrew. Pacarnya kayaknya, perhatian banget. Tapi kalah perhatian sama embrotku.

"Sudah, gak papa kok sayang. Aku cuma mau duduk" balas Andrew kepada helena

"Adek bantu" ucap Helena, membantu Andrew untuk duduk.

"Kamu temen Arta dari Desa?" lanjut Andrew bertanya

"Iya aku dan Justi, sejak kecil malahan" aku benar-benar masih tidak percaya dengan yang aku lihat. Kalau si Andrew ada di desa, pasti semua orang mengira dia adalah Andri. Uwaneh, uwaneh sekali. Kemarin ketemu Ibunya Arta, sekarang Andri. Ini sebenarnya Ibu Kota negara apa kota hantu?

"Kenapa Sam?" ucap Andrew

"Em, ndak ndrew. Hanya saja kamu sangat mirip dengan salah satu sahabatku dulu" ucapku

"Andri kan?" tiba-tiba Dini menimpali

"Eh, iya, kok tahu?" aku terheran ketika Dini menyebut nama Andri. Dia hanya tersenyum manis kepadaku

"Arta sudah cerita?" ucapku, dia menggeleng

"Hanya saja ketika dia mmmm setelah kejadian dia menyebut nama itu. berulang kali dia menangis ketika menyebut nama Andri. Bisa kamu cerita?" jelas Dini kepadaku.

"Hei hei hei argh..." Andrew mencoba menyela dengan menggerakan tubuhnya

"Sayang, sudaaaaah..." ucap helena

"Iya sayang, maaf... kepo aku sama Arta" ucap Andrew tersenyum

"Sebenarnya, Andri itu siapa? Kenapa kalian terkejut ketika melihatku?" tanya Andrew kepada aku dan Justi

Aku maju, megambil dompetku, melepaskan pelukan Lisa pada tanganku. Aku berdiri bersebelahan dengan Helena, ku buka dompetku dan kuperlihatkan sebuah foto kenang-kenangan masa SMA-ku. Aku, Justi, Andri dan Arta.

"Eh, itu mirip sekali denganku?" ucap Andrew sedikit terkejut begitu pula Helena yang berada disampingku

"Beneran mirip banget" ucap Irfan yang mencoba menengok ke foto pada dompetku

"Mana?" ucap Dina yang langsung merebut dompetku, untung ada isinya. Beberap yang lain mengerubungi Dina..

"Eh, beneran mirip. banget malahan" ucap Desy

"Eh, Arta ganteng ya pas SMA" ucap Dina

"He'em" balas Winda

"Sempet-sempetnya ya kalian, hadeh" ucap Irfan sembari geleng-geleng kepala

"Maaf-maaf, namanya juga serprais hi hi hi" jawab Dina, yang tampak lebih periang dibanding yang lainnya.

"Dimana dia sekarang?" tanya Johan mnyela. Pertanyaan yang mudah untuk dijawab tapi berat untuk menjawabnya.

"Dia sudah meninggal" ucapku, membuat semua orang terkejut. Aku kembali ke Justi dan lainya, berdiri memandang mereka semua. Lisa memeluk tangan kiriku, Linda berada disebelah Justi, tapi yang jelas mereka tidak sedang kenthu.

"Aku kesini, ingin memintakan maaf atas nama Arta. Jika selama ini dia membohongi kalian dengan jatidirinya yang baru. Bukan maksud dia untuk menjadi seperti itu, tapi itu keinginan ku dan Justi. Karena... hanya itu satu-satunya cara, tapi ternyata salah" ucapku

"Apa maksud kamu? Salah? Salah dimananya? Ceritakan pada kami semua, kami juga sahabat Arta" ucap Andrew

"Benar apa kata Andrew, ceritalah, karena malam kemarin... dia seperti bukan Arta yang kami semua kenal" ucap Desy

"Itu karena anu, gini itu..." aku jadi gugup.

"Elu mirip banget sama gagu-nya Arta" ucap Irfan

"Ya, namanya juga orang Ndeso mas. Maklum mas, makanannya tempe tahu he he he" jawabku sekenanya mencoba mencairkan suasana. Dan benar, mereka sedikit adem, ndak tegang lagi.

"Dah cerita saja, ini semua sahabat Arta lho" ucap Dina sembari menyerahkan dompetku kembali. Aku menengok ke arah Justi, dia mengangguk. Tapi aku tidak yakin anggukan dia itu adalah karena dia mengerti. Kembali aku memandang mereka.

"Kamu ngerti maksduku Jus?" tanyaku, dia menggeleng

"Coro (Kecoa)!" ucapku keras,

"Lha kamu cuma liat aku Sam, mana aku tahu. Ya dek ya" ucap Justi minta pembelaan ke Linda

"Sudaaah, sudah. Ini malah gak cerita-cerita lagi" ucap Desy

"Baiklah..." ucapku, Salma membawakan aku kursi dan aku duduk. Semua memandangku dengan wajah penasaran. Akunya malah gugup.

"Sudah, biasa saja. Belum pernah lihat gajah sedang duduk?" candaku, semua tersenyum, ada juga yang tertawa

"Gajah? Dimana gajah?" ucap Justi

"Juuuussst..." aku menoleh ke arahnya

"Aku kan tanya Sam, aku benar-benar ndak mudeng maksud kamu" ucap Justi, langsung si Linda menarik Justi, dan berbisik kepadanya

"Beruntung ya Arta, punya temen pinter ngelawak hi hi hi" ucap Tyas

"Andrew aja kalah tuh, bener gak len?" tanya Dinda

"Iiiih, helen, wajahnya jangan sedih terus dong" ucap Winda

"Eh, enggak kok..." ucap Helena yang terus menjaga Andrew

"Ini mau aku cerita apa gak? Kalau gak aku main sirkus lho" candaku

"Iyaaaaa..." serempak dari mereka semua

Huft...

"Aku mulai.... jadi begini lho ceritanya..."

"Kami bertiga, seperti yang aku katakan tadi. sahabat sejak kecil, sama-sama tak memiliki Ayah. Sekolah kami selalu sama, Arta, ya Arta, dia tumbuh bersama keluarganya. Ibu, Kakek, dan neneknya. Kakeknya seorang yang sangat disegani di desa kami. Sejak kecil Arta selalu dididik menjadi lelaki penurut. Diajari berbagai keahlian bela diri, tapi bukannya dia menjadi seorang ahli bela diri tapi dia menjadi seorang penakut, cengeng. Padahal sebelumnya, sebelum dilatih oleh kakeknya. Ibunya Arta selalu dibuat kelimpungan oleh Arta yang sangat nakal"

"Dari SD, kakeknya selalu keras terhadapnya. Tak ada yang berani melarang, bahkan kepala desa disana tak berani menegur ketika kakek Arta mulai mendidik Arta dengan keras. Pernah suatu ketika, Arta melakukan kesalahan. Dia diikat dipinggir air terjun, dan didiamkan semalaman. Mungkin karena kakeknya itu yang membuat dia menjadi penakut lebih tepatnya takut terhadap kakeknya atau kenakalannya diketahui oleh kakeknya" jelasku

"Hingga kami SMP, kami bertemu dengan seseorang lagi dan menjadi bagian dari kami. Andri" Aku menghentikan ceritaku

Aku kemudian menceritakan pertemuan kami dengan Andri ketika pertama kali masuk SMP. Andri adalah seorang anak yang pendiam. Lebih pendiam dari sebuah patung. Hingga suatu saat, sepulang dari sekolahan. Ada sebuah kejadian yang membuat kami menjadi lebih dekat dengan Andri. Aku, Arta dan Justi pulang kerumah seperti biasa, kami selalu pulang telat. Kebiasan kami adalah merokok didalam kelas, maklum semua guru sudah pulang dan pastinya kelas sepi. Ditengah jalan ketika kami pulang. Aku dan kedua sahabatku menemukan Andri sedang dalam masalah. Dia dikerubungi oleh beberapa Anak dari SMP lain.

Wajah Andri sudah babak belur. Baju sekolahnya sudah robek. Dia meringkuk memeluk tasnya. Disaat itulah kami berteriak dan terjadi perkelahian yang tidak seimbang. Jumlah mereka banyak. Tapi dari perkelahian itulah yang menjadi titik balik Arta. Sebuah pemandangan yang aneh. Arta adalah anak yang nakal, tapi tidak seperti saat menolong Andri. Amarahnya melebihi yang kami tahu, padahal jika dilihat sebelumnya dia adalah penakut yang sok nakal bersama kami. Semua anak yang mengganggu Andri terkapar dengan tulang luka yang sulit diobati.

Semenjak kejadian itu, Arta menjadi lebih berani tapi jika didepan kakeknya dia melempem. Kembali menjadi seorang anak penakut yang cenggeng. Semenjak kejadian itu, Aku, Arta, Andri dan Justi menjadi momok menakutkan bagi siapa saja yang melawan.

"Semenjak saat itu, Arta sering sekali membuat masalah" ucapku

"Sam! Bukan Arta!" ucap Justi, aku menoleh ke arah Justi. Wajahnya serius.

"Apa maksud kamu Jus?" tanyaku

"Bukan Arta yang sering membuat masalah. Tapi Andri, bukanya aku nyalahkan Andri, Sam. Tapi ya itu kan yang terjadi Sam" ucap Justi, terlihat sekali dia bisa berpikir saat ini.

"Apa maksud kalian? Kenapa kalian memiliki cerita yang berbeda? kalian kan temannya" ucap Desy, aku melihat Desy dan menunduk.

"Maaf... benar yang dikatakan Justi. Bukan Arta, melainkan Andri. Huffth... Mungkin aku masih kesal dengan Arta yang selalu menyalahkan dirinya sendiri. Selalu seperti itu setelah kejadian perginya Andri. Dia terlalu keras kepala, sehingga membuatku bosan untuk menyadarkannya kalau itu bukan kesalahannya. Karena bosan, aku selalu memposisikan dia sebagai tersangka. Mungkin karena ketakutanku juga. Kalau dia menjadi semakin lepas kendali" jelasku

"Mungkin dia keras kepala, karena merasaka kehilangan itu sangat menyakitkan" ucap Andrew, aku memandang Andrew. Aku tersenyum.

Ku hela nafas panjang. Kembali aku bercerita mengenai Andri, lelaki yang mirip dengan Andrew. Setelah dia menjadi bagian dari aku, Justi, dan Arta. Dia sudah tidak lagi menjadi pendiam. Lagaknya menjadi sok jagoan tapi kami selalu memakluminya karena sebelumnya dia tidak pernah merasakan pergaulan seperti kami. Dia mulai merokok seperti kami dan lain sebagainya. Kadang dia mencari gara-gara dan kami, terutama Arta, yang meyelesaikannya dengan jalan kekerasan.

Hingga akhirnya sebuah kejadian yang sebenarnya tidak harus terjadi. Ketika itu pulang sekolah, sore hari, kami berempat berjalan bersama menuju jalan pulang. Dimana Andri memancing emosi segerombolan anak sekolah lain. Dan terjadilah perkelahian yang sebenarnya bisa dihindari. Pada saat itu sebenarnya posisi kami menang, tapi itu adalah sebuah perkelahian tanpa aturan. Pasir berterbangan sebagai jalan satu-satunya dari mereka untuk menghindari kekalahan. Arta kehilangan pandangan saat itu.

Salah seorang dari mereka membawa pisau belati dan berjalan ke arah Arta yang kehilangan pandangannya. Dan disitu, ketika pisau belati itu mencoba menusuk Arta, Andri, menghalanginya. Arta menangkap tubuhnya, wajahnya menjadi sangat takut. Lebih penakut dari seorang anak balita yang ditinggal ibunya pergi ke pasar. Dia berteriak keras, menangis, meraung-raung. Melihat Arta yang berteriak-teriak, Anak-anak dari sekolah lain itu berlari berhamburan. Melarikan diri.

Sejenak aku melihat ke arah mereka. Tampak raut wajah mereka berubah. Terlihat jelas olehku, kalau mereka itu sedang mengingat-ingat kejadian yang baru saja terjadi.

"Sama, hampir sama kejadiannya" ucap Dini

"Ya, Arta sudah cerita kepadaku" jawabku

"Andri meninggal sesaat kemudian. Dan mulai saat itu Arta menyesali perbuatannya. Tangisnya tak berhenti ketika itu, bahkan ketika pemakaman. Dia seperti orang gila, semalam suntuk dia berbicara pada nisan dimana Andri dimakamkan" ucapku, sejenak aku melihat kearah mereka. seakan mereka tidak percaya dengan apa yang dilakukan Arta.

"Aku terus menunggunya bersama Justi didepan gapura kuburan. Sampai akhirnya dia keluar dari kuburan itu. Matanya sudah berbeda. ketika aku menyapanya saja dia ndak menanggapinya. Awalnya dia berjalan dan kami membuntutinya tapi tiba-tiba dia berlari sangat cepat, entah kemana. Aku kira dia akan pulang kerumah kakeknya. Tapi ternyata tidak, seminggu dia menghilang." Ucapku

"Seminggu?" tanya Desy dan aku mengiyakan dengan anggukanku

"Iya, seminggu dia tidak berangkat sekolah. Aku, Justi dan kakeknya tidak ada yang tahu. Dan ternyata..." kembali aku terhenti

"Ternyata apa?" tanya Andrew

"Selama seminggu itu, haaaaaaaashh...."

"Dia mengirim satu persatu semua anak dari sekolah yang membunuh Andri ke kuburan Andri. Dan setiap kali sudah kekuburan Andri, anak-anak itu pasti mengalami patah tulang, bahkan ada yang sampai masuk ke UGD. Semua warga mencari Arta agar menghentikan perbuatannya itu. Tapi tidak ada yang menemukannya. Dan kalian tahu, sekolahan itu sampai diliburkan, aneh kan? Bahkan pada kondisi liburpun, korban masih berjatuhan. Hingga semua siswa dari sekolah tersebut masuk ke rumah sakit." Jelasku

"Semua?" tanya mereka serempak

"Iya, jangan mikir siswanya jumlahnya ratusan. Itu cuma yang kelas 3, sebanyak 40 anak. 30 diantaranya laki-laki" jelasku

"Oooo... aku kira seperti disekolahanku yang muridnya ratusan" ucap Irfan sambil mengelus dada

"Ndeso mas, ndeso. Beda sama kota" ucapku. mereka sedikit tertawa ketika aku mengatakan kata ndeso dengan logat khas daerahku.

"Terus... terus?" ucap Desy yang ingin mendengarkan lanjutannya

Kembali aku menceritakan kejadian setelah Andri meninggal. Setelah murid laki-laki kelas dari sekolahan itu satu persatu masuk ke Rumah Sakit. Aku mencari Arta mengelilingi Desa, dan tidak aku temukan. Hingga akhirnya aku teringat satu tempat yang menjadi favorit kami. Air terjun. Aku dan Justi kemudian ke Air terjun tersebut. Dia sedang duduk bersila, melihat ke air terjun. Kami menemukannya, dan warga berbondong-bondong menangkapnya. Dia hanya diam dan tersenyum.

Beberapa warga sempat akan marah-marah dan menginginkan Arta dimasukan ke dalam penjara. Tapi setelah perdebatan panjang, mereka mengurungkan niatnya. Karena takut ketika Arta keluar malah akan semakin menjadi-jadi

"Setelah semua kejadian itu, Arta kembali ke sekolah. Kini dia berbeda, bukan Arta yang sama dengan Arta setelah menyelamatkan Andri. Tapi Arta yang selalu mencoba menekan emosinya. Bahkan dia lebih cenderung menghindari masalah. Ada ketakutan dalam dirinya jika berkelahi, ketakutan akan ketidak mampuannya mengendalikan emosinya. Dan..."

"Seperti kalian lihat. Akhirnya kami sampai ke kota, itupun harus berdebat terlebih dahulu. Akhirnya keputusan diambil, dia harus menjadi culun begitupula aku da Justi. Tapi hanya Arta yang tetap bertahan sampai sekarang, kalau aku dan Justi hanya bertahan sementara" jelasku

Suasana menjadi hening. Mereka saling berpandangan. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja aku ceritakan kepada mereka. Tapi setelahnya mereka semua tersenyum, memandangku dan Justi.

"Maafkan dia ya, aku mohon maafkan dia jika selama ini Arta membohongi kalian dengan penampilannya saat ini. Itu ide Justi dan aku yang memaksanya" ucapku, Lisa memeluk lenganku

"Dia tidak salah Sam, dia menyelamatkan kami semua. Dan dia Hebat! tidak hanya mengenai kejadian semalam" ucap Andrew, kami semua memandangnya. Dia tersenyum, senyumnya sama persis dengan Andri.

"Adakah yang dia lakukan?" tanyaku heran

"Dia melakukan yang lebih dari semalam, katakan padanya, aku ingin bertemu dengannya" ucap Andrew, sembari memandang helena

"Baik, tapi alangkah baiknya kalian meneleponnya. Aku tidak akan kembali ke kontrakan sebelum dia memperbolehkannya, dia ingin sendiri" ucapku

"Sam, lu saja" ucap Andrew, aku tersenyum

"Baiklah tapi aku tidak yakin dia akan datang hari ini, bisa jadi besok... Dan Ndrew, sesekali panggilah dia..." ucapku kepada Andrew dan dia mengangguk menyetujuinya

Aku dan Justi bersama Lisa dan Linda keluar dari ruang rumah sakit setelah mengobrol dan bercanda beberapa saat. Aku meninggalkan ruangan dan mengirimkan SMS ke Arta, hanya 'ya' balasan dari Arta. Ar, aku tahu kamu bersedih, aku juga.

"Andrew, benar-benar mirip dengan Andri Ar, mirip sekali." Bathinku
 
Terakhir diubah:
Mulai berdamai dengan diri sendiri.....
 
Scene 41
In The Midle Of The Night



Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari



Winda shirina ardeliana


Setelah kepergian Samo dan Justi suasana ruangan menjadi sedikit hening. Tampak sekali mereka sedang mengingat kejadia, atau mungkin mereka sedang merasakan ketidak percayaan mengenai Arta. Memang dasar anak itu penuh dengan Misteri. Apalagi Desy, keliahatan sekali kalau dia sedang memikirkan sesuatu, mungkin juga sama dengan yang lain tentang Arta juga. Tapi, kenapa Winda dan Desy sesekali berpandang-pandangan? Adakah sesuatu?

Kualihkan pandanganku ke Andrew. Mereka juga seperti ada yang disembunyikan. Apalagi kata-kata Andrew yang terkahir mengenai Arta. Yang menjadi pertanyaanku adalah “Arta melakukan sesuatu lebih dari semalam”. Hanya itu yang membuak bertanya-tanya. Apa ada sesuatu ya diantara Andrew, Helena dan Arta?

“Eh, kalian ada rahasia apa sama Arta?” tanyaku kepada Andrew, mereka sedikit terkejut.

“Eh, gak ada kok Din” jawab Andrew santai walau terlihat sedikit gugup.

“Bener tuh, pasti ada apa-apanyaaaa...” sela Dina diantara percakapanku dengan Andrew-Helena

“Sudah, sudah, kita sebaiknya pulang dulu. Kita juga butuh istirahat” sela Desy tiba-tiba.

“Ndrew, ini tadi orang tuamu telepon, akan kesini malam ini, sedang dalam perjalanan. Kalau kita pulang tidak apa-apa kan?” ucap Desy

“Ya Des, makasih banyak. Yang penting Malaikatku tidak pulang, aku pasti sembuh” ucap Andrew

“Ih, mas” ucap helena manja

“Maunya hi hi hi” ucapku

Tanpa berlama-lama aku dan yang lainnya kembali mengemasi barang-barang kami. Irfan johan, Burhan beserta Salam, Dinda dan Tyas mereka satu mobil. Sedangkan aku, biasalah bersama dengan ketiga sahabatku yang lainnya. Irfan dan Johan bisa pulang dikarenakan luka mereka tidak terlalu parah.

Baru saja kami keluar dari Rumah Sakit, kami mendapat BBM dari Helena kalau orang tua Andrew sudah dekat dengan Rumah Sakit. Beruntung sekali, tepat ketika kami pergi tepat pula ada yang menjaga mereka. Kami sudah terlalu lelah, capek sekali. Untung Dina masih Fit, dia yang menyetir mobil untuk mengantar Winda terlebih dahulu ke kos.

“Diniiii.. Dinaaa... ama umi, tidur di kos Winda ya?” manja Winda dalam perjalanan menuju kosnya.

“Winda kenapa?” tanya Desy

“Takut umiiii, ya Din, Na’?” ucap Winda

“Takut kenapa Winda? Sudah, jangan kaya anak kecil terus, sebentar lagi sampai di kos Winda” ucap Desy, menenangkan Winda

“Ya sudah, kalau gak mau tidur di kosku, aku tidur dikos Umi saja” ucap Winda jengkel

“Iya deh, Dina tidur di kos Winda. Tapi ntar, Dina disayang-sayang ya? hi hi hi” ucap Dina

“eh, lu konsen nyetir aja, pake ngeladenin si Winda” sela-ku

“iih, Dini galak terus! Jelek tahu!” ledek Wind. Aku hanya membalas Winda dengan menjulurkan Lidahku.

“Gak laku-laku ntar, huh! Sebel Winda ma Dini!” kesal

“Sudah, sudah, kelihatannya kita memang harus tidur bareng. Pasti kalian punya pemikiran sama denganku kan?” ucap Desy

“eh, iya juga sih...” jawabku

Akhirnya kami semua setuju tidur dikos Winda. Pengen banget rasanya segera sampai. Mandi dan segera rebah ditempat tidur. Penat sekali, sejak malam tahun baru kami semua belum mandi sama sekali.

“Gue setuju ma umi” balas Dina

“Nah, Dikos Winda aja, nanti pake pakaian Winda saja gimana?” ucap Winda

“Katanya kesel, kok minjemin?” candaku

“huh! Diniiiiiiii!” teriak Winda

Kami tertawa, dalam mobil. Sebuah pertanyaan memang ada dalam pikiraku, mungkin yang lain memikirkan hal yang sama. Ya, tentang lelaki yang menangis kemarin. Seorang lelaki yang sebelumnya, yang aku tahu dan aku lihat, adalah seorang lelaki yang tak mempunyai daya. Tapi, malam kemarin, berbeda, berbeda dari biasanya. Arta, Arta Byantara Agasthya, culun, ah, tidak, dia tidak culun.

Sesampainya di kos Winda, kami bergantian mandi. Winda menyiapkan pakaian untuk kami, tampak bahagia Winda. Memang bener sih, dia kelihata takut banget tadi. satu persatu kami berganti pakaian, Desy yang terlebi dahulu mandi membuatkan kami mie instan dan juga minuman hangat.

“Winda... mmmppphhh... ini ugh, ketat banget sayang. Lihat ni, payudaraku” ucap Dina, memperlihatakan sembulan payudaranya

“Aaaa, Dina seksi sekali pakai tank-top itu. iiih, napsuin. Hi hi hi” balas Winda, yang memeluk bantal

“Jelas dong, secara Dina kan cantik, sayang” ucap Dina, berlenggak lenggok dihadapanku dan Winda. Tank-top hitam, celana pendek menutupi sebagian pahanya. Memang, Dina selalu ingin tampil seksi dimana-mana.

“Iih, Winda juga seksi” teriak Dina, ketika Winda berdiri, dengan pakaian yang hampir sama. Aku malah risih sendiri, karena belahan dada tank-topnya terlalu rendah

“Seksi, seksi! Kalian bisa gak diam, huh!” bentakku

“Ini juga, Winda, kasih pakaian kaos aja atau apalah, huh!” kesalku

“Iih, Dini galak, juga seksi banget tuuuuh...” ucap Dina

“He’em, Dini seksi, Dini jangan marah dong” rayu Winda, memelukku

Aku sempat menghindar ketika Winda mencoba memelukku tapi namanya juga sudah kumpul. Menghindar dari sini kena disana, Dina. Setelah main peluk-pelukan, aku bangkit. Segera aku pakai celana training yang belum sempat aku pakai dari dalam tasku. Pakaian yang aku kenakan, sama dengan yang dikenakan Dina dan Winda. Hanya aku lebih beruntung, masih ada celana training.

“Sudaaaaah..., ini minuman-nya” ucap Desy, kami menoleh ke arah suara Desy

“Umiiiiii!” teriak Dina, ketika Desy berjalan sembari membawa nampan dengan empat gelas teh hangat.

“Dinaaaa, gak usah teriak-teriak” ucap Desy Kalem, sembari meletakan nampan

“Umiii! Aaaaaaa...” Dina langsung memeluk tubuh Desy, kepalanya jatuh di dada Desy

“eh, eh, ada apa kamu itu na’?” ucap Desy

“Tahu tuh mi, stres dia palingan” ucapku jutek

“Iiih, Dini kok gitu sih” bela Winda

“biarin, weeek...” balasku dengan menjulurkan lidah, kulihat Dina tidak melirik sedikitpun ke arah aku dan Winda

“Umi, ini kok besar banget, aaaa... pengen kaya umi, seksi banget iiiih” ucap Dina, menunjuk-nunjuk dada Desy, kemudian dibenamkannya wajahnya di dada Desy

“Dina, Dina, sudah... aduh... iiih, ini anak” ucap Desy, meronta melepaskan pelukan Dina

“hi hi hi... habis, gedhe banget sih, biasanya juga gak kelihatan gede hi hi hi” Dina melepaskan pelukannya, duduk disamping Desy

“ini itu gara-gara kaosnya Winda tuh, kekecilan” Desy dengan kalem menjawab candaan Dina

“Tapi gede kok mi, tapi kok bisa ya?” ucap Dina

“Udah deh, mending istirahat dulu aja. Ntar ngobrolnya, ngantuk...” ucapku,

“Eeeeh, maem dulu Dini. sudah dibuatkan kok malah tidur? Maem, cepet” suruh Desy

Aku bangkit padahal sudah terlanjur rebah di kasur empuk. Dan seperti biasa, kalau dulu waktu kumpul dan kita semua merasa lelah. Pasti si Desy yang menyuapi kami semua. Dan sekarang itupun terjadi. Satu persatu Desy menyuapi kami, aneh kan? Namanya juga cewek cyin hi hi hi. Tentunya acara makan ini sambil mengobrol ngalor ngidul.

Setelah selesai, Aku segera merebahkan tubuhku di atas bantal besar. Kami semua duduk di karpet putih. Sembari menikmati minuman hangat buatan Desy. Kalau Desy, langusng ke dapur mencuci piring. Lama kami bersantai, perlahan Winda merapatkan tubuhnya ke tubuhku, kupeluk tubuhnya. Bener-bener capek banget, apalagi kemarin sempet tidur di Rumah Sakit, enggak sempet mandi lagi. Aku memeluknya dan memejamkan maatku.

Tiba-tiba dari belakang aku rasakan ada yang memelukku. Ku buka sedikit mataku, kulihat Dina beranjak dan rebah dibelakang Winda. Berarti yang dibelakangku Desy. Hmm, persahabatan ini, aku ingin selamanya. Selamanya selalu bersama mereka.

.
.
.

“Uuughhh, hoaaaam..” aku bangun, duduk dan merenggangkan kedua tanganku

Ku kucek mataku, agar cepat beradaptasi dengan cahaya lampu. Sedikit aku membuka mataku. Kulihat Desy yang sudah duduk didepan televisi. Winda dan Dina masih tampak nyenyak sekali tidurnya. Aku mendekatinya, duduk disampingnya. Kusandarkan kepalaku di pundak Desy.

“Kok bangun Din? Tidur lagi saja” tanyanya lembut, aku menggelengkan kepalaku. Kami diam, menonton acara televisi yang sebenarnya sangat tidak menarik.

“Mereka nyenyak sekali ya” ucap Desy membuka keheningan.

“Terlalu lelah karena malam tahun baru kemarin” jawabku

“Nih, minum dulu” ucapnya, dengan menawarkan segelas air bening kepadaku. Segera aku raih dan meminumnya. Segar sekali rasanya tenggorokanku. Kembali aku bersandar di pundak Desy.

“Lagi mikirin apa mi?” tanyaku

“Tuh, lagi mikirin Film, hi hi hi” candanya, aku tahu pikirannya tidak di Film. Film jelek kaya gitu di tonton.

“Umi makan apaan sih? Enak banget?” tanyaku, mengangkat kepalaku melihat sebungkus kacang disampingnya.

“Kacang, mau? Jerawatan lho entar hi hi hi” candanya sekali lagi

“Hmm... kata siapa kacang bikin jerawatan, mitos kali” ucapku. Kutarik bungkus itu ketengah dan ikut menikmatinya.

“Jam 2 malam” ucap Desy, yang seakan tahu padahal tak ada jam dinding di kamar Winda.

Aku menoleh memandang wajahnya, benar-benar mirip peramal. Ketika aku buktikan dengan mengambl sematponku dan ternyata benar jam 2 malam. Kembali aku berada disampingnya, Pandangan matanya tertuju pada film yang diputar di televisi.

“Umi?” tanyaku disela-sela konsentrasinya. Dia menoleh ke arahku.

“Ada apa mi?” tanyaku kembali

“Ah, enggak hanya saja. itu...” ucap Desy berhenti. Aku menyenggol tubuhnya agar segera melanjutkan kata-katanya.

“Air terjun” ucapnya lirih. Seketika itu aku teringat cerita Samo, dan juga cerita Desy dan Winda.

“Sudah jangan dibahas lagi ya. Yang lain saja” lanjutnya

“Iya, iya hi hi hi... Umi baper” ucapku. Tiba-tiba dia langsung mencubit pipiku. Kami tertawa bersama kembali.

Hening kembali suasana. Menonton kembali Film yang tidak aku mengerti jalan ceritanya. Beberapa kali aku mengganti tapi tetap saja acara malam haru tidak ada yang bagus. Aku bangkit dan membuat dua gelas minuman hangat. Kembali aku duduk disamping Desy.

“Mi, tahu gak waktu Samo cerita Arta diikat di pinggir air terjun? Miris banget nasibnya ya mi” aku membuka percakapan

“Iya, sebenarnya gak harus gitu-gitu banget tapi mungkin itu cara mendidik di desa din” balasnya

“Iya Mi... dari bandel jadi penakut tapi kayaknya ya mi, setelah kejadian itu Arta tidak menjadi penakut seutuhnya hanya saja dia, kalau menurutku nih, dia tertekan. Mau menjadi dirinya sendiri tapi perasaan bersalahnya itu” jawabku

“Iya, kan sudah di omongin sama Samo. Ditambah lagi ketika dia kekota ada Andrew, yang mirip dengan Andri. Jadi itu yang membuatnya semakin tidak bisa membuka diri. Terlalu banyak yang dia rahasiakan” aku hanya mengangguk-angguk saja sambil senyum

“ Dan bukan cuma itu saja, ada yang lain menurutku” lanjutnya kembali

“Apa?” tanyaku

“Entah, tapi dia masih menyembunyikannya. Dia anak yang pintar, pintar menyembunyikan sesuatu tapi... terkadang...” Desy memandangku

“Dia memperlihatkannya tanpa dia sadar, itu adalah salah satu kesalahannya, mungkin bisa di bilang itu adalah...” ucapnya

“Kebodohannya, ya kan umi? Ughhh hoaaammmhh...” ucap Dina, kami berdua menoleh ke arahnya

“Iya kan?” ucap Dina sekali lagi,

“He’em... benar kata Dina” ucap Winda,

Mereka berdua, bangun, entah kapan mereka bangun. Memutar tubuh, merenggangkan otot-otonya. Kami berdua heran, nyambung saja ini anak. Padahal juga baru bangun tidur. Winda kemudian bangun dan mendekatiku. Dengan manjanya dia merebahkan kepalanya di pahaku. Sedangkan Dina menyandarkan tubuhnya ke Desy. Mereka ternyata sudah terjaga sejak aku bangun dan menemani Desy menonton televisi.

“Itu anak jadi populer sekarang, banyak misterinya” ucap Dina, aku dan yang lain mengiyakannya

“Iya, sejak awal masuk sudah benar-benar penuh misteri” Desy menimpali

“Tapi ndesonya tetep ada tuh” balasku. kami terenyum cekikian bersama.

Dina kemudian menceritakan pertama kali Arta masuk. Sedangkan Winda menceritakan mengenai Laptopnya. Desy sendiri menceritakan tentang Arta yang terheran-heran karena kaca mobil bisa membuka menutup sendiri. Sedangkan aku, masalah Hapenya yang benar-benar jadul. Setelahnya kai tertawa terbahak-bahak jika ingat kejadia awal bertemu Arta.

“Apa lagi setelah aku melihat laki-laki di median jalan waktu itu. dan ternyata itu benar Artaaahhh... hoaammmmhh” ucap Dina.

“Sudah Din, kamu bobo saja” ucap Desy. Tapi Dina menolaknya, kembali dia menceritakan kejadian yang melihat Arta di median jalan. Desy tampak antusias, memang sih Desy kan belum mendengar cerita itu.

“Yang di Festival itu kan juga Arta” lanjut Winda setelah Dina berhenti cerita

“Winda, kalau bobo, bobo saja sayang. Matanya merem masih saja ngomong” ucapku, mengelus kepalanya

“Ugh, mmm... gak din, aku udah gak ngantuk kok dari tadi juga ngedengerin kalian cerita” ucapnya, bangun dan menyandarkan tubuhnya ke tubuhku, aku memeluknya

“Kok bisa sih Wind?” ucap Dina, kami bertiga melihat ke arah Winda

“Itu Gelang, masa kalian gak lihat?” ucapnya, matanya masih tertutup

“eh, bener juga. Arta di awal-awal gak pernah pakai gelang. Tapi pas itu, pas dia belajar dikosku sama Dina...” ucapku kembali mengingat penampilan Arta

“iya iya, bener kata Winda, Gelang itu” ucap Dina

“Hi hi hi... kalian perhatian ya sama Arta? Suka ya kalian sama arta?” tanya Desy

“yeee... Umi sendiri juga gitu” candaku

“Kan aku cuma penasaran sayang” ucap Desy, mencubit pipiku

“Sama saja Umi” ucap Winda yang berada dalam pelukanku, gemas aku cubit saja pipinya

“Aw, Dini, sakiiiit...” ucap Winda

“iya, iya, sini aku sun biar gak sakit” ucapku, mencium pipi

“Penasaran tanda sayang lho” sela Dina

“Kalian berarti semuanya dong” Balas Desy

“ha ha ha....” tawa kami bersama

“Dan yang nangis di pinggir ATM, kelihatannya juga si Arta” ucapku

Mereka memandangku dan mengingat kejadian sebelumnya ketika kami hendak mengambil uang di ATM. Ya walau sebenarnya kami masih ragu tapi dari postur tubuhnya sama persis dengan Arta.

“Sudah ah, gak usah dibahas lagi... kalian mau minuman hangat gak?” Desy kemudian mengenatikan pembicaraan kami tentang Arta.

“Susu aja Umi, ada tuh susu kaleng di dapur” ucap Winda

“Iya..” jawab Desy, kemudian dia beranjak dan menuju ke dapur.

“Din, cium Dina juga....” ucap Dina, tiba-tiba mendekatiku sembari memajukan bibirnya.

“Hmm... sini” ucapku, aku meraih pundaknya dan kucium pipinya.

“Di bibir hi hi hi” balas Dina

“ih, gue gak lesbong kali Na’, ogah gue..” ucapku

“iih, Enak lho Din, Helen aja ketagihan ama gue hi hi hi” balas Dina

Ting.. ting.. ting...

Suara Desy mengaduk minuman.

“Dina... beneran sudah sama helen?” tanya Desy dari Dapur

“Hi hi hi sudah mi, coba-coba aja sih hi hi hi” ucap Dina

“Dina lesbong itu, aku tadi diraba-raba, masa susuku diremas-remas” ucap Winda

“Hah! Beneran Wind?” tanyaku

“ih, Winda, buka kartu deh. Dini sering tuh, tapi gak sadar hi hi hi” ucap Dina

“Dinaaaaa...” aku berteriak kecil hendak memukulnya

“Eits, gak kena gak kena hi hi hi” Dina berdiri

“Sudah kalian itu malah berantem” ucap Desy yang berjalan menuju ke arah kami

Dina, langsung menghampiri Desy, dan berada di belakangnya.

“Ini punya Umi Gedhe, hi hi hi” ucap Dinda, meremas susu Desy dari belakang

“Aw, Dina, sudah ini nanti jatuh!” hardik Desy

“hi hi hi... gue normal kali say, cuma ya, ngukur aja, punya kalian gede sih” ucap Dina

“Udah, bersyukur saja” ucap Desy, meletakan nampan berisi minuman hangat

“Ntar kalau, suamiku gak puas gimana coba?” ucap Dina, duduk disamping Desy

“Mana mungkin gak puas sayang, kamu kan cantik, selalu ceria, pasti suamimu kelak akan puas” ucap Desy

“Belum juga lu lakuin, udah ngeluh lu” ucapku

“Dina, pikirannya mesum” ucap Winda

“EH! Winda bilang apa tadi?!” Dina duduk tegang dengan tangan berpinggang

“Aaaa, umiii... Diniii... takuuuut” ucap Winda, memelukku

“Dina!” bentakku

“Hi hi hi... Winda lebay tuh. Hmmm, besok gue mesumin terus aja suamiku, biar puas hi hi hi” ucap Dina, sambil menerawang ke atas

“Masih lama sayang, dah ini diminum dulu keburu dingin” ucap Desy

“Iya, umiii...” ucap kami bertiga

Setelahnya, kami kembali mengobrol. Tentang Arta? Tidak, sudah cukup, kami sudah tahu asli dia. Walau kami berempat, sampai sekarang, masih tetap merasakan sedikit takut. Mata arta, mata itu dan auranya, membuat bulu kuduk merinding. Ya, tapi ketika mata itu datang, rasa terlindungi ada disekitar kami. Sudahlah, masa bahas dia terus.

Obrolan-obrolan hingga menjelang pagi. Obrolan malam, obrolan cewek-cewek, ya biasalah mengenai kuliah, make-up, pakaian, film, banyaklah. Obrolan-obrolan santai, hingga melewati subuh. Hingga kami merasa ngantuk dan kembali ke tempat tidur. Hingga pagi menyapa, kami tetap melanjutkan tidur kami. Mata ini terlalu lelah untuk membalas sapaan sang mentari.
 
Scene 42
Namanya Juga Cinta



Helena Mauricia


Ainun ... ...

Sahabat-sahabatku kini sudah pulang. Keadaan ruangan dimana aku dirawat kini menjadi sepi. Hanya tinggal aku dan Helena, kekasihku termuah dihati. Semenjak kepergian sahabat-sahabatku Helena lebih pendiam. Aku tahu yang dia rasakan, pastinya dia meraskan rasa bersalah.

Helena telah bercerita kepadaku. Sebuah cerita yang sedikit membuatku terkejut, tetapi tak membuat cintaku kepadanya berkurang. Malah membuatku semakin cinta dengannya. Mungkin peristiwa di kos itu dipicu oleh apa yang telah dia lakukan dengan Kristian. Tapi yang dia lakukan dengan Kristian adalah terpaksa tidak seperti ketika dia melakukannya denganku. Tapi sebenarnya pengen banget aku mengulangnya lagi.

Dengan melihat pengorbanan Helena kepada keluarganya, aku merasa kecil dibanding kekasihku ini. Dia berkorban untuk keluarganya. Sedangkan aku, masih saja seperti anak kecil yang memandang hidup sebagai sebuah tempat untuk bersenang-senang. Apa-apa orang tua, apa-apa mamah, apa-apa papah bisa dibilang seperti itu.

“Adekku sayaaaang...” panggilku kepadanya yang selalu menunduk. Aku duduk dengan bantal sebagai sandaranku.

“Eh Mas... maafin Adek” hanya itu yang terucap dari bibirnya kepadaku

“Iya sayang, kamu telah banyak berkorban untuk keluargamu. Sedangakan aku, belum bisa membuat kamu selalu tersenyum” jawabku, meraih kepalanya dan menyandarkannya di bahuku

“Maafin Adek, karena telah melakukan hal yang...” suaranya pelan dan menjadi parau.

“Sssst... Sudah, sudah, tidak usah dibahas lagi sayang. Mas tidak akan mempermasalahkan apa yang telah adek lakukan. Sekarang intinya, adek sama mas, dan mas sama adek. Adek cinta mas, mas tambah cintaaaaaa sama adekku yang termuah dihati...” tenangku kepada kekasih terindahku, Helena.

“He’em...” jawabnya, dia tersenyum

“Nah gitu senyum, tambah maknyus dihati mas kalau lihat adek senyum” candaku

“Mas itu masih aja suka ngegombal” balasnya

“Berarti besok gak boleh ngeggombal ni?” tanyaku, dia menggeleng dengan senyumannya, air matanya mulai mengering di pipinya tapi masih ada yang mengembang dikelopak matanya.

“Mas, Sekarang mas istirahat dulu saja ya. biar cepat sembuh. Sambil nunggu papa-mama mas datang” ucapnya, dia bangkit dengan air mata yang kembali megalir dipipinya. Aku mengangguk, dan kembali rebah di tempat tidurku.

Aku usap Air matanya. Senyumnya masih sama, senyum yang indah kepadaku. Sebuah kecupan dikeining, pipi dan bibirku. Hingga akhirnya aku memejamkan mataku, walau sebenarnya aku tidak merasakan ngantuk. Hanya saja aku ingin dia tenang saja, jadinya aku ikuti saja kalau disuruh istirahat sama kekasihku termuah ini.

“Helena cinta Andrew” bisiknya pelan

“Andrew juga cinta Helena” jawabku dengan mata yang sudah terpejam dan senyum dibibirku. Tangannya halus megelus rambutku.

Arta, Seandainya tak ada kamu, seandainya saja. Mungkin aku sudah tidak bersama kekasihku saat ini. Dan sekarang mungkin aku sudah menangis karena kehilangannya. Tapi aku beruntung, kamu datang dari Desa. Mungkin kamu memang dikirim untuk membantuku agar tetap bersama Helena.

Dan Helena, kekasihku. Setelah dia bercerita mengenai kejadian dia bersama Tian. Aku semakin merasa beruntung memilikinya. Selain cantik, pintar, dia sangat berbakti kepada orang tuanya. Dan aku, pasti akan meminangnya. Karena aku ingin dia menjadi Ibu dari anak-anakku. Wajarkan kalau aku ingin istri yang pintar? Biar anak-anakku juga pintar tentunya.

Aku akan mempertahankan hubungan ini. Walau aku tak tahu apa yang akan terjadi didepan sana. Aku akan mempertahankanmu, Helena, Helena Mauricia. Helena tersayangku, Helena terkasihku.

Kleeeek....

“Andrew!” teriak suara seorang wanita yang sudah tidak asing lagi. Mamahku.

Aku membuka mataku lagi, tak jadi tidur. Mamahku ini langsung mendekatiku dari sisi yang berlainan dengan Helena. Memegang kepalaku, membolak-balik kepalaku. Hufth, padahal yang lukakan di dadaku. Papahku juga seperti itu, adikku juga yang masuk setelah mamahku. Apa mereka tidak tanya ke dokter ya? ikut-ikutan mamah malahan.

“Mamah...” ucapku

“Kamu itu kenapa nak? Kok bisa seperti ini? ibu sangat khawatir ketika mendapat kabar dari teman kamu” ucap mamah sangat khawatir. Mamah mengelus kepalaku dengan lembut sekali.

“Bagaimana keaadanmu nak?” tanya papahku yang tampak sedikit tenang dibanding Ibuku

“Iya, kakak kenapa? kok bisa seperti ini. ” ucap Adik perempuanku. Kalau adik perempuanku ini, kakaknya kena musibah seperti apapun dia tetap santai. Selama dia masih lihat wajah kakaknya. Bener juga sih, walau terjadi apa-apa kalau masih bisa diajak ngomong memang gak masalah.

“Ugh... satu-satu kenapa tanyanya?” jawabku sedikit jengkel karena pertanyaan mereka yang bertubi-tubi

“Awww.... sakit maaah...” teriakku ketika mamahku menarik satu telingaku

“Kamu itu, apa kamu gak ngerti gimana perasaan seorang Ibu. Mamah itu yang ngelahirin kamu wajar kalau tanyanya panjang. Kalau terjadi apa-apa dengan kamu, mamah juga yang sedih!” marah mamah kepadaku

“Iya bu... iya lepasin bu, Andrew minta maaf..” ucapku, seketika itu mamah melepaskan jewerannya. Ayah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sedangkan adikku duduk di atas tempat tidur, disamping kakikku.

“Itu begini...” aku kemudian mulai bercerita seceara detail kepada mamahku tersayang ini. mereka mendengarkan begitu antusias.

“Untung temen kamu itu nolongin kamu, coba kalau gak ada. Besok lagi gak usah macam-maca lagi! Pakai acara berkelahi segala” marah mamahku

“Namanya juga kepepet mah” jawabku

“Sudah maem?” tanya mamahku

“Sudah mah, disuapin Helen” ucapku sembari menengok dan memandang Helena. Helena tersenyum kemudian wajah yang tertunduk.

“Helen? Temen kamu?” tanya mamahku

“Calon mantu mah” jawabku sembari memandang mamahku dengan memainkan alisku naik turun disertai wajah yang sok .

Mamahku memandangnya dengan sedikit heran. Helena berdiri, kemudian mengulurkan tangannya, salim ke mamah, papah dan kemudian adikku yang gantian salim sama Helena. Sejenak mamah memandang papah dan kemudian berjalan mendekati Helena. Adikku sendiri, dia melihat Helena dengan waah girang.

“Pacarnya Andrew?” tanya mamahku

“I-iya mah... eh, bu” jawabnya gugup sembari mengangguk

“Sudah panggil mamah saja gak papa kok” jawab mamahku dengan senyuman

“Cantik ya pah, pinter ini kayaknya” ucap mamahku. Memegang kedua pipi helena

“Iya mah, cantik... aku mau mah punya kakak perempuan kak Helen. Biar gak dijahilin sama kak Andrew terus!” Adikku tiba-tiba menimpali

“Eh, kamu ngapain ikut-ikutan jawab, yang ditanya itu papah” aku menimpali adikku

“Yeee... orang sakit, sakit saja! weeeek...” jawab Adikku

“Sudah, sudah....”

“Cantik? Enggak juga sih mah, cantikan mamah” jawab papahku. Membuat Helena sedikit terkejut.

“Ya iyalah cantikan mamah, kalau buat papah. Tapi kalau buatku, Helena yang cantik” sela-ku untuk menenangkannya.

“Jadi mamah jelek gitu Ndrew?!” ucap mamahku sedikit membentak

“Ya, gak gitu gak gitu...” jawabku, bingung sendiri

Kami kemudian tertawa bersama. Memang begitulah papahku. Aku ceritakan sedikit tentang papahku kepada Helena. Apapun yang terjadi mamah selalu menjadi nomor satu baginya. Mau ditanya siapa yang tercantik, jawabannya selalu mamah. Ditanya apapun kalau soal cewek, jawabannya pasti mamah. itulah papahku. Kulihat adikku juga suka sama Helena, dari awal ketika aku memperkenalkannya juga sudah kelihatan. Lihat saja, baru saja kenal tapi sudah tampak akrab sekali. Minta disisirlah, minta dipeluklah. Maklum dia gak punya kakak perempuan. ketika aku melirik papah, acungan jempol yang aku dapat. Beruntungnya aku.

Kami kemdian berbincang-bincang. Tawa canda dalam keluargaku selalu ada. Tapi kalau mamah lagi murung, semua ikut murung. Tapi kelihatannya mamahku cocok sama Helena. Sambil ngobrol mamah mengambil makanan untuk kami semua. Sebenarnya Helena tidak dapat jatah tapi, argh! Kenapa kedua orang tuaku pacaran dikala anaknya sedang sakit. Suap-suapan lagi. Jatah mamah dikasihkan Helena dan mamah sama papah. Tak apalah, aku juga bisa pac...

“Lho dik, kok malah minta disuapin Kak Helen?” protesku

“Dah kak Andrew sakit, sakit saja! makan sendiri! weeeek” ledek adikku

“Dik gak boleh gitu dong. Biar kak Helen suapin Kak Andrew juga ya, gantian” lembut banget ini kekasihku

“Gak, pokoknya gak boleh. Dulu aja waktu aku disuapin mamah. Kak Andrew sering ganggu, sekarang gantian” Protes Adikku dan langsung menarik Helena menjauh dari ranjang.

Nasib, nasib. Kalau sering jahil sama adik ya begini ini jadinya. Gantian dijahilin sama adikku sendiri. Tak apalah, lagian aku sudah kenyang, disuapin Helen tadi. Tapi sesekali Helena merayu adikku untuk menyuapiku. Mamah dan papahku memandang kami bertiga dengan senyum kebahagiaan. Beruntungnya aku, memiliki keluarga bahagia dan sahabat-sahabat yang baik. Ar, jika ada waktu cepatlah kemari. Aku ingin bertemu denganmu.

“Mas, cepetan a’ mas sebelum adik marah tuh” ucap Helena, aku tersenyum.

Benerkan disempat-sempatkan nyuapin aku? Namanya juga cinta.


---------------------​

“Ugh... erghhh...”

Aku merasakan sesuatu di tubuhku, hangat. Aku membuka mataku perlahan, membuka mataku dari lelahnya hari kemarin. Betapa terkejutnya aku ketika sadar ada seseorang disampingku.

“Eh, Bu Ainun!” aku terkejut, langsung duduk, memandangnya.

Dia duduk disampingku, dipinggir kasur tak beranjang ini. Tangan kanannya memegang washlap, yang dia gunakan untuk membasuh tubuhku. Dan baru aku sadari, ternyata kini aku hanya memakai celana dalam. Ku pandang wajahnya yang tersenyum lembut kepadaku.

“Nun, bukan Bu Ainun, ya sayang ya” ucapnya lembut dari bibir tipis merah jambunya. Tangannya masih mengelap tubuhku dengan washlap ditangannya.

“Tapi bu, eh.. nun, ke-kenapa bisa disini?” aku masih tidak percaya akan kehadirannya disini

“Besok lagi, pintunya dikunci hi hi... Tuh, tadi kesini maksudnya mau ngetuk pintu, lha kunci masih nggantung, ya aku masuk saja” Dia tersenyum kepadaku, lembut sekali. Diletakannya washlap ke dalam waskom kecil, tangan kananya kemudian mengelus pipi kananku

“Ada apa? Kenapa semalam kamu berteriak?” matanya memandangku dalam, aku terkejut

“Ke...” baru saja ingin bilang

“Aku berada disana, bersama keluargaku. Dan ketika aku membeli sesuatu aku melihatmu bersama seorang perempuan, Dini ya?” ibu jarinya lembut mengusap bibirku, aku tertunduk

“Itu...” lirihku, tubuhnya bergeser mendekatiku, memelukku, merebahkan kepalaku di bahunya

“Jika kamu ingin menangis, disini tempatnya...”

“Bersamaku...” Sesaat setelah kata-kata itu, aku memeluknya, menangis sejadi-jadinya

“Menangislah... sayangku...” lembut dari bibirnya. Aku semakin terisak, ketika aku mendengar kata-katanya

Kerudung putihnya basah oleh air mataku, kerudung yang menutupi sebagian tubuhnya. Pelukannya semakin erat, aku pun demikian. Dia memelukku dan menggoyang pelan tubuhku. Bak anak kecil yang sedang dihibur agar diam dari tangisnya. Bibirnya kemudian menyanyikan sebuah lagu. Entah lagu apa, aku tidak tahu.. Lagu yang keluar dari bibir manisnya, membuatku sedikit tenang.

“Masa lalu itu terulang kembali, hampir” disela isak tangisku

“Iya, aku sudah mendengarnya dari petugas disana. Ceritanya, ada seorang yang tersayat pada dadanya, penuh luka. Dari cerita mereka, ada yang mencoba mengganggu kalian” suaranya lembut dan datar

“iya... tapi...” aku rebahkan pipiku di pundak kirinya

“Menangislah dulu sayang, baru kamu cerita sayang. Ada aku dsini...” lembut sekali terdengar, kepalaku mengangguk di pundaknya

Hening sesaat...

“Seandainya aku dulu mengikuti kata-katamu, mungkin tidak akan terjadi kejadian kemarin. Andrew tidak akan menjadi seperti sekarang ini, dia mirip sekali dengan sahabatku” tangannya mengelus kepalaku, disela-sela aku bercerita

“Jika aku, seandainya aku... aku benar-benar bingung, kenapa aku harus menjadi seperti sekarang ini, kalau saja aku apa adanya, seperti yang kamu katakan saat itu... tapi...” aku benar-benar tak kuat untuk bercerita lagi. Karena tangis yang tak kunjung berhenti.

“Sudah sayang, tidak ada yang salah, sekarang tenangkanlah dirimu” sedikit kecupan di belakang kepalaku

“Tapi dulu, Andri mati. Dan sekarang aku mencoba agar tidak seliar dulu, agar aku bisa memperbaiki diriku. Ta-tapi, dengan diriku yang sekarang, salah satu temanku hampir saja mati.” Aku menarik kepalaku, memandangnya. Dia memegang kedua pipiku, memberikan kecupan pada bibirku

“Sayang, masa sekarang ada karena adanya masa lalu. Jangan kamu salahkan masa lalumu, yang berarti kamu menyalahkan semua orang yang berada dimasa lalumu. Hanya sebagian dari masa lalumu yang menjadi kesalahanmu, hanya sebagian, tidak seluruhnya. Jangan menyalahkan dirimu terus, kamu tidak pantas disalahkan untuk semua kesalahan dimasa yang telah lalu”

“Percayalah, mereka, semua yang ada di masa lalumu, pasti akan berpikiran sama denganku. Jadilah dirimu sendiri mulai sekarang, ya?” senyumnya mengembang di bibirnya, bibir tipis dengan lipstik merah jambunya. Aku menunduk, pelan, pandanganku ke bawah.

“Dulu...” aku menceritakan kejadiannya, semuanya sedari awal

Bagaimana tingkah lakuku, tingkah polahku. Aku yang kecil adalah aku yang nakal, hingga kakek mendidiku dan akhirnya aku menjadi seorang penakut. Bahkan tak ada kata ”keberanian” dalam diriku. Hingga, Andri, sahabatku, mengalami masalah dan disitulah aku muncul. Mulai dari situ, semua berjalan, berjalan layaknya aku sebagai seorang pemegang kekuasaan. Kakekku, mencoba terus menasehatiku, tapi aku selalu membantah, ini semua juga karena didikannya. Andri, dia sebenarnya bukan anak yang liar, tapi setelah kejadian itu dia selalu berada di poros terdepan kami.

Awalnya, aku hanya diam, tapi hatiku selalu tergerak, tak ingin sahabatku terluka. Aku hanyut dalam perjalanan baruku, kesombongan menguasai setiap sel-sel darahku. Keangkuhan, bergelayut manja menghasutku. Tak ada rasa tenggang rasa terhadap mereka yang sok jago, semua aku habisi. Hingga, akhirnya sebuah kejadian, dimana beberapa orang yang sebenarnya sudah tidak ingin berurusan denganku. Aku, ya, aku malah semakin membakar pertikaian, setelah Andri memicunya. Dan terjadilah, dia akhirnya mati didalam pelukanku, karena menyelamatkan aku dari tusukan pisau belati.

Setelah aku bercerita kepadanya, dengan lembut dia mengelus kepalaku. Aku melihat matanya, melihat mata indah itu sekali lagi. Pandanganku menjadi buram, air mataku mengalir. Tangannya mengusapnya, aku tahu dia sedikit terkejut ketika aku bercerita, tapi senyumnya, senyumnya membuatku hanyut dalam kelembutannya.

“Itu semua sudah terjadi sayang, saatnya kamu merubah dirimu. Menjadi seseorang yang lebih baik. Ubahlah setiap sikapmu, sikap bisa diubah, walau sifat tidak. Tapi dengan kamu mengubah sikapmu, sifat burukmu pasti akan tertekan. Kamu memiliki jiwa, jiwa seorang pelindung dalam dirimu”

“Hati kecilmu selalu mengatakan, agar kamu melindungi setiap insan yang berada disampingmu. Begitu bukan?” dia menarik kepalaku, bibirnya menyentuh keningku

“Kamu adalah seseorang yang tidak menginginkan hal buruk terjadi pada yang kamu kasihi, yang kamu sayangi. Percayalah, itu adalah nalurimu, naluri untuk melindungi. Hanya saja. kamu terlena dengan apa yang kamu miliki. Mulai sekarang sayang, sayang ku Arta, Artaku, kendalikanlah keangkuhanmu” bibirnya mengecup lembut bibirku

“Aku ada, untuk menenangkanmu” ucapnya lirih,

“Tersenyumlah” dia memelukku, aku pun tersenyum dipundaknya

Rasa nyaman, rasa lelahku seakan hilang karena adanya dia. Entah, siapa dia, apakah malaikat yang dikirimkan kepadaku? Entahlah... kurasakan kehangatan dari dalam dirinya. Seakan sayap-sayapnya mengelus lembut tubuhku.

“Mandi dulu sayang, uh, Bau...” ucapnya sedikit bercanda, sembari mendorong tubuhku

Aku hanya tersenyum, aku mengecup bibirnya. Wajahnya tampak merah, mungkin sama merahnya dengan wajahku. Aku bangkit, dan perlahan tangan kirinya yang lenganku turun seiring aku berdiri. Hingga dipergelangan tangan...

“Mandi yang bersih...” ucapnya, aku mengangguk.

Mata kami bertemu. Aku pun tersenyum ketika melihat lukisan senyuman pada bibirnya. Tangannya lambat ketika melepas pergelangan tanganku. Tak ingin berlama-lama, segera aku ke kamar mandi. Dan mulai melepas semua pakaianku.

Tok... tok... tok...

“hmmm myaaa...” jawabku yang masih menggosok gigi

“Handuknya...” ucapnya sedikit keras, aku membuka setek kunci pintu, dan membukannya sedikit

“yima kasirhh..” ucapku, langsung aku tutup kembali dengan hanya menekan pintu.

Ku gantungkan handukku dibelakang pintu kamar mandi. Kembali aku menghadap ke bak mandi, ku selesaikan gosok gigiku. Segera aku ambil air dengan gayung dan ...

Byur.. byur.. byur...

“egh...” aku terkejut, tubuhku tegak.
 
Terakhir diubah:
mantap tenan suhu DH
3 scene langsung
izin :baca:
maksih suhu

edit----------------
4 scene maksudnya
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd